Penyehatan Industri Penerbangan Harus Diikuti Penguatan Fundamental Industri Pariwisata

Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari

10 Mei 2024, 20.04

Sumber: investortrust.id

Kita harus kembali ke basic foundation dari pada pengaturan terbang. Intinya apa yang dilakukan di tempat tujuan penerbangan. Kami bekerja sama dengan banyak pihak untuk  mendorong destinasi-destinasi wisata yang lain. Salah satu yang menarik, tahun lalu waktu pertama kali MotoGP diselenggarakan di Mandalika, kami biasanya melayani penerbangan ke Lombok hanya sehari dua kali. Menjelang event itu sampai 23 kali sehari. Jadi, sport events itu menarik. Konser juga penting untuk mendorong industri  pariwisata dan penerbangan. Mungkin yang menghadiri konser Coldplay adalah orang-orang tua yang nggak  ngikutin lagu-lagu Coldplay, tapi I have to be there. Istilahnya  FOMO (takut dianggap ketinggalan tren). Itu sukses sekali. Itu fantastic impact-nya.

Makanya Garuda sangat terkenal dan banyak dikagumi oleh para penumpang karena kami menyediakan bagasi 40 kg untuk penumpang ekonomi kalau terbang ke Belanda, selama musim dingin. Sebab, para pengguna Instagram, para ibu-ibu itu, kalau pergi ke Belanda atau Eropa pada musim dingin, tidak mau muncul di Instagram dengan mantel, sepatu, dan tas yang sama. Harus berubah terus. Mereka ingin menunjukkan fotonya, misalnya saat berada di sekitar Menara Eiffel, di Paris. Cuma mau kasih tahu, I'm there. Kami mengerti sekali behaviour itu. Makanya monggo kami kasih tambahan bagasi. Kami memahami behaviour orang dan menjembataninya. Ini bisnis kebahagiaan soalnya. Orang yang naik pesawat kami tuh mayoritas orang bahagia. Kalau kita lihat di bandara, yang boarding itu kan muka-muka ceria semua. Cuma 1-2 yang mungkin muram gitu karena harus dipaksa ke sana atau mungkin ada kedukaan. Tapi mayoritas ceria. Kami harus mengakomodasi itu.

Bagaimana dengan rute internasional?

Rute luar negeri yang dilayani Garuda sama seperti sebelum pandemi, kecuali London, Osaka, dan Perth. Yang lainnya sama semua, masih kami layani. Perth tidak lagi kami layani karena berdasarkan analisis kami,  rute ini nggak menghasilkan keuntungan, SLF-nya tidak pernah penuh. Selan itu, banyak warga negara Indonesia (WNI)  maupun warga negara Perth lebih senang ke Bali, yang kebanyakan dilayani penerbangan murah. Ya  kami kalah terus. Kemudian Osaka, rute ini tidak lagi kami layani karena pandemi dan segala macam. Saya katakan, kami fokus Tokyo aja deh. Terakhir London. London itu sebetulnya value proposition Garuda, harusnya ada. Tetapi karena kami terbatas dan nggak bisa berkompetisi dengan hub airlines, akhirnya tidak kami layani.

Hub airlines itu di antaranya Singapore Airlines, Etihad, Qatar, Turkish. Mereka punya banyak basis penerbangan, banyak daerah, destinasi, dan terkonsentrasi di kota yang dilayaninya. Kami sulit melawan mereka.  Kami ini kan bukan berbasis hub, kami  tuh proposition-nya  fly direct, terbang langsung. Kami nggak bisa terbang langsung ke London.  

Citilink akan dimerger dengan Pelita Air Service, progresnya sudah sampai di mana?

