Desain Operasi dan Perawatan Pesawat Terbang

Viral, Video Menyebut Jakarta Digempur Chemtrail pada Tengah Malam, Ini Kata TNI AU

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 11 Juli 2022


Sebuah video berdurasi 15 detik yang memperlihatkan garis putih memanjang di langit, viral di media sosial, Selasa (15/2/2022). Pemilik akun kemudian menuliskan narasi bahwa Jakarta telah digempur chemtrail pada 14 Februari pukul 01.00 dini hari. "Jakarta di gempur chemtrail 14 februari pukul 1 tengah malam. Stay safe untuk warga jakarta ya, berdoalah mereka semua yg terlibat cepat menerima hukumannya," demikian narasi yang dituliskan pada keterangan video viral di Twitter itu. Hingga Rabu (16/2/2022) pagi, video itu telah dilihat lebih dari 900 kali, dibagikan 25 kali, dan disukai 58 kali oleh warganet di Twitter. Benarkah klaim dalam video tersebut? 

Penjelasan TNI AU Terkait klaim tersebut, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) menegaskan bahwa narasi Jakarta digempur chemtrail adalah hoaks. "Hoax, Mas," ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah, saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (16/2/2022) pagi. Indan mengatakan, garis putih memanjang dalam video itu adalah jejak kondensasi pesawat terbang. "Fenomena jejak putih tersebut dikenal dengan nama jejak kondensasi pesawat terbang atau condensation trail (contrails)," kata Indan. Dia menjelaskan, condensation trail adalah hasil dari pengembunan udara dengan kadar air tinggi yang bergesekan dengan mesin pesawat. Condensation trail, lanjut Indan, ada yang menyebutnya sebagai vapor trails. Namun, saat garis putih berpendar atau melebar seperti awan, itu disebut aviaticus cloud.

Pesawat terpantau posisi, tipe, dan misinya Indan mengatakan, untuk keperluan tertentu, memang ada beberapa misi penerbangan dengan membawa bahan kimia. "Contoh misi TMC, pesawat membawa NaCl disebar di area yang berawan untuk tujuan mempercepat terjadinya hujan," terang dia. Selain itu, ada pesawat yang membawa bahan kimia untuk memadamkan kebakaran di suatu area. Ada pula pesawat yang membawa pupuk atau zat kimia antihama untuk menghentikan serangan hama pada area pertanian atau perkebunan. Indan menegaskan, setiap pesawat yang terbang di wilayah udara Indonesia akan terpantau posisi, tipe, dan misinya. "Baik oleh AirNav maupun oleh Koopsudnas (Komando Operasi Udara Nasional) melalui radar hanud (pertahanan udara) yang kita miliki. Sehingga kita bisa pastikan hal tersebut hoax," tandasnya.

Sumber Artikel: kompas.com

Selengkapnya
Viral, Video Menyebut Jakarta Digempur Chemtrail pada Tengah Malam, Ini Kata TNI AU

Desain Operasi dan Perawatan Pesawat Terbang

ITS – DUDI Berhasil Ciptakan Drone Logistik Antarpulau

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 11 Juli 2022


Kampus ITS, ITS News – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) telah banyak melakukan kolaborasi serta melahirkan inovasi yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Beberapa waktu lalu, ITS bersama Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) yakni Beehive Drones dan Tinc (Telkomsel Innovation Center) telah melakukan uji coba operasional pesawat tanpa awak (drone) untuk pengiriman kebutuhan medis antarpulau dan daerah terpencil di Kabupaten Sumenep.

Bupati Sumenep Achmad Fauzi SH MH (pegang laptop) ketika melihat langsung proses uji coba drone untuk pengiriman logistik antarpulau

Kegiatan uji coba ini sendiri lahir berkat dua kerja sama, yakni kerja sama Beehive Drones dengan Tinc dan kerja sama Beehive Drones dengan Departemen Teknik Transportasi Laut ITS. Dari kerja sama dengan ITS tersebut, diajukanlah proposal penelitian berjudul Rancangan Sistem Operasional Pesawat tanpa Awak Antarpulau dan Daerah Terpencil untuk Last-Mile Delivery.

