Pendidikan jarak jauh

30,74% Anak di Dunia Tidak Dapat Mengakses Pembelajaran Jarak Jauh pada 2020

Dipublikasikan oleh Admin pada 13 Maret 2022


UNICEF melaporkan setidaknya ada 30,74% atau 463 juta anak di seluruh dunia yang tidak dapat mengakses pembelajaran jarak jauh selama penutupan sekolah akibat pandemi Covid-19 pada 2020.

Afrika Timur dan Selatan menjadi wilayah dengan kesulitan terhadap akses pembelajaran jarak jauh tertinggi. Sebanyak 49,63% atau 67 juta anak-anak di wilayah ini tidak memiliki akses untuk melakukan pembelajaran jarak jauh.

 Wilayah Afrika Barat dan Tengah menyusul dengan persentase anak yang tidak memiliki akses untuk belajar jarak jauh sebesar 47,79% atau 54 juta anak. Kemudian, wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara sebesar 40,22% atau 37 juta anak.

Menurut UNICEF, anak-anak yang bersekolah di negara-negara miskin telah kehilangan hampir empat bulan kegiatan sekolah sejak awal pandemi, dibandingkan dengan anak-anak di negara-negara maju yang kehilangan enam minggu kegiatan sekolah.

Hal ini juga berdampak buruk pada anak-anak yang bersekolah di negara-negara miskin karena minimnya program pembelajaran yang lebih terstruktur selama pandemi sehingga mereka akan semakin tertinggal.

Sumber: databoks.katadata.co.id 

Selengkapnya
30,74% Anak di Dunia Tidak Dapat Mengakses Pembelajaran Jarak Jauh pada 2020

Pendidikan jarak jauh

Learning Loss Akibat Pembelajaran Jarak Jauh?

Dipublikasikan oleh Admin pada 13 Maret 2022


Kampus ITS, Opini – Penutupan sekolah telah menjadi alat umum dalam pertempuran melawan Covid-19. Pendidikan dilakukan secara serentak dengan cara daring guna menghindari pola pendidikan tatap muka (luring). Dalam kenyataannya, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap pendidikan di sekolah berimbas pada kemampuan belajar siswa hingga dapat terjadi learning loss. Selain dari aspek ketergantungan ini, konsep dari pembelajaran jarak jauh yang ditawarkan pemerintah juga terkesan tidak siap dalam penyusunan program dan kurikulum yang sesuai riset, survei dan realita di Indonesia.

Penangguhan pembelajaran tatap muka di sekolah ini telah menimbulkan kekhawatiran akan penurunan kualitas pengetahuan kognisi, keterampilan vokasi, dan keterampilan sosial yang dimiliki pribadi siswa. Dimulai dari penyampaian materi yang tidak leluasa, kesulitan untuk bertanya maupun berkonsultasi dengan guru, serta gangguan kelancaran internet. Selain itu, proses pembelajaran daring yang diselenggarakan oleh guru belum menemukan format yang tepat di banyak sekolah sehingga efektivitasnya masih sering dipertanyakan.

Jika dilihat lebih jauh, tumpuan sistem pendidikan pada tingkat rendah, seperti TK dan SD semua akan beralih ke keluarga, dengan orangtua yang mengawasi berlangsungnya proses pembelajaran siswa. Secara singkat, orangtua akan berperan sebagai guru yang mengajarkan materi-materi kurikulum hingga menyelesaikan tugas sekolah. Hal ini sangat tidak mengherankan bila para orangtua mengeluh berperan sebagai guru dirumah karena mengalami banyak kesulitan.

Di lain sisi, pihak sekolah pun merasakan kesulitan dengan keterbatasan dalam memberikan materi ajar kepada siswa. Jam belajar mengajar berkurang, materi pelajaran tidak tersampaikan dengan baik, dan sulitnya mengajar materi yang bersifat praktikum, sehingga hal ini menimbulkan rasa was-was di kalangan pelaku dan pengamat pendidikan.

Dari permasalahan learning loss ini, dikhawatirkan siswa akan mengalami kesulitan belajar setelah masa pandemi Covid-19 usai. Jika kualitas siswa menurun, nantinya akan berimbas pada pembangunan pendidikan secara keseluruhan dan juga dunia kerja. Tidak mengherankan bila muncul saran-saran yang berisikan gagasan untuk memperpanjang lama tahun belajar. Beberapa diantaranya mengusulkan masa belajar diperpanjang selama 6 bulan, ada juga yang menyarankan diperpanjang selama satu tahun, dan ada pula yang menyarankan diperpanjang sesuai lama dari pandemi ini.

Namun, apakah learning loss yang terjadi pada para siswa ini murni diakibatkan oleh sistem PJJ dan pandemi?

Dilihat dari konsep learning loss yang dipakai di Indonesia dan di luar negeri, terdapat perbedaan yang mencolok. Di Indonesia, konsep learning loss hanya dipahami sebagai bentuk penurunan daya kemampuan siswa akibat adanya pandemi Covid-19. Berdasarkan konsep, learning loss sendiri sebenarnya dapat terjadi karena beberapa hal semisal liburan sekolah, tidak masuk sekolah, pengajaran yang tidak efektif hingga putus sekolah. Sedangkan di luar negeri, konsep learning loss ini adalah suatu kondisi hilangnya atau menurunnya pengetahuan dan keterampilan siswa yang disebabkan oleh kekurangan atau terputus secara berkelanjutan dalam pendidikan.

Jika saya tekankan pada konsep learning loss secara menyeluruh di Indonesia, hal ini terjadi akibat dari adanya pengajaran yang kurang efektif. Jika melihat kebelakang sebelum terjadi pandemi, para siswa sudah sering mengalami learning loss yang tidak pernah disadari oleh guru, dinas pendidikan dan pemerintah.

