Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi

Transformasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI): Jalan Menuju SDM Kompetitif dan Mobilitas Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025


Mengapa KKNI Penting untuk Indonesia di Era Global?

Di tengah arus globalisasi, mobilitas tenaga kerja, dan persaingan ekonomi yang semakin ketat, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memastikan kualitas dan relevansi sumber daya manusianya. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) hadir sebagai solusi strategis untuk menjawab kebutuhan tersebut. Artikel ini mengulas secara mendalam hasil studi “Support to the Development of the Indonesian Qualification Framework” yang diterbitkan oleh ACDP, menyoroti data, studi kasus, serta relevansinya dengan tren global dan kebutuhan industri.

KKNI: Fondasi Standar Kompetensi Nasional

Apa Itu KKNI?

KKNI adalah sistem level kualifikasi nasional yang mengintegrasikan hasil pendidikan formal, non-formal, informal, dan pengalaman kerja ke dalam sembilan jenjang kualifikasi. Setiap level mendeskripsikan capaian pembelajaran (learning outcomes) yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja, serta tingkat otonomi dan tanggung jawab.

Tujuan Utama KKNI

  • Meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar global
  • Menyamakan persepsi dan pengakuan kualifikasi antar sektor pendidikan dan industri
  • Mendukung mobilitas tenaga kerja lintas sektor dan negara
  • Mendorong lifelong learning dan pengakuan pembelajaran sebelumnya (Recognition of Prior Learning/RPL)

Studi Kasus: Implementasi KKNI di Tiga Sektor Prioritas

Studi ACDP memilih tiga sektor pilot—keperawatan, akuntansi, dan pariwisata—karena ketiganya menjadi prioritas nasional, memiliki dampak luas, dan relevan dengan integrasi ekonomi ASEAN.

1. Sektor Keperawatan: Menjawab Tantangan Kesenjangan Kompetensi

Fakta & Angka

  • Jumlah institusi D3 Keperawatan: 489 di seluruh Indonesia
  • Lulusan D3 per tahun: ±20.000 orang
  • Tantangan: Sekitar 41.000 perawat PNS belum memenuhi syarat D3, dan jumlah ini bisa melonjak hingga 100.000 jika mencakup sektor swasta.

Studi Kasus: RPL untuk Perawat

Pemerintah mewajibkan minimal D3 untuk praktik keperawatan (UU No. 38/2014). Untuk mengatasi backlog, RPL diimplementasikan agar pengalaman kerja perawat diakui sebagai kredit akademik. Proses ini melibatkan asesmen portofolio, uji kompetensi, dan pelatihan tambahan jika diperlukan.

Hasil Uji Kompetensi Nasional (Juni 2015):

  • Persentase kelulusan bervariasi, misal: Wilayah III (DKI Jakarta) 70,15%, Wilayah IX (Sumbar, Riau, Jambi) hanya 27,32%.
  • Disparitas kualitas pendidikan menjadi isu utama, mendorong penguatan sistem QA (Quality Assurance) berbasis outcome.

Analisis

RPL terbukti efektif mempercepat upgrading kualifikasi tanpa harus mengulang pendidikan dari awal. Namun, tantangan utama adalah kapasitas asesmen, standarisasi proses, dan pengawasan mutu.

2. Sektor Akuntansi: Harmonisasi Kualifikasi dan Kebutuhan Industri

Fakta & Angka

  • Jumlah program S1 Akuntansi: 578
  • Jumlah program D3 Akuntansi: 474
  • Permasalahan: Banyaknya jenjang (D1, D2, D3, D4, S1) dan job title yang tidak relevan dengan kebutuhan industri.

Studi Kasus: Sinkronisasi Kompetensi

Diskusi dengan pelaku industri (misal: Ernst & Young) menunjukkan bahwa di lapangan, hanya lulusan D3 dan S1 yang diakui untuk entry level. Kompetensi utama yang dibutuhkan:

  • Kemampuan teknis (akuntansi, auditing)
  • Soft skills: komunikasi, numerasi, teamwork

Temuan:

  • Banyak lulusan D3 dan S1 ditempatkan pada posisi yang sama.
  • Standar kompetensi nasional (SKKNI) perlu disesuaikan dengan kebutuhan nyata industri.

Analisis

KKNI mendorong penyusunan learning outcomes yang lebih relevan dan terukur. Namun, perlu sinergi lebih erat antara penyelenggara pendidikan dan dunia usaha agar lulusan benar-benar siap kerja.

3. Sektor Pariwisata: Menyambut Integrasi ASEAN

Fakta & Angka

  • Jumlah program studi pariwisata: 194 (per Juni 2015)
  • ASEAN MRA (Mutual Recognition Arrangement): 32 job title diakui lintas negara ASEAN

Studi Kasus: Mapping Kompetensi dan Learning Outcomes

FGD menghasilkan penyederhanaan 41 jenis program menjadi 15, serta pemetaan learning outcomes dengan standar ASEAN. Contoh: D3 Tour and Travel Operations dan D4 Tour and Travel Business mampu mencakup 75–62 unit kompetensi dari 155 yang disyaratkan ASEAN.

Analisis

KKNI memperkuat daya saing tenaga kerja pariwisata Indonesia di pasar regional. Namun, tantangan utama adalah harmonisasi nomenklatur, kurikulum, dan penguatan sistem QA.

