Industri Kimia Hulu

Menggali Potensi Industri 4.0 sebagai Sektoral Prioritas

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 23 Februari 2024


Jakarta, Beritasatu.com - Industri kimia, termasuk industri metanol, menjadi salah satu fokus peta jalan Manufaktur 4.0 Indonesia, sehingga Kementerian Perindustrian berupaya serius untuk memperkuat struktur industri tersebut.

“Industri metanol mempunyai peranan penting pada industri-industri berikut ini sebagai bahan baku/bahan penolong pada bidang tekstil, plastik, resin sintetik, farmasi, pestisida, kayu lapis dan bidang lainnya,”; kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

Agus menyampaikan, dalam penandatanganan perjanjian kerja sama antara PT Powerindo Cipta Energio dan China National Chemical Engineering Corporation telah dilakukan studi kelayakan proyek metanol batubara; di Jakarta pada Senin (18 Oktober 2021). Dikatakannya bahwa metanol juga digunakan sebagai campuran biodiesel. Selain itu, metanol dapat disuling lebih lanjut menjadi DME yang dapat digunakan sebagai bahan bakar.

Dengan berkembangnya industri sekunder pengguna metanol, menurutnya nilai kompensasi impor metanol akan semakin meningkat. Misalnya pada industri resin sintetik yang merupakan bahan baku/bahan penolong pada berbagai bidang seperti cat, tekstil, perekat dan pengencer. Kebutuhan resin sintetik dalam negeri sebagian besar berasal dari impor. Impor resin sintetis pada tahun 2020 berjumlah 700.000 ton dengan nilai $1,5 miliar.

Kemudian pemerintah juga mendorong penggantian LPG dengan DME karena produksi LPG semakin berkurang setiap tahunnya. Lebih dari 75% kebutuhan LPG dalam negeri dipenuhi dari impor yang diperkirakan mencapai USD 2,5 miliar pada tahun 2020. "Dengan angka tersebut, keberadaan proyek gasifikasi batu bara setidaknya memberikan potensi substitusi impor sekitar Rp 40 miliar per tahun," ; jelas Menteri Perindustrian.

Selain itu, Agus melakukan kunjungan kerja ke Jepang pada Maret 2021 dan bertemu dengan Menteri Perindustrian Jepang, menyampaikan bahwa negara tersebut melakukan investasi besar-besaran di industri metanol untuk mencapai tujuan netralitas karbon. . “Hal ini menunjukkan bahwa industri metanol memiliki potensi besar untuk pengembangan pasar baik di pasar domestik maupun ekspor,” ujarnya.

Agus mengatakan, perubahan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2020 mendukung kemudahan berusaha dan meningkatkan profitabilitas investasi pertambangan batubara dan sektor hilir.

“Dengan peraturan ini, proyek gasifikasi batubara dapat memanfaatkan insentif seperti pengurangan biaya pemakaian batubara menjadi 0, sistem harga khusus batubara di mulut tambang untuk gasifikasi batubara, dan pemberian izin pertambangan ( Masa berlaku IUP) untuk penyelenggaraan gasifikasi batubara terpadu,” jelas Menperin.

Dikatakannya, pemerintah juga akan terus menciptakan lingkungan usaha industri yang baik, menguntungkan, dan berkelanjutan melalui berbagai kebijakan, sehingga investasi terus tumbuh dan meningkatkan kekuatan perekonomian.

“Kementerian Perindustrian akan terus mendukung pelaksanaan proyek ini dan membantu mengatasi permasalahan teknis,” ujarnya.

Direktur Jenderal Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Muhammad Khayam mengatakan metanol yang dihasilkan dalam proyek ini diharapkan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang selama ini diperoleh dari impor. namun, impor produk metanol meningkat setiap tahunnya karena pertumbuhan industri pengguna metanol dan dukungan terhadap program biofuel,” kata Khayam.

Selain lokasi tersebut, pemerintah juga mendorong pelaksanaan proyek gasifikasi batubara yang sedang berjalan, yaitu batubara untuk pabrik kimia Tanjung Enim dan Kutai Timur.

Proyek batubara menjadi metanol juga didukung oleh ketersediaan sumber daya batubara yang melimpah. Cadangan batu bara nasional mencapai 38,84 miliar ton dan mampu bertahan hingga tahun 2091 dengan produksi tahunan sebesar 600 juta ton.

