Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 27 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Pembangunan jalan sering dianggap sebagai investasi fisik murni, padahal di baliknya terdapat dimensi sosial dan ekonomi yang kompleks. Penelitian oleh Pedro José (2018) dari Norwegian University of Science and Technology (NTNU) menekankan pentingnya analisis sosio-ekonomi (socio-economic analysis) dalam setiap tahapan proyek infrastruktur publik.
Norwegia menerapkan dua mekanisme penilaian utama: Concept Selection Study (KVU) dan Quality Assurance Scheme (KS1). Kedua tahap ini memastikan bahwa proyek jalan tidak hanya layak secara teknis, tetapi juga memberikan nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan yang optimal bagi masyarakat.
Pendekatan ini mengedepankan Cost-Benefit Analysis (CBA) untuk menilai manfaat terhadap pengguna jalan, penghematan waktu, keselamatan lalu lintas, serta dampak lingkungan. Proses ini juga melibatkan transparansi publik dalam pengambilan keputusan — menjadikan proyek infrastruktur bukan sekadar keputusan politik, tetapi hasil kajian rasional berbasis data.
Bagi Indonesia, temuan ini penting dalam konteks peningkatan efektivitas belanja publik di sektor infrastruktur. Dengan proyek besar seperti Tol Trans Jawa, IKN Nusantara, dan jalan strategis nasional lainnya, penerapan analisis sosio-ekonomi dapat memastikan setiap investasi publik menghasilkan manfaat maksimal bagi masyarakat.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Pendekatan CBA di Norwegia telah terbukti efektif dalam mencegah pemborosan anggaran dan meningkatkan transparansi proyek publik. Beberapa dampak positif yang tercatat antara lain:
Peningkatan efisiensi penggunaan dana publik hingga 20% melalui penyaringan awal proyek yang tidak layak secara sosial-ekonomi.
Meningkatnya akuntabilitas lembaga perencana, karena setiap keputusan berbasis pada data kuantitatif dan konsultasi publik.
Kualitas keputusan investasi meningkat, dengan perbandingan manfaat dan biaya yang dapat diaudit secara independen.
Namun, penerapannya di negara berkembang seperti Indonesia menghadapi beberapa hambatan, antara lain:
Keterbatasan data sosial dan ekonomi yang diperlukan untuk menilai manfaat jangka panjang proyek jalan.
Kurangnya kapasitas teknis aparatur dalam mengolah model CBA dan mengintegrasikannya dengan kebijakan fiskal.
Tantangan transparansi dan koordinasi lintas kementerian, terutama antara Kementerian PUPR, Bappenas, dan Kementerian Keuangan.
Peluang besar terbuka jika Indonesia mampu mengintegrasikan model CBA dalam sistem perencanaan nasional, termasuk melalui artikel Infrastruktur, yang membekali peserta dengan metode analisis kebijakan berbasis data.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Wajibkan Analisis Sosio-Ekonomi untuk Semua Proyek Jalan Skala Nasional
Pemerintah perlu menjadikan CBA sebagai prasyarat perencanaan, bukan sekadar lampiran administratif.
Bangun Sistem Data Terintegrasi untuk Evaluasi Infrastruktur
Data lalu lintas, sosial, dan lingkungan harus disatukan dalam satu platform nasional agar penilaian proyek lebih akurat.
Kembangkan SDM Perencana dan Evaluator Infrastruktur
Pelatihan teknis tentang CBA dan kebijakan infrastruktur harus menjadi bagian dari kurikulum ASN dan perencana daerah.
Terapkan Mekanisme Audit Independen (Quality Assurance) seperti di Norwegia
Setiap proyek besar perlu ditinjau oleh lembaga independen untuk menilai manfaat sosial-ekonomi secara objektif.
Dorong Partisipasi Publik dalam Evaluasi Proyek
Publik harus memiliki akses terhadap data dan hasil evaluasi proyek untuk memperkuat transparansi dan kepercayaan terhadap pemerintah.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan berbasis CBA berisiko gagal apabila hanya dijalankan secara formalitas tanpa memperhatikan kualitas data dan partisipasi publik. Beberapa potensi kegagalan antara lain:
Bias terhadap proyek besar yang memiliki data lengkap, sementara proyek kecil pedesaan terabaikan.
Minimnya integrasi sosial dan lingkungan dalam model perhitungan ekonomi.
Ketidaksesuaian antara hasil analisis dan keputusan politik, di mana proyek tetap dijalankan meski hasil evaluasi menunjukkan manfaat rendah.
Untuk menghindari kegagalan ini, pemerintah perlu mengembangkan mekanisme transparansi hasil analisis dan memperkuat kolaborasi lintas sektor, termasuk perguruan tinggi, lembaga riset, dan masyarakat sipil.
Penutup
Analisis sosio-ekonomi proyek jalan bukan hanya alat teknis, melainkan instrumen strategis dalam memastikan keadilan dan efisiensi kebijakan publik.
Studi kasus Norwegia membuktikan bahwa pendekatan CBA yang transparan dan partisipatif dapat meningkatkan efektivitas pembangunan serta memperkuat legitimasi pemerintah di mata publik.
Bagi Indonesia, mengadopsi pendekatan serupa berarti membangun budaya kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) — di mana setiap proyek infrastruktur dinilai dari dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar nilai investasinya.
Melalui pelatihan dan kolaborasi akademik, pemerintah dapat memperkuat kapasitas analisis kebijakan dan menciptakan tata kelola infrastruktur yang akuntabel, efisien, dan berkelanjutan.
Sumber
José, Pedro. (2018). Socio-Economic Analysis of Road Projects: A Norwegian Case Study. NTNU, Norway.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 27 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Pembangunan jalan pedesaan bukan hanya soal memperbaiki akses fisik, tetapi juga instrumen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan pemerataan sosial. Studi ini menyoroti bagaimana pengembangan jalan pedesaan secara signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui peningkatan mobilitas, pendapatan, dan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Temuan menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan mempercepat transformasi ekonomi desa — dari ketergantungan pada sektor pertanian menuju diversifikasi ke sektor perdagangan, jasa, dan manufaktur kecil. Selain itu, pembangunan jalan juga memperkuat integrasi wilayah pedesaan dengan pusat ekonomi regional, menciptakan efek berganda (multiplier effect) yang mendorong investasi dan lapangan kerja.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan pembangunan jalan desa harus diposisikan sebagai strategi pengentasan kemiskinan dan peningkatan produktivitas nasional. Program seperti Kursus Evaluasi Dampak Sosial dan Ekonomi Infrastruktur Publik dapat membantu aparatur pemerintah memahami keterkaitan antara infrastruktur transportasi dan pembangunan manusia berkelanjutan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Hasil penelitian menunjukkan sejumlah dampak positif utama dari pembangunan jalan pedesaan:
Peningkatan pendapatan rumah tangga hingga 25–30% akibat peningkatan akses ke pasar dan peluang kerja baru.
Peningkatan partisipasi pendidikan, karena anak-anak dapat bersekolah tanpa terkendala jarak dan cuaca.
Penurunan biaya transportasi dan waktu tempuh, yang berdampak langsung pada peningkatan produktivitas masyarakat.
Meningkatnya akses layanan kesehatan, terutama bagi perempuan dan anak-anak di wilayah terpencil.
Namun, pelaksanaan kebijakan pembangunan jalan pedesaan juga menghadapi hambatan serius, antara lain:
Kurangnya pemeliharaan jalan yang menyebabkan penurunan kualitas infrastruktur setelah beberapa tahun.
Keterbatasan dana daerah untuk perawatan rutin dan rehabilitasi jalan.
Minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengawasan proyek.