Angka-Angka Kunci Implementasi KKNI

  • Jumlah provider pelatihan keterampilan (2014):
    • Di bawah Kemenaker: 7.580
    • Di bawah Kemendikbud: 12.591
  • Jumlah paket SKKNI yang dikembangkan (2014): 406 (target 10 juta pekerja bersertifikat pada 2019)
  • Jumlah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) berlisensi BNSP (2014): 137

RPL: Pengakuan Pembelajaran Sebelumnya sebagai Kunci Mobilitas

Apa Itu RPL?

Recognition of Prior Learning (RPL) adalah mekanisme pengakuan kompetensi yang diperoleh melalui pengalaman kerja, pelatihan non-formal, atau informal, sehingga dapat dikonversi menjadi kredit akademik atau sertifikasi profesi.

Studi Kasus RPL di Indonesia

  • Pilot RPL di Politeknik Negeri (2013): Melibatkan program D3 dan D4 di bidang teknik, perhotelan, dan perikanan.
  • Hasil: Implementasi awal belum optimal, butuh perbaikan desain dan mekanisme asesmen.

Tantangan Implementasi RPL

  • Skala besar: Misal, upgrading 46.000 perawat non-D3
  • Kapasitas SDM: Keterbatasan asesor dan infrastruktur asesmen
  • Kualitas dan kepercayaan: Perlu QA yang kuat agar hasil RPL diakui industri dan masyarakat

Benchmarking Internasional: Belajar dari Negara Lain

Irlandia

  • National Framework of Qualifications (NFQ): 10 level, terintegrasi dengan sistem QA dan RPL
  • Kunci sukses: Keterlibatan employer, sistem apprenticeship, dan funding inovatif

Hong Kong

  • Hong Kong Qualifications Framework (HKQF): 7 level, fokus pada lifelong learning dan pengakuan kompetensi industri
  • RPL: Diterapkan pada 9 sektor industri, dengan subsidi pemerintah untuk asesmen

Pelajaran untuk Indonesia

  • Kunci keberhasilan: Sinergi antar kementerian, pelibatan industri, QA yang independen, dan sistem informasi kualifikasi yang transparan
  • Tantangan: Fragmentasi regulasi, tumpang tindih lembaga, dan resistensi perubahan

Analisis Kritis: Kelebihan, Tantangan, dan Rekomendasi

Kelebihan KKNI

  • Fleksibilitas jalur pendidikan dan karier: Multi-entry, multi-exit
  • Mendorong lifelong learning dan mobilitas tenaga kerja
  • Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pendidikan

Tantangan Implementasi

  • Koordinasi lintas kementerian dan lembaga masih lemah
  • Keterbatasan data dan sistem informasi kualifikasi
  • Kapasitas QA dan asesor RPL masih terbatas
  • Resistensi budaya di institusi pendidikan dan industri

Rekomendasi Strategis

  1. Penguatan IQB (Indonesian Qualification Board): Sebagai otoritas tunggal pengelola KKNI, IQB harus independen, lintas sektor, dan didukung sekretariat profesional.
  2. Integrasi Sistem Informasi Kualifikasi: Database nasional yang mudah diakses publik dan industri.
  3. Penguatan QA dan Asesor: Pelatihan, sertifikasi, dan insentif bagi asesor serta audit eksternal berkala.
  4. Sosialisasi dan Edukasi Publik: Kampanye masif tentang manfaat KKNI dan RPL, baik ke institusi pendidikan, industri, maupun masyarakat.
  5. Kolaborasi Internasional: Benchmarking, mutual recognition, dan transfer best practice dari negara maju.

Hubungan dengan Tren Industri dan Masa Depan

  • Industri 4.0 dan digitalisasi: KKNI harus adaptif terhadap kebutuhan kompetensi baru seperti data science, AI, dan green jobs.
  • Mobilitas ASEAN: KKNI menjadi kunci agar tenaga kerja Indonesia tidak hanya kompetitif di dalam negeri, tapi juga di pasar regional.
  • Lifelong learning: Dengan perubahan cepat di dunia kerja, RPL dan pembelajaran fleksibel akan semakin vital.

Kesimpulan: KKNI sebagai Pilar SDM Unggul dan Daya Saing Nasional

Transformasi KKNI bukan sekadar reformasi administratif, melainkan fondasi strategis untuk membangun SDM Indonesia yang kompeten, adaptif, dan diakui secara global. Studi kasus di keperawatan, akuntansi, dan pariwisata membuktikan bahwa KKNI mampu menjembatani kesenjangan antara pendidikan dan kebutuhan industri, sekaligus membuka peluang mobilitas dan pengakuan lintas negara. Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada sinergi lintas sektor, penguatan QA, dan komitmen semua pemangku kepentingan.

Sumber asli:
Support to the Development of the Indonesian Qualification Framework. The Education Sector Analytical And Capacity Development Partnership (ACDP), 2016.

Selengkapnya
Transformasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI): Jalan Menuju SDM Kompetitif dan Mobilitas Global

Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi

Pengaruh Pengalaman Kerja dan Kompetensi terhadap Kinerja Karyawan: Studi Kasus PT. Usaha Bersama Bangun Persada

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025


Mengapa Kompetensi dan Pengalaman Kerja Menjadi Kunci Daya Saing Perusahaan?

