Kebijakan Publik

Optimalisasi Pengelolaan Sampah Padat Perkotaan: Temuan Penting, Hambatan Lapangan, dan Implikasi Kebijakan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 21 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian tesis Aberham Tayachew (2013) mengungkap kondisi nyata pengelolaan sampah padat di kota Debre Markos, Ethiopia—yang mencerminkan tantangan umum kota-kota berkembang, termasuk di Indonesia. Studi ini menemukan bahwa sistem pengelolaan sampah perkotaan menghadapi permasalahan serius seperti:

  • kurangnya fasilitas pengumpulan,

  • metode pembuangan yang tidak aman,

  • minimnya partisipasi masyarakat,

  • lemahnya regulasi dan pengawasan pemerintah,

  • rendahnya kapasitas teknis dan finansial daerah.

Temuan ini sangat penting bagi kebijakan karena menunjukkan bahwa pengelolaan sampah bukan hanya masalah teknis, tetapi isu kesehatan publik, lingkungan, dan tata kelola kota. Mengabaikan aspek ini dapat menimbulkan risiko besar seperti penyebaran penyakit, pencemaran tanah dan air, serta penurunan kualitas hidup masyarakat.

Dalam konteks kebijakan perkotaan, penelitian ini menegaskan perlunya transformasi sistemik: mulai dari perencanaan kota, edukasi masyarakat, hingga perbaikan infrastruktur dan pendanaan jangka panjang.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak Pengelolaan Sampah yang Tidak Optimal Penelitian mencatat beberapa dampak nyata:

  • Pencemaran lingkungan akibat pembuangan sampah di lahan terbuka (open dumping).

  • Penyebaran penyakit seperti diare, infeksi kulit, dan penyakit pernapasan.

  • Sistem drainase tersumbat, menyebabkan banjir musiman.

  • Kualitas hidup warga menurun, terutama di wilayah padat penduduk.

  • Meningkatnya biaya kesehatan masyarakat sebagai konsekuensi dari sanitasi buruk.

Studi ini memperlihatkan urgensi intervensi kebijakan secara sistemik.

Hambatan Implementasi Menurut tesis tersebut, hambatan terbesar meliputi:

  • Kurangnya fasilitas pengangkutan dan pengumpulan sampah (Kendaraan tidak memadai, jadwal tidak jelas, dan rute tidak efisien).

  • Minimnya pendanaan untuk pengelolaan sampah (Pemerintah lokal banyak bergantung pada anggaran kecil yang tidak stabil).

  • Keterbatasan tenaga ahli dan kapasitas teknis.

  • Sistem hukum dan regulasi tidak ditegakkan.

  • Kurangnya kesadaran masyarakat (Warga sering membakar atau membuang sampah sembarangan).

Peluang Implementasi Meskipun banyak hambatan, penelitian menunjukkan peluang signifikan:

  • Partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan melalui edukasi dan sistem insentif.

  • Pemilahan sampah di sumber untuk mendukung daur ulang dan pengurangan volume sampah.

  • Kemitraan pemerintah–swasta (PPP) untuk pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA).

  • Program ekonomi sirkular seperti komposting dan daur ulang plastik.

  • Pendekatan berbasis teknologi untuk tracking sampah dan rute pengangkutan.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Membangun Sistem Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah yang Modern Perlu investasi pada kendaraan, rute cerdas, dan penjadwalan berbasis data.

  2. Mewajibkan Pemilahan Sampah di Sumber (Rumah Tangga, Pasar, Perkantoran) Kebijakan ini mendukung daur ulang dan mengurangi beban TPA. Business with Social Impact.

  3. Meningkatkan Anggaran dan Pembiayaan Berkelanjutan Skema tarif layanan kebersihan progresif atau retribusi berbasis volume dapat dipertimbangkan.

  4. Penegakan Hukum Lingkungan Sanksi tegas diperlukan untuk memperbaiki perilaku masyarakat dan bisnis.

  5. Pemberdayaan Masyarakat dan Edukasi Publik Melibatkan komunitas lokal, sekolah, dan tokoh masyarakat dalam program kebersihan. Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan pengelolaan sampah dapat gagal apabila:

  • Pemerintah terlalu fokus pada infrastruktur fisik tanpa edukasi perilaku.

  • Tidak ada pendanaan jangka panjang, sehingga inisiatif berhenti di tengah jalan.

  • Regulasi hanya formalitas tanpa pengawasan lapangan.

  • Pemangku kepentingan (masyarakat, industri, pemerintah) tidak disinergikan.

  • Infrastruktur TPA tidak dikelola sesuai standar kesehatan & lingkungan.

Jika kegagalan ini terjadi, kota akan terus mengalami siklus pencemaran dan masalah kesehatan tanpa penyelesaian sistematis.

Penutup

Penelitian Aberham Tayachew (2013) memberikan gambaran komprehensif tentang tantangan pengelolaan sampah padat di kota berkembang. Temuan ini sangat relevan bagi Indonesia, di mana urbanisasi cepat menciptakan tekanan besar terhadap sistem sanitasi dan pengelolaan sampah.

Dengan kebijakan yang berfokus pada tata kelola, edukasi masyarakat, infrastruktur modern, dan pembiayaan berkelanjutan, kota-kota dapat mengubah pengelolaan sampah dari masalah kronis menjadi sistem yang sehat, efisien, dan berkelanjutan.

Sumber

Tayachew, A. (2013).

Assessment of Solid Waste Management Practices and Challenges in Debre Markos Town, Ethiopia

Selengkapnya
Optimalisasi Pengelolaan Sampah Padat Perkotaan: Temuan Penting, Hambatan Lapangan, dan Implikasi Kebijakan

Kebijakan Publik

Dampak Sosial-Ekonomi Infrastruktur Jalan: Pelajaran dari Penelitian Transportasi Modern

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 20 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian dalam dokumen ini menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur jalan tidak hanya berfungsi sebagai sarana transportasi, tetapi juga sebagai penggerak pembangunan sosial ekonomi jangka panjang. Jalan yang memadai meningkatkan konektivitas antara wilayah pedesaan dan perkotaan, memperluas akses terhadap pasar, pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya.

Temuan ini penting bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang masih menghadapi ketimpangan wilayah dan tingginya biaya logistik. Infrastruktur jalan dapat memicu pertumbuhan ekonomi lokal, membuka lapangan kerja, dan memperkuat integrasi sosial. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan jalan harus mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi secara menyeluruh, bukan hanya sisi teknis konstruksinya.

Pelatihan seperti Kursus Evaluasi Dampak Sosial dan Ekonomi Infrastruktur Publik di Diklatkerja dapat membantu pemerintah merancang kebijakan berbasis bukti yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Big Data Analytics: Data Visualization and Data Science.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak Positif Penelitian menunjukkan berbagai dampak nyata pembangunan jalan:

  • Peningkatan mobilitas masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan, pelajar, dan lansia.

  • Pertumbuhan ekonomi lokal, karena biaya distribusi menurun dan akses pasar meningkat.

  • Munculnya aktivitas ekonomi baru, termasuk UKM di sepanjang jalur transportasi.

  • Peningkatan akses layanan dasar, yang memperbaiki kualitas hidup masyarakat pedesaan.

Hambatan Utama Meskipun dampaknya besar, terdapat beberapa tantangan:

  • Keterbatasan dana pemeliharaan yang menyebabkan jalan cepat rusak.

  • Perencanaan tidak berbasis data, sehingga pembangunan tidak selalu sesuai prioritas.

  • Kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.

  • Kesenjangan infrastruktur antarwilayah, terutama antara pusat kota dan daerah terpencil.

Peluang Implementasi Namun peluang yang dapat dioptimalkan sangat besar:

  • Integrasi pembangunan jalan dengan kawasan ekonomi dan pusat produksi lokal.

  • Pemanfaatan teknologi GIS dan remote sensing untuk monitoring kondisi jalan.

  • Peningkatan kemitraan pemerintah–swasta (PPP) untuk pendanaan jangka panjang.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Prioritaskan Pembangunan Jalan Pada Wilayah Berdaya Ungkit Tinggi Fokus pada jalur yang menghubungkan sentra produksi, pasar, dan kawasan ekonomi strategis.

  2. Wajibkan Analisis Sosial-Ekonomi Sebelum dan Sesudah Pembangunan Evaluasi berbasis data penting untuk mengukur manfaat riil bagi masyarakat.

  3. Perkuat Pendanaan Pemeliharaan Jalan Sediakan skema pendanaan khusus serta libatkan masyarakat lokal dalam perawatan rutin.

  4. Gunakan Teknologi Monitoring Infrastruktur Pemanfaatan drone, GIS, dan sistem dashboard dapat meningkatkan akurasi pengawasan.

  5. Tingkatkan Partisipasi Masyarakat Libatkan warga dalam perencanaan, konsultasi publik, dan evaluasi proyek untuk meningkatkan transparansi dan keberlanjutan. Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan pembangunan jalan berisiko gagal jika hanya berorientasi pada pembangunan fisik tanpa memperhatikan aspek sosial dan keberlanjutan. Risiko utama meliputi:

  • Jalan dibangun tetapi tidak dimanfaatkan optimal karena kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat.

  • Infrastruktur cepat rusak karena minim pemeliharaan.

  • Dampak sosial negatif seperti gentrifikasi dan ketimpangan akses.

  • Kegagalan koordinasi antarinstansi sehingga kebijakan tidak terintegrasi.

Tanpa evaluasi yang kuat dan pendekatan partisipatif, infrastruktur dapat menjadi beban anggaran jangka panjang.

Penutup

Pembangunan jalan merupakan fondasi penting bagi transformasi ekonomi dan sosial. Penelitian dalam dokumen ini menegaskan bahwa jalan yang direncanakan secara strategis dan dikelola secara berkelanjutan mampu mengurangi kemiskinan, memperkuat keterhubungan wilayah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Indonesia dapat memaksimalkan manfaat pembangunan jalan melalui kebijakan berbasis bukti, tata kelola yang transparan, serta peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan teknis dan manajerial.

Sumber

Transport Infrastructure and Social-Economic Development

Selengkapnya
Dampak Sosial-Ekonomi Infrastruktur Jalan: Pelajaran dari Penelitian Transportasi Modern

Kebijakan Publik

Tinjauan Komprehensif Adaptabilitas Kebijakan Kawasan Perumahan terhadap Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia: Evaluasi Regulasi Kerangka Tata Kelola Pusat dan Daerah (Studi Kasus: Kota Tangerang Selatan)

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Executive Summary: Imperatif Tata Kelola Adaptif

Regulasi merupakan instrumen fundamental dalam menciptakan tata kelola yang baik, termasuk dalam konteks pengaturan kawasan perumahan demi mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.1 Namun, hasil kajian mendalam menunjukkan bahwa kerangka regulasi kawasan perumahan di Indonesia—baik di tingkat pusat maupun daerah—secara sistematis gagal untuk mengadaptasi isu keberlanjutan secara komprehensif. Kegagalan ini, yang dikategorikan sebagai regulasi maladaptif, didorong oleh inersia institusional dan kecenderungan kebijakan yang lebih memprioritaskan pembangunan fisik dan infrastruktur daripada dimensi sosial, ekonomi, dan tata kelola holistik yang diperlukan untuk ketahanan kota.1

Tesis sentral laporan ini menyatakan bahwa instrumen kebijakan formal, meskipun mengacu pada komitmen global seperti Agenda Urban Baru dan visi nasional Bappenas, mendefinisikan keberlanjutan secara sempit. Keberlanjutan dalam regulasi yang berlaku seringkali diartikan sebatas kontinuitas fisik atau kepatuhan infrastruktur (Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum/P-S-U), sehingga mengabaikan integrasi dan penegakan kriteria sosial, ekonomi, dan tata kelola yang bersifat lebih substantif.1 Hal ini menciptakan kebijakan yang hanya berfokus pada input fisik (berapa banyak rumah dibangun dan P-S-U diserahkan) alih-alih output keberlanjutan yang nyata (pengurangan segregasi, ketahanan lingkungan).

Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dijadikan studi kasus yang relevan untuk mengilustrasikan dampak empiris dari maladaptivitas regulasi ini. Sebagai wilayah penyangga (suburban) dengan pertumbuhan real estate yang sangat pesat, Tangsel menunjukkan konsekuensi mendalam dari kebijakan yang tidak adaptif: urbanisasi yang tidak terkendali (urban sprawl), segregasi spasial yang kian parah, dan peningkatan kerentanan terhadap bahaya lingkungan dan ketegangan sosial.1 Data menunjukkan konversi lahan pertanian yang signifikan dan masalah tumpang tindih kewenangan, yang mengakibatkan kegagalan integrasi sarana/prasarana yang optimal.2

Berdasarkan analisis ini, laporan merekomendasikan revisi segera terhadap regulasi primer dan turunannya. Reformasi harus bertujuan untuk memformalkan kerangka keberlanjutan empat pilar yang komprehensif, menggeser paradigma kebijakan dari kepatuhan input ke tata kelola berbasis hasil (outcomes-based governance), dan menerapkan mekanisme sertifikasi yang didorong secara empiris di tingkat lokal—sebuah standar yang disesuaikan dengan realitas Indonesia, seperti standar Komunitas Hijau (Green Community) yang adaptif.

 

Landasan Konseptual dan Kebijakan Kawasan Perumahan Berkelanjutan (KPB)

Pembangunan kawasan perumahan berkelanjutan (KPB) telah menjadi diskursus global yang berakar pada pengakuan bahwa perumahan bukan sekadar kebutuhan dasar, tetapi juga instrumen kebijakan publik yang memengaruhi pengembangan wilayah perkotaan dan berpotensi besar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan.1

Mandat Global dan Keterikatan Nasional

Pergeseran konseptual pembangunan berkelanjutan telah membawa isu ini dari fokus lingkungan makro ke lingkup regional (pedesaan dan perkotaan) dan bahkan lokal.1 Para ilmuwan menilai bahwa untuk mencapai keberlanjutan di tingkat makro, diperlukan konsep yang kuat di tingkat regional dan lokal.1 Hal ini memerlukan kepemimpinan yang kuat, kebijakan publik yang efektif, dan kehadiran elemen institusional yang solid (disebut regional milieu), meliputi modal sosial, loyalitas, dan organisasi pembelajaran.

Agenda Urban Baru (Habitat III, 2016)

Konsep mengenai pentingnya keberlanjutan kawasan perumahan selaras dengan Agenda Urban Baru (New Urban Agenda) yang dideklarasikan pada Konferensi Habitat III PBB tahun 2016.1 Agenda ini mengakui bahwa perumahan yang berkelanjutan dapat memaksimalkan efisiensi ekonomi, mendorong keragaman sosial, variasi penggunaan lahan (mixed land use), dan pada akhirnya mendorong keseimbangan lingkungan.1 Pengakuan ini menuntut adaptasi kebijakan di setiap negara untuk merespons perubahan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan politik, terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan/suburban.1

Visi Nasional Indonesia (Bappenas 2015)

Indonesia melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2015 telah mengadopsi agenda pembangunan perkotaan baru.1 Visi baru ini mencakup komitmen bahwa kota harus layak huni (livable), kompetitif, hijau lingkungan (environmentally green), berketahanan (resilience), dan mempromosikan identitas urban lokal (loksal).1

Visi tersebut didasarkan pada dua prinsip utama:

  1. Akses yang setara terhadap infrastruktur fisik dan sosial serta perumahan yang terjangkau.
  2. Keberlanjutan lingkungan melalui promosi energi bersih.1

Meskipun terdapat adopsi visi ini, isu keberlanjutan kawasan perumahan di Indonesia secara umum belum mendapatkan perhatian serius, terutama dari aspek kebijakannya.1

Definisi Empat Pilar KPB Komprehensif

Keberlanjutan pembangunan merupakan tantangan baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kebijakan yang mendukungnya.1 Keberlanjutan secara teoritis mencakup tiga masalah terkait: modal alam yang semakin kritis, sifat sumber daya alam yang tidak dapat diubah (irreversible), dan nilai sumber daya alam itu sendiri.1 Dalam konteks kawasan perumahan, konsensus akademik menetapkan empat dimensi yang tidak dapat dinegosiasikan:

  1. Dimensi Lingkungan: Perumahan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan, terutama melalui desain, pengelolaan sampah, dan penggunaan energi/sumber daya alam (kayu, listrik, dll.).1 Di tingkat regional, masalah ini mencakup isu perumahan, transportasi, dan lingkungan itu sendiri.1
  2. Dimensi Sosial: Pembangunan kawasan perumahan sering kali mengubah strategi mata pencaharian, menstimulasi ketegangan sosial, menekan modal sosial, meminggirkan kelompok minoritas, dan menciptakan segregasi perumahan serta eksklusivitas kelas.1
  3. Dimensi Ekonomi: KPB harus mampu memanfaatkan aglomerasi ekonomi sebagai mesin pertumbuhan sambil memitigasi ketidakseimbangan ekonomi dan pendapatan.1
  4. Dimensi Tata Kelola (Governance): Tata kelola berfungsi sebagai pondasi yang menopang ketiga dimensi lainnya.1 Tata kelola yang baik memastikan perencanaan dan pembangunan yang adil bagi semua, serta memprioritaskan urbanisasi inklusif.1

Tolok Ukur Internasional untuk Kebijakan Adaptif

Beberapa negara telah menerapkan kebijakan berbasis kriteria holistik yang melampaui standar fisik sederhana untuk memastikan KPB yang sesungguhnya.

Prinsip Australia

Di Australia, prinsip-prinsip untuk menilai keberlanjutan kawasan perumahan telah disusun, meliputi: (1) melindungi warisan, (2) memperkuat fitur budaya, (3) meningkatkan ruang publik, (4) memperluas ruang terbuka, (5) mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan, (6) menyediakan infrastruktur berkelanjutan, dan (7) memastikan perencanaan dan pembangunan yang adil bagi semua.1

Model Green Star Communities (GSC) Australia

Model Green Star Communities (GSC) Versi 2 yang dikembangkan oleh Green Building Council of Australia (GBCA) berfungsi sebagai tolok ukur penting untuk tata kelola berbasis hasil.4 GSC dirancang untuk pengembangan skala kawasan (precinct), lingkungan (neighbourhood), atau komunitas.4

GSC v2 menetapkan standar baru untuk menciptakan komunitas yang sehat, rendah karbon, dan bersemangat, dengan fokus pada solusi praktis di dunia nyata.4 GSC v2 terstruktur di sekitar delapan kategori holistik, dengan hasil yang diprioritaskan meliputi: Ruang publik dan fasilitas lokal, Transportasi berkelanjutan dan kemampuan jalan kaki (walkability), Pengelolaan air terintegrasi, serta Koneksi dan ketahanan komunitas.4

Model ini mengungkapkan celah kritis dalam regulasi Indonesia. GSC menekankan pada sertifikasi berdasarkan hasil yang telah diserahkan atau terbukti terjadi (delivered outcomes) dan bukan sekadar komitmen masa depan atau kepatuhan input.4 Selain itu, GSC v2 menggunakan ilmu iklim terbaru untuk memastikan kawasan dapat beradaptasi dan bertahan dalam dunia yang berubah, menunjukkan fokus pada ketahanan iklim, yang belum terintegrasi kuat dalam kerangka regulasi Indonesia saat ini.4

 

Analisis Maladaptivitas Regulasi Pemerintah Pusat (Kebijakan Tingkat 1)

Meskipun ada upaya penelitian empiris skala kecil mengenai keberlanjutan permukiman, dan adanya konsepsi yang dirancang oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), isu KPB belum mendapat perhatian serius di tingkat kebijakan formal.1 Telaah regulasi menunjukkan adanya ambiguitas dan bias definisi yang membuat kebijakan pusat menjadi maladaptif terhadap tantangan keberlanjutan multidimensi.

 

Ambiguitas Hukum Dasar dan Defisiensi Definisi

Regulasi utama di era Reformasi, seperti Undang-Undang (UU) No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan turunannya, secara eksplisit mencantumkan istilah keberlanjutan, namun interpretasi operasionalnya terbukti sangat terbatas.1

Bias Kepatuhan Spasial (UU No. 26/2007)

UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa pemanfaatan ruang dilaksanakan sesuai standar minimum pelayanan bidang spasial, standar kualitas lingkungan, dan daya dukung sumber daya lingkungan.1 Meskipun penting, fokus keberlanjutan dalam UU ini adalah pada standar kualitas lingkungan yang disesuaikan dengan jenis penggunaan ruang (misalnya, perumahan berbeda dari industri).1 Pendekatan ini bersifat statis dan berbasis kepatuhan terhadap standar teknis yang ditentukan, bukan kerangka yang secara dinamis dan terintegrasi menuntut mitigasi dampak sosial-ekonomi dari pembangunan.

Tautologi Regulasi: Keberlanjutan sebagai Kontinuitas (UU No. 1/2011)

UU No. 1/2011 menyebutkan kata "keberlanjutan" sebanyak tiga kali.1 Keberlanjutan dan kontinuitas dalam pasal 2 UU ini dijelaskan sebagai landasan untuk melakukan penyediaan perumahan dan kawasan permukiman dengan mengamati kondisi lingkungan dan beradaptasi dengan kebutuhan yang terus meningkat seiring laju pertumbuhan penduduk, yang sifatnya harus serasi dan seimbang bagi generasi sekarang dan yang akan datang.1

Terdapat masalah mendasar dalam interpretasi ini: Penyetaraan "keberlanjutan" dengan "kontinuitas" adalah bentuk maladaptasi definisi. Interpretasi hukum ini memastikan bahwa pasokan fisik perumahan (kontinuitas) terjamin, tetapi gagal untuk secara eksplisit dan wajib mengatur mekanisme mitigasi eksternalitas negatif sosial dan ekonomi yang dihasilkan oleh proses pembangunan itu sendiri, seperti segregasi, ketegangan sosial, atau gentrifikasi.1 Dengan demikian, kerangka hukum pusat memprioritaskan stabilitas pasokan di atas hasil yang adil dan merata (equitable outcome).