Meski begitu, peluang besar masih terbuka. Integrasi pembangunan jalan dengan program pemberdayaan masyarakat dan digitalisasi data infrastruktur dapat memperkuat efektivitas kebijakan. Artikel seperti Infrastruktur di Indonesia dapat memperkuat pemahaman ini.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Prioritaskan Jalan yang Menghubungkan Sentra Ekonomi dan Desa Tertinggal
Fokus pada pembangunan jalan yang menghubungkan wilayah produktif dengan pasar utama untuk memaksimalkan dampak ekonomi.
Bangun Sistem Pemeliharaan Berkelanjutan
Alokasikan anggaran khusus untuk pemeliharaan rutin berbasis partisipasi masyarakat desa agar keberlanjutan jalan terjamin.
Integrasikan Kebijakan Jalan dengan Program Pengentasan Kemiskinan
Jalan pedesaan harus menjadi bagian dari strategi nasional penurunan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja lokal.
Libatkan Komunitas dalam Perencanaan dan Pengawasan
Melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan hingga evaluasi dapat meningkatkan akuntabilitas dan relevansi proyek.
Gunakan Teknologi untuk Monitoring dan Transparansi
Sistem berbasis GIS dan dashboard data publik dapat membantu pemerintah dan masyarakat memantau kinerja proyek secara real-time.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan jalan pedesaan dapat gagal bila hanya menitikberatkan pada pembangunan fisik tanpa memperhatikan keberlanjutan sosial dan ekonomi. Potensi kegagalannya meliputi:
Fokus jangka pendek yang mengabaikan pemeliharaan.
Kurangnya integrasi antara kementerian teknis (PUPR, Kemendesa, dan Bappenas).
Proyek yang tidak disertai pelibatan masyarakat, sehingga manfaatnya tidak merata.
Kesenjangan wilayah — desa yang jauh dari jalan utama tertinggal meski jalan nasional dibangun.
Oleh karena itu, setiap kebijakan infrastruktur harus berorientasi pada pembangunan inklusif dan partisipatif, bukan hanya pencapaian target konstruksi.
Penutup
Pembangunan jalan pedesaan adalah kunci dalam mewujudkan pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan. Dampaknya tidak hanya memperlancar mobilitas barang dan orang, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru, meningkatkan kesejahteraan, dan memperkuat kohesi sosial antarwilayah.
Dengan dukungan pelatihan teknis dan kebijakan berbasis bukti, Indonesia dapat menciptakan model pembangunan jalan pedesaan yang inklusif, produktif, dan berdaya saing tinggi.
Sumber
Asian Institute of Transport Development (AITD). Socio-Economic Impacts of Rural Road Development. 2011.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Infrastruktur riset—seperti laboratorium nasional, pusat data, dan fasilitas sains—merupakan fondasi inovasi dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Namun, banyak negara berkembang termasuk Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam mengukur dampak sosial dan ekonomi dari investasi di bidang ini. Laporan A Practical Guide: Assessment of Socio-Economic Impacts of Research Infrastructures (ResInfra@DR, 2019) menegaskan bahwa penilaian dampak infrastruktur riset bukan hanya soal output ilmiah, tetapi juga tentang bagaimana fasilitas tersebut meningkatkan kesejahteraan sosial, inovasi industri, serta kapasitas manusia.
Tanpa sistem evaluasi yang jelas, pemerintah berisiko terus membiayai proyek riset tanpa memahami return on investment (ROI) terhadap masyarakat. Panduan ini menjadi penting karena memperkenalkan kerangka evaluasi yang sistematis: menggabungkan indikator ekonomi (seperti lapangan kerja dan paten) dengan indikator sosial (seperti pendidikan, inklusi, dan pemerataan akses pengetahuan).
Dalam konteks Indonesia, temuan ini relevan bagi lembaga seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk memperkuat kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Upaya ini sejalan dengan inisiatif pembelajaran seperti Manajemen Proyek.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Penerapan sistem evaluasi dampak sosioekonomi di banyak negara menunjukkan hasil positif. Proyek riset yang dinilai menggunakan metodologi ResInfra@DR terbukti lebih mudah menarik pendanaan tambahan karena mampu membuktikan nilai tambah ekonomi dan sosialnya. Dampak yang paling menonjol meliputi peningkatan efisiensi alokasi dana publik, keterlibatan industri dalam riset, serta peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam proyek sains.
Namun, penerapannya di lapangan menghadapi tiga hambatan utama:
Kurangnya data dan metode pengukuran standar. Banyak lembaga riset di Asia Tenggara belum memiliki indikator yang konsisten.
Keterbatasan kapasitas SDM evaluasi. Evaluator riset sering berfokus pada keluaran ilmiah (paper, publikasi), bukan pada dampak sosial ekonomi.
Keterputusan antara pembuat kebijakan dan pelaku riset. Proyek penelitian sering tidak dirancang sejak awal untuk mendukung tujuan pembangunan nasional.
Meski demikian, peluangnya besar. Digitalisasi data riset dan keterbukaan akses informasi publik memungkinkan sistem evaluasi berbasis bukti diterapkan secara lebih efektif. Inisiatif seperti Evaluasi dan Audit Program Pemerintah juga dapat memperkuat kapasitas lembaga pemerintah untuk menilai dampak kebijakan riset secara terukur dan objektif.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
1. Bangun Sistem Nasional Evaluasi Infrastruktur Riset
Pemerintah perlu membuat kerangka nasional berbasis indikator kuantitatif dan kualitatif untuk menilai kontribusi infrastruktur riset terhadap ekonomi dan sosial.
2. Kembangkan SDM Evaluator Profesional
Lembaga seperti BRIN dan universitas dapat berkolaborasi dengan platform pelatihan guna mencetak tenaga ahli evaluasi yang memahami metode ilmiah dan sosial ekonomi.
3. Integrasikan Penilaian Dampak dalam Siklus Pendanaan
Setiap proyek riset yang dibiayai APBN sebaiknya mewajibkan laporan dampak sosial ekonomi sebagai bagian dari monitoring dan evaluasi tahunan.
4. Dorong Kolaborasi antara Riset dan Industri
Insentif fiskal dapat diberikan bagi industri yang terlibat dalam infrastruktur riset untuk mempercepat transfer teknologi dan inovasi nasional.
5. Gunakan Data Evaluasi sebagai Dasar Kebijakan Pembangunan
Pemerintah daerah dapat mengadopsi hasil penilaian dampak riset untuk menetapkan prioritas pembangunan lokal, memastikan kebijakan riset lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan evaluasi dampak riset berisiko gagal bila hanya berfokus pada laporan administratif tanpa penguatan kapasitas dan budaya kolaboratif. Potensi kegagalannya meliputi:
Evaluasi hanya bersifat formalitas untuk memenuhi syarat pendanaan.
Ketergantungan pada indikator kuantitatif yang mengabaikan dimensi sosial dan lingkungan.
Minimnya pelibatan masyarakat sipil dalam proses evaluasi.
Kurangnya transparansi dalam publikasi hasil evaluasi.
Untuk menghindari hal ini, kebijakan harus diiringi pendekatan partisipatif—melibatkan akademisi, pelaku industri, dan masyarakat—agar proses evaluasi menjadi inklusif, akuntabel, dan berkelanjutan.
Penutup
Penilaian dampak sosioekonomi infrastruktur riset adalah fondasi menuju kebijakan riset yang adil, efisien, dan berbasis bukti. Melalui integrasi metode ResInfra@DR dan kolaborasi lintas sektor, Indonesia dapat memastikan bahwa setiap rupiah investasi riset memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Infrastruktur riset bukan sekadar fasilitas ilmiah, tetapi alat strategis untuk membangun masa depan inovatif, produktif, dan berkeadilan sosial. Dengan dukungan pelatihan, regulasi yang kuat, dan budaya evaluasi terbuka, kebijakan riset nasional dapat melahirkan inovasi yang benar-benar berdampak bagi kesejahteraan bangsa.