Proposal itulah yang di kemudian hari mendapatkan persetujuan dalam Program Matching Fund Gelombang IV Tahun 2021 oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta dukungan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep.

Wakil Rektor IV ITS Bambang Pramujati ST MScEng PhD menyampaikan, dirinya bangga karena Beehive Drones melalui perusahaannya PT Aero Global Inovasi (AGI) merupakan salah satu start-up bidang teknologi transportasi di bawah binaan STP kluster Inovasi Kemaritiman ITS. “Hal ini menunjukkan keberhasilan pembinaan start-up untuk menghasilkan produk teknologi baru yang bermanfaat bagi masyarakat,” jelasnya.

Wakil Rektor IV ITS Bambang Pramujati ST MScEng PhD (pegang mic) ketika memaparkan cara kerja drone untuk pengiriman logistik medis kepada Bupati Sumenep Achmad Fauzi SH MH

Sementara itu, Chief Executive Officer (CEO) Beehive Drones Albertus Gian Dessayes mengatakan, drone adalah jawaban praktis atas permasalahan last-mile delivery dalam dunia distribusi logistik. Dengan solusi ini, maka distribusi logistik dengan transportasi konvensional dapat lebih terbantu, karena drone menawarkan kecepatan waktu serta kepraktisan sistem distribusi logistik.

Alumnus Departemen Teknik Material dan Metalurgi ITS ini menjelaskan, Kabupaten Sumenep merupakan wilayah yang terdiri dari daratan dan sejumlah pulau kecil di Pulau Madura. Kabupaten Sumenep sendiri mengandalkan moda transportasi laut untuk berbagai aktivitas mobilitas dan distribusi. “Atas alasan tersebut, kami berpikir untuk memadukan drone logistik medis ini dengan kapal laut dalam alur logistik last-mile delivery,” imbuhnya.

Dari situlah, Beehive Drones memutuskan untuk menjalin kolaborasi dengan Departemen Teknik Transportasi Laut ITS. Lelaki yang akrab disapa Gian ini menerangkan, ITS sebagai kampus maritim terbaik dianggap memiliki pemahaman yang lebih mumpuni mengenai moda transportasi laut.

Sejalan dengan Gian, Ketua tim peneliti dari ITS Ir Tri Achmadi PhD memaparkan, penggunaan drone dapat memperluas layanan transportasi laut beyond port. Lanjutnya, drone ini dapat difungsikan untuk tahap ruas pengiriman akhir langsung ke konsumen atau biasa disebut sebagai last-mile delivery untuk kebutuhan logistik dari kapal yang memiliki kemampuan mengangkut drone.

Manajer STP Kluster Inovasi Kemaritiman ITS ini memaparkan, drone ini akan memudahkan sistem logistik barang antarpulau tanpa mengharuskan kapal merapat di pelabuhan, disambung dengan pengiriman darat menggunakan truk. “Di sini kita menghemat last-mile delivery, jadi konsepnya seperti aircraft carrier namun kita membawa drone,” papar dosen Departemen Teknik Transportasi Laut ini.

Tri menjelaskan, STP Kluster Inovasi Kemaritiman ITS dalam hal ini bertugas untuk mendesain sistem pengoperasian logistik melalui transportasi laut. Dalam uji coba tersebut, lanjutnya, sistem yang telah dirancang terbukti berhasil mengatasi pengoperasian multiple drone yang melakukan aktivitas bolak balik dari kapal.

Untuk kemampuannya sendiri, Tri mengatakan bahwa drone logistik medis ini dapat terbang dengan kecepatan 70-100 kilometer per jam. Sementara itu, drone ini memiliki jarak terbang sampai 50 kilometer sekaligus membawa beban dengan berat maksimum 2 kilogram. “Total kita menargetkan akan dapat membawa logistik seberat 10 kilogram dengan lima drone,” terangnya.