Di era persaingan bisnis yang semakin ketat, perusahaan dituntut untuk terus meningkatkan kinerja karyawan agar mampu bertahan dan berkembang. Dua faktor yang sering disebut sebagai penentu utama kinerja adalah pengalaman kerja dan kompetensi. Namun, seberapa besar pengaruh kedua faktor ini terhadap kinerja karyawan secara nyata? Artikel ini merangkum temuan riset Dominik Tulasi dan Varisa Avila Theresia (2021) yang mengupas hubungan antara pengalaman kerja, kompetensi, dan kinerja di PT. Usaha Bersama Bangun Persada, serta membandingkannya dengan tren di industri nasional.

Latar Belakang: Sumber Daya Manusia sebagai Aset Utama

SDM merupakan motor penggerak utama dalam perusahaan. Tanpa SDM yang berkualitas, seluruh sumber daya lain tidak akan berkembang optimal. Oleh sebab itu, perusahaan perlu memahami faktor-faktor yang dapat meningkatkan kinerja karyawan. Menurut Mangkunegara (2016), kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai karyawan dalam menjalankan tugas sesuai tanggung jawab. Sementara Edison (2016) menekankan bahwa kinerja adalah hasil proses yang diukur dalam periode tertentu berdasarkan standar yang telah ditetapkan.

Dalam konteks PT. Usaha Bersama Bangun Persada, perusahaan ini bergerak sebagai distributor alat teknik dan hidrolik di Jakarta, dengan 40 karyawan yang terbagi dalam bidang manajemen, keuangan, dan distribusi. Penilaian kinerja dilakukan dengan memberikan kepercayaan dan tanggung jawab sesuai job description masing-masing karyawan.

Definisi dan Dimensi: Pengalaman Kerja dan Kompetensi

Pengalaman kerja adalah pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperoleh karyawan dari pekerjaan sebelumnya. Semakin lama pengalaman kerja, semakin tinggi pula tingkat keahlian dan pemahaman tugas. Pengalaman juga membentuk kemampuan analisis, efisiensi waktu, serta keberanian menghadapi risiko.

Kompetensi adalah karakter dasar yang menunjukkan cara seseorang berpikir, bersikap, dan bertindak dalam berbagai situasi. Kompetensi mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang mendasari perilaku kerja. Menurut Wibowo (2016), kompetensi merupakan kemampuan melaksanakan tugas berdasarkan skill dan pengetahuan yang didukung oleh sikap kerja profesional.

Metodologi Penelitian: Survei Kuantitatif dan Uji Statistik

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan kuesioner, melibatkan seluruh karyawan PT. Usaha Bersama Bangun Persada (total 40 orang). Instrumen diuji validitas dan reliabilitasnya menggunakan Alpha Cronbach. Analisis data dilakukan dengan regresi linier berganda, uji F (simultan), dan uji t (parsial). Pengolahan data menggunakan SPSS 24.

Hasil Penelitian: Angka-Angka Kunci dan Temuan Utama

1. Pengaruh Pengalaman Kerja terhadap Kinerja Karyawan

  • Nilai thitung = 3,541 > ttabel = 2,026
  • Nilai probabilitas = 0,001 < 0,05

Hasil ini menunjukkan bahwa pengalaman kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Semakin lama dan beragam pengalaman kerja, semakin baik kinerja yang ditunjukkan karyawan123.

2. Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Karyawan

  • Nilai thitung = 2,904 > ttabel = 2,026
  • Nilai probabilitas = 0,006 < 0,05

Kompetensi juga terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Karyawan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang baik cenderung lebih produktif dan mampu menyelesaikan tugas dengan standar tinggi123.

3. Pengaruh Simultan Pengalaman Kerja dan Kompetensi

  • Nilai Fhitung = 16,515 > Ftabel = 3,24
  • Nilai signifikansi = 0,000 < 0,05

Secara bersama-sama, pengalaman kerja dan kompetensi memberikan pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Artinya, kedua faktor ini saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain dalam mendorong produktivitas123.

4. Kontribusi Pengaruh (Koefisien Determinasi R²)

  • Nilai R² = 0,472

Artinya, 47% variasi kinerja karyawan dapat dijelaskan oleh pengalaman kerja dan kompetensi. Sisanya (53%) dipengaruhi faktor lain seperti motivasi, lingkungan kerja, kepemimpinan, dan kompensasi yang tidak diteliti dalam studi ini123.

Studi Kasus: Praktik di PT. Usaha Bersama Bangun Persada

Mayoritas karyawan di perusahaan ini memiliki masa kerja 3-5 tahun. Pengalaman kerja yang cukup membantu mereka memahami tugas lebih cepat dan efisien. Karyawan yang berpengalaman juga mampu membimbing rekan baru dan menggunakan peralatan kerja dengan lebih baik, sehingga keterlambatan produksi dapat diminimalisir.

Dari sisi kompetensi, karyawan dengan latar belakang pendidikan dan pelatihan yang baik menunjukkan sikap kerja positif, mampu menganalisis masalah, dan menawarkan solusi inovatif. Hal ini mempercepat penyelesaian masalah di lapangan dan meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan.

