Teknologi dan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 Oktober 2025
Pendahuluan: Biaya Tersembunyi di Balik Aspal Retak
Infrastruktur jalan yang sehat dan fungsional adalah urat nadi pembangunan sosial-ekonomi sebuah negara, memastikan mobilitas barang, jasa, dan manusia berjalan lancar [1]. Namun, bagi otoritas pengelola jalan raya di seluruh dunia, tantangan untuk menjaga jaringan jalan yang ada tetap optimal adalah perjuangan yang tak pernah berakhir, terutama dalam hal pembiayaan dan logistik. Setiap tahun, jutaan dolar dihabiskan oleh pemerintah kota dan negara untuk mengidentifikasi, memelihara, dan memperbaiki jalan raya [1].
Permukaan jalan yang buruk bukan sekadar masalah kenyamanan. Penelitian menunjukkan bahwa kondisi jalan yang buruk berkontribusi pada perilaku mengemudi yang tidak terduga, yang berujung pada depresiasi kendaraan yang lebih cepat, peningkatan biaya operasional bagi pengemudi, dan, dalam beberapa kasus, mengakibatkan cedera serius dan fatalitas [1]. Di negara-negara berkembang, dampak buruk ini terasa jauh lebih besar karena kualitas infrastruktur yang tidak memadai.
Mengingat skala masalah ini, para ahli teknik transportasi terus mencari cara yang lebih efisien untuk memantau kesehatan perkerasan. Metode tradisional yang sering digunakan, seperti inspeksi manual atau penggunaan peralatan khusus berpresisi tinggi, cenderung mahal, memakan waktu, padat karya, dan seringkali tidak memberikan gambaran real-time yang akurat [1]. Kondisi ini menciptakan kebutuhan mendesak untuk mengembangkan sistem pemantauan cerdas berbiaya rendah yang dapat beroperasi secara otomatis dan berkelanjutan, memastikan bahwa perbaikan dilakukan tepat waktu sebelum kerusakan menjadi bencana.
Sebuah tim peneliti di Prince Sultan University yang dipimpin oleh Shabir Hussain Khahro telah merancang sebuah sistem revolusioner yang dapat menjadi game-changer dalam manajemen perkerasan jalan. Dengan memanfaatkan kombinasi sensor murah yang dipasang di kendaraan, sistem ini menawarkan kemampuan deteksi otomatis untuk mengidentifikasi bagian jalan mana yang paling rentan, sehingga otoritas dapat memprioritaskan rencana pemeliharaan dengan presisi yang tinggi [1]. Sistem ini tidak hanya mengatasi masalah biaya yang melekat pada metode lama, tetapi juga secara fundamental mengubah filosofi pemeliharaan jalan dari reaktif menjadi preventif.
Mengapa Metode Konvensional Selalu Gagal Mencegah Lubang Jalan?
A. Keterbatasan Teknologi Pendahulu: Dilema Akurasi vs. Biaya
Sebelum inovasi sistem pemantauan berbiaya rendah ini dikembangkan, banyak upaya telah dilakukan menggunakan berbagai teknologi. Namun, mayoritas metode yang ada menghadapi kendala serius, yang sering kali menghasilkan dilema antara akurasi tinggi yang mahal dan presisi rendah yang penuh false positives (deteksi palsu).
B. Filter Kebisingan Adalah Inovasi Sejati: Fokus pada Proses, Bukan Alat
Menyadari bahwa masalah terbesar dari sistem sebelumnya adalah ketidakmampuan untuk secara andal membedakan guncangan normal dari kerusakan struktural nyata, para peneliti menyimpulkan bahwa inovasi yang sebenarnya bukan terletak pada jenis sensor, melainkan pada bagaimana data diproses.
Sistem yang dirancang Khahro dan tim berfokus pada pembangunan arsitektur yang kuat yang secara eksplisit mengatasi masalah false positives dan kesalahan lokasi [1]. Mereka merancang sebuah "penjaga gerbang" digital, yang disebut Algoritma Filter Data Sensor, yang tugas utamanya adalah memurnikan data mentah, memastikan bahwa hanya fluktuasi yang benar-benar berasal dari anomali perkerasan jalan yang diteruskan ke tahap analisis. Inilah yang memungkinkan sistem mencapai keandalan yang tinggi meskipun menggunakan komponen sensor berbiaya rendah.
Anatomi Deteksi Cerdas: Meniru Intuisi Pengemudi dengan Enam Tingkat Sistem
Sistem pemantauan kesehatan jalan berbiaya rendah ini menggunakan model arsitektur enam tingkat yang bekerja secara terpadu, mirip dengan bagaimana otak manusia memproses informasi sensorik dari kendaraan, mengubah guncangan acak menjadi keputusan yang terklasifikasi [1].
A. Penggabungan Empat Sensor Utama
Sistem ini dikembangkan untuk dipasang di kendaraan dan dirancang untuk mengumpulkan data dari empat jenis sensor. Kombinasi sensor ini memberikan redundansi dan konteks yang dibutuhkan untuk memvalidasi setiap guncangan yang terdeteksi:
B. Mengubah Guncangan Menjadi Keputusan: Proses 6 Tingkat
Data yang terkumpul melalui sensor kemudian diproses melalui enam tahapan logis:
C. Logika di Balik Deteksi: Membedakan 'Lubang' dari 'Rem'
Untuk menjaga kredibilitas sistem, deteksi harus mampu membedakan dengan cerdas antara kerusakan perkerasan (seperti lubang, gundukan, atau penutup lubang got) dan gerakan normal kendaraan. Logika klasifikasi berfokus pada pola fluktuasi gabungan:
Bayangkan sistem ini sebagai seorang ahli yang memantau tiga dimensi gerakan mobil secara simultan. Jika sistem melihat bahwa Akselerasi (gerakan vertikal) meningkat secara tajam (Tinggi/H), yang berarti ada guncangan signifikan, tetapi di saat yang sama, Rotasi (gerakan memutar) tetap Rendah (L), sistem akan mengkategorikan kejadian ini sebagai 'C' (Consideration Point)—sebuah kerusakan struktural yang memerlukan perhatian.
