Ekonomi dan Bisnis
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 20 Februari 2025
Teknologi finansial (tekfin) telah mengalami lonjakan yang luar biasa di masa normal baru akibat pandemi COVID-19. Potensi penetrasi pengguna yang lebih tinggi dan peningkatan transaksi digital yang signifikan di masa depan telah mendorong kemajuan fintech. Sektor fintech di Indonesia memiliki masa depan yang menjanjikan dan diantisipasi untuk mendorong nilai transaksinya, seperti yang disorot dalam East Ventures - Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2023. Prospek positif ini terkait erat dengan hubungan yang tak terbantahkan antara volume transaksi tekfin, literasi keuangan, dan inklusi keuangan.
Literasi keuangan melibatkan pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri yang membentuk sikap dan perilaku untuk pengambilan keputusan dan perencanaan keuangan yang lebih baik, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan. Literasi keuangan memberdayakan individu untuk membuat pilihan yang tepat tentang produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Di sisi lain, inklusi keuangan berarti individu dan bisnis memiliki akses ke produk dan layanan keuangan yang bermanfaat dan terjangkau yang memenuhi kebutuhan mereka - transaksi, pembayaran, tabungan, kredit, dan asuransi - yang disampaikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Laporan EV-DCI 2023 mengungkapkan peningkatan yang luar biasa dalam transaksi digital, melonjak sebesar 32% dibandingkan tahun 2019. Lonjakan ini disertai dengan peningkatan literasi keuangan sebesar 17% dan peningkatan inklusi keuangan sebesar 20%, yang mengindikasikan kemajuan dalam hal kesadaran dan akses terhadap alat keuangan untuk stabilitas dan kemakmuran ekonomi yang lebih besar.
Sumber: Statista - Fintech Indonesia OJK - SNLIK 2022
Mendorong adopsi tekfin ke depan dengan momentum yang ada
Salah satu pendorong utama kesuksesan tekfin di Indonesia adalah adopsi platform pembayaran digital yang cepat. Platform-platform ini telah menyederhanakan transaksi seperti e-wallet, internet banking, dan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), yang memfasilitasi pergeseran dari aktivitas keuangan tradisional offline ke online. Sebelum pandemi, penggunaan dompet digital hanya sekitar 10%. Namun, sepanjang tahun 2020, terjadi peningkatan persentase penggunaan dompet digital yang cukup signifikan, mencapai 44%.
Penguncian dan pembatasan sosial selama pandemi mempercepat pelukan belanja online, mengubah e-commerce menjadi garis hidup bagi konsumen dan bisnis. Hasilnya? Pertumbuhan e-commerce yang luar biasa sebesar 40% YoY dalam e-commerce selama semester pertama tahun 2022. Yang lebih mengesankan lagi adalah 53% pengguna e-commerce lebih menyukai dompet elektronik, yang menyoroti meningkatnya kepercayaan terhadap pembayaran digital.
Tantangan dalam peta jalan kemajuan tekfin
Terlepas dari pertumbuhan yang mengesankan di sektor fintech, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terdapat kesenjangan sebesar 8,3% antara literasi dan inklusi keuangan di platform fintech. Hal ini menandakan bahwa beberapa individu sadar akan layanan fintech tetapi membutuhkan lebih banyak cara untuk mengaksesnya.
Sumber: OJK: Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022
Kesenjangan dalam literasi dan inklusi keuangan juga terlihat di beberapa provinsi. Bengkulu, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tenggara memiliki tingkat inklusi keuangan yang tinggi namun memiliki skor literasi keuangan yang rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki akses terhadap produk keuangan namun membutuhkan pemahaman yang lebih.
komprehensif mengenai penawaran-penawaran tersebut. Kesenjangan pengetahuan ini membuat mereka terpapar pada risiko yang terkait dengan fintech lending ilegal. Antara tahun 2018 dan 2022, pihak berwenang telah menutup 4.432 kasus fintech lending ilegal, menggarisbawahi betapa seriusnya masalah ini.
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2022
Pendekatan strategis terhadap inisiatif digitalisasi
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah proaktif untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dengan menerapkan strategi nasional literasi keuangan indonesia (SNLKI) untuk tahun 2021-2025. Strategi ini bertujuan untuk mencapai inklusi keuangan sebesar 90% pada tahun 2024.
Di bawah strategi ini, beberapa inisiatif telah diluncurkan, termasuk menciptakan Massive Open Online Courses (MOOC) dan menyediakan kalkulator keuangan di situs web OJK untuk menilai kesehatan keuangan dan menyusun rencana keuangan yang sehat.
Para pemain fintech, termasuk perusahaan dan asosiasi, telah menyelaraskan inisiatif mereka dengan strategi SNLKI. Salah satu contohnya adalah platform teknologi keuangan syariah yang didukung oleh East Ventures, Hijra (sebelumnya bernama ALAMI). Model bisnis inovatif Hijra bertujuan untuk meningkatkan inklusi dan literasi keuangan.
Strategi utama Hijra adalah mendanai UMKM, memberikan manfaat kepada lebih dari 1.000 perusahaan yang sebelumnya kesulitan mengakses pinjaman dari bank-bank tradisional, dan membantu lebih dari 4.000 perusahaan rintisan dan UMKM melalui bimbingan, kursus, lokakarya, dan pendanaan. Inisiatif-inisiatif ini menjadi contoh bagaimana entitas tekfin menjembatani kesenjangan keuangan dan mendorong literasi keuangan di segmen populasi yang kurang terlayani.
Perjalanan menuju inklusi keuangan yang adil melalui tekfin di Indonesia ditandai dengan kemajuan, tantangan, dan solusi kolaboratif. Dengan inisiatif pemerintah yang strategis, pemain tekfin yang inovatif, dan meningkatnya penerimaan masyarakat terhadap keuangan digital, Indonesia berada di jalur yang tepat untuk menjadi negara yang lebih inklusif dan berdaya secara finansial.
