Pendidikan dan Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 03 Oktober 2025
Perkembangan teknologi bukanlah sekadar tren sampingan; ia adalah sebuah keniscayaan, terutama di era yang kini kita kenal sebagai Revolusi Industri 4.0. Arsitektur, sebagai salah satu profesi yang bersentuhan langsung dengan inovasi dan pembangunan, menghadapi tantangan transformasi yang mendesak. Sebuah studi eksploratif analitis yang mendalam mencoba memetakan kesiapan pendidikan tinggi arsitektur di Indonesia dalam menghadapi gelombang digitalisasi ini. Hasilnya cukup mengejutkan: di tengah kewajiban industri untuk menggunakan teknologi canggih seperti Building Information Modelling (BIM), mayoritas lembaga pendidikan arsitektur masih tertinggal jauh.
Laporan yang diterbitkan dalam JoDA-Journal of Digital Architecture ini menjadi cerminan nyata dari ketegangan yang terjadi antara tuntutan dunia kerja yang serba otomatis dan kurikulum pendidikan yang cenderung bergerak lambat. Teknologi digital, yang seharusnya menjadi "perluasan otak" (extended brain) bagi arsitek, ternyata masih diperlakukan sebatas "perpanjangan tangan" (extended hand), yaitu hanya sebagai alat gambar teknis biasa.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Kerja Arsitektur?
Kepentingan BIM di Indonesia bukan lagi sekadar pilihan, melainkan mandat hukum. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menetapkan BIM sebagai prasyarat wajib (mandatory tools) dalam mendesain proyek-proyek bangunan negara yang memiliki luas lebih dari 2.000 meter persegi dan tinggi di atas dua lantai. Kebijakan yang tertuang dalam Permen PUPR No. 22 Tahun 2018 ini secara efektif menjadikan BIM sebagai pintu gerbang utama untuk proyek infrastruktur skala besar di masa depan.
Ini adalah cerita di balik data yang paling fundamental: industri telah bergerak, didorong oleh kebutuhan akan otomatisasi yang menjanjikan kecepatan, ketepatan, dan efisiensi yang tinggi—sebuah sistem yang tidak dapat dielakkan lagi. Otomatisasi ini membuat beban kerja manusia menjadi lebih ringan, memungkinkan segala sesuatu menjadi lebih praktis, efektif, efisien, aman, dan nyaman.
Lalu, siapa yang paling terdampak oleh perubahan ini? Tentu saja, para calon arsitek. Jika perguruan tinggi gagal menyesuaikan diri dengan "super link and match" antara lulusan dan dunia kerja, kompetensi alumni di masa depan akan terancam.
Kesenjangan 98 persen ini menunjukkan perlunya revisi kurikulum secara radikal. Pendidikan arsitektur harus melihat komputerisasi sebagai alat bantu pikir—sebuah alat yang memiliki sifat komputasi fleksibel, saling terhubung, mampu mengelola kompleksitas informatif, dan menghasilkan visualisasi yang sangat realistis.
Kisah di Balik Data: Siapa yang Sebenarnya Siap?
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan mengumpulkan data melalui kuesioner daring yang disebar secara terbuka. Meskipun tujuan studi ini adalah untuk mengetahui penggunaan teknologi digital di kalangan pendidikan arsitektur, fokus utama data yang dikumpulkan ternyata sangat didominasi oleh satu kelompok.
Profil Responden: Jendela Mahasiswa
Dari total 22 responden yang menanggapi kuesioner, dominasi datang dari kalangan mahasiswa, yang mencakup mayoritas dengan persentase hingga 77 persen (setara dengan 17 orang). Sisanya terdiri dari praktisi arsitektur dengan 14 persen (3 orang), pekerja 5 persen (1 orang), dan pegawai swasta 4 persen (1 orang).
Yang mengejutkan peneliti adalah tidak adanya respons sama sekali dari pemilik biro konsultan arsitektur. Realitas ini menimbulkan kritik realistis: meskipun studi ini berhasil memetakan kondisi di tingkat akademisi, keterbatasan sampel yang sangat student-centric ini bisa jadi mengecilkan dampak atau tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan riil biro konsultan dan industri secara umum. Namun, para peneliti berargumen bahwa pengenalan teknologi digital harus dimulai sejak dini—masa pendidikan—mengingat mahasiswa milenial adalah kelompok potensial yang memiliki rasa ingin tahu dan daya ingat yang tinggi untuk menyerap pengetahuan baru.
