Garuda Kembali Sehat, Kinerja Positif

Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari

10 Mei 2024, 19.58

Sumber: investortrust.id

JAKARTA, investortrust.id - Penyehatan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) mulai membuahkan hasil.  Laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) Garuda yang semula negatif, kini kembali positif. Arus kas yang awalnya defisit, sudah kembali surplus.

Tak mengherankan jika Direktur Utama Garuda, Irfan Setiaputra,  optimistis tahun depan Garuda sudah mampu mencetak keuntungan. Bahkan, eksekutif kelahiran Jakarta, 24 Oktober 1964, ini yakin jika sejumlah aksi korporasi Garuda dapat diimplementasikan dalam dua bulan ke depan, maskapai penerbangan pelat merah itu sudah bisa membukukan laba bersih positif pada akhir 2023.

“Kami dengan cukup optimis bisa menyampaikan bahwa EBITDA Garuda sekarang positif, cash juga sudah surplus.  Kalau kita ngomong neraca rugi-labaya mestinya tahun depan sudah oke (sudah untung). Malah tahun ini memungkinkan bisa membukukan laba,” ujar Irfan dalam wawancara khusus dengan Pemimpin Redaksi investortrust.id, Primus Dorimulu di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut Irfan Setiaputra, agar penyehatan Garuda tetap berada di jalur yang benar (on the right track), jajaran direksi kini  fokus menggarap sumber-sumber pendapatan (revenue) yang dapat  menghasilkan arus kas positif secara berkesinambungan. “Kami harus memastikan bisa mengakumulasi cash karena kami punya janji membayar utang jangka panjang. Walaupun waktu jatuh tempo nanti mungkin saya sudah nggak dirut lagi, saya harus bangun sistem untuk memastikan Garuda bisa bayar utang,” tandas dia.

Irfan wanti-wanti menegaskan, yang dikejar Garuda saat ini bukan pangsa pasar (market share). “Kami ingin Garuda tetap menjadi perusahaan kebanggaan nasional. Tapi bukan karena terbang ke mana-mana, melainkan karena mampu menghasilkan keuntungan dan tidak menjadi beban publik lagi,” tutur dia. Berikut penjelasan lengkapnya:

Apa dampak restrukturisasi utang dan restrukturisasi perusahaan terhadap operasional Garuda saat ini?

Mungkin dari sisi frekuensi penumpang sangat terpengaruh. Kami melakukan restrukturisasi utang dan pada saat yang bersamaan juga melakukan restrukturisasi perusahaan. Akibat  restrukturisasi utang, jumlah pesawat kami  menjadi setengahnya  dibandingkan sebelumnya, yaitu dari sekitar 140 pesawat menjadi sekitar  60 pesawat. Beberapa masih dalam proses perbaikan. Akibatnya tentu saja jumlah penerbangan kami  berkurang, sehingga  market share juga turun.

Tujuan restrukturisasi utang dan restrukturisasi perusahaan?

Janji  nomor satu kami adalah menjadikan Garuda sebagai perusahaan yang mengedepankan keuntungan. Kami juga berharap masyarakat Indonesia tetap bangga terhadap Garuda. Kami ingin Garuda tetap menjadi perusahaan kebanggaan nasional. Tapi bukan karena terbang ke mana-mana, melainkan  karena mampu  menghasilkan keuntungan dan tidak menjadi beban publik lagi. Kan kita semua tahu cerita Garuda masa lalu. Jadi, kewajiban manajemen saat ini dan ke depan adalah memastikan Garuda Indonesia menjadi perusahaan yang untung.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra. (Investortrust/Elsid Arendra)

Kondisi industri jasa penerbangan setelah pandemi?

Saat terjadi pandemi Covid-19, seluruh dunia nggak siap. Semua airlines terkena dampaknya. Nah, hari ini kita menyaksikan jumlah penerbangan pelan-pelan meningkat. Begitu  pula jumlah penumpang.  Jadi, industri penerbangan dari sisi jumlah penumpang  sudah recover untuk domestik. Sudah dalam posisi sama seperti sebelum pandemi.