Disadur dari: east.vc
Ekonomi dan Bisnis
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 20 Februari 2025
Jakarta – Tahun 2023 merupakan tahun yang baik bagi pertumbuhan perusahaan financial technology (fintech). Meskipun begitu terdapat beberapa catatan penting yang perlu diwaspadai di 2024 mendatang. Indonesia Fintech Society (IFSoc) menemukan setidaknya 7 catatan yang terjadi pada 2023 yang patut diwaspadai oleh industri fintech di 2024 nanti. Permasalahan tersebut meliputi pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tech winter, pergerakan bursa kripto, penggunaan QRIS mancanegara, keberadaan pinjol, perkembangan artificial intelligence (AI), serta fraud.
Pengesahan UU PDP menjadi langkah kemajuan tata kelola data pribadi di Indonesia. IFSoc menekankan perlunya peraturan turunan yang mengedepankan compliance over punishment. Di 2023, terdapat urgensi dalam percepatan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) PDP waktu transisinya tinggal 1 tahun dan kepastian pembentukan lembaga PDP, serta masih banyaknya kasus kebocoran data.
“Prioritas penerapan PDP perlu menjadi perhatian, khususnya pada perusahaan yang berinteraksi langsung dengan konsumen. Langkah ini mencerminkan respon kebijakan yang proporsional terhadap jumlah data yang dipegang oleh perusahaan sehingga lebih terukur dengan berbasis risiko,” terang Ketua IFSoc Rudiantara, Jumat, 29 Desember 2023.
IFSoc juga menyebut tren pendanaan startup Indonesia yang menurun dan perusahaan fintech perlu menyesuaikan diri dengan model bisnis yang mendatangkan keuntungan. Di 2023, pendanaan privat di fintech Indonesia menurun signifikan imbas dari penetrasi layanan keuangan yang masih rendah, membuat investor semakin selektif terhadap industri fintech di Indonesia.
Dengan demikian, besar kemungkinan tech winter, istilah untuk minimnya pendanaan sektor teknologi akan berlanjut di tahun 2024 yang didorong oleh ketegangan geopolitik global, kenaikan suku bunga, dan tahun politik. “Ketidakpastian tersebut membuat investor menjadi menghindari risiko berinvestasi di perusahaan teknologi. Di tahun 2024, investor akan lebih banyak wait-and-see mengingat kondisi ekonomi dan politik Indonesia,” ungkap Rudiantara.
Sementara dalam kasus bursa kripto, Bappebti dan OJK sedang menyusun guideline selama transisi peralihan pengaturan dan pengawasan perdagangan kripto. IFSoc melihat penyusunan guideline sebagai langkah yang, tepat dan perlu dilakukan dengan hati hati tanpa mengganggu perdagangan yang sedang berjalan.
“Diperlukan adanya peraturan pengawasan dan penindakan atas transaksi mencurigakan, kewajiban pelaporan dan proses KYC. Bursa kripto juga perlu menaungi perlindungan investor melalui transparansi informasi asat serta informasi peluang dan risiko Investasi di aset kripto,” paparnya.
Yang keempat, lanjut rudiantara, adalah pemakaian QRIS di mancanegara. IFSoc mencatat QRIS momentum positif perluasan QRIS antar negara telah menjangkau Malaysia, Thailand, dan Singapura. Namun, belum adanya optimalisasi awareness yang mudah dimengerti oleh wisman dan placement yang perlu diperkuat.
“Perkembangan ORIS antarnegara perlu didorong ke negara dengan jumlah wisman terbanyak ke Indonesia Ekspansi ke negara negara strategis bisa menjadi kunci bagi pertumbuhan industri pariwisata khususnya UMKM, dengan memberikan dampak positif pada perekonomian lokal dan memperkuat daya tarik destinasi Indonesia di mata wisman,” lanjutnya.
Selain itu, IFSoc mencatat perlu adanya peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap layanan pinjol, yang disebut pinjaman daring (pindar) dengan peningkatan ketahanan dan Inklusivitas sektor pindar. “Di 2023, banyak upaya perbaikan kepercayaan masyarakat yang dilakukan, seperti pemberantasan pindar ilegal dan kemunculan Roadmap 2023-2028 yang menjadi harapan baru sektor pindar,” tutur IFSoc.
Sinergi antara OJK dan industri perlu dilakukan dengan memberikan literasi kepada masyarakat tentang manfaat pindar sebagai salah satu kontributor pemerataan akses keuangan, khususnya ke luar Jawa. Perlu adanya upaya memposisikan pindar sebagai penyedia pembiayaan alternatif bagi unbanked/underbanked karena jenis pembiayaannya yang tidak menggunakan agunan. Catatan yang IFSoc garis bawahi berikutnya adalah prioritas utama dalam pengembangan Al di sektor fintech. Teknologi AI harus digunakan dalam mengoptimalkan layanan keuangan untuk masyarakat.
“Implementasi Al harus difokuskan pada peningkatan efektivitas dan efisiensi bisnis, contohnya dalam hal credit scoring dan e-KYC. Selain itu peran Al harus diarahkan dengan tegas untuk mencegah kecurangan dan pencucian uang dalam sistem keuangan sehingga meminimalisir potensi penyalahgunaan Al di fintech,” jelasnya.
Terakhir, masih terdapat besarnya gap antara inklusi dan literasi keuangan, sehingga banyaknya kasus investasi legal. Upaya penanganan fraud masih berlanjut di 2023, dimana semakin maraknya kasus kejahatan keuangan, seperti penipuan melalui chat berkedok undangan atau pengiriman barang. Ini memicu pentingnya peningkatan edukasi tentang fraud melalui kampanye nasional. (*) Mohammad Adrianto Sukarso.
Sumber: infobanknews.com
Ekonomi dan Bisnis
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 20 Februari 2025
Jakarta (ANTARA) - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar meminta para pelaku industri teknologi finansial (tekfin) untuk memperhatikan perlindungan konsumen dan kepercayaan masyarakat. "Isu baru yang harus menjadi perhatian adalah perlindungan konsumen dan kepercayaan masyarakat,” kata Wimboh saat membuka Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2023 di Jakarta, Kamis.
Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK, fintech saat ini tidak seperti pada masa kejayaannya di tahun-tahun sebelumnya, dan menghadapi berbagai macam masalah. Ia mengatakan bahwa industri fintech sedang menghadapi masalah, seperti keraguan masyarakat terhadap manajemen atau integritas industri itu sendiri.
Karena kepercayaan masyarakat yang menurun, ia menekankan perlunya industri fintech beradaptasi dengan kondisi saat ini. Pada tahun-tahun sebelumnya, kata Siregar, target umum bisnis fintech adalah meningkatkan penjualan dan mengimplementasikan teknologi tercanggih dengan cara apapun.
“Namun, tahun ini, kuncinya adalah keberlanjutan. Tahun lalu, tidak ada yang bicara soal sustainability, yang ada hanya pertumbuhan,” katanya. Ia menegaskan bahwa dengan kondisi seperti itu, perusahaan fintech harus menerapkan tata kelola perusahaan yang baik di samping layanan yang mereka tawarkan.
Siregar mengingatkan bahwa layanan fintech harus mengikuti etika yang berlaku dalam menjalankan tata kelola perusahaan yang baik. “Sebelumnya, (kemajuan) teknologi, termasuk fintech, dianggap sebagai kekuatan yang merusak. Ternyata tahun ini, fintech bergeser menjadi sesuatu yang berkelanjutan,” ujar Siregar.
Siregar menyerukan perlunya industri fintech untuk terus berinovasi agar dapat bertahan, karena pada kenyataannya, untuk jangka panjang, kreativitas dan inovasi menjadi penentu keberlangsungan hidup. “Kreativitas dan inovasi telah menentukan 20 tahun terakhir dan akan menentukan 20 tahun ke depan,” tegasnya. Indonesia Fintech Summit & Expo merupakan acara unggulan tahunan OJK, Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) yang merupakan bagian dari Bulan Fintech Nasional.
Disadur dari: en.antaranews.com
Ekonomi dan Bisnis
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 20 Februari 2025
I. Pasar fintech dan konsep P2P pinjaman
Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi kelas menengah yang terus bertumbuh, dengan penetrasi ponsel dan internet yang tinggi. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), memperkirakan populasi Indonesia akan tumbuh menjadi 270 juta pada tahun 2020. Mereka juga melaporkan bahwa sekitar 65,5% rumah tangga di Indonesia memiliki atau menggunakan telepon seluler. Pertumbuhan pengguna dan penetrasi internet akan berdampak positif pada perkembangan pasar fintech di Indonesia. Fintech dapat didefinisikan sebagai cara menggunakan inovasi teknologi untuk menciptakan nilai dalam industri keuangan. Sahay et. al. (2020) mendefinisikan tekfin sebagai inovasi berbasis teknologi dalam layanan keuangan yang dapat menghasilkan model bisnis, aplikasi, proses, atau produk baru yang memiliki dampak material pada layanan keuangan.
Pinjaman online di Indonesia masih terus berkembang, pada Desember 2022, P2P Lending di Indonesia telah meningkatkan kinerjanya dengan total akumulasi yang disalurkan mendekati Rp 528 triliun. Pada tahun 2022 saja, sektor ini tumbuh 45% YoY dengan total Rp 225,6 triliun yang disalurkan. Terdapat 102 platform P2P berlisensi, yang terdiri dari 95 platform konvensional dan tujuh platform syariah.
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan bertanggung jawab untuk mengatur industri Fintech di Indonesia. Dalam hal Asosiasi, AFTECH dan AFPI adalah dua asosiasi yang memegang pengembangan komunitas Fintech Indonesia. AFTECH mengklasifikasikan jenis Fintech yang berkembang di Indonesia, seperti:
Data AFTECH menyatakan bahwa hingga akhir kuartal II-2020, sebanyak 366 perusahaan Fintech telah bergabung dengan asosiasi tersebut. Terdiri dari 102 perusahaan Fintech pinjaman online, 84 Fintech inovasi keuangan digital, 39 Fintech sistem pembayaran, 5 perusahaan pasar modal, 4 Fintech aset digital, 13 perusahaan mitra teknologi, 6 lembaga keuangan, dan 113 perusahaan lainnya.
Memanfaatkan fintech untuk pemulihan ekonomi
Pemerintah memanfaatkan perusahaan Fintech untuk menyalurkan bantuan sosial kepada masyarakat dan UMKM yang terdampak pandemi. Perusahaan Fintech lebih fleksibel dibandingkan lembaga keuangan konvensional dalam memberikan layanan keuangan kepada UMKM. Selama COVID-19, pemerintah mengalokasikan Rp20 triliun untuk Kartu Prakerja pada tahun 2020 dan mengalokasikan jumlah anggaran yang sama pada tahun 2021. Kartu Prakerja didistribusikan kepada para pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat Pandemi COVID-19. Para pemegang kartu mendapatkan pelatihan atau kursus untuk meningkatkan keterampilan kewirausahaan mereka. Untuk mendapatkan manfaat penuh dari Kartu Prakerja, pemegang kartu harus memiliki virtual account yang digunakan sebagai alat transaksi untuk mendapatkan dana yang ditawarkan untuk membayar biaya pelatihan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng, menyatakan bahwa 52 perusahaan Fintech telah meluncurkan inisiatif untuk membantu UMKM bertahan di tengah Pandemi COVID-19, termasuk penurunan suku bunga, pengurangan biaya transfer, potongan harga merchant, dan pelatihan.
II. Model proses pinjaman
Pertumbuhan industri keuangan akhir-akhir ini dengan cepat mengubah cara pandang masyarakat terhadap teknologi finansial. Karena dampaknya yang sangat besar, sektor ini kini menjadi sektor yang paling penting. Hal ini juga didorong oleh menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap penyedia jasa keuangan, yang berujung pada meningkatnya pengguna P2P.
