Ilmu Pendidikan

Apa Itu Plagiat atau Plagiarisme?

Dipublikasikan oleh Mochammad Reichand Qolby pada 06 Februari 2023


Plagiat / Plagiarisme

Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Dalam dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku plagiat disebut sebagai plagiator.

Setiap karangan yang asli dianggap sebagai hak milik si pengarang dan tidak boleh dicetak ulang tanpa izin yang mempunyai hak atau penerbit karangan tersebut.

Tergolong Plagiarisme

- Tulisan orang lain diakui sebagai tulisan sendiri

- Membuat tulisan yang sama tetapi tidak menyebutkan sumbernya

- Meringkas dan Memparafrasekan tanpa menyebutkan sumber

- Meringkas dan Memparafrase kalimat dan kata tanpa menyebutkan sumber

- Mengakui karya orang lain sebagai kepunyaan sendiri

Sumber : Wikipedia

Selengkapnya
Apa Itu Plagiat atau Plagiarisme?

Ilmu Pendidikan

Statistika deskriptif

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 25 Maret 2022


Statistika deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Pengklasifikasian menjadi statistika deskriptif dan statistika inferensi dilakukan berdasarkan aktivitas yang dilakukan.

Statistika deskriptif hanya memberikan informasi mengenai data yang dipunyai dan sama sekali tidak menarik inferensia atau kesimpulan apapun tentang gugus induknya yang lebih besar. Contoh statistika deskriptif yang sering muncul adalah, tabel, diagram, grafik, dan besaran-besaran lain di majalah dan koran-koran. Dengan Statistika deskriptif, kumpulan data yang diperoleh akan tersaji dengan ringkas dan rapi serta dapat memberikan informasi inti dari kumpulan data yang ada. Informasi yang dapat diperoleh dari statistika deskriptif ini antara lain ukuran pemusatan data, ukuran penyebaran data, serta kecenderungan suatu gugus data.

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Statistika deskriptif

Ilmu Pendidikan

Belajar sosial

Dipublikasikan oleh Admin pada 12 Maret 2022


Belajar sosial (juga dikenal sebagai belajar observasional atau belajar vicarious atau belajar dari model) adalah proses belajar yang muncul sebagai fungsi dari pengamatan, penguasaan dan, dalam kasus proses belajar imitasi, peniruan perilaku orang lain. Jenis belajar ini banyak diasosiasikan dengan penelitian Albert Bandura, yang membuat teori belajar sosial. Di dalamnya ada proses belajar meniru atau menjadikan model tindakan orang lain melalui pengamatan terhadap orang tersebut. Penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya hubungan antara belajar sosial dengan belajar melalui pengkondisian klasik dan operant.[1]

Banyak yang secara salah menyamakan belajar observasional dengan belajar melalui imitasi. Kedua istilah ini berbeda dalam arti bahwa belajar observasional mengarah pada perubahan perilaku akibat mengamati model. Ini tidak selalu berarti bahwa perilaku yang ditunjukkan orang lain diduplikasi. Bisa saja si pengamat justru melakukan sesuatu yang sebaliknya dari yang dilakukan model karena ia telah mempelajari konsekuensi dari perilaku tersebut pada si model. Dalam hal ini adalah belajar untuk tidak melakukan sesuatu dan ini berarti terjadi belajar observasional tanpa adanya imitasi.

Teori Bandura.jpg

Walau belajar observasional dapat terjadi dalam setiap tahapa kehidupan, tetapi terutama terjadi saat pada anak-anak, karena pada saat itu otoritas dianggap penting. Penelitian Bandura mengenai boneka Bobo merupakan demonstrasi dari belajar observasional dan ditunjukkan bahwa anak cenderung terlibat dalam perlakuan yang bengis terhadap boneka setelah melihat orang dewasa di televisi melakukan hal tersebut pada boneka yang sama. Bagimanapun, anak mungkin akan melakukan peniruan bila perilaku model mendapat penguatan. Permasalahannya, seperti diteliti oleh Otto Larson (1968), bahwa 56% karakter dalam acara televisi anak mencapai tujuannya melalui tindakan kekerasan.[2]

Sumber: id.wikipedia

 

Selengkapnya
Belajar sosial

Ilmu Pendidikan

Pengondisian klasik

Dipublikasikan oleh Admin pada 12 Maret 2022


Pengondisian klasik adalah suatu proses belajar yakni stimulus netral dapat memunculkan respon baru setelah dipasangkan dengan stimulus yang biasanya mengikuti respon tersebut.[1] Pengondisian klasik ini pada mulanya ditemukan oleh Ivan Pavlovfisiolog dari Rusia ketika sedang melakukan penelitian eksperimen mengenai proses produksi air liur pada anjing.[2] Ia melihat bahwa anjing tersebut tidak hanya merespon berdasarkan kebutuhan biologis (rasa lapar), tetapi juga sebagai hasil dari proses belajar yang kemudian disebut sebagai pengondisian klasik.[1] Dalam ilmu psikologi, pengondisian klasik digunakan sebagai terapi untuk mengubah perilaku individu.[3]