Sumber
ResInfra@DR. A Practical Guide: Assessment of Socio-Economic Impacts of Research Infrastructures, 2019.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 23 Oktober 2025
Pendahuluan: Membongkar Keseimbangan Sensitivitas Penumpang
Perencanaan transportasi modern di kota-kota besar membutuhkan lebih dari sekadar data historis; diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana penumpang bereaksi terhadap perubahan layanan. Seberapa cepat mereka beralih moda transportasi jika bus atau kereta menjadi lebih lambat? Dan yang lebih krusial, seberapa cepat mereka kembali jika layanan ditingkatkan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi fokus utama dalam sebuah studi data mutakhir yang menganalisis lebih dari 25 juta perjalanan penumpang di Greater London.1
Selama beberapa dekade, perencana kota mengandalkan metode yang digambarkan sebagai "sirkuit" atau tidak langsung. Metode ini melibatkan monetisasi penghematan waktu perjalanan menggunakan asumsi Nilai Waktu (Value of Time atau VOT), yang kemudian dikonversi menjadi dampak finansial melalui elastisitas tarif. Pendekatan ini rentan terhadap berbagai asumsi dan sering kali menggunakan parameter yang diseragamkan (homogenised).1
Sebagai solusi, penelitian yang dilakukan oleh Howard Wong dan Menno Yap di Journal of Public Transportation ini mengusulkan metrik yang lebih langsung dan transparan: Elastisitas Waktu Perjalanan Umum (Generalised Journey Time atau GJT). Dengan GJT, perencana dapat secara langsung memperkirakan dampak permintaan dari perubahan GJT yang diprediksi tanpa perlu asumsi perantara yang rumit. Perkiraan perubahan permintaan ini kemudian dapat langsung diubah menjadi dampak pendapatan berdasarkan hasil rata-rata per perjalanan penumpang.1
Skala Data dan Temuan Kunci
Keandalan temuan studi ini terletak pada volumenya yang masif. Alih-alih mengandalkan survei preferensi (stated preference) atau data penjualan tiket yang teragregasi, penelitian ini menggunakan pendekatan preferensi tersingkap (revealed preference) berdasarkan data penumpang individu yang sangat terperinci dari sistem kartu pintar Automated Fare Collection (AFC) dan Automated Vehicle Location (AVL).1
Secara total, analisis ini mencakup lebih dari 25 juta perjalanan empiris yang dipengaruhi oleh sembilan intervensi layanan yang berbeda—baik perbaikan terencana (seperti perpanjangan jalur baru) maupun degradasi sementara (seperti penutupan jalur) — di London antara tahun 2018 dan 2022. Skala dan resolusi data ini secara substansial meningkatkan ukuran sampel dan representasi temuan.1
Temuan inti dari analisis ini menetapkan elastisitas GJT rata-rata sebesar -0.61.1 Secara praktis, nilai ini berarti adanya hubungan terbalik: untuk setiap kenaikan 1% pada waktu perjalanan umum, permintaan transportasi publik diperkirakan akan berkurang sebesar 0.61%, dan sebaliknya.1 Untuk memberikan gambaran yang lebih nyata, jika layanan transportasi publik mengalami kemunduran kolektif hingga GJT memburuk sebesar 10% di seluruh jaringan, otoritas transportasi harus bersiap kehilangan 6.1% dari basis penumpang mereka.
Rahasia GJT: Apa yang Membuat Penumpang Berpaling dari Transit?
Memahami Elastisitas Waktu Perjalanan Umum (GJT) sangat penting karena metrik ini bukan hanya tentang seberapa cepat kereta bergerak. GJT adalah ukuran komprehensif yang menangkap respons penumpang terhadap perubahan di seluruh rantai perjalanan.1
Waktu Tunggu Lebih Berat Dua Kali Lipat
GJT didefinisikan sebagai jumlah dari waktu di dalam kendaraan ($t^{ivt}$), waktu di luar kendaraan ($t^{wtt}$, mencakup waktu berjalan dan menunggu), dan penalti jumlah transfer ($n^{tf}$), yang masing-masing dikalikan dengan faktor valuasi tertentu.1
Temuan penting dalam studi ini adalah valuasi waktu di luar kendaraan. Data menunjukkan bahwa penumpang secara rata-rata menilai waktu menunggu dan berjalan ($\beta$) dua kali lebih negatif dibandingkan waktu yang dihabiskan di dalam kendaraan yang tidak padat ($\beta=2.0$).1
Implikasi bagi perencana kota sangatlah jelas: bagi penumpang, penundaan 5 menit yang terjadi saat mereka menunggu di halte atau berjalan antar-moda terasa setara dengan penundaan 10 menit di dalam kendaraan yang nyaman. Sensitivitas yang tinggi terhadap waktu di luar kendaraan ini menekankan bahwa ketidakpastian (menunggu tanpa informasi) dan ketidaknyamanan (berjalan jauh atau antre) adalah faktor-faktor pendorong terbesar hilangnya permintaan.
Selain itu, setiap kali penumpang melakukan transfer atau pindah moda transportasi, ada penalti tetap sebesar 3.5 menit yang ditambahkan ke GJT, yang mencerminkan kerumitan dan stres yang terkait dengan pergantian perjalanan.
Faktor Kepadatan dan Dampak Nyata
Kepadatan (crowding) di dalam kendaraan juga menjadi elemen kunci dalam GJT, karena memengaruhi persepsi penumpang terhadap waktu yang dihabiskan. Kepadatan diukur menggunakan pengali ($\alpha$) yang meningkat sebanding dengan kepadatan berdiri di dalam kendaraan. Studi ini menetapkan bahwa nilai pengali kepadatan dapat mencapai 2.5 kali lipat saat total kapasitas kendaraan (kursi dan berdiri) telah terlampaui.1
Hal ini berarti waktu tempuh 10 menit di dalam bus yang sangat padat dapat terasa seperti 25 menit. Konsep ini secara langsung memecahkan teka-teki mengapa layanan yang nominalnya cepat masih kehilangan penumpang jika pengalamannya buruk. Perencana tidak hanya harus mengukur kecepatan, tetapi juga kenyamanan ruang.
Kisah Intervensi Layanan Besar
Elastisitas GJT bervariasi secara signifikan tergantung pada jenis dan skala intervensi layanan yang dianalisis. Analisis terhadap sembilan kasus, termasuk pembukaan dan penutupan jalur utama, memberikan gambaran yang jelas.
Sebagai contoh, pembukaan Jalur Elizabeth (EZL) baru di London, sebuah proyek infrastruktur besar, menghasilkan penurunan GJT yang signifikan dan respons permintaan yang sangat kuat. Untuk beberapa segmen yang terintegrasi, seperti integrasi jalur kereta timur dan barat ke jalur pusat Elizabeth Line (Kasus 4e EZL dan 4w EZL), elastisitas mencapai angka negatif yang sangat kuat, antara -0.90 hingga -0.92.1 Respons kuat ini mungkin didorong tidak hanya oleh penghematan waktu nominal, tetapi juga oleh peningkatan kenyamanan (kereta baru, ber-AC, stasiun modern) yang secara efektif mengurangi GJT non-nominal.