Selain itu, Tri mengapresiasi pencapaian layanan drone logistik medis ini yang berhasil menjadi layanan drone pertama di Indonesia yang mendapatkan izin resmi dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. “Ke depan, kami menargetkan pada semester pertama tahun 2022 drone ini sudah dapat beroperasi penuh di Kabupaten Sumenep,” tandasnya.

Di akhir, Tri berharap drone ini dapat mempercepat penetrasi vaksinasi Covid-19 di Kabupaten Sumenep. Di sisi lain, pihaknya akan terus berusaha untuk mengembangkan teknologi dan sistem yang ada untuk meningkatkan efektivitas dan manfaatnya. “Pada intinya, dari uji coba kemarin sudah terbuka peluang penggunaan drone ini untuk mengirimkan bahan yang small, essential, dan urgent,” pungkasnya. (HUMAS ITS)

Sumber Artikel: its.ac.id

Selengkapnya
ITS – DUDI Berhasil Ciptakan Drone Logistik Antarpulau

Desain Operasi dan Perawatan Pesawat Terbang

BMKG Tegaskan Tak Ada Bukti Chemtrail di Indonesia

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 11 Juli 2022


Beberapa tahun terakhir, informasi mengenai adanya chemtrail (Chemical Trail) kerap berseliweran di media sosial. Padahal, garis putih memanjang yang terlihat di langit tersebut merupakan contrail (condensation trail) yang dihasilkan oleh pesawat. Terbaru, isu soal chemtrail kembali beredar setelah adanya video viral berdurasi 15 detik di Twitter yang memperlihatkan jejak garis putih di langit. Pemilik akun kemudian menuliskan narasi bahwa Jakarta telah digempur chemtrail pada 14 Februari pukul 01.00 dini hari. "Jakarta di gempur chemtrail 14 februari pukul 1 tengah malam. Stay safe untuk warga jakarta ya, berdoalah mereka semua yg terlibat cepat menerima hukumannya," demikian narasi yang dituliskan pada keterangan video viral di Twitter itu. Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah telah menegaskan informasi tersebut adalah hoax.

"Fenomena jejak putih tersebut dikenal dengan nama jejak kondensasi pesawat terbang atau condensation trail (contrail)," kata Indan. Indan menjelaskan, contrail adalah hasil dari pengembunan udara dengan kadar air tinggi yang bergesekan dengan mesin pesawat. Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Sub Bidang Layanan Informasi Penerbangan BMKG, Ismanto Heri. Ia menyatakan garis putih memanjang di langit yang ada di video viral tersebut merupakan contrail.

"Kami melihatnya itu adalah fenomena awan yang muncul di belakang pesawat, bentuknya seperti garis. Dan itu biasa terjadi," jelas Ismanto saat dihubungi, Rabu (16/2/2022). "Seperti ketika kita berada di gunung, kita bernafas itu atau kalau kita meniup dari mulut ada keluar asapnya, itu kondensasi, seperti itu," tambahnya. Sementara itu istilah chemtrail sendiri berarti jejak kimia dihasilkan dari pelepasan zat kimia atau bahan biologis pada ketinggian tertentu dengan sengaja.

Banyak penganut teori chemtrail menilai zat kimia dilepaskan untuk tujuan buruk. Bahkan ada anggapan chemtrail dilakukan sebagai sarana pelepasan senjata biologis. "Sampai saat ini tidak ada teori tegas akan chemtrail, namun secara umum bahan-bahan kimia yang dilepaskan dengan sengaja memiliki jejak tidak setegas contrail, baik dari sebaran dan warna," ungkap Ismanto. Ia mengakui memang banyak narasi mengenai chemtrail yang digunakan sebagai senjata, khususnya narasi-narasi di luar negeri. Ismanto mengatakan, BMKG tak pernah menemukan adanya bukti terkait teori soal chemtrail. "Tidak terbukti. Jadi memang sangat lemah (keakuratan informasi soal chemtrail). Baik dari penelitian, referensi, itu lemah sekali bahwa ada bahan kimia yang disebar begitu," sebutnya.

