Kesehatan Masyarakat

Drowning di Indonesia: Tantangan, Data, dan Solusi Berbasis Promosi Kesehatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 16.000 pulau, dikelilingi lautan dan sungai, serta kerap dilanda bencana hidrometeorologi. Namun, di balik keindahan alamnya, Indonesia menyimpan ancaman laten: kematian akibat tenggelam (drowning). Paper “Fatal drowning in Indonesia: understanding knowledge gaps through a scoping review” karya Muthia Cenderadewi dkk. (2023) membedah secara kritis epidemiologi, faktor risiko, dan efektivitas upaya pencegahan drowning di Indonesia. Artikel ini akan mengulas temuan utama, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta mengaitkannya dengan tren global dan tantangan nyata di lapangan.

Drowning: Masalah Kesehatan Publik yang Terabaikan

Fakta Global dan Posisi Indonesia

  • Drowning adalah penyebab kematian ketiga akibat cedera tidak disengaja di dunia, setelah kecelakaan lalu lintas dan jatuh.
  • Sekitar 91% kematian akibat drowning terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs), dengan Asia Tenggara menyumbang 35% kasus global.
  • Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan populasi keempat terbesar di dunia, sangat rentan terhadap drowning, baik akibat kecelakaan, bencana, maupun kecelakaan transportasi air.

Tantangan Khusus Indonesia

  • Geografi ekstrem: Ribuan pulau, garis pantai panjang, sungai besar, dan curah hujan tinggi.
  • Bencana hidrometeorologi: Banjir, siklon, dan gelombang pasang sering terjadi.
  • Transportasi air: Banyak masyarakat bergantung pada kapal, perahu, dan aktivitas maritim.

Data Drowning di Indonesia: Masih Gelap dan Terfragmentasi

Minimnya Data Nasional

Salah satu temuan utama paper ini adalah ketiadaan sistem data nasional yang terkoordinasi untuk drowning. Data yang ada sangat terbatas, tersebar di laporan forensik rumah sakit, laporan kecelakaan kapal, dan laporan evakuasi SAR. Tidak ada integrasi dengan sistem registrasi kematian nasional, surveilans kesehatan, atau data kepolisian.

Studi Kasus dan Angka-angka Penting

  • Bali (2010–2014): 209 kematian akibat drowning, dengan rata-rata 1,73 per 100.000 penduduk per tahun.
  • Sulawesi Utara (2007–2011): 15 kematian, rata-rata 0,18 per 100.000 penduduk per tahun.
  • Kecelakaan kapal (2014–2017): 15 insiden besar, 121 korban meninggal, 97 hilang.
  • Kecelakaan kapal nelayan di Jawa Tengah (2006–2008): 61 insiden, 68 korban meninggal/hilang, dengan fatality rate 115 per 100.000 nelayan per tahun.
  • Banjir dan bencana hidrometeorologi (1815–2023): 13.927 kejadian banjir, 22.476 korban meninggal, 8.195 hilang.

Keterbatasan Data

  • Data hanya mencakup kasus yang sampai ke rumah sakit rujukan atau dilaporkan ke otoritas.
  • Tidak ada data dari surveilans kesehatan masyarakat, registrasi kematian, atau laporan media yang terintegrasi.
  • Potensi under-reporting sangat tinggi, terutama di daerah terpencil dan rural.

Faktor Risiko Drowning di Indonesia: Siapa yang Paling Rentan?

Karakteristik Sosiodemografi

  • Jenis kelamin: Laki-laki mendominasi korban drowning (80–85% kasus di Bali dan Sulawesi Utara).
  • Usia: Dewasa (≥20 tahun) menyumbang 85–88% kasus, anak-anak hanya 12–15%.
  • Kewarganegaraan: Di Bali, proporsi korban antara WNI dan WNA hampir seimbang, mencerminkan tingginya wisatawan asing.