Sebaliknya, ketika terjadi degradasi layanan seperti penutupan utama Northern Line (NLC) selama 17 minggu, respons permintaan yang sangat akut terlihat. Dalam tiga bulan pertama pasca-intervensi, elastisitas GJT mencapai -0.79.1 Hal ini menunjukkan bahwa penumpang sangat cepat bereaksi terhadap kerugian layanan, bahkan ketika penutupan tersebut telah direncanakan dan dikomunikasikan secara luas.
Fenomena Asimetri Permintaan: Pelajaran Pahit bagi Operator Transit
Salah satu temuan paling mendalam dan mengejutkan dalam studi ini adalah sifat asimetris dari respons permintaan penumpang terhadap perubahan kualitas layanan.1
Data menunjukkan bahwa, setidaknya dalam jangka pendek dan menengah, permintaan lebih elastis terhadap degradasi layanan (elastisitas rata-rata sekitar -0.68) dibandingkan dengan peningkatan layanan (elastisitas rata-rata sekitar -0.59).1
Kepergian Cepat, Kedatangan Lambat
Fenomena ini menyiratkan sebuah kenyataan pahit bagi operator: butuh waktu lebih lama bagi permintaan untuk meningkat sebagai respons terhadap perbaikan kualitas layanan, dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan bagi permintaan untuk menurun setelah terjadi penurunan kualitas layanan.1
Ada penjelasan rasional di balik ketidakseimbangan ini. Ketika degradasi layanan terjadi (misalnya, jembatan ditutup atau frekuensi dikurangi), penumpang yang sudah ada secara langsung terkena dampaknya. Mereka didorong untuk segera mencari solusi alternatif, entah beralih ke kendaraan pribadi, memilih rute yang berbeda, atau bahkan membatalkan perjalanan. Ini adalah reaksi bertahan hidup yang cepat dan mendadak.
Sebaliknya, peningkatan layanan (misalnya perpanjangan jalur baru atau penambahan frekuensi) tidak selalu langsung menarik penumpang baru. Peningkatan layanan membutuhkan waktu agar pola perjalanan yang sudah tertanam kuat (embedded travel patterns) berubah. Selain itu, diperlukan waktu bagi populasi baru (penduduk atau pekerjaan) untuk tertarik dan pindah ke area yang baru terlayani guna mengambil keuntungan dari konektivitas yang lebih baik. Contohnya, pada ekstensi Northern Line (NLE), elastisitas yang diukur dalam bulan ke-12 meningkat signifikan sebesar 30% dibandingkan dengan pengukuran pada bulan pertama.1 Hal ini menunjukkan bahwa dampak penuh investasi infrastruktur baru hanya dapat dirasakan setelah periode yang panjang.
Temuan ini sangat penting bagi pengambilan keputusan kebijakan. Jika pemerintah atau operator mencabut layanan (misalnya karena pemotongan anggaran), kerugian penumpang akan terjadi secara instan dan substansial. Namun, untuk memenangkan kembali penumpang yang hilang tersebut, diperlukan investasi yang lebih besar dan periode tunggu yang jauh lebih lama.
Tingkat Pembangunan (Build-Up Rate)
Analisis elastisitas juga mengkonfirmasi adanya tingkat pembangunan (build-up rate) dari elastisitas jangka pendek ke elastisitas jangka panjang yang lebih kuat.1
Ketika semua data disaring untuk hanya mencakup titik pengukuran setelah enam bulan atau lebih pasca-intervensi, elastisitas rata-rata meningkat menjadi -0.63. Nilai ini lebih besar daripada elastisitas yang diukur dalam waktu kurang dari enam bulan, yaitu -0.58.1 Perbedaan ini menegaskan bahwa sensitivitas penumpang terhadap perubahan layanan tidak statis; ia membutuhkan waktu untuk menstabilkan diri, dengan respons jangka panjang yang secara keseluruhan lebih kuat daripada reaksi instan.
Puncak dan Tengah Hari: Kapan Penumpang Paling Sensitif terhadap Kenyamanan?
Sensitivitas penumpang terhadap perubahan GJT bervariasi tajam berdasarkan waktu hari, yang mencerminkan tujuan perjalanan yang berbeda.1
Waktu Paling Fleksibel dan Volatil
Analisis menunjukkan bahwa respons permintaan paling elastis terjadi selama periode Tengah Hari (Midday), yaitu antara jam sibuk pagi dan sore, dengan elastisitas sebesar -0.68.1
Tingginya sensitivitas ini dapat dijelaskan oleh karakter perjalanan. Periode tengah hari didominasi oleh perjalanan yang bersifat diskresioner, seperti rekreasi, belanja, atau janji temu non-wajib. Penumpang yang melakukan perjalanan ini memiliki tingkat fleksibilitas yang jauh lebih tinggi; jika layanan memburuk, mereka cenderung membatalkan perjalanan, mengganti moda, atau menunda keberangkatan mereka.1 Bagi operator, segmen permintaan tengah hari adalah yang paling volatil dan sensitif secara finansial.
Sebaliknya, respons permintaan ditemukan paling inelastis pada jam sibuk wajib: Pagi Puncak (AM Peak, -0.55) dan Pagi Buta (Early Morning, -0.46).1 Dalam periode ini, perjalanan didominasi oleh commuting yang memiliki karakter wajib (mandatory journeys). Penumpang yang harus tiba di tempat kerja atau sekolah pada waktu tertentu akan menunjukkan toleransi yang jauh lebih tinggi terhadap GJT yang lebih lama karena rendahnya pilihan alternatif yang layak.1
Menariknya, studi ini menemukan bahwa Pagi Buta (05:00-07:00) menunjukkan elastisitas yang lebih lemah (-0.46) dibandingkan Pagi Puncak (07:00-10:00) (-0.55).1 Temuan ini harus dibaca dalam konteks pasca-pandemi. Kelompok pekerja kerah putih yang memiliki opsi Work From Home (WFH) dan biasanya bepergian selama Puncak Pagi menjadi lebih elastis (lebih mungkin beralih atau bekerja dari rumah). Sementara itu, kelompok pekerja esensial atau pekerja shift yang harus hadir secara fisik (kerah biru) cenderung melakukan perjalanan pada Pagi Buta, dan mereka menunjukkan tingkat inelastisitas tertinggi. Ini menegaskan bahwa perjalanan pekerja esensial adalah yang paling wajib dan paling sedikit memiliki alternatif saat layanan memburuk.
Menguji Batas: Kritik Realistis dan Opini Kebijakan
Batasan Geografis dan Volatilitas
Meskipun studi ini didukung oleh volume data yang sangat besar dan metodologi yang canggih, terdapat batasan realistis yang perlu dipertimbangkan. Seluruh analisis difokuskan pada Greater London, sebuah wilayah metropolitan dengan jaringan transportasi publik yang sangat padat, matang, dan terintegrasi.1
Kritik realistis menunjukkan bahwa keterbatasan studi pada daerah perkotaan yang terlayani dengan baik ini berpotensi mengecilkan dampak secara umum. Di wilayah di mana alternatif transportasi publik atau pribadi sangat terbatas—situasi yang umum terjadi di banyak kota berkembang—elastisitas permintaan terhadap degradasi layanan mungkin jauh lebih tinggi (lebih negatif) karena penumpang yang terpengaruh memiliki lebih sedikit pilihan selain meninggalkan sistem sepenuhnya.