Ismanto pun bisa memastikan, bahwa tak pernah ada chemtrail di Indonesia. "Dari diskusi dan penelitian, memang belum ditemukan. Dari kami tidak menemukan itu (chemtrail untuk senjata). Tidak terbukti," tegasnya. Menurut Ismanto, memang ada bentuk kegiatan pelepasan zat kimia dari udara. Namun itu dilakukan untuk misi TMC (teknologi modifikasi cuaca) dengan cara menyebarkan garam ke awann untuk memunculkan hujan. TMC biasa dilakukan untuk memadamkan kebakaran di suatu area. Misi penyemaian garam ini sering dijadikan sebagai salah satu solusi saat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Ada juga yang menerapkan misi TMC untuk membantu daerah kering agar hujan turun. "Pada era modern sekarang ini pelepasan bahan kimia sering juga dilakukan untuk memadamkan kebakaran ataupun penyemaian awan (cloud seeding)," terang Ismanto. Ismanto menilai isu soal chemtrail dibuat hanya untuk membuat keramaian saja. "Saya termasuk yang tidak mendukung informasi itu (teori chemtrail), dari sisi meteorologis. Itu hanya menghubung-hubungkan saja," tutupnya.

Sumber Artikel: nasional.kompas.com

Selengkapnya
BMKG Tegaskan Tak Ada Bukti Chemtrail di Indonesia

Desain Operasi dan Perawatan Pesawat Terbang

[Fakta Bicara] Chemtrail adalah Teori Konspirasi yang Tidak Terbukti

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 11 Juli 2022


Isu penyebaran racun melalui udara menggunakan pesawat atau disebut chemtrail baru-baru ini ramai dibicarakan di media sosial. Penyebabnya adalah sebuah video viral berdurasi 15 detik yang memperlihatkan garis putih memanjang di langit. Video itu diunggah di Twitter pada Selasa (15/2/2022). Pengunggah video itu mengeklaim bahwa fenomena chemtrail itu terjadi di langit Jakarta pada Senin (14/2/2022) pukul 01.00 WIB atau dini hari. "Jakarta digempur chemtrail 14 februari pukul 1 tengah malam. Stay safe untuk warga jakarta ya, berdoalah mereka semua yg terlibat cepat menerima hukumannya," demikian caption yang ditulis oleh pengunggah video.

Bukan chemtrail Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau) Marsma TNI Indan Gilang Budiansyah, membantah klaim yang menyebutkan Jakarta digempur chemtrail. Indan mengatakan, klaim tersebut tidak benar alias hoaks. Ia menjelaskan, garis putih memanjang dalam video itu adalah jejak kondensasi pesawat terbang. "Fenomena jejak putih tersebut dikenal dengan nama jejak kondensasi pesawat terbang atau condensation trail (contrail)" kata Indan, seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (16/2/2022). Indan mengatakan, condensation trail adalah hasil dari pengembunan udara dengan kadar air tinggi yang bergesekan dengan mesin pesawat. Condensation trail, Indan melanjutkan, ada yang menyebutnya sebagai vapor trails. Namun, saat garis putih berpendar atau melebar seperti awan, itu disebut aviaticus cloud.

