Krisis Air

Ko-Produksi Pengetahuan untuk Aksi Kolektif: Pelajaran dari Tata Kelola Air di Pulau Öland, Swedia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Mengapa Tata Kelola Air Perlu Berbasis Dialog dan Kolaborasi

Tantangan lingkungan seperti kelangkaan air, degradasi lahan, dan perubahan iklim menuntut lebih dari sekadar kebijakan teknokratis. Diperlukan pendekatan yang memberdayakan masyarakat untuk berpikir dan bertindak bersama. Dalam konteks ini, artikel karya Carolin Seiferth, Maria Tengö, dan Erik Andersson menawarkan perspektif menarik melalui studi kasus di Pulau Öland, Swedia, yang menunjukkan bagaimana proses ko-produksi pengetahuan dapat mendorong aksi kolektif untuk mengatasi persoalan tata kelola air.

Artikel ini menekankan bahwa aksi kolektif yang inklusif dan efektif memerlukan desain proses yang disengaja dan partisipatif, khususnya ketika berhadapan dengan masalah yang kompleks dan saling terkait dalam sistem sosial-ekologis.

Latar Belakang: Krisis Air di Öland dan Warisan Tata Kelola

Pulau Öland, pulau terbesar kedua di Swedia, menghadapi masalah kekeringan serius sejak 2016. Ciri geografisnya yang datar dan tanah tipis membuat air cepat mengalir dan tidak tertahan. Perubahan iklim memperburuk kondisi ini dengan frekuensi kekeringan yang meningkat, mempengaruhi pertanian, biodiversitas, dan pariwisata. Sejak akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, Öland mengalami transformasi besar berupa pengeringan lahan basah untuk pertanian, yang menyebabkan penurunan 90% luas lahan basah dan melemahkan daya tampung air tanah.

Sistem legal yang usang—termasuk kewajiban drainase oleh kelompok pemilik lahan (drainage enterprises)—menjadi hambatan utama dalam upaya restorasi lahan basah dan konservasi air.

Tujuan dan Pendekatan Studi: Ko-Produksi Pengetahuan Tiga Arah

Penelitian ini mengembangkan rangkaian lokakarya berbasis dialog yang dirancang untuk menyatukan beragam pemangku kepentingan dan memfasilitasi aksi kolektif. Proses ini berlandaskan pada integrasi tiga jenis pengetahuan:

  1. Pengetahuan sistemik (systems knowledge): Pemahaman tentang kondisi dan penyebab masalah.
  2. Pengetahuan sasaran (target knowledge): Visi kolektif tentang masa depan yang diinginkan.
  3. Pengetahuan operasional (operational knowledge): Cara-cara dan strategi untuk mencapai perubahan.

Dengan menggunakan kerangka ini, peneliti membangun proses iteratif yang memperkuat keterlibatan aktor dalam memahami dan mengatasi masalah kekeringan di Öland.

Metodologi: Lokakarya Tiga Tahap dan Pendekatan Berbasis Tempat

Sebanyak 17 peserta dari berbagai latar belakang—petani, nelayan rekreasi, organisasi lingkungan, otoritas lokal, dan akademisi—ikut serta dalam tiga rangkaian lokakarya antara November 2022 dan Maret 2023. Proses ini terdiri dari:

  • Lokakarya 1: Pemetaan sistem sosial-ekologis dan diskusi visual lewat “mood board” tentang asosiasi pribadi dengan air.
  • Lokakarya 2: Kunjungan lapangan ke tiga lokasi penting di lanskap Öland untuk menggali pengalaman dan narasi berbasis tempat.
  • Lokakarya 3: Pemikiran skenario (Three Horizons) dan pengembangan strategi perubahan kolektif.

Hasil Utama: Empat Strategi Kolektif untuk Tata Kelola Air

1. Restorasi Fungsi Alami Lanskap Air

Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kembali level air tanah ke kondisi pra-1880 dengan menghidupkan kembali lahan basah. Restorasi ini akan mendukung pertanian berkelanjutan, pelestarian keanekaragaman hayati, dan ketersediaan air minum.

Hambatan utama:

  • Sistem birokrasi dan regulasi lama yang sulit diubah.
  • Tidak ada kompensasi finansial bagi pemilik lahan yang menyisihkan lahannya untuk manfaat ekosistem.

Solusi yang diusulkan:

  • Pilot project restorasi di lahan non-produktif,
  • Pendanaan jangka panjang,
  • Kolaborasi antara pemilik lahan, LRF, dan otoritas lokal,
  • Inovasi teknis seperti biochar, sistem irigasi cerdas, dan pengelolaan drainase fleksibel.

2. Edukasi dan Kesadaran Publik tentang Air

Melalui pameran permanen di Museum Öland, kunjungan sekolah, eksperimen interaktif, dan narasi budaya, strategi ini bertujuan menumbuhkan literasi air di masyarakat.

Beberapa ide kreatif:

  • Teater bertema “makhluk air”,
  • Serial artikel di surat kabar lokal,
  • Pelibatan universitas dan sekolah tinggi rakyat.

Tantangan:

  • Logistik dan biaya untuk mobilisasi siswa,
  • Kebutuhan koordinasi lintas sektor (pendidikan, media, pariwisata).

3. Reformasi Drainase: Menuju Sistem yang Fleksibel

Pendekatan ini menantang sistem drainase warisan abad ke-19, yang saat ini mempersulit adaptasi terhadap perubahan iklim dan kebutuhan retensi air.

Usulan perubahan:

  • Membuka ruang bagi adaptasi lokal,
  • Evaluasi internal oleh kelompok kerja lintas aktor (pemilik lahan, pemerintah lokal),
  • Digitalisasi peta drainase untuk efisiensi,
  • Pelibatan Water Council dan lembaga pendamping pertanian.

Jika berhasil, Öland bisa menjadi model nasional untuk adaptasi iklim.

4. Petani Sebagai Inovator dan Inspirator

Strategi ini menjadikan petani sebagai sumber inspirasi dan pusat eksperimen. Melalui “open farms”, petani akan berbagi praktik pengelolaan air dan diuji coba sistem baru seperti:

  • Varietas tanaman tahan kekeringan,
  • Rotasi tanaman adaptif,
  • Penggunaan air limbah terolah untuk irigasi.

Inisiatif ini juga mempertimbangkan tren diet generasi masa depan, mendukung pertanian kecil, dan mendorong kolaborasi antara petani, universitas, dan lembaga negara.

Perubahan Persepsi Aktor: Dari Umum ke Strategis

Perbandingan antara awal dan akhir lokakarya menunjukkan pergeseran signifikan dalam cara peserta memandang masalah dan solusi:

  • Awalnya, isu difokuskan pada teknis seperti penyimpanan air, irigasi, atau lahan kering.
  • Seiring waktu, muncul pemahaman tentang politik air, pentingnya nilai budaya, dan syarat perubahan kelembagaan.

Persepsi solusi juga makin matang. Jika di awal solusi masih “teknis”, pada akhirnya aktor mengusulkan strategi sistemik yang melibatkan berbagai aktor dan nilai sosial.

