Industri Maritim

Menangkap Potensi Global: Tantangan dan Langkah Strategis Industri Maritim Indonesia

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 07 Mei 2024


KOMPAS.com - Industri maritim di Tanah Air lemah untuk orientasi luar negeri karena berbagai arus jasa bisnis maritim di dalam negeri faktanya tetap didominasi pemain asing.

Diduga, fokus para pemain di industri maritim masih ke dalam negeri lantaran kue pasarnya memang cukup besar. Sehingga, para pemain merasa lebih nyaman dengan pangsa pasar yang pasti tersebut (captive-market).

Selain itu, diduga pemain industri maritim Indonesia kurang membangun kekuatan untuk orientasi luar negeri tersebut. Termasuk untuk urusan pengangkutan impor minyak dan gas (migas).

Hal itu disampaikan pakar kemaritiman dari Institut Teknologi 10 November Surabaya, Raja Oloan Saut Gurning, melalui rilis ke Kompas.com, Sabtu (22/5/2021).

Menurut dia, bisnis maritim secara prinsip adalah klaster bisnis yang mensyaratkan kondisi usaha dengan lingkungan yang terbuka dan global, termasuk dalam bisnis pelayaran khususnya usaha pelayaran minyak dan gas (migas). Dalam bisnis ini, baik operator kapal, penyewa, unit manajemen kapal, awak kapal, galangan kapal dan manajemen kepemilikan kapal atau operasi pelayaran dapat dilakukan dengan berbagai pola yang melibatkan banyak pihak yang memiliki kompetensinya masing-masing.

Oleh sebab itu, Saut menilai positif langkah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyiapkan PT Pertamina International Shipping (PIS) untuk melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) tahun ini.

Menurut dia, rencana aksi korporasi PIS yang akan melakukan IPO pada tahun ini merupakan upaya untuk menjadikan biaya angkutan minyak mentah dan gas nasional menjadi efisien.

“Ini adalah pola praktis dan dilakukan banyak entitas global,” katanya.

“Tidak hanya pengoperasian dan biaya logistik migas internasional kita yang lebih murah, dan juga berbagai manfaat turunan lainnya baik dampak tidak langsung kepada berbagai usaha terkait, pembukaan lapangan kerja dan pajak kepada negara.”

“Saya kira usaha membuat entitas PIS menjadi perusahaan publik tidak lain supaya lebih terawasi, serta mengejar pemenuhan aspek regulasi internasional lewat kolaborasi dengan berbagai entitas internasional saya pikir baik dan wajar. Mengapa? Karena ini sudah menjadi business practice di dunia pelayaran, termasuk pelayaran migas internasional,” lanjut Saut.

Sebelumnya, Kementerian BUMN meresmikan PIS sebagai suholding shipping pada awal Mei lalu, dengan harapan dapat meningkatkan kinerjanya dengan juga bertransformasi menjadi perusahaan yang mengintegrasikan kegiatan shipping dan marine logistics.

Ke depan, agar bisa bersaing di kancah global sesuai dengan visinya. Wakil Menteri BUMN I Pahala N Mansury mengatakan bahwa dengan melakukan transformasi bisnis, valuasi PIS di pasar saham bisa meningkat dan mengerek nilai jual.

Bahkan, Pahala berharap dengan adanya transformasi dan diikuti IPO, nilai perusahaan bisa meningkat hingga 10 kali lipat.

Sumber: regional.kompas.com

Selengkapnya
Menangkap Potensi Global: Tantangan dan Langkah Strategis Industri Maritim Indonesia

Industri Maritim

Tak Setuju Investor Asing Kuasai Kapal Berbendera Indonesia, INSA Khawatirkan Kekuatan Industri Maritim Dalam Negeri

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 07 Mei 2024


JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) tak setuju jika pemerintah mengundang investor asing dalam kepemilikan kapal berbendera Indonesia untuk kegiatan angkutan muatan dalam negeri.

Sebab, jika hal tersebut terjadi dikhawatirkan akan meredupkan kekuatan industri maritim dalam negeri. Ketua Umum INSA, Carmelita Hartoto mengatakan, penerapan aturan kapal berbendera merah putih atau asas cabotage ditegaskan dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2005 dan Undang-Undang Pelayaran No 17 tahun 2008.

Menurutnya, jika asas cabotage dibuka, maka Indonesia akan kehilangan kekuatan potensi maritim nasional di sektor pelayaran. “Ini bukan berarti kita anti asing, tapi harusnya laut dan sumber dayanya dioptimalkan untuk kepentingan nasional dengan perdagangan domestiknya dilayani kapal merah putih,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (30/9/2020).

Dia menegaskan INSA sepenuhnya mendukung RUU Cipta Kerja, selama kepentingan sektor pelayaran dalam negeri tetap berdaulat di wilayah NKRI.

Carmelita juga menambahkan, penerapan asas cabotage juga tidak hanya diterapkan di Indonesia. Beberapa negara sudah lebih dulu menerapkannya, seperti Amerika, Jepang, China, dan negara-negara maju lainnya.

Sementara itu, Sekretaris Umum DPP INSA Budhi Halim menambahkan, investasi asing di industri pelayaran tidak sama dengan investasi di sektor manufaktur dan infrastruktur yang membawa dana dan membuka lapangan pekerjaan.

Hal ini mengingat investasi asing di industri pelayaran tidak bisa diartikan sebagai bentuk aliran dana masuk, melainkan hanya berupa pencatatan aset di pembukuan. Kapal sebagai aset bergerak sangat mudah dipindahtangankan dan berganti bendera negara.

Keuntungan pelayaran asing juga akan dibawa balik ke negara mereka, yang artinya devisa negara akan lari ke luar negeri. Alhasil, kondisi ini juga akan membebani neraca pembayaran Indonesia. Alih-alih mendorong perekonomian nasional dan menyerap tenaga kerja, investasi asing di industri pelayaran justru mengancam lapangan kerja dan ekosistem di industri pelayaran nasional.

“Atas dasar itu, DPP INSA menilai konsistensi penerapan asas cabotage merupakan harga mati dan bersifat wajib untuk negara. Dengan begitu, kedaulatan negara terjaga dan perekonomian nasional dapat terus tumbuh,” ungkapnya. Tidak hanya terkait dengan devisa, kapal asing yang masuk dikhawatirkan akan berpengaruh pada industri galangan kapal dalam negeri.

Ketika kapal asing masuk dan memilih mengunakan galangan luar atau miliknya sendiri, artinya ini sebuah kehilangan bagi industri galangan kapal dalam negeri.

Sumber: money.kompas.com

Selengkapnya
Tak Setuju Investor Asing Kuasai Kapal Berbendera Indonesia, INSA Khawatirkan Kekuatan Industri Maritim Dalam Negeri
page 1 of 1