Chemtrail dikaitkan dengan Covid-19 Chemtrail belakangan ini kerap digunakan untuk mendiskreditkan keberadaan pandemi Covid-19 yang disebabkan virus corona SARS-CoV-2. Sebelumnya, beredar informasi di media sosial Facebook yang mengeklaim bahwa varian Omicron bukan disebabkan virus corona. Informasi itu menyebutkan bahwa Omicron adalah efek samping keracunan chemtrail yang disebar di udara menggunakan pesawat. Berikut narasi yang dibagikan: WASPADA!! Akhir-akhir ini pesawat chemtrail sgt aktif di udara. Gejala keracunan chemtrail : Demam, badan linu, batuk, flu, diare, badan gatal-gatal, dll. Jika anda sampai keracunan jangan minum obat paracetamol. Sedia selalu norit, VCO, cuka apel, jeruk lemon, Himalayan salt, minum air Kelapa ijo. Jadi paham ya apa yg dimaksud Omicron itu bkn lah virus, tapi sebab akibat dr keracunan chemtrail yg di sebar di udara. Namun, seperti telah dijelaskan oleh Marsma TNI Indan Gilang Budiansyah, fenomena jejak putih di langit sebenarnya adalah jejak kondensasi pesawat terbang, bukan chemtrail. Dikutip dari Kompas.com, 14 Juli 2021, penjelasan serupa juga diungkapkan oleh pengamat penerbangan yang juga mantan KSAU, Cheppy Hakim. Cheppy mengatakan, fenomena ekor pesawat yang meninggalkan jejak asap terjadi karena adanya proses kondensasi. "Intinya karena di atas itu temperaturnya dingin, exhaust knalpotnya itu panas, maka terjadilah proses kondensasi yang terlihat seperti asap putih itu," kata Cheppy. Lantas, dari mana sebenarnya istilah chemtrail berasal? Menurut Profesor David Keith dari Universitas Harvard, chemtrail adalah teori konspirasi yang meyakini bahwa pemerintah atau pihak lain terlibat dalam program rahasia untuk menyebarkan bahan kimia beracun ke atmosfer menggunakan pesawat terbang. Para penganut teori konspirasi ini menyebutkan bahwa keberadaan chemtrail dapat dibuktikan dengan adanya jejak putih di langit yang muncul usai pesawat terbang melintas. Mereka meyakini bahwa jejak putih itu mengandung bahan kimia beracun yang digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti pengendalian populasi manusia, pengendalian pikiran, atau menyebarkan penyakit. Namun, sebagaimana telah dijelaskan oleh pakar penerbangan, kemunculan jejak putih di langit setelah pesawat terbang melintas adalah fenomena biasa yang disebut contrail. Meski demikian, kemunculan teori konspirasi ini bukan tanpa sebab. Para penganutnya menggunakan konsep modifikasi cuaca sebagai pijakan. Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BB-TMC) menjelaskan, teknologi modifikasi cuaca adalah salah satu upaya memodifikasi cuaca demi mendapatkan kondisi cuaca seperti yang dikehendaki. Hasil akhir dari upaya modifikasi cuaca tersebut umumnya untuk meningkatkan intensitas curah hujan di suatu tempat (rain enhancement), meski dapat juga dikondisikan sebaliknya, yaitu untuk menurunkan intensitas curah hujan di suatu lokasi tertentu (rain reduction). Salah satu bentuk modifikasi cuaca yang paling dikenal masyarakat adalah menaburkan bahan semai berupa NaCl (garam) ke dalam awan menggunakan pesawat untuk menghasilkan hujan. Konsep modifikasi cuaca ini yang menjadi dasar keyakinan para penganut teori chemtrail bahwa hal serupa dapat dilakukan dengan bahan kimia berbahaya untuk beragam tujuan, seperti pengendalian populasi manusia, pengendalian pikiran, atau menyebarkan penyakit. Alasan chemtrail tidak nyata Dilansir dari BBC, 31 Januari 2018, para ilmuwan telah menolak klaim bahwa pemerintah atau organisasi tertentu menyemprotkan bahan kimia berbahaya melalui udara, seperti yang diyakini oleh penganut teori chemtrail. Hal itu terlihat dari sebuah studi tahun 2016 yang dilakukan oleh Institut Sains Carnegie dan Universitas California Irvine dengan melakukan survei terhadap 77 ilmuwan atmosfer dan ahli geokimia terkemuka. Hasilnya, semua ilmuwan kecuali satu (98,7 persen) melaporkan tidak ada bukti sahih terkait program penyemprotan bahan kimia berbahaya ke atmosfer dalam skala besar dan rahasia. Seorang ilmuwan yang tidak setuju mencatat tingkat barium (unsur kimia) atmosfer yang sangat tinggi di daerah terpencil, dengan tingkat barium yang rendah di dalam tanah. Namun, satu pendapat yang berlainan itu tidak serta-merta dapat dijadikan sebagai pembenaran bahwa chemtrail itu nyata. "Tujuan kami bukan untuk memengaruhi mereka yang sudah yakin bahwa ada program penyemprotan rahasia berskala besar - yang sering menolak bukti tandingan sebagai bukti lebih lanjut dari teori mereka - melainkan untuk membangun sumber objektif yang dapat menjadi informasi bagi publik," demikian catatan dari penulis studi tersebut.

