Ilmu dan Teknik Material
Dipublikasikan oleh Admin pada 11 Desember 2022
BANDUNG, itb.ac.id – Dalam acara bertajuk Future Science and Technology Talk #2 (11/11/2022), Forum Guru Besar ITB membawa salah satu topik diskusi menarik tentang baterai yang saat ini tengah menjadi bahan perbincangan, khususnya di industri kendaraan listrik dan energi terbarukan.
Topik tersebut adalah mengenai nanoteknologi untuk baterai yang disampaikan oleh Afriyanti Sumboja, Ph.D., selaku dosen sekaligus peneliti Prodi Teknik Material Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB.
Afriyanti Sumboja merupakan seorang dosen berperestasi ITB yang telah meraih banyak penghargaan dan mempublikasikan berbagai jurnal-jurnal berlevel internasional di usianya yang masih muda. Tahun lalu beliau berhasil menyabet penghargaan dalam World Ranking Scientists dan masuk ke dalam daftar “Top 2% World Ranking Scientists”. Topik penelitian yang digelutinya saat ini banyak berkaitan dengan pengembangan baterai lithium melalui penerapan nanoteknologi.
Menurut Afriyanti, disampaikan dalam pemaparannya, nanoteknologi adalah bagaimana cara kita mendesain, memproduksi, mengkarakterisasi, ataupun mengaplikasikan material nano yang memiliki perubahan karakter material dalam ukuran nano tersebut.
Material dikatakan berukuran nano pada saat material tersebut setidaknya memiliki satu dimensi yang berukuran di bawah 100 nm. Dalam ukuran tersebutlah material nano mengalami perubahan sifat fisiknya sehingga bisa diaplikasikan untuk kepentingan engineering.
Baterai memiliki dua fungsi kerja utama yaitu sebagai alat penyimpan energi sekaligus alat pengkonversi energi. Baterai harus memiliki kemampuan untuk menyimpan energi dalam bentuk energi kimia pada saat diisi. Saat digunakan, baterai mampu mengkonversi energi kimia tersebut menjadi energi listrik dan mengalirkannya ke alat.
Dewasa ini banyak penelitian yang mengembangkan baterai dengan tujuan untuk meningkatkan densitas energi pada baterai sehingga dapat digunakan untuk menyuplai energi yang lebih besar. Misalnya untuk suplai energi pada kendaraan listrik atau bahkan untuk menyimpan energi dari sumber daya energi terbarukan.
Afriyanti menjelaskan bahwa untuk meningkatkan densitas energi pada baterai terdapat dua cara yang bisa dilakukan. Pertama adalah dengan meningkatkan kapasitasnya sehingga dapat menyimpan ion-ion litium dalam jumlah yang lebih banyak.
Cara kedua yaitu meningkatkan voltase baterai. Kedua cara tersebut dapat dilakukan melalui rekayasa anoda dan katoda sehingga mencapai karakter baterai yang diharapkan.
Pada katoda perlu dibuat suatu material yang mampu menyimpan ion-ion litium dalam jumlah yang besar serta memiliki voltase yang tinggi. Jumlah katoda pada baterai pun harus memakan persentase yang lebih banyak dalam dimensi volume baterai.
Sementara pada anoda juga perlu dibuat material yang mampu menyimpan ion litium dalam jumlah yang lebih banyak, namun membutuhkan voltase yang lebih rendah. Dengan demikian volume anoda pada dimensi baterai pun dibuat menjadi lebih sedikit.
Bagaimanakah peran nanoteknologi dalam pengembangan baterai di masa depan? Menurut Afriyanti, dibuktikan melalui penelitian bersama timnya, penerapan nanoteknologi pada baterai mampu mempersingkat waktu pengisian baterai. Hal ini dapat dicapai karena nanomaterial membuat jarak tempuh perpindahan ion dapat diperpendek sehingga waktu perpindahan ion pun lebih singkat saat berdifusi.
Selain itu karakteristik material nano yang memiliki luas permukaan yang besar membuat proses penyerapan ion pada baterai dapat berlangsung lebih cepat.
Secara termodinamika, memperkecil material dapat mengubah potensial terjadinya reaksi pada baterai.
Nanoteknologi pun membuat baterai lebih tahan secara fisik dan tidak mudah bocor. Dengan memperkecil material, Afriyanti menegaskan, kapasitas baterai dapat meningkat.
Material yang memiliki kapasitas tinggi dan dapat diterapkan sebagai anoda adalah material silicon (Si) yang memiliki kapasitas hingga 10 kali lebih besar daripada grafit yang saat ini digunakan sebagai anoda pada baterai.
Namun kelemahan dari silicon adalah ia mudah pecah pada saat menyerap banyak litium. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan oleh Arfiyani dan timnya membuat suatu rekayasa silicon dengan melakukan polymer coating pada silikon berupa Si-poluaniline nanowire. Penelitian ini membuahkan hasil berupa baterai yang mampu bertahan hingga 350 cycle dan bisa digunakan pada arus listrik yang tinggi. Kendati demikian, pengembangan atas penelitian tersebut tetap dilakukan untuk lebih mengoptimalkan nanoteknologi dalam baterai.