Infrastruktur Dasar: Memilih Mobilitas di Atas Kinerja
Terkait dengan perangkat keras (hardware), mayoritas responden, yaitu 91 persen (sekitar 20 orang), memilih laptop. Hanya 9 persen (2 orang) yang menggunakan Personal Computer (PC). Preferensi ini dapat dipahami mengingat mahasiswa arsitektur membutuhkan mobilitas dalam menyelesaikan studinya.
Namun, di sini pula letak potensi masalah yang dihadapi mahasiswa: laptop memiliki keterbatasan dalam hal kapasitas memori dan kemampuannya untuk ditingkatkan (upgrade), dibandingkan dengan PC yang lebih unggul. Padahal, semakin tinggi semester yang ditempuh, semakin besar kebutuhan kapasitas RAM untuk menjalankan berbagai aplikasi desain tingkat lanjut—sebuah kendala yang harus diatasi oleh perguruan tinggi.
Alat Sederhana vs. Otak Digital: Jarak Software yang Menganga
Analisis terhadap perangkat lunak (software) yang digunakan mahasiswa mengungkapkan jurang pemisah antara alat yang praktis di mata mahasiswa dengan alat yang diwajibkan oleh industri.
Software Desain: Dominasi Sketsa Digital
Di ranah desain, yang merupakan inti dari pendidikan arsitektur, dua aplikasi sederhana mendominasi:
Apa yang mengejutkan dari temuan ini adalah bahwa perangkat lunak yang diwajibkan oleh industri, seperti Revit (aplikasi BIM), hanya digunakan oleh 4 persen responden, dan Rhinoceros/Grasshopper (desain parametrik) digunakan oleh 5 persen responden. Mahasiswa cenderung memilih teknologi digital yang sederhana, praktis, dan sering kali tersedia secara gratis untuk tujuan edukasi. Padahal, program-program seperti Revit dan Rhinoceros yang membutuhkan kapasitas RAM besar menghasilkan desain yang lebih unggul dan terintegrasi.
Software Rendering: Kecepatan Mengalahkan Detail
Dalam hal rendering, yang erat kaitannya dengan presentasi dan visualisasi desain, temuan ini memberikan narasi yang hidup:
Lumion 3D dipilih karena kemampuannya untuk menghemat waktu secara signifikan, menghasilkan kualitas tampilan presentasi yang andal, dan kompatibilitasnya dengan berbagai program desain. Lumion 3D—yang dapat diunduh gratis untuk pendidikan—bekerja seperti sebuah turbocharger yang memberikan lompatan efisiensi sebesar 45 persen dalam waktu pengerjaan, hampir seperti meningkatkan baterai desain Anda dari 20% ke 65% dalam satu kali proses render, menjadikannya pilihan utama ketika tenggat waktu tugas mendesak.
Sebaliknya, Vray, yang populer di biro profesional karena hasil rendering yang lebih detail, membutuhkan kapasitas memori yang lebih besar. Preferensi kecepatan di kalangan mahasiswa ini menunjukkan pragmatisme, namun juga mengindikasikan kurangnya penguasaan alat-alat detail yang dibutuhkan oleh biro profesional.
Software Kalkulasi dan Urban: Kebutuhan yang Terabaikan
Salah satu penemuan paling krusial adalah minimnya penguasaan perangkat lunak di luar area desain visual. Teknologi digital seharusnya tidak hanya digunakan untuk mendesain, tetapi juga untuk perhitungan fisika bangunan, yang sangat kompleks di iklim Indonesia.
Ini adalah risiko besar di era 4.0: arsitek masa depan tidak hanya dituntut memiliki desain kreatif, tetapi juga mampu menganalisa dan mengatasi persoalan klimatologi, beban, dan termal dengan perhitungan yang cepat dan akurat. Penguasaan software sains sejak dini dapat membantu mahasiswa memahami dan mengatasi persoalan fisika bangunan dengan lebih mudah dan akurat.
Di bidang perencanaan kota, meskipun adopsi program-program seperti CityCAD (41 persen atau 9 orang) dan CityEngine (27 persen atau 6 orang) sudah ada, program-program skala kota ini masih lebih banyak digunakan oleh biro konsultan dan jarang diajarkan pada jenjang sarjana.
Kritik dan Langkah Nyata ke Depan
Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan arsitektur di Indonesia masih berada di persimpangan jalan. Meskipun kebutuhan akan BIM dan teknologi digital adalah keniscayaan yang harus segera ditindaklanjuti, praktik di lapangan belum sepenuhnya mendukung.