Disadur dari:  https://www.beritasatu.com/ekonomi/842649/industi-kimia-merupakan-sektor-prioritas-peta-jalan-industri-40 

Selengkapnya
Menggali Potensi Industri 4.0 sebagai Sektoral Prioritas

Industri Kimia Hulu

Pupuk Indonesia Menuju Industri Ramah Lingkungan

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 22 Februari 2024


Liputan6.com, Jakarta PT Pupuk Indonesia (Persero) siap mengembangkan industri pupuk alami. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan utama G20: transisi energi untuk mengurangi emisi karbon atau netralitas karbon.

Direktur Pupuk Indonesia Bakir Pasaman mengatakan pihaknya telah membuat peta jalan atau road map untuk mengembangkan sektor industri ramah lingkungan yang mendukung penghapusan tersebut.

“Pupuk Indonesia mendukung penurunan emisi karbon untuk mewujudkan industri berkelanjutan dan ramah lingkungan”; ujar Bakir.

Pupuk Terkait roadmap dekarbonisasi Indonesia, Bakir mengatakan, terbagi menjadi beberapa bagian. Dengan kata lain, langkah pertama atau dalam jangka pendek adalah meningkatkan efisiensi pembangkit agar lebih hemat energi dan ramah lingkungan.

Bakir mengatakan dalam jangka menengah, Pupuk Indonesia berniat membangun pabrik natrium karbonat di Petrokimia Gresik dan Pupuk Kaltim untuk memanfaatkan CO2 sebagai bahan baku produk.

Pada bagian selanjutnya, Bakir menjelaskan bahwa Pupuk Group Indonesia akan mulai mengembangkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), yaitu amonia biru yang dapat menangkap dan mendaur ulang CO2 untuk diolah dan digunakan sebagai energi bersih.

Sementara itu, Bakir menjelaskan, dalam jangka panjang Pupuk Indonesia akan memproduksi amonia hijau yang bersumber dari sumber energi terbarukan (REB) seperti pembangkit listrik tenaga air, sel surya, angin, dan panas bumi.

 

Kerjasama dengan PLN dan Pertamina

Untuk mencapai hal tersebut, Pupuk Indonesia menggandeng PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) untuk pengembangan industri alam.

Ketiga entitas pemerintah ini menandatangani nota kesepahaman klaster industri hijau yang disaksikan Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury.

Bakir mengatakan, kerja sama Pupuk Indonesia dengan PLN dan Pertamina merupakan pendekatan yang tepat bagi industri pupuk penghasil amonia hijau.

Sementara itu, Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury berharap kerja sama Pupuk Indonesia, PLN, dan Pertamina bisa sukses.

“Saya berharap semua ini bisa kita fokuskan, result dan end atau bagaimana kita bisa mengembangkan sektor industri yang bisa memanfaatkan energi hijau di kawasan ini,” kata Pahala.

Dalam MoU klaster industri hijau, ketiga perusahaan nasional ini akan memanfaatkan dan menggalakkan penggunaan EBT pada sektor industri yang ada, dalam hal ini di berbagai sektor industri Pupuk Indonesia yaitu PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (PSP), PT Pupuk Kujang Cikampek (PKC). ), PT Petrokimia Gresik (PKG) dan Pupuk Kalimantan Timur (PKT)

Kerjasama ketiga BUMN ini terbagi dalam tiga tahap. Sebagai langkah awal, banyak kawasan industri pupuk yang didorong untuk menggunakan listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Ke depan, ketiga BUMN ini akan berpartisipasi aktif dalam pengembangan green hydrogen dan green amonia, mulai dari pilot plant hingga pembangunan pabrik.

Disadur dari: https://www.liputan6.com/bisnis/read/4896097/pupuk-indonesia-punya-peta-jalan-industri-ramah-lingkungan?page=2 

Selengkapnya
Pupuk Indonesia Menuju Industri Ramah Lingkungan

Industri Kimia Hulu

Indonesia Menyikapi Tantangan Impor dengan Mengimpor 3 Juta Ton

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 22 Februari 2024


JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan kebutuhan garam akan mencapai lebih dari 4,6 juta ton pada tahun 2021. Dari jumlah tersebut, 84% dibutuhkan untuk produksi. Sektor industri yang membutuhkan garam adalah klorin dan alkali dalam produksi produk permeabel, pulp dan kertas.