Kekuatan Desain Proses: Dari Pengetahuan Terisolasi ke Aksi Kolektif

Penelitian ini menunjukkan bahwa desain lokakarya yang bertahap dan interaktif:

  • Memampukan aktor menyuarakan pengetahuan yang sebelumnya diam (tacit knowledge),
  • Menyatukan persepsi yang berbeda ke dalam narasi kolektif,
  • Mendorong keterlibatan emosional dan afektif yang mengarah pada agensi kolektif.

Strategi seperti ‘place-based encounter’ dan ‘Three Horizons thinking’ menciptakan ruang aman bagi dialog, refleksi, dan penyusunan visi bersama.

Kritik dan Refleksi

Meskipun pendekatan ini sangat kuat, artikel ini juga mencatat beberapa keterbatasan:

  • Tidak ada dokumentasi audio-visual untuk mendalami dinamika diskusi.
  • Sektor pariwisata tidak terwakili langsung, padahal memiliki tekanan besar pada sistem air.
  • Proses sangat tergantung pada fasilitator dan aktor kunci; keberlanjutan strategi membutuhkan penguatan kelembagaan.

Relevansi Global: Pelajaran bagi Dunia yang Kekurangan Air

Meskipun studi ini berlokasi di Swedia, pelajarannya relevan bagi banyak wilayah—terutama di Global South—yang menghadapi tantangan air serupa. Indonesia, misalnya, memiliki konteks serupa di pulau-pulau kecil, pesisir yang rentan kekeringan, dan masyarakat adat dengan nilai lokal yang belum banyak terintegrasi ke kebijakan air.

Ko-produksi pengetahuan berbasis dialog dapat menjadi pendekatan kunci untuk:

  • Menyusun tata kelola air lintas sektor dan komunitas,
  • Menjembatani antara ilmu pengetahuan, kebijakan, dan praktik,
  • Membangun solusi berbasis nilai dan pengetahuan lokal.

Dari Dialog Menuju Transformasi Sosial-Ekologis

Artikel ini bukan hanya kontribusi akademik, tetapi juga panduan praktis untuk mengatasi kompleksitas tata kelola sumber daya alam. Dalam dunia yang terfragmentasi, proses berbasis dialog dan kolaborasi bukanlah tambahan opsional, tetapi kebutuhan mutlak untuk mencapai keberlanjutan.

Dengan mengedepankan pengetahuan sistemik, sasaran, dan operasional, serta merancang proses yang mendalam dan inklusif, tata kelola air bisa menjadi gerakan sosial yang memberdayakan masyarakat, bukan sekadar urusan teknis pemerintahan.

Sumber Artikel :

Seiferth, C., Tengö, M., & Andersson, E. (2024). Designing for collective action: a knowledge co‑production process to address water governance challenges on the island of Öland, Sweden. Sustainability Science, 19, 1623–1640. 

Selengkapnya
Ko-Produksi Pengetahuan untuk Aksi Kolektif: Pelajaran dari Tata Kelola Air di Pulau Öland, Swedia

Krisis Air

Potensi dan Implementasi Pemanfaatan Air Hujan sebagai Solusi Krisis Air Bersih di Kota Makassar

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025


Kota-kota pantai di Indonesia, khususnya Makassar, menghadapi tantangan serius dalam penyediaan air bersih akibat pertumbuhan penduduk yang pesat, perubahan tata guna lahan, dan penurunan muka air tanah. Paper berjudul Potensi Pemanfaatan Air Hujan di Kota Pantai (Penerapan di Kota Makassar) oleh M. Yahya Siradjuddin dan rekan (2017) mengangkat isu ini dengan mengkaji potensi air hujan sebagai alternatif sumber air bersih yang berkelanjutan. Dengan curah hujan tahunan yang tinggi, Makassar memiliki peluang besar untuk mengoptimalkan pemanenan air hujan sebagai solusi mengatasi keterbatasan pasokan air bersih.

Dampak Perubahan Tata Guna Lahan dan Pertumbuhan Penduduk

Pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi di Makassar menyebabkan perubahan signifikan dalam penggunaan lahan. Data menunjukkan bahwa antara 2003-2008, lahan pemukiman bertambah seluas 1.239,75 hektar (6,99%), dan pada 2008-2013 bertambah lagi 693 hektar (3,91%). Konversi lahan terbuka menjadi area terbangun ini meningkatkan koefisien limpasan permukaan (runoff) sehingga mengurangi daerah resapan air dan mempercepat penurunan muka air tanah.

Fenomena ini diperparah oleh eksploitasi air tanah yang berlebihan, menyebabkan debit air tanah menurun drastis dan mengancam keberlanjutan pasokan air bersih bagi masyarakat perkotaan. Meskipun curah hujan di Makassar cukup tinggi, potensi air hujan ini belum dimanfaatkan secara optimal karena minimnya sistem penampungan dan pengolahan air hujan di tingkat rumah tangga maupun komunitas.

Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif dan Sistem Informasi Geografis

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data primer dan sekunder melalui survei literatur, observasi lapangan, dan analisis data spasial berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Variabel yang dianalisis meliputi curah hujan, kontur topografi, kepadatan bangunan, penggunaan lahan, dan evapotranspirasi. Model Expert System berbasis SIG digunakan untuk memetakan potensi pemanenan air hujan di wilayah perkotaan Makassar yang berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS).

Potensi dan Manfaat Pemanenan Air Hujan

Pemanenan air hujan adalah teknik mengumpulkan, menyampaikan, dan menyimpan limpasan air hujan dari atap bangunan, permukaan tanah, atau area lainnya untuk digunakan sebagai sumber air bersih. Paper ini menyoroti beberapa manfaat utama pemanfaatan air hujan, antara lain:

  • Pengurangan dampak lingkungan: Menggunakan infrastruktur yang sudah ada (atap rumah, taman, tempat parkir) mengurangi kebutuhan pembangunan baru dan meminimalkan dampak ekologis.
  • Kualitas air yang relatif bersih: Air hujan yang dikumpulkan memenuhi standar air baku dengan atau tanpa pengolahan lebih lanjut.
  • Cadangan air saat darurat: Air hujan dapat menjadi sumber air alternatif saat terjadi gangguan pasokan air bersih, seperti bencana alam.
  • Pengurangan ketergantungan pada sistem air kota: Mengurangi beban pada sistem distribusi air kota dan menekan biaya operasional.
  • Konservasi air: Menghemat penggunaan air tanah dan air permukaan yang semakin terbatas.
  • Teknologi yang mudah dan fleksibel: Sistem pemanenan air hujan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal tanpa memerlukan tenaga ahli khusus.

Studi Kasus: Kota Makassar dan Potensi Pemanenan Air Hujan

Makassar memiliki curah hujan rata-rata tahunan sekitar 2.263 mm, yang tersebar cukup merata sepanjang tahun. Namun, konversi lahan terbuka menjadi area terbangun menyebabkan berkurangnya daerah resapan air. Dengan pemodelan SIG dan data curah hujan, penelitian ini menunjukkan bahwa potensi volume air hujan yang dapat dipanen sangat besar dan dapat memenuhi kebutuhan air perkotaan secara signifikan.

Sebagai contoh, di kawasan perumahan Anging Mammiri, penelitian lain menunjukkan potensi pemanenan air hujan sebesar 86.993,8 liter per hari, yang mampu memenuhi sekitar 52% dari kebutuhan air bersih harian warga (sekitar 142.500 liter/hari). Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan air hujan secara optimal dapat mengurangi ketergantungan pada air PDAM dan sumur dangkal yang sering mengalami kekeringan saat musim kemarau.