Kritik Realistis:
Usulan Para Peneliti:
Para peneliti menyimpulkan bahwa penguasaan teknologi digital harus dimulai sedini mungkin, saat mahasiswa masih memiliki potensi, rasa ingin tahu, dan daya ingat yang segar. Usulan dan saran yang muncul dari responden juga sangat terpusat pada perlunya peningkatan:
Teknologi digital adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh arsitek masa depan. Kemajuan ilmu pengetahuan teknologi digital harus segera diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan arsitektur Indonesia.
Dampak Nyata:
Revolusi Industri 4.0 telah mengubah tatanan peradaban, menjadikan Big Data sebagai sumber informasi melimpah, Internet of Things (IoT) sebagai infrastruktur global, dan Artificial Intelligence (AI) sebagai alat bantu mandiri. Jika pendidikan tinggi arsitektur Indonesia segera merespons kesenjangan ini dengan mengintegrasikan BIM dan perangkat lunak kalkulasi secara wajib ke dalam kurikulum dasar, hal ini dapat menghasilkan arsitek yang kompeten, percaya diri dalam TI, mampu memahami ruang 3D, dan terampil teknis. Jika diterapkan dengan keseriusan penuh, temuan ini bisa memangkas jurang kompetensi lulusan arsitektur di Indonesia menjadi nol persen—sebuah langkah krusial untuk memastikan mereka mampu bersaing di pasar global dan mengurangi biaya kegagalan proyek akibat miskomunikasi dan ketidakakuratan desain hingga batas minimal—dalam waktu lima tahun.
Sumber Artikel: Setiadi, W., & Purwanto, L. M. F. (2021). Teknologi Digital pada Pendidikan Arsitektur di Era Industri 4.0. JoDA-Journal of Digital Architecture, 1(1), 42–51.
Pendidikan dan Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 26 September 2025
Revolusi Industri Keempat dan Misi Menciptakan Insinyur Inovatif
Dunia saat ini sedang berada di ambang Revolusi Industri Keempat, sebuah era yang ditandai dengan transisi fundamental dari sekadar digitalisasi menuju adopsi teknologi berbasis inovasi.1 Di tengah perubahan lanskap ini, tuntutan terhadap tenaga kerja profesional pun ikut berubah drastis. Industri tidak lagi hanya mencari insinyur yang menguasai keahlian teknis, melainkan mereka yang mampu menciptakan solusi dan teknologi baru yang benar-benar inovatif.1 Kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru dan mengubahnya menjadi solusi praktis telah diidentifikasi sebagai katalisator utama untuk kemajuan di dunia yang bergerak cepat ini.1
Menanggapi tuntutan yang mendesak ini, lembaga pendidikan tinggi di seluruh dunia telah secara proaktif merevisi kurikulum mereka.1 Fokusnya kini beralih ke metode pembelajaran yang lebih praktis dan kolaboratif, seperti pembelajaran berbasis proyek dan kerja tim.1 Konsep ini didasarkan pada keyakinan bahwa keterampilan inovasi bukanlah bakat bawaan, melainkan kompetensi yang dapat diajarkan, dibina, dan diperkuat sejak dini.1 Dengan melibatkan mahasiswa dalam proyek-proyek otentik yang meniru tantangan dunia nyata, pendidikan tinggi berharap dapat membekali para insinyur masa depan dengan mentalitas inovatif yang sangat dibutuhkan.1
Namun, pergeseran ini dihadapkan pada tantangan yang tidak terduga, yaitu lonjakan signifikan dalam pembelajaran daring (online) yang dipercepat oleh krisis global seperti pandemi COVID-19.1 Munculnya platform seperti Massive Open Online Courses (MOOC) menawarkan kesempatan baru untuk pendidikan yang lebih luas dan terjangkau.1 Kondisi ini secara alami menimbulkan pertanyaan krusial yang menjadi landasan penelitian ini: apakah kualitas inovasi yang dihasilkan oleh mahasiswa teknik di lingkungan daring sepenuhnya (MOOC) sama efektifnya dengan yang dihasilkan di lingkungan hybrid, yang menggabungkan interaksi tatap muka dan daring? 1
Studi ini, yang dilakukan oleh Miri Barak dan Maya Usher, adalah sebuah respons langsung terhadap urgensi global ini.1 Ini bukan sekadar latihan akademis, melainkan sebuah penyelidikan mendalam tentang bagaimana lingkungan pembelajaran membentuk kemampuan kreatif dan inovatif yang sangat penting bagi masa depan. Pertanyaan di balik data-data penelitian ini menyentuh inti dari pendidikan modern: apakah kolaborasi virtual sudah cukup untuk mendorong terobosan yang akan menggerakkan Revolusi Industri Keempat? Jawaban atas pertanyaan ini akan memengaruhi tidak hanya cara para insinyur dididik, tetapi juga arah inovasi global di tahun-tahun mendatang.