Faktor Lingkungan dan Perilaku

  • Lokasi kejadian: Mayoritas kasus terjadi di laut terbuka (53–69%), diikuti kolam renang, sungai, dan rawa.
  • Musiman: Kecelakaan kapal nelayan meningkat saat musim hujan (November–Februari).
  • Kondisi geografis: Daerah dataran rendah dan sungai padat lebih rawan banjir dan drowning.
  • Perilaku berisiko: 20% korban di Bali terdeteksi alkohol dalam darah saat autopsi.
  • Pengetahuan rendah: Sebagian besar masyarakat pesisir memiliki pengetahuan minim tentang pertolongan pertama korban tenggelam.

Faktor Teknis dan Regulasi

  • Kecelakaan kapal: 33% akibat cuaca buruk, 33% akibat kelebihan muatan, 13% tabrakan, 28% tenggelam, 37% kebakaran.
  • Kepatuhan rendah: 70% kapal nelayan tidak memenuhi standar keselamatan (life jacket, pelampung, alat pemadam).
  • Kru tidak terlatih: 84% awak kapal hanya lulusan SD, tidak memenuhi syarat pelatihan keselamatan dasar.

Studi Kasus: Drowning di Bali dan Kecelakaan Kapal Nelayan

Bali: Wisata Bahari dan Risiko Drowning

  • 209 kematian (2010–2014): 54,9% WNI, 45,1% WNA.
  • Lokasi: 69% di pantai, 13% kolam renang, 13% sungai.
  • Usia: 87,9% dewasa, 12,1% anak-anak.
  • Jenis kelamin: 84,6% laki-laki.
  • Faktor risiko: Alkohol, kurangnya pengawasan, pengetahuan rendah tentang pertolongan pertama.

Jawa Tengah: Kecelakaan Kapal Nelayan

  • 61 insiden (2006–2008): 68 korban meninggal/hilang.
  • Penyebab utama: Cuaca buruk, kapal kelebihan muatan, alat keselamatan tidak memadai.
  • Kepatuhan: 70% kapal tidak memenuhi standar keselamatan.
  • Kru: 84% hanya lulusan SD, tidak pernah ikut pelatihan keselamatan.

Upaya Pencegahan: Masih Didominasi Edukasi Individual

Analisis Kerangka Health Promotion

Paper ini menggunakan Health Promotion Framework (Talbot & Verrinder, 2017) untuk menilai intervensi pencegahan drowning di Indonesia:

  • Pendekatan medis/individual: Informasi kesehatan, pelatihan pertolongan pertama, edukasi CPR.
  • Pendekatan perilaku: Edukasi masyarakat pesisir, nelayan, kelompok sadar wisata, dan pelatihan BLS.
  • Pendekatan sosial-lingkungan: Masih sangat terbatas, hanya beberapa inisiatif pelatihan water rescue berbasis komunitas.

Studi Intervensi

  • Pelatihan CPR dan BLS: Meningkatkan pengetahuan jangka pendek, tapi belum dievaluasi dampak jangka panjang.
  • Pembentukan kelompok water rescue: Ada di Bengkulu dan Gresik, namun belum ada evaluasi efektivitas.
  • Kampanye nasional: Kementerian Kesehatan mulai mengembangkan strategi nasional pencegahan drowning dan awareness campaign untuk anak sekolah.

Kelemahan Intervensi

  • Terlalu fokus pada individu: Mayoritas intervensi berupa edukasi, belum menyentuh perubahan struktural, regulasi, atau penguatan komunitas.
  • Minim evaluasi dampak: Hampir semua studi hanya mengukur pengetahuan, bukan perubahan perilaku atau penurunan insiden drowning.
  • Kurangnya intervensi berbasis kebijakan: Hanya satu laporan yang membahas pengembangan strategi nasional dan koordinasi lintas sektor.

Analisis Kritis: Kesenjangan Data, Kebijakan, dan Praktik

Kekuatan Studi

  • Scoping review komprehensif: Menggabungkan data peer-reviewed, grey literature, dan laporan pemerintah.
  • Analisis multi-level: Menggunakan kerangka promosi kesehatan untuk menilai efektivitas intervensi.