Sebagian besar fintech didorong oleh berbagai kemajuan teknologi, penyedia internet, teknologi seluler, sensor, aplikasi teknologi yang semakin baik seperti platform, analisis big data, dan operasi bisnis.
Proses alur P2P Lending dibagi menjadi beberapa tahap, pada tahap pertama, pengguna berniat untuk meminjam atau meminjamkan uang dengan menggunakan platform. Pada tahap ini, platform difokuskan pada kualitas pelayanan, informasi, dan jaminan struktural. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi adopsi P2P Lending seperti integritas informasi, perlindungan keamanan, norma subjektif, persepsi risiko, kepuasan pengguna, dan sikap.
Bagian penting lainnya dari proses P2P Lending adalah tahap untuk mengetahui risiko. Dalam proses penilaian risiko, mungkin ada masalah asimetris yang bisa muncul. Informasi kredit individu dapat mempengaruhi penilaian, dan aplikasi dapat dibatalkan karena tingkat kredit yang rendah dari penilaian. Untuk mengatasi masalah ini, para pengembang membawa perusahaan layanan kredit internet, karena volume nilai, prediktabilitas, variasi layanan, dan perlindungan privasi.
Model pinjaman menyediakan platform baru untuk kelompok atau bagaimana mereka melihat dan mengelola keuangan. Di bidang akademis, pola perilaku pengguna dan kredit atas kepercayaan dikumpulkan dengan skenario P2P Lending. Lee dan Lee 2012, melakukan penelitian tentang perilaku di pasar P2P Lending:
Model proses pinjaman P2P
Pinjaman memiliki proses standarnya sendiri yang dapat diimplementasikan dalam Diagram Proses Bisnis, dengan tujuan untuk mendukung manajemen proses bisnis, baik untuk pengguna teknis maupun pengguna bisnis. Dengan mengusulkan sebuah metodologi yang disebut Policy-Driven Process Mapping (PDPM) untuk mengekstraksi model proses dari dokumen bisnis. Ketika mengajukan pinjaman, peminjam perlu mengisi 6 tahap yaitu Tahap Permohonan, Pengakuan, Penilaian Kredit, Persetujuan, Penugasan, dan Manajemen Pinjaman.
Platform P2P Lending memberikan 2 pilihan kepada pengguna, yaitu menjadi pemberi pinjaman atau peminjam. Di sisi peminjam, tahap pertama dimulai dengan peminjam mendaftarkan data mereka dan menunjukkan jumlah uang yang ingin mereka pinjam. Platform/aplikasi akan memberikan rekomendasi kepada peminjam berapa banyak dana yang bisa mereka dapatkan. Sebelum mendapatkan dana, platform akan meminta peminjam untuk menunjukkan kredibilitas mereka. Setelah mengisi dan mengunggah data, sistem akan memeriksa kredibilitas dan kriteria peminjam. Jika peminjam lolos, maka dana akan ditransfer ke rekening peminjam yang terdaftar.
Proses pengajuan
Proses pengajuan kredit di P2P Lending dapat dibagi menjadi 6 tahap: Registrasi Data, Mengelola Data, Rekomendasi Investasi, Pemeriksaan Skor Kredit, Legalitas, dan Penyelesaian. Pengguna perlu mendaftarkan data mereka pada tahap pertama, setelah data diterima oleh perusahaan/platform, sistem akan mulai mengelola data/pinjaman yang diajukan dan memberikan rekomendasi investasi yang dapat diambil. Sementara itu, di sisi lain, setelah data pengguna diterima, Credit Facility Management akan memeriksa data kredit pengguna untuk mengetahui kredibilitasnya, jika kredibilitas kredit pengguna lolos kriteria maka pengguna akan mendapatkan kontrak dan menyelesaikan tahap penawaran. Setelah pengguna menyelesaikan tahap legalitas, maka dana/uang akan masuk ke rekening bank pengguna.
Proses pengakuan
Pada tahap pertama, pemberi pinjaman dan peminjam harus mendaftarkan data mereka seperti KTP, Rekening Bank, Informasi Pribadi, dll.) Kelayakan kredit dihitung pada tahap ini. Setelah pengguna menyelesaikan tahap registrasi, data akan diperiksa, jika data memenuhi syarat maka sistem akan mengirimkan data ke beberapa tahap: pendahuluan dan investigasi kepatuhan, dan survei pendahuluan.
Proses persetujuan
Proses persetujuan dibagi menjadi 7 langkah. Setelah data terkirim, proses selanjutnya adalah mendapatkan persetujuan data. Platform akan menetapkan uang jaminan pembayaran dan memeriksa kepatuhan. Sistem akan menyelidiki dan memverifikasi data untuk mendapatkan pertimbangan. Jika data yang diperiksa disetujui, maka peminjam akan ditetapkan dan dapat melanjutkan ke proses selanjutnya.
III. Masalah dan solusi potensial dalam P2P pinjaman
Masalah yang dihadapi dalam P2P Lending online adalah masih adanya informasi mengenai detail pinjaman, status keuangan, status kredit, dan informasi pribadi. Tantangan lain yang dihadapi dalam pengembangan platform P2P Lending adalah kecurangan, pencucian uang, dan shadow banking.
Untuk mengatasi masalah ini, regulator diharapkan dapat merumuskan kebijakan dan aturan. Ada berbagai metode yang digunakan seperti Algoritma Machine Learning, Feature Selection, Algoritma Light GBIM, dan XGboost. Permasalahan yang terjadi selama proses P2P Lending adalah seputar proses pengembalian uang, kurangnya kemampuan risiko dan kontrol, serta rendahnya kemampuan untuk memberikan penalti berupa bunga tambahan atas keterlambatan pembayaran.
Penyedia layanan P2P Lending juga tidak membuat panduan dan metode pembayaran bagi peminjam. Asimetri informasi terjadi jika transaksi memiliki atau mengandalkan informasi yang lebih baik daripada yang lain. Dibandingkan dengan bank tradisional, pinjaman Peer-to-Peer mengklaim beberapa keuntungan bagi peminjam dan pemberi pinjaman.