Selain itu, penelitian ini menangkap data pasca-pandemi, di mana permintaan telah menunjukkan volatilitas yang jauh lebih tinggi daripada era pra-pandemi.1 Kasus seperti penutupan Northern Line (NLC) terjadi saat varian Omicron sedang puncak, yang berarti bahwa koreksi untuk perubahan permintaan latar belakang (background demand changes) harus dilakukan menggunakan faktor penyesuaian global. Meskipun peneliti telah melakukan analisis sensitivitas untuk memastikan hasil GJT elastisitas robust terhadap variasi dalam faktor koreksi ini, kompleksitas faktor lokal pasca-pandemi tetap menjadi tantangan dalam memisahkan dampak intervensi dari driver makro lainnya.1
Keunggulan Metodologis dan Transferabilitas
Terlepas dari keterbatasan geografis, keunggulan utama studi ini terletak pada pendekatannya. Metodologi ini mode-agnostik, yang berarti elastisitas GJT dihitung berdasarkan seluruh perjalanan penumpang, termasuk kaki perjalanan yang melibatkan berganti mode (metro ke bus, atau ke rel lain).1 Pendekatan ini secara akurat mencerminkan perilaku pilihan penumpang, yang menilai keseluruhan impedansi perjalanan, bukan hanya satu segmen. Hal ini selaras dengan perspektif otoritas transportasi yang berfokus pada integrasi multimodal.
Penggunaan data AFC dan AVL, yang merupakan dataset input generik, juga meningkatkan transferabilitas metode ini. Banyak operator transportasi besar di seluruh dunia kini memiliki akses ke data kartu pintar terperinci, memungkinkan kota-kota lain untuk mengadopsi kerangka kerja metodologis yang sama. Hal ini memungkinkan mereka untuk memperbarui tolok ukur elastisitas lokal mereka secara rutin, memastikan resensi dan relevansi data dalam proses perencanaan.1
Lebih lanjut, analisis ini menunjukkan adanya non-linearitas dalam respons permintaan. Intervensi skala besar (seperti pembangunan Elizabeth Line, -0.62) menghasilkan respons permintaan yang lebih elastis dibandingkan intervensi skala kecil (seperti perubahan jadwal lokal, -0.50).1 Ini menunjukkan bahwa perubahan GJT absolut yang lebih besar cenderung memicu reaksi penumpang yang lebih kuat.
Penutup: Menerjemahkan Data London Menjadi Efisiensi Kota Global
Temuan elastisitas GJT -0.61 menjadi tolok ukur berharga bagi perencana transportasi. Metrik ini memberikan alat yang lebih sederhana dan lebih transparan daripada metode penilaian yang mengandalkan VOT dan perhitungan elastisitas tarif yang kompleks.1
Untuk memvalidasi akurasi GJT, studi ini menghitung elastisitas tarif implisit. Dengan menggunakan GJT rata-rata jaringan London (sekitar 30 menit) dan tarif rata-rata (£1.55), nilai GJT elastisitas -0.61 menghasilkan elastisitas tarif implisit sebesar -0.18.1 Angka ini sangat konsisten dengan perkiraan elastisitas tarif metro jangka pendek historis di London (-0.19), yang mengkonfirmasi validitas dan konsistensi model GJT ini dengan penelitian sebelumnya.1
Jika otoritas transportasi publik menerapkan temuan ini—khususnya kesadaran bahwa waktu di luar kendaraan dinilai dua kali lebih penting dan adanya fenomena asimetri permintaan—mereka dapat memprioritaskan investasi secara lebih cerdas. Prioritas harus diberikan pada perbaikan frekuensi, mengurangi waktu tunggu, dan meminimalkan transfer untuk mengurangi GJT, daripada hanya berfokus pada peningkatan kecepatan maksimum kendaraan.
Terkait dengan fenomena asimetri, implikasinya adalah bahwa membalikkan degradasi layanan yang pernah diterapkan mungkin tidak akan menghasilkan pemulihan permintaan yang penuh dan simetris, atau akan memakan waktu yang jauh lebih lama.
Sebagai pernyataan dampak nyata, jika temuan akurat mengenai sensitivitas GJT—terutama dalam mengantisipasi kerugian cepat akibat degradasi layanan—diterapkan dalam tinjauan proyek dan perencanaan operasional di kota-kota besar, penggunaan elastisitas GJT yang terbaru ini bisa mengurangi kesalahan perkiraan permintaan dan mengoptimalkan alokasi sumber daya. Dampak ini berpotensi meningkatkan pendapatan atau mengurangi kebutuhan subsidi operasional sebesar 8–12% dalam waktu lima tahun, tergantung pada skala dan jenis intervensi yang dilaksanakan oleh operator.
Intinya, studi ini menegaskan bahwa kenyamanan dan keandalan adalah mata uang utama dalam menarik dan mempertahankan penumpang. Pelajaran dari London jelas: jangan pernah meremehi ketidaksabaran penumpang. Mereka akan berpaling lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan untuk meyakinkan mereka agar kembali.
Sumber Artikel:
Wong, H., & Yap, M. (2023). A data driven approach to update public transport service elasticities. Journal of Public Transportation, 25(2), 100066.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 Oktober 2025
Prolog: Ketika Janji Layanan Minimum Jalan Tol Tergerus Realitas Lapangan
Jaringan jalan tol di Indonesia merupakan salah satu fasilitas transportasi paling strategis dan vital bagi perekonomian nasional. Infrastruktur ini, yang dirancang untuk menjamin kecepatan, kenyamanan, dan keselamatan pengguna, memerlukan sistem manajemen dan pemeliharaan yang komprehensif agar kualitas layanannya terus terjaga.1 Setiap perkerasan jalan, seiring waktu dan volume lalu lintas yang dilaluinya, pasti akan mengalami penurunan kualitas, baik secara fungsional maupun struktural. Untuk mengatasi degradasi ini, pemeliharaan harus direncanakan dengan matang, didanai dengan cukup, dan jenisnya dipilih secara tepat.1
Di Indonesia, tanggung jawab pemeliharaan ini diemban oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sebagai pemegang konsesi. Berdasarkan model investasi konvensional, BUJT memiliki otoritas penuh atas pelaksanaan pemeliharaan di lokasi konsesinya, dan mereka wajib menggunakan pendapatan tol untuk menjaga jalan tol sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM).1 SPM yang ditetapkan pemerintah (melalui regulasi seperti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16 Tahun 2014) merupakan standar esensial yang menjamin delapan substansi layanan, termasuk kondisi jalan, kecepatan tempuh, dan, yang terpenting, keselamatan pengguna.1
Namun, di balik janji layanan yang optimal, sebuah studi mendalam menyingkap adanya kesenjangan fundamental antara upaya rutin yang dilakukan BUJT dan kepatuhan mereka terhadap standar diagnosis teknis yang vital. Penelitian ini, yang melibatkan survei terhadap staf pemeliharaan dari 10 BUJT di Indonesia, bertujuan menganalisis efektivitas program pemeliharaan yang mereka jalankan terhadap pemenuhan SPM.1 Hasilnya menunjukkan sebuah kontradiksi yang mengkhawatirkan: otonomi yang dimiliki setiap BUJT dalam menentukan kebijakan pemeliharaan mereka sendiri telah menghasilkan perbedaan program manajemen kerusakan yang kolektifnya mengarah pada ketidakcukupan dalam pengawasan standar.1 Studi ini menyimpulkan bahwa fokus yang salah dalam strategi pemeliharaan kini secara langsung berkorelasi dengan frekuensi kerusakan jalan yang membahayakan publik.
Rajin 'Menyapu', Malas 'Mendiagnosis': Kontradiksi Praktik Pemeliharaan Operator
Salah satu temuan paling ironis dalam penelitian ini adalah kontras tajam antara dedikasi BUJT dalam pekerjaan pemeliharaan harian yang terlihat, dengan kelalaian mereka dalam tugas diagnostik sistematis yang memerlukan peralatan canggih.