Hanya saja, kami harus terus berhati-hati melihat angka-angka ini. Kami  nggak bisa kemudian menganggap angka ini akan terus meningkat seperti tahun-tahun sebelumnya. Kenapa? Karena banyak behaviour yang berubah dari para penumpang.  Itu sebabnya, kami sekarang sangat fokus ke behaviour penumpang.

Perubahan perilaku penumpang, maksudnya?

Salah satu behaviour yang kami lihat adalah event travellers. Dulu biasanya sebulan sekali ke Bali, sekarang seminggu sekali. Maka lebih banyak jumlah penumpangnya. Orang yang  dulu setahun sekali ke luar negeri untuk berlibur, sekarang bisa dua sampai tiga kali. Kenapa? Karena kan ada masa sekitar dua tahunan orang tidak bepergian dan tidak naik pesawat karena pandemi.  

Mengapa harus berhati-hati, bukankah perubahan perilaku ini justru peluang besar bagi airlines?

Saya katakan mesti mewaspadai ini karena kan bisa menjadi stabil lagi seperti sebelum pandemi. Artinya,  wisatawan  yang sekarang ke Bali seminggu sekali bisa jadi balik lagi menjadi  sebulan sekali. Itu akan sangat pengaruh terhadap industri  penerbangan. Jadi, itu perlu kami waspadai. Artinya, kami akan meningkatkan jumlah penerbangan secara hati-hati, sesuai kebutuhan saja, tidak jorjoran. Kami ingin tambah pesawat bertahap dengan tingkat keterisian kursi (seat load factor/SLF) tetap tinggi.

Dengan berkurangnya jumlah pesawat Garuda, berarti kompetitor diuntungkan?

Saya tidak dapat memungkiri teman-teman sebelah mungkin lebih menikmati dengan berkurangnya jumlah pesawat Garuda. Market share Garuda, termasuk Citilink, sekarang sekitar 30%. Tetapi nggak apa-apa. Kami tidak semata mengejar market share, tetapi bagaimana memastikan Garuda membukukan keuntungan setiap kali terbang.

Bisa saja kami mengeklaim bahwa kami pemimpin pangsa pasar. Semua orang naik pesawat Garuda, SLF penuh, kemudian tambah terus pesawat. Bukan sombongkalau kami turunkan harga, semua orang akan naik Garuda. Tapi apa artinya kalau begitu sampai tujuan kami merugi? Sekali lagi, kami sekarang fokus untuk memastikan Garuda menjadi perusahaan yang menguntungkan.

https://res.cloudinary.com/dzvyafhg1/image/upload/v1699705554/investortrust-bucket/images/1699705551737.jpg

Kinerja keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk 

Rute paling menguntungkan?

Untuk domestik ya Jakarta-Bali. Jumlah orang Jakarta yang ke Bali itu saat weekend atau liburan panjang itu menakjubkan. Ini fenomena baru. Banyak yang tidak sadar. Waktu musim Lebaran, musim mudik, jumlah penumpang nomor satu itu bukan ke Surabaya atau Jogja, tapi ke Bali. 

Ini mengartikan apa? Bahwa selama musim mudik Lebaran ternyata lebih banyak yang berlibur daripada mudik. Ini  behavior baru juga. Ini yang kami garap. Saat normal, kami melayani rute Bali sebanyak 4-5 kali sehari. Tapi saat peak season bisa 12 kali, selalu penuh. 

Salah satu data yang paling gampang dilihat adalah jumlah wisatawan dari luar negeri maupun dalam negeri yang dicatat di Bandara Ngurah Rai.  Kunjungan wisatawan ke Ngurah Rai atau Bali secara keseluruhan  saat ini jauh lebih bagus dibandingkan sebelum pandemi.  Saya termasuk orang yang cukup optimistis  melihat pertumbuhan ini. 

Walau harus profitable, Garuda sebagai BUMN punya misi lain, di antaranya mendorong industri pariwisata di  destinasi-destinasi unggulan, misalnya Labuan Bajo. Apakah misi ini sudah dilaksanakan? 