Rencana merger Citilink-Pelita masih didiskusikan, belum conclude modelnya seperti apa. Masih terbuka beberapa opsi, beberapa alternatif. Ini  memang membutuhkan kehati-hatian. Karena apa? Karena ada dua entitas BUMN yang terlibat. Pertama adalah Garuda dan Citilink. Kedua yaitu Pertamina. Pertamina kan dimiliki 100% oleh negara. Citilink dimiliki Garuda, hampir 100%. Problemnya Garuda ini public company. Jadi, business model-nya mesti disepakati dulu, between both of us. Yang kedua, opsi-opsinya yang ada apa aja, dan mana yang secara legal paling masuk akal serta tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Dalam transaksi kan ada jual-beli. Yang menjual apakah ikhlas, perhitungannya benar, dan bisa diterima  pihak-pihak penjual? Pembeli pun harus menyepakati harganya. Instrumen jual-beli bermacam-macam, bisa pakai  utanglah, dibayar nantilah, macam-macam. Tapi kan harus dicarikan mana yang paling pas. Kemudian detail-detailnya seperti apa. Jadi, belum concludemodeling-nya seperti apa, sehingga  belum bisa kami  sampaikan detail soal itu.

Dari sisi bisnis, apakah merger memang solusi terbaik?

Kementerian BUMN kan meminta setiap BUMN untuk fokus. Kita  sudah lihat penggabungan hotel-hotel, rumah sakit, dan  company-­company lain. Kemudian BUMN yang mungkin tidak punya harapan di masa depan dilikuidasi atau digabung. Masuk akal juga jika Pertamina diminta fokus ke core business-nya (migas),  sementara ada BUMN yang sangat fokus di aviasi seperti Garuda. Saya melihatnya seperti itu.

Kedua, mestinya merger ini bisa meningkatkan value Garuda Group. Tapi di sana (Pertamina) pun jangan kehilangan value-nya. Itulah yang sedang terus dimatangkan. Tentu saja aspirasi pemegang saham menjadi catatan penting dalam proses ini. Pembicaraan ini sebenarnya sudah berlangsung sejak beberapa bulan lalu. Kalau ada tiga masakapai penerbangan BUMN saling bersaing, lucu kan?

Jika merger terealisasi, pertamina tetap punya pesawat sendiri?

Itu salah satu aturannya. Jadi, alternatifnya, sebagian atau seluruhnya. Nah,  ide besarnya harus kita tangkap. Tetapi kami  juga harus mengerti bahwa proses ini nggak bisa serta-merta seperti itu. Bisa jadi nanti bertahap, sampai ujungnya nanti benar-benar menjadi satu company, misalnya.  Pelita kalau nggak salah punya  kurang lebih 10 pesawat. Sedangkan Citilink  punya sekitar 40 pesawat.

Dari sisi profitabilitas, strategi apa yang Anda terapkan  agar Garuda meraih untung, ekuitasnya positif, dan rasio utangnya turun?

Pertama, yang sedang kami lakukan bersama teman-teman di manajemen adalah membangun persepsi internal bahwa Garuda itu national flag carrier. Kami menjalankan misi pemerintah sebagai BUMN. Kalau BUMN susah, ditolong terus kok sama pemilik (negara), walau dalam proses restrukturisasi kemarin saya cukup deg-degan karena ada pilihan untuk tidak meneruskan Garuda (dilikuidasi). Jadi, yang pertama adalah membangun mekanisme pola pikir internal bahwa profit itu bukan omongannya dirut, bukan cuma maunya chief executive officer (CEO), tapi sudah ada dalam DNA setiap orang. Itu yang pertama.

Kedua, kalau sudah ngomong profit, kita kan harus meningkatkan revenue dan menekan cost. Problemnya, kami punya keterbatasan alat produksi. Revenue ingin ditingkatkan tetapi kami punya jumlah pesawat yang terbatas. Mengejar revenue dengan 10 pesawat, dibandingkan 500 pesawat, pasti berbeda karena yang kami jual adalah tempat duduk dan  frekuensinya. Ada skala keekonomian. Artinya ada keterbatasan dalam upaya mencapai revenue.