Tantangan dan Keterbatasan Sistem Pemanenan Air Hujan

Meskipun banyak manfaat, sistem pemanenan air hujan juga menghadapi beberapa kendala, antara lain:

  • Kapasitas tangkapan dan penyimpanan terbatas: Pada musim kemarau panjang, tangki penyimpanan bisa habis dan tidak ada suplai air.
  • Perawatan dan kualitas air: Sistem yang tidak dirawat dengan baik dapat menurunkan kualitas air dan menjadi tempat berkembang biaknya serangga seperti nyamuk.
  • Pengaruh terhadap pendapatan perusahaan air minum: Jika diterapkan luas, dapat mengurangi pendapatan PDAM.
  • Kurangnya regulasi dan kesadaran: Pemerintah dan masyarakat belum sepenuhnya mengadopsi dan mendukung sistem ini.
  • Faktor lokasi: Topografi, ruang, dan keberadaan utilitas bawah tanah mempengaruhi desain dan efektivitas sistem.
  • Potensi kontaminasi limpasan: Air hujan yang ditampung dari permukaan tanah bisa terkontaminasi oleh polutan.

Rekomendasi Desain dan Implementasi Sistem

Penelitian merekomendasikan dua model desain utama sistem pemanenan air hujan:

  1. Sistem dual penggunaan indoor dan outdoor: Cocok untuk daerah dengan iklim dingin, memerlukan tangki penyimpanan di bawah tanah atau ruangan beriklim terkendali untuk mencegah pembekuan.
  2. Sistem musiman untuk penggunaan outdoor: Tangki di atas atau bawah tanah yang digunakan selama musim hujan, cocok untuk daerah tropis seperti Makassar.

Pertimbangan desain lain meliputi:

  • Penempatan tangki sesuai topografi untuk meminimalkan kebutuhan pompa.
  • Penghindaran genangan air di sekitar pondasi bangunan.
  • Penyesuaian dengan keberadaan utilitas bawah tanah dan muatan kendaraan di atas tangki.

Analisis dan Opini: Relevansi dengan Tren Global dan Lokal

Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih telah menjadi tren global, terutama di negara dengan sumber air terbatas dan perubahan iklim ekstrem. Kota-kota seperti Singapura dan Australia telah mewajibkan sistem pemanenan air hujan pada bangunan baru sebagai bagian dari strategi ketahanan air dan keberlanjutan lingkungan.

Di Indonesia, khususnya Makassar, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Paper ini memberikan kontribusi penting dengan pendekatan berbasis data spasial dan analisis lokal yang konkret, sehingga dapat menjadi acuan kebijakan dan implementasi di tingkat kota.

Namun, keberhasilan pemanenan air hujan sangat tergantung pada dukungan regulasi, edukasi masyarakat, dan integrasi teknologi yang tepat guna. Pemerintah daerah perlu mendorong insentif dan regulasi yang mengakomodasi sistem ini agar dapat diadopsi secara luas.

Kesimpulan

Paper ini secara komprehensif menguraikan potensi pemanfaatan air hujan di kota pantai Makassar sebagai solusi strategis mengatasi keterbatasan pasokan air bersih akibat urbanisasi dan perubahan tata guna lahan. Dengan curah hujan yang melimpah, pemanenan air hujan dapat menjadi sumber air alternatif yang efektif, ramah lingkungan, dan ekonomis.

Manfaat utama meliputi pengurangan dampak lingkungan, peningkatan ketahanan air kota, dan konservasi sumber daya air. Namun, tantangan teknis dan sosial harus diatasi melalui perencanaan matang, regulasi, dan edukasi masyarakat.

Implementasi sistem pemanenan air hujan yang optimal dapat mengurangi beban pada sistem air kota dan membantu mengatasi krisis air bersih yang kian nyata di kawasan urban Indonesia.

Referensi Artikel Asli

M. Yahya Siradjuddin, Ananto Yudono, Arifuddin Akil, Farouk Maricar, "Potensi Pemanfaatan Air Hujan di Kota Pantai (Penerapan di Kota Makassar)," Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2017, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

Selengkapnya
Potensi dan Implementasi Pemanfaatan Air Hujan sebagai Solusi Krisis Air Bersih di Kota Makassar

Krisis Air

Pemanenan Air Hujan sebagai Solusi Krisis Air Bersih di Pesisir Jakarta Utara – Studi Kasus Kelurahan Kali Baru

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Krisis air bersih di wilayah pesisir perkotaan, khususnya Jakarta Utara, telah menjadi isu yang semakin mendesak. Air tanah di kawasan ini umumnya payau atau asin, sementara air PDAM tidak selalu terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah13. Dalam konteks inilah, inovasi pemanenan air hujan (rainwater harvesting) menjadi solusi strategis yang relevan, murah, dan ramah lingkungan untuk meningkatkan akses air bersih di kawasan padat penduduk dan pesisir134.

Studi Kasus: Implementasi Sistem Pemanenan Air Hujan di Kelurahan Kali Baru

Latar Belakang dan Permasalahan

Kelurahan Kali Baru, RW 01, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, merupakan kawasan pesisir dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan dan buruh harian lepas13. Air tanah di sini mengandung mineral tinggi sehingga terasa asin/payau, sedangkan air PAM terlalu mahal bagi sebagian besar warga1. Keterbatasan akses air bersih membuat masyarakat sangat rentan terhadap masalah kesehatan dan sanitasi.

Inisiatif Sosialisasi dan Edukasi

Tim dari Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta dan berbagai pihak lain melakukan sosialisasi sistem pemanenan air hujan pada 24 Agustus 2024, melibatkan perwakilan RT, RW, dan karang taruna setempat1. Edukasi ini bertujuan membuka wawasan warga tentang alternatif sumber air bersih selain air sumur bor dan PDAM, serta mendorong penerapan sistem penadahan air hujan di lingkungan mereka.

Ragam Sistem Pemanenan Air Hujan yang Disosialisasikan

1. Sumur Resapan

Sumur resapan adalah metode klasik yang mengalirkan air hujan dari atap melalui talang ke dalam sumur di halaman rumah. Air yang melebihi kapasitas penampungan akan disalurkan ke sumur resapan, membantu pengisian ulang air tanah dan mengurangi limpasan permukaan yang berpotensi menyebabkan banjir1. Lokasi sumur resapan harus dipilih dengan hati-hati, tidak boleh terlalu dekat dengan septik tank demi mencegah kontaminasi.

2. Kolam Retensi Dalam Tanah

Metode ini menggunakan kolam atau wadah di bawah permukaan tanah untuk menampung air hujan. Penggunaan pompa diperlukan untuk mendistribusikan air ke rumah-rumah warga. Sistem ini cocok diterapkan di lingkungan dengan lahan terbatas, meski biaya pompa menjadi pertimbangan tambahan1.

3. Kolam Retensi Permukaan

Kolam retensi di atas permukaan tanah lebih cocok untuk rumah dengan halaman luas. Air dari atap atau permukaan lain dialirkan ke kolam, lalu dipompa ke bak penampungan rumah warga. Sistem ini memudahkan akses dan pemeliharaan, namun membutuhkan ruang yang cukup1.