Ivan Pavlov, penemu pengondisian klasik

Eksperimen Pavlov

Pengondisian anjing Pavlov

Pada awal kariernya, Ivan Pavlov bukanlah peneliti di bidang psikologi.[4] Ia adalah fisiolog yang mempelajari sistem pencernaan pada anjing.[4] Pada eksperimennya, Pavlov memasang sebuah selang pada kelenjar liur seekor anjing untuk mengukur jumlah produksi air liur anjing tersebut.[5] Ia membunyikan sebuah bel dan setelah beberapa detik kemudian memberikan makanan kepada anjing tersebut.[1] Pemasangan stimulus antara membunyikan sebuah bel dan memberikan makanan kepada anjing tersebut dilakukan berulang kali dan direncanakan dengan sangat hati-hati.[1] Pada awalnya, anjing tersebut akan mengeluarkan air liur ketika makanan telah dimunculkan.[1] Tidak lama kemudian, anjing tersebut mengeluarkan air liur ketika mendengar suara bel.[1] Bahkan pada eksperimennya, ketika Pavlov menghentikan pemberian makanan, anjing tersebut masih mengeluarkan air liur setelah mendengar suara bel.[1] Anjing tersebut telah mengalami pengondisian klasik dalam mengeluarkan air liur setelah mendengar suara bel.[1] Berkat eksperimennya, pada tahun 1904 Ivan Pavlov memenangkan hadiah Nobel di bidang psikologi dan kedokteran atas karyanya mengenai pencernaan.[6]

Komponen Pengondisian Klasik

Refleks Baru

Menurut Pavlov, refleks mengeluarkan air liur pada anjing tersebut terdiri dari sebuah stimulus tidak terkondisi (unconditioned stimulus) berupa makanan, dan sebuah respon yang tidak terkondisi (unconditioned response) yakni produksi air liur.[2] Stimulus tidak terkondisi adalah sebuah kejadian atau suatu hal yang menghasilkan sebuah respon secara otomatis atau menghasilkan refleks yang alami.[2] Sedangkan respon tidak terkondisi adalah respon yang dihasilkan secara otomatis.[2] Menurut Pavlov, proses pengondisian klasik terjadi ketika sebuah stimulus netral (stimulus yang tidak atau belum menghasilkan sebuah respon tertentu) dipasangkan secara teratur dengan sebuah stimulus tidak terkondisi selama beberapa kali.[2] Stimulus netral ini kemudian akan berubah menjadi stimulus yang terkondisi (conditioned stimulus) yang menghasilkan sebuah proses pembelajaran atau respon terkondisi (conditioned response), serupa dengan respon alamiah.[2] Contoh pada eksperimen Pavlov adalah bel yang dibunyikan.[2] Sebelumnya bel yang dibunyikan tidak menghasilkan air liur pada anjing.[2] Bel ini kemudian menjadi sebuah stimulus terkondisi yang menghasilkan respons produksi air liur.[2]

Generalisasi dan Diskriminasi

Albert, dikondisikan takut dengan benda berbulu dan berwarna putih

Pavlov mencatat bahwa respon terkondisi juga akan muncul sebagai respon terhadap stimulus yang mirip dengan stimulus terkondisi.[7] Hal ini mengindikasikan terjadinya generalisasi stimulus (stimulus generalization) pada semua stimulus yang mirip.[7] Generalisasi stimulus adalah kemampuan individu untuk bereaksi terhadap stimulus baru yang mirip dengan stimulus yang telah dikenalinya.[5] Contohnya adalah seorang anak kecil bernama Albert yang sudah terkondisi untuk merasa takut terhadap tikus berwarna putih, kemungkinan juga ia akan mengembangkan ketakutan terhadap benda lain yang berbulu dan berwarna putih.[1] Akan tetapi respons terkondisi tidak akan muncul untuk semua stimulus yang mirip, menunjukkan bahwa individu juga dapat belajar untuk membedakan stimulus yang berbeda.[7] Hal ini disebut sebagai diskriminasi stimulus (stimulus discrimination).[7] Diskriminasi stimulus adalah kecenderungan untuk merespon dengan cara yang berbeda pada dua atau lebih stimulus yang serupa.[2] Sebagai contoh anjing bernama Milo telah dikondisikan untuk mengeluarkan air liur pada nada C suara piano dan dipasangkan dengan makanan.[2] Ketika memainkan nada C pada suara gitar tanpa diikuti oleh makanan maka hasilnya adalah Milo akan belajar untuk menghasilkan air liur pada nada C di piano dan tidak pada nada yang sama ketika memainkan pada suara gitar.[2] Dalam hal ini Milo dapat membedakan atau melakukan diskriminasi terhadap kedua suara tersebut.[2]