Kelemahan dan Tantangan

  • Data drowning sangat terbatas: Tidak ada data nasional terintegrasi, hanya data rumah sakit dan laporan kecelakaan.
  • Under-reporting tinggi: Banyak kasus tidak tercatat, terutama di daerah rural dan pesisir.
  • Kurangnya riset faktor risiko: Tidak ada studi yang melaporkan risk ratio atau odds ratio, hanya proporsi deskriptif.
  • Minim intervensi berbasis komunitas dan kebijakan: Hampir semua upaya masih berupa edukasi individual.

Implikasi Kebijakan

  • Perlu sistem data nasional: Integrasi data kematian, surveilans kesehatan, laporan SAR, dan media.
  • Penguatan regulasi dan enforcement: Standarisasi alat keselamatan kapal, pelatihan wajib untuk kru, dan audit rutin.
  • Pendekatan multi-sektor: Kolaborasi Kemenkes, Kemenhub, BNPB, SAR, dan pemerintah daerah.
  • Edukasi berbasis komunitas: Libatkan masyarakat lokal dalam pemantauan, pelatihan, dan advokasi keselamatan air.

Perbandingan dengan Negara Lain dan Tren Global

Studi Bangladesh: Model Intervensi Komunitas

  • Crèche (tempat penitipan anak): Terbukti menurunkan drowning pada anak usia 1–4 tahun secara signifikan.
  • Pelatihan berenang: Efektif menurunkan risiko drowning pada anak usia 6 tahun ke atas.
  • Skalabilitas: Intervensi berbasis komunitas dan regulasi lebih efektif dibanding edukasi individual semata.

Tren Global

  • WHO mendorong strategi nasional drowning prevention berbasis data, regulasi, dan intervensi multi-level.
  • Negara maju sudah mengintegrasikan edukasi, regulasi, dan teknologi (aplikasi peringatan dini, pelampung otomatis, dsb).
  • Negara berkembang mulai mengadopsi model intervensi komunitas dan penguatan sistem data.

Rekomendasi Praktis untuk Indonesia

  • Bangun sistem data nasional drowning: Integrasi data kematian, surveilans kesehatan, laporan SAR, dan media.
  • Perkuat regulasi dan enforcement: Standarisasi alat keselamatan kapal, pelatihan wajib untuk kru, dan audit rutin.
  • Kembangkan intervensi komunitas: Pelatihan water rescue, crèche untuk anak, dan pelatihan berenang massal.
  • Edukasi berbasis komunitas: Libatkan masyarakat lokal dalam pemantauan, pelatihan, dan advokasi keselamatan air.
  • Evaluasi dampak intervensi: Ukur perubahan perilaku, penurunan insiden, dan efektivitas jangka panjang.
  • Kolaborasi multi-sektor: Kemenkes, Kemenhub, BNPB, SAR, dan pemerintah daerah harus bersinergi.

Opini: Menuju Indonesia Bebas Drowning, Mungkinkah?

Paper ini menegaskan bahwa drowning adalah masalah kesehatan publik yang masih terabaikan di Indonesia. Ketiadaan data nasional, minimnya riset faktor risiko, dan dominasi intervensi edukasi individual menjadi tantangan utama. Namun, peluang perbaikan sangat besar: Indonesia bisa belajar dari negara lain yang sukses menurunkan angka drowning melalui intervensi komunitas, regulasi ketat, dan sistem data yang kuat.

Transformasi pencegahan drowning di Indonesia harus dimulai dari penguatan data, regulasi, dan pemberdayaan komunitas. Edukasi tetap penting, tapi harus diimbangi dengan perubahan struktural dan kolaborasi lintas sektor. Dengan komitmen bersama, Indonesia bisa menurunkan angka kematian akibat drowning dan menjadi model bagi negara kepulauan lain di dunia.