Mengukur Inovasi: Empat Pilar Kunci yang Harus Diketahui
Untuk menjawab pertanyaan krusial tentang kualitas inovasi, para peneliti Miri Barak dan Maya Usher tidak hanya melakukan perbandingan sederhana. Mereka pertama-tama membangun sebuah metode penilaian yang canggih dan terstruktur untuk mengukur sesuatu yang sering dianggap abstrak: inovasi.1 Dengan melakukan wawancara mendalam dengan tujuh pakar di bidang pendidikan teknik, mereka berhasil mengidentifikasi dan mengkodifikasi empat pilar utama yang menentukan tingkat inovasi suatu proyek.1 Empat pilar ini, yang disusun menjadi rubrik penilaian dengan skala hingga 100 poin, memberikan peta jalan yang jelas bagi para pendidik dan mahasiswa tentang apa yang benar-benar membentuk sebuah terobosan.1 Rubrik ini bukan hanya alat ukur, melainkan juga alat ajar yang dapat digunakan untuk membina inovasi secara proaktif.1
Berikut adalah penjelasan naratif dari keempat pilar penilaian tersebut:
1. Jenis Inovasi (Innovation Type)
Pilar ini adalah jantung dari penilaian inovasi. Pilar ini membedakan antara perbaikan kecil dan terobosan besar.1 Di bagian paling rendah dari skala, terdapat inovasi inkremental, yaitu perbaikan kecil pada produk atau teknologi yang sudah ada.1 Sebagian besar proyek MOOC (64%) masuk dalam kategori ini.1 Di sisi lain, di ujung skala tertinggi, ada inovasi radikal, sebuah perubahan fundamental yang dapat mengarah pada pergeseran paradigma.1 Perbedaan antara keduanya dapat dianalogikan seperti ini: inovasi inkremental itu seperti memperbarui baterai smartphone Anda dengan chip yang sedikit lebih efisien. Sementara itu, inovasi radikal seperti menemukan bahan baterai baru yang bisa menaikkan kapasitas dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali isi ulang, menciptakan lompatan efisiensi yang fundamental dan mengubah cara kita berinteraksi dengan teknologi.1
2. Kebutuhan Produk (Product Necessity)
Pilar ini menilai relevansi dan dampak dari proyek.1 Apakah proyek tersebut hanya memecahkan masalah sepele, ataukah ia menjawab masalah nyata dan mendesak yang memiliki potensi dampak luas pada komunitas lokal hingga masyarakat global?.1 Para ahli menekankan bahwa proyek yang benar-benar inovatif harus mampu menciptakan "rasa urgensi" dan memberikan solusi untuk masalah yang belum terpikirkan sebelumnya.1 Menariknya, pada pilar ini, tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok Hybrid dan MOOC, menunjukkan bahwa kedua kelompok mampu memilih masalah yang relevan dan penting untuk dipecahkan.1
3. Interdisipliner STEM (STEM Interdisciplinary)
Sejauh mana proyek tersebut mampu mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu sains, teknologi, rekayasa, dan matematika?.1 Para pakar sepakat bahwa pemikiran inovatif seringkali muncul dari kombinasi pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda.1 Proyek yang sangat inovatif akan menunjukkan fitur interdisipliner, misalnya, perpaduan antara sirkuit listrik dan agen biologis untuk mendeteksi zat kimia atau penyakit.1 Pemilihan mata kuliah nanoteknologi dan nanosensor dalam penelitian ini sangat strategis karena topik ini secara inheren menuntut integrasi material, kedokteran, dan kelistrikan, menjadikannya medan uji yang ideal untuk pilar ini.1
4. Kesiapan Pasar (Market Readiness)