Dinding Pertahanan Rutin dan Efek Kosmetik
Data survei menunjukkan bahwa BUJT secara kolektif sangat rajin dalam melaksanakan upaya-upaya rutin sepanjang tahun untuk menjaga kondisi jalan. Aktivitas "Melakukan upaya rutin sepanjang tahun untuk menjaga kondisi jalan" menempati peringkat tertinggi di antara item pemeliharaan yang disurvei, mencatatkan skor rata-rata (Mean) yang dominan sebesar 3.5000.1 Angka ini mencerminkan komitmen tinggi BUJT terhadap pemeliharaan fungsional yang cepat dan terlihat oleh mata.
Selain itu, pekerjaan seperti pemeliharaan estetika dan kebersihan fungsional juga menunjukkan skor yang tinggi. Misalnya, aktivitas "Memotong rumput, memangkas pohon, dan mengendalikan air di ruang milik jalan" mencatat Mean 3.4667, diikuti oleh "Menambal perkerasan dan bahu jalan, atau melakukan perbaikan minor elemen struktural lainnya" dengan Mean 3.4333.1 Tingginya skor ini mengindikasikan bahwa para operator cenderung memprioritaskan corrective maintenance (perbaikan korektif) yang sederhana, reaktif, dan menjaga agar tampilan serta fungsi dasar jalan tetap bersih dan bebas dari obstruksi minor. Perhatian besar diberikan pada aspek-aspek yang dapat meningkatkan kenyamanan pengguna harian.
Defisit Diagnosis: Ketika Pencegahan Ditinggalkan
Meskipun terlihat rajin dalam pekerjaan rutin, di sisi lain, BUJT menunjukkan kelemahan yang signifikan dalam menjalankan praktik survei kondisi jalan yang lebih rigor. Penelitian menyimpulkan secara eksplisit bahwa mayoritas BUJT memiliki ketidakcukupan dalam melakukan survei kondisi menggunakan peralatan sesuai standar.1
Item survei yang paling rendah pelaksanaannya adalah "Melakukan penilaian visual dengan berjalan kaki," yang hanya mencatat Mean 3.0333.1 Temuan ini sangat penting karena menunjukkan bahwa bahkan metode paling dasar untuk pemantauan kondisi—inspeksi lapangan secara mendalam—telah diabaikan. Namun, masalah yang lebih besar adalah kegagalan untuk mengadopsi alat pengukuran canggih.
Situasi ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "ilusi kinerja." BUJT terlihat sibuk memperbaiki kerusakan yang sudah tampak—menambal lubang, memotong rumput—tetapi mereka gagal untuk mendiagnosis penyebab struktural di balik kerusakan tersebut. Prinsip manajemen aset jalan raya menyarankan prioritas yang lebih tinggi harus diberikan pada preventive maintenance (pemeliharaan pencegahan) daripada perbaikan korektif.1 Ketika BUJT hanya berfokus pada respons reaktif tanpa diagnosis preventif yang akurat, mereka secara fundamental mengelola krisis, bukan aset. Hal ini bukan hanya inefisien secara ekonomi, karena perbaikan besar yang mendadak lebih mahal, tetapi juga mempercepat penurunan kualitas jalan.
Ironi Survei Kondisi: Mengapa Operator Enggan Menggunakan 'USG' Jalan?
Inti dari kegagalan strategis ini terletak pada keengganan operator untuk menggunakan alat survei berstandar internasional yang dirancang untuk mengukur integritas struktural perkerasan.
Pavement Condition Index (PCI) sebagai Kunci yang Terabaikan
Untuk menentukan strategi pemeliharaan yang paling efektif, BUJT diwajibkan melakukan evaluasi kondisi jalan secara komprehensif, mencakup kekasaran (roughness), ketahanan selip (skid resistance), kapasitas struktural, dan tingkat kerusakan.1 Indikator paling krusial dalam penilaian ini adalah Pavement Condition Index (PCI).
PCI adalah metode yang paling komprehensif untuk mengukur kinerja fungsional jalan tol.1 PCI memberikan nilai numerik dari 0 hingga 100 yang menunjukkan kondisi umum perkerasan berdasarkan jenis kerusakan, tingkat keparahan, dan densitasnya.1 Dengan kata lain, PCI berfungsi sebagai "ultrasonografi" (USG) bagi jalan, memberikan gambaran mendalam tentang kesehatan struktural internal jalan, dan menjadi basis utama untuk sistem manajemen perkerasan (Pavement Management System/PMS).
Hasil penelitian menunjukkan kesenjangan dramatis dalam penggunaan alat diagnosis ini:
Perbedaan ini sangat signifikan. Menggunakan IRI dan SKID ibarat hanya mengukur suhu dan tekanan darah pasien—mereka memberikan indikasi sekilas tentang kenyamanan dan fungsi permukaan. Namun, dengan mengabaikan PCI, operator jalan tol menolak melakukan pemeriksaan struktural yang mendalam. Penemuan ini secara tegas membuktikan bahwa BUJT tidak melakukan penilaian kondisi jalan secara komprehensif, melainkan hanya berfokus pada penilaian jenis kerusakan individual.1
Implikasi Manajemen Sistematis
Kegagalan untuk mengadopsi dan memprioritaskan PCI merupakan sebuah kegagalan manajemen sistematis. Tanpa data PCI yang akurat, BUJT tidak dapat merencanakan program pemeliharaan yang optimal. Perencanaan pemeliharaan menjadi didasarkan pada perkiraan atau, lebih buruk, respons terhadap krisis yang sudah terlihat, alih-alih strategi yang didukung data.1
Karena PCI sangat penting untuk memprediksi perilaku kerusakan perkerasan sepanjang umur layanannya, ketidakcukupan dalam pelaksanaannya akan memperburuk akurasi model kerusakan jalan yang digunakan oleh BUJT. Hal ini pada gilirannya menyebabkan pemeliharaan yang tidak tepat waktu, inefisiensi anggaran, dan yang paling berbahaya, percepatan kemunculan kerusakan struktural yang berisiko tinggi terhadap keselamatan pengguna.
Ancaman Senyap di Kecepatan Tinggi: Lubang, Retak, dan Pagar Pembatas
Konsekuensi langsung dari strategi pemeliharaan yang reaktif dan kurangnya diagnosis struktural ini terlihat jelas dalam jenis kerusakan yang paling sering terjadi di jalan tol, yang juga paling sering mendapat temuan audit yang buruk dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).
Kerusakan Utama: Lubang dan Kehilangan Batas Pelindung
Data frekuensi kerusakan jalan yang dikumpulkan dalam penelitian ini menunjukkan korelasi kuat dengan hasil audit BPJT yang berbentuk Adverse Opinion (pendapat buruk), yang mengindikasikan ketidakpatuhan terhadap SPM.1
Jenis kerusakan yang paling sering ditemukan dan paling sering menerima Adverse Opinion adalah Potholes (lubang). Potholes mencatat Mean Frekuensi tertinggi sebesar 2.100 dan Mean Frekuensi Adverse Opinion sebesar 2.200.1
Diikuti ketat di posisi kedua adalah Kerusakan Pagar Pembatas (Guardrail Damage), yang mencatatkan Mean Frekuensi 2.1667, dan juga menerima Adverse Opinion yang tinggi sebesar 2.2000.1
Kerusakan struktural lain seperti Cracking (retak) juga memiliki frekuensi tinggi (Mean 2.2333).1 Di sisi lain, kerusakan yang paling jarang terjadi di jalan tol adalah Drainage cross section (Mean 2.533) dan Rutting (alur, Mean 2.400).1
Prioritas Keselamatan Publik yang Terancam
Fakta bahwa pothole dan guardrail damage mendominasi daftar kerusakan paling sering dan paling sering disanksi adalah indikasi risiko keselamatan yang sangat akut. Pothole di jalan tol, yang dilalui kendaraan dengan kecepatan tinggi, dapat menyebabkan pecah ban, hilangnya kendali, hingga kecelakaan fatal. Sementara itu, kerusakan pagar pembatas (guardrail) menunjukkan hilangnya fungsi pelindung vital—elemen yang seharusnya menahan kendaraan agar tidak keluar jalur—yang bisa diakibatkan oleh kecelakaan sebelumnya atau kelalaian pemeliharaan berat.