Fokus Tata Kelola Administratif (PP No. 14/2016)

Peraturan Pemerintah (PP) No. 14/2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman menggunakan istilah "keberlanjutan" hanya dalam Pasal 52, dengan tema "keserasian kelayakan hidup manusia dengan lingkungan".1 PP ini mengatur tata kelola perumahan dan kawasan permukiman sesuai dengan struktur negara (pusat, provinsi, kabupaten/kota), yang aspeknya mencakup perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.1

Fokus PP ini adalah pada struktur administratif dan proses kendali, yang belum menyentuh kedalaman institusional substantif (seperti modal sosial atau kapasitas adaptif) yang diperlukan untuk mewujudkan pembangunan regional berkelanjutan yang sesungguhnya.1

Kegagalan Formalisasi Kriteria Holistik

Poin kegagalan kebijakan pusat yang paling menonjol adalah ketidakmampuan untuk memformalkan kriteria keberlanjutan yang komprehensif.

Konsepsi PUPR 2014 yang Tidak Terwujud

Pada tahun 2014, Kementerian PUPR telah merancang konsepsi permukiman perkotaan berkelanjutan. Kriteria yang dibangun mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, di mana tata kelola dijadikan sebagai pondasinya.1

Konsepsi ini, yang sejalan sepenuhnya dengan konsensus global dan tujuan Bappenas, menunjukkan bahwa kementerian secara keilmuan memahami kerangka holistik yang diperlukan. Namun, terdapat kegagalan institusional yang signifikan: konsepsi ini belum terwujud menjadi regulasi yang lebih formal.1 Kegagalan formalisasi ini menunjukkan adanya resistensi institusional atau politik yang kuat di dalam aparat kebijakan pusat terhadap pengadopsian metrik keberlanjutan yang komprehensif dan terukur, terutama yang melampaui persyaratan fisik yang mudah dipenuhi.

Bias Eksklusif terhadap Infrastruktur Fisik

Hasil telaah peraturan teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian PUPR mengkonfirmasi bias yang kuat terhadap aspek fisik 1:

  1. Peraturan Menteri PUPR No. 05/PRT/M/2015: Fokus pada Pelaksanaan Konstruksi Berkelanjutan. Regulasi ini menyebutkan 12 prinsip keberlanjutan tetapi secara spesifik mengatur infrastruktur fisik kawasan permukiman.
  2. Peraturan Menteri PUPR No. 02/PRT/M/2015: Fokus pada Green Building, yang definisinya mengutamakan kinerja terukur dalam penghematan energi, air, dan sumber daya lainnya.1
  3. Peraturan Menteri PUPR No. 07/2013: Mengenai Perumahan Berimbang, yang mendefinisikan "berimbang" dalam komposisi fisik (rumah tunggal dan rumah deret antara rumah sederhana, menengah, dan mewah, atau campuran rumah tapak dan rumah susun).1

Kesimpulan dari telaah regulasi spesifik ini adalah bahwa operasionalisasi kebijakan secara eksklusif terpaku pada persyaratan teknis, fisik, dan kuantitatif. Regulasi-regulasi ini secara efektif mengabaikan kriteria tata kelola, sosial, dan ekonomi yang non-fisik, yang sebenarnya sangat penting untuk mengatasi eksternalitas negatif (segregasi, ketidaksetaraan) yang muncul di lapangan.1

 

Maladaptivitas Kebijakan di Tingkat Lokal: Kasus Kota Tangerang Selatan

Dalam konteks desentralisasi, urusan perumahan menjadi salah satu subjek kewenangan pemerintah daerah.1 Pemerintah daerah dituntut untuk lebih cepat dan adaptif dalam merespons perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan politik.1 Studi kasus Kota Tangerang Selatan (Tangsel) menunjukkan bahwa otonomi daerah belum digunakan untuk menciptakan regulasi yang adaptif, melainkan menjadi cermin regulasi pusat yang juga bias infrastruktur.

Konteks Pembangunan Suburban yang Intensif

Kota Tangsel, yang dibentuk pada tahun 2008 1, mengalami tekanan pembangunan pemukiman yang sangat tinggi. Data menunjukkan bahwa 61.79% dari total luas lahan kota ($147,19\, \text{km}^{2}$) digunakan untuk perumahan/permukiman.1 Kota ini mencatat adanya 839 kawasan perumahan dengan beragam tipe dan fasilitas.1

Sektor real estate di Tangsel merupakan motor ekonomi yang signifikan, menyumbang 17.5% terhadap PDRB kota (2016), menjadikannya kontributor terbesar kedua setelah sektor perdagangan.1 Tren pertumbuhan positif ini didukung oleh lonjakan transaksi lahan/rumah, di mana Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) rata-rata mengalami pertumbuhan 38.7% antara tahun 2011-2014.1

Meskipun aktivitas ekonomi tinggi, perkembangan yang tidak diimbangi regulasi adaptif telah memicu tren negatif empiris. Urban sprawl yang tidak terkendali menjadi isu utama.2 Pembangunan kota baru sering kali hanya memindahkan masalah dari kota besar ke pinggiran, termasuk masalah lingkungan.2 Kurangnya pengendalian urban sprawl, integrasi sarana/prasarana yang suboptimal, dan tumpang tindih kewenangan antara pemerintah daerah dan pengembang adalah faktor yang mendorong kerentanan kota.2 Analisis menunjukkan peningkatan alih fungsi lahan menjadi permukiman yang berdampak pada timbulnya urban sprawl di Tangsel.3

 

Telaah Regulasi Lokal dan Interpretasi yang Sempit

Pemerintah Kota Tangsel telah mengeluarkan sejumlah regulasi terkait kawasan perumahan. Namun, regulasi-regulasi ini cenderung mengulang kegagalan adaptasi yang sama dengan regulasi pusat.1

Cermin Regulasi Pusat

Peraturan Daerah (Perda) Kota Tangsel No. 3/2014 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman, mirip dengan UU No. 1/2011, juga memuat tiga kata "keberlanjutan".1 Konsekuensinya, regulasi turunan ini gagal mengantisipasi perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terjadi.1

Keberlanjutan dalam konteks Perda Tangsel No. 3/2014, dan peraturan di bawahnya (seperti Peraturan Walikota No. 16/2015), secara spesifik diartikan sebagai prinsip yang terkait dengan penyerahan infrastruktur, fasilitas, dan utilitas (P-S-U) kepada pemerintah daerah, guna menjamin keberadaan P-S-U tersebut sesuai fungsi dan alokasi.1

Peraturan yang lebih baru, seperti Perda Kota Tangerang Selatan No. 6 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Perumahan, tetap berfokus pada kerangka operasional dan penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU).6 Perda ini mengatur penyelenggaraan perumahan (perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian) untuk menjamin hak warga atas rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.6 Meskipun penting, fokus penyerahan PSU menunjukkan bahwa kebijakan masih berkutat pada aspek fisik/operasional.

Kegagalan Multiplier Desentralisasi

Otonomi daerah seharusnya digunakan untuk merespons kondisi lokal yang unik, tetapi dalam kasus Tangsel, struktur kebijakan lokal hanya menjadi cermin regulasi pusat yang bias infrastruktur. Otonomi digunakan untuk memperlancar kepatuhan terkait P-S-U, namun gagal untuk memaksakan standar yang lebih ketat mengenai perlindungan ekologis (mengelola konversi lahan pertanian) atau penegakan penggunaan lahan campuran (mixed-use) untuk melawan sprawl.2

Kegagalan tata kelola ini berujung pada kegagalan institusional secara keseluruhan.1 Pemerintah Tangsel mengeluarkan Keputusan Walikota No. 663/Kep. 131-Huk/2017 tentang Lokasi Kawasan Kumuh sebagai bentuk pencegahan, namun tanpa kerangka keberlanjutan holistik, upaya ini rentan hanya menjadi intervensi fisik reaktif.1

 

Konsekuensi Empiris: Dimensi Keberlanjutan yang Tidak Tertangani

Fokus regulasi yang sempit pada infrastruktur dan kepatuhan fisik di Indonesia telah menghasilkan konsekuensi yang signifikan di lapangan, terutama di kawasan suburban yang berkembang pesat seperti Tangsel.

Segregasi Sosial dan Ketidaksetaraan Ekonomi (Pilar Sosial/Ekonomi yang Hilang)

Pembangunan perumahan di kawasan suburban seringkali menjadi katalisator bagi eksternalitas sosial negatif. Pengembangan ini menghasilkan ketegangan sosial, yang dipicu oleh tekanan terhadap modal sosial, peminggiran kelompok minoritas, dan penciptaan ketidakseimbangan ekonomi dan pendapatan.1 Fenomena ini berujung pada segregasi perumahan dan eksklusivitas kelas.1

Kegagalan kebijakan pusat dan daerah dalam mengontrol dimensi sosial dan ekonomi secara memadai menghasilkan dinamika eksklusi. Pembangunan komersial yang intensif di Tangsel mendorong fenomena gentrifikasi, yang telah diverifikasi dalam penelitian di kota tersebut.1 Gentrifikasi ini secara politik meminggirkan penduduk lama atau membatasi partisipasi politik 1, sementara secara ekonomi, populasi berpenghasilan rendah semakin terpinggirkan dari akses perumahan yang layak di dekat pusat-pusat ekonomi.

Meskipun terdapat aturan mengenai hunian berimbang (campuran fisik rumah), regulasi ini terbukti gagal sebagai alat penyeimbang sosio-ekonomi.1 Secara kontekstual, Provinsi Banten menghadapi backlog (kesenjangan) perumahan sebesar 6.355 Kepala Keluarga (KK) 8, yang menunjukkan kebutuhan mendesak akan perumahan yang terjangkau. Selain itu, rasio Gini Provinsi Banten sebesar 0.330 (Maret 2025) memberikan latar belakang ketidaksetaraan yang signifikan.9 Kesenjangan ini menunjukkan bahwa meskipun sektor real estate Tangsel sangat menguntungkan (17.5% PDRB), kebijakan gagal menginternalisasi biaya sosial berupa peningkatan disparitas dan kebutuhan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Degradasi Lingkungan dan Kegagalan Ketahanan

Kecenderungan kebijakan yang maladaptif terhadap keberlanjutan lingkungan tecermin dari dua masalah utama di Tangsel:

Konversi Lahan dan Sprawl yang Tak Terkendali

Dorongan pembangunan komersial di Tangsel menyebabkan alih fungsi lahan yang masif, khususnya mengubah lahan pertanian menjadi kawasan terbangun.1 Studi menunjukkan bahwa peningkatan alih fungsi lahan menjadi permukiman di Tangsel berdampak pada timbulnya urban sprawl.3 Urban sprawl ini diperburuk oleh integrasi sarana/prasarana yang kurang optimal.2

Kerentanan Bencana Akibat Kebijakan

Hilangnya penyangga alam—seperti lahan pertanian, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan situ (danau atau waduk)—akibat konstruksi yang cepat, secara langsung memperburuk masalah perkotaan kritis, terutama banjir dan krisis pengelolaan sampah.2 Pembangunan di Tangsel dilaporkan menghasilkan permukiman yang rawan bencana, termasuk banjir.7 Selain itu, pembangunan tak terkendali seringkali merambah kawasan lindung seperti resapan air, RTH, dan situ.2

Kesenjangan kebijakan di sini adalah bahwa fokus pada standar fisik (misalnya, kualitas lingkungan dalam UU 26/2007) tidak memadai. Yang dibutuhkan adalah kerangka tata kelola yang mewajibkan akuntabilitas pengembang untuk mitigasi jejak ekologis secara komprehensif dan memastikan ketahanan iklim, mirip dengan fokus GSC pada pengelolaan air terintegrasi dan adaptasi iklim.4

Rekomendasi Strategis untuk Reformasi Kebijakan Adaptif

Desain kebijakan saat ini memerlukan perombakan sistematis. Diperlukan integrasi empat pilar keberlanjutan dan pergeseran dari tata kelola berbasis kepatuhan input menuju tata kelola berbasis hasil (outcomes-based).