Apakah ide tersebut hanya sekadar konsep teoretis di atas kertas, ataukah memiliki potensi nyata untuk diproduksi dan dipasarkan?.1 Pilar ini menekankan aspek praktis dari inovasi—kemampuan untuk mengubah ide yang ambisius menjadi produk yang dapat diimplementasikan secara sukses di pasar yang kompetitif.1 Hal ini mencakup pertimbangan seperti efisiensi desain, kemudahan produksi, dan kecepatan untuk memasuki pasar.1
Keunggulan Inovasi Radikal: Lompatan yang Mengubah Paradigma
Analisis terhadap 52 proyek tim menunjukkan gambaran yang kompleks.1 Meskipun rata-rata skor inovasi secara keseluruhan tidak menunjukkan perbedaan statistik yang signifikan antara tim Hybrid dan MOOC, satu temuan mendalam berhasil menyoroti keunggulan krusial pada kelompok yang memiliki interaksi tatap muka.1 Saat membedah skor berdasarkan empat pilar penilaian, terungkap bahwa kelompok Hybrid menerima skor rata-rata yang secara statistik lebih tinggi pada pilar "Jenis Inovasi".1
Perbedaan ini menjadi semakin dramatis ketika melihat data secara lebih rinci. Rata-rata skor "Jenis Inovasi" untuk kelompok Hybrid adalah 59.74, sementara kelompok MOOC memiliki skor 52.63.1 Angka ini, meskipun tampak kecil, merepresentasikan perbedaan yang signifikan secara statistik ($p=.049$).1
Apa arti sebenarnya dari perbedaan ini? Lebih dari sekadar angka, perbedaannya adalah fundamental. Sementara sebagian besar proyek tim MOOC dikategorikan sebagai inovasi inkremental atau modular—yaitu perbaikan kecil atau desain ulang komponen yang ada—proyek-proyek dari kelompok Hybrid menunjukkan potensi untuk inovasi yang jauh lebih besar.1 Secara spesifik, satu dari empat proyek yang dikerjakan oleh tim Hybrid memiliki potensi untuk dikategorikan sebagai inovasi radikal, sebuah terobosan yang dapat mengarah pada perubahan paradigma.1 Namun, di sisi lain, kurang dari sepuluh persen proyek dari tim MOOC yang dapat dikategorikan sebagai inovasi radikal.1
Mengapa interaksi tatap muka tampaknya menjadi kunci untuk memicu inovasi radikal? Jawaban atas pertanyaan ini kemungkinan besar tidak hanya terletak pada transfer pengetahuan, tetapi pada proses kreatif itu sendiri. Inovasi radikal bukanlah produk dari sekadar pertukaran data, melainkan produk dari sinergi kreatif, perdebatan mendalam, dan bahkan "keberanian" untuk menantang konvensi.1 Hal-hal ini jauh lebih mudah dibina melalui interaksi tatap muka, di mana komunikasi non-verbal dan ikatan sosial dapat mempercepat proses kreatif dan memungkinkan ide-ide liar untuk dieksplorasi tanpa hambatan.1 Kolaborasi daring, meskipun efisien untuk koordinasi dan perbaikan kecil, cenderung bersifat lebih transaksional dan terstruktur, yang mungkin memfasilitasi inovasi inkremental, tetapi menghambat lompatan besar yang diperlukan untuk inovasi radikal.1
Paradox Keragaman Tim: Kunci Sukses atau Penghalang Tersembunyi?
Salah satu temuan yang paling menarik dan paradoks dari penelitian ini adalah hubungan kompleks antara tingkat inovasi proyek dan komposisi tim.1 Para peneliti memeriksa konsep heterogenitas tim, yang mengacu pada perbedaan di antara anggota tim dalam hal sifat, kemampuan, dan pengalaman.1 Mereka membedakan antara dua jenis keragaman: keragaman terkait tugas (misalnya, disiplin akademis dan tingkat akademis) dan keragaman bio-demografis (misalnya, bahasa ibu).1 Hasilnya mengungkapkan dua sisi koin yang berlawanan.