Kesimpulan: Drowning Prevention sebagai Pilar Kesehatan Publik Indonesia

Drowning di Indonesia adalah masalah besar yang selama ini kurang mendapat perhatian. Paper ini membuktikan bahwa tanpa data yang kuat, riset faktor risiko yang memadai, dan intervensi berbasis komunitas serta kebijakan, upaya pencegahan akan selalu tertinggal. Indonesia harus segera membangun sistem data nasional, memperkuat regulasi, dan mengembangkan intervensi berbasis komunitas untuk menurunkan angka kematian akibat drowning. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi berbasis bukti adalah kunci menuju Indonesia yang lebih aman dari ancaman tenggelam.

Sumber asli:
Cenderadewi, M., Devine, S. G., Sari, D. P., & Franklin, R. C. (2023). Fatal drowning in Indonesia: understanding knowledge gaps through a scoping review. Health Promotion International, 38(5), 1–22.

Selengkapnya
Drowning di Indonesia: Tantangan, Data, dan Solusi Berbasis Promosi Kesehatan

Kesehatan Masyarakat

Menguak Potret Kesehatan Masyarakat Banten: Temuan Penting Riskesdas 2007

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 19 Mei 2025


Pendahuluan

Laporan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 merupakan tonggak penting dalam peta kesehatan nasional Indonesia. Laporan ini tidak hanya menyajikan data mentah, melainkan menggambarkan realita kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Dalam edisi Provinsi Banten, laporan ini menjadi cermin awal bagi daerah yang saat itu masih tergolong muda secara administratif. Dengan populasi yang besar, heterogen, dan tersebar di wilayah urban dan rural, Banten menjadi medan penting bagi analisis epidemiologi dan kebijakan kesehatan.

Melalui resensi ini, kita akan mendalami beberapa temuan utama, implikasi kebijakan, dan potensi pengembangan layanan kesehatan berbasis data Riskesdas 2007.

Profil Umum Kesehatan di Banten

Berdasarkan laporan, jumlah rumah tangga yang dijadikan sampel di Provinsi Banten adalah 1.108, terdiri dari berbagai kabupaten/kota. Pendekatan statistik digunakan untuk menyajikan prevalensi penyakit, status gizi, gaya hidup, dan akses terhadap pelayanan kesehatan.

Beberapa indikator kunci:

  • Persentase rumah tangga dengan sanitasi layak: hanya 38,4%

  • Proporsi rumah tangga dengan akses air bersih: 57,9%

  • Prevalensi merokok pada laki-laki dewasa: lebih dari 60%

  • Cakupan imunisasi dasar lengkap anak usia 12–23 bulan: masih di bawah 70%

Angka-angka ini menunjukkan tantangan besar yang harus dihadapi, terutama dalam pelayanan dasar kesehatan, promotif dan preventif.

Masalah Gizi

Gizi buruk masih menjadi sorotan dalam laporan ini. Dari hasil penimbangan balita:

  • Balita dengan status gizi buruk (berdasarkan indeks BB/U) mencapai 5,4%

  • Balita pendek (stunted) berdasarkan TB/U sebesar 25,1%

  • Balita kurus (wasting) berdasarkan BB/TB sekitar 14,5%

Situasi ini menandakan bahwa problem malnutrisi di Banten saat itu belum hanya disebabkan oleh kemiskinan, tetapi juga pola asuh, pengetahuan ibu tentang gizi, serta akses terhadap makanan bergizi dan layanan kesehatan dasar.

Sangat menarik jika kita kaitkan dengan Program 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang baru mulai didorong setelah 2010. Data ini seharusnya menjadi dasar kebijakan lebih awal terhadap penanggulangan stunting yang kini menjadi prioritas nasional.

Perilaku Kesehatan

Riskesdas 2007 mencatat angka merokok sangat tinggi pada kelompok pria dewasa di Banten. Hampir 2 dari 3 pria merokok secara rutin, bahkan sebagian di antaranya mulai merokok sejak usia <15 tahun.

Perilaku ini menjadi faktor risiko utama penyakit tidak menular seperti:

  • Hipertensi

  • PPOK (penyakit paru obstruktif kronik)

  • Stroke

  • Kanker paru

Selain itu, praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) juga masih rendah. Hanya sebagian kecil rumah tangga yang mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar atau sebelum makan, menunjukkan lemahnya edukasi promotif dari Puskesmas pada waktu itu.