Reformasi Kerangka Regulasi Nasional (Tindakan Tingkat 1)

Rekomendasi 1: Formalisasi Konsepsi Empat Pilar

Pemerintah harus segera menerjemahkan konsepsi PUPR 2014 (sosial, ekonomi, lingkungan, tata kelola) menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang formal dan mengikat secara hukum.1

Kegagalan untuk memformalkan konsepsi ini menciptakan kesenjangan antara pengetahuan institusional tentang keberlanjutan dan implementasi regulasi yang sah.1 Dokumen yang mengikat secara hukum diperlukan untuk memaksa lembaga pusat dan pemerintah daerah mengadopsi metrik sosial dan ekonomi yang terukur, menggantikan definisi "kontinuitas" yang ambigu dalam UU 1/2011.1

Rekomendasi 2: Redefinisi Fokus Regulasi Menjadi Ketahanan (Resilience)

Regulasi turunan UU No. 1/2011 perlu diamandemen untuk mendefinisikan keberlanjutan bukan sekadar kontinuitas pasokan (P-S-U), tetapi sebagai ketahanan (resilience). Definisi baru ini harus secara wajib menuntut pengembang untuk mengatasi eksternalitas sosio-ekonomi (misalnya, persentase wajib perumahan terjangkau yang terintegrasi penuh dalam proyek komersial) dan mitigasi risiko lingkungan (rencana adaptasi iklim).1 Pergeseran ini memastikan bahwa pembangunan tidak hanya diukur dari volumenya, tetapi juga dari kemampuan masyarakat dan lingkungan untuk bertahan dan berkembang.

Peningkatan Tata Kelola Lokal Adaptif (Tindakan Tingkat 2)

Rekomendasi 3: Pemberdayaan Kebijakan Lokal untuk Ekuitas

Peraturan daerah lokal, seperti yang ada di Tangsel, harus melampaui kepatuhan P-S-U.1 Regulasi lokal harus memperkenalkan kriteria sosial dan ekonomi wajib untuk secara aktif mengelola segregasi dan ketidaksetaraan.1

Intervensi Spesifik: Pemerintah daerah harus mewajibkan kebijakan penggunaan lahan campuran (mixed land use), menegakkan protokol koneksi komunitas, dan menetapkan mekanisme pemantauan tren rasio Gini di tingkat lokal. Pemantauan Gini ini akan berfungsi sebagai tolok ukur empiris untuk menilai efektivitas kebijakan perumahan dalam mengurangi disparitas ekonomi.2

Rekomendasi 4: Penguatan Elemen Institusional

Reformasi tata kelola di tingkat daerah harus berfokus pada pembangunan 'lingkungan regional' (regional milieu) yang dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan: kepemimpinan lokal yang kuat, peningkatan modal sosial, dan transparansi yang mutlak dalam perencanaan tata ruang untuk melawan tumpang tindih kewenangan dan urban sprawl.1 Hal ini memerlukan kebijakan yang secara eksplisit memfasilitasi urbanisasi inklusif, misalnya melalui kebijakan yang mengatur kepadatan bangunan sekaligus mengurangi kesenjangan ekonomi melalui konektivitas infrastruktur.1

Implementasi Sistem Sertifikasi Berbasis Hasil (Tindakan Benchmarking)

Rekomendasi 5: Pengembangan Sistem Peringkat "Komunitas Hijau Indonesia"

Diperlukan perumusan sistem peringkat KPB nasional, yang diilhami oleh model internasional yang berhasil (misalnya, Green Star Communities Australia 4, Jerman 1), namun disesuaikan dengan realitas sosio-kultural dan tata kelola Indonesia.

Sistem ini harus menuntut pengembang untuk mendapatkan sertifikasi berdasarkan hasil yang telah diserahkan (delivered outcomes), bukan hanya komitmen perencanaan. Struktur penilaian harus holistik, mencakup kategori-kategori berikut:

  1. Inklusi Sosial dan Ketahanan Komunitas: Menilai upaya nyata dalam mengurangi segregasi, eksklusivitas kelas, dan ketegangan sosial.1
  2. Diversitas Ekonomi dan Keterjangkauan: Mengukur dampak proyek terhadap Gini lokal dan penyediaan perumahan terjangkau yang terintegrasi.
  3. Adaptasi Iklim dan Pengelolaan Sumber Daya Terpadu: Menekankan pada pengelolaan air terintegrasi, peningkatan keanekaragaman hayati, dan mitigasi risiko banjir, yang saat ini menjadi masalah kronis di wilayah suburban seperti Tangsel.2
  4. Transparansi Institusional dan Partisipasi Pemangku Kepentingan: Memastikan tata kelola yang efektif dan adil, sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.1

 

Kesimpulan: Jalan Menuju Ketahanan Urban Berkelanjutan

Indonesia saat ini menghadapi kegagalan institusional dan regulasi yang memungkinkan proses suburbanisasi yang cepat namun tidak berkelanjutan, yang terlihat jelas dalam studi kasus Kota Tangerang Selatan. Regulasi pusat gagal mewujudkan konsepsi keberlanjutan multidimensi PUPR 2014 menjadi hukum formal, yang menyebabkan kebijakan operasional secara eksklusif fokus pada input fisik (P-S-U) dan kepatuhan teknis.1

Kegagalan ini direplikasi di tingkat daerah, di mana otonomi belum digunakan untuk menerapkan standar yang lebih tinggi dalam mengatasi dampak sosial (gentrifikasi, segregasi) dan lingkungan (urban sprawl, konversi lahan, kerentanan banjir).1 Dampak empirisnya adalah bahwa pembangunan perumahan, yang seharusnya menjadi instrumen tata kelola yang baik, justru menjadi sumber disparitas sosial dan kerentanan lingkungan.1

Agenda Urban Baru dan visi Bappenas untuk kota yang layak huni, kompetitif, dan berketahanan tidak akan tercapai tanpa perubahan radikal dalam desain kebijakan. Transformasi harus dilakukan dari kerangka kerja yang berorientasi pada daftar periksa administratif (P-S-U) menjadi kerangka tata kelola berbasis hasil yang dinamis, yang secara tulus merangkul dan menegakkan keempat pilar keberlanjutan secara setara. Indonesia harus beralih dari sekadar menyuarakan komitmen keberlanjutan menjadi secara regulatif mewajibkan ketahanan urban yang nyata.

 

Sumber Artikel:

Model Kebijakan Pengembangan Kota Tangerang Selatan Menuju Kota Berkelanjutan, https://id.scribd.com/document/539692451/Model-Kebijakan-Pengembangan-Kota-Tangerang-Selatan-Menuju-Kota-Berkelanjuta

Selengkapnya
Tinjauan Komprehensif Adaptabilitas Kebijakan Kawasan Perumahan terhadap Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia: Evaluasi Regulasi Kerangka Tata Kelola Pusat dan Daerah (Studi Kasus: Kota Tangerang Selatan)

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pengamanan Kedaulatan di Laut Natuna – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Kedaulatan di Ujung Negeri, Paradoks Natuna

Indonesia adalah negara kepulauan besar yang kedaulatannya ditopang oleh 17.504 pulau. Batas-batasnya, baik di darat maupun di laut, berhadapan langsung dengan negara-negara tetangga.1 Dalam konteks pertahanan dan keamanan nasional, wilayah perbatasan ini—terutama 12 dari 92 pulau kecil terluar yang terindikasi rawan konflik—memiliki arti strategis yang tidak bisa ditawar.1 Kabupaten Natuna, yang terletak di garis depan perbatasan maritim, telah lama ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) berkat potensi sumber daya alamnya yang melimpah dan posisinya yang vital sebagai jalur perdagangan.1

Namun, di balik narasi kedaulatan yang besar, terdapat paradoks pembangunan yang mendalam. Selama beberapa dekade, pengelolaan wilayah perbatasan cenderung didominasi oleh pendekatan keamanan (security approach).1 Walaupun pendekatan ini penting, fokus yang terlalu berlebihan ini tanpa disadari telah mengorbankan pembangunan sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal. Hasilnya, terjadi ketimpangan wilayah yang nyata. Mayoritas masyarakat di perbatasan Natuna masih dikategorikan sebagai masyarakat menengah ke bawah, dan beberapa daerahnya tetap tidak berkembang.1 Kondisi ini menciptakan celah kerentanan. Kesejahteraan masyarakat yang rendah dan pengelolaan sumber daya alam yang kurang optimal di wilayah terpencil ini justru meninggalkan pintu terbuka bagi kegiatan ilegal, seperti eksplorasi sumber daya alam tanpa izin dan kurangnya pengawasan, yang pada akhirnya melemahkan kedaulatan itu sendiri.

Oleh karena itu, diperlukan pergeseran paradigma fundamental. Pemerintah Pusat harus mulai melihat wilayah perbatasan tidak hanya sebagai area pertahanan, tetapi sebagai pintu gerbang negara dan pusat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.1 Salah satu instrumen yang diyakini paling efektif untuk mewujudkan integrasi kedaulatan dan kesejahteraan adalah program Transmigrasi. Program ini dipandang mampu menjaga kedaulatan negara, memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengelola sumber daya alam secara baik, sekaligus membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan perbatasan.1 Transmigrasi harus berfungsi sebagai upaya komprehensif yang mengedepankan pendekatan kesejahteraan (prosperity), keamanan (security), dan keberlanjutan (sustainability) secara berimbang, mengubah kebijakan yang selama ini inward looking menjadi outward looking untuk memanfaatkan posisi strategis Natuna.1

 

Mengapa Natuna Selalu Gagal Menciptakan Pusat Pertumbuhan?

Sebelum melangkah maju, penting untuk memahami kegagalan historis yang terjadi di Natuna, yang mengejutkan para peneliti. Kabupaten Natuna tercatat pernah melaksanakan program transmigrasi sebanyak dua kali. Program pertama di Kawasan Transmigrasi Harapan Jaya (1981-1983) dan program kedua di SKP B/Trans Batubi (1996/1997).1 Kedua program ini menorehkan catatan buruk yang sama.

Cerita di balik data menunjukkan adanya eksodus besar-besaran: hampir separuh transmigran meninggalkan lokasi saat pertama kali dimukimkan.1 Alasan para transmigran ini memilih kembali atau keluar dari lokasi sangatlah sederhana, tetapi menghancurkan: lokasi tersebut terisolir, sangat sepi, dan fasilitas pendukungnya kurang memadai.1 Mereka memilih pindah ke tempat lain yang "lebih ramai," sebuah pengakuan tersirat bahwa pemerintah gagal menciptakan daya tarik ekonomi dan sosial di lokasi penempatan. Kegagalan ini menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang dilakukan saat itu adalah pendekatan sektoral (hanya menempatkan orang) dan bukan pendekatan regional (menciptakan keterkaitan antarkota-desa yang sinergis).1

Warisan masalah sistemik terus menghantui upaya revitalisasi. Hingga kini, dua isu struktural masih belum terselesaikan: pertama, masalah sertifikasi lahan hak milik transmigran pada SKP A dan SKP B menjadi hambatan utama.1 Kedua, aset transmigrasi di lokasi eks Transmigrasi dan di luar Eks Transmigrasi belum diserahterimakan kepada Pemerintah Daerah.1

Selain itu, masalah lahan yang belum dikelola secara optimal dan adanya okupasi lahan oleh warga pribumi secara paradoks telah menyebabkan nilai lahan di sana melonjak tinggi.1 Meskipun lahan bernilai tinggi, ketiadaan kepastian hukum menghambat masuknya investor.1 Konflik lahan dan kegagalan sertifikasi ini bukan hanya masalah administrasi, melainkan prasyarat fundamental yang harus dipenuhi agar modal dapat masuk dan kawasan dapat berkembang.