Diskusi: Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Studi Lain

Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan di perusahaan lain, seperti PT. Perkebunan Nusantara II Tanjung Garbus Pagar Merbau dan PT. Waletindo Setia Persada, yang juga menunjukkan bahwa pengalaman kerja dan kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Studi di PT. Perkebunan Nusantara II menemukan nilai Fhitung 8,185 > Ftabel 2,31, dengan kontribusi pengaruh sekitar 49%456. Sementara di PT. Waletindo Setia Persada, pengaruh kompetensi dan pelatihan terhadap kinerja mencapai 45,2%5.

Namun, kontribusi kedua faktor ini tidak mencapai 100%. Artinya, perusahaan juga perlu memperhatikan faktor lain seperti motivasi, lingkungan kerja, sistem penghargaan, dan kepemimpinan untuk mengoptimalkan kinerja karyawan.

Implikasi Praktis: Rekomendasi untuk Industri

  1. Investasi pada Pengembangan Kompetensi
    • Perusahaan perlu rutin mengadakan pelatihan dan pengembangan keterampilan untuk meningkatkan kompetensi karyawan, baik teknis maupun soft skills.
  2. Manajemen Karir dan Retensi Karyawan
    • Mempertahankan karyawan berpengalaman sangat penting. Program mentoring dan coaching dapat membantu transfer pengetahuan antar generasi.
  3. Rekrutmen Berbasis Kompetensi
    • Seleksi karyawan baru sebaiknya mempertimbangkan pengalaman kerja relevan dan kompetensi yang terukur, bukan sekadar ijazah formal.
  4. Evaluasi Kinerja yang Objektif
    • Penilaian kinerja harus berbasis indikator yang jelas: kualitas, kuantitas, tanggung jawab, pemahaman tugas, dan disiplin.
  5. Lingkungan Kerja yang Mendukung
    • Faktor-faktor seperti komunikasi, penghargaan, dan suasana kerja yang positif juga harus diperkuat untuk mendukung kinerja optimal.

Tantangan dan Peluang

Meskipun pengalaman kerja dan kompetensi terbukti penting, perusahaan perlu waspada terhadap risiko stagnasi jika hanya mengandalkan pengalaman tanpa inovasi. Kompetensi pun harus terus diperbarui agar relevan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar. Selain itu, perusahaan perlu menciptakan budaya belajar yang mendorong karyawan untuk terus meningkatkan diri.

Kesimpulan: Kinerja Optimal Butuh Sinergi Pengalaman dan Kompetensi

Penelitian di PT. Usaha Bersama Bangun Persada menegaskan bahwa pengalaman kerja dan kompetensi adalah dua pilar utama yang menentukan kinerja karyawan. Keduanya saling melengkapi: pengalaman memperkuat pemahaman tugas dan efisiensi, sementara kompetensi memastikan kualitas dan inovasi dalam bekerja. Namun, untuk mencapai kinerja puncak, perusahaan juga harus memperhatikan faktor lain di luar dua variabel ini. Investasi pada pengembangan SDM secara holistik adalah kunci daya saing jangka panjang.

Sumber artikel:
Dominik Tulasi, Varisa Avila Theresia. (2021). The Influence of Work Experience and Competence on Employee’s Performance (A case study: Usaha Bersama Bangun Persada Ltd.). Jurnal Kewirausahaan, Akuntansi, Manajemen TRI BISNIS, Vol 3, No 1, 2021, hlm. 98–121.

Selengkapnya
Pengaruh Pengalaman Kerja dan Kompetensi terhadap Kinerja Karyawan: Studi Kasus PT. Usaha Bersama Bangun Persada

Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi

Proses Perekrutan Pekerja

Dipublikasikan oleh Anisa pada 29 April 2025


Rekrutmen internal atau mobilitas internal adalah suatu proses di mana kandidat dipilih dari tenaga kerja yang sudah ada untuk mengambil pekerjaan baru di organisasi yang sama, mungkin sebagai promosi, pengembangan karir, atau untuk memenuhi kebutuhan organisasi yang spesifik. Keuntungannya melibatkan keakraban organisasi dengan karyawan dan kompetensi yang terungkap dalam pekerjaan saat ini, serta kepercayaan terhadap karyawan tersebut. Metodenya dapat lebih cepat dan lebih hemat biaya dibandingkan merekrut eksternal.

Banyak perusahaan lebih memilih merekrut atau mempromosikan karyawan secara internal daripada mencari calon di pasar tenaga kerja umum. Setelah melakukan pencarian yang menggabungkan proses internal dan eksternal, perusahaan seringkali memilih merekrut kandidat internal karena biaya yang lebih rendah dan pengetahuan sebelumnya tentang efektivitas mereka. Rekrutmen internal juga dapat mendorong pengembangan keterampilan dan pengetahuan karena karyawan cenderung mengharapkan karier yang lebih panjang di perusahaan. Namun, promosi karyawan juga bisa meninggalkan kekosongan yang perlu diisi.

Di sisi lain, mencari kandidat eksternal adalah pilihan lain dalam rekrutmen. Ini membawa ide dan pandangan segar ke perusahaan, membuka lebih banyak kemungkinan untuk kelompok pelamar, dan tergantung pada kondisi ekonomi dan pasar kerja. Untuk mempublikasikan lowongan pekerjaan kepada calon kandidat, perusahaan sering mengiklankannya melalui berbagai media, termasuk surat kabar lokal, jurnal, dan online.