Dikatakannya, kebutuhan sektor bahan garam industri sebesar 2,4 juta ton per tahun. Sejak industri yang menggunakan garam tumbuh sebesar 5-7% per tahun, maka kebutuhan garam sebagai bahan industri dan produk samping terus meningkat. “Contohnya, saat ini ada rencana membangun industri natrium karbonat yang digunakan pada industri kaca, sabun, dan tekstil. Saat ini kebutuhan natrium karbonat dalam negeri 100% diimpor. Mereka membutuhkan natrium karbonat sebanyak 1 juta ton. 3.07 miliar pada tahun 2021 untuk menjamin ketersediaan sumber daya air asin dalam negeri,” ujarnya saat berbicara melalui situs virtual, Jumat (24/9/2021). Ia juga mengatakan, ada empat industri yang diperbolehkan mengimpor garam, antara lain industri klor-alkali, makanan, obat-obatan, kosmetik, dan pengeboran minyak. “Selain sektor industri tersebut di atas, diminta juga memanfaatkan garam kota sebagai bahan bakunya,” tandasnya. Ia mengatakan, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), garam yang dihasilkan di desa hanya 1,3 juta ton, meski ada perbedaan kualitas, sehingga masih tersedia 4,6 juta ton garam dari desa. miliknya sangat penting

"Masalah kedua adalah kualitas. Banyak industri seperti klor-alkali, obat-obatan dan kosmetik, ekstraksi minyak, dan berbagai jenis makanan yang membutuhkan garam dalam jumlah besar sebagai bahan bakunya. Ini sangat rendah dalam hal kandungan NaCl dan pengotor logam. Konfirmasi distribusi adalah langkah ketiga. Sebab, industri berproduksi sepanjang tahun sehingga sangat membutuhkan pasokan bahan baku yang berkesinambungan, jelasnya. Pada tahun yang sama, nilai ekspor dari industri yang menggunakan garam impor, seperti industri makanan dan minuman serta industri pulp dan kertas, mencapai $47,9 miliar. Perjanjian yang diperlukan akan mendukung aktivitas perusahaan dalam negeri dan juga berkontribusi terhadap peningkatan nilai tukar negara.

Disadur dari: https://money.kompas.com/read/2021/09/24/171812826/penuhi-kebutuhan-industri-ri-impor-garam-hingga-3-juta-ton 

Selengkapnya
Indonesia Menyikapi Tantangan Impor dengan Mengimpor 3 Juta Ton

Industri Kimia Hulu

Alasan Mendesak Pengembangan Industri Kimia Berbasis Metanol

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 22 Februari 2024


JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia harus memperhatikan pembangunan industri hulu untuk mengembalikan peran industri sebagai basis perekonomian nasional. Salah satunya adalah industri petrokimia berbasis metanol yang menjadi pemasok bahan baku berbagai industri. Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Johnny Darmawan sangat mendorong pengembangan industri kimia metanol.

“Pembangunan industri metanol sangat penting tidak hanya untuk mendukung kemandirian industri dan daya saing industri tanah air, tetapi juga untuk mendukung pengembangan industri yang berkelanjutan, karena sangat penting untuk mengurangi penurunan dalam perdagangan karena ketergantungan yang berlebihan pada impor." ; Johnny mengatakan dalam keterangannya, Rabu (23 September 2020), ia yakin hanya ada sedikit investasi di sektor petrokimia selama 20 tahun terakhir. Situasi ini berdampak pada industri hulu petrokimia karena terbatasnya pasokan bahan baku sehingga meningkatkan ketergantungan terhadap impor. “Kapasitas produksi bahan baku petrokimia hanya 2,45 juta ton. Saat ini kebutuhan dalam negeri mencapai 5,6 juta ton per tahun. Dengan kata lain, kegiatan konstruksi hanya memenuhi 47% kebutuhan rumah tangga. “Sisanya yang 53% harus dipenuhi impor,” jelasnya.

Menurut Johnny, meski kebutuhan metanol meningkat, namun hanya ada satu produsen di Indonesia yang memiliki kapasitas produksi tahunan sebesar 660.000 ton. Akibatnya, ketergantungan terhadap impor metanol sangat besar. Nilai impor metanol sebesar USD 12 miliar, Rp 174 triliun per tahun. Sebab, metanol digunakan pada asam asetat, formaldehida, MTBE (metil tersier butil eter), polivinil, poliester, karet, resin sintetis, produk farmasi, dan DME. (Dimetil eter) karena merupakan senyawa antara yang menjadi bahan baku berbagai industri seperti quot;dan quot;, jelasnya. Alasan lain yang mendukung pengembangan strategis industri metanol adalah banyaknya produk turunan seperti biodiesel dan eter dimetil (DME) yang dapat digantikan olehnya Karena merupakan bahan bakar. Dengan demikian, pengembangan industri metanol dapat mengurangi impor minyak yang membebani neraca perdagangan Indonesia.