Extinction

Extinction (pemadaman) adalah proses melemahnya respon terkondisi yang telah dipelajari dan pada akhirnya menghilang.[2] Kondisi ini terjadi ketika stimulus terkondisi tidak lagi dipasangkan dengan stimulus tidak terkondisi.[2] Misalnya korban pemerkosaan yang mempunyai kepribadian penakut ketika pergi ke suatu pesta dapat mengalami perubahan kepribadian yang signifikan jika ia mau mencoba untuk berulang kali menghadapi ketakutannya dengan ditemani oleh teman yang mendukungnya.[7]

Counterconditioning

Counterconditioning merupakan prosedur dalam pengondisian klasik untuk melemahkan sebuah respon terkondisi dengan mengasosiasikan stimulus penyebab ketakutan dengan respon baru yang tidak sesuai dengan ketakutan.[8] Seorang peneliti bernama Mary Cover Jones mampu menghilangkan ketakutan seorang anak berusia 3 tahun bernama Peter.[8] Peter memiliki banyak ketakutan terhadap tikus putih, mantel berbulu, katak, ikan dan mainan mekanik.[8] Untuk menghilangkan ketakutannya, Jones membawa seekor kelinci ke hadapan Peter, namun tetap menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dan membuat Peter kesal.[8] Di saat yang sama ketika kelinci dibawa ke hadapan Peter, Peter diberikan biskuit dan susu. Selama beberapa hari berturut-turut, kelinci dibawa semakin dekat kepada Peter selama Peter makan biskuit dan minum susu.[8] Akhirnya, Peter sampai pada suatu titik ia memakan makanannya dengan satu tangan, dan memberi makan kelinci dengan tangannya yang lain.[8] Perasaan senang yang dihasilkan oleh biskuit dan susu tidak sesuai dengan rasa yang takut dihasilkan oleh kelinci, sehingga kahirnya rasa takut Peter hilang melalui counterconditioning.[8]

Terapi Perilaku Pengondisian Klasik

Terapi perilaku menggunakan prinsip-prinsip belajar untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku maladaptif.[9] Beberapa perilaku terutama rasa takut dapat dipelajari melalui pengondisian klasik.[9] Bila rasa takut dapat dipelajari, maka tentu saja dapat dibalikkan dengan prinsip yang sama juga.[9] Beberapa terapi perilaku yang menggunakan pengondisian klasik adalah desensitisasi sistematis dan pengondisian aversif.[9]

Desensitisasi Sistematis

Desensitisasi sistematis (systematic desensitization) adalah sebuah metode perilaku terapi yang didasarkan pada pengondisian klasik dengan membuat individu mengasosiasikan relaksasi mendalam secara bertahap dengan stiuasi yang menimbulkan kecemasan.[9] Pada desensitisasi sistematis, terapis bertanya tentang aspek yang paling menakutkan dan paling tidak menakutkan.[9] Lalu terapis mengatur individu dalam situasi-situasi berdasarkan daftar urutan mulai dari yang paling menakutkan hingga tidak menakutkan.[9]

Tahap berikutnya adalah mengajarkan individu untuk rileks.[9] Individu dapat belajar mengenali adanya kontraksi otot atau tegangan pada berbagai bagian tubuh dan kemudian bagaimana untuk menegangkan dan melemaskan otot-otot yang berbeda.[9] Ketika individu sudah merasa rileks, terapis meminta individu untuk membayangkan stimulus yang paling kurang ditakut dalam daftar urutan.[9] Kemudian terapis bergerak ke atas sesuai dengan daftar yang telah dibuat, dari yang paling kurang ditakuti hingga paling ditakuti.[9] Sementara posisi klien tetap bertahan dalam kondisi rileks. Maka kemudian, individu dapat membayangkan situasi yang paling menakutkan tanpa harus merasa takut.[9] Dengan cara ini individu belajar untuk rileks sementara, bukan mencemaskannya.[9] Desensitisasi sitematis sering digunakan sebaga cara mengatasi fobia secara efektif seperti ketakutan memberi pidato, ketakutan akan ketinggian, ketakutan akan terbang, ketakutan akan anjing dan ketakutan akan ular.[9] Bila individu takut dengan ular, seorang terapis awalnya akan meminta individu menyaksikan orang lain memegang ular dan kemudian meminta individu melakukan perilaku yang semakin ditakuti.[9] Pertama-tama, individu akan berada pada satu ruang yang sama dengan ular, lalu kemudian mendekati ular tersebut, kemudian menyentuh ular tersebut dan pada akhirnya dapat bermain dengan ular.[9]