4. Metode Sederhana Skala Rumah Tangga

Bagi warga dengan keterbatasan lahan, metode sederhana seperti penggunaan toren, bak air, atau galon bekas sebagai wadah penampung sangat efektif14. Air hujan dialirkan dari atap melalui pipa ke wadah penampungan, lalu digunakan untuk kebutuhan domestik seperti mencuci, mandi, dan menyiram tanaman. Pelapisan atap dak dengan material anti air juga disarankan agar air hujan dapat ditampung tanpa merusak struktur bangunan.

Studi Angka dan Efektivitas: Hasil Survei dan Implementasi di Lapangan

Profil Sosial Ekonomi Warga Kali Baru

Hasil survei di 8 RW pesisir Kelurahan Kali Baru menunjukkan mayoritas kepala keluarga bekerja sebagai nelayan (30%) dan buruh harian lepas (22%)3. Jumlah penduduk mencapai 86.361 jiwa dengan 28.787 rumah tangga, dan 15.991 rumah tangga tinggal di RW yang berbatasan langsung dengan laut3. Kondisi ekonomi yang menengah ke bawah membuat alternatif air bersih menjadi kebutuhan mendesak.

Instalasi Komunal dan Skala Rumah Tangga

Program SPAH (Sistem Pemanenan Air Hujan) dari SIL UI membangun dua instalasi komunal di RW 01 dan RW 15, masing-masing berkapasitas 2.000 liter4. Di lokasi dengan lahan terbatas, tangki dipasang secara paralel (masing-masing 1.050 liter)3. Instalasi ini menggunakan bahan-bahan sederhana dan mudah didapat: tangki air, pipa, talang, dakron/kertas penyaring, dan stop kran. Sosialisasi dan pelatihan pemeliharaan dilakukan untuk memastikan keberlanjutan sistem.

Penggunaan dan Partisipasi Masyarakat

Setelah sosialisasi dan pemasangan instalasi, warga mulai rutin memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, dan kebutuhan ibadah di musala34. Survei partisipasi menunjukkan peningkatan penerimaan dan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas air hujan setelah edukasi dan demonstrasi langsung.

Kualitas dan Keamanan Air Hujan

Hasil pengujian fisikokimia air hujan dari instalasi SPAH menunjukkan bahwa air memenuhi standar baku mutu air bersih Kementerian Kesehatan RI untuk kebutuhan domestik34. Namun, kebersihan tandon dan saluran harus dijaga, terutama setelah musim kemarau, dengan membuang air pertama selama 15–20 menit untuk membersihkan saluran dari kotoran atap sebelum air ditampung4.

Analisis Nilai Tambah, Kritik, dan Potensi Replikasi

Kelebihan dan Dampak Positif

  • Solusi Ekonomis dan Inklusif: Sistem ini dapat diterapkan dengan biaya rendah dan bahan yang mudah didapat, sangat cocok untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
  • Lingkungan dan Ketahanan Air: Pemanenan air hujan membantu mengurangi eksploitasi air tanah, menambah cadangan air tanah, dan mengurangi risiko banjir dengan menahan limpasan air hujan14.
  • Peningkatan Kesehatan dan Sanitasi: Akses air bersih yang lebih baik berpotensi menurunkan angka stunting dan penyakit berbasis air di kawasan pesisir4.

Tantangan dan Kekurangan

  • Keterbatasan Lahan: Permukiman padat menyulitkan pemasangan instalasi besar, sehingga solusi komunal di fasilitas umum seperti musala dan koperasi menjadi pilihan efektif3.
  • Perawatan dan Edukasi: Keberhasilan sistem sangat bergantung pada pemeliharaan rutin dan edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan wadah dan saluran air hujan4.
  • Variabilitas Curah Hujan: Ketergantungan pada musim hujan membuat sistem ini kurang optimal saat kemarau panjang, sehingga perlu strategi kombinasi dengan sumber air lain.

Perbandingan dengan Studi dan Tren Nasional

Penelitian serupa di berbagai kota pesisir Indonesia menunjukkan bahwa pemanenan air hujan dapat meningkatkan akses air bersih hingga 30–50% di permukiman padat3. Di tingkat global, negara-negara seperti Singapura dan Australia telah menjadikan rainwater harvesting sebagai bagian dari kebijakan tata kota berkelanjutan.

Rekomendasi dan Saran Pengembangan

  • Integrasi dengan Program Pemerintah: Kolaborasi antara masyarakat, pemerintah daerah, dan lembaga pendidikan sangat penting untuk memperluas adopsi sistem ini, termasuk pemberian subsidi atau insentif alat penampungan134.
  • Inovasi Teknologi: Pengembangan filter sederhana dan sistem monitoring kualitas air dapat meningkatkan keamanan dan kenyamanan penggunaan air hujan.
  • Edukasi Berkelanjutan: Program pelatihan rutin dan sosialisasi perlu terus dilakukan untuk menjaga keberlanjutan dan meningkatkan kesadaran masyarakat.

Simulasi Dampak dan Potensi Penghematan

Jika sistem pemanenan air hujan diadopsi oleh 10% rumah tangga di Kelurahan Kali Baru (sekitar 2.800 rumah), dengan rata-rata penampungan 1.000 liter per rumah, potensi penghematan air bersih mencapai 2,8 juta liter setiap kali musim hujan. Jika diperluas ke seluruh Jakarta Utara, dampaknya akan sangat signifikan terhadap ketahanan air kota dan pengurangan beban PDAM.

Kesimpulan: Investasi Ramah Lingkungan dan Masa Depan Kota Pesisir

Pemanenan air hujan terbukti menjadi solusi praktis, murah, dan ramah lingkungan untuk mengatasi krisis air bersih di kawasan pesisir padat penduduk seperti Kelurahan Kali Baru, Jakarta Utara. Dengan dukungan edukasi, kolaborasi, dan inovasi, sistem ini dapat direplikasi di banyak kota pesisir lain di Indonesia. Selain menghemat biaya dan meningkatkan akses air bersih, pemanenan air hujan juga mendukung konservasi lingkungan dan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Denny Magni Sundara, Silsila Jana Firdasa Sembiring, Tio Rivaldi, Adji Putra Abriantoro. "Sosialisasi Sistem Pemanen Air Hujan di Kelurahan Kali Baru RW. 01." KAMI MENGABDI, VOLUME 4 NOMOR 2, November 2024, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.

Selengkapnya
Pemanenan Air Hujan sebagai Solusi Krisis Air Bersih di Pesisir Jakarta Utara – Studi Kasus Kelurahan Kali Baru

Krisis Air

Pemanenan Air Hujan untuk Meningkatkan Akses Air Bersih di Permukiman Pesisir Jakarta Utara

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Akses air bersih adalah hak dasar manusia, namun hingga kini masih menjadi tantangan besar di kawasan pesisir Jakarta Utara. Permukiman padat, urbanisasi pesat, dan intrusi air laut membuat air tanah menjadi payau, sementara air perpipaan belum menjangkau seluruh warga. Dalam situasi ini, pemanenan air hujan (rainwater harvesting) muncul sebagai solusi inovatif, murah, dan ramah lingkungan untuk meningkatkan aksesibilitas air bersih di kawasan pesisir, terutama bagi komunitas nelayan yang rentan secara ekonomi124.