Setelah diberlakukannya sistem pembelajaran daring oleh pemerintah justru semakin memperparah ketidakefektifan dalam proses belajar mengajar. Selain karena rendahnya tingkat pemahaman guru tentang teknologi, kebingungan para guru mengenai kebijakan pemerintah yang diambil masih belum relevan dengan realitas di Indonesia. Saat ini hanya ada pengajaran yang berupa soal-soal tanpa adanya pembelajaran terlebih dahulu.

Jadi, apakah ada solusi untuk mengatasi learning loss ini?

Pertama, sekolah harus terus mengembangkan kapasitas siswa dan guru sehingga mampu mengoptimalkan pembelajaran melalui daring. Pelajari banyak pengalaman selama pandemi yang tidak akan hilang ketika keadaan sudah normal. Dari pengalaman tersebut akan tercipta inspirasi dan masukan untuk pengembangan pendidikan kedepannya.

Kedua, pembelajaran selama pandemi difokuskan pada topik dan keterampilan yang esensial dan berguna bagi siswa untuk menempuh pendidikan tingkat lanjut dan dunia kerja. Untuk mewujudkan pembelajaran yang berguna, bukan hanya pada pemahaman materi, melainkan juga penekanan pada makna.

Ketiga, pengembangan kurikulum dan model pelajaran yang membebaskan siswa daripada mengejar nilai karena hal ini justru membuat pribadi siswa menjadi individualis dan tidak peka sosial. Pada kurikulum, sudah seharusnya pelajar dan guru tidak dibebankan pada kurikulum ‘normal’ yang tertuang dalam kompetensi dasar karena hal ini tidak mengalami perubahan sama sekali padahal jam pelajaran mengalami pengurangan yang cukup signifikan.

Keempat, pembelajaran yang mendalam dapat dipahami sebagai proses seseorang agar mampu mengambil manfaat dari apa yang telah dipelajari dalam suatu situasi dan mampu menerapkannya pada situasi baru (pandemi, red) atau bisa dibilang sebagai bentuk pembelajaran transformasi.

Dan terakhir, kelima, diperlukan pengetahuan keterampilan (tool-knowledge) agar bisa secara mandiri, mencari, dan memperoleh ilmu pengetahuan baru. Disini guru berperan sebagai pemateri dan motivator bagi siswa guna meningkatkan kualitas pembentukan sikap dan karakter pribadi siswa. Penguasaan ini akan mempermudah siswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru yang mendukung kemampuan belajar mandiri siswa.

Konsep learning loss ini bukan hanya terfokus pada unsur teknologi informasi, melainkan juga membutuhkan penataan ulang kurikulum yang selaras dengan kondisi pada saat ini. Sekolah juga seharusnya lebih membuat siswa lebih siap menghadapi kebebasan dalam mencari ilmu pengetahuan alih-alih hanya mengejar target tugas dan nilai.

Sumber: its.ac.id

 

Selengkapnya
Learning Loss Akibat Pembelajaran Jarak Jauh?

Pendidikan jarak jauh

Pencarian model pembelajaran jarak jauh

Dipublikasikan oleh Admin pada 13 Maret 2022


Adi seorang PNS yang bekerja di suatu pemerintah daerah, dan sebagai PNS dirinya memiliki kebutuhan untuk terus berkembang tentunya itu bukan hanya sebagai kebutuhannya tetapi juga tuntutan dari pekerjaannya. Salah satu cara untuk terus mengembangkan dirinya adalah dengan mengikuti pelatihan.

Adi biasanya mengikuti pelatihan yang diadakan oleh lembaga pembina jabatan fungsionalnya. Sebelum pandemi, Adi biasa mengikuti pelatihan dengan bertatap muka langsung. Bisa di daerah lain yang masih satu provinsi, tetapi juga sering mengikuti pelatihan ke Jakarta. Ketika mengikuti pelatihan tersebut, bukan hanya pengetahuannya yang semakin berkembang, namun juga sebagai cara dirinya untuk mengistirahatkan dirinya dari tugas kantor sehari-hari. Saat mengikuti pelatihan, dirinya juga bisa berkeliling di daerah sekitar tempat pelatihan, sehingga kebutuhannya akan hiburan dan rekreasi terpenuhi.

Tetapi, pandemi mengubah itu semua. Kini dirinya tidak lagi bisa mengikuti pelatihan secara tatap muka, karena pelatihan yang diadakan semuanya dilakukan secara e-learning. Hal ini membuat dirinya tidak perlu lagi datang jauh-jauh dari tempatnya bekerja ke tempat pelatihan.

Perubahan pola pelatihan yang dialami Adi, juga dialami oleh para pelajar dan mahasiswa. Anak-anak sekolah yang tadinya bisa bermain dan berinteraksi dengan guru dan teman-teman sekolahnya, kini hanya bisa belajar dari rumah. Para mahasiswa yang tadinya bisa berorganisasi secara langsung, kini tidak bisa lagi. Semua itu karena dipaksa oleh kondisi pandemi.

Dunia pendidikan dan pelatihan seperti dipaksa untuk berubah, dari yang sebagian besar menggunakan metode tatap muka langsung, kini sebagian besar menggunakan metode e-learning.

Metode e-learning merupakan salah satu metode pembelajaran jarak jauh yang juga telah berkembang. Sebelum lahirnya internet, sebenarnya sudah ada pembelajaran jarak jauh hanya saja menggunakan layanan pos. Modul-modul dan tes dikirimkan menggunakan pos.

Pembelajaran jarak jauh kemudian berkembang dengan menggunakan telepon. Modul tercetak tetap dikirimkan melaluli pos, namun metode ujian menggunakan telepon.

Kemudian internet semakin masih, maka muncullah metode e-learning. Metode ini sangat mengandalkan jaringan internet. Modelnya pun bermacam-macam, ada yang semuanya berjalan secara otomatis, artinya semua bahan pembelajaran diunggah di suatu situs. Peserta bisa belajar dari bahan-bahan ajar tersebut, lalu ujiannya pun disitus tersebut. Jika lulus, langsung ada sertifikat yang bisa kita unduh atau dikirim ke alamat email kita. Metode ini merupakan metode yang bisa berjalan secara otomatis, dan metode ini juga bisa mengakomodir jumlah siswa yang sangat banyak. Melalui metode ini pula, maka lahirlah platform MOOC.