Pengondisian Aversif

Pengondisian aversif adalah terjadinya pemasangan berulang dari sebuah perilaku yang tidak diharapkan dengan sebuah stimulus aversif untuk menurunkan penguatan yang didapatkan dari perilaku.[9] Pengondisian aversif digunakan untuk mengajarkan individu menghindari perilaku tertentu, seperti merokok, makan berlebihan, dan minum alkohol.[9] Cara yang digunakan dalam pengondisian aversif untuk mengurangi konsumsi alkohol individu adalah ketika individu minum minuman beralkohol, ia juga harus mengonsumsi minuman campuran yang membuat pusing dan mual.[9] Dalam istilah pengondisian klasik, minuman alkohol adalah stimulus yang dikondisikan, dan zat yang membuat mual adalah stimulus yang tidak dikondisikan.[9] Melalui pemasangan berulang antara alkohol dengan zat yang membuat mual, alkohol akan menjadi stimulus terkondisi yang menghasilkan mual.[9] Mual pada pengondisian aversif ini akan menjadi respon yang dikondisikan.[9] Sebagai konsekuensi, alkohol tidak lagi diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, tetapi sesuatu yang sangat tidak menyenangkan.[9]

Sumber: id.wikipedia.org

 

Selengkapnya
Pengondisian klasik

Ilmu Pendidikan

Belajar

Dipublikasikan oleh Admin pada 12 Maret 2022


Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons.[1] Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini, dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons.

Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pelajar (siswa), sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respons tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat diamati adalah stimulus dan respons. Oleh karena itu, apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pelajar (respons) harus dapat diamati dan diukur.

Penjelasan dari perubahan dalam definisi belajar

  • Perubahan akibat belajar dapat terjadi dalam berbagai bentuk perilaku, dari ranah kognitifafektif, dan/atau psikomotor. Tidak terbatas hanya penambahan pengetahuan saja.
  • Sifat perubahannya relatif permanen, tidak akan kembali kepada keadaan semula. Tidak bisa diterapkan pada perubahan akibat situasi sesaat, seperti perubahan akibat kelelahan, sakit, mabuk, dan sebagainya.
  • Proses perubahan tingkah laku dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian terhadap sikap dan nilai-nilai pengetahuan yang terdapat dalam berbagai bidang studi atau lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan.
  • Perubahannya tidak harus langsung mengikuti pengalaman belajar. Perubahan yang segera terjadi umumnya tidak dalam bentuk perilaku, tetapi terutama hanya dalam potensi seseorang untuk berperilaku.
  • Perubahan terjadi akibat adanya suatu pengalaman, praktik atau latihan. Berbeda dengan perubahan serta-merta akibat refleks atau perilaku yang bersifat naluriah.
  • Perubahan akan lebih mudah terjadi bila disertai adanya penguat, berupa ganjaran yang diterima – hadiah atau hukuman – sebagai konsekuensi adanya perubahan perilaku tersebut.
  • Proses perubahan dalam belajar menuju ke arah tujuan yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.
  • Perasaan bangga dalam diri karena dapat mengerti dan paham akan apa yang di pelajari.
  • Sarana untuk menyerap informasi dan norma yang ada.

Empat tahapan belajar

Ada empat tahapan belajar manusia, yaitu:

  • Inkompetensi bawah sadar, yaitu tidak sadar bahwa ia tidak tahu.
  • Inkompetensi sadar, yaitu sadar bahwa ia tidak tahu.
  • Kompetensi sadar, yaitu sadar bahwa ia tahu.
  • Kompetensi bawah sadar, yaitu tidak sadar bahwa ia tahu.

Inkompetensi bawah sadar

Kondisi di saat kita tidak mengetahui kalau ternyata kita tidak tahu. Contohnya adalah keadaan pikiran banyak pengemudi muda saat mulai belajar mengemudi. Itulah mengapa pengemudi muda mengalami lebih banyak kecelakaan ketimbang pengemudi yang lebih tua dan berpengalaman. Mereka tidak dapat (atau tidak mau) mengakui terbatasnya pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman mereka. Orang-orang yang berada dalam keadaan ini kemungkinan besar akan mengambil risiko, memapar diri pada bahaya atau kerugian, untuk alasan sederhana yang sama sekali tidak mereka sadari bahwa itulah yang mereka lakukan.

Inkompetensi sadar

Pengakuan sadar pada diri sendiri bahwa kita tidak tahu, dan penerimaan penuh atas kebodohan kita semua yang telah dilakukan.