Studi Kasus: Kelurahan Kalibaru, Cilincing – Potret Nyata Permasalahan dan Solusi

Profil Sosial Ekonomi dan Kebutuhan Air

Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, mengambil sampel 266 rumah tangga dari 15.991 rumah tangga di 8 RW yang berbatasan langsung dengan laut. Mayoritas kepala keluarga bekerja sebagai nelayan (30%) dan buruh harian lepas (22%). Pendapatan bulanan terbesar berada di kisaran Rp1.600.000–Rp3.000.000, jauh di bawah standar kelayakan hidup perkotaan. Pengeluaran air bersih sering kali melebihi 3% dari pendapatan rumah tangga, melampaui batas yang disarankan PBB untuk keterjangkauan air1.

Rata-rata jumlah penghuni per rumah adalah 6 jiwa, dengan kebutuhan air harian tertinggi pada keluarga nelayan (762,2 liter/rumah/hari), terutama untuk mandi dan kakus. Sementara itu, kelompok PNS/TNI memiliki kebutuhan terendah (25,2 liter/rumah/hari). Kebutuhan air bersih terbesar digunakan untuk mandi dan kakus (431,1 liter/rumah/hari), diikuti mencuci pakaian, konsumsi, dan kegiatan ekonomi seperti mencuci alat pancing1.

Sumber Air dan Kualitasnya: Realitas di Lapangan

Survei menunjukkan mayoritas warga mengandalkan dua hingga tiga sumber air untuk kebutuhan harian. Hanya 14% yang bergantung pada satu sumber, sedangkan 64% mengandalkan dua sumber, dan 21% tiga sumber. Sumber air meliputi air tanah dangkal, air PAM, air isi ulang, air dari pedagang keliling, dan air hujan. Namun, kualitas air tanah di lokasi penelitian cenderung buruk. Hasil uji laboratorium menunjukkan:

  • Air tanah: Mengandung zat padat terlarut (TDS) di atas 1.000 mg/L (kategori payau), mangan 1,065 mg/L (melebihi ambang batas), zat organik terlarut hingga 45,5 mg/L, dan total Coliform serta E. Coli melebihi baku mutu kesehatan lingkungan.
  • Air PAM dan isi ulang: Meski lebih baik, tetap ditemukan Coliform dan E. Coli pada beberapa sampel.
  • Air hujan: Setelah diuji, masih ditemukan E. Coli, meski secara fisika dan kimia memenuhi syarat air bersih untuk keperluan domestik12.

Implementasi Sistem Pemanenan Air Hujan (SPAH): Desain, Sosialisasi, dan Efektivitas

Desain dan Lokasi Instalasi

Karena keterbatasan lahan di permukiman padat, instalasi SPAH dibangun secara komunal di fasilitas umum seperti musala (RW 15) dan koperasi nelayan (RW 01). Setiap instalasi memiliki kapasitas 2.000 liter, namun di lokasi dengan ruang terbatas digunakan sistem paralel dua tangki berkapasitas 1.050 liter. Penempatan instalasi mempertimbangkan kemudahan akses, daerah tangkapan air (atap), dan kemudahan pemeliharaan2.

Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat

Setelah pemasangan SPAH, dilakukan sosialisasi dan pelatihan pemeliharaan kepada warga sekitar, pengurus musala, koperasi, dan perangkat kelurahan. Jumlah peserta antara 15–25 orang di setiap lokasi. Hasil pengamatan menunjukkan penerimaan masyarakat sangat baik; warga mulai rutin memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan domestik dan ibadah. Partisipasi dan kapital sosial menjadi kunci keberhasilan, didukung oleh adanya peran pemerintah lokal2.

Efektivitas dan Penghematan

Pemanenan air hujan secara langsung menurunkan beban pengeluaran air bersih warga. Dengan rata-rata curah hujan di Jakarta Utara sekitar 2.500–3.000 mm/tahun dan musim hujan berlangsung 8 bulan, potensi air hujan sangat besar. Jika 10% rumah tangga di Kalibaru (sekitar 1.600 rumah) memanen 1.000 liter air per hujan, potensi penghematan mencapai 1,6 juta liter per musim hujan. Ini belum termasuk pengurangan risiko banjir akibat berkurangnya limpasan air hujan ke permukaan13.

Analisis Kritis: Kelebihan, Tantangan, dan Implikasi Kebijakan

Kelebihan dan Dampak Positif

  • Solusi murah dan inklusif: Instalasi SPAH menggunakan bahan lokal, mudah diduplikasi, dan biaya investasi awal rendah, cocok untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
  • Dampak lingkungan: Mengurangi eksploitasi air tanah, memperlambat penurunan tanah, dan membantu mitigasi banjir.
  • Peningkatan kesehatan: Akses air bersih yang lebih baik dapat menurunkan risiko penyakit berbasis air dan stunting anak, terutama di komunitas pesisir134.

Tantangan dan Kekurangan

  • Kualitas air: Meski secara fisik dan kimia air hujan memenuhi syarat, masih ditemukan E. Coli pada sampel air hasil panen. Ini menuntut adanya edukasi pemeliharaan, pembersihan atap, dan penggunaan filter sederhana sebelum konsumsi12.
  • Keterbatasan lahan: Permukiman padat membatasi kapasitas instalasi. Solusi komunal di fasilitas umum menjadi pilihan, namun distribusi air ke rumah-rumah tetap perlu dioptimalkan.
  • Ketergantungan musim: Sistem sangat bergantung pada curah hujan, sehingga saat musim kemarau tetap diperlukan sumber air alternatif.
  • Faktor non-teknis: Distribusi dan kualitas air sangat dipengaruhi oleh kebijakan, dukungan pemerintah, dan dinamika politik lokal.

Studi Banding dan Tren Nasional

Penelitian serupa di pesisir Tarumajaya, Bekasi, menunjukkan bahwa air hujan mampu mencukupi kebutuhan air bersih warga jika disimpan dengan baik selama musim hujan dan dimanfaatkan di musim kering. Di Muara Angke, Jakarta, tingkat partisipasi masyarakat dalam SPAH meningkat setelah edukasi dan sosialisasi, serupa dengan temuan di Kalibaru5.

Secara global, negara-negara seperti Meksiko, Vietnam, dan Bangladesh telah membuktikan efektivitas rainwater harvesting untuk meningkatkan akses air bersih di kawasan urban dan pesisir, meski tetap menuntut pengelolaan kualitas air yang ketat1.

Rekomendasi dan Saran Pengembangan

  • Edukasi dan pelatihan: Rutin membersihkan atap dan talang, serta menggunakan filter sederhana sebelum air digunakan untuk konsumsi.
  • Dukungan kebijakan: Pemerintah daerah perlu memberikan insentif, subsidi, atau bantuan teknis untuk pembangunan SPAH, terutama di kawasan padat dan rentan.
  • Inovasi teknologi: Pengembangan sistem filtrasi murah dan efektif untuk menghilangkan bakteri patogen tanpa menambah beban biaya masyarakat.
  • Integrasi dengan urban farming: SPAH dapat dikombinasikan dengan urban farming untuk meningkatkan ketahanan pangan dan air di permukiman padat3.
  • Monitoring dan evaluasi: Perlu sistem monitoring kualitas air secara berkala dan evaluasi keberlanjutan sistem.