Masalah kedua adalah menentukan skor peminjam dan mengevaluasi kinerja model pemeringkatan kredit. Metode yang sering digunakan seperti: Algoritma Pembelajaran Mesin, Seleksi Fitur, Penilaian Keuntungan, Matriks Skor, Sistem Pendukung Keputusan, Pohon Keputusan, Pendekatan Hybrid Random Walk, Bentuk Acak, dll.
Kelayakan kredit yang tidak valid juga menjadi masalah berikutnya. Sejak tahun 2016, berbagai artikel mengenai informasi yang tidak valid bermunculan. Moral hazard menjadi alasan utama masalah ini terjadi. Untuk mengatasi masalah ini, platform P2P Lending perlu memperbaiki prediksi skor kredit.
Masalah lainnya adalah keputusan investasi. Kejanggalan-kejanggalan seperti perilaku herding menunjukkan bagaimana investor akan berlomba-lomba melakukan aksi investasi jika mendengar isu positif dan melakukan aksi jual secara masif jika isu negatif. Masalah kelima adalah seputar regulasi dan kebijakan.
Platform pinjaman P2P mulai muncul di Cina pada tahun 2006, tetapi platform tersebut tidak diatur dengan baik. Masalah terakhir yang dihadapi oleh platform P2P Lending adalah kelayakan platform P2P Lending. Industri ini memiliki beberapa persyaratan khusus yang harus dipenuhi. Dalam solusi teknis, Platform P2P Lending harus menyediakan beberapa modul yang perlu dipahami. Pengembang P2P Lending perlu mendesain Web dan Aplikasi yang mudah dimengerti oleh pengguna.
P2P Lending perlu fokus dalam mengembangkan beberapa area untuk memberikan performa terbaik sebagai platform peminjaman. Digital Lending secara umum, sudah menciptakan pergeseran dalam sistem dan operasi mereka. Dengan menyediakan nasabah potensial yang sama, bank menjadi salah satu saingan pertumbuhan P2P Lending, bank-bank kini memperlakukan SME Lending sebagai prioritas digital.
Bank-bank telah mulai memberikan inovasi baru seperti kesempatan yang signifikan untuk meningkatkan pengalaman pelanggan dan memberikan lebih banyak produk digital untuk ditawarkan. Proposal kredit yang terdigitalisasi, mengotomatisasi tinjauan tahunan, dan mengotomatisasi agregasi data merupakan hal yang penting bagi pertumbuhan inovasi pinjaman di Bank. Jika tidak, P2P lending perlu fokus pada peningkatan manajemen risiko, digitalisasi, penggunaan teknologi, AI dalam proses KYC, dan penggunaan lebih banyak analitik.
Disadur dari: medium.com
Ekonomi dan Bisnis
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 20 Februari 2025
Gambaran umum
Indonesia berada di tengah-tengah proses transformasi digital yang tidak hanya akan membentuk kembali ekonomi, tetapi juga masyarakat. Perkiraan memproyeksikan ekonomi digital yang diperluas dapat menambah sebanyak $2,8 triliun dolar AS ke dalam perekonomian Indonesia pada tahun 2040. Sektor keuangan merupakan area terdepan untuk peluang komersial dari bisnis AS dengan indikator yang kuat.
Pada tahun 2022, terdapat total nilai transaksi e-commerce sebesar 51,9 miliar dolar AS di Indonesia. Indonesia, salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar dan tercepat di ASEAN, mengalami lonjakan yang signifikan dalam adopsi pembayaran digital. Populasi negara ini yang mencapai lebih dari 270 juta jiwa, dikombinasikan dengan meluasnya penggunaan ponsel pintar dan upaya pemerintah untuk meningkatkan inklusi keuangan, telah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan sistem pembayaran yang baru dan inovatif.
Bank Indonesia telah mewajibkan layanan pembayaran digital untuk menggunakan kode QR terstandardisasi untuk memastikan semua bank dan dompet elektronik dapat saling beroperasi. Pembayaran QR meningkat lebih dari tiga kali lipat setiap tahunnya sejak standarisasi; dan pada tahun 2022 mencapai Rp98,5 triliun.
Indonesia memiliki 22,4 juta merchant terdaftar, jauh lebih banyak dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya dan jumlah tersebut akan meningkat dua kali lipat menjadi 45 juta pada tahun 2023. Langganan broadband tetap di Indonesia dilaporkan mencapai 13,4 juta pelanggan pada tahun 2022.
Ada berbagai perusahaan FinTech Indonesia di Indonesia. Umumnya, didominasi oleh perusahaan startup, seperti pembayaran, investasi ritel, memimpin atau meminjamkan, perencanaan keuangan, crowdfunding, pengiriman uang, dan penelitian keuangan. Sektor fintech di Indonesia masih relatif aktif dalam satu tahun terakhir, meskipun terjadi penurunan pendanaan segar yang disalurkan ke sektor ekonomi digital secara global.
Menurut data yang disediakan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) Indonesia pada Desember 2022, meskipun terjadi penurunan pendanaan sebesar 60% dari tahun ke tahun untuk perusahaan rintisan digital di Asia, nilai transaksi di sektor tekfin Indonesia tumbuh sebesar 39% dari tahun ke tahun, tingkat pertumbuhan tertinggi kedua di antara negara-negara G20 selama pandemi COVID-19.
Berikut ini adalah perusahaan-perusahaan FinTech Indonesia yang paling cepat berkembang menurut sorotan keuangan IDC:
Industri fintech di Indonesia diatur oleh dua badan pemerintah, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bank Indonesia mengawasi kebijakan moneter dan ekosistem pembayaran, sementara OJK mengawasi pinjaman peer-to-peer, crowdfunding, perbankan digital, keamanan data keuangan, teknologi asuransi, dan perlindungan konsumen keuangan. Kedua lembaga ini memiliki divisi teknologi finansial dan terlibat secara teratur dengan para pemain industri dan mempertahankan strategi jangka panjang yang mendorong pengembangan sektor teknologi finansial.