Kompetensi sadar

Sadar bahwa kita tahu, yaitu ketika kita mulai memiliki keahlian atas sebuah subjek, tetapi tindakan kita belum berjalan otomatis. Pada belajar yang ini, kita harus melaksanakan semua tindakan dalam level sadar. Saat belajar mengemudi, misalnya, kita harus secara sadar tahu di mana tangan dan kaki kita, berpikir dalam setiap pengambilan keputusan apakah akan menginjak rem, berbelok, atau ganti gigi. Saat kita melakukannya, kita berpikir dengan sadar tentang bagaimana melakukannya. Pada tahap ini, reaksi kita jauh lebih lamban ketimbang reaksi para pakar.

Kompetensi bawah sadar

Tahapan seorang ahli yang sekadar melakukannya, dan bahkan mungkin tidak tahu bagaimana ia melakukannya secara terperinci. Ia tahu apa yang ia lakukan, dengan kata lain, ada sesuatu yang ia lakukan di hidup ini yang bagi orang lain tampak penuh risiko tetapi bagi dia bebas risiko. Ini terjadi karena ia telah membangun pengalaman dan mencapai kompetensi bawah sadar pada aktivitas itu selama beberapa tahun. Ia tahu apa yang ia lakukan, dan ia juga tahu apa yang tidak dapat ia lakukan. Bagi seseorang yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalamannya, apa yang ia lakukan tampak penuh risiko.

Kota Nagasaki 1945 sebelum dan sesudah di jatuhkan bom atom, merupakan bentuk pembelajaran akibat dari Perang Dunia

Pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar.[2] Definisi sebelumnya menyatakan bahwa seorang manusia dapat melihat dalam perubahan yang terjadi, tetapi tidak pembelajaran itu sendiri.[3] Konsep tersebut adalah teoretis, dan dengan demikian tidak secara langsung dapat diamati:

“Anda telah melihat individu mengalami pembelajaran, melihat individu berperilaku dalam cara tertentu sebagai hasil dari pembelajaran, dan beberapa dari Anda (bahkan saya rasa mayoritas dari Anda) telah "belajar" dalam suatu tahap dalam hidup Anda. Dengan perkataan lain, kita dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi ketika seorang individu berperilaku, bereaksi, dan merespon sebagai hasil dari pengalaman dengan satu cara yang berbeda dari caranya berperilaku sebelumnya.[4]

Pembelajaran dalam dunia pendidikan

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.

Salah satu pengertian pembelajararan dikemukakan oleh Gagne (1977) yaitu pembelajaran adalah seperangkat peristiwa -peristiwa eksternal yang dirancang untuk mendukung beberapa proses belajar yang bersifat internal. Lebih lanjut, Gagne (1985) mengemukakan teorinya lebih lengkap dengan mengatakan bahwa pembelajaran dimaksudkan untuk menghasilkan belajar, situasi eksternal harus dirancang sedemikian rupa untuk mengaktifkan, mendukung, dan mempertahankan proses internal yang terdapat dalam setiap peristiwa belajar.

Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.

Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreativitas pengajar. Pembelajar yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memandai, ditambah dengan kreativitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai target belajar.

Teori pembelajaran

Tiga teori telah ditawarkan untuk menjelaskan proses di mana seseorang memperoleh pola perilaku, yaitu teori pengkondisian klasik, pengkondisian operan, dan pembelajaran sosial.[3]

Pembelajaran klasik

Ivan Pavlov, ahli fisiolog dari Rusia yang memperkenalkan Teori Pengkondisian Klasik

Pengkondisian klasik adalah jenis pengkondisian di mana individu merespon beberapa stimulus yang tidak biasa dan menghasilkan respons baru.[3] Teori ini tumbuh berdasarkan eksperimen untuk mengajari anjing mengeluarkan air liur sebagai respons terhadap bel yang berdering, dilakukan pada awal tahun 1900-an oleh seorang ahli fisolog Rusia bernama Ivan Pavlov.[5]

Pembelajaran operant

Pengkondisian operan adalah jenis pengkondisian di mana perilaku sukarela yang diharapkan menghasilkan penghargaan atau mencegah sebuah hukuman.[3] Kecenderungan untuk mengulang perilaku seperti ini dipengaruhi oleh ada atau tidaknya penegasan dari konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkan oleh perilaku.[3] Dengan demikian, penegasan akan memperkuat sebuah perilaku dan meningkatkan kemungkinan perilaku tersebut diulangi.[3]