Yang kami lakukan adalah bagaimana agar jumlah seat yang kami punya bisa dimaksimalkan, diisi. Kita ngomong revenue side dulu. Lalu bagaimana kami bisa maksimalkan harga. Nah, ini ada sedikit masalah karena harga ekonomi domestik itu ada batasnya, diatur pemerintah. Lo nggak  boleh jual di atas itu, gitu kan? Jadi, menantang kan? Kedua adalah bagaimana kami menekan cost agar lebih efisien. Rasanya publik atau investor atau calon investor dengan mudah bisa membaca bahwa kami sudah melakukan banyak hal untuk efisiensi. Dari segi human resources ada 38% yang kami kurangi, tanpa ribut-ribut. Kita juga sudah melakukan negosiasi dengan pihak lessor, sewa pesawat turun 50% lebih. 

Tapi ada dua hal yang tidak bisa kami lakukan dan kami tidak bisa  berbuat apa-apa. Pertama, kalau saya bayar sewa pesawat US$ 5  hari ini pada kurs Rp 15.000 per dolar AS,  terus kursnya naik di kemudian hari menjadi  Rp 16.000 per dolar AS,  sementara kami berjualan dalam rupiah, kan kami kena dampaknya (rugi selesih kurs). Itu risiko exchange rate. Kedua, yaitu harga avtur. Ketika terjadi masalah di dunia, seperti perang Rusia-Ukraina atau Hammas-Israel,  harga avtur naik. Berarti cost kami naik. Padahal pesawat yang kami terbangkan  itu-itu aja

Pertanyaannya sekarang, bagaimana kami bisa terus-menerus meningkatkan revenue sambil terus-menerus menjaga cost? Makanya yang dibutuhkan adalah mindset dan disiplin. Itu sebabnya, kami selalu melakukan review Kalau nggak bisa melakukan perubahan apa-apa terhadap suatu rute yang kami layani, sebaiknya kami tutup rute tersebut.

Sesederhana itu kalkulasinya?

Kalau sehari rugi kami biarkan, kan 30 hari ruginya. Misal kerugiannya US$ 1.000 per hari,  berarti sebulan ya rugi US$ 30.000. Kalau satu penerbangan US$ 10.000 ruginya, berarti US$ 300.000 total kerugiannya dalam sebulan. Tetap kami juga melihat, kalau kami bermain di area ini terus, pasti akan sangat mudah terbaca. What the maximum profitability yang Anda bisa peroleh adalah angka sekian. Cukup puaskah kami?  Nggak. Makanya kami dalam beberapa bulan terakhir sangat fokus dalam menggarap revenue. Contohnya kalau Anda terbang ke suatu kota, bagasinya maksimum 20 kg. Orang-orang bayangin kalau overweight (berat berlebih) bayarnya mahal. Maka sejak beberapa bulan lalu, overweight itu kami potong 80%.

Kami kasih tahu ke para penumpang, kalau ke Jogja, Solo, Makassar, atau ke kota mana pun, pulangnya bawa oleh-oleh saja. Oleh-olehnya nggak mahal-mahal amat, kok. Anda bisa sekalian bantu ekonomi di sana. Jangan hanya pulang piknik dari  Singapura atau ke Belanda aja  bawa oleh-oleh banyak. Kami happy juga, tapi kan nggak bantu ekonomi domestik. Kalau kami bisa tingkatkan ini terus-menerus, ada potensi tambahan revenue yang cost-nya udah nol. Perekonomian nasional juga terbantu.

 Kondisi keuangan Garuda saat ini?

Kalau lihat pembukuan, laba Garuda memang masih negatif. Tapi kami punya  beberapa corporate actions yang akan membuat  equity Garuda membaik, insyaallah. Kedua, kembali lagi kalau berbicara profitability, ini ada perlakuan akuntansi yang sedang kami lihat dan kami coba, yang akan membuat neraca keuangan kami lebih baik. Bukan financial engineering, tapi kami ingin  lebih fair.

Terlepas dari itu semua, kami dengan gagah perkasa bisa menyampaikan bahwa EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) kami sekarang positif, cash kami  juga sudah surplus, walau di neraca laba rugi masih negatif karena ada perlakuan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73 (standar akuntansi keuangan berdasarkan Standar Pelaporan Keuangan Internasional/IFRS yang berlaku sejak 1 Januari 2020).