 

Selengkapnya
[Fakta Bicara] Chemtrail adalah Teori Konspirasi yang Tidak Terbukti

Desain Operasi dan Perawatan Pesawat Terbang

Fenomena "Asap" Pesawat yang Kerap Dihubungkan dengan Teori Konspirasi Senjata Biologis Chemtrail

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 11 Juli 2022


Fenomena contrail atau condensation trail yang menyerupai "asap" dari pesawat sering kali dihubungkan oleh teori mengenai chemtrail (chemical trail) atau jejak zat kimia di langit. Berbagai jejak contrail pesawat, khususnya dari pesawat tempur, belakangan banyak diviralkan sebagai bentuk dari chemtrail. Chemtrail sendiri adalah teori yang menyebut pemerintah atau pihak tertentu melakukan misi rahasia dengan menyebarkan zat kimia beracun ke atmosfer dari pesawat. Mereka yang percaya dengan teori ini berspekulasi chemtrail merupakan jejak senjata biologis yang disebar untuk melakukan hal-hal buruk seperti penyebaran virus, dilakukan untuk mengurangi penduduk bumi, bahkan sebagai pengendali pikiran.

"Tidak terbukti. Jadi memang sangat lemah (keakuratan informasi soal chemtrail). Baik dari penelitian, referensi, itu lemah sekali bahwa ada bahan kimia yang disebar begitu," ungkap Kepala Sub Bidang Layanan Informasi Penerbangan BMKG, Ismanto Heri saat dihubungi, Rabu (16/2/2022). Ismanto menegaskan, jejak asap putih di langit yang sering terlihat adalah contrail atau jejak kondensasi pesawat terbang. Menurutnya, contrail tercipta karena pengembunan udara dari asap pesawat yang mengandung keluaran sampingan berupa uap air, mengalami kondensasi akibat suhu udara atmosfer yang dingin sehingga terbentuk jejak di belakang pesawat. "Kami melihatnya itu adalah fenomena awan yang muncul di belakang pesawat, bentuknya seperti garis. Dan itu biasa terjadi," jelas Ismanto. Ismanto pun bisa memastikan, bahwa tak pernah ada chemtrail di Indonesia. "Dari diskusi dan penelitian, memang belum ditemukan. Dari kami tidak menemukan itu (chemtrail untuk senjata). Tidak terbukti," tegasnya.

Ia mengatakan, akan terlihat perbedaan apabila memang zat kimia dilepaskan dari pesawat. "Secara umum bahan-bahan kimia yang dilepaskan dengan sengaja memiliki jejak tidak setegas contrail, baik dari sebaran dan warna," ungkap Ismanto. Melansir pemberitaan surya.co.id tanggal 15 Juli 2011, teori chemtrail sudah ada sejak tahun 1996. Sama seperti di Indonesia, di berbagai belahan dunia, jejak asap di langit dari pesawat kerap dihubungkan dengan teori chemtrail. Penganut teori konspirasi di Amerika Serikat, Jeff Rense punya anggapan chemtrail sengaja disemprotkan oleh pemerintah mereka untuk mengendalikan populasi atau dengan kata lain, untuk mengurangi jumlah manusia secara diam-diam. Ada juga yang menyebut chemtrail merupakan sebuah eksperimen penelitian. Namun lembaga resmi Pemerintah AS yang berkaitan dengan sains dan angkasa menepis keras teori konspirasi tersebut.