MOOC atau Massive Open Online Course, merupakan kursus atau pelatihan yang bisa diikuti oleh banyak orang sekaligus. Sudah banyak instansi pendidikan yang memiliki MOOC.

Kelebihan dari MOOC adalah dapat menyelenggarakan kursus atau pelatihan yang pesertanya sangat banyak tanpa perlu banyak campur tangan dari penyelenggara. Namun, MOOC memiliki kelemahan yaitu jenis dari pelatihannya terbatas. Karena sifatnya yang otomatis, maka MOOC lebih cocok jika digunakan untuk jenis pelatihan yang sifatnya memberikan pengetahuan kognitif. Sedangkan pengetahuan yang sifatnya praktik, agak kurang cocok. Mengapa demikian? Karena pengetahuan yang sifatnya praktik perlu ada keterlibatan dari pengajar, terutama untuk menilai hasil belajar peserta.

Selain MOOC ada juga metode hybrid atau campuran yang menggabungkan metode sinkronus dan asinkronus. Jika MOOC bisa dikatakan merupakan metode asinkronus sepenuhnya, berbeda dengan metode campuran ini, karena masih memerlukan keterlibatan dari pengajar. Sehingga metode campuran ini, kurang tepat jika pesertanya terlalu banyak.

Metode campuran sebenarnya baik, karena ada unsur sinkronus di dalamnya. Namun permasalahannya timbul ketika sesi sinkronus pada metode campuran ini sifatnya hanya searah. Jika memang hanya searah, apa bedanya dengan metode MOOC?

Memang, dunia pendidikan dan pelatihan terus berkembang dan para tenaga pendidikan dan pelatihan pun masih terus menemukan formula yang tepat. Mungkin ada yang memang cocok dengan MOOC atau ada juga yang cocok dengan metode campuran, atau mungkin suatu hari nanti ditemukan model pembelajaran yang lain, yang lebih tepat dan dapat dengan lebih efektif.

Sumber: pusdiklat.perpusnas.go.id

 

Selengkapnya
Pencarian model pembelajaran jarak jauh

Pendidikan jarak jauh

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Bisa Jadi Model Pendidikan Masa Depan

Dipublikasikan oleh Admin pada 13 Maret 2022


Sejak pandemi Covid-19 melanda, dunia pendidikan terpaksa memindahkan proses belajar mengajar dari sekolah ke rumah untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona. Tak terasa, sudah lebih dari setengah tahun kegiatan Belajar dari Rumah (BDR) dilaksanakan. Meski masih banyak kendala yang dihadapi, satuan pendidikan mulai terbiasa menyelenggarakan BDR.

Metode BDR sendiri ada dua, yaitu Pembelajaran Jarak Jauh Dalam Jaringan (PJJ Daring) dan PPJ Luar Jaringan (Luring). PJJ Daring secara khusus menggabungkan teknologi elektronik dan teknologi berbasis internet, sementara PJJ Luring dapat dilakukan melalui siaran televisi, radio, modul belajar mandiri, bahan cetak maupun media belajar dari benda di lingkungan sekitar.

Direktur Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd melihat peluang pendidikan masa depan yang terbentuk dari kondisi pandemi Covid-19. Menurutnya, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) bisa tetap diterapkan setelah pandemi berlalu.

”Sebagai contoh, anak yang ikut orang tuanya pindah ke negara lain biasanya mengalami kendala dengan pendidikannya. Dia harus berhenti sekolah, sementara di negara tujuan belum tentu langsung diterima sekolah. Nah, ke depan, PJJ ini bisa menjadi solusi. Meski anak itu pindah ke negara lain, misalnya, ia tetap bisa sekolah jarak jauh,” jelas Sri Wahyuningsih.

Oleh karena itu, ia mendorong jajaran Direktorat Sekolah Dasar Kemendikbud untuk mengindentifikasi persoalan-persoalan yang dihadapi satuan pendidikan dalam menyelenggarakan PJJ, kemudian mencari solusinya. Termasuk mengidentifikasi sarana dan prasarana apa saja yang dibutuhkan oleh Sekolah Dasar agar PJJ berjalan lancar.

”Kita perlu melakukan identifikasi sarana dan prasarana Pembelajaran Jarak Jauh untuk Sekolah Dasar agar metode pembelajaran ini berjalan baik di masa pandemi maupun setelah pandemi berlalu. Identifikasi ini tidak hanya untuk sekolah di perkotaan, tetapi juga untuk daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) yang tidak ada internet,” kata Sri Wahyuningsih.

Arwan Syarif, Analis Kebijakan Ahli Muda Direktorat Sekolah Dasar Kemendikbud mengatakan, pihaknya menggelar Focus Group Discussion (FGD) pada 20-22 Oktober 2020. Melalui kegiatan FGD ini diharapkan dapat mengidentifikasi sarana prasarana apa saja yang dibutuhkan untuk PJJ. Karena selama PJJ ini banyak terdapat perbedaan kegiatan belajar mengajar, karena antara guru dan siswa terpisah sehingga harus ada mediasi-mediasi untuk aktivitas kegiatan mengajar.

 “Kita harus mengidentifikasi interaksi pembelajaran apa yang harmonis sesuai dengan kaidah-kaidah yang bisa menjadi pengganti kegiatan belajar mengajar tatap muka. Kita juga harus mengidentifikasi kira-kira orang tua bisa nggak dalam mendukung proses PJJ ini. Selain itu, kita menganalisa sekolah mana yang belum mempunyai sarana-sarana yang dibutuhkan untuk PJJ,” ujar Arwan Syarif.