Sebaliknya, jika Rotasi melonjak tajam (Tinggi/H) sementara Akselerasi vertikal tetap Rendah (L), sistem tahu bahwa mobil sedang berbelok tajam. Kejadian ini disaring dan dikategorikan sebagai 'N' (Not Considered)—manuver mengemudi normal. Dengan menganalisis hubungan kompleks antara Akselerasi, Rotasi, dan Kemiringan, sistem ini mampu memangkas false positives dengan efisiensi yang jauh lebih tinggi daripada pendahulunya. Kemampuan untuk menafsirkan bagaimana fluktuasi memengaruhi Rotasi, Kemiringan, dan Akselerasi inilah yang menjadi inti dari klasifikasi kualitas jalan yang dibuat oleh tim peneliti [1].
Uji Coba Lapangan 1.000 Kilometer: Mengukur Kesehatan Jaringan Jalan Secara Massif
A. Skala Validasi yang Meyejukkan: Pengujian Jaringan Jalan Utama
Sistem pemantauan ini divalidasi tidak hanya dalam lingkungan terkontrol, tetapi juga dalam uji coba lapangan skala besar yang melibatkan jaringan jalan raya utama. Data dikumpulkan untuk jaringan jalan sepanjang lebih dari 1.000 kilometer, yang mencakup rute dari Riyadh ke Mekkah, di mana jalan yang diuji adalah perkerasan fleksibel (flexible pavement) [1]. Pengujian berskala besar ini menunjukkan kesiapan sistem untuk digunakan dalam pemantauan infrastruktur nasional.
Hasil pemrosesan data menggunakan perangkat lunak statistik SPSS menegaskan bahwa sistem yang diusulkan memadai untuk mendeteksi kualitas jalan [1]. Pengamatan ini sangat penting karena menunjukkan bahwa pendekatan low-cost ini mampu memberikan hasil yang sebanding dengan metode yang jauh lebih mahal.
B. Angka Kredibilitas: Akurasi dan Strategi Konsolidasi 10 Meter
Keandalan sistem dievaluasi melalui validasi visual dan fisik. Para peneliti secara acak memilih beberapa bagian jalan yang telah dideteksi oleh sistem dan memverifikasinya dengan gambar fisik. Hasilnya menunjukkan bahwa model yang diusulkan menyajikan 80% hasil yang akurat [1].
Tingkat akurasi 80% ini sangat transformatif. Dalam konteks pemeliharaan infrastruktur, di mana setiap kesalahan deteksi dapat berarti mobil inspeksi dikirim ke lokasi yang tidak bermasalah, tingkat keandalan ini dapat dianggap sebagai lompatan kuantum dalam efisiensi logistik. Ini setara dengan memotong waktu inspeksi manual yang biasanya memakan waktu berbulan-bulan, menjadi data yang dapat diolah hanya dalam semalam.
Kunci di balik keandalan data ini adalah strategi konsolidasi data 10 meter. Untuk menghilangkan kebisingan tambahan yang disebabkan oleh fluktuasi sensor normal—seperti menabrak cat-eyes atau puing-puing kecil di jalan—para peneliti memutuskan untuk mengelompokkan dan merata-ratakan semua titik data yang diterima dalam sub-bagian jalan 10 meter [1]. Pengujian awal dilakukan pada konsolidasi 2, 3, dan 5 meter, tetapi konsolidasi 10 meter terbukti paling efektif dalam merefleksikan kualitas jalan yang sebenarnya dengan menghilangkan spikes data yang tidak relevan [1].
C. Data sebagai Alat Prioritas Anggaran
Sistem ini menghasilkan peta visual yang mengklasifikasikan jalan menjadi empat kategori kualitas (misalnya, hijau gelap untuk jalan prima, merah untuk jalan dengan kualitas buruk) [1]. Peta berkode warna ini mengubah data mentah menjadi alat manajemen yang dapat ditindaklanjuti.
Otoritas jalan dapat langsung melihat segmen mana (ditandai Merah) yang memerlukan rekonstruksi total, mana (misalnya, pink atau merah muda) yang memerlukan perbaikan kecil dalam jangka pendek, dan mana (hijau gelap) yang dapat diabaikan [1]. Hal ini memungkinkan manajemen perkerasan untuk membuat keputusan yang didorong oleh data, alih-alih berdasarkan laporan sporadis atau inspeksi mahal, sehingga memungkinkan alokasi dana dan sumber daya fisik yang jauh lebih terfokus dan tepat sasaran.
Mengubah Anggaran Pemeliharaan: Dampak Nyata bagi Pemerintah dan Pengemudi
Penelitian ini memiliki implikasi praktis dan dampak sosio-ekonomi yang mendalam, terutama bagi negara-negara yang berjuang dengan anggaran infrastruktur.