Ia mengatakan, akan terlihat perbedaan apabila memang zat kimia dilepaskan dari pesawat. "Secara umum bahan-bahan kimia yang dilepaskan dengan sengaja memiliki jejak tidak setegas contrail, baik dari sebaran dan warna," ungkap Ismanto. Melansir pemberitaan surya.co.id tanggal 15 Juli 2011, teori chemtrail sudah ada sejak tahun 1996. Sama seperti di Indonesia, di berbagai belahan dunia, jejak asap di langit dari pesawat kerap dihubungkan dengan teori chemtrail. Penganut teori konspirasi di Amerika Serikat, Jeff Rense punya anggapan chemtrail sengaja disemprotkan oleh pemerintah mereka untuk mengendalikan populasi atau dengan kata lain, untuk mengurangi jumlah manusia secara diam-diam. Ada juga yang menyebut chemtrail merupakan sebuah eksperimen penelitian. Namun lembaga resmi Pemerintah AS yang berkaitan dengan sains dan angkasa menepis keras teori konspirasi tersebut.

Di Tanah Air, teori konspirasi soal chemtrail juga banyak berkembang. Tak sedikit hoax bermunculan terkait isu ini. Seperti pada Juli 2021, media sosial dihebohkan dengan video yang menyebarkan isu chemtrail ditemukan di sejumlah daerah untuk menyebarkan penyakit. Dalam narasi video itu dikatakan, beberapa daerah yang melihat chemtrail adalah Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bali, Semarang, Makassar, dan Cirebon.

“Ini namanya Chemtrail, bukan buang-buang bahan bakar, ini banyak orang yang nggak tahu ini. Elu jangan keluar kalau kena ginian, racun ini. Maksudnya kalau yang dekat-dekat,” ujar seseorang dalam video itu, seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Rabu (14/7/2021). Kemudian pada September 2021, sebuah akun Facebook menyebarkan informasi mengenai kematian ribuan burung pipit akibat chemtrail. "Ribuan Burung Pipit Mati Dibalai Kota Cirebon,..?? Virus Bikinan Manusia itu ya Begini,... Akibat Nyebar² Racun Diudara ya Begini Jadinya,.. Cuma Ada Dua Kemungkinan: Akibat Chemtrail Atau Radiasi Frekuensi 5G, Sesekali Lihatlah Langit Diatas,.. Bahaya Racun Sedang Disebar,...Jangan Terlalu Nunduk Baca Sosmed di HP Android," tulis pengunggah dalam status Facebook-nya, dikutip dari Kompas.com.

erbaru, teori chemtrail kembali muncul lewat video berdurasi 15 detik yang memperlihatkan gars putih memanjang di langit. Video tersebut viral di media sosial pada Selasa (15/2/2022). Pemilik akun menuliskan narasi bahwa Jakarta telah digempur chemtrail pada 14 Februari pukul 01.00 dini hari. "Jakarta di gempur chemtrail 14 februari pukul 1 tengah malam. Stay safe untuk warga jakarta ya, berdoalah mereka semua yg terlibat cepat menerima hukumannya," demikian narasi yang dituliskan pada keterangan video viral di Twitter itu.

Sumber Artikel: nasional.kompas.com

Selengkapnya
Fenomena "Asap" Pesawat yang Kerap Dihubungkan dengan Teori Konspirasi Senjata Biologis Chemtrail

Desain Operasi dan Perawatan Pesawat Terbang

Ramai Teori Senjata Biologis Chemtrail, Apakah Jejak "Asap" Pesawat Berbahaya?