Apa yang dilakukan Pavlov untuk pengkondisian klasik, oleh psikolog Harvard, B. F. Skinner, dilakukan pengkondisian operan.[6] Skinner mengemukakan bahwa menciptakan konsekuensi yang menyenangkan untuk mengikuti bentuk perilaku tertentu akan meningkatkan frekuensi perilaku tersebut.[6]

Pembelajaran sosial

Pembelajaran sosial adalah pandangan bahwa orang-orang dapat belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsung.[7] Meskipun teori pembelajaran sosial adalah perluasan dari pengkondisian operan, teori ini berasumsi bahwa perilaku adalah sebuah fungsi dari konsekuensi. Teori ini juga mengakui keberadaan pembelajaran melalui pengamatan dan pentingnya persepsi dalam pembelajaran.[7]

Prinsip-prinsip pembelajaran

Dalam buku Conditioning of Learning, (Gagne, 1977) dikemukakan tujuh prinsip pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran. Tujuh prinsip pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perhatian dan Motivasi (Gaining Attention)

Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tidak mungkin terjadi belajar. Perhatian terhadap pelajaran akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya.

Apabila bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk belajar lebih lanjut atau diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan membangkitkan perhatian dan juga motivasi untuk mempelajarinya. Apabila dalam diri siswa tidak ada perhatian terhadap pelajaran yang dipelajari, maka siswa tersebut perlu dibangkitkan perhatiannya.

Dalam proses pembelajaran, perhatian merupakan faktor yang besar pengaruhnya, kalau peserta didik mempunyai perhatian yang besar mengenai apa yang dipelajari peserta didik dapat menerima dan memilih stimuli yang relevan untuk diproses lebih lanjut di antara sekian banyak stimuli yang datang dari luar. Perhatian dapat membuat peserta didik untuk mengarahkan diri pada tugas yang akan diberikan; melihat masalah-masalah yang akan diberikan; memilih dan memberikan fokus pada masalah yang harus diselesaikan.

Di samping perhatian, motivasi mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat terhadap sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik perhatiannya dan dengan demikian timbul motivasi untuk mempelajarinya.

Misalnya, siswa yang menyukai pelajaran matematika akan merasa senang belajar matematika dan terdorong untuk belajar lebih giat, karenanya adalah kewajiban bagi guru untuk bisa menanamkan sikap positif pada diri siswa terhadap mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Motivasi dapat diartikan sebagai tenaga pendorong yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu. Adanya tidaknya motivasi dalam diri peserta didik dapat diamati dari observasi tingkah lakunya. Apabila peserta didik mempunyai motivasi, ia akan

  • bersungguh-sungguh menunjukkan minat, mempunyai perhatian, dan rasa ingin tahu yang kuat untuk ikut serta dalam kegiatan belajar;
  • berusaha keras dan memberikan waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan tersebut;
  • terus bekerja sampai tugas-tugas tersebut terselesaikan.

Motivasi dapat bersifat internal, yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri peserta didik dan juga eksternal baik dari guru, orang tua, teman dan sebagainya. Berkenaan dengan prinsip motivasi ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran, yaitu: memberikan dorongan, memberikan insentif dan juga motivasi berprestasi.

2. Keaktifan

Menurut pandangan psikologi anak adalah makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan pada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak mengalami sendiri.

John Dewey mengemukakan bahwa belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari dirinya sendiri, guru hanya sebagai pembimbing dan pengarah. Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak hanya menyimpan saja tanpa mengadakan tansformasi. Menurut teori ini anak memiliki sifat aktif, konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu mencari, menemukan, dan menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya.

Thordike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum "law of exercise"-nya yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan. Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat jika sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika tidak pernah digunakan. Artinya dalam kegiatan belajar diperlukan adanya latihan-latihan dan pembiasaan agar apa yang dipelajari dapat diingat lebih lama. Semakin sering berlatih maka akan semakin paham.

Hal ini juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc.Keachie bahwa individu merupakan "manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu". Dalam proses belajar, siswa harus menampakkan keaktifan. Keaktifan itu dapat berupa kegiatan fisik yang mudah diamati maupun kegiatan psikis yang sulit diamati.

Kegiatan fisik bisa berupa membaca, mendengar, menulis, berlatih keterampilan-keterampilan dan sebaginya. Kegiatan psikis misalnya menggunakan pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan suatu konsep dengan yang lain, menyimpulkan hasil percobaan dan lain sebagainya.

Keaktifan saling berkaitan dengan Kedispilinan belajar. Disiplin belajar adalah predis posisi (kecenderungan) suatu sikap mental untuk mematuhi aturan, tata tertib, dan sekaligus mengendalikan diri, menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berasal dari luar sekalipun yang mengekang dan menunjukkan kesadaran akan tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban (Ardiansyah, Asrori. 2011).