Simulasi Dampak dan Potensi Replikasi

Jika SPAH diterapkan di seluruh kawasan pesisir Jakarta Utara dengan 15.991 rumah tangga, potensi penghematan air bersih dan pengurangan biaya keluarga akan sangat signifikan. Selain itu, pengurangan eksploitasi air tanah akan memperlambat penurunan permukaan tanah dan mengurangi risiko banjir dan intrusi air laut, dua masalah utama di pesisir Jakarta.

Kesimpulan: SPAH sebagai Investasi Sosial dan Lingkungan Masa Depan

Penelitian ini membuktikan bahwa pemanenan air hujan adalah solusi nyata untuk meningkatkan aksesibilitas air bersih di permukiman pesisir padat seperti Kalibaru, Jakarta Utara. Dengan pendekatan berbasis komunitas, edukasi, dan dukungan kebijakan, SPAH dapat direplikasi di berbagai kota pesisir Indonesia. Selain menghemat biaya dan meningkatkan kesehatan, sistem ini juga berkontribusi pada konservasi lingkungan dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 6).

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Analissa Huwaina, Hayati Sari Hasibuan, Endrawati Fatimah. "Pemanenan Air Hujan untuk Meningkatkan Aksesibilitas Air di Permukiman Pesisir, Kasus Jakarta, Indonesia." Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 10(2), 182-198, Agustus 2022. Sekolah Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia & Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Trisakti.

Selengkapnya
Pemanenan Air Hujan untuk Meningkatkan Akses Air Bersih di Permukiman Pesisir Jakarta Utara

Krisis Air

Unraveling Pattern and Forecasting Urban Rainfall Using Time Series Analysis” – Studi Kasus Chennai, India

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Perubahan iklim global telah meningkatkan frekuensi kejadian hujan ekstrem, mengubah banjir perkotaan dari bencana langka menjadi krisis rutin di banyak kota besar dunia. Chennai, sebagai kota pesisir utama di India, menjadi contoh nyata kota yang sangat bergantung pada musim hujan namun juga sangat rentan terhadap variabilitas dan ekstremitas curah hujan. Dalam konteks inilah, paper karya M. Manoprabha dan Joel Jossy dari Central University of Tamil Nadu menjadi sangat relevan, karena menawarkan pendekatan data-driven untuk memahami pola dan memprediksi curah hujan perkotaan dengan presisi tinggi menggunakan analisis deret waktu dan teknik machine learning13.

Tujuan dan Kontribusi Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi metode peramalan paling efektif untuk data curah hujan musiman yang sangat fluktuatif, dengan fokus pada data bulanan Chennai selama lebih dari satu abad (1901–2021). Kontribusi utamanya adalah integrasi teknik clustering (pengelompokan) dengan model peramalan deret waktu, sehingga mampu menangkap pola musiman dan tren jangka panjang yang tersembunyi dalam data curah hujan kota13.

Studi Kasus: Chennai dan Tantangan Curah Hujan Ekstrem

Latar Belakang

Chennai memiliki iklim tropis basah dan kering, dengan ketergantungan tinggi pada musim monsun untuk kebutuhan air dan pertanian. Namun, variabilitas curah hujan – mulai dari banjir besar hingga kekeringan berkepanjangan – menimbulkan tantangan besar bagi perencanaan kota, mitigasi bencana, dan pengelolaan sumber daya air15. Kota ini mencatat rata-rata curah hujan tahunan sekitar 1220 mm, dengan sebagian besar hujan turun selama musim monsun timur laut (Oktober–Desember)5.

Metodologi: Kombinasi Clustering dan Model Peramalan Deret Waktu

1. Pengumpulan dan Visualisasi Data

Data curah hujan bulanan Chennai dari 1901 hingga 2021 diunduh dari sumber terbuka dan divalidasi untuk memastikan kelengkapan dan akurasi2. Visualisasi awal data menampilkan fluktuasi curah hujan yang sangat nyata, dengan periode kelimpahan dan kekeringan yang berulang secara musiman dan dekadal13.

2. Clustering Pola Musiman

Teknik K-means clustering diterapkan pada komponen musiman data untuk mengelompokkan pola curah hujan yang serupa. Hasilnya, data terbagi menjadi tujuh cluster yang masing-masing merepresentasikan rezim curah hujan berbeda, mulai dari pola rendah, sedang, hingga ekstrem1.

  • Cluster 2: Rata-rata curah hujan hanya 7,64 mm, menandakan musim kering ekstrem.
  • Cluster 6: Rata-rata curah hujan 817,22 mm, mencerminkan musim hujan sangat lebat.
  • Cluster lain: Mewakili variasi antara kedua ekstrem tersebut, dengan distribusi data yang relatif seimbang.

Clustering ini sangat berguna untuk mengidentifikasi periode risiko tinggi banjir atau kekeringan, serta membantu perencanaan infrastruktur berbasis data.

3. Perbandingan Tiga Model Peramalan

Penelitian ini membandingkan tiga model utama:

  • SARIMA (Seasonal Auto-Regressive Integrated Moving Average): Model statistik klasik yang mengakomodasi komponen musiman dan non-musiman.
  • STL Decomposition (Seasonal-Trend decomposition using LOESS): Memisahkan komponen tren, musiman, dan residual menggunakan regresi lokal.
  • Seasonal Naïve Forecasting: Menggunakan data musim sebelumnya sebagai prediksi untuk musim berikutnya.

Kinerja model dievaluasi menggunakan tiga metrik utama:

  • Mean Absolute Error (MAE)
  • Root Mean Squared Error (RMSE)
  • Mean Absolute Scaled Error (MASE)

Hasilnya:

  • STL decomposition unggul dengan MAE 67,99, RMSE 125,03, dan MASE 0,67.
  • SARIMA dan Seasonal Naïve tertinggal dengan error yang lebih tinggi, membuktikan keunggulan STL decomposition dalam menangkap pola musiman yang kompleks dan non-linear13.

Studi Kasus Angka dan Temuan Kunci

Analisis Cluster

Dari 1450 data bulanan:

  • Cluster 2 (musim kering): 43,87% data, rata-rata 7,64 mm.
  • Cluster 6 (musim hujan ekstrem): 9,71% data, rata-rata 817,22 mm.
  • Cluster 1 (musim sedang): 15,43% data, rata-rata 127,61 mm.

Distribusi ini menegaskan bahwa Chennai lebih sering mengalami musim kering, namun tetap memiliki risiko tinggi hujan ekstrem yang berpotensi menimbulkan banjir besar.

Validasi Model dan Konsistensi Pola

Setelah dilakukan peramalan menggunakan STL decomposition untuk periode 2011–2021, hasil prediksi dibandingkan dengan data aktual. Nilai Adjusted Rand Index (ARI) sebesar 0,95 menunjukkan konsistensi tinggi antara pola cluster aktual dan hasil peramalan, membuktikan bahwa model ini sangat efektif dalam menangkap pola musiman jangka panjang13.