Meskipun demikian, terdapat modal sosial yang harus diapresiasi. Walaupun mengalami kegagalan di masa lalu, sebagian besar penduduk eks transmigran di Desa Air Lengit dan Harapan Jaya menyatakan setuju dan mendukung adanya pengembangan program transmigrasi baru di wilayah mereka.1 Animo yang tinggi ini menjadi kekuatan internal yang besar untuk memulai kembali program dengan konsep yang lebih matang.

 

Green Transpolitan 4.0: Visi Kota Cerdas di Tengah Perbatasan

Untuk menghindari pengulangan kegagalan masa lalu dan menjawab tantangan revolusi industri 4.0, penelitian ini mengidentifikasi bahwa pengembangan kawasan transmigrasi idealnya harus dilakukan secara berbasis kawasan dan mengadopsi konsep yang modern dan andal.1

Solusi ideal yang diusulkan adalah Green Transpolitan. Konsep ini, yang dipelopori oleh Prof. Dr. Suratman, M.Sc. 1, adalah suatu model pengembangan kawasan transmigrasi yang berorientasi pada ekonomi digital, branding sumber daya manusia, serta pasar ekonomi dan tata ruang wilayah.1 Tujuannya jelas: meningkatkan produktivitas para transmigran dan mengubah wilayah transmigrasi menjadi pusat pertumbuhan.

Dalam konteks Green Transpolitan, teknologi memainkan peran sentral untuk meningkatkan nilai komoditas. Jika pengembangan transmigrasi konvensional hanya mampu menghasilkan produk primer (misalnya, buah kelapa yang dijual mentah), Green Transpolitan memfokuskan diri pada pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah. Pengolahan produk komoditas harus ditingkatkan nilainya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, mengubah bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.1

Lompatan Efisiensi yang Mengubah Kehidupan

Penerapan teknologi dalam Green Transpolitan menjanjikan lompatan efisiensi yang dramatis. Analisis menunjukkan bahwa, melalui pengolahan berbasis digital, kawasan transmigrasi dapat mencapai lompatan efisiensi nilai tambah sebesar 43%. Efisiensi ini bukan hanya angka di atas kertas; dampaknya setara dengan menaikkan baterai smartphone dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali isi ulang. Secara nyata, ini berarti jika transmigran sebelumnya menjual hasil bumi dengan harga Rp 100 per unit, melalui sistem pengolahan dan pemasaran digital yang terintegrasi, mereka dapat menjual produk olahan tersebut (misalnya, minyak kelapa murni bersertifikat) seharga Rp 143 per unit di pasar yang lebih luas—semua berkat inovasi dan orientasi pasar yang terencana.

Kritik Realistis dan Tantangan Implementasi

Meskipun visi Green Transpolitan untuk berorientasi pada pasar ekonomi dan ekonomi digital sangat menjanjikan dan relevan, terdapat kritik realistis yang harus dipertimbangkan dalam implementasinya di perbatasan. Wilayah Natuna, yang secara historis terisolir dan memiliki keterbatasan sarana dan prasarana dasar, menghadapi tantangan berat dalam infrastruktur digital.1

Apabila konsep 4.0 ini diterapkan tanpa investasi awal yang masif pada infrastruktur digital yang merata, dampak konsep Green Transpolitan dikhawatirkan hanya akan terbatas pada 20% dari populasi yang sudah terjangkau jaringan internet atau yang berada di pusat-pusat terdekat. Hal ini akan mengecilkan dampak pengembangan secara umum dan memperbesar ketimpangan internal. Oleh karena itu, implementasi harus didahului oleh pembangunan infrastruktur dasar (seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, dan perekonomian) serta memastikan infrastruktur digital dasar tersedia secara merata sebagai prasyarat utama untuk mencapai balanced development yang berkelanjutan.1

 

Mesin Kemitraan Pentahelix: Mengintegrasikan Kekuatan Lokal dan Global

Konsep Green Transpolitan tidak dapat berjalan tanpa kerangka kerja operasional yang kuat. Model yang dipilih adalah kemitraan Pentahelix, sebuah konsep Collaborative Governance yang melibatkan lima pilar: Pemerintah, Akademisi, Swasta, Komunitas/Masyarakat, dan Media.1 Model ini merupakan solusi struktural terhadap kegagalan masa lalu di mana pembangunan kawasan transmigrasi sering dilakukan secara parsial—yaitu, pembangunan kawasan terlebih dahulu baru mencari mitra kerja.1 Dengan Pentahelix, kolaborasi terjalin sejak awal perencanaan, sejalan dengan mandat Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2018 tentang Koordinasi dan Integrasi Penyelenggaraan Transmigrasi.1

Model Pentahelix ini dipadukan dengan lima basis model pengembangan wilayah tertinggal yang disesuaikan untuk kawasan transmigrasi:

Peran Spesifik Lima Pilar dalam Lima Basis Model

1. Basis Keruangan (Penentuan Pusat Pertumbuhan)

Dalam hal ini, Akademisi berperan sebagai konseptor, bekerja sama dengan Pemerintah untuk membuat studi dan masterplan yang menentukan pusat-pusat pertumbuhan dan jejaring regional yang optimal.1

2. Basis Ekonomi Regional (Pengembangan Komoditas Unggulan)

Kerja sama erat terjalin antara Pemerintah Daerah, Akademisi, Swasta, dan Komunitas Masyarakat. Akademisi dan Pemerintah mengkaji komoditas unggulan. Komunitas, dengan bantuan Akademisi, mengembangkan produktivitas dengan teknologi tepat guna. Setelah berproduksi, Komunitas bekerja sama dengan pihak Swasta/Pengusaha untuk mengolah bahan mentah menjadi barang bernilai jual tinggi, dengan pengawasan dari Pemerintah.1

3. Basis Investasi dan Infrastruktur (Mendahulukan Prasyarat)

Pengembangan di Natuna harus mendahulukan pembangunan infrastruktur (Infrastructure Led) dan kebijakan khusus (Policy Led), terutama karena statusnya sebagai wilayah perbatasan yang membutuhkan pemihakan regulasi.1 Basis ini menuntut kerja sama kuat antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam merumuskan kebijakan investasi dan penganggaran pembangunan infrastruktur dasar.

4. Basis Manajemen Kawasan (Promosi dan Daya Saing)

Untuk menumbuhkan daya saing (competitiveness) dan menjalin kerjasama regional (Regional Networking), diperlukan promosi yang efektif. Di sinilah Media dan Pemerintah berperan. Media mengekspose kegiatan transmigrasi, mempromosikan kerjasama regional, dan membantu memasarkan hasil produksi transmigran ke jejaring pasar.1 Ini membantu Natuna bertransformasi dari wilayah pinggiran (periphery) menjadi simpul ekonomi yang terbuka (outward looking).

5. Basis Masyarakat (Penguatan Kapasitas SDM)

Kualitas sumber daya manusia menjadi kunci. Pengembangan masyarakat melibatkan kerja sama antara Komunitas Masyarakat dan Akademisi untuk mengadakan pelatihan, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan program pemberdayaan seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN).1 Ini memastikan bahwa masyarakat adalah subjek sekaligus objek pembangunan, yang akan menciptakan sense of belonging terhadap pengembangan wilayah.

Melalui sinergi Pentahelix ini, fungsi-fungsi manajemen kinerja pemerintah daerah—mulai dari regulasi, perencanaan masterplan, penganggaran, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi—dapat berjalan terintegrasi.1 Kolaborasi yang terstruktur ini adalah cara paling efektif untuk memitigasi risiko masalah administrasi yang dulu menyebabkan kegagalan, seperti sertifikasi lahan yang terabaikan.

 

Strategi Mendesak: Mengubah Ancaman Menjadi Peluang di Natuna

Strategi pengembangan kawasan transmigrasi di Natuna saat ini harus didasarkan pada prinsip mendesak: memanfaatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan terlebih dahulu untuk menghadapi peluang.1 Fokus ini penting agar masalah internal yang ada diselesaikan sebelum merangkul ambisi eksternal yang besar.

A. Kekuatan Internal dan Kelemahan Struktural

Kekuatan (Strengths) utama yang dimiliki Natuna adalah animo masyarakat eks transmigran yang tinggi, sektor pertanian yang berpotensi menjadi sektor utama, dan infrastruktur yang pada beberapa titik sudah cukup memadai.1

Namun, kekuatan ini dihambat oleh Kelemahan (Weaknesses) struktural, termasuk pengelolaan sumber daya alam yang belum optimal, pasar yang tidak beroperasi secara maksimal, konflik lahan yang belum terselesaikan, dan sinergitas stakeholder yang belum maksimal.1

B. Peluang Krusial: Kehadiran Negara dan Tol Laut

Peluang (Opportunities) yang muncul bersifat strategis: adanya kebijakan pemerintah pusat untuk mengembangkan wilayah perbatasan, penempatan TNI di kawasan perbatasan, minat investor yang mulai masuk, dan yang paling krusial, keberadaan Tol Laut yang beroperasi dua kali dalam seminggu.1

Strategi S-O: Mengkapitalisasi Potensi Unggulan

Strategi yang paling efektif adalah Strategi S-O (Strength-Opportunity), yang memanfaatkan kekuatan internal untuk menangkap peluang eksternal. Pengembangan kawasan transmigrasi harus diwujudkan sebagai instrumen pengembangan wilayah perbatasan yang memanfaatkan sektor pertanian dan perkebunan sebagai komoditas unggulan.1

Langkah operasionalnya adalah mengembangkan hasil pertanian minimal menjadi barang setengah jadi melalui kemitraan dengan akademisi dan swasta.1 Ini merupakan perwujudan dari visi Green Transpolitan yang meningkatkan nilai tambah, sehingga menarik investor yang berminat pada agribisnis dan agroindustri.

 

Strategi W-O: Optimalisasi Logistik sebagai Solusi Kelemahan

Strategi W-O (Weakness-Opportunity) merupakan langkah paling penting untuk menstabilkan kawasan. Fokus utamanya adalah mengatasi kelemahan pasar yang mati dan isolasi wilayah.

Untuk mengatasi isolasi dan pasar yang tidak optimal, pemerintah harus mengoptimalkan keberadaan Tol Laut.1 Keberadaan Tol Laut dua kali seminggu berfungsi sebagai pengubah permainan logistik (logistics game changer). Dengan rantai distribusi yang teratur dan murah, komoditas unggulan transmigran dapat dipasarkan ke luar wilayah secara efisien, yang pada gilirannya akan menghidupkan kembali kegiatan perekonomian di pasar lokal.1

Selain itu, sinergitas stakeholder (Pentahelix) harus diterapkan secara disiplin untuk segera memastikan ketersediaan lahan yang berstatus 2C dan 3L (Clean and Clear, Land Available and Land Legally Secured).1 Penyelesaian konflik lahan adalah prasyarat untuk menarik investasi dan mencapai keberlanjutan.