Kegiatan yang bertema ‘Analisis Kebutuhan Sarana Prasarana PJJ di Sekolah Dasar” ini dihadiri oleh praktisi (pengajar) dari Sukabumi dan Depok, Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kemendikbud, Balitbang Kemendikbud serta dari internal Direktorat Sekolah Dasar Kemendikbud.

Ariaty Dano, Koordinator FGD Analisis Kebutuhan Sarana Prasarana PJJ di Sekolah Dasar mengatakan, sejauh ini media yang banyak digunakan dalam PJJ daring adalah smartphone. Pihaknya juga mendiskusikan konten-konten apa yang bisa diakses melalui teknologi elektronik. Karena dalam PJJ itu menghubungkan antara pendidik dan tenaga pendidik yang tidak bisa dilakukan dalam satu ruang dan waktu.

“Satuan pendidikan sudah melakukan kegiatan belajar melalui webinar, e-learning, radio dan televisi. Tapi kita juga memerlukan input apa lagi untuk sarana prasarana yang dibutuhkan dalam PJJ, karenanya kita mendatangkan para praktisi untuk mengetahui kebutuhan apa saja yang diperlukan di lapangan,” ujarnya. (Hendri/Kumi)

Sumber: kemdikbud.go.id

 

Selengkapnya
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Bisa Jadi Model Pendidikan Masa Depan

Pendidikan jarak jauh

Pendidikan jarak jauh

Dipublikasikan oleh Admin pada 13 Maret 2022


Pendidikan jarak jauh (bahasa Inggris: distance education) adalah pendidikan formal berbasis lembaga yang peserta didik dan instrukturnya berada di lokasi terpisah sehingga memerlukan sistem telekomunikasi interaktif untuk menghubungkan keduanya dan berbagai sumber daya yang diperlukan di dalamnya. Pembelajaran elektronik (e-learning) atau pembelajaran daring (online) merupakan bagian dari pendidikan jarak jauh yang secara khusus menggabungkan teknologi elektronika dan teknologi berbasis internet.[1]

Kemajuan yang terjadi dalam dunia teknologi komunikasi dan informasi memunculkan peluang maupun tantangan baru dalam dunia pendidikan. Peluang baru yang muncul termasuk akses yang lebih luas terhadap konten multimedia yang lebih kaya, dan berkembangnya metode pembelajaran baru yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Di sisi lain kemajuan teknologi dengan beragam inovasi digital yang terus berkembang juga menghadirkan tantangan baru bagi penyelenggara pendidikan untuk terus menyesuaikan infrastruktur pendidikan dengan teknologi baru tersebut.[2]


Pelajar Meksiko yang mengambil pendidikan jarak jauh selama Pandemi COVID-19.

Pendidikan jarak jauh bukan metode baru dalam sistem pendidikan. Metode pembelajaran ini telah digunakan di Amerika Serikat sejak tahun 1892 ketika Universitas Chicago meluncurkan program pembelajaran jarak jauh pertamanya untuk tingkat pendidikan tinggi. Metode pembelajaran jarak jauh terus berkembang dengan menggunakan beragam teknologi komunikasi dan informasi termasuk radiotelevisisatelit, dan internet.[3] Meluasnya penggunaan internet oleh publik di berbagai negara pada tahun 1996 menjadi suatu fenomena yang berkembang dan diikuti oleh kemunculan beragam konten digital di dalamnya.[4] Pada tahun yang sama, John Bourne mengembangkan Asychronous Learning Network Web yang merujuk kepada kemampuan untuk memberikan pendidikan kapan saja dan di mana saja melalui internet.[3]

Sistem pendidikan konvensional

Pendidikan merupakan suatu proses akademis yang bertujuan untuk meningkatkan nilai-nilai moral, sosial, budaya, dan agama sekaligus mempersiapkan peserta didik untuk mampu menghadapi berbagai tantangan dalam proses kehidupan. Dalam pendidikan terjadi proses komunikasi yang terorganisasi dan berkelanjutan untuk menumbuhkan aktivitas belajar dalam diri pembelajar sehingga pembelajar dapat mengembangkan kemampuannya dalam menemukan, mengolah, dan mengevaluasi berbagai informasi dan pengetahuan untuk kemudian berkontribusi dalam pencarian solusi atas masalah yang ada dan berpartisipasi aktif di masyarakat.[5] Dalam sistem pendidikan konvensional, metode yang digunakan adalah melalui pertemuan tatap muka antara pengajar dan peserta didik. Dengan kata lain, pengajar dan pembelajar berada di ruang yang sama pada waktu yang bersamaan juga untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi.

Karakteristik pendidikan konvensional

Pendidikan konvensional adalah pendidikan formal yang menggunakan sistem klasikal dalam menyampaikan materi ajar baik di sekolah, akademi, universitas, dan sejenisnya.[6] Beberapa karakteristik dasar dari sistem pendidikan konvensional antara lain:[7]

  • Pengajar dan peserta didik berada dalam ruang yang sama pada waktu yang sama untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar.
  • Kegiatan belajar-mengajar dilakukan dalam bentuk pertemuan tatap muka.
  • Pengajar menentukan tujuan belajar, materi ajar, dan evaluasi proses belajar dari peserta didiknya.
  • Proses komunikasi antara pengajar dan peserta didik dilakukan secara langsung atau bersifat analog.
  • Menitikberatkan pada peran pengajar sebagai sumber informasi dan dalam pengelolaan kelas selama proses belajar-mengajar berlangsung.[8]

Teknologi komunikasi dalam pendidikan konvensional

Dalam sistem pendidikan konvensional, teknologi komunikasi yang digunakan untuk mendukung proses belajar-mengajar mencakup baik teknologi analog maupun teknologi digital dengan titik berat pada proses penyampaian informasi secara analog. Teknologi analog merujuk kepada segala bentuk teknologi yang dibuat untuk menyerupai bentuk asli dan yang dapat ditangkap oleh pancaindra manusia, sedangkan teknologi digital merupakan teknologi berbasis komputerisasi yang basis datanya terdiri dari bilangan nol dan satu.[4]

Proses komunikasi yang berlangsung dalam pertemuan tatap muka menekankan pada interaksi dan relasi sosial yang terbangun di antara pengajar dan peserta didik. Pengajar menyampaikan materi ajar kepada peserta didik secara langsung dengan berbagai ekspresi dan gerakan (gesture) yang mendukungnya, dan peserta didik dapat memberikan tanggapan serta mengekspresikan diri secara langsung juga. Teknologi komunikasi penunjang yang biasanya digunakan dalam pendidikan konvensional mencakup antara lain kertas, buku, papan tulis, spidol, televisi, radio, alat peraga, komputer, proyektor, dan lain-lain.