Implikasi Praktis dan Nilai Tambah

Untuk Perencana Kota dan Mitigasi Bencana

  • Identifikasi Pola Risiko: Dengan tujuh cluster pola hujan, perencana kota dapat mengembangkan strategi drainase, penyimpanan air, dan mitigasi banjir yang disesuaikan dengan rezim curah hujan spesifik.
  • Prediksi Musiman Akurat: STL decomposition memungkinkan prediksi curah hujan musiman yang lebih presisi, membantu pengambilan keputusan berbasis data untuk kesiapsiagaan bencana.

Untuk Industri dan Inovasi

  • Replikasi di Kota Lain: Metodologi ini dapat diterapkan di kota-kota lain di Asia Tenggara yang memiliki karakteristik musiman serupa, termasuk Jakarta, Surabaya, atau Bangkok.
  • Integrasi dengan Smart City: Hasil prediksi dapat diintegrasikan dengan sistem peringatan dini berbasis IoT untuk manajemen banjir dan distribusi air kota.

Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian lain di Chennai mengonfirmasi bahwa curah hujan harian dan mingguan memiliki perilaku chaotic, sehingga prediksi jangka pendek sangat menantang5. Namun, dengan pendekatan STL decomposition dan clustering, prediksi musiman dan tahunan menjadi jauh lebih andal dan informatif.

Kritik dan Batasan Penelitian

  • Resolusi Data: Penelitian menggunakan data bulanan, sehingga kurang sensitif untuk mendeteksi kejadian ekstrem harian seperti banjir kilat. Studi lanjutan menggunakan data harian atau jam-jaman akan meningkatkan akurasi prediksi ekstrem.
  • Faktor Eksternal: Model tidak secara eksplisit mengakomodasi perubahan tata guna lahan, urbanisasi, atau intervensi manusia lain yang dapat memengaruhi pola curah hujan lokal.
  • Generalisasi: Meskipun sangat efektif untuk Chennai, model perlu diuji di wilayah lain dengan karakteristik iklim berbeda untuk memastikan generalisasi metodologi.

Rekomendasi dan Saran Pengembangan

  • Integrasi Data Resolusi Tinggi: Menggabungkan data harian/jam-jaman dan data satelit untuk meningkatkan deteksi anomali dan prediksi ekstrem.
  • Kolaborasi Lintas Disiplin: Mengintegrasikan model hidrologi dan urban planning untuk solusi mitigasi banjir yang lebih komprehensif.
  • Edukasi dan Advokasi: Pemerintah kota perlu memanfaatkan hasil penelitian ini untuk merancang kebijakan berbasis data dan meningkatkan kesadaran publik tentang risiko iklim.

Simulasi Dampak: Bagaimana Prediksi Ini Bisa Menyelamatkan Kota?

Jika sistem prediksi berbasis STL decomposition dan clustering ini diadopsi secara luas:

  • Kesiapsiagaan banjir meningkat: Kota dapat mengantisipasi musim hujan ekstrem dan menyiapkan infrastruktur drainase serta sistem peringatan dini.
  • Pengelolaan air lebih efisien: Prediksi musim kering membantu perencanaan distribusi air dan konservasi sumber daya air kota.
  • Pengurangan kerugian ekonomi: Dengan prediksi yang lebih akurat, kerugian akibat banjir atau kekeringan dapat ditekan secara signifikan.

Kesimpulan: Menjawab Tantangan Urbanisasi dan Iklim dengan Data

Penelitian ini membuktikan bahwa integrasi clustering dan STL decomposition adalah pendekatan paling efektif untuk memahami dan memprediksi pola curah hujan musiman yang kompleks di kota besar seperti Chennai. Dengan MAE hanya 67,99 mm dan RMSE 125,03 mm, model ini menawarkan akurasi tinggi yang sangat dibutuhkan untuk perencanaan kota berkelanjutan dan mitigasi risiko iklim. Metodologi ini sangat relevan untuk kota-kota di Asia Tenggara yang menghadapi tantangan serupa, dan dapat menjadi fondasi bagi pengembangan sistem prediksi cuaca perkotaan berbasis data di masa depan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

M. Manoprabha dan Joel Jossy. "Unraveling Pattern and Forecasting Urban Rainfall Using Time Series Analysis." International Journal of Advanced Research (IJAR), Vol. 13(03), 1061-1072, Maret 2025. Department of Statistics and Applied Mathematics, Central University of Tamil Nadu, Thiruvarur.

Selengkapnya
Unraveling Pattern and Forecasting Urban Rainfall Using Time Series Analysis” – Studi Kasus Chennai, India

Krisis Air

Analisis Kelayakan Air Hujan untuk Kebutuhan Domestik di Desa Plosobuden, Lamongan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Ketersediaan air bersih di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan seperti Desa Plosobuden, Lamongan, semakin terancam oleh perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan eksploitasi air tanah yang berlebihan. Situasi ini mendorong pencarian solusi alternatif yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang kini mendapat perhatian adalah pemanfaatan air hujan melalui sistem pemanenan air hujan (rainwater harvesting). Paper karya Eko Sutrisno dan Jazilah dari Universitas Islam Majapahit ini mengupas tuntas potensi, kualitas, dan kelayakan pemanfaatan air hujan untuk kebutuhan domestik di Desa Plosobuden, serta tantangan implementasinya di tingkat masyarakat.

Studi Kasus: Desa Plosobuden, Lamongan – Potret Keterbatasan dan Peluang

Latar Belakang dan Permasalahan

Desa Plosobuden, khususnya Dusun Buden, menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Air tanah di wilayah ini cenderung asin, sehingga saat musim kemarau warga sering mengalami kelangkaan air. Solusi yang selama ini dilakukan adalah menampung air hujan ke dalam sumur gali untuk menurunkan kadar keasinan air saat kemarau. Namun, keterbatasan biaya membuat pembangunan tandon air hujan belum merata.

Padahal, wilayah ini memiliki curah hujan tahunan yang cukup tinggi, rata-rata 1501–2000 mm per tahun, sehingga potensi air hujan sangat besar namun belum dioptimalkan17. Ini menjadi alasan utama mengapa penelitian ini penting dilakukan.

Metodologi: Tinjauan Sistematis dan Analisis Multiaspek

Penelitian ini menggunakan Systematic Literature Review (SLR) untuk menganalisis aspek kuantitas, kualitas, serta sosial-ekonomi dan lingkungan dari pemanfaatan air hujan. Data dikumpulkan dari literatur internasional dan nasional, serta survei lapangan di Desa Plosobuden. Fokus utama adalah menilai kelayakan air hujan sebagai sumber air domestik, mulai dari potensi penampungan, kualitas air, hingga persepsi masyarakat1.

Potensi Kuantitas: Berapa Banyak Air Hujan yang Bisa Dimanfaatkan?

Perhitungan Potensi Air Hujan

Dengan luas atap rata-rata 50 m² per rumah tangga dan koefisien limpasan 0,8 (untuk atap genteng), setiap rumah di Dusun Buden dapat menampung 63,3 hingga 85 m³ air hujan per tahun. Jika terdapat 200 rumah tangga, maka potensi air hujan yang dapat dikumpulkan mencapai 12.660 hingga 17.000 m³ per tahun1.