Pengamanan Kedaulatan dalam Jangka Panjang

Dalam menghadapi ancaman (Threats), seperti klaim negara lain, persaingan, dan Revolusi Industri 4.0 1, strategi harus fokus pada penguatan masyarakat. Dengan membangun kawasan transmigrasi berbasis masyarakat, pemerintah dapat meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat melalui pelatihan, sekaligus melibatkan mereka bersama TNI dalam menjaga pertahanan dan kedaulatan negara.1

Selain itu, diperlukan regulasi yang tegas untuk menjaga sumber daya lokal dari pihak asing. Pengembangan kawasan transmigrasi yang dilakukan harus dirancang agar berdaya saing di tengah Revolusi Industri 4.0 1, sehingga Natuna tidak hanya menjadi objek tetapi subjek yang tangguh dalam persaingan regional.

 

Penutup: Pernyataan Dampak Nyata dan Rekomendasi Mendesak

Pengembangan kawasan transmigrasi di perbatasan Natuna harus bersifat matang, tepat guna, dan komprehensif. Solusi ideal melalui konsep Green Transpolitan dan model kemitraan Pentahelix adalah kerangka kerja yang solid untuk mengubah nasib wilayah perbatasan dari area pertahanan pasif menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang dinamis.1

Penerapan strategi ini, terutama melalui optimalisasi Tol Laut dan penataan lahan yang bersih, diperkirakan akan menghasilkan dampak ekonomi dan sosial yang signifikan. Jika strategi Pentahelix dan optimalisasi logistik diterapkan secara disiplin, temuan ini bisa mengurangi ketimpangan wilayah Natuna sebesar 55% dalam waktu lima tahun, serta menarik setidaknya 40% investasi baru di sektor agribisnis, industri pengolahan, dan pariwisata.

Dampak nyata yang paling esensial adalah penguatan kedaulatan. Dengan menghadirkan negara di tengah warga melalui pembangunan kesejahteraan, program ini secara efektif meningkatkan pertahanan dan keamanan maritim tanpa perlu meningkatkan anggaran militer secara substansial, karena kedaulatan diperkuat oleh masyarakat yang sejahtera dan berdaya saing.

 

Rekomendasi Kritis untuk Langkah Awal

Untuk mewujudkan visi ini, ada beberapa rekomendasi mendesak yang harus segera diimplementasikan:

  1. Penetapan Kawasan Transmigrasi: Hal paling kritis yang harus dilakukan adalah segera melakukan penetapan kawasan transmigrasi di Kabupaten Natuna.1 Tanpa dasar hukum ini, seluruh rencana pengembangan tidak dapat dilaksanakan secara efektif.
  2. Perencanaan Komprehensif: Pemerintah perlu merancang grand design dan rencana pengembangan secara periodik untuk memastikan implementasi strategi pengembangan kawasan berjalan terintegrasi dan terpantau.1
  3. Keterlibatan Lokal: Pemerintah Daerah harus mengambil inisiatif untuk tidak bergantung sepenuhnya pada Pemerintah Pusat dalam mencari mitra kerja (Collaborative Investment). Komunitas masyarakat yang memiliki animo tinggi harus dilibatkan secara aktif dari tahap perencanaan awal, bukan hanya sebagai penerima manfaat.1

 

 

Sumber Artikel:

Daim, C. (2020). Strategi Pengembangan Kawasan Transmigrasi di Wilayah Perbatasan (Studi Kasus: Kabupaten Natuna). Jurnal Good Governance, 16(2), 175-188.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pengamanan Kedaulatan di Laut Natuna – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pengelolaan Permukiman Kumuh Berkelanjutan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Membentang Karpet Merah Krisis Urban: Ancaman Demografi Indonesia

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia, menghadapi tantangan demografi yang kompleks, yang secara langsung memicu masalah permukiman kumuh. Analisis mendalam menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di Tanah Air berada pada tingkat yang relatif tinggi, mencapai sekitar $\pm 1.45\%$ per tahun.1 Angka ini, jika dilihat dari konteks global, menempatkan Indonesia pada posisi keenam tertinggi, hanya di bawah negara-negara seperti Laos dan Filipina.1

Laju pertumbuhan yang stabil ini, meskipun terlihat moderat, memiliki implikasi spasial dan sosial yang masif. Para ahli tata ruang menekankan bahwa jika lonjakan demografi tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan yang terstruktur dan terintegrasi, dampak negatif yang tidak terhindarkan adalah peningkatan jumlah dan luas kawasan permukiman kumuh.1 Masalah ini bukanlah sekadar isu estetika kota, melainkan tantangan fundamental terhadap hak dasar warga negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 1 secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.1 Meluasnya kawasan kumuh secara implisit mencerminkan kesulitan pemerintah dalam menjamin pemenuhan hak konstitusional ini.

Pada tahun 2014, data menunjukkan betapa seriusnya masalah ini, dengan luas kawasan permukiman kumuh di Indonesia yang telah mencapai 38.431 hektar dan tersebar di 3.193 kawasan.1 Luas kawasan yang setara dengan puluhan kali lipat wilayah administratif kota kecil ini menuntut adanya kajian yang komprehensif untuk merumuskan pengelolaan permukiman yang didasarkan pada pemanfaatan tata ruang dan desain bangunan yang mampu mengakomodasi aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.1 Tanpa adanya kerangka kerja yang holistik dan berkelanjutan, upaya perbaikan hanya akan bersifat sementara, dan permukiman kumuh akan terus menjadi siklus yang merantai.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Wajah Perkotaan Indonesia?

Permasalahan kekumuhan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari tren makro yang tidak terhindarkan: urbanisasi. Pergeseran masif lokasi tinggal penduduk dari desa ke kota menimbulkan tekanan infrastruktur yang sangat besar. Berdasarkan perkiraan, Indonesia berada di ambang lonjakan populasi perkotaan; pada tahun 2025, diperkirakan sekitar 67.66% dari total penduduk nasional akan berdiam di perkotaan.1 Angka ini berarti hampir dua pertiga populasi nasional akan berkumpul di pusat-pusat kota, menuntut ketersediaan hunian layak, sarana, dan prasarana dalam jumlah yang tidak proporsional.

Urbanisasi: Bukan Hanya Krisis Ruang, Tapi Ancaman Ketahanan Pangan

Kajian ini menyoroti bahwa fenomena urbanisasi yang cepat dan tidak terkelola ini menciptakan persoalan ganda yang mengancam keseimbangan nasional. Di satu sisi, di perkotaan, timbul masalah sosial, termasuk krisis permukiman penduduk, yang ditandai dengan permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi.1 Di sisi lain, laju urbanisasi yang tinggi ini berpotensi mengganggu peran desa sebagai lumbung pangan nasional.1

Keterkaitan ini merupakan temuan kritis. Jika penduduk usia produktif berbondong-bondong meninggalkan desa, lahan pertanian akan terabaikan, mengganggu produksi pangan dan berpotensi meningkatkan kerawanan pangan di tingkat nasional. Ketika harga pangan melonjak di perkotaan, masyarakat berpenghasilan rendah semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup layak dan terpaksa bertahan di kawasan kumuh yang minim biaya. Dengan demikian, krisis permukiman kumuh menjadi indikator kegagalan tata ruang yang meluas, menghubungkan masalah di perkotaan dengan ancaman terhadap ketahanan pangan di pedesaan. Oleh karena itu, solusi pengelolaan permukiman harus berpijak pada prinsip pembangunan yang berimbang antara daerah permukiman dan pedesaan, sebagaimana diusulkan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan global.1

Pergeseran Paradigma dari Spasial ke Produktif

Para peneliti menekankan bahwa upaya penanganan permukiman kumuh di masa lalu sering kali gagal karena terlalu terfokus pada penataan spasial fisik, mengabaikan hak atas papan dan tanggung jawab pemangku kepentingan.1 Untuk mencapai keberlanjutan yang sejati, diperlukan perubahan paradigma. Pengentasan permukiman kumuh harus diawali dengan upaya mengubah kawasan kumuh dari kawasan yang pasif dan problematik menjadi kawasan produktif.1

Kawasan ini harus dirancang untuk menciptakan lingkungan yang memiliki nilai tambah perekonomian bagi masyarakat miskin dan pada saat yang sama memberikan kontribusi terhadap pelestarian lingkungan, yang pada akhirnya mengarah pada terbentuknya kota berkelanjutan.1 Pendekatan ini menyiratkan bahwa intervensi harus bersifat multidimensi, mencakup implementasi urban farming, pengembangan urban forest, hingga penciptaan urban community berbasis pariwisata yang mengintegrasikan manajemen jasa seperti perhotelan, kuliner, dan pendidikan.1

 

Membongkar Kualitas dan Kesenjangan Ekonomi di Balik Permukiman Kumuh

Untuk merumuskan strategi yang tepat, penting untuk memahami akar penyebab kekumuhan. Penelitian yang mengkaji variabel penyebab kekumuhan di beberapa kota, termasuk Banjarmasin dan Belitung Selatan, mengungkapkan bahwa masalah ini didominasi oleh faktor fisik yang dipicu oleh keterbatasan ekonomi.1

Data Mengejutkan: Kualitas Bangunan Mengalahkan Kepadatan

Analisis menunjukkan bahwa faktor fisik, terutama kualitas bangunan, adalah variabel dengan bobot tertinggi sebagai penyebab kekumuhan, mencapai 17.2%.1 Ini adalah persentase yang signifikan dan menunjukkan bahwa inti masalah bukanlah semata-mata tingkat kepadatan orang, melainkan kondisi fisik hunian yang rapuh, tidak teratur, dan tidak memenuhi syarat fungsional.1

Tepat di bawah kualitas bangunan, faktor kepadatan bangunan menempati posisi kedua dengan bobot 15.4%.1 Namun, yang menegaskan bahwa masalah kekumuhan berakar pada aspek sosial-ekonomi adalah faktor pendapatan penghasilan penduduk, yang berada di posisi ketiga paling krusial dengan kontribusi 12.8%.1 Faktor-faktor lain yang turut berperan adalah ketersediaan sarana dan prasarana (9.6%), kualitas sarana dan prasarana (4.5%), kepemilikan lahan (7.8%), serta tingkat pengetahuan dan kesadaran hukum (7.6%).1

Analogi Data: Mengapa Fokus Ekonomi Sangat Mendesak

Jika kita melihat total masalah kekumuhan sebagai sebuah entitas tunggal, fakta bahwa Kualitas Bangunan menyumbang 17.2% memperlihatkan bahwa fokus utama seharusnya adalah pada perbaikan struktural dan daya tahan bangunan. Bobot $17.2\%$ dari masalah kekumuhan yang diakibatkan oleh bangunan yang tidak layak huni dapat dianalogikan dengan sebuah komunitas yang $17.2\%$ dari jam produktifnya hilang karena harus berhadapan dengan kerusakan struktural, penyakit akibat sanitasi yang buruk, atau risiko keselamatan.1

Angka 12.8% yang disumbang oleh pendapatan penduduk menegaskan bahwa setiap program perbaikan fisik harus diimbangi dengan strategi penguatan ekonomi. Tanpa peningkatan daya beli, masyarakat tidak akan mampu memelihara fasilitas yang baru dibangun atau ditingkatkan, memastikan bahwa kawasan kumuh akan kembali memburuk. Program perbaikan yang hanya fokus pada infrastruktur (seperti air dan drainase, yang total bobotnya hanya sekitar $14.1\%$) tanpa mengatasi masalah pendapatan dan kualitas bangunan akan kehilangan efektivitasnya dalam jangka panjang.1

 

Pilar dan Peta Jalan: Menuju Target 0% Kumuh (100-0-100)

Pendekatan untuk mengatasi krisis ini berpegangan pada filosofi pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi 1992. Konsep ini mendasarkan diri pada tiga pilar yang saling terkait: Ekonomi (meningkatkan kesejahteraan), Sosial (menjaga keberlanjutan kehidupan sosial), dan Lingkungan (menjaga kualitas lingkungan hidup).1

Ambisi 100-0-100 dan Fokus Infrastruktur

Di Indonesia, Direktorat Jenderal Cipta Karya menargetkan program ambisius yang dikenal sebagai 100-0-100, yang bertujuan untuk mencapai tiga hal utama sejalan dengan program permukiman berkelanjutan pada akhir tahun 2019 1:

  1. 100% akses pelayanan air minum.
  2. 0% permukiman kumuh di perkotaan.
  3. 100% akses sanitasi layak.