Ilmu dan Teknik Material
Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 09 Juli 2022
“Untuk menyelesaikan permasalahan, diperlukan keilmuan yang multidisiplin atau disebut lintas disiplin. Prinsip itu ada merupakan revolusi teknologi di Fakultas Teknologi Maju Dan Multidisiplin Universitas Airlangga,” Buka Dekan FTMM Prof. Dr. Dwi Setyawan, S.Si., M.Si., Apt. dalam Webinar and Talkshow Nanotechnology: The High-Tech Revolution, Sabtu (13/03/2021). Prof. Dwi mengatakan Program Studi Nanoteknologi merupakan salah satu prodi di tingkat Sarjana pertama di Indonesia yang berada di UI dan UNAIR.
Dalam zoom virtual, kepala Program Studi Rekayasa Nanoteknologi (RN) Dr. Apt.,Retno Sari, M.Sc. mengatakan webinar yang diadakan tersebut selain talkshow bersama dosen Nanoteknologi, Tahta Amrillah, S.Si., M.Sc., Ph.D. dan Prastika Krisma Jiwanti, S.Si., M.Sc. Eng., Ph.D, FTMM mengadakan kompetisi online poster untuk siswa. “Di sekolah istilah Nanoteknologi masih jarang didiskusikan, melalui webinar ini bisa menjadi diskusi bersama para narasumber yang ahli di bidangnya, bersama Bu Prastika lulusan Jepang dan Pak Tahta yang saat ini di Jepang,” Tutur Dr. Apt., Retno
Mengawali materi, Tahta Amrillah menjelaskan ada sekitar 400 mahasiswa, 81 mahasiswa RN. Tahta mengatakan dosen di FTMM merupakan dosen kompeten dan professional yang merupakan lulusan luar negeri dan jenjang terakhir S3.
Apa yang bisa dilakukan mahasiswa Rekayasa Nanoteknologi?
Tahta mengilustrasikan superhero Ant-Man dan Ironman, penerapan nanoteknologi sudah digambarkan di film fiksi. “Bagaimana membuat nanopartikel dengan menggunakan bahan-bahan organik mikroorganisme, membuat partikel nano emas melalui reaksi kimia, membuat plant tissues, dan membuat ekstrak tumbuhan lebih kecil,” Ungkapnya
Apa kegunaan nano partikel?
Nano partikel dapat sebagai antipatogen, antibakteri, pengaplikasian di dalam bidang kosmestik, biomedik, penerapan ke green technology (teknologi dimana memasukkan partikelnya yang tidak berbahaya ke dalam tubuh). Salah satu bidang spesialisasinya adalah membuat dan penerapan material kecil ke alat elektronik.
Darimana nanoteknologi terkenal?
Prastika Krisma Jiwanti, S.Si., M.Sc.Eng., Ph.D mengatakan, ahli fisikawan, Richard P. Feynman, mengatakan mengapa sebuah mesin yang sangat besar dan memenuhi ruangan, kenapa kita tidak membuat dalam ukuran kecil. Kata Nanoteknologi sendiri dikenalkan Prof. Norio Taniguchi, tahun 1974. “Dari situlah akhirnya nanoteknologi berkembang hingga sekarang,” Jelasnya.
Ukuran partikel 1 nm – 100 nm disebut benda nano. “Perbandingannya benda kecil lebih memiliki fungsi lebih baik dari benda yang besar. Partikel nano yang besar tidak memiliki sifat katalistis yang lebih baik dibandingkan dengan ukuran nano,” Tuturnya.
Manfaat nanoteknologi
Salah satunya perubahan komputer besar menjadi laptop handling dan kecil. Kemudian contoh lain adalah nanofiltrasi, air yang kotor menjadi bersih dan dapat diminium. Penggunaan nanoteknologi lainnya salah satunya adalah sel surya, Di bidang farmasi, partikel nano dapat dijadikan pengantar obat (drug delivery) untuk membunuh sel kanker. Di bidang sensor ada screen printed electrode.
Sumber Artikel: news.unair.ac.id
Ilmu dan Teknik Material
Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 09 Juli 2022
Nanoteknologi adalah manipulasi materi pada skala atomik dan skala molekular. Diameter atom berkisar antara 62 pikometer (atom Helium) sampai 520 pikometer (atom Cesium), sedangkan kombinasi dari beberapa atom membentuk molekul dengan kisaran ukuran nano, yaitu ukuran benda yang besarnya: satu per miliar meter (0,0000000001 m) atau satu meter dibagi satu miliar. Istilah Nanoteknologi pertama kali disebut dalam pidato ilmiah Profesor Nario Taniguci tahun 1974.
Deskripsi awal dari nanoteknologi mengacu pada tujuan penggunaan teknologi untuk memanipulasi atom dan molekul untuk membuat produk berskala makro. Deskripsi yang lebih umum adalah manipulasi materi dengan ukuran maksimum 100 nanometer.