Penyakit Tidak Menular dan Akses Layanan Kesehatan

Sebagai bagian dari transisi epidemiologis, Provinsi Banten mulai menunjukkan peningkatan angka hipertensi dan diabetes. Meski deteksi dini belum optimal, laporan ini menyebutkan:

  • Hipertensi terdeteksi sebesar 15% pada kelompok usia >18 tahun

  • Sebagian besar penderita tidak menyadari kondisi kesehatannya karena minimnya pemeriksaan rutin

Akses layanan kesehatan masih menjadi masalah klasik:

  • 50,7% rumah tangga mengakses Puskesmas sebagai fasilitas utama

  • Sebanyak 23,6% memilih berobat ke dukun atau tokoh tradisional

  • Persalinan oleh tenaga kesehatan hanya sekitar 67%

Data ini menjadi refleksi bahwa walaupun infrastruktur medis mulai membaik, barrier budaya dan ekonomi masih signifikan dalam menentukan akses layanan.

Studi Kasus

Salah satu contoh konkret bisa dilihat di Kabupaten Pandeglang yang pada tahun itu tercatat sebagai wilayah dengan prevalensi tertinggi status gizi buruk. Hal ini berkorelasi erat dengan:

  • Tingkat pendidikan ibu yang rendah

  • Jarak terhadap fasilitas layanan kesehatan yang bisa mencapai lebih dari 5 km

  • Rendahnya konsumsi protein hewani

Intervensi seperti program Posyandu Aktif, Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan edukasi gizi berbasis komunitas baru dijalankan intensif pasca-Riskesdas 2007, menjadikan data ini sebagai acuan awal perencanaan berbasis bukti.

Kritik dan Analisis Tambahan

Laporan Riskesdas 2007 memang monumental, namun tidak lepas dari sejumlah keterbatasan:

  • Tidak semua indikator menggunakan pendekatan longitudinal, sehingga sulit memetakan tren jangka panjang

  • Data perilaku seperti konsumsi makanan tidak dilengkapi dengan informasi frekuensi dan kuantitas

  • Beberapa indikator layanan seperti kepuasan pasien atau mutu layanan kesehatan belum dikaji

Meski demikian, laporan ini tetap memberikan pondasi yang solid untuk menyusun RPJMD bidang kesehatan dan strategi operasional di tingkat kabupaten/kota.

Relevansi Saat Ini dan Tantangan Masa Depan

Menariknya, sebagian permasalahan yang ditemukan pada Riskesdas 2007 masih relevan hingga kini. Misalnya:

  • Stunting tetap menjadi isu nasional

  • Perilaku merokok masih belum tertangani optimal

  • Akses air bersih dan sanitasi layak menjadi fokus program SDGs Tujuan 6

Laporan ini menyadarkan kita bahwa penanganan isu kesehatan tidak bisa parsial. Harus ada sinergi antara data, kebijakan, edukasi masyarakat, serta penguatan layanan primer dan rujukan.

Kesimpulan

Riskesdas Banten 2007 adalah dokumen penting yang tidak hanya memotret kesehatan masyarakat saat itu, tetapi juga menjadi kompas untuk arah pembangunan kesehatan jangka panjang. Ia memperlihatkan betapa tantangan mendasar seperti gizi buruk, PHBS rendah, dan keterbatasan akses masih menjadi pekerjaan rumah yang belum usai.

Kini, ketika Indonesia memasuki era digital dan kesehatan berbasis teknologi, laporan ini tetap memiliki nilai strategis sebagai titik awal perbaikan. Mengabaikannya sama saja dengan menutup mata pada sejarah dan gagal belajar dari data.

Sumber 

Penelitian ini dapat diakses dalam Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Banten Tahun 2007 yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Selengkapnya
Menguak Potret Kesehatan Masyarakat Banten: Temuan Penting Riskesdas 2007
page 1 of 1