Temuan ini secara jelas menunjukkan bahwa kegagalan pemeliharaan BUJT bukanlah sekadar isu ketidaknyamanan minor. Ini adalah isu keselamatan publik yang mendesak. Ketika jenis kerusakan yang paling berbahaya (pothole dan hilangnya pagar pembatas) menjadi penyakit paling sering di jalan tol, ini menunjukkan bahwa BUJT belum berhasil mengelola risiko-risiko yang paling kritis. Data ini berfungsi sebagai sinyal bahaya yang tidak dapat diabaikan oleh regulator, menuntut perubahan fokus dari aktivitas rutin menuju mitigasi risiko struktural.
Krisis Akuntabilitas: Gagal Menepati Janji Perbaikan 2x24 Jam
Kegagalan diagnosis preventif yang sistematis diperparah oleh kegagalan responsif, di mana BUJT seringkali tidak mampu memenuhi batas waktu perbaikan yang dijamin dalam SPM.
Berdasarkan regulasi SPM, kerusakan perkerasan seperti pothole, rutting, dan cracking harus diselesaikan dalam waktu maksimal yang sangat ketat, yaitu 2x24 jam.1 Batas waktu ini adalah janji akuntabilitas langsung kepada pengguna jalan. BPJT melakukan audit setiap enam bulan, dan tim BPJT melakukan evaluasi kepatuhan setiap bulan, dan setiap temuan Adverse Opinion menuntut BUJT untuk segera memperbaiki kerusakan.1
Namun, kepatuhan terhadap batas waktu ini masih menjadi tantangan besar. Meskipun telah mendapatkan temuan audit yang buruk, BUJT sering tidak dapat menepati janji perbaikan tersebut. Tingkat non-kepatuhan mencapai puncaknya pada kerusakan struktural yang membutuhkan penanganan lebih mendalam:
Angka non-kepatuhan sebesar 40% untuk kerusakan struktural (rutting dan cracking) menjadi bukti nyata bahwa strategi reaktif yang diterapkan BUJT secara inheren tidak kompatibel dengan tuntutan ketat SPM. Kerusakan struktural yang parah membutuhkan perencanaan sumber daya, alokasi anggaran, dan waktu pengerjaan yang lebih lama daripada menambal lubang kecil.
Ketika BUJT lalai melakukan diagnosis preventif (ditunjukkan oleh rendahnya Mean PCI), mereka dipaksa untuk melakukan perbaikan struktural besar secara mendadak, biasanya setelah kerusakan sudah terlihat parah di lapangan atau setelah audit BPJT. Respons reaktif dan terburu-buru ini hampir pasti akan melanggar batas waktu 2x24 jam yang diamanatkan, membuktikan adanya krisis akuntabilitas yang mendasar terhadap janji layanan yang diberikan kepada publik dan regulator.
Implikasi Kebijakan, Kritik Realistis, dan Jalan Keluar
Temuan dari studi ini—bahwa BUJT cenderung berfokus pada upaya rutin tetapi gagal dalam diagnosis teknis mendalam—mengharuskan adanya intervensi kebijakan yang tegas untuk menutup kesenjangan antara otonomi operator dan standar keselamatan publik.
Kritik Realistis terhadap Model Konsesi
Meskipun model investasi jalan tol memberikan otonomi kepada BUJT untuk menentukan kebijakan pemeliharaan mereka sendiri, data lapangan membuktikan bahwa kebebasan ini telah menghasilkan hasil yang tidak seragam dan, secara kolektif, kurang optimal dalam menjamin SPM.1 Keterbatasan studi ini—yang hanya melibatkan 10 BUJT—sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa kegagalan untuk menyamakan standar diagnosis teknis di semua BUJT memperkecil dampak perbaikan secara keseluruhan dan mempertahankan risiko yang tidak perlu di jaringan jalan tol nasional.
Kritik realistisnya adalah bahwa regulator, BPJT, tidak bisa lagi hanya berfokus pada audit hasil (yaitu, mendeteksi kerusakan yang sudah terjadi), tetapi harus mulai mengaudit kepatuhan terhadap metode pemeliharaan, khususnya metode preventif yang krusial.
Mewajibkan Standardisasi Diagnosis Preventif
Kunci utama untuk membalikkan tren pemeliharaan reaktif ini adalah mewajibkan penggunaan Pavement Condition Index (PCI) dan alat diagnosis canggih lainnya secara konsisten dan terstandarisasi di seluruh Indonesia.1 Dengan menjadikan PCI sebagai indikator utama kinerja jalan tol, BUJT akan dipaksa untuk mengalihkan fokus mereka dari penambalan (korektif) menjadi perencanaan strategis (preventif).1
Jika BUJT melakukan survei penilaian kondisi jalan secara teratur dengan alat standar, mereka dapat memprogram pemeliharaan yang paling efektif untuk mencegah defek jalan yang berpotensi menghasilkan Adverse Opinion BPJT.1 Dengan meminimalkan jumlah defek parah yang terjadi, beban kerja untuk perbaikan mendadak akan berkurang, sehingga memudahkan BUJT untuk mematuhi tenggat waktu perbaikan SPM yang sangat ketat.
Reformasi Pengawasan BPJT
BPJT harus memperkuat peran pengawasannya dengan mengubah orientasi audit. Selain memverifikasi kepatuhan terhadap perbaikan setelah kerusakan ditemukan, BPJT harus meninjau apakah BUJT telah menggunakan alat diagnosis preventif secara memadai—seperti PCI, Mu-meter (untuk skid resistance), dan NAASRA-meter (untuk roughness).1 Pengawasan yang lebih ketat juga harus difokuskan pada pemenuhan waktu perbaikan untuk kerusakan struktural. Tingkat non-kepatuhan 40% pada rutting dan cracking adalah masalah akuntabilitas mendasar yang memerlukan sanksi progresif dan mekanisme pengawasan yang lebih efektif.
Dampak Nyata: Menuju Jalan Tol Bebas Risiko dalam Lima Tahun
Keseluruhan temuan penelitian ini menegaskan bahwa kerusakan jalan di jaringan tol Indonesia sangat erat kaitannya dengan manajemen operasional dan pemeliharaan yang dilakukan oleh operator.1 Perbaikan hanya dapat dicapai melalui standardisasi yang ketat dalam survei penilaian kondisi jalan secara teratur, yang merupakan prasyarat mutlak untuk memprogram pemeliharaan yang paling efektif.1
Jika pemerintah, melalui BPJT dan Kementerian PUPR, mengambil langkah tegas untuk mewajibkan standardisasi metode diagnosis preventif (terutama penggunaan PCI) di semua BUJT, temuan ini memproyeksikan dampak nyata yang substansial. Dengan perencanaan berbasis data yang optimal, akan terjadi pengurangan frekuensi kerusakan jalan berbahaya seperti pothole dan guardrail damage. Diperkirakan pengurangan frekuensi kerusakan kunci ini dapat mencapai setidaknya 25% dalam dua tahun pertama.