Program referensi karyawan adalah sistem di mana karyawan yang sudah ada merekomendasikan calon potensial, dan jika kandidat tersebut dipekerjakan, karyawan yang merekomendasikan menerima bonus tunai.

Perusahaan niche fokus pada membangun hubungan berkelanjutan dengan kandidat, karena kandidat yang sama dapat ditempatkan berkali-kali sepanjang karier mereka. Rekrutmen sosial menggunakan media sosial untuk menarik pelamar, dan rekrutmen seluler adalah strategi yang menggunakan teknologi seluler untuk menarik, melibatkan, dan mengonversi calon kandidat.

Beberapa perekrut menerima pembayaran dari pencari kerja, yang membantu mereka menemukan pekerjaan, tetapi ini ilegal di beberapa negara. Beberapa perekrut menyebut diri mereka sebagai "pemasar pribadi" daripada perekrut. Penggunaan alat analisis keputusan multi-kriteria seperti proses hirarki analitik memberikan keuntungan tambahan dengan membantu perekrut membuat keputusan saat ada beberapa kriteria yang beragam atau ketika pelamar kurang memiliki pengalaman sebelumnya, misalnya, perekrutan lulusan baru.

Pemberi kerja dapat kembali merekrut kandidat yang sebelumnya ditolak atau merekrut dari kalangan mantan karyawan untuk meningkatkan peluang mendapatkan kandidat berkualitas.

Disadur dari https://en.wikipedia.org/wiki/Recruitment

Selengkapnya
Proses Perekrutan Pekerja

Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi

Memotivasi Karyawan dengan Manajemen Penghargaan

Dipublikasikan oleh Anisa pada 29 April 2025


Manajemen penghargaan adalah upaya merumuskan dan menerapkan strategi serta kebijakan untuk memberikan penghargaan kepada individu secara adil, setara, dan konsisten sesuai dengan kontribusi mereka bagi organisasi.

Dalam dunia manajemen penghargaan, analisis dan pengendalian remunerasi, kompensasi, dan segala bentuk tunjangan karyawan menjadi fokus utama. Manajemen penghargaan bertujuan untuk menciptakan dan mengoperasikan struktur penghargaan yang efisien untuk suatu organisasi. Struktur penghargaan ini biasanya mencakup kebijakan dan praktik pembayaran, administrasi gaji, total penghargaan, upah minimum, gaji eksekutif, dan penghargaan tim.

Manajemen penghargaan berurusan dengan proses, kebijakan, dan strategi yang diperlukan untuk memastikan bahwa kontribusi karyawan terhadap bisnis diakui dengan berbagai cara. Tujuan dari manajemen penghargaan adalah memberikan penghargaan kepada karyawan secara adil, setara, dan konsisten sejalan dengan nilai individu-individu tersebut bagi organisasi. Sistem penghargaan hadir untuk memotivasi karyawan agar bekerja menuju pencapaian tujuan strategis yang ditetapkan oleh perusahaan dan untuk menyelaraskan tindakan karyawan dengan budaya, tujuan, dan keyakinan yang ingin dipegang oleh bisnis atau organisasi tersebut. Penting untuk dicatat bahwa manajemen penghargaan tidak hanya berfokus pada gaji dan tunjangan karyawan, melainkan juga pada penghargaan non-finansial seperti pengakuan, pelatihan, pengembangan, dan peningkatan tanggung jawab pekerjaan. Pada intinya, Manajemen Penghargaan adalah alat yang menggunakan berbagai jenis Motivasi Karyawan untuk menyelaraskan tujuan strategis dan budaya seorang karyawan atau kelompok karyawan dengan target taktis yang ditetapkan oleh suatu bisnis atau organisasi.

Dalam konteks ini, Kerr (1995) menyoroti bagaimana Manajemen Penghargaan sebenarnya merupakan konsep yang mudah dipahami secara teoritis, tetapi aplikasinya dalam praktik sering menghasilkan hasil yang berbeda. Sebagai contoh, perusahaan sering kali menciptakan Sistem Penghargaan dengan harapan memberikan penghargaan kepada perilaku tertentu, tetapi akhirnya malah memberikan penghargaan kepada perilaku lain. Dalam hal ini, penting untuk memperhatikan kesalahan umum dalam manajemen, seperti memberikan kenaikan prestasi tahunan kepada semua karyawan tanpa membedakan prestasi luar biasa, di atas rata-rata, atau kurang baik. Güngör (2011) juga mengeksplorasi Sistem Manajemen Penghargaan dan aplikasinya dalam organisasi. Sistem ini mencakup proses, praktik, dan kebijakan organisasi yang berkaitan dengan kontribusi atau kemampuan karyawan. Penerapan sistem ini menghasilkan berbagai jenis penghargaan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Studi tentang kinerja karyawan menunjukkan hubungan positif dan signifikan antara Sistem Manajemen Penghargaan dan kinerja karyawan. Dengan demikian, manajemen penghargaan menjadi kunci untuk membentuk budaya kerja yang memotivasi dan memberdayakan karyawan.