Keunggulan dan kelemahan pendidikan konvensional

Keunggulan dari metode pendidikan konvensional antara lain:

  • Tingginya tingkat interaksi langsung antara pengajar dan peserta didik yang akan mempercepat terbentuknya relasi dan nilai-nilai dalam proses belajar-mengajar.[9]
  • Pertemuan tatap muka antara pengajar dan peserta didik mendukung terselenggaranya proses belajar-mengajar yang terfokus dan terkontrol sehingga pembelajaran dapat dioptimalkan.[10]

Kelemahan dari metode pendidikan konvensional antara lain:

  • Kebergantungan kepada lokasi, tempat, dan kehadiran dari para peserta proses belajar-mengajar baik pengajar maupun peserta didik.
  • Biaya pendidikan relatif tinggi sebagai akibat dari timbulnya berbagai biaya untuk menunjang operasional sehari-hari pada lembaga penyelenggara pendidikan konvensional.

Sistem pendidikan jarak jauh

Pendidikan jarak jauh adalah suatu kajian kependidikan yang terus berkembang seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Karena itu juga pendidikan jarak jauh sering dipersepsikan sebagai suatu inovasi dalam metode pembelajaran abad 21 yang memiliki daya jangkau lintas ruang, waktu, dan sosioekonomi. Dengan adanya inovasi ini, masyarakat memiliki pilihan alternatif untuk mengakses pendidikan. Secara umum, pendidikan jarak jauh memiliki prinsip yang mencakup antara lain:[11]

  • Akses, yakni terkait dengan keinginan untuk memperluas akses masyarakat terhadap pendidikan melalui penyelenggaraan pendidikan yang berbasis teknologi komunikasi dan informasi, bersifat massal, ekonomis, serta meminimalkan kendala jarak dan waktu.
  • Pemerataan yang merujuk kepada asas keadilan dan persamaan hak bagi siapa saja untuk mengenyam pendidikan tanpa dibatasi oleh berbagai kendala.
  • Kualitas, yaitu berkenaan dengan jaminan standar pengajar, materi bahan ajar dan ujian, dan proses pembelajaran interaktif yang berbasis teknologi komunikasi dan informasi.

Karakteristik pendidikan jarak jauh

Pendidikan jarak jauh memiliki beberapa karakteristik dasar, yaitu:[7]

  • Pengajar dan peserta didik tidak berada dalam satu ruang yang sama saat proses belajar-mengajar berlangsung.
  • Penyampaian materi ajar dan proses pembelajaran dilakukan dengan memanfaatkan media komunikasi dan informasi.
  • Menekankan pada cara belajar mandiri namun ada lembaga yang mengaturnya.
  • Keterbatasan pada pertemuan tatap muka. Biasanya pertemuan tatap muka dilakukan secara periodik antara peserta didik dengan pengajar atau tutor.
  • Fleksibilitas dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain masing-masing peserta didik dapat mengatur waktu belajarnya sendiri sesuai dengan ketersediaan waktu dan kesiapannya.

Teknologi komunikasi dalam pendidikan jarak jauh

Penyelenggaraan pendidikan jarak jauh tidak dapat dilepaskan dari penggunaan teknologi. Hal ini dikarenakan dalam pendidikan jarak jauh tidak terjadi kontak secara langsung antara pengajar dan peserta didik. Proses komunikasi antara keduanya dilakukan melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi. Walau demikian, pertemuan tatap muka tetap dapat dilakukan dengan frekuensi yang terbatas. Teknologi komunikasi dan informasi yang banyak digunakan dalam pendidikan jarak jauh adalah komputer dan internet.

Pemanfaatan komputer dan internet memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat mengakses materi-materi ajar yang juga sudah dikemas dalam bentuk digital di mana pun dan kapan pun. Dengan menggunakan komputer dan internet juga, pengajar dan peserta didik dapat melakukan interaksi baik menggunakan aplikasi surat elektronik, video konferensi, atau forum diskusi dalam jaringan.[12] Meski penggunaan berbagai teknologi digital dalam pendidikan jarak jauh membuat batas-batas geografis seakan lenyap, namun proses komunikasi yang dimediasi oleh komputer dan internet memiliki keterbatasan dalam menangkap ekspresi dan gerakan (gesture) dari pengajar dan peserta didik. Teknologi komunikasi pendukung lainnya yang digunakan untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan jarak jauh antara lain buku elektronikcompact disc (CD) atau digital versatile disc (DVD) untuk rekaman audio dan video, dan perangkat pengolah informasi seperti tablet atau laptop.

Keunggulan dan kelemahan pendidikan jarak jauh

Keunggulan dari metode pendidikan jarak jauh antara lain:

  • Proses pembelajaran dapat dilakukan tanpa dibatasi oleh keharusan pengajar dan peserta didik untuk berada di ruang dan waktu yang sama.
  • Penggunaan teknologi komunikasi dan informasi sebagai media pembelajaran menimbulkan biaya yang lebih rendah baik bagi penyelenggara pendidikan jarak jauh maupun peserta didik.
  • Materi ajar dan berbagai interaksi dalam bentuk tulisan yang dikemas secara digital memungkinkan peserta didik untuk dapat membaca kembali informasi yang tercatat di dalamnya.