Kami bahkan harus memastikan bisa mengakumulasi cash karena punya janji membayar utang jangka panjang. Walaupun waktu jatuh tempo nanti  mungkin saya sudah nggak dirut lagi, saya harus bangun sistem untuk memastikan Garuda bisa bayar utang. Bahwa kemudian nanti manajer memutuskan untuk ngutang lagi, it's their call.  Jadi, we are on the trackOn track pertumbuhan penumpang. Di rute-rute tertentu, di mana kami  bisa menaikkan harga, ya kami  naikkan harga. Banyak orang  protes, tapi biasanya yang protes itu yang nggak naik pesawat kami. 

Artinya masyarakat memang sudah nyaman naik Garuda, naik business class Garuda, bayar mahal. Bagi mereka, harga nggak  masalah. Beda berapa ratus ribu rupiah, tapi merasa nyaman, merasa safe. Bukan berarti kami nggak memberikan  pilihan, toh mereka semua punya pilihan naik maskapai lain atau  naik pesawat kami yang kelas ekonomi. 

Efisiensi yang menjadi fokus Anda?

Tentu yang internal. Kami harus terus-menerus melihat, gimana sih kami buang-buang uang atau mengeluarkan uang yang tidak perlu. Terus kami lihat juga kebiasaan-kebiasaan lama yang harus dibenahi. Itu kami lihatin terus-menerus.

Jadi, kapan Garuda membukukan laba? 

Hari ini saya sudah mengatakan bahwa EBITDA sudah positif. Kalau kita ngomong neraca rugi-laba,  ya mestinya tahun depan sudah oke (sudah untung). Malah mestinya tahun ini sudah bisa. Mudah-mudahan beberapa corporate actions yang kami kerjakan bisa seluruhnya terimplementasi, sehingga pas tutup tahun 2023 laba Garuda bisa positif.

https://res.cloudinary.com/dzvyafhg1/image/upload/v1699705720/investortrust-bucket/images/1699705724822.jpg

Jumlah armada pesawat Garuda 

Laba positif ini riil, bukan financial engineering?

Bagi saya, ini kadang-kadang  soal harga diri, nih. Orang-orang bilang, kondisinya baik-baik ajaah masa lo nggak bisa bikin positif? Tapi saya tidak mau melakukan financial engineering. Apa pun yang kami  lakukan, itu dapat dipertanggungjawabkan dan kami transparan. Misalnya perlakuan PSAK 73. Kami sedang bicarakan, kalau pakai treatment akuntansi yang berbeda ini boleh nggak? Auditor mengizinkan nggak?

Bagaimana dengan penerbangan kargo?

Secara umum, kargo pada kuartal III-2023 juga membaik dibandingkan kuartal sebelumnya. Tetapi dibandingkan sebelum Covid  nggak terlalu baik. Karena apa? Hari ini penerbangan mulai banyak dan kompetisi di kargo makin merajalela. Ada satu rute yang hari ini harga kargo per kg-nya drop sampai 600%. Karena kompetisi yang gila-gilaan, beberapa airline istilahnya gue udah terbang kok kosong, ya berapa aja gue ambil deh.

Untuk airline yang sangat fokus di kargo seperti kami, negosiasi harga kadang-kadang mempersulit kami. Tapi saya tetap tegaskan kepada teman-teman, jangan semata-mata bermain di harga per kg, kami juga mesti menekankan  bagaimana mengelola kargo ini sebaik-baiknya, on time, dan  semua pemilik kargo merasa nyaman. Kami sekarang sangat fokus ke perishable. Misalnya ikan hidup atau binatang hidup. Kami  juga pernah bawa komodo, simpanse,  siamang, kuda dari Australia, dan lain-lain. Kami handle with care. Garuda adalah satu-satunya airline di Indonesia yang punya sertifikasi bawa produk-produk capital

Garuda juga concern ke green energy seperti bioavtur?