Di satu sisi, data menunjukkan korelasi positif yang signifikan antara keragaman terkait tugas dan tingkat inovasi proyek.1 Semakin beragam latar belakang akademis atau tingkat pendidikan tim, semakin tinggi skor inovasi proyek mereka.1 Dengan kata lain, sebuah tim yang terdiri dari mahasiswa dari disiplin ilmu yang berbeda, seperti insinyur kimia, fisikawan, dan ahli material, cenderung menghasilkan ide yang lebih kaya dan inovatif dibandingkan dengan tim yang homogen.1 Hal ini mendukung gagasan bahwa paparan terhadap berbagai perspektif dan keahlian dapat memicu ide-ide yang lebih kreatif.1
Di sisi lain, terdapat korelasi negatif yang sama signifikannya antara keragaman bahasa ibu dan tingkat inovasi.1 Semakin beragam bahasa ibu tim, semakin rendah skor inovasi yang mereka peroleh.1 Ini adalah sebuah paradoks yang mengejutkan, mengingat keragaman seringkali dianggap sebagai aset. Analisis mendalam menunjukkan bahwa hambatan komunikasi yang timbul dari perbedaan bahasa dan budaya dapat menyebabkan miskomunikasi, salah tafsir, dan kurangnya koordinasi.1 Gesekan ini dapat menghambat upaya tim untuk menghasilkan proyek yang inovatif.1
Kelompok MOOC, dengan indeks keragaman yang secara alami jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok Hybrid 1, menjadi laboratorium sempurna untuk menguji paradoks ini. Keragaman bahasa ibu mereka yang sangat tinggi, dengan anggota dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, India, Inggris, dan lainnya 1, menunjukkan bagaimana hambatan bahasa dapat secara langsung menghalangi proses kolaborasi yang vital untuk inovasi.1 Ini menyiratkan bahwa di lingkungan daring di mana komunikasi verbal dan non-verbal sudah terbatas, perbedaan bahasa dapat menjadi penghalang yang jauh lebih signifikan.1
Mengubah Teori Menjadi Praktek: Implikasi Nyata untuk Masa Depan Pendidikan dan Industri
Studi ini memberikan kontribusi teoretis yang penting bagi ranah pendidikan teknik dan menawarkan wawasan mendalam tentang kondisi di mana inovasi dapat dipromosikan atau dihalangi.1 Temuan-temuan ini membawa sejumlah implikasi praktis yang dapat diterapkan oleh pembuat kebijakan pendidikan dan instruktur untuk mempersiapkan generasi insinyur berikutnya.
Pertama, pentingnya dukungan tatap muka. Meskipun pembelajaran daring menawarkan fleksibilitas dan aksesibilitas, temuan ini menyarankan bahwa pertemuan tatap muka, bahkan yang terbatas, sangat krusial untuk menumbuhkan inovasi radikal.1 Lembaga pendidikan harus mempertimbangkan untuk mengintegrasikan model hybrid yang memungkinkan siswa berinteraksi secara langsung dan mendapatkan bimbingan waktu nyata dari instruktur.1 Interaksi ini dapat membantu siswa untuk mengajukan pertanyaan, mendapatkan umpan balik segera, dan membangun ikatan sosial yang memicu ide-ide terobosan.1
Kedua, mengelola keragaman tim secara strategis. Pendidik harus secara proaktif mendorong pembentukan tim dengan keragaman disiplin ilmu karena hal itu terbukti secara langsung meningkatkan potensi inovasi proyek.1 Namun, pada saat yang sama, mereka harus menyadari dan mengatasi hambatan yang timbul dari keragaman bio-demografis, terutama bahasa.1 Mekanisme yang lebih baik harus dikembangkan untuk membantu tim daring mengatasi hambatan komunikasi ini, seperti menyediakan pelatihan komunikasi lintas budaya, alat terjemahan yang lebih baik, atau fasilitator tim khusus.1
Ketiga, penggunaan rubrik inovasi sebagai alat ajar. Empat pilar penilaian yang dikembangkan dalam studi ini—jenis inovasi, kebutuhan produk, interdisipliner STEM, dan kesiapan pasar—dapat digunakan sebagai alat ajar integral.1 Dengan memperkenalkan pilar-pilar ini kepada mahasiswa sejak awal, instruktur dapat membimbing mereka untuk berpikir secara lebih komprehensif tentang inovasi dan mempersiapkan proyek yang memenuhi kriteria terobosan nyata.1
Sebagai penutup, studi ini menegaskan bahwa di era Revolusi Industri Keempat, inovasi bukan lagi sekadar kemampuan tambahan, tetapi sebuah kompetensi inti yang harus ditumbuhkan secara sistematis.1 Jika temuan-temuan ini diterapkan secara holistik dalam kurikulum pendidikan teknik, institusi dapat menghasilkan insinyur yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga secara proaktif siap menciptakan terobosan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyelesaikan masalah global yang paling mendesak.
Sumber Artikel:
Barak, M., & Usher, M. (2022). The innovation level of engineering students' team projects in hybrid and MOOC environments. European Journal of Engineering Education, 47(2), 299-313.