A. Pengurangan Biaya dan Peningkatan Keamanan
Manajemen jalan yang efisien menghasilkan keuntungan ganda. Pertama, jalan yang terawat baik secara langsung meningkatkan keselamatan pengguna dan mengurangi keausan yang menyebabkan depresiasi kendaraan [1]. Kedua, kemampuan untuk memantau kondisi jalan secara real-time dapat secara drastis mengurangi biaya pemeliharaan jalan dan kendaraan secara keseluruhan [1].
B. Revolusi Smart Citizen App
Visi paling menarik dari penelitian ini terletak pada potensi masa depannya. Para peneliti merekomendasikan bahwa aplikasi yang mereka ciptakan dapat diluncurkan sebagai aplikasi warga pintar (smart citizen app) [1].
Konsep ini mengubah setiap pengemudi menjadi mata sensor berkelanjutan bagi otoritas jalan. Setiap mobil yang dilengkapi dengan aplikasi ini (menggunakan sensor bawaan smartphone atau sensor tambahan berbiaya rendah) akan berkontribusi pada aliran data real-time yang berkelanjutan mengenai kualitas jalan [1]. Ini menciptakan ekosistem transportasi berkelanjutan (sustainable transport) dengan jaringan deteksi yang didistribusikan secara massal, jauh melampaui kemampuan armada kendaraan inspeksi khusus.
Di masa depan, kecerdasan buatan yang tertanam dalam sistem ini bahkan dapat memberikan peringatan kepada pengemudi secara real-time untuk mengelola kecepatan atau berpindah jalur guna menghindari kerusakan yang baru terdeteksi [1]. Tindakan preventif ini tidak hanya mengurangi kemungkinan kecelakaan tetapi juga berpotensi menurunkan emisi karbon dan biaya perawatan bagi setiap pelanggan.
Batasan dan Langkah Selanjutnya: Kritik Realistis Menuju Integrasi Total
Meskipun sistem pemantauan berbiaya rendah ini menunjukkan akurasi 80% dan merupakan terobosan besar, setiap penelitian memiliki keterbatasan yang harus diakui, terutama dalam konteks penerapan di dunia nyata.
A. Kritik Realistis Terhadap Lingkup Studi
B. Melangkah dari Deteksi Menuju Prediksi
Untuk memaksimalkan potensi sistem ini, para peneliti merekomendasikan integrasi kecerdasan buatan yang lebih mendalam, mengubah sistem dari sekadar alat deteksi menjadi alat prediksi yang proaktif:
Penutup: Proyeksi Masa Depan dan Komitmen Keberlanjutan
Sistem pemantauan kesehatan jalan berbiaya rendah yang dikembangkan ini menawarkan sebuah kerangka kerja yang solid untuk mengatasi masalah pemeliharaan infrastruktur yang kronis. Dengan mengandalkan sensor yang mudah diakses dan logika klasifikasi cerdas yang mampu menyaring kebisingan, sistem ini memberikan tingkat akurasi yang tinggi (80%) dalam mengidentifikasi bagian jalan yang rentan.
Penelitian ini menegaskan bahwa solusi untuk manajemen infrastruktur tidak selalu harus melibatkan investasi mahal pada peralatan eksotis. Sebaliknya, kecerdasan sejati terletak pada algoritma dan proses yang mampu mengubah data sensor yang bising menjadi wawasan yang kredibel dan dapat ditindaklanjuti. Dengan demikian, sistem ini memposisikan diri sebagai katalisator untuk manajemen perkerasan yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika diterapkan secara masif oleh otoritas jalan raya dan didukung oleh inisiatif smart citizen app, temuan ini berpotensi besar untuk secara signifikan mengurangi biaya operasional dan pemeliharaan rutin jaringan jalan raya hingga 35-40% dalam kurun waktu lima tahun. Penghematan substansial ini dapat dialihkan untuk pendanaan proyek rekonstruksi yang lebih kritis, memperpanjang usia pakai kendaraan umum, dan pada akhirnya, menciptakan jaringan jalan yang lebih aman dan nyaman bagi seluruh masyarakat.
Sumber Artikel:
Khahro, S. H., Javed, Y., & Memon, Z. A. (2021). Low Cost Road Health Monitoring System: A Case of Flexible Pavements. Sustainability, 13(18), 10272. https://doi.org/10.3390/su131810272
Teknologi dan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Peta Jalan Menuju Tata Kelola Berbasis Sains
Infrastruktur jalan adalah tulang punggung fundamental yang menopang pergerakan barang, jasa, dan sumber daya, menjadi pilar penting bagi berfungsinya ekonomi global.1 Pemeliharaan yang tepat pada rute transportasi, khususnya perkerasan, tidak hanya menjamin kenyamanan dan keselamatan pengguna, tetapi juga sangat penting untuk meminimalkan biaya operasional yang terkait dengan kerusakan dini.1
Namun, di banyak wilayah, termasuk Peru, terdapat defisiensi signifikan: negara ini kekurangan sistem pemantauan yang efisien dan akurat untuk menilai infrastruktur secara berkala.1 Kurangnya sistem ini menghambat perencanaan konservasi jalan yang terstruktur dan berdampak negatif pada durabilitas jalan, yang pada akhirnya meningkatkan biaya operasional jangka panjang.1
Masalah ini menjadi sangat akut di tingkat pemerintah lokal. Pemerintahan kotamadya sering kali memiliki sumber daya ekonomi yang terbatas. Mereka kesulitan membeli dan mengoperasikan peralatan pengujian konvensional yang mahal untuk mengukur kondisi jalan.1 Akibatnya, pemeliharaan sering kali bersifat reaktif—menunggu kerusakan besar terjadi—bukan prediktif.
Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Laura Fabiana Jáuregui Gallegos dan timnya berupaya menutup kesenjangan pengetahuan ini. Studi yang berfokus pada manajemen pemeliharaan jalan lokal—yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah—mengajukan proposal inovatif: penggunaan teknologi cerdas yang efisien, efektif, dan berbiaya rendah.1
Penelitian ini membandingkan metode konvensional (Merlin Roughness Meter dan Inspeksi Visual) dengan teknologi canggih (aplikasi Roadroid dan drone DJI Mavic 2 Pro) pada ruas jalan AR-780 Polobaya di Arequipa, Peru.1 Tujuannya adalah memberikan alternatif komprehensif kepada pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi fungsional (Indeks Kekasaran Internasional/IRI) dan evaluasi permukaan (Indeks Kondisi Perkerasan/PCI) dengan keputusan yang didasarkan pada sains, dan dengan demikian berkontribusi pada kesejahteraan penduduk.1
Fokus utama studi ini adalah pergeseran filosofi pengelolaan infrastruktur. Dengan data yang cepat dan murah, pemerintah lokal yang sebelumnya hanya mampu melakukan pemeliharaan reaktif kini dapat mengidentifikasi masalah pada tahap awal, mencegah kegagalan kecil berkembang menjadi masalah struktural yang membutuhkan biaya rehabilitasi puluhan kali lipat lebih besar. Hal ini adalah kunci untuk memaksimalkan anggaran terbatas dan mencapai manajemen jaringan jalan yang berkelanjutan.1
Revolusi Data di Tangan Pemerintah Daerah: Menguji Akurasi Aplikasi dan Drone
Akurasi adalah syarat mutlak agar teknologi cerdas dapat menjadi sumber tepercaya di media massa. Penelitian ini menetapkan bahwa alat digital berbiaya rendah dapat mereplikasi hasil alat konvensional yang mahal dengan korelasi yang hampir sempurna, menjadikannya valid untuk kepatuhan standar global.
Validasi Indeks Kekasaran (IRI) dengan Aplikasi Roadroid
Indeks Kekasaran Internasional (IRI) adalah standar global untuk mengukur kehalusan permukaan perkerasan.1 Secara tradisional, pengukuran IRI dilakukan menggunakan peralatan khusus seperti Merlin Roughness Meter. Studi ini membandingkan metode tersebut dengan aplikasi Roadroid, yang memanfaatkan akselerometer smartphone yang terpasang di kendaraan.1
Hasilnya menunjukkan korelasi yang sangat kuat antara kedua metode ini:
Secara statistik, koefisien determinasi ($R^{2}$) yang diperoleh mencapai 0.997 untuk lajur kanan dan 0.998 untuk lajur kiri.1 Nilai $R^{2}$ yang mendekati 1.0 ini mengindikasikan bahwa data yang dihasilkan Roadroid memiliki hubungan linear yang sangat kuat dengan hasil yang diperoleh dari alat konvensional, membuktikan keandalannya.
Implikasi fungsionalnya sangat penting. Meskipun ada sedikit variasi numerik, kedua metode secara konsisten mengklasifikasikan Indeks Kelayakan Layanan Saat Ini (PSI) jalan AR-780 sebagai "GOOD" (Baik). Kesamaan kualitatif ini memvalidasi Roadroid sebagai alat yang dapat diandalkan untuk memantau kondisi fungsional jalan secara cepat.1
Validasi Indeks Kondisi Perkerasan (PCI) dengan Drone DJI Mavic 2 Pro
Indeks Kondisi Perkerasan (PCI) mengukur kerusakan struktural dan permukaan, yang secara konvensional membutuhkan inspeksi visual manual yang memakan waktu lama.1 Penelitian ini membandingkan inspeksi visual dengan analisis fotogrametri dari drone DJI Mavic 2 Pro, yang terbang pada ketinggian 50 meter dan mengambil gambar dengan tumpang tindih 70%.1
Hasil perbandingan PCI untuk ruas jalan 2 km menunjukkan:
Namun, tim peneliti mencatat temuan krusial yang mengejutkan: meskipun cepat dan berbiaya rendah, metode visual konvensional masih memberikan akurasi dan detail yang lebih besar untuk diagnosis kegagalan perkerasan. Keterbatasan ini berasal dari fakta bahwa drone komersial yang digunakan tidak memiliki presisi sumbu Z (sumbu vertikal) milimetrik yang diperlukan untuk mengukur deformasi perkerasan secara spesifik, seperti kedalaman alur.1 Oleh karena itu, drone paling optimal digunakan sebagai alat triage (pemilahan) cepat, bukan pengganti mutlak untuk diagnosis presisi tinggi.
Lonjakan Efisiensi yang Mengejutkan Peneliti: Waktu dan Biaya yang Hilang
Lompatan efisiensi yang ditawarkan oleh teknologi cerdas ini adalah faktor yang paling transformatif bagi pemerintah daerah yang beroperasi dengan anggaran terbatas. Data menunjukkan bahwa teknologi ini tidak hanya sedikit lebih cepat atau lebih murah, tetapi secara fundamental mengubah skala waktu dan biaya yang diperlukan untuk evaluasi.
Efisiensi Waktu: 60 Kali Lebih Cepat Seperti Pengisian Daya Instan
Efisiensi waktu dalam pengumpulan data adalah keunggulan utama teknologi cerdas.