3. Keterlibatan Langsung/Pengalaman (Eliciting Performance)

Belajar haruslah dilakukan sendiri oleh siswa, belajar adalah mengalami dan tidak bisa dilimpahkan pada orang lain. Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman belajar mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak hanya mengamati, tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan dan bertanggung jawab terhadap hasilnya.

Sebagai contoh seseorang yang belajar membuat tempe yang paling baik apabila ia terlibat secara langsung dalam pembuatan, bukan hanya melihat bagaimana orang membuat tempe, apalagi hanya mendengar cerita bagaimana cara pembuatan tempe. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Dalam konteks ini, siswa belajar sambil bekerja, karena dengan bekerja mereka memperoleh pengetahuan, pemahaman, pengalaman serta dapat mengembangkan keterampilan yang bermakna untuk hidup di masyarakat.

Hal ini juga sebagaimana yang di ungkapkan Jean Jacques Rousseau bahwa anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam, melalui belajar anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak mempunyai kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri. Dengan demikian, segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, penyelidikan sendiri, bekerja sendiri, dan dengan fasilitas yang diciptakan sendiri.

Pembelajaran itu akan lebih bermakna jika siswa "mengalami sendiri apa yang dipelajarinya" bukan "mengetahui" dari informasi yang disampaikan guru, sebagaimana yang dikemukakan Nurhadi bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah.

Dari berbagai pandangan para ahli tersebut menunjukkan berapa pentingnya keterlibatan siswa secara langsung dalam proses pembelajaran. Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan "learning by doing"-nya. Belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung dan harus dilakukan oleh siswa secara aktif. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa para siswa dapat memperoleh lebih banyak pengalaman dengan cara keterlibatan secara aktif dan proporsional, dibandingkan dengan apabila mereka hanya melihat materi/konsep.

Modus Pengalaman belajar adalah sebagai berikut: kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.

Hal ini menunjukkan bahwa jika guru mengajar dengan banyak ceramah, maka peserta didik akan mengingat hanya 20% karena mereka hanya mendengarkan. Sebaliknya, jika guru meminta peserta didik untuk melakukan sesuatu dan melaporkan nya, maka mereka akan mengingat sebanyak 90%. Hal ini ada kaitannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh seorang filsof Cina Confocius, bahwa:

“apa yang saya dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat; dan apa yang saya lakukan saya paham. Dari kata-kata bijak ini kita dapat mengetahui betapa pentingnya keterlibatan langsung dalam pembelajaran.”

4. Pengulangan (Stimulating Recall)

Prinsip belajar yang menekankan perlunya pengulangan adalah teori psikologi daya. Menurut teori ini belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamati, menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berpikir dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan berkembang, seperti halnya pisau yang selalu diasah akan menjadi tajam, maka daya yang dilatih dengan pengadaan pengulangan-pengulangan akan sempurna.

Dalam proses belajar, semakin sering materi pelajaran diulangi maka semakin ingat dan melekat pelajaran itu dalam diri seseorang. Mengulang besar pengaruhnya dalam belajar, karena dengan adanya pengulangan "bahan yang belum begitu dikuasai serta mudah terlupakan" akan tetap tertanam dalam otak seseorang. Mengulang dapat secara langsung sesudah membaca, tetapi juga bahkan lebih penting adalah mempelajari kembali bahan pelajaran yang sudah dipelajari misalnya dengan membuat ringkasan.

Teori lain yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori koneksionisme-nya Thordike. Dalam teori koneksionisme, ia mengemukakan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respons benar.

5. Tantangan (Presenting The Stimulus)

Teori medan (Field Theory) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam belajar berada dalam suatu medan. Dalam situasi belajar siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan dalam mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya.

Menurut teori ini belajar adalah berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan. Agar pada diri anak timbul motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik, maka bahan pelajaran harus menantang. Tantangan yang dihadapi dalam bahan belajar membuat siswa bersemangat untuk mengatasinya. Bahan pelajaran yang baru yang banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan membuat siswa tertantang untuk mempelajarinya.

Penggunaan metode eksperimen, inquiridiscovery juga memberikan tantangan bagi siswa untuk belajar secara lebih giat dan sungguh-sungguh. Penguatan positif dan negatif juga akan menantang siswa dan menimbulkan motif untuk memperoleh ganjaran atau terhindar dari hukuman yang tidak menyenangkan.

6. Balikan dan Penguatan (Providing Feedback)

Prinsip belajar yang berkaiatan dengan balikan dan penguatan adalah teori belajar operant conditioning dari B.F. Skinner.Kunci dari teori ini adalah hukum effeknya Thordike, hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat, jika disertai perasaan senang atau puas dan sebaliknya bisa lenyap jika disertai perasaan tidak senang. Artinya jika suatu perbuatan itu menimbulkan efek baik, maka perbuatan itu cenderung diulangi.