Kelemahan dari metode pendidikan jarak jauh antara lain:

  • Minimnya kontak langsung antara pengajar dan peserta didik memperlambat proses terbangunnya relasi sosial dan nilai-nilai yang menjadi tujuan dasar dari pendidikan.
  • Rendahnya kontrol terhadap proses pembelajaran sebagai impikasi dari cara belajar mandiri yang menjadi titik berat dari pendidikan jarak jauh.
  • Keterbatasan teknologi komunikasi dan informasi yang tidak dapat menggantikan sepenuhnya proses komunikasi dan interaksi secara langsung yang terjadi dalam pendidikan konvensional.

Demografi Indonesia

Jumlah penduduk Indonesia berkisar 250 juta jiwa dan membuat Indonesia menjadi negara dengan kepadatan penduduk terbesar keempat di dunia. Menurut estimasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), populasi penduduk Indonesia akan terus meningkat dan akan mencapai 290 juta jiwa pada tahun 2045. Dengan laju pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berada di angka 2.5 persen juga akan terus menambah jumlah penduduk usia produktif (usia 15-64) di masa mendatang. Struktur usia yang mendominasi komposisi penduduk Indonesia adalah kelompok usia produktif dengan rata-rata usia penduduknya adalah 28.2 tahun pada tahun 2011. Angka tersebut merupakan median age yang berarti setengah dari populasi Indonesia berada pada usia 28.2 tahun lebih dan separuhnya lagi berusia di bawah 28.2 tahun. Kelompok usia muda akan dapat menjadi pilar kekuatan kerja Indonesia dengan kondisi bahwa kelompok usia tersebut mendapatkan pendidikan yang baik dan kesempatan kerja yang memadai juga.[13]

Kondisi geografis Indonesia

Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri dari 13.487 pulau dengan 6000 di antaranya masih tidak berpenghuni. Setengah dari penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 250 juta jiwa memilih untuk tinggal di pulau Jawa walau luas pulau Jawa hanya 6,9 persen dari total 37 persen luas daratan di Indonesia. Besarnya kepulauan di Indonesia yang disertai dengan pembangunan yang belum merata mengakibatkan tidak meratanya juga infrastruktur dan fasilitas di berbagai bidang termasuk pendidikan. Keterbatasan jumlah perguruan tinggi di suatu pulau kerap mendorong sebagian penduduk memilih untuk mengenyam pendidikan tinggi di pulau lainnya. Implikasi yang timbul dari pilihan tersebut adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan bukan hanya untuk pendidikan yang akan ditempuh, melainkan juga untuk biaya hidup lainnya.

Perkembangan pendidikan tinggi jarak jauh di Indonesia

Metode pendidikan secara tatap muka dikenal sebagai model utama pendidikan. Namun demikian, pendidikan jarak jauh juga sudah lama berkembang khususnya dengan peserta didik usia dewasa. Di Indonesia, pembelajaran jarak jauh (distance learning) adalah bagian dari pendidikan jarak jauh (distance education) yang telah diatur dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 terkait sistem pendidikan nasional.

Perguruan tinggi di Indonesia

Berdasarkan data DIKTI dan Kemendikbud, jumlah lembaga perguruan tinggi di Indonesia adalah 4.273, sementara jumlah siswa lulusan SMA dan SMK pada tahun 2014 adalah 2.804.664.[14][15] Lembaga perguruan tinggi di Indonesia memiliki daya tampung yang terbatas untuk menyerap siswa lulusan SMA dan SMK, yaitu hanya sekitar 50 persen saja. Akumulasi siswa lulusan SMA dan SMK yang tidak terserap akan terus meningkat setiap tahunnya jika daya tampung lembaga perguruan tinggi tidak ditingkatkan dan kendala keterbatasan finansial bagi sebagian penduduk belum teratasi. Berbagai strategi diupayakan untuk meningkatkan daya tampung perguruan tinggi melalui penambahan perguruan tinggi maupun pengembangan sistem pendidikan jarak jauh untuk memperluas akses pendidikan tinggi di Indonesia.

Angka partisipasi perguruan tinggi

Angka partisipasi kasar (APK) adalah perbandingan jumlah peserta didik di jenjang tertentu dengan jumlah penduduk dalam kelompok umur yang sesuai. APK perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2014 hanya mencapai 30 persen. Yang termasuk dalam kategori APK ini adalah jumlah penduduk berusia 19-23 tahun yang sudah mengenyam pendidikan tinggi. Meski APK perguruan tinggi di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun, tetapi persentasenya masih terbilang rendah. APK perguruan tinggi Indonesia berada di bawah Malaysia, yaitu 60 persen dan Korea Selatan, yakni 90 persen. APK perguruan tinggi Indonesia diperkirakan akan meningkat signifikan ke angka 60-70 persen pada tahun 2045.[15] Dengan dikembangkannya sistem pendidikan jarak jauh yang tidak dibatasi jarak geografis dan dengan biaya yang relatif lebih rendah diharapkan akan meningkatkan layanan pendidikan bagi kelompok penduduk yang tidak dapat mengikuti pendidikan konvensional secara tatap muka.

Penyelenggara pendidikan tinggi jarak jauh

Penyelenggaraan pendidikan jarak jauh di Indonesia pada mulanya hanya terbatas pada Universitas Terbuka yang menyediakan layanan pendidikan tanpa mengharuskan pengajar dan peserta didik untuk berada dalam ruang yang sama guna mengikuti proses belajar-mengajar. Seiring dengan upaya perluasan akses pendidikan tinggi di Indonesia, pemerintah Indonesia memberikan terobosan dengan mengizinkan perguruan tinggi lainnya untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan jarak jauh dengan kriteria dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 24 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pendidikan jarak jauh pada perguruan tinggi. Dengan dikeluarkannya kebijakan ini, lembaga-lembaga yang semula hanya menyelenggarakan pendidikan konvensional mulai mengembangkan program pendidikan jarak jauh.