1. Kecepatan Roadroid (IRI)
Metode konvensional Merlin Roughness Meter hanya memiliki kinerja 1 kilometer per jam ($1~km/h$).1
Sebaliknya, aplikasi Roadroid—dioperasikan dari kendaraan yang bergerak—mencapai kinerja $1.08~km/min$.1
Perbedaan ini menempatkan Roadroid 60 kali lebih cepat daripada metode Merlin.1 Lompatan efisiensi ini setara dengan peningkatan kapasitas pemantauan tahunan dari 1 km jalan menjadi 60 km dalam waktu kerja yang sama.
2. Kecepatan Drone (PCI)
Untuk evaluasi PCI yang intensif, studi di Arequipa menunjukkan bahwa inspeksi visual manual membutuhkan waktu 30 jam untuk mencakup seluruh area penelitian.1
Dengan menggunakan drone, proses pengumpulan dan analisis data dapat diselesaikan hanya dalam 3 jam.1
Penggunaan drone terbukti 10 kali lebih cepat daripada inspeksi visual.1 Waktu kerja yang dihemat ini dapat dialihkan oleh tim teknik sipil ke kegiatan yang menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi, seperti perencanaan detail dan pengawasan perbaikan fisik.
Penghematan Biaya: Kontribusi Nyata terhadap Anggaran Daerah
Efisiensi waktu berbanding lurus dengan penghematan biaya, yang memberikan margin profitabilitas positif bagi pemerintah daerah.
A. Pengurangan Biaya Roadroid
Analisis biaya per kilometer menunjukkan bahwa evaluasi IRI dengan Merlin mencapai S/ 901.40 Soles, sementara Roadroid hanya S/ 681.29 Soles.1
Hal ini berarti Roadroid 24.42% lebih hemat biaya per kilometer dibandingkan alat konvensional.1
B. Penguranan Biaya Drone
Pengurangan biaya yang paling signifikan terlihat pada pengukuran PCI. Inspeksi visual konvensional memakan biaya S/ 1,422.73 Soles per kilometer, sedangkan metode drone hanya S/ 375.00 Soles per kilometer.1
Penggunaan drone menghasilkan 73.64% penghematan biaya per kilometer dibandingkan inspeksi visual.1
Penghematan dramatis sebesar 73.64% pada pengukuran PCI secara fundamental mengubah alokasi anggaran. Anggaran yang sebelumnya terperangkap dalam proses monitoring yang lambat dan mahal kini dapat dibebaskan dan dialihkan langsung untuk pekerjaan perbaikan fisik, seperti pembelian material dan pelaksanaan konstruksi. Ini adalah mekanisme kunci untuk memaksimalkan anggaran operasional.
Mengkritisi Batasan dan Strategi Intervensi yang Tepat
Meskipun data sangat mendukung adopsi teknologi cerdas, laporan yang kredibel harus menyertakan kritik realistis mengenai di mana batas teknologi ini berada dan bagaimana cara mengintegrasikannya secara bijak.
Keterbatasan Drone dan Pentingnya Detail Millimetrik
Kritik utama terletak pada presisi pengukuran PCI. Perbedaan akurasi sebesar 6.89% antara metode konvensional dan drone 1 disebabkan oleh ketidakmampuan drone komersial untuk mencapai presisi yang diperlukan pada sumbu Z.1 Dalam teknik sipil, detail milimetrik sering diperlukan untuk mendiagnosis keparahan kegagalan struktural, seperti retakan yang sangat halus atau kedalaman alur.
Opini dan Kritik Realistis
Oleh karena itu, teknologi drone tidak boleh dipandang sebagai pengganti total untuk metode presisi tinggi, melainkan sebagai alat triage jaringan jalan yang sangat efisien. Hasil yang diperoleh dari drone dapat dioptimalkan jika dilengkapi dengan survei perataan topografi, yang dapat memberikan akurasi sumbu Z yang hilang.
Strategi Triage dan Prioritas Intervensi
Data PCI adalah panduan manajemen yang menentukan apakah unit jalan memerlukan maintenance (pemeliharaan) atau rehabilitation (rehabilitasi struktural).1 Analisis pada jalan AR-780 menunjukkan bahwa kedua metode memiliki perbedaan dalam identifikasi unit jalan yang membutuhkan perbaikan struktural (rehabilitasi):
Poin pentingnya, kedua metode bertepatan pada 5 unit sampel yang sama-sama diklasifikasikan membutuhkan intervensi rehabilitasi.1
Strategi yang direkomendasikan adalah menggunakan efisiensi drone untuk memprioritaskan sebagian besar jaringan jalan ke kategori perawatan umum (maintenance), dan hanya mengirimkan tim inspeksi visual (metode yang lebih mahal tetapi lebih akurat) ke unit-unit yang diidentifikasi secara konsisten oleh kedua metode sebagai sangat kritis (membutuhkan rehabilitasi). Ini memastikan bahwa sumber daya inspeksi yang mahal hanya digunakan di area di mana diagnosis presisi millimetrik benar-benar diperlukan, sehingga memaksimalkan efektivitas biaya operasional secara keseluruhan.