Pengurangan ini akan membawa manfaat ganda: pertama, akan memotong biaya operasional BUJT dalam jangka panjang karena biaya perbaikan korektif yang mahal dan mendadak dapat diminimalisir. Kedua, dan yang paling penting, penerapan strategi pemeliharaan yang efektif ini akan mengurangi risiko kecelakaan fatal bagi pengguna jalan tol secara signifikan, menjamin keselamatan dan kenyamanan pengguna dalam waktu lima tahun.
Sumber Artikel:
Suwarto, F., Kurnianto, Y. F., Setiabudi, B., & Sholeh, M. N. (2021). Toll road maintenance towards minimum service standard. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 700(1), 012058. doi:10.1088/1755-1315/700/1/012058
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 21 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian Safety in Construction Management (tahun recent) menegaskan bahwa penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di proyek konstruksi masih menghadapi kendala besar — terutama pada aspek manajerial, budaya keselamatan, pelatihan, dan pengawasan lapangan. Meskipun studi tersebut dilakukan dalam konteks global, temuan-temuannya sangat relevan bagi Indonesia yang tengah menjalankan banyak proyek gedung, tol, dan infrastruktur publik dengan skala besar.
Dari riset lokal yang dibahas di Diklatkerja dalam artikel seperti “Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan” ditemukan bahwa masih terdapat jurang antara regulasi dan praktik lapangan—pelatihan sering dianggap formalitas, pengawasan melemah, dan pekerja merasa kurang dilibatkan.
Lebih lanjut, dalam artikel “Membangun Budaya Keselamatan Konstruksi Berbasis Teknologi dan Perilaku: Strategi Menuju Zero Accident di Indonesia” disebutkan bahwa teknologi dan perilaku kerja harus disinergikan untuk meningkatkan efektivitas K3 di proyek konstruksi.
Temuan ini penting karena menggambarkan bahwa kebijakan K3 tidak cukup hanya menetapkan regulasi — seperti kewajiban SMK3/SMKK, penyediaan APD atau instruksi kerja — tetapi harus memastikan bahwa implementasi di lapangan berjalan nyata: pelatihan dilakukan, supervisi aktif, pekerja dan manajemen saling berkomunikasi, dan budaya keselamatan terinternalisasi. Kebijakan publik yang efektif harus memperkuat seluruh rantai — dari regulasi, pelatihan, pengawasan, hingga budaya.
Bagi pembuat kebijakan nasional dan daerah, riset ini menjadi sinyal penting: sektor konstruksi yang menyerap tenaga kerja besar dan menangani infrastruktur publik harus dijadikan prioritas dalam reformasi K3. Temuan tersebut mendorong agar regulasi seperti Permen PUPR No. 21/2019 dan standar SMKK diperkuat dengan audit independen, pelatihan berkala, dan pengukuran metrik-hasil, bukan hanya paparan prosedur di atas kertas.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak positif:
Proyek konstruksi yang melakukan pelatihan K3 secara terstruktur, pembekalan manajemen risiko, dan supervisi rutin menunjukkan penurunan insiden kerja hingga sekitar 20–30%.
Keberadaan budaya keselamatan membuat pekerja lebih aktif mengidentifikasi bahaya, berpartisipasi dalam toolbox meeting, dan menggunakan APD secara konsisten.
Efisiensi proyek meningkat: keterlambatan dapat dikurangi karena gangguan akibat kecelakaan kerja menurun.
Hambatan utama:
Pelatihan K3 masih sering dianggap sebagai kewajiban administratif dalam tender, bukan sebagai investasi jangka panjang dalam budaya kerja.
Banyak kontraktor menengah atau lokal belum memiliki unit K3 atau instruktur bersertifikat, terutama di wilayah non-Jabodetabek.
Pengawasan berkala dan audit implementasi kurang; terdapat gap antara dokumen formal dan kenyataan lapangan.
Budaya kerja masih sangat produktivitas-oriented: target fisik dan waktu sering mengalahkan aspek keselamatan.
Peluang:
Pemanfaatan teknologi digital untuk pelaporan dan monitoring K3: misalnya sistem e-K3 atau aplikasi pelaporan insiden, yang sudah dirujuk dalam artikel “10 Aturan Keselamatan di Lokasi Konstruksi” sebagai bagian dari standar harian di lokasi kerja.
Kolaborasi antara pemerintah daerah, universitas teknik, dan lembaga pelatihan seperti Diklatkerja untuk membentuk pusat pelatihan regional atau modul adaptif digital.
Integrasi modul K3 dalam kurikulum vokasi dan politeknik teknik sipil/kontruksi untuk memastikan generasi baru pekerja memahami keselamatan sejak awal kerja.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Audit Independen SMK3/SMKK untuk Semua Proyek Publik
Setiap proyek infrastruktur besar (gedung pemerintah, tol, jembatan) wajib menjalani audit eksternal K3 minimal dua kali per tahun, dengan laporan terbuka.
Sertifikasi dan Pelatihan K3 Wajib bagi Mandor dan Pekerja Lapangan
Mandor wajib memiliki Sertifikat Ahli K3 Konstruksi, dan pekerja baru wajib mendapat pelatihan K3 minimal 8 jam sebelum mulai pekerjaan.
Subsidi dan Dukungan Pelatihan K3 untuk Kontraktor Kecil
Pemerintah memberikan voucher pelatihan atau subsidi biaya pelatihan K3 bagi kontraktor skala kecil agar kesenjangan kompetensi di lapangan dapat diatasi.
Digitalisasi Sistem Pelaporan & Monitoring K3 Terpadu
Buat platform nasional yang memungkinkan pelaporan kecelakaan dan “nyaris kecelakaan” (near miss) secara real-time, yang terhubung ke BPJS Ketenagakerjaan dan kementerian terkait.
Insentif dan Penghargaan Proyek dengan Rekam Jejak Zero Accident
Proyek yang berhasil mencapai zero kecelakaan kerja selama satu tahun atau lebih mendapat penghargaan nasional dan pengurangan biaya jaminan pelaksanaan.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan K3 meskipun kelihatannya kuat, berisiko gagal jika hanya berfokus pada kepatuhan administratif (compliance) tanpa memperhatikan komitmen budaya (commitment). Banyak perusahaan hanya mengejar dokumen SMKK/SMK3 atau sertifikat pelatihan agar memenuhi tender, tetapi pelaksanaan di lapangan tetap lemah.
Tanpa sistem monitoring yang transparan dan audit independen yang mengukur hasil nyata—seperti penurunan insiden, absensi, dan produktivitas maka kebijakan tetap akan stagnan. Artikel “Tinjauan Kritis dan Arah Riset Manajemen Keselamatan di Sektor Konstruksi” menunjukkan bahwa elemen seperti pelatihan reguler, manajemen anggaran untuk keselamatan, dan keterlibatan pekerja adalah faktor utama yang sering diabaikan.
Kebijakan bisa gagal bila tidak mempertimbangkan kondisi lokal seperti tenaga kerja informal, diversitas bahasa, dan akses pelatihan di daerah terpencil. Tanpa adaptasi terhadap kondisi real lapangan, regulasi akan sulit diterapkan secara efektif.
Penutup
Kajian ini memperkuat pentingnya manajemen K3 yang terintegrasi secara menyeluruh di setiap proyek konstruksi Indonesia — dari regulasi, pelatihan, pengawasan, hingga budaya keselamatan. Dengan pendekatan training-based prevention, digital monitoring, dan kolaborasi lintas-sektor antara pemerintah, industri, dan lembaga pelatihan seperti Diklatkerja, Indonesia dapat membangun ekosistem konstruksi yang aman, produktif, dan berdaya saing global.
Sumber
Safety in Construction Management. (2022). Thesis.