Masa depan pendidikan jarak jauh

Seiring kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang terus berkembang, metode pendidikan bermediasikan komputer dan internet khususnya, tidak lagi dianggap sebagai suatu teknologi eksperimental karena pendidikan tinggi perlu mempertimbangkan pertumbuhan peserta didik di era serba digital dan berbasis pengetahuan yang kompetitif ini. Pendidikan jarak jauh dapat melayani lebih banyak peserta didik sehingga diperkirakan sistem pendidikan ini akan terus berkembang di banyak lembaga pendidikan tinggi. Keberhasilannya akan turut ditentukan bukan hanya oleh ketersediaan teknologi komunikasi dan informasi, melainkan juga oleh kualitas materi ajar, pengajar, peserta didik, metode pedagogi, interaksi yang dapat diakomodir, dan sistem pendukung lainnya yang dibangun oleh penyelenggara pendidikan jarak jauh.[16]

Terlepas dari teknologi digital dapat mengatasi kendala jarak geografis dalam rangka terselenggaranya proses belajar-mengajar, namun ada komunikasi yang tidak dapat digantikan oleh penggunaan teknologi digital. Ada jenis komunikasi yang tetap mengharuskan komunikator dan komunikan duduk di ruangan yang sama dan berinteraksi satu sama lain. Bahkan teknologi layar video definisi tinggi atau hologram tiga dimensi tidak akan dapat menggantikan sepenuhnya komunikasi konvensional secara tatap muka. Dengan kata lain, pertemuan langsung tetap diperlukan dalam kondisi-kondisi tertentu, termasuk dalam proses belajar-mengajar. Itulah sebabnya metode pendidikan jarak jauh tidak akan menggantikan pembelajaran maupun komunikasi langsung dan secara pribadi. Pendidikan jarak jauh akan meningkatkan sistem pendidikan konvensional, namun tidak akan menghilangkannya.[17]

Ramalan masa depan pendidikan jarak jauh dalam metode Delfi

Dalam upaya untuk mengidentifikasi dan memprediksi tren yang akan muncul dalam suatu lingkungan tertentu, para perencana organisasi biasanya melihat sejumlah alat strategi pembangunan termasuk metode Delfi untuk membantu organisasi dalam memutuskan dan membuat perencanaan. Metode Delfi dipandang baik digunakan sebagai alat peramalan masa depan yang berguna untuk mengetahui masalah yang menjadi fokus riset para ahli di bidangnya, bukan sekadar fokus dari populasi masyarakat pada umumnya. Metode Delfi dibentuk untuk mencari tahu konsensus umum para ahli tentang suatu isu di masa depan. Karena metode Delfi memberikan gambaran yang cukup jelas tentang ke mana organisasi akan mengarah dan apa yang mungkin dilakukan di masa depan, metode ini sangat berguna dalam perencanaan skenario, termasuk dalam bidang pendidikan tinggi dan pendaftaran peserta didik.[18]

Salah satu hasil penelusuran pandangan dan opini para ahli dalam bidang pendidikan jarak jauh dikemukakan oleh Noa Aharony dan Jenny Bronstein dari Universitas Bar-Ilan. Dalam tulisannya yang berjudul “Sebuah Investigasi Delfi terkait Masa Depan Pendidikan Jarak Jauh” (A Delphi Investigation into the Future of Distance Education) diperoleh informasi bahwa dari 35 ahli yang diminta untuk menilai 16 pernyataan sesuai dengan apa yang mereka pikir mungkin akan terjadi (probabilitas) dan apa yang mereka ingin lihat terjadi (keinginan), temuan menunjukkan mayoritas ahli meramalkan bahwa penggunaan teknologi baru akan mengubah teori dan metodologi pendidikan konvensional. Hal ini akan berdampak pada keterampilan dan upaya para pengajar, umpan balik, interaksi dan proses penilaian pembelajaran. Namun terkait masa depan pendidikan jarak jauh, para ahli melihat terlepas dari adanya kecenderungan penyediaan layanan pendidikan jarak jauh formal secara penuh di masa depan, tetapi para ahli ragu bahwa pendidikan jarak jauh akan sepenuhnya menggantikan pendidikan konvensional. Selain itu, para ahli juga melihat peran teknologi seluler dan jejaring sosial sebagai fasilitator dalam proses berbagi informasi dalam sistem pendidikan jarak jauh yang menciptakan suasana kerja sama dan interaksi yang mudah di antara pengguna. Para ahli berpandangan bahwa asimilasi teknologi seluler dan jejaring sosial akan mempengaruhi metode pendidikan jarak jauh dan pedagogi.[19]

Masa depan pendidikan jarak jauh di Indonesia

Rendahnya angka partisipasi perguruan tinggi di Indonesia yang merupakan implikasi dari keterbatasan daya tampung perguruan tinggi dan faktor kemampuan finansial yang tidak merata mendorong pemerintah Indonesia mengupayakan perluasan akses pendidikan bagi kelompok masyarakat di berbagai wilayah. Pendidikan jarak jauh dipandang sebagai salah satu solusi yang memungkinkan untuk meningkatkan pemerataan kesempatan pendidikan tinggi di Indonesia. Sistem pendidikan jarak jauh memiliki fleksibilitas yang tinggi, daya jangkau yang luas, dan lebih terjangkau daripada pendidikan konvensional. Keseriusan pemerintah Indonesia dalam mengembangkan pendidikan jarak jauh sebagai bagian dari sistem pendidikan di Indonesia ditunjukkan dengan dikeluarkannya berbagai produk hukum yang ikut mengatur pendidikan jarak jauh, antara lain:

  • Undang-undang (UU) nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi
  • UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
  • Peraturan pemerintah (PP) nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan
  • Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (Permendikbud) nomor 109 tahun 2013 tentang penyelenggaraan pendidikan jarak jauh pada pendidikan tinggi
  • Permendikbud nomor 20 tahun 2011 tentang penyelenggaraan program studi di luar domisili perguruan tinggi

Upaya untuk meningkatkan pemerataan akses pendidikan tinggi di Indonesia juga direspon baik oleh para penyelenggara pendidikan konvensional. Beberapa penyelenggara pendidikan konvensional mulai turut mengembangkan sistem pendidikan jarak jauh ini. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pendidikan jarak jauh di Indonesia adalah kesiapan infrastruktur teknologi komunikasi dan informasi, khususnya ketersediaan koneksi internet. Meski konektivitas jaringan internet di berbagai wilayah Indonesia sudah cukup baik, namun masih ada wilayah-wilayah yang masih belum dapat terhubung dengan internet. Pemerintah Indonesia berusaha menyiasatinya melalui program pengadaan satelit yang ditargetkan akan selesai dan dapat digunakan pada tahun 2016.