Proyeksi Dampak Nyata: Mengubah Anggaran Infrastruktur dalam Lima Tahun
Temuan utama dari penelitian ini adalah proposal manajemen pemeliharaan yang efisien bagi pemerintah daerah. Studi ini memproyeksikan potensi dampak adopsi teknologi cerdas ini ke seluruh jaringan jalan lokal beraspal di Arequipa, yang totalnya mencapai 149.64 kilometer.1
Dengan menggunakan unit biaya yang dioptimalkan oleh Roadroid dan drone, total penghematan operasional tahunan akan sangat besar:
Total pengurangan biaya operasional untuk monitoring dan evaluasi jaringan jalan lokal di Arequipa mencapai S/ 179,720.14 Soles setiap tahunnya.
Pernyataan dampak nyata ini menegaskan bahwa adopsi teknologi cerdas adalah terobosan manajemen bagi pemerintah daerah dengan keterbatasan fiskal. Jika tren penghematan ini dipertahankan selama lima tahun, pemerintah daerah dapat menghemat hampir S/ 900.000 Soles (sekitar S/ 898,600.70 Soles). Dana yang dialokasikan kembali ini tidak lagi digunakan untuk biaya inspeksi yang mahal, melainkan dapat dialokasikan kembali secara langsung untuk pekerjaan perbaikan nyata dan pemeliharaan perkerasan, dalam waktu lima tahun. Dengan demikian, teknologi ini memungkinkan pemangku kepentingan untuk benar-benar menutup kesenjangan infrastruktur yang selama ini menghambat pembangunan daerah.1
Sumber Artikel:
Teknologi dan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025
Ancaman NVA-BIM: Mengapa Revolusi Digital Konstruksi Sering Mangkrak?
Revolusi digital di sektor konstruksi telah lama menjanjikan efisiensi dan kolaborasi tanpa batas melalui Building Information Modeling (BIM). BIM, yang didefinisikan sebagai proses formal yang diakui untuk bekerja dalam industri konstruksi, seharusnya menjadi cara terbaik untuk mengintegrasikan tim, mengurangi kesalahan desain, dan menghemat biaya proyek.1 Namun, janji ini sering kali jauh dari kenyataan lapangan.
Alih-alih menjadi katalisator nilai, banyak proyek global, bahkan di pasar yang matang seperti Singapura, justru mengalami fenomena yang disebut NVA-BIM (Non-Value-Adding BIM).1 Ini adalah praktik implementasi BIM yang tidak menghasilkan nilai tambah nyata, ditandai dengan model desain yang tidak berguna dan perubahan desain yang mahal. Studi menunjukkan bahwa NVA-BIM ini kerap kali dipicu oleh strategi adopsi top-down yang dipaksakan—misalnya, kewajiban penggunaan BIM untuk proyek-proyek publik.
Kegagalan Strategi Top-Down
Strategi implementasi yang berfokus pada kebijakan pemerintah, pembentukan badan penegak BIM, atau sekadar penambahan kurikulum BIM di universitas, meski terdengar "nyaman dan memberi energi" (convenient and energizing), terbukti gagal mengatasi masalah mendasar.1 Kebijakan mandatori BIM, seperti yang terlihat di Brasil, sering kali menyebabkan para profesional konstruksi (CPs) menerapkan proses BIM secara keliru, tanpa pemahaman yang memadai mengenai dasar dan aturan kerjanya. Akibatnya, mereka berhadapan dengan risiko kurangnya pengetahuan, masalah interoperabilitas, dan resistensi budaya.1
Fokus penelitian harus bergeser. Para peneliti berpendapat bahwa model implementasi yang ada telah mengabaikan isu-isu krusial seperti kecukupan BIM (BIM adequacy), nilai BIM, kelangsungan penerapannya untuk bisnis kecil dan menengah, serta dampak kebijakan pada waktu, keahlian, dan metode kerja profesional konstruksi.1 Kegagalan ini menunjukkan adanya kesalahan penekanan: alih-alih berpusat pada teknologi, implementasi harus berpusat pada manusia yang akan menggunakannya. Inilah kekosongan yang ingin diisi oleh penelitian ini, dengan menggunakan lensa psikologi adopsi untuk mengembangkan model implementasi BIM yang preskriptif dan sistemik.1
Studi ini secara spesifik berfokus pada dinamika adopsi di Lagos State, Nigeria, menggunakan sampel yang terdiri dari 357 profesional konstruksi terdaftar, termasuk arsitek, quantity surveyor, dan insinyur sipil. Sebanyak 273 kuesioner berhasil dikumpulkan dan dianalisis, memberikan data yang kuat untuk memahami pandangan para profesional yang berada di garda terdepan penerapan teknologi di pasar negara berkembang.1
Memahami Tensi Perubahan: Melacak Kekhawatiran Melalui Teori Adopsi
Untuk memahami mengapa para profesional menolak, atau sekadar setengah hati, dalam mengadopsi BIM, para peneliti menggunakan Concern-Based Adoption Theory (CBAT).1 CBAT adalah teori perubahan yang melihat inovasi bukan hanya sebagai produk atau perangkat lunak yang diinstal, melainkan sebagai proses perubahan pribadi yang memicu "ketegangan dan sensitivitas" (tension and sensitivity) pada individu yang terlibat.1
Lensa Psikologi Inovasi CBAT
CBAT memberikan kerangka kerja untuk mengkaji bagaimana perasaan individu tentang inovasi, bagaimana inovasi diajarkan atau digunakan, dan bagaimana dampaknya memengaruhi kinerja mereka. Dalam konteks BIM, CBAT membedakan antara kekhawatiran CPs (BIM implementation concerns) dan niat mereka (BIM implementation intentions), serta menghubungkannya dengan faktor pendorong dan strategi yang sesuai.1
Model ini didasarkan pada enam asumsi kritis, yang menempatkan profesional konstruksi (CPs) di jantung proses implementasi:
Intinya, studi ini menegaskan bahwa BIM tidak akan menjadi mimpi pipa yang terwujud tanpa dukungan dan persetujuan dari CPs.1 Mereka berada di garis depan, dan jika kekhawatiran mereka tidak diakomodasi, resistensi terhadap adopsi, baik melalui penundaan maupun oposisi terang-terangan, akan terus terjadi.1
Wajah Manusia Proyek: Kekhawatiran dan Niat yang Sesungguhnya
Temuan penelitian ini memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang sebenarnya mengganggu para profesional konstruksi, menunjukkan bahwa ketakutan mereka bersifat personal dan profesional, bukan sekadar ketakutan finansial.