Penelitian dan pengembangan
Karena berbagai aplikasi potensial (termasuk industri dan militer), pemerintahan berbagai negara telah menginvestasikan miliaran dolar dalam penelitian nanoteknologi. Sebelum 2012, AS menginvestasikan US$3,7 miliar menggunakan National Nanotechnology Initiative, Uni Eropa menginvestasikan US$1,2 miliar, dan Jepang menginvestasikan US$750 juta. Lebih dari enam puluh negara menciptakan program penelitian dan pengembangan nanoteknologi (R&D) antara tahun 2001 dan 2004. Pada 2012, AS dan UE masing-masing menginvestasikan US$2,1 miliar pada penelitian nanoteknologi, diikuti oleh Jepang dengan US$1,2 miliar. Investasi global mencapai US$7,9 miliar pada 2012. Pendanaan pemerintah dilampaui oleh pengeluaran R&D perusahaan untuk penelitian nanoteknologi, yang mencapai US$10 miliar pada tahun 2012. Pengeluaran litbang korporat terbesar berasal dari AS, Jepang, dan Jerman yang jika digabungkan sebesar US$7,1 miliar.
Aplikasi
Per Agustus 2008, Project on Emerging Nanotechnologies memperkirakan ada sekitar 800 produk nanoteknologi yang tersedia secara umum, dengan 1 produk baru muncul tiap 3-4 minggu. Sebagian besar aplikasi terbatas pada penggunaan nanomaterial pasif "generasi pertama" yang diantaranya termasuk titanium dioksida pada tabir surya, kosmetik, pelapis permukaan, dan beberapa produk makanan; alotrop karbon yang digunakan pada gecko tape; perak pada pengemasan makanan, pakaian, desinfektan, dan peralatan rumah tangga, seng oksida pada tabir surya dan kosmetik, pelapis permukaan, cat, dan pernis furnitur; dan serium oksida sebagai katalis bahan bakar.
Aplikasi lainnya seperti bola tenis yang bisa bertahan lebih lama, bola golf yang bisa terbang lurus, dan bola bowling yang bisa lebih tahan dan permukaannya lebih keras. Celana panjang dan kaus kaki juga telah dimasukkan nanoteknologi sehingga bisa bertahan lebih lama dan tetap dingin pada musim panas. Bandage diinfus dengan nano perak untuk menyembuhkan luka lebih cepat. Konsol permainan video dan komputer pribadi lebih murah, cepat, dan memori lebih tinggi berkat nanoteknologi. Nanoteknologi memungkinkan peralatan medis yang ada saat ini menjadi lebih murah dan mudah digunakan. Mobil dibuat dengan nanomaterial sehingga butuh logam lebih sedikit dan bahan bakar lebih hemat di masa depan.
Ilmuwan saat ini sedang mengembangkan nanoteknologi untuk mesin diesel dengan gas buang lebih bersih. Platina saat ini digunakan sebagai katalis pada mesin diesel. Katalis tereduksi akan mengikat atom nitrogen dari molekul NOx sehingga membebaskan oksigen. Kemudian katalis mengoksidasi hidrokarbon dan karbon monoksida menjadi karbon dioksida dan air. Platina digunakan pada katalis reduksi dan oksidasi. Namun, menggunakan platina tidak efisien karena mahal dan tidak terbarukan. Perusahaan Denmark Innovationsfonden menginvestasikan 15 juta DKK untuk mencari katalis substitusi baru dengan nanoteknologi. Tujuan proyek ini adalah memaksimalkan luas permukaan dan meminimalkan material yang dibutuhkan. Jika luas permukaan katalis yang terekspos gas buang semakin besar, maka efisiensi katalis meningkat. Jika berhasil, penggunaan platina dapat ditekan sampai 25%.
Nanoteknologi juga memainkan peranan penting dalam pengembangan rekayasa jaringan. Ketika mendesain scaffold, ilmuwan mencoba meniru karakteristik skala nano dari suatu sel. Contohnya, ketika membuat scaffold untuk menopang pertumbuhan tulang, ilmuwan dapat meniru osteoklas.
Ilmuwan telah sukses menggunaan nanobot berbasis DNA origami yang dapat membawa fungsi logika untuk mencapai penyampaian target obat pada kecoa. Dikatakan bahwa kemampuan komputasi nanobot ini dapat dinaikkan sampai setara Commodore 64.
Nanoteknologi di Indonesia
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia telah mengembangkan nanoteknologi sejak tahun 2000-an namun belum mampu mengkomersilkannya. Hal yang paling mendasar dalam menghambat perkembangan teknologi nano di Indonesia adalah ketiadaan alat pengukuran (metrologi) nanomaterial. Bambang Subiyanto, Kepala Pusat Inovasi LIPI menyatakan bahwa sudah 13 tahun pengembangan nanoteknologi di Indonesia berjalan sehingga tahap yang dituju sekarang adalah komersialisasi produk nanomaterial berbasis kegiatan riset.