Sebaliknya jika perbuatan itu menimbulkan efek negatif, maka cenderung untuk ditinggalkan atau tidak diulangi lagi. Siswa akan belajar lebih semangat apabila mengetahui dan mendapat hasil yang baik. Apabila hasilnya baik akan menjadi balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya.

Namun, dorongan belajar itu tidak saja dari penguatan yang menyenangkan tetapi juga yang tidak menyenangkan, atau dengan kata lain adanya penguatan positif maupun negatif dapat memperkuat belajar. Siswa yang belajar sungguh-sungguh akan mendapat nilai yang baik dalam ulangan. Nilai yang baik itu mendorong anak untuk belajar lebih giat lagi. Nilai yang baik dapat merupakan operan conditioning atau penguatan positif.

Sebaliknya, anak yang mendapat nilai yang jelek pada waktu ulangan akan merasa takut tidak naik kelas, karena takut tidak naik kelas ia terdorong untuk belajar yang lebih giat. Di sini nilai jelek dan takut tidak naik kelas juga bisa mendorong anak untuk belajar lebih giat, inilah yang disebut penguatan negatif.

7. Perbedaan Individual (Assessing Performance)

Siswa merupakan makhluk individu yang unik yang mana masing-masing mempunyai perbedaan yang khas, seperti perbedaan intelegensi, minat bakat, hobi, tingkah laku maupun sikap, mereka berbeda pula dalam hal latar belakang kebudayaan, sosial, ekonomi dan keadaan orang tuanya. Guru harus memahami perbedaan siswa secara individu, agar dapat melayani pendidikan yang sesuai dengan perbedaannya itu.

Siswa akan berkembang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Setiap siswa juga memiliki tempo perkembangan sendiri-sendiri, maka guru dapat memberi pelajaran sesuai dengan temponya masing-masing. Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa.

Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran. Sistem pendidikan klasik yang dilakukan di sekolah kita kurang memperhatikan masalah perbedaan individual, umumnya pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan melihat siswa sebagai individu dengan kemampuan rata-rata, kebiasaan yang kurang lebih sama, demikian pula dengan pengetahuannya.

Metode pembentukan perilaku

Ketika seseorang mencoba untuk membentuk individu dengan membimbingnya selama pembelajaran yang dilakukan secara bertahap, orang tersebut sedang melakukan pembentukan perilaku.[3] Pembentukan perilaku adalah secara sistematis menegaskan setiap urutan langkah yang menggerakkan seorang individu lebih dekat terhadap respons yang diharapkan.[3] Terdapat empat cara pembentukan perilaku: melalui penegasan positif, penegasan negatif, hukuman, dan peniadaan.[3]

Sumber: id.wikipedia.org

 

Selengkapnya
Belajar

Ilmu Pendidikan

Pedagogi

Dipublikasikan oleh Admin pada 12 Maret 2022


Pedagogi adalah ilmu atau seni dalam menjadi seorang guru. Istilah ini merujuk pada strategi pembelajaran atau gaya pembelajaran.[1]

Pedagogi juga kadang-kadang merujuk pada penggunaan yang tepat dari strategi mengajar. Sehubungan dengan strategi mengajar itu, filosofi mengajar diterapkan dan dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan dan pengalamannya, situasi pribadi, lingkungan, serta tujuan pembelajaran yang dirumuskan oleh peserta didik dan guru. Salah satu contohnya adalah aliran pemikiran Sokrates.[2]

Seorang guru sedang mempraktikkan ilmu dan seni dalam memotivasi peserta didik.

Etimologi

Kata "pedagogi" berasal dari Bahasa Yunani kuno παιδαγωγέω (paidagōgeō; dari παίς país:anak dan άγω ági: membimbing; secara literal berarti "membimbing anak”). Di Yunani kuno, kata παιδαγωγός biasanya diterapkan pada budak yang mengawasi pendidikan anak tuannya, termasuk di dalamnya mengantarnya ke sekolah (διδασκαλείον) atau tempat latihan (γυμνάσιον), mengasuhnya, dan membawakan perbekalannya (seperti alat musiknya).[3]

Kata yang berhubungan dengan pedagogi, yaitu pendidikan,[4] sekarang digunakan untuk merujuk pada keseluruhan konteks pembelajaran, belajar, dan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan hal tersebut.

Malcolm Knowles mengungkapkan istilah lain yang mirip dengan pedagogi yaitu andragogi, yang merujuk pada ilmu dan seni mendidik orang dewasa.

Sumber: id.wikipedia.org

 

Selengkapnya
Pedagogi
page 1 of 2 Next Last »