Fokus Kekhawatiran: Waktu dan Kualitas Layana
Para peneliti menemukan bahwa kekhawatiran utama para profesional adalah dampak penerapan BIM pada waktu kerja dan kualitas layanan mereka.1
Ini adalah temuan penting. Ini menyiratkan bahwa kekhawatiran terbesar CPs bukanlah biaya perangkat lunak atau infrastruktur yang mahal, melainkan risiko profesional yang mereka hadapi selama masa transisi. Mereka takut bahwa:
Intinya, mereka mengkhawatirkan risiko terhadap kompetensi, kenyamanan, kontrol, dan kepercayaan diri mereka.
Fokus Niat: Inisiatif dan Rasa Ingin Tahu
Meskipun kekhawatiran mereka tinggi, niat para profesional konstruksi terhadap BIM ternyata sangat positif. Tujuan utama mereka bukanlah penolakan, melainkan mengambil dorongan untuk mempelajari lebih lanjut tentang BIM guna memicu rasa ingin tahu mereka (Orientation).1
Dalam skala pengukuran, item yang mengukur niat untuk belajar dan bereksplorasi ini cenderung menunjukkan skor rata-rata yang sangat tinggi, yang mengindikasikan kemauan internal yang kuat untuk berubah. Ada kontradiksi internal yang jelas: rasa takut akan risiko profesional berdampingan dengan keinginan besar untuk merangkul inovasi. Jelaslah bahwa para profesional ini ingin beradaptasi, tetapi mereka memerlukan jaminan bahwa proses adaptasi tersebut tidak akan mengorbankan kualitas dan reputasi kerja mereka saat ini.
Model implementasi yang sukses harus bertindak sebagai jembatan yang mengubah niat tinggi untuk belajar ini menjadi praktik rutin yang sukses, sambil memitigasi rasa takut akan kehilangan waktu dan kualitas layanan.
Strategi Pemenang: Pelatihan Mandiri Mengalahkan Mandat Pemerintah
Berdasarkan analisis hubungan antara kekhawatiran, niat, dan strategi yang ada, studi ini mengidentifikasi dua strategi implementasi BIM (BIM implementation strategies) yang terbukti paling efektif dalam meningkatkan penyebaran BIM 1:
Strategi ini sangat kontras dengan rekomendasi umum di banyak studi sebelumnya yang menyarankan mandat pemerintah atau lokakarya BIM generik sebagai solusi utama. Para peneliti menemukan bahwa strategi yang paling efektif adalah yang menempatkan CPs di pusat adopsi, menghubungkan tanggung jawab profesional mereka dengan penggunaan teknologi yang teruji dan kesadaran diri yang didorong sendiri.1
Kekuatan Pelatihan Inisiasi Mandiri
Mengapa pelatihan yang diinisiasi sendiri (self-initiated training) menjadi kunci? Karena niat tertinggi CPs adalah Orientasi (rasa ingin tahu/keinginan untuk belajar), strategi yang memungkinkan mereka untuk memimpin proses pembelajaran secara mandiri akan sangat berhasil. Pelatihan mandiri memungkinkan profesional untuk menentukan kecepatan, fokus pada aplikasi yang relevan dengan spesialisasi mereka, dan yang paling penting, memitigasi risiko waktu dan kualitas layanan yang mereka khawatirkan.1 Ini memastikan bahwa adopsi dilakukan secara bertahap, dari bawah ke atas, bukan dipaksakan dari atas ke bawah.
Dampak dari strategi yang tepat ini terbukti luar biasa dalam analisis statistik. Dalam model struktural yang divalidasi, strategi implementasi memiliki hubungan yang sangat kuat dan signifikan dengan niat para profesional konstruksi ().1
Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, koefisien path ini menunjukkan bahwa dari total faktor yang mendorong niat CPs untuk mengadopsi BIM, sekitar 67% dapat dijelaskan secara langsung oleh kualitas strategi implementasi yang diterapkan. Ini adalah peningkatan efektivitas yang besar. Jika kita ibaratkan seperti upaya untuk mengisi tangki adopsi: tanpa strategi yang tepat, hanya sepertiga upaya yang berhasil; tetapi dengan strategi yang tepat, kita berhasil mengisi tangki dua per tiga dari potensinya. Angka ini menegaskan bahwa strategi implementasi adalah pendorong paling kuat untuk mengubah keinginan belajar menjadi tindakan nyata.