"Selain itu, industri metanol mendukung program pemerintah untuk transisi dari bahan bakar fosil ke biofuel."; kata Johnny. Saat ini PT Chandra Asri Petrochemical Tbk telah mulai mengoperasikan dua pabrik MTBE dan B1 pertamanya di Indonesia. Hal ini juga mendukung tujuan pemerintah Indonesia dalam mensubstitusi barang impor melalui program promosi produk dalam negeri (P3DN) yang digalakkan Kementerian Perindustrian. Meski dalam situasi COVID-19, pembangunan kedua pabrik tersebut berhasil diselesaikan sesuai jadwal yang direncanakan. Presiden Chandra Asri Erwin Ciputra mengatakan tujuan utama perusahaan adalah membantu pemerintah dan industri dalam negeri mengurangi ketergantungan pada impor.

Dengan beroperasinya pabrik baru ini, perseroan berharap dapat memenuhi target pemerintah untuk mengurangi impor sebesar 35% pada tahun 2022. Pembangunan pabrik MTBE dan B1 milik Chandra Asri telah diproduksi oleh Toyo Engineering Corporation dan PT Inti Karya Persada Tehnik sejak saat itu. 2018. Erwin juga menyampaikan bahwa kedua pabrik ini juga merupakan yang pertama menggunakan teknologi Lummus, salah satu pabrik petrokimia tercanggih di Indonesia. Teknologi pemrosesan global. Saat ini, pabrik MTBE (Methyl Tert-Butyl Ether) berkapasitas produksi 128 KTA untuk memenuhi kebutuhan oktan booster dalam negeri yang saat ini masih diimpor, dan pabrik B1 (Butene 1) berkapasitas tetap 43 KTA. untuk menelan untuk bekerja. . Pabrik Chandra Asri milik KTA dibutuhkan sebanyak 33 KTA, sedangkan sisanya ditargetkan untuk pasar dalam negeri.


Disadur dari: https://money.kompas.com/read/2020/09/23/174602026/industri-kimia-berbasis-metanol-perlu-dikembangkan-ini-sebabnya?page=all#page2

Selengkapnya
Alasan Mendesak Pengembangan Industri Kimia Berbasis Metanol

Industri Kimia Hulu

Ketergantungan Impor Bahan Baku Industri Kimia di Indonesia

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 22 Februari 2024


BANDUNG, KOMPAS.com - Saat ini hampir seluruh kebutuhan industri kimia dalam negeri dipenuhi dari luar negeri yakni impor. Salah satunya adalah soda ash atau soda ash yang merupakan bahan baku produk-produk yang dibutuhkan masyarakat seperti deterjen, pasta gigi, kaca dan turunannya seperti kaca dan spion, bahkan kendaraan listrik. “Indonesia membutuhkan sekitar 1,2 juta ton soda ash setiap tahunnya, dimana 90 persennya diimpor,” kata Hari Supriyad, CEO PT Kaltim Parna Industri dalam siaran persnya, Jumat (25 Juni 2021).

Hanya untuk kebutuhan ASEAN yaitu 2,9 juta ton. Kebutuhan ini akan terus meningkat, terutama seiring dengan meningkatnya penggunaan kendaraan listrik. Harry mencontohkan, permintaan soda ash di China terus meningkat hingga 2 juta ton per tahun. Oleh karena itu, ia berharap Indonesia mampu memenuhi kebutuhan soda ash. Ia yakin, sangat mungkin Indonesia bisa memproduksi soda sendiri. Sebab Indonesia mempunyai bahan baku dan sumber daya manusia yang mumpuni. “Kita punya sumber daya yang kuat, kita punya banyak sumber daya manusia yang mumpuni. Tapi mengapa mencari cara termudah ketika Anda memilih impor? dia menjelaskan. Selain itu, Batang, Jawa Tengah, saat ini memiliki pabrik kaca terbesar yang membutuhkan soda ash dalam jumlah besar. “Alangkah baiknya jika pabrik kaca ini menyuplai sodanya dari dalam negeri. Untuk menambah nilai, menghemat devisa, menciptakan lapangan kerja dan menciptakan keuntungan yang banyak,” ujarnya. Padahal, industri kimia, termasuk soda, sudah dibangun pada tahun 1990-an. Namun terkena dampak krisis ekonomi tahun 1998.