Beberapa upaya sedang dilakukan untuk lebih mengembangkan sektor jasa keuangan di Indonesia, termasuk:
OJK mengimplementasikan rencana aksi nasional yang berjudul “Peta Jalan dan Rencana Aksi Inovasi Keuangan Digital 2020-2024”. Rencana ini bertujuan untuk mengembangkan ekosistem keuangan digital yang mendukung dan komprehensif untuk memastikan bahwa industri jasa keuangan kompetitif, tahan terhadap perubahan, dan sesuai untuk masa depan.
OJK juga meluncurkan “Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia (MPSJKI) 2021-2025”, yang berfokus pada peran sektor jasa keuangan dalam mendukung pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi; dan
Untuk mendukung MPSJKI 2021-2025, OJK juga merilis Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia (RP2I) 2020-2025 yang berfokus pada penguatan keunggulan kompetitif sektor jasa keuangan, mendorong penggunaan teknologi yang sedang berkembang seperti AI, mendorong kerja sama teknologi antar pelaku usaha, memajukan edukasi keuangan, dan meningkatkan regulasi, perizinan dan pengawasan melalui solusi digital.
Sub-sektor unggulan
Dompet digital uang elektronik: Nilai transaksi uang elektronik meningkat sebesar 30,84% pada tahun 2022 menjadi Rp 399,6 triliun. Berdasarkan Q1 2023, pemain utama dompet digital di Indonesia adalah GoPay, OVO, DANA, ShopeePay, LinkAja, Doku, Sakuku, i.Saku, dan Octo Mobile.
Transaksi E-Money di Indonesia dari tahun 2018-2023
Tekfin P2P Lending: Per Juli 2023, terdapat 95 perusahaan peer-to-peer (P2P) konvensional dan 7 perusahaan peer-to-peer (P2P) syariah, menurut statistik yang dikumpulkan oleh OJK. Bank Indonesia memproyeksikan bahwa uang elektronik akan tumbuh 23,9% di tahun 2023 menjadi Rp495,2 triliun dari tahun 2022.
Empat segmen utama yang berkontribusi terhadap pertumbuhan kuat sektor fintech Indonesia adalah:
Perbankan digital
Meskipun sektor perbankan digital mulai melambat pada tahun 2023 karena dampak “musim dingin pendanaan” mulai memengaruhi Indonesia, selama tahun sebelumnya, tren yang terjadi adalah lebih banyak grup tekfin dan platform digital yang mengakuisisi bank-bank Indonesia yang lebih kecil dengan tujuan untuk mengubahnya menjadi bank digital, dan kemudian melakukan penggalangan dana. Tren ini sejalan dengan kebijakan jangka panjang OJK untuk mengkonsolidasikan jumlah bank di Indonesia agar lebih mudah diatur dari sisi regulasi. Beberapa bank yang diakuisisi oleh grup fintech dan platform digital adalah bank perkreditan rakyat, bukan bank komersial.
Pembayaran digital
Penggalangan dana dan M&A di sektor pembayaran Indonesia terus berlanjut meskipun terjadi “musim dingin pendanaan” yang terjadi di yurisdiksi lain. Beberapa dari transaksi ini telah menguji peraturan pembayaran terbaru dari Bank Indonesia. Peraturan tersebut termasuk Peraturan Bank Indonesia No 22/23/PBI/2020, Peraturan Bank Indonesia No 23/6/PBI/2021 tentang Penyelenggara Jasa Pembayaran, Peraturan Bank Indonesia No 23/7/PBI/2021 tentang Penyelenggara Infrastruktur Pembayaran, dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur No 24/7/PADG/2022 yang diterbitkan pada bulan Juni 2022.
Pembiayaan digital
Pada bulan Juli 2022, OJK akhirnya mengeluarkan perubahan yang telah lama ditunggu-tunggu terhadap regulasi platform P2P. Peraturan baru ini, Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 (POJK 10/2022), mulai berlaku pada tanggal 4 Juli 2022, dan menggantikan Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 (POJK 77/2016). Ada kerja sama yang lebih kuat antara platform pinjaman P2P dan bank; ada penurunan pinjaman yang disalurkan ke sektor produktif; ada peningkatan minat dalam pembiayaan rantai pasokan; ada peningkatan aktivitas di ruang Early Wage Access (EWA) - semakin banyak platform teknologi yang bermitra dengan perusahaan untuk memungkinkan karyawan yang terakhir untuk menarik sebagian dari gaji mereka lebih awal.
Aset digital
Pada bulan Agustus 2022, Bappebti mengeluarkan peraturan baru yang memperluas daftar aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia dari 229 menjadi 383. Regulator Indonesia telah meningkatkan pengawasan dan penegakan peraturan terhadap perusahaan aset kripto, mendorong perusahaan-perusahaan ini untuk mempertimbangkan reorganisasi perusahaan.
Ada lebih banyak aktivitas yang berkaitan dengan aset digital secara lebih luas termasuk meningkatnya penggunaan token non-fungible (NFT) oleh perusahaan-perusahaan dalam kampanye pemasaran mereka, terutama untuk menarik pelanggan yang lebih muda. Omnibus Law Jasa Keuangan menetapkan bahwa pengawasan atas aset keuangan digital, termasuk aset kripto, akan dialihkan dari Bappebti ke OJK pada 12 Januari 2025. Selama masa transisi, OJK kemungkinan akan mengeluarkan peraturan lebih lanjut tentang aset digital.
Peluang
Saat ini, perusahaan-perusahaan FinTech Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Hanya dalam beberapa tahun, perusahaan-perusahaan startup fintech di Indonesia telah berkembang dari segi jumlah. Sektor fintech di Indonesia adalah salah satu industri yang menjanjikan. Indonesia adalah rumah bagi 20% dari seluruh perusahaan fintech di ASEAN dan diperkirakan akan menghasilkan pendapatan sebesar USD 8,6 miliar pada tahun 2025.