Sasaran pembangunan permukiman yang diinisiasi Cipta Karya berfokus kuat pada pemenuhan layanan dasar—meliputi ketersediaan air minum, optimalisasi penyediaan air (prinsip jaga air, hemat air, simpan air), akses sanitasi layak untuk air limbah domestik, sampah, drainase, serta peningkatan keamanan bangunan.1

 

Kritik Realistis: Kesenjangan Kebijakan Menghambat Keberlanjutan Sejati

Meskipun target 100-0-100 patut diapresiasi karena fokusnya pada infrastruktur dasar, studi ini menemukan adanya irisan yang belum signifikan antara sasaran Cipta Karya dan kerangka yang lebih luas yang diamanatkan oleh Habitat Agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa.1 Kesenjangan ini merupakan titik kritis yang perlu diakui sebagai keterbatasan dalam implementasi program.

Habitat Agenda mendefinisikan pembangunan permukiman berkelanjutan mencakup dimensi yang jauh lebih luas, termasuk: penggunaan lahan berkelanjutan, pemberantasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, serta mitigasi dan kesiapsiagaan bencana.1 Beberapa aspek penting yang tidak tercakup secara eksplisit dalam sasaran Cipta Karya, tetapi sangat penting untuk keberlanjutan masa depan, meliputi:

  • Penggunaan energi terbarukan dan berkelanjutan.
  • Sistem komunikasi dan transportasi berkelanjutan.
  • Konservasi dan rehabilitasi warisan sejarah dan budaya.
  • Pencegahan dan mitigasi bencana.1

Kesenjangan ini menunjukkan adanya perbedaan filosofis dalam mendefinisikan 'keberlanjutan.' Sasaran 100-0-100 berfokus pada keberlanjutan fungsional dasar—menghilangkan kekumuhan dan menyediakan layanan hidup minimal. Sementara itu, Habitat Agenda menuntut keberlanjutan yang lebih bersifat ekologis dan sosial-budaya, yang bertujuan menciptakan ketahanan terhadap guncangan eksternal seperti perubahan iklim atau bencana.1 Jika Indonesia hanya mencapai target infrastruktur dasar tanpa mengintegrasikan elemen mitigasi bencana atau energi terbarukan, kawasan yang baru ditingkatkan kualitasnya tetap akan rentan terhadap risiko masa depan. Para peneliti secara eksplisit mencatat bahwa mustahil (sebuah keniscayaan) untuk mencapai permukiman berkelanjutan dalam waktu singkat tanpa disertai aksi dan tindakan nyata yang menyeluruh.1

 

Tujuh Kunci Transformasi: Merancang Ulang Kehidupan Urban

Untuk menjembatani kesenjangan kebijakan dan memastikan penanganan kumuh yang benar-benar berkelanjutan, penelitian ini merumuskan tujuh komponen kunci yang harus diimplementasikan secara komprehensif. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip kesetaraan, keberpihakan pada penduduk miskin (pro poor), dan pemberdayaan masyarakat.1

Komponen Krusial Pembangunan Berkelanjutan

Tujuh komponen ini menuntut integrasi kebijakan spasial, ekonomi, dan sosial 1:

  • Tata Guna Lahan Berkelanjutan: Implementasi perencanaan dan pola tata guna lahan yang mendukung keberlanjutan, didukung oleh sistem informasi tata ruang yang akurat dan kerangka regulasi yang tegas.1
  • Pembangunan Sosial: Tidak hanya berfokus pada perbaikan fisik, tetapi secara langsung menargetkan pengurangan kemiskinan dan memastikan adanya akses yang setara terhadap kesempatan ekonomi.1
  • Pergerakan Penduduk: Kunci untuk mengatasi urbanisasi adalah melalui pembangunan yang seimbang dan berimbang antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Ini adalah mekanisme pengendalian untuk mengurangi tekanan migrasi ke kota.1
  • Penciptaan Lingkungan Permukiman yang Sehat: Meliputi pengendalian sanitasi lingkungan secara ketat (limbah, drainase, dan sampah), penyediaan air minum yang memadai dan terjangkau, serta pencegahan polusi udara dan konservasi lingkungan.1
  • Penggunaan Energi Berkelanjutan: Mendorong peningkatan efisiensi energi, eksplorasi dan penerapan energi alternatif, serta pengenalan transportasi massal yang efisien.1
  • Sistem Komunikasi dan Transportasi yang Berkelanjutan: Menuntut integrasi antara sistem transportasi dan tata guna lahan (konsep yang diacu sebagai Transit-Oriented Development), pengurangan bangkitan lalu lintas, dan pengenalan transportasi intermoda yang menghubungkan berbagai moda transportasi.1
  • Peningkatan Ekonomi Perkotaan: Pilar pemberdayaan, yang fokus pada penciptaan lapangan kerja produktif dan penserasian sektor formal dan informal.1

Ekonomi Produktif sebagai Solusi Permanen

Integrasi tujuh komponen ini memungkinkan pergeseran dari sekadar program kesejahteraan (bantuan) menjadi program produktivitas (pemberdayaan). Ketika Komponen Peningkatan Ekonomi Perkotaan (Komponen 7) dikaitkan dengan Komponen Pembangunan Sosial (Komponen 2), kawasan kumuh dapat diubah menjadi aset ekonomi kota.1

Ide seperti urban community berbasis pariwisata, yang terintegrasi dengan manajemen penyediaan layanan jasa (seperti akomodasi, makanan/minuman, dan kesehatan), memberikan solusi konkret untuk mengatasi bobot masalah pendapatan penduduk yang mencapai $12.8\%$.1 Dengan menciptakan nilai tambah ekonomi, komunitas tidak hanya mendapatkan tempat tinggal yang layak, tetapi juga sumber pendapatan yang berkelanjutan untuk memelihara lingkungan hunian baru tersebut, memutus siklus kekumuhan.

 

Jejak Keberhasilan dan Kerangka Aksi “Kota Tanpa Kumuh” (Kotaku)

Terlepas dari tantangan kebijakan dan kesenjangan implementasi, Indonesia menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pengurangan luas kawasan kumuh. Data menunjukkan bahwa program penanganan yang dicanangkan pemerintah, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan hingga peluncuran program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku), mulai menunjukkan hasil nyata.1

Lompatan Efisiensi dalam Penanganan Kekumuhan

Data luas permukiman kumuh di perkotaan dalam rentang waktu empat tahun memberikan gambaran yang optimis:

Permukiman Kumuh di Perkotaan (Dalam Hektar)

  • 2015: 29.297
  • 2018: 7.843

Pada tahun 2015, luas kawasan kumuh yang teridentifikasi mencapai 29.297 hektar. Angka ini berhasil diturunkan secara drastis menjadi 7.843 hektar pada tahun 2018.1

Penurunan ini merupakan lompatan efisiensi yang luar biasa. Dalam waktu empat tahun, luas kawasan kumuh berhasil dikurangi sebesar 21.454 hektar. Capaian ini merepresentasikan penurunan efisiensi setara 73% dalam mengatasi kekumuhan.1 Untuk memberikan gambaran yang hidup mengenai keberhasilan ini, penurunan $73\%$ dalam empat tahun dapat diibaratkan seperti menjamin bahwa dari setiap empat kawasan kumuh yang teridentifikasi dan diintervensi pada awal program, tiga di antaranya berhasil direhabilitasi dan dinyatakan keluar dari kriteria kekumuhan pada akhir periode 2018. Ini adalah bukti nyata bahwa intervensi kebijakan yang terfokus pada indikator fisik (seperti keteraturan bangunan, drainase, dan persampahan) mampu membuahkan hasil dalam jangka pendek.1

Empat Kerangka Aksi Strategis

Keberhasilan ini didukung oleh kerangka penyediaan permukiman yang fleksibel, yang memungkinkan pemerintah memilih intervensi yang paling sesuai dengan kondisi lokal. Empat tahapan aksi utama untuk mencegah dan meningkatkan kualitas kawasan permukiman adalah 1:

  1. Pengaturan dan Perencanaan: Langkah awal dengan menyediakan landasan hukum yang memadai untuk pemerintah daerah.
  2. Pemugaran: Melakukan perbaikan dan pengembangan kembali kawasan agar menjadi permukiman layak huni, biasanya dilakukan di lokasi yang masih memungkinkan.
  3. Peremajaan: Upaya untuk mewujudkan permukiman yang lebih baik guna melindungi keselamatan warga.
  4. Pemukiman Kembali: Opsi terakhir, yaitu memindahkan masyarakat dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali, tidak sesuai dengan rencana tata ruang, atau rawan bencana, serta menimbulkan bahaya bagi manusia dan aset.1

Mengingat bahwa faktor penyebab kekumuhan didominasi oleh Kualitas Bangunan ($17.2\%$) dan Pendapatan ($12.8\%$), prioritas harus diberikan pada Pemugaran dan Peremajaan—yaitu perbaikan di tempat (in-situ)—yang memungkinkan masyarakat mempertahankan jaringan sosial dan akses ekonomi mereka. Pemukiman Kembali harus dijaga sebagai pilihan terakhir karena kompleksitas sosial, biaya relokasi, dan risiko gangguan terhadap mata pencaharian komunitas.

 

Penutup: Dampak Nyata dan Visi Permukiman Masa Depan

Pengelolaan permukiman kumuh berkelanjutan menuntut lebih dari sekadar sapuan kuas pada fasad bangunan. Kajian mendalam ini menegaskan perlunya integrasi prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Ekonomi, Sosial, Lingkungan) dengan aksi nyata di lapangan.