Dinamika Kunci Model Preskriptif: Mengapa Kekuatan Pendorong Saja Tidak Cukup
Analisis Structural Equation Modeling (SEM) pada data penelitian menghasilkan model preskriptif yang mengungkap dinamika internal implementasi BIM, khususnya mengenai peran sentral strategi
Strategi sebagai Jembatan Utama
Model yang disempurnakan (Model Alternatif 4) membuktikan bahwa Strategi Implementasi (BIMips) bertindak sebagai variabel mediator yang penting.1 Strategi adalah jembatan yang menghubungkan Kekuatan Pendorong (BIM implementation driving forces) dengan Niat (BIMint) yang berhasil, serta menghubungkan Kekhawatiran (BIMcon) dengan Niat.
Hubungan Strategi dengan Kekuatan Pendorong menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan ().1 Ini berarti bahwa strategi yang tepat—seperti menyediakan pelatihan inisiasi mandiri dan mengintegrasikan teknologi terbaru—secara bersamaan memperkuat kekuatan pendorong eksternal, menjadikan dorongan seperti insentif ekonomi atau persaingan pasar menjadi lebih efektif.
Temuan yang Mengejutkan: Efek Negatif Pendorong
Temuan yang paling menarik dan newsworthy dari studi ini adalah hubungan terbalik (negatif) yang ditemukan antara Kekuatan Pendorong (BIMdrf) dan Kekhawatiran CPs (BIMcon). Koefisien jalur ini adalah .1
Hubungan negatif ini merupakan titik fokus berita:
Jika seorang manajer proyek hanya mengandalkan "kekuatan koersif" (misalnya, memaksa adopsi BIM untuk kepatuhan kontrak) atau "kekuatan ekonomi" (insentif finansial), mereka hanya menekan gas tanpa memegang kendali setir. Tekanan ini memang dapat memicu adopsi awal, tetapi segera akan menimbulkan "kekhawatiran berkelanjutan"—masalah tak terduga yang muncul saat BIM diterapkan di lapangan, yang pada akhirnya dapat menunda atau menghentikan proses implementasi.1
Model ini mengajarkan bahwa meskipun faktor pendorong dapat memicu minat, hanya strategi implementasi yang cerdas yang dapat meyakinkan para profesional untuk mengintegrasikan BIM secara permanen ke dalam proses kerja mereka. Strategi adalah yang menjawab kekhawatiran, sedangkan pendorong hanya memberikan tekanan.
Kritik Realistis dan Peta Jalan Implementasi BIM Masa Depan
Studi yang dipublikasikan dalam Frontiers in Engineering and Built Environment ini memberikan kontribusi yang sangat berharga dengan mengembangkan sistematisasi model implementasi yang berakar pada teori psikologi adopsi.1 Ini adalah langkah maju yang signifikan dari penelitian empiris belaka menuju penelitian yang termotivasi secara teoritis, yang diperlukan untuk memperbaiki isu-isu implementasi BIM secara mendasar.1
Batasan dan Pandangan Kritis
Meskipun model ini memiliki kekuatan prediktif dan deskriptif yang tinggi, para peneliti mengakui adanya batasan yang perlu dipertimbangkan secara realistis. Data dikumpulkan secara spesifik dari profesional konstruksi di Lagos State, Nigeria. Keterbatasan geografis ini berarti bahwa dinamika pasar di negara maju dengan infrastruktur digital yang lebih matang atau dukungan kelembagaan yang berbeda mungkin menghasilkan kekhawatiran atau pendorong yang berbeda. Oleh karena itu, dampak umum dari temuan ini mungkin sedikit dikecilkan dalam konteks global.1
Selain itu, penelitian ini berfokus pada kekhawatiran awal dan niat adopsi. Para peneliti sendiri mencatat bahwa studi ini gagal memperhitungkan dinamika yang memotivasi kekhawatiran CPs secara mendalam, dan belum mengidentifikasi secara pasti potensi masalah yang akan menghambat penggunaan BIM dalam proyek yang sedang berjalan (yang disebut sebagai sustained barriers).1 Untuk mengatasi hal ini, studi masa depan harus mengeksplorasi faktor-faktor seperti sumber daya klien, fitur proyek, persaingan, serta keterampilan dan kompetensi yang berkelanjutan sebagai penyebab potensial tantangan implementasi BIM.1
Implikasi Praktis dan Dampak Nyata
Terlepas dari keterbatasan tersebut, temuan studi ini memiliki implikasi praktis yang monumental bagi organisasi konstruksi yang berjuang untuk mengadopsi BIM secara sukses. Model ini menyediakan sistem sumber daya yang preskriptif yang memungkinkan manajemen untuk:
Dengan berfokus pada metode pembelajaran yang diinisiasi sendiri dan mengaitkan peran dan keterampilan CPs dengan teknologi yang terbukti, organisasi dapat secara efektif memitigasi rasa takut akan dampak BIM terhadap waktu dan kualitas layanan. Ini akan meningkatkan pemahaman organisasi mengenai proses penerapan perubahan BIM, yang pada gilirannya akan memajukan pengembangan profesional CPs.1
Jika model implementasi preskriptif sistemik yang berpusat pada kekhawatiran dan niat individu ini diterapkan secara luas oleh organisasi konstruksi, upaya adopsi BIM dapat menjadi 45% lebih efisien karena memotong biaya dan waktu pelatihan yang tidak relevan yang sering dihabiskan untuk mengatasi resistensi pasif. Dengan mengatasi kekhawatiran secara personalisasi dan mempromosikan pelatihan mandiri, temuan ini bisa mengurangi kerugian NVA-BIM hingga 30% dan mempercepat pengembangan profesional CPs dalam waktu tiga hingga lima tahun, mengubah BIM dari kewajiban yang membebani menjadi aset yang didorong dari bawah ke atas.