Teori motivasi

Teori proses dan isi adalah dua kategori yang menjadi dasar teori motivasi. Motivasi karyawan dapat didefinisikan secara luas sebagai kapasitas untuk mengubah perilaku dan insentif untuk mengambil tindakan menuju suatu tujuan. Sementara teori proses berfokus pada cara berbagai atribut pribadi memengaruhi dan mengganggu perilaku manusia, teori konten bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi elemen yang mendorong individu untuk bekerja lebih baik dan efektif. Teori proses lebih mementingkan imbalan intrinsik seperti rasa hormat dan pengakuan yang akan membantu meningkatkan kepercayaan diri karyawan di tempat kerja dan meningkatkan kepuasan kerja dibandingkan teori konten dengan imbalan ekstrinsik seperti bonus yang berwujud dan akan membantu memperbaiki keadaan fisiologis karyawan.

Hierarki Kebutuhan Maslow adalah teori konten yang terkenal, sedangkan teori ekuitas adalah teori proses yang terkenal. Meskipun beberapa teori motivasi yang paling terkenal berasal dari bidang psikologi, teori motivasi memberikan landasan teoritis untuk manajemen penghargaan. Saya yakin, yang pertama dan paling terkenal berasal dari karya Abraham Maslow. Hierarki kebutuhan Maslow menggambarkan sebuah piramida dengan beberapa tingkatan, dimulai dengan kebutuhan fisiologis paling dasar (makanan, air, tempat tinggal, dan seks) dan naik ke kebutuhan aktualisasi diri (moralitas dan kreativitas) di puncak. Dari bawah hingga atas, Maslow mengamati bahwa persyaratan ini dipenuhi satu per satu. Sumber daya yang diperoleh dari pekerjaan termasuk dalam kategori “kebutuhan rasa aman” (tingkat 2), dan pengakuan di tempat kerja dapat memuaskan keinginan akan “harga diri” (tingkat 4), serta perasaan “memiliki” (tingkat 3).

Pertama kali diterbitkan pada tahun 1959, teori motivator-higiene Frederick Herzberg menyatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja ditentukan oleh dua faktor yang berbeda dan keduanya harus diukur secara independen dan bukan sebagai ujung yang berlawanan dari kontinum yang sama. Faktor kebersihan dan faktor motivasi merupakan dua kelompok variabel. Dalam pandangan Herzberg, penghargaan hanya berfungsi untuk menjaga agar orang tidak merasa tidak puas; motivasi sejati datang dari kerja itu sendiri, dari menyelesaikan tugas.

Menurut teori ekspektasi, kita memilih tindakan kita tergantung pada seberapa diinginkan kita yakin akan hasil dari tindakan tersebut. Victor Vroom adalah orang yang paling menonjol menggunakannya dalam lingkungan profesional. Ia bertujuan untuk mengetahui hubungan perkalian antara kinerja, motivasi, dan kemampuan, yang dinyatakan sebagai berikut: kinerja = motivasi x kemampuan. Strategi semacam ini mempunyai beberapa manfaat, terutama bagi pengusaha yang mungkin memfokuskan upaya motivasi mereka dan mengharapkan keuntungan finansial yang dapat diukur. Karena didasarkan pada proses kognitif, teori ini bergantung pada bagaimana pekerja melihat imbalan. Praktik manajemen insentif masih dipengaruhi oleh ketiga gagasan tersebut dan variasinya, yang telah banyak diteliti.

Disadur dari:

https://en.wikipedia.org

Selengkapnya
Memotivasi Karyawan dengan Manajemen Penghargaan

Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi

Dinamika Manusia di Lingkungan Organisasi

Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Maret 2025


Perilaku organisasi, atau perilaku organisasional, mencakup pemahaman tentang bagaimana individu bertindak di dalam lingkungan kerja, bagaimana kelompok berinteraksi, dan bagaimana struktur organisasional mempengaruhi perilaku ini. Definisi ini mencakup spektrum yang luas, termasuk hubungan antarindividu, motivasi, kepemimpinan, komunikasi, dan keadilan organisasional.

Chester Barnard mengamati bahwa individu menunjukkan perilaku yang berbeda dalam peran organisasional mereka dibandingkan ketika bertindak secara independen. Peneliti perilaku organisasi fokus pada studi perilaku individu terutama dalam kerangka peran organisasional mereka. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menyegarkan teori organisasi dan meningkatkan pemahaman tentang kehidupan organisasi.

Pemahaman perilaku organisasi memiliki dampak yang signifikan pada efisiensi dan produktivitas organisasi. Mengetahui bagaimana individu dan kelompok berinteraksi membantu dalam membangun tim yang kuat, meningkatkan komunikasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang positif. Studi perilaku organisasi juga dapat membantu organisasi menghadapi perubahan dengan lebih efektif.

Bidang perilaku organisasi telah mengalami perkembangan tambahan. Antropologi telah menjadi semakin berpengaruh, mengenalkan gagasan bahwa kita dapat memahami perusahaan sebagai komunitas, dengan memperkenalkan konsep-konsep seperti budaya organisasi, ritual organisasi, dan tindakan simbolis. Studi kepemimpinan juga telah menjadi bagian integral dari perilaku organisasi, meskipun sebuah teori unifikasi masih sulit ditemukan. Peneliti perilaku organisasi telah menunjukkan minat yang meningkat terhadap etika dan signifikansinya dalam sebuah organisasi. Selain itu, beberapa peneliti perilaku organisasi tertarik pada aspek estetika organisasi.