Fintech telah mengalami lonjakan yang signifikan di masa normal baru karena pandemi COVID-19. Potensi penetrasi pengguna yang lebih tinggi dan peningkatan transaksi digital yang signifikan di masa depan telah mendorong kemajuan fintech. Salah satu pendorong utama kesuksesan fintech di Indonesia adalah adopsi platform digital yang cepat. Platform-platform ini telah menyederhanakan transaksi seperti e-wallet, internet banking, dan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), yang memfasilitasi pergeseran dari aktivitas keuangan tradisional offline ke online.
Terlepas dari pertumbuhan yang mengesankan di sektor fintech, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Menurut OJK, terdapat kesenjangan sebesar 8,3% antara literasi dan inklusi keuangan di platform fintech. Hal ini menandakan bahwa beberapa individu sadar akan layanan fintech tetapi membutuhkan lebih banyak cara untuk mengaksesnya.
Antara tahun 2018-2022, pihak berwenang telah menutup 4.432 kasus pinjaman fintech ilegal, menggarisbawahi betapa seriusnya masalah ini. Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah proaktif untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut dengan mengimplementasikan Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI) untuk tahun 2021-2025. Strategi ini bertujuan untuk mencapai inklusi keuangan sebesar 90% pada tahun 2024.
Di bawah strategi ini, beberapa inisiatif telah diluncurkan, termasuk menciptakan Massive Open Online Courses (MOOC) dan menyediakan kalkulator keuangan di situs web OJK untuk menilai kesehatan keuangan dan menyusun rencana keuangan yang sehat. Para pemain fintech, termasuk perusahaan dan asosiasi, telah menyelaraskan inisiatif mereka dengan strategi SNLKI. Pemerintah dan bank sentral Indonesia dengan penuh semangat memfasilitasi sistem pembayaran digital karena pembayaran ini lebih efisien dan transparan.
Tingginya minat masyarakat terhadap transaksi digital telah memotivasi Bank Indonesia untuk terus mempercepat dan mengembangkan digitalisasi sistem pembayaran. Pemerintah Indonesia terus berupaya melakukan inovasi terkait keuangan digital. Sasarannya tidak hanya untuk masyarakat, tetapi juga untuk pemerintah di tingkat nasional dan daerah.
Salah satu inovasi yang dilakukan pemerintah adalah meluncurkan kartu kredit domestik untuk segmen pemerintah. Kartu kredit dengan branding Kartu Kredit Indonesia atau KKI ini merupakan alat pembayaran berbasis kartu kredit dengan pemrosesan di dalam negeri untuk memfasilitasi pembelian barang dan jasa oleh pemerintah pusat dan daerah.
Inovasi lain dalam industri fintech adalah peluncuran QRIS Lintas Batas antara Indonesia dengan beberapa negara ASEAN. Kolaborasi lintas batas dalam menggunakan kode QR berbasis mata uang lokal akan memudahkan pembayaran bagi masyarakat di kedua negara untuk mendukung perdagangan dan investasi.
Perluasan transaksi digital ini tidak hanya bertujuan untuk mendorong pertumbuhan transaksi, tetapi juga memperluas pangsa pasar para pelaku usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), melalui belanja online. UMKM menjadi sasaran pemerintah untuk mengembangkan transaksi digital, khususnya menggunakan QRIS. Hingga saat ini, penggunaan QRIS didominasi oleh UMKM (89%) dengan produk lokal.
Ekonomi dan Bisnis
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 20 Februari 2025
Selama pandemi COVID-19 di tahun 2020, uang elektronik (e-money) menjadi peluang yang berharga sebagai alat pembayaran. Artikel ini menggunakan penelitian empiris terhadap generasi milenial untuk mengevaluasi pertumbuhan, hambatan, dan tantangan e-money sebagai alat pembayaran baru di Indonesia.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan dua eksekutif penerbit e-money dan 23 pelanggan e-money milenial. Dengan menggunakan metode kualitatif, penelitian ini menyimpulkan bahwa strategi pengembangan e-money adalah dengan menciptakan inovasi yang dapat memberikan keamanan yang lebih kepada pengguna.
Peningkatan promosi dan cashback di toko-toko yang berafiliasi dengan produk yang diterbitkan juga merupakan strategi pengembangan yang paling populer bagi pelanggan. Kendala yang dihadapi oleh nasabah e-money antara lain adalah masalah keamanan, terbatasnya merchant, jaringan provider yang tidak stabil, dan faktor sosial-budaya (kebiasaan menggunakan metode pembayaran tunai). Tantangan bagi penerbit e-money adalah kompetitor dengan produk serupa.
1. Pendahuluan
Isu pemanasan global sudah ada sejak lama dan banyak industri yang dituntut untuk ikut serta dalam meminimalisir terjadinya pemanasan global yang berkepanjangan. Sektor keuangan menggunakan konsep green financing sebagai perwujudan dari komitmen berkelanjutan dimana tujuannya adalah untuk mendorong pembiayaan bisnis yang ramah lingkungan dan penggunaan energi bersih.
Revolusi teknologi keuangan sedang berjalan di sekitar pengembangan dengan mencari keseimbangan jangka panjang antara bahaya lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Teknologi finansial merupakan pencapaian besar dalam pembangunan ekonomi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi .
Teknologi keuangan merupakan kombinasi antara perilaku hijau dan hubungan antara keuangan dan dunia bisnis, atau keuangan dan ekologi. Saat ini, implementasi green financing di sektor perbankan adalah untuk mengurangi dampak operasional terhadap lingkungan, banyak bank yang menggunakan teknologi yang memangkas kertas dan mengurangi kebutuhan untuk datang ke kantor.
Fintech, sebagai inovasi teknologi, mempengaruhi produksi dan manajemen perusahaan dengan mengubah kondisi pinjaman melalui penyediaan layanan keuangan, sehingga tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut berdampak pada lingkungan dan ekonomi.
Implementasi strategi pertumbuhan ekonomi hijau juga menghadapi hambatan yang tidak merata setiap tahunnya, sehingga berdampak pada keberlanjutan pertumbuhan ekonomi hijau.
