Kesehatan Masyarakat
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 16.000 pulau, dikelilingi lautan dan sungai, serta kerap dilanda bencana hidrometeorologi. Namun, di balik keindahan alamnya, Indonesia menyimpan ancaman laten: kematian akibat tenggelam (drowning). Paper “Fatal drowning in Indonesia: understanding knowledge gaps through a scoping review” karya Muthia Cenderadewi dkk. (2023) membedah secara kritis epidemiologi, faktor risiko, dan efektivitas upaya pencegahan drowning di Indonesia. Artikel ini akan mengulas temuan utama, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta mengaitkannya dengan tren global dan tantangan nyata di lapangan.
Drowning: Masalah Kesehatan Publik yang Terabaikan
Fakta Global dan Posisi Indonesia
Tantangan Khusus Indonesia
Data Drowning di Indonesia: Masih Gelap dan Terfragmentasi
Minimnya Data Nasional
Salah satu temuan utama paper ini adalah ketiadaan sistem data nasional yang terkoordinasi untuk drowning. Data yang ada sangat terbatas, tersebar di laporan forensik rumah sakit, laporan kecelakaan kapal, dan laporan evakuasi SAR. Tidak ada integrasi dengan sistem registrasi kematian nasional, surveilans kesehatan, atau data kepolisian.
Studi Kasus dan Angka-angka Penting
Keterbatasan Data
Faktor Risiko Drowning di Indonesia: Siapa yang Paling Rentan?
Karakteristik Sosiodemografi
Faktor Lingkungan dan Perilaku
Faktor Teknis dan Regulasi
Studi Kasus: Drowning di Bali dan Kecelakaan Kapal Nelayan
Bali: Wisata Bahari dan Risiko Drowning
Jawa Tengah: Kecelakaan Kapal Nelayan
Upaya Pencegahan: Masih Didominasi Edukasi Individual
Analisis Kerangka Health Promotion
Paper ini menggunakan Health Promotion Framework (Talbot & Verrinder, 2017) untuk menilai intervensi pencegahan drowning di Indonesia:
Studi Intervensi
Kelemahan Intervensi
Analisis Kritis: Kesenjangan Data, Kebijakan, dan Praktik
Kekuatan Studi
Kelemahan dan Tantangan
Implikasi Kebijakan
Perbandingan dengan Negara Lain dan Tren Global
Studi Bangladesh: Model Intervensi Komunitas
Tren Global
Rekomendasi Praktis untuk Indonesia
Opini: Menuju Indonesia Bebas Drowning, Mungkinkah?
Paper ini menegaskan bahwa drowning adalah masalah kesehatan publik yang masih terabaikan di Indonesia. Ketiadaan data nasional, minimnya riset faktor risiko, dan dominasi intervensi edukasi individual menjadi tantangan utama. Namun, peluang perbaikan sangat besar: Indonesia bisa belajar dari negara lain yang sukses menurunkan angka drowning melalui intervensi komunitas, regulasi ketat, dan sistem data yang kuat.
Transformasi pencegahan drowning di Indonesia harus dimulai dari penguatan data, regulasi, dan pemberdayaan komunitas. Edukasi tetap penting, tapi harus diimbangi dengan perubahan struktural dan kolaborasi lintas sektor. Dengan komitmen bersama, Indonesia bisa menurunkan angka kematian akibat drowning dan menjadi model bagi negara kepulauan lain di dunia.
Kesimpulan: Drowning Prevention sebagai Pilar Kesehatan Publik Indonesia
Drowning di Indonesia adalah masalah besar yang selama ini kurang mendapat perhatian. Paper ini membuktikan bahwa tanpa data yang kuat, riset faktor risiko yang memadai, dan intervensi berbasis komunitas serta kebijakan, upaya pencegahan akan selalu tertinggal. Indonesia harus segera membangun sistem data nasional, memperkuat regulasi, dan mengembangkan intervensi berbasis komunitas untuk menurunkan angka kematian akibat drowning. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi berbasis bukti adalah kunci menuju Indonesia yang lebih aman dari ancaman tenggelam.
Sumber asli:
Cenderadewi, M., Devine, S. G., Sari, D. P., & Franklin, R. C. (2023). Fatal drowning in Indonesia: understanding knowledge gaps through a scoping review. Health Promotion International, 38(5), 1–22.
Kesehatan Masyarakat
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 19 Mei 2025
Pendahuluan
Laporan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 merupakan tonggak penting dalam peta kesehatan nasional Indonesia. Laporan ini tidak hanya menyajikan data mentah, melainkan menggambarkan realita kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Dalam edisi Provinsi Banten, laporan ini menjadi cermin awal bagi daerah yang saat itu masih tergolong muda secara administratif. Dengan populasi yang besar, heterogen, dan tersebar di wilayah urban dan rural, Banten menjadi medan penting bagi analisis epidemiologi dan kebijakan kesehatan.
Melalui resensi ini, kita akan mendalami beberapa temuan utama, implikasi kebijakan, dan potensi pengembangan layanan kesehatan berbasis data Riskesdas 2007.
Profil Umum Kesehatan di Banten
Berdasarkan laporan, jumlah rumah tangga yang dijadikan sampel di Provinsi Banten adalah 1.108, terdiri dari berbagai kabupaten/kota. Pendekatan statistik digunakan untuk menyajikan prevalensi penyakit, status gizi, gaya hidup, dan akses terhadap pelayanan kesehatan.