Perilaku organisasi adalah bidang studi yang terus berkembang, memberikan wawasan penting tentang bagaimana individu dan kelompok berinteraksi dalam lingkungan kerja. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang perilaku organisasi, organisasi dapat menciptakan budaya yang positif, meningkatkan kinerja, dan menghadapi perubahan dengan keberhasilan. Sebagai disiplin yang mencakup aspek-aspek kompleks dari kehidupan organisasional, studi perilaku organisasi tetap menjadi pilar penting dalam pengelolaan dan pengembangan organisasi modern.

Sejarah

Tahun 1760-an merupakan awal dari Revolusi Industri, masa ketika teknologi baru mengarah pada penerapan proses produksi baru dan peningkatan otomatisasi. Max Weber mengungkapkan kekhawatirannya tentang menurunnya pengalaman kerja yang religius dan profesional dalam metafora “sangkar besi” yang terkenal. Penekanan Revolusi Industri pada efisiensi, menurut Weber, "melucuti individualitas pekerja" dan menjadikan pekerja semacam "penjara". Jenis organisasi baru muncul sebagai akibat dari perubahan sosial dan budaya yang mendalam pada Revolusi Industri. Birokrasi, menurut analisis Weber terhadap salah satu kelompok ini, adalah "sebuah organisasi yang bertumpu pada prinsip-prinsip hukum-rasional dan efisiensi teknis yang maksimal."

Teori manajemen dan organisasi dari beberapa praktisi perilaku organisasi dicatat. Mary Parker Follet, Chester Barnard, dan Henri Fayol berjasa mengembangkan ide-ide paling terkenal saat ini. Masing-masing dari ketiganya secara individual berfokus pada perilaku dan motivasi manusia, dan mereka semua menggunakan pengalaman mereka untuk membangun model administrasi organisasi yang sukses. Frederick Taylor, seorang insinyur dari abad ke-19, termasuk di antara konsultan manajemen pertama. Dia menggunakan metode yang disebut manajemen ilmiah. Taylor berpromosi menggunakan pendekatan ilmiah untuk memaksimalkan efisiensi kerja. Lillian dan Frank Gilbreth menggunakan studi waktu dan gerak untuk meningkatkan efisiensi tenaga kerja, yang selanjutnya meningkatkan proses ilmiah. Fordisme pertama kali muncul pada awal abad ke-20. Teknik yang diberi nama Henry Ford ini didasarkan pada penggunaan jalur perakitan untuk menstandardisasi manufaktur. Hal ini memungkinkan pekerja tidak terampil membuat barang rumit secara efektif. Belakangan, Sorenson menekankan bahwa Fordisme berevolusi terpisah dari Taylor. Penerapan gagasan manajemen birokrasi dan ilmiah pada keseluruhan proses produksi inilah yang disebut dengan fordisme. Penerimaan luas terhadap Fordisme dan metode ilmiah mungkin disebabkan oleh keberhasilan masing-masing.

Studi pertama yang kemudian dikenal sebagai Studi Hawthorne dilakukan pada tahun 1920-an oleh fasilitas Western Electric di Hawthorne Works. Meskipun awalnya mengikuti prosedur ilmiah konvensional, penelitian ini juga mengamati apakah pencahayaan yang lebih tinggi atau lebih rendah akan meningkatkan produktivitas pekerja. Temuan ini menunjukkan bahwa produktivitas pekerja meningkat ketika mereka sedang diselidiki, terlepas dari kondisi pencahayaan, namun hasil pekerja akan kembali normal ketika penyelidikan selesai. Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, Elton Mayo sampai pada kesimpulan bahwa ikatan sosial dan konten pekerjaan berkaitan erat dengan kinerja pekerjaan dan apa yang disebut Efek Hawthorne. Dalam Komunitas Perilaku Organisasi, motivasi menjadi terkenal dengan diterbitkannya Studi Hawthorne. Selama tahun 1950an dan 60an, berbagai teori dikembangkan, termasuk teori dari peneliti perilaku organisasi terkenal termasuk Douglas McGregor, Abraham Maslow, David McClelland, Victor Vroom, dan Frederick Herzberg. Ide-ide ini menekankan kebahagiaan kerja, prestasi kerja, dan motivasi karyawan.

Beberapa prinsip utama dalam perilaku organisasi, terutama pengambilan keputusan, ditetapkan oleh Herbert Simon dalam bukunya Perilaku Administratif. Simon dan Chester Barnard berpendapat bahwa penilaian yang dibuat oleh individu di dalam suatu organisasi berbeda dengan penilaian yang dibuat oleh mereka di luar organisasi. Simon menentang premis teori ekonomi tradisional, yang menyatakan bahwa individu membuat keputusan rasional. Dia menyatakan bahwa rasionalitas yang terbatas adalah alasan mengapa kognisi dibatasi. Sebagai contoh, pengambil keputusan sering menggunakan satisficing, yaitu praktik memilih jawaban pertama yang dapat diterima dibandingkan jawaban terbaik. Penelitian Simon tentang pengambilan keputusan organisasi membuatnya mendapatkan Hadiah Nobel Ekonomi. Disiplin ini mulai semakin bergantung pada sumber daya dan metode kuantitatif pada tahun 1960an dan 1970an. Ekologi organisasi, teori kelembagaan, dan teori kontingensi lahir dari sini. Bersamaan dengan disiplin ilmu seperti antropologi, psikologi, dan sosiologi, penjelasan budaya tentang organisasi dan transformasi organisasi muncul sebagai topik penelitian pada tahun 1980an.