Salah satu produk dari perkembangan perbankan digital adalah terciptanya e-money (uang elektronik). Kebutuhan untuk mengatur e-money muncul seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju sehingga e-money tidak hanya terbatas pada kartu pembayaran saja.
Pengenalan e-money di Indonesia dimulai pada tahun 2007 yang berfungsi sebagai pengganti uang tunai yang lebih modern dan ringkas. Pengguna uang elektronik telah meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu, tetapi peningkatan ini belum sesuai dengan pertumbuhan transaksi uang elektronik.
Seiring berjalannya waktu, uang elektronik semakin populer selama pandemi COVID-19 2020. Pembatasan pergerakan masyarakat dan berkurangnya kontak langsung antara pembeli dan penjual menjadikan uang elektronik sebagai alternatif terbaik sebagai alat pembayaran untuk semua aktivitas perdagangan atau transportasi. Pandemi telah mengubah eksistensi baru untuk mengurangi risiko penularan.
Manfaat dan kemudahan penggunaan uang elektronik dapat mempengaruhi minat individu untuk menggunakan uang elektronik [9]. Uang elektronik digunakan dari berbagai kalangan di masyarakat karena menawarkan transaksi yang lebih cepat dan nyaman dibandingkan uang tunai, terutama untuk transaksi kecil, dengan menggunakan uang elektronik membuat transaksi tersebut menjadi lebih mudah dan lebih murah, menjamin keamanan dan kecepatan transaksi baik bagi konsumen maupun pedagang. Konsumen diuntungkan dengan menggunakan metode pembayaran yang murah, cepat, nyaman, mudah diakses dan dapat diandalkan, dengan tingkat risiko yang dapat diterima.
Generasi milenial merupakan pengguna e-money terbesar saat ini. Generasi milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1980-an hingga 2000-an. Generasi milenial di Indonesia merupakan pengguna e-money terbanyak, yaitu sebesar 59% dibandingkan dengan generasi lainnya. Peningkatan pengguna e-money ini bukan tanpa masalah. Infrastruktur yang masih belum merata dan koneksi internet yang kurang baik di beberapa daerah menyebabkan penyebaran e-money belum sepenuhnya terpenuhi.
Hal ini menjadi bahan evaluasi bagi bank-bank penerbit e-money untuk meningkatkan layanannya. Masalah terbesar dalam pengembangan e-money adalah manajemen risiko dan manajemen pemasaran. Risiko keamanan seperti kehilangan data nasabah, penolakan transaksi, serangan malware, dan malfungsi adalah beberapa masalah yang dapat muncul. Di sisi lain, masalah lain yang dihadapi adalah edukasi masyarakat Indonesia yang masih menggunakan uang tunai dibandingkan uang elektronik.
Beberapa hambatan yang dirasakan oleh pelanggan dan penerbit uang elektronik memerlukan investigasi lebih lanjut. Hasil dari tinjauan ini dapat membantu merumuskan strategi lain untuk pengembangan uang elektronik. Generasi milenial khususnya perlu menyadari pertumbuhan, tantangan, dan peluang uang elektronik, terutama di era pasca-korona. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara kualitatif persepsi pelanggan dan penerbit e-money mengenai pertumbuhan, tantangan, dan peluang e-money.
2. Metode
Penelitian ini menggunakan studi kualitatif berupa wawancara terstruktur dengan 25 orang. Dua di antaranya adalah manajer penerbit e-money, yaitu BRI untuk produk Brizzi dan Mandiri untuk produk e-money, dan 23 orang lainnya adalah pengguna e-money yang berusia antara 26 dan 40 tahun.
Kota Surabaya dipilih sebagai lokasi uji coba karena di Surabaya hampir semua fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Kota Surabaya menggunakan transaksi e-money, mulai dari parkir hingga transportasi. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk membantu mengungkap fenomena yang ada dari sudut pandang wisatawan yang akan memberikan temuan dan memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan.
Penelitian ini menggunakan analisis data manual dengan pendekatan agregasi. Metode ini mengharuskan Anda untuk menghitung dan menjelaskan istilah dan kata-kata yang paling penting dari catatan Anda. Untuk mendapatkan data, survei ini dilakukan dengan menggunakan wawancara semi-terstruktur. Langkah pertama dalam melakukan wawancara semi-terstruktur adalah merancang struktur pertanyaan berdasarkan tinjauan literatur dan menentukan indikator untuk setiap pertanyaan. Penelitian ini menggunakan indikator-indikator berikut untuk merumuskan pertanyaan (Tabel 1):
3. Hasil dan pembahasan
Informasi demografis responden
Terdapat 25 responden dalam survei ini. Dua dari eksekutif perusahaan penerbit e-money adalah General Manager Bank Mandiri dengan pengalaman profesional lebih dari 5 tahun dan Bank Rakyat Indonesia dengan pengalaman profesional lebih dari 3 tahun. Di sisi lain, 23 nasabah milenial yang dipilihnya memiliki rentang usia dari 26 tahun hingga 40 tahun, dengan tingkat pendidikan rata-rata SMA hingga S2, dan telah menggunakan e-money lebih dari satu tahun.
Survei dilakukan di sebuah gedung perkantoran di kawasan Basuki Rahmad, dan 23 responden merupakan karyawan yang bekerja di perusahaan yang menyewa gedung tersebut. Pelanggan milenial yang dipilih adalah 10 orang milenial junior (usia 26-33 tahun) dan 13 orang milenial senior (usia 34-40 tahun). Milenial yang disurvei adalah eksekutif junior dengan pengalaman kerja 0-3 tahun, eksekutif dengan pengalaman kerja 3-5 tahun, dan eksekutif dengan pengalaman kerja 8-10 tahun.
Untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti memberikan kode kepada setiap responden sebagai berikut: P1 mewakili manajer Bank Mandiri, P2 mewakili manajer Bank Rakyat Indonesia, K1 hingga K10 mewakili nasabah milenial yang lebih muda, dan K11 hingga K23 mewakili nasabah milenial yang lebih tua.
Disadur dari: knepublishing.com