Kemudian mereka pernah membangun bahan baku abu di NTT di sebelah sumber garam, namun tetap tidak berhasil. Selama 80 tahun berkiprah di Indonesia, Tirto Prakoso Brodjonegoro, Ketua Komite Sekolah Tinggi Teknik Kimia, menjelaskan soda abu merupakan komponen kimia dasar yang keberadaan dan fungsinya belum banyak diketahui masyarakat. "Meskipun produk akhirnya sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari," dia menutup.

Disadur dari: https://money.kompas.com/read/2021/06/25/160500626/bahan-baku-industri-kimia-indonesia-sangat-bergantung-impor 

Selengkapnya
Ketergantungan Impor Bahan Baku Industri Kimia di Indonesia

Industri Kimia Hulu

Indonesia dan Uzbekistan Jalin Kerja Sama di Ranah Industri Pupuk

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 22 Februari 2024


JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia dan Uzbekistan memperkuat kerja sama ekonomi di berbagai bidang, khususnya industri. Kedua negara akan dinilai kemampuannya dalam memperdalam infrastruktur melalui perluasan investasi. “Kami mendorong kerja sama antara pelaku industri Indonesia dan Uzbekistan, termasuk di bidang industri pupuk,” kata Muhammad Khayam, Sekretaris Jenderal Kementerian Industri Kimia, Perdagangan, dan Tekstil (IKFT), dalam pengumuman resmi yang dikutip Kompas. com Senin (24 Mei 2021) “Tindakan ini akan meningkatkan persaingan,” kata Khayam. Perbuatan baik untuk tanah yang disebut Tanah Magnet. “Ada peluang kerja sama ekonomi yang lebih baik antara Indonesia dan Uzbekistan yang dapat meningkatkan perdagangan kedua negara,” ujarnya. Uzbekistan merupakan negara mitra penting bagi Indonesia. Letak Uzbekistan di Asia Tengah dinilai strategis karena berada di jalur perdagangan sutra. Selain itu, Uzbekistan juga mengalami perkembangan ekonomi yang pesat.

Khayam mengatakan kelompok Indonesia melihat peluang bagi Uzbekistan untuk memenuhi kebutuhan material untuk industri pupuk dalam negeri. Salah satu bahan utama yang dibutuhkan Indonesia untuk memproduksi pupuk adalah kalium klorida (KCl). KCl tidak hanya digunakan sebagai bahan baku pupuk saja, namun juga digunakan sebagai bahan pembantu dalam industri makanan, minuman, dan farmasi. Indonesia bukan produsen KCl. Sejauh ini, permintaan telah diajukan dari Rusia, Kanada, dan Laos. “Kedepannya kita bisa mencoba mengimpor sumber daya tersebut dari Uzbekistan atau menarik investasi ke Indonesia,” ujarnya.

Di Uzbekistan, NPK memiliki pabrik di Samarkand dengan kapasitas 250.000 ton per tahun. Semua bahan baku NPK berasal dari sumber lokal, harga gas di Uzbekistan sekitar 2,2 USD per MMBTU. “Selain itu, ada pabrik Uz-Potash (KCl) dengan kapasitas 600.000 ton,” kata Khayam. Selain peluang kerja sama di industri pupuk, Koordinator Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel mengatakan, ada juga peluang di industri pertanian. Uzbekistan membutuhkan buah-buahan tropis seperti pisang, buah naga, alpukat, dan kopi untuk konsumsi warganya dan untuk menunjang industrinya.

“Oleh karena itu saya ingin mempromosikan keberadaan sister city antara kota Uzbekistan dengan wilayah Indonesia penghasil buah tropis ini,” kata Rachmat. Ia mencontohkan Kabupaten Lumajang yang merupakan daerah penghasil pisang di Jawa Timur dan bisa menjadi sister city di Uzbekistan. “Hal serupa juga bisa dilakukan oleh daerah dan kota lain yang menghasilkan buah naga dan kopi,” ujarnya.

Disadur dari: https://money.kompas.com/read/2021/05/24/131221526/indonesia-dan-uzbekistan-berpeluang-kerja-sama-di-sektor-industri-pupuk?page=all#page2 

Selengkapnya
Indonesia dan Uzbekistan Jalin Kerja Sama di Ranah Industri Pupuk
page 1 of 2 Next Last »