Angka ini sangat signifikan. Sebagai ilustrasi, untuk memenuhi kebutuhan air bersih satu keluarga (4 orang) selama 90 hari musim kemarau, dibutuhkan sekitar 7.200 liter (atau 7,2 m³). Dengan kapasitas tandon 1.000 liter, satu keluarga perlu menyiapkan sekitar 8 tandon untuk mencukupi kebutuhan selama kemarau1.

Kualitas Air Hujan: Apakah Aman untuk Kebutuhan Domestik?

Hasil Analisis Kualitas

Air hujan secara alami sangat murni, namun kualitasnya bisa terpengaruh oleh polusi udara dan lingkungan sekitar. Rata-rata pH air hujan di Desa Plosobuden berkisar antara 5,5–7,0, masih dalam batas aman untuk kebutuhan domestik setelah melalui proses filtrasi sederhana1. Kandungan logam berat seperti Pb dan Cd rendah di pedesaan, jauh di bawah ambang batas kualitas air domestik.

Namun, tantangan utama adalah kontaminasi mikroba, terutama bakteri Coliform. Penelitian di Desa Plosobuden menunjukkan bahwa air hujan dari penampungan dengan konstruksi atas memiliki kandungan Coliform yang lebih rendah dibandingkan penampungan bawah tanah atau kombinasi atas-bawah. Pada beberapa kasus, kandungan Coliform masih melebihi standar baku mutu 50/100 ml menurut Permenkes No. 416/Menkes/Per/IX/1990, khususnya pada PAH bawah tanah26. Jenis bakteri yang ditemukan meliputi Escherichia coli, Klebsiella sp., Enterobacter sp., dan Salmonella sp.6.

Implikasi Kesehatan

Kandungan Coliform yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pencernaan hingga iritasi mata, terutama jika air digunakan untuk mandi atau wudhu. Oleh karena itu, penting untuk melakukan filtrasi dan desinfeksi sebelum air hujan digunakan untuk kebutuhan domestik, terutama konsumsi langsung26.

Efisiensi Sistem Penampungan Air Hujan (SPAH): Komponen dan Praktik Terbaik

Sistem penampungan air hujan terdiri dari beberapa komponen utama:

  • Atap penampung: Semakin luas dan bersih, semakin tinggi efisiensi penangkapan air.
  • Talang air/gutter: Harus rutin dibersihkan agar tidak tersumbat.
  • Filter awal: Mengurangi kotoran dan partikel sebelum air masuk ke tandon.
  • Tangki penyimpanan: Kapasitas 500–2.000 liter, sebaiknya dari bahan tahan karat dan tertutup rapat.
  • Pompa (opsional): Untuk distribusi air ke dalam rumah jika dibutuhkan tekanan lebih tinggi15.

Efisiensi sistem dapat mencapai 90% jika semua komponen terpelihara dengan baik dan atap menggunakan material yang tidak berpori1.

Persepsi dan Dukungan Masyarakat: Kunci Keberhasilan Implementasi

Survei terhadap 200 rumah tangga di Dusun Buden menunjukkan bahwa 85% warga bersedia memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan domestik. Dukungan ini didorong oleh kebutuhan akan sumber air alternatif dan pengalaman krisis air tanah. Namun, 45% responden masih khawatir terhadap risiko kontaminasi selama penyimpanan, terutama jika tandon tidak dirawat dengan baik1.

Dukungan masyarakat akan meningkat jika ada bantuan atau subsidi dari pemerintah untuk pembangunan SPAH. Kolaborasi antara warga, pemerintah desa, dan pihak terkait sangat penting untuk keberlanjutan program ini1.

Analisis Ekonomi: Investasi, Efisiensi, dan Balik Modal

Biaya pemasangan sistem pemanenan air hujan relatif terjangkau, dengan waktu pengembalian modal rata-rata 3–5 tahun. Penghematan diperoleh dari berkurangnya pembelian air bersih atau pengeluaran untuk air galon selama musim kemarau15. Selain itu, sistem ini tidak memerlukan energi listrik besar, sehingga sangat efisien untuk rumah tangga pedesaan9.

Dampak Lingkungan dan Keberlanjutan

Penerapan SPAH memberikan dampak positif pada:

  • Konservasi air tanah: Mengurangi eksploitasi air tanah dan mencegah intrusi air laut di wilayah pesisir.
  • Pengurangan risiko banjir: Menyerap air hujan yang berlebih dan mengurangi limpasan.
  • Stabilitas ekosistem: Menjaga keseimbangan lingkungan dan mencegah penurunan muka tanah139.

Selain itu, SPAH mendukung pencapaian SDGs, khususnya target akses universal terhadap air bersih dan sanitasi (SDG 6)1.

Studi Banding dan Tren Nasional

Penelitian di Yogyakarta menunjukkan bahwa sistem pemanenan air hujan dapat memenuhi hingga 80% kebutuhan air domestik jika 50–75% luas atap dimanfaatkan secara optimal4. Di Balikpapan, keberlanjutan sistem ini sangat dipengaruhi oleh kualitas air tanah, ketersediaan dana, dan kolaborasi antar pemangku kepentingan8. BMKG juga menegaskan bahwa pemanenan air hujan adalah solusi strategis jangka panjang menghadapi krisis air akibat perubahan iklim37.

Tantangan dan Rekomendasi

Tantangan Utama

  • Kontaminasi mikrobiologis: Perlu edukasi rutin mengenai perawatan tandon dan sistem filtrasi.
  • Variabilitas curah hujan: Sistem harus dirancang fleksibel agar mampu menyimpan air cukup saat musim hujan untuk digunakan di musim kemarau.
  • Keterbatasan dana: Perlu insentif dan dukungan pemerintah agar masyarakat mampu membangun SPAH yang layak13.

Rekomendasi

  • Edukasi masyarakat: Penting untuk meningkatkan pemahaman teknis dan manfaat lingkungan dari SPAH.
  • Regulasi dan insentif: Pemerintah daerah perlu menetapkan kebijakan pendukung, seperti subsidi tandon atau pelatihan teknis.
  • Inovasi teknologi: Integrasi dengan sistem filtrasi canggih dan sensor kualitas air untuk meningkatkan keamanan dan efisiensi15.

Kesimpulan: SPAH, Investasi Masa Depan Desa Tangguh Air

Studi di Desa Plosobuden membuktikan bahwa air hujan adalah sumber air bersih yang layak, efisien, dan berkelanjutan untuk kebutuhan domestik. Dengan potensi hingga 85 m³ per rumah per tahun, kualitas air yang baik setelah filtrasi, dan waktu balik modal yang singkat, SPAH sangat layak diadopsi di desa-desa dengan keterbatasan air tanah. Kunci keberhasilan ada pada edukasi, kolaborasi, dan dukungan kebijakan. Jika diimplementasikan secara luas, SPAH dapat menjadi solusi strategis menghadapi krisis air bersih dan perubahan iklim di Indonesia.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Eko Sutrisno, Jazilah. "Analisa Kualitas Air Hujan untuk Keperluan Domestik di Desa Plosobuden, Deket, Lamongan." Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Islam Majapahit. Diterima 31 Desember 2024, tersedia online 8 Januari 2025.

Selengkapnya
Analisis Kelayakan Air Hujan untuk Kebutuhan Domestik di Desa Plosobuden, Lamongan
page 1 of 5 Next Last »