Tentu kami menjalankan tersebut. Tetapi kami memang tidak bisa memenuhi pemintaan untuk terbang lebih intens, misalnya sehari 4-5 kali. Saya buka-bukaan aja, jumlah penumpang kami masih segini. Intinya kami sangat terbuka untuk mendiskusikan rute-rute domestik yang akan kami layani, termasuk frekuensinya. Tetapi kami pun sangat terbuka untuk berbicara dengan para pimpinan daerah tentang kondisi yang kami alami.

Kalau kami terbang ke sana sesuai pemintaan, kami mesti minta maaf, ada beberapa rute yang sebelum pandemi dilayani Garuda, sekarang tidak lagi. Tapi kami minta Citilink yang ambil. Ada beberapa destinasi yang secara harga masih feasible bagi Citilink.

Demi menjalankan misi tersebut, bukankah Garuda bisa menurunkan tarif, mengingat  jumlah penumpang sudah kembali ke masa sebelum pandemi?

Kita semua harus bahu-membahu untuk memastikan dua ekosistem ini (pariwisata dan penerbangan) sehat. Artinya, jangan terus-menerus memaksa kami menurunkan harga. Kalau kami menurunkan harga, kami tidak bisa menghasilkan keuntungan, yang rugi ya kami juga.

Nah, dalam jangka panjang, kalau Garuda rugi, yang akhirnya rugi adalah pemilik Garuda. Mayoritas saham Garuda sampai hari ini dimiliki pemerintah, dengan kepemilikan 65%. Jadi, nanti  yang rugi ya pemerintah. Kalau pemerintah rugi, kan larinya ke APBN. Rakyat juga yang harus mengisi APBN  lewat pembayaran pajak. Jadi, ada jangka pendek yang mesti kita selesaikan, ada jangka panjang. 

Apa yang dilakukan para stakeholders untuk menyehatkan ekosistem penerbangan?

Kami terus mengupayakan perbaikan dari sisi behaviour. Sebelum pandemi, jumlah orang yang berwisata ke Bali, yang menginap 2-3 malam di Bali, itu top. Banyak sekali. Yang lebih dari 6 hari itu relatif sedikit. Yang day trip, datang pagi pulang sore, juga sedikit. Lalu menjelang akhir pandemi, kami melakukan riset. Waktu itu pandemi mulai berlalu, yang terbang mulai banyak  walaupun mereka masih diwajibkan memakai masker. Ternyata yang menginap 2-3 malam di Bali turun drastis. Yang menginap 6 hari 6 malam malah meningkat. Begitu pula yang day trip.

Nah, yang day trip ini bisa menjadi masalah karena yang mendapatkan keuntungan dari kehadiran orang tersebut mungkin hanya airlines, airport, dan 1-2 warung atau restoran saja karena mereka tidak menginap, tidak spending di tempat lain karena datang pagi, mungkin meeting, terus pulang sore. Saya selalu menekankan kepada teman-teman, juga berbicara dengan teman-teman lain di Bali, mari kita upayakan kembalikan ke behaviour 2-3 hari. Atau malah kita pertahankan yang 6 hari. Belakangan ini, misalnya, ada fenomena yang cukup menarik. Tiba-tiba penerbangan hari Rabu menjadi salah satu penerbangan favorit. Artinya wisatawan datang Rabu, pulangnya Minggu.

Sekarang kami juga berpartisipasi dengan banyak kelembagaan untuk mendorong MICE (meetings, incentives, conferences, and exhibitions) karena spending per individunya tinggi. Kalau leisure kadang-kadang ambil breakfast di hotel karena gratis. Kalau orang yang MICE itu nggak peduli, breakfast bisa di tempat lain. Justru banyak yang melewatkan breakfast free di hotel-hotel.nKedua, banyak aktivitas peserta MICE di luar hotel. Maka  penyewaan mobil meningkat gila-gilaan. Banyak lagi kegiatan ekonomi lain yang terdongkrak oleh MICE. Apalagi kalau ada event internasional, seperti G20 dan sejenisnya.

Sumber: investortrust.id