Penyelenggaran pendidikan jarak jauh di Indonesia tidak dimaksudkan untuk menggantikan sistem pendidikan konvensional secara tatap muka karena tujuan penyelenggaraanya adalah untuk memberikan layanan pendidikan tinggi kepada masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka dan memperluas akses serta mempermudah layanan pendidikan tinggi sebagaimana termaktub dalam Permendikbud nomor 109 tahun 2013.[20]

Sumber: id.wikipedia.org

 

Selengkapnya
Pendidikan jarak jauh

Pendidikan jarak jauh

Kesenjangan digital

Dipublikasikan oleh Admin pada 13 Maret 2022


Kesenjangan digital (bahasa Inggrisdigital divide) adalah kesenjangan antara yang kaya teknologi dengan yang miskin teknologi.[1] Kesenjangan antara antarnegara (seperti kesenjangan digital di Amerika Serikat) dapat mengacu kepada kesenjangan antar individu, rumah tangga, bisnis, atau wilayah geografis, biasanya dengan tingkat sosial-ekonomi yang berbeda atau kategori demografi lain. Kesenjangan antarnegara atau kawasan dunia disebut kesenjangan digital global,[2] yaitu kesenjangan teknologi antara negara berkembang dan negara maju di tingkat internasional.[3]

Definisi

Kesenjangan digital merupakan sebuah permasalahan yang muncul di dalam masyarakat karena adanya perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) yang kurang merata. Permasalahan ini kerap dialami oleh masyarakat rural (masyarakat perdesaan) karena masyarakat urban (masyarakat perkotaan) lebih dahulu mendapatkan kesempatan untuk merasakan dampak pembangunan infrastruktur TIK jika dibandingan dengan masyarakat rural.[4]

Kesenjangan digital dibagi menjadi dua bentuk, yaitu kesenjangan digital tradisional dan kesenjangan terkait outcome. Kesenjangan digital tradisional terdiri atas kesenjangan akses terhadap internet dan teknologi digital serta kesenjangan kemampuan menggunakan teknologi digital secara optimal. Adapun kesenjangan terkait outcome merupakan hasil dari kemampuan tersebut ketika dikonversikan ke dalam berbagai jenis kapital lainnya (misalnya kapital ekonomi seperti pendapatan).[5]

Kesenjangan digital juga kesenjangan kemampuan digital antara orang-orang yang telah mempunyai akses teknologi yang pada akhirnya berdampak pada ketidaksetaraan hasil.[6] Kesenjangan digital mengacu kepada kesenjangan antara mereka dalam mengakses internet. Bagi yang tidak mendapakan akses internet yang baik, maka tidak mendapakan hasil yang baik.[7] Kesenjangan digital juga dapat diartikan sebagai kesenjangan ekonomi dan sosial terkait akses, penggunaan, atau dampak teknologi informasi dan komunikasi (TIK).[8] Kesenjangan digital juga mengacu kepada mereka yang mendapat mamfaat digital dengan yang tidak.[9][10]

Van Dijk memberikan penjelasan bahwa kesenjangan digital dapat dikaji berdasarkan aspek material acces, skill access, motivational, dan usage.[11] Menurut Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD), kesenjangan digital terjadi antara tingkat individu, rumah tangga, dan area geografis yang memiliki perbedaan tingkat sosial ekonomi berdasarkan kesempatan untuk mengakses teknologi informasi dan komunikasi.[12]

Latar belakang

Istilah kesenjangan digital pertama kali diperkenalkan oleh The National Telecommunication and Information Administration (NTIA), sebuah badan pemerintah federal Amerika Serikat yang mengurusi bidang telekomunikasi dan informasi dalam laporannya.[13] Oleh pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1990-an pada masa pemerintahan Clinton, istilah kesenjangan yang mereka sebut dengan istilah digital divide diperkenalkan. Kemudian dengan cepat diserap oleh negara lain dan memberikan penyebutan berdasarkan bahasa masing-masing. Pada 1996, kesenjangan digital pun menjadi isu dunia. Kondisi ini tidak hanya dialami negara berkembang tapi juga negara maju.[14]

Upaya pencegahan

Bank Dunia menyebut jika kesenjangan digital akan akses internet di Indonesia masih begitu lebar. Hal ini terbukti dari sebanyak 49% penduduk dewasa di Indonesia masih belum memiliki akses internet.[15] Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, di lain pihak menyatakan bahwa upaya untuk mengatasi permasalahan ini di Indonesia adalah menerapkan strategi melalui penguatan infrastruktur digital, pengembangan talenta digital, dan pembentukan hukum yang tepat untuk melengkapi regulasi primer. Perluasan akses internet harus berjalan beriringan dengan pengembangan sumber daya manusia. Oleh karena itu, pemerintah juga berupaya membekali masyarakat Indonesia dengan literasi digital.[16] Namun, pemerintah yang menggunakan teknologi digital untuk program kesejahteraan sosial juga harus memastikan adanya penyertaan dalam sistem dan lembaga ketika program ini melekat.[17

Sumber: id.wikipedia.org

 

Selengkapnya
Kesenjangan digital
page 1 of 1