Tentu kami sangat concern ke energi berkelanjutan. Ini komitmen bangsa Indonesia mewujudkan net zero emission (NZE) pada 2060. Tetapi di industri penerbangan global, kami juga berkomitmen mewujudkan NZE pada 2050. Memang masih lama. Tapi untuk mengitung seribu kan harus mulai dari satu. Beberapa bulan yang lalu kami bersepakat duduk bersama-sama dengan  teman-teman, dari Pertamina, Kementerian ESDM, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan beberapa teman yang lain. Mari kita mulai. Garuda serius mau mulai. If not now, kapan lagi?

Prosesnya seperti apa?

Prosesnya cukup melelahkan karena kami mesti memperoleh izin dari banyak pihak, termasuk pemilik teknologi. Akhirnya kami dapat izin, terus kami tes di lab operasi, lalu tes di hanggar. Mesinnya kami nyalakan tanpa pesawat, kami isi dengan bioavtur, kemudian dihitung, apakah ada degradasi performa?  Ternyata nggak ada. Terus pada awal Oktober kami terbangkan pesawat untuk test flight, pesawat 737NG ke Pelabuhan Ratu. Ada dua pilot, didampingi dua pilot lagi, terbang di sana. Tidak ada penumpang, hanya ada beberapa engineer dalam pesawat. Alhamdulillah mereka mendarat dengan selamat, responsnya positif semua. Tidak ada perbedaan. Nah, minggu lalu, pada 27 Oktober, kami terbangkan pesawat  komersial pertama. Ini bukan uji coba, kami terbangkan pesawat yang ada penumpangnya, mereka membayar.

Dari sisi harga bagaimana?

Ini masih dalam diskusi. Dari awal kami sepakat dengan Pertamina,  yang penting coba dulu, karena technically itu penting, kami tidak berbicara harag dulu. Akan ada diskusi lanjutan  antara kami, Pertamina, dan Kementerian ESDM, komersialnya gimana? Kalau dihitung flat saja pasti naik. Harga bioavtur lebih mahal dibanding avtur biasa. Apakah ini akan kami bebankan ke penumpang atau tidak? Hal-hal seperti ini masih perlu kami diskusikan. Saya sih berharap  penumpang tidak merasakan bedanya. Nanti kan lucu  kalau kita sampaikan bahwa harga tiket pesawat yang menggunakan bioavtur lebih mahal daripada yang biasa. Kalau pesawat yang pakai bioavtur kosong nggak ada penumpang, buat apa?

Ada rencana penambahan pesawat?

Tahun ini kami mendatangkan empat pesawat. Tipenya NG (Boeing 737-800NG). Sekarang kan kebutuhan untuk rute domestik lebih banyak yang narrow body. Dua pesawat sudah kami terbangkan, dua baru saja tiba. Mudah-mudahan pertengahan bulan ini atau bulan ini bisa terbang. Jadi, kami  punya empat pesawat tambahan. Semuanya leasing. Pesawat-pesawat ini pernah dipakai maskapai lain, jadi range waktunya lebih singkat, kalau nggak salah enam tahun. Lumayan baru sih, tapi nggak baru-baru amat. Untuk sementara waktu, kami belum proses pengadaan pesawat jenis baru dulu. Kami masih pakai pesawat yang kami punya dan beberapa pesawat yang pernah dipakai maskapai lain.

Tidak seperti pengadaan era dulu, sekarang semua pesawat itu terpakai? 

Tentu harus semuanya dipakai. Makanya dua tipe pesawat CRJ  (Bombardier CRJ-1000) kami kembalikan. Sedangkan yang ATR lebih cocok diterbangkan Citilink. Sebagai airline, dari waktu ke waktu kami harus melihat opsi penambahan maupun peremajaan pesawat sesuai kebutuhan. Tahun ini belum, tahun depan pun mungkin belum. Tetapi kami sudah start diskusi dengan para manufacturer, kira-kira tipe pesawat apa yang kami butuhkan ke depan. Pada waktunya, kami akan buka RFP (request for proposal) dan kami ingin transparan supaya tidak ada kejadian seperti masa lalu. Pemegang saham seri A (Negara) pun harus tahu bahwa kami  akan menambah pesawat.

Sumber: investortrust.id