Disadur dari:

https://en.wikipedia.org

Selengkapnya
Dinamika Manusia di Lingkungan Organisasi

Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi

Apa Itu Relasi Industri?

Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Maret 2025


Hubungan kerja, yang sering disebut sebagai relasi industri, merupakaan ranah akademis yang begitu beragam, menyelami kompleksitas hubungan antara pengusaha dan karyawan. Di dalamnya, terjadi jalinan yang rumit antara pihak-pihak tersebut, yakni pengusaha, karyawan, serikat pekerja atau buruh, organisasi pengusaha, dan unsur pemerintah.

Penggunaan istilah "Hubungan Kerja" semakin mendapat sorotan daripada "hubungan industri" karena yang terakhir sering dianggap memiliki arti yang lebih terbatas. Meski begitu, hubungan industri secara tradisional telah menghadapi berbagai jenis hubungan kerja, melebar dari yang biasanya dikaitkan dengan "industri" untuk mencakup beragam hubungan kerja di luar sektor industri. Hal ini mencerminkan tren sejenis dalam ranah manajemen sumber daya manusia.

Revolusi industri menciptakan hubungan kerja modern dengan menciptakan pasar tenaga kerja bebas dan organisasi industri berskala besar dengan ribuan pekerja upahan. Sementara masyarakat menghadapi perubahan ekonomi dan sosial yang signifikan ini, masalah tenaga kerja muncul. Upah yang rendah, jam kerja yang panjang, pekerjaan yang monoton dan berbahaya, serta praktik pengawasan yang sewenang-wenang mengakibatkan tingginya pergantian karyawan, pemogokan dengan kekerasan, dan risiko ketidakstabilan sosial. Secara intelektual, hubungan industrial berkembang pada akhir tahun 1800-an sebagai titik tengah antara ekonomi klasik dan Marxisme. Karya Sidney Webb dan Beatrice Webb, Industrial Democracy (1897) memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ini. Dengan demikian, hubungan industri menolak ekonomi klasik.

John R. Commons mendirikan hubungan industrial secara institusional pada tahun 1920 ketika ia mendirikan program akademik hubungan industrial pertama di University of Wisconsin.Robert F. Hoxie juga merupakan seorang sarjana yang memulai penelitian hubungan industrial dan hubungan perburuhan. John D. Rockefeller Jr., yang mendukung hubungan buruh-manajemen yang progresif setelah pemogokan yang mengerikan di tambang batu bara yang dimiliki oleh Rockefeller di Colorado, memberikan dukungan keuangan untuk penelitian ini. Antara 1929 dan 1930, Montague Burton, seorang industrialis progresif lain di Inggris, menerima kursi perhubungan industri di universitas Leeds, Cardiff, dan Cambridge.

Meskipun ada beberapa akademisi yang mungkin menggunakan istilah hubungan industri/kerja secara bergantian dengan hubungan karyawan dan hubungan buruh, namun hal ini menimbulkan kontroversi mengingat fokus yang lebih sempit dari hubungan karyawan/buruh. Perspektif ini lebih terfokus pada karyawan atau buruh dari sudut pandang pengusaha, manajer, dan pejabat. Sementara itu, hubungan karyawan sering kali dianggap hanya berkaitan dengan pekerja non-berserikat, sedangkan hubungan buruh lebih berkaitan dengan buruh yang terorganisir, khususnya pekerja berserikat. Akan tetapi, perdebatan mengenai perbedaan ini masih terus berlanjut.

Manajemen sumber daya manusia seringkali dianggap sebagai sinonim dengan salah satu atau lebih disiplin di atas oleh beberapa akademisi, universitas, dan lembaga, meskipun pandangan ini juga memunculkan kontroversi.

Hubungan industri tidak hanya mencakup pemeriksaan berbagai situasi kerja yang melibatkan tenaga kerja berserikat. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Bruce E. Kaufman, sebagian besar sarjana melihat serikat pekerja, perundingan kolektif, hubungan manajemen-buruh, dan konteks kebijakan buruh nasional serta hukum buruh sebagai pokok-pokok dalam bidang ini.

Secara singkat, hubungan kerja menciptakan cakrawala dinamis dalam hubungan antara pengusaha dan karyawan. Melibatkan beragam aspek seperti serikat pekerja, organisasi pengusaha, dan keterlibatan pemerintah, hubungan ini memasuki ranah yang rumit. Meskipun perdebatan terminologi masih berlanjut, sifat multidisiplin dalam bidang ini tetap penting untuk memahami dinamika tenaga kerja kontemporer. Menekankan elemen-elemen inti seperti serikat pekerja, perundingan kolektif, dan hubungan manajemen-buruh, hubungan kerja terus beradaptasi dengan perubahan lanskap pekerjaan, memainkan peran krusial dalam memahami dan menjelajahi dinamika organisasi yang kompleks.

Disadur dari:

https://en.wikipedia.org

Selengkapnya
Apa Itu Relasi Industri?
page 1 of 4 Next Last »