Beberapa indikator kunci:
Persentase rumah tangga dengan sanitasi layak: hanya 38,4%
Proporsi rumah tangga dengan akses air bersih: 57,9%
Prevalensi merokok pada laki-laki dewasa: lebih dari 60%
Cakupan imunisasi dasar lengkap anak usia 12–23 bulan: masih di bawah 70%
Angka-angka ini menunjukkan tantangan besar yang harus dihadapi, terutama dalam pelayanan dasar kesehatan, promotif dan preventif.
Masalah Gizi
Gizi buruk masih menjadi sorotan dalam laporan ini. Dari hasil penimbangan balita:
Balita dengan status gizi buruk (berdasarkan indeks BB/U) mencapai 5,4%
Balita pendek (stunted) berdasarkan TB/U sebesar 25,1%
Balita kurus (wasting) berdasarkan BB/TB sekitar 14,5%
Situasi ini menandakan bahwa problem malnutrisi di Banten saat itu belum hanya disebabkan oleh kemiskinan, tetapi juga pola asuh, pengetahuan ibu tentang gizi, serta akses terhadap makanan bergizi dan layanan kesehatan dasar.
Sangat menarik jika kita kaitkan dengan Program 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang baru mulai didorong setelah 2010. Data ini seharusnya menjadi dasar kebijakan lebih awal terhadap penanggulangan stunting yang kini menjadi prioritas nasional.
Perilaku Kesehatan
Riskesdas 2007 mencatat angka merokok sangat tinggi pada kelompok pria dewasa di Banten. Hampir 2 dari 3 pria merokok secara rutin, bahkan sebagian di antaranya mulai merokok sejak usia <15 tahun.
Perilaku ini menjadi faktor risiko utama penyakit tidak menular seperti:
Hipertensi
PPOK (penyakit paru obstruktif kronik)
Stroke
Kanker paru
Selain itu, praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) juga masih rendah. Hanya sebagian kecil rumah tangga yang mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar atau sebelum makan, menunjukkan lemahnya edukasi promotif dari Puskesmas pada waktu itu.
Penyakit Tidak Menular dan Akses Layanan Kesehatan
Sebagai bagian dari transisi epidemiologis, Provinsi Banten mulai menunjukkan peningkatan angka hipertensi dan diabetes. Meski deteksi dini belum optimal, laporan ini menyebutkan:
Hipertensi terdeteksi sebesar 15% pada kelompok usia >18 tahun
Sebagian besar penderita tidak menyadari kondisi kesehatannya karena minimnya pemeriksaan rutin
Akses layanan kesehatan masih menjadi masalah klasik:
50,7% rumah tangga mengakses Puskesmas sebagai fasilitas utama
Sebanyak 23,6% memilih berobat ke dukun atau tokoh tradisional
Persalinan oleh tenaga kesehatan hanya sekitar 67%
Data ini menjadi refleksi bahwa walaupun infrastruktur medis mulai membaik, barrier budaya dan ekonomi masih signifikan dalam menentukan akses layanan.
Studi Kasus
Salah satu contoh konkret bisa dilihat di Kabupaten Pandeglang yang pada tahun itu tercatat sebagai wilayah dengan prevalensi tertinggi status gizi buruk. Hal ini berkorelasi erat dengan:
Tingkat pendidikan ibu yang rendah
Jarak terhadap fasilitas layanan kesehatan yang bisa mencapai lebih dari 5 km
Rendahnya konsumsi protein hewani
Intervensi seperti program Posyandu Aktif, Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan edukasi gizi berbasis komunitas baru dijalankan intensif pasca-Riskesdas 2007, menjadikan data ini sebagai acuan awal perencanaan berbasis bukti.
Kritik dan Analisis Tambahan
Laporan Riskesdas 2007 memang monumental, namun tidak lepas dari sejumlah keterbatasan:
Tidak semua indikator menggunakan pendekatan longitudinal, sehingga sulit memetakan tren jangka panjang
Data perilaku seperti konsumsi makanan tidak dilengkapi dengan informasi frekuensi dan kuantitas
Beberapa indikator layanan seperti kepuasan pasien atau mutu layanan kesehatan belum dikaji
Meski demikian, laporan ini tetap memberikan pondasi yang solid untuk menyusun RPJMD bidang kesehatan dan strategi operasional di tingkat kabupaten/kota.
Relevansi Saat Ini dan Tantangan Masa Depan
Menariknya, sebagian permasalahan yang ditemukan pada Riskesdas 2007 masih relevan hingga kini. Misalnya:
Stunting tetap menjadi isu nasional
Perilaku merokok masih belum tertangani optimal
Akses air bersih dan sanitasi layak menjadi fokus program SDGs Tujuan 6
Laporan ini menyadarkan kita bahwa penanganan isu kesehatan tidak bisa parsial. Harus ada sinergi antara data, kebijakan, edukasi masyarakat, serta penguatan layanan primer dan rujukan.
Kesimpulan
Riskesdas Banten 2007 adalah dokumen penting yang tidak hanya memotret kesehatan masyarakat saat itu, tetapi juga menjadi kompas untuk arah pembangunan kesehatan jangka panjang. Ia memperlihatkan betapa tantangan mendasar seperti gizi buruk, PHBS rendah, dan keterbatasan akses masih menjadi pekerjaan rumah yang belum usai.
Kini, ketika Indonesia memasuki era digital dan kesehatan berbasis teknologi, laporan ini tetap memiliki nilai strategis sebagai titik awal perbaikan. Mengabaikannya sama saja dengan menutup mata pada sejarah dan gagal belajar dari data.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses dalam Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Banten Tahun 2007 yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.