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 11 Juli 2022


Publik belakangan dihebohkan dengan isu mengenai chemtrail (chemical trail) atau jejak zat kimia di langit menyusul fenomena "asap" pesawat. Padahal asap yang terlihat memanjang di langit itu adalah condensation trail (contrail). Menurut Kepala Sub Bidang Layanan Informasi Penerbangan BMKG, Ismanto Heri, contrail merupakan fenomena biasa di dunia penerbangan. "Contrail adalah jejak kondensasi pesawat terbang yang tercipta karena pengembunan udara dari asap pesawat yang mengandung keluaran sampingan berupa uap air, mengalami kondensasi akibat suhu udara atmosfer yang dingin sehingga terbentuk jejak di belakang pesawat," jelas Ismanto saat dihubungi Kompas.com, Jumat (18/2/2022). Bentuk dari contrail memang menyerupai asap yang memanjang di langit. Dalam jarak tertentu, contrail ini dapat dilihat dengan kasat mata.

Lantas apakah contrail berbahaya? "Tidak ada sama sekali. Itu macam jenis awan seperti biasanya," tegas Ismanto. Menurutnya, memang ada penelitian yang menyebut contrail dapat berpengaruh terhadap global warming. Hanya saja, Ismanto memastikan, jejak kondensasi pesawat tidak akan mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung. "Karena kandungannya air," katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Direktur Indonesia Aviation and Aerospace Watch (IAAW), Marsda (Purn) Subandi Parto. "Tidak ada bahayanya sama sekali, (contrail) itu proses kondensasi. Jejak yang ditinggalkan pesawat di ketinggian 30.000 feet lebih adalah uap air yang membeku," ungkap Subandi dalam perbincangan melalui pesan singkat, Kamis (17/2/2022). "Karena udara di ketinggian 30.000 feet lebih suhunya bisa -50 derajat celcius dan masuk ke mesin dengan suhu yang jauh lebih tinggi, pasti ada jejaknya. Itu lebih kayak awan," imbuh dia. Jejak kondensasi terbentuk karena uap panas dari mesin melewati suhu di sekitarnya yang dingin. Subandi pun mengatakan, contrail merupakan hal yang normal. "Jadi sama sekali tidak membahayakan. Karena setelah beberapa saat suhunya kembali normal seperti sekitarnya, dan jejaknya akan menghilang," ucap pakar hukum udara tersebut. Sementara itu, isu soal chemtrail ini disebut hanya merupakan teori konspirasi. Bagi mereka yang percaya, asap contrail diyakini merupakan chemtrail (chemical trail) yang merupakan jejak senjata biologis. Berbagai unggahan soal narasi chemtrail ini juga banyak terjadi di Indonesia.

Penganut teori konspirasi berspekulasi, ada zat kimia yang sengaja disebar ke atmosfer melalui pesawat untuk tujuan-tujuan tertentu seperti penyebaran virus atau penyakit hingga untuk mengurangi penduduk bumi. Bahkan ada yang menganggap zat kimia disebar untuk mengendalikan pikiran. Jejak zat kimia itu yang kemudian diteorikan sebagai chemtrail. Baru-baru ini juga beredar sebuah pesan video di media sosial dengan narasi chemtrail menyebarkan varian Omicron Covid-19. Pemerintah sudah memastikan informasi tersebut adalah hoax.

"Chemtrail ini konspirasi. Mereka percaya itu adalah gas kimia yang sengaja dikeluarkan untuk membahayakan kehidupan seperti nubika (nuklir dan bio kimia)," tutur Subandi. Mantan Oditur TNI itu meragukan teori konspirasi soal chemtrail. Menurutnya, sulit membuktikan ada pihak-pihak yang sengaja menyebar senjata biologis lewat pesawat udara. "Saya yakin nggak ada yang berani, bisa-bisa semua orang meninggal," tutupnya.

Sumber Artikel: nasional.kompas.com

Selengkapnya
Ramai Teori Senjata Biologis Chemtrail, Apakah Jejak "Asap" Pesawat Berbahaya?
page 1 of 2 Next Last »