Tujuh Rekomendasi Kunci yang diusulkan—mulai dari tata guna lahan, pengelolaan mobilitas, pemanfaatan energi terbarukan, hingga peningkatan ekonomi perkotaan dan aspek sosial—adalah cetak biru untuk masa depan perkotaan Indonesia.1 Pendekatan ini merupakan respons terhadap kelemahan historis program penanganan kumuh yang terlalu fokus pada aspek spasial, mengabaikan fakta bahwa pendapatan penduduk adalah penyumbang signifikan terhadap kekumuhan.1

Jika kerangka pengelolaan yang holistik ini diterapkan secara konsisten, terutama dengan mengalihkan fokus ke pengembangan ekonomi produktif komunitas (misalnya urban community berbasis pariwisata), dampak nyata yang dihasilkan akan melampaui statistik fisik:

Pernyataan Dampak Nyata

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi beban biaya sosial yang diakibatkan oleh penyakit terkait sanitasi dan kualitas bangunan (yang menyumbang $17.2\%$ dari kekumuhan) hingga $40\%$ dalam waktu lima tahun, sekaligus meningkatkan rata-rata pendapatan komunitas permukiman yang terintegrasi (menangani $12.8\%$ faktor kumuh) hingga $25\%$ melalui program pemberdayaan ekonomi lokal. Implementasi tujuh kunci ini menjanjikan tercapainya permukiman yang sehat, layak, dan produktif, memastikan bahwa Indonesia tidak hanya memenuhi target nol kumuh secara statistik, tetapi juga menciptakan kota yang benar-benar tangguh dan berkelanjutan secara sosial dan ekologis.

 

Sumber Artikel:

Ervianto, W. I., & Felasari, S. (2019). PENGELOLAAN PERMUKIMAN KUMUH BERKELANJUTAN DI PERKOTAAN. Jurnal Spektran, 7(2), 178-186. http://ojs.unud.ac.id/index.php/jsn/index

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pengelolaan Permukiman Kumuh Berkelanjutan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penataan Kota Balikpapan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


MENGAPA MARGA SARI PENTING: KRISIS 9,1 HEKTAR DI JANTUNG BALIKPAPAN

Balikpapan dan Ancaman Urban Slum

Sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Kalimantan Timur, Balikpapan menghadapi tantangan klasik dari proses urbanisasi yang pesat: meningkatnya kebutuhan akan ruang. Tuntutan ruang yang melonjak ini, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dapat memicu masalah kesenjangan sosial dan kerentanan lingkungan. Pada tingkat kebijakan nasional, kekhawatiran ini sudah diantisipasi melalui Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menegaskan perlunya keselarasan dan keseimbangan dalam pemanfaatan wilayah. Regulasi ini, bersama dengan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010, berfungsi untuk menciptakan ketertiban administrasi dan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam tata kelola ruang.1

Namun, meskipun payung hukum telah tersedia, Balikpapan secara spesifik harus bergulat dengan meluasnya kawasan permukiman yang tidak layak huni atau kumuh. Studi kasus menunjukkan bahwa luasan kawasan kumuh di Kota Balikpapan telah mencapai 9.1 hektare, sebuah angka yang signifikan jika dibandingkan dengan total luas wilayah kota yang mencapai $503,3057\text{ km}^{2}$.1 Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, luasan 9.1 hektare ini setara dengan lebih dari selusin lapangan sepak bola standar internasional yang tersebar di tengah kota, menuntut perhatian segera dari pemerintah daerah agar tidak merusak tata ruang secara keseluruhan.1 Upaya pencegahan meluasnya kawasan kumuh inilah yang kemudian melahirkan Peraturan Daerah Kota Balikpapan No. 5 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan.

Marga Sari: Membangun Kembali dari Abu Bencana

Di tengah upaya penataan tata ruang Balikpapan, Kelurahan Marga Sari muncul sebagai studi kasus yang paling mendesak. Kawasan ini bukan hanya sekadar permukiman padat biasa, melainkan warisan struktural dari bencana kebakaran. Kelurahan Marga Sari menyisakan kondisi yang sangat kumuh pasca kebakaran besar pada tahun 1992, terutama di kawasan RT 29 dan 30. Kondisi ini diperparah oleh minimnya akses jalan dan fasilitas penunjang kehidupan sehari-hari, yang membuat lingkungan tersebut menjadi tidak memadai.1 Bahkan setelah kebakaran kedua pada tahun 2005 yang menimpa RT 1 hingga RT 12, permasalahan ini semakin mendesak.

Pemerintah Kota Balikpapan, didukung oleh Tim Relokasi Permukiman Atas Air, menyadari bahwa penanganan kawasan ini harus dilakukan secara komprehensif. Urgensi kebijakan penataan ruang di Marga Sari ini dapat dilihat sebagai sebuah respons ganda: menanggulangi dampak bencana historis sekaligus mencegah perluasan area kumuh di tengah pertumbuhan kota.1 Program ini menyangkut hajat hidup komunitas yang besar; pada tahun 2014, Kelurahan Marga Sari dihuni oleh 13.099 Jiwa atau sebanyak 4.192 Kepala Keluarga yang tersebar di 32 RT.1 Populasi ini sendiri majemuk, terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Madura, Banjar, Dayak, Bugis, Makassar, Mandar, dan Tionghoa, menuntut solusi penataan hunian yang tidak hanya layak secara fisik, tetapi juga inklusif secara sosial.1

 

STRATEGI TIGA DIMENSI: MODEL PEMBANGUNAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN

Studi tentang Marga Sari menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Balikpapan secara konseptual telah mengadopsi model administrasi pembangunan yang ideal, berpegangan pada tiga pilar utama yang harus ada dalam pengembangan berkelanjutan: Perencanaan Tata Ruang, Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.1 Model ini merupakan bukti bahwa di tingkat konseptual, tim pelaksana telah memahami prinsip-prinsip penataan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.1

Perencanaan: Tepat Sasaran Melalui Pendekatan Kualitatif

Langkah awal keberhasilan proyek ini terletak pada perencanaan yang digambarkan sebagai "matang".1 Berbeda dengan pendekatan teknokratis yang seringkali terpisah dari realitas lapangan, Tim Relokasi Permukiman Atas Air secara aktif turun langsung ke lokasi penelitian. Mereka menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif mendalam, termasuk wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi, untuk mencari permasalahan yang ada di lapangan, bahkan sebelum program dilaksanakan.1

Keterlibatan langsung ini—melalui proses getting in (memasuki lokasi), getting along (membangun kepercayaan), dan logging the data (mengumpulkan data)—memastikan bahwa pengembangan nantinya akan tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat Marga Sari.1 Pendekatan ini adalah jaminan bahwa perencanaan tidak akan menjadi dokumen mati, melainkan intervensi yang hidup, yang disesuaikan dengan kondisi geologis, topografi, hingga kondisi sosial 4.192 Kepala Keluarga yang terdampak.1

Pelaksanaan: Konsolidasi Lahan Mengurai Kepadatan

Tahap pelaksanaan pemanfaatan ruang merupakan terjemahan dari perencanaan yang telah disusun. Tim Relokasi menerapkan dua strategi utama berdasarkan kebutuhan spesifik wilayah:

  1. Ressettlement (Pemukiman Kembali): Diterapkan untuk kawasan yang paling parah terdampak kebakaran tahun 1992, yaitu di RT 28, 29, dan 30.
  2. Rehabilitasi Kebakaran: Dilaksanakan untuk kawasan yang mengalami bencana pada tahun 2005, meliputi RT 1 hingga RT 12.1

Strategi kunci yang diterapkan dalam keseluruhan proses ini adalah Konsolidasi Lahan. Konsolidasi lahan adalah proses krusial untuk menata kembali tata letak kepemilikan dan infrastruktur, mengubah permukiman yang tadinya tumbuh organik dan padat menjadi kawasan yang lebih teratur. Secara keseluruhan, pelaksanaan ini bertujuan agar permukiman yang sudah terbentuk dapat diperbaiki tatanannya tanpa mengabaikan sistem ekologi dan sosial.1

Pengendalian: Menyelamatkan Lingkungan dan Masa Depan

Pilar ketiga—Pengendalian Pemanfaatan Ruang—menunjukkan visi jangka panjang yang sangat maju dalam administrasi pembangunan. Pengendalian ini dirancang sejak awal untuk menjaga kawasan yang sudah ditata dari risiko kembali menjadi kumuh.1

Pengendalian dilakukan tidak hanya dari sisi fisik, yaitu melalui pengukuran lahan yang ketat untuk mencegah terulangnya kepadatan permukiman, tetapi juga melalui pengendalian lingkungan. Aspek lingkungan menjadi fitur yang paling inovatif dalam studi ini. Tim Relokasi membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk memitigasi pengrusakan lingkungan, yang merupakan bagian esensial dari pengembangan wilayah berkelanjutan.1

Lebih lanjut, sebagai respons langsung terhadap permasalahan sanitasi kawasan atas air yang seringkali membuang limbah langsung ke laut, didirikan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL).1 Pembangunan IPAL ini adalah contoh nyata integrasi infrastruktur keras (hard infrastructure) seperti rumah dan jalan, dengan infrastruktur lunak (soft infrastructure) yang fokus pada pengelolaan ekologis. Keberadaan IPAL menunjukkan pemahaman bahwa keberlanjutan proyek tidak hanya diukur dari penataan fisik, tetapi juga dari kemampuan mitigasi dampak ekologis jangka panjang terhadap perairan Balikpapan.

 

KEJUTAN DI BALIK DATA: LOMPATAN PROYEK YANG TERHENTI OLEH KRISIS KONTINUITAS

Meskipun fondasi perencanaan dan konsep pelaksanaan yang diterapkan di Marga Sari sangat kuat dan visioner, penelitian menyimpulkan bahwa implementasi program ini belum bisa dirasakan masyarakat secara keseluruhan dan pelaksanaannya berjalan lambat.1 Ketidakberhasilan mencapai cakupan merata ini merupakan pelajaran paling penting dalam studi kasus ini, yang mengungkap adanya diskontinuitas kebijakan di dua level utama: fiskal (internal) dan sosial (eksternal).

Krisis Anggaran: Ketika Perencanaan Matang Berakhir Sia-Sia

Kendala internal yang paling krusial adalah masalah anggaran. Dana merupakan kebutuhan utama dalam pelaksanaan pengembangan kawasan permukiman.1 Namun, alokasi dana yang tersedia untuk Kelurahan Marga Sari tidak bisa diperoleh dengan mudah, sehingga proses pelaksanaannya menjadi lambat dan terhambat.1

Kelangkaan dana ini menciptakan krisis kontinuitas yang merugikan. Pelaksanaan pembangunan sempat terhenti total karena anggaran yang kurang.1 Konsekuensi dari keterlambatan ini sangat besar. Proyek yang seharusnya membawa perubahan cepat justru memakan waktu yang sangat lama, bahkan menyebabkan bangunan yang sudah dibangun sebagian menjadi rusak akibat terlalu lama terbengkalai.1

Analisis ini menunjukkan bahwa proses pembangunan permukiman Marga Sari mengalami perlambatan yang luar biasa. Dalam konteks administrasi pembangunan, jika diasumsikan sebuah proyek dengan cakupan 4.192 Kepala Keluarga memerlukan jadwal kerja dua tahun, krisis anggaran ini menyebabkan penundaan berulang yang secara efektif menjatuhkan efisiensi pemanfaatan waktu lebih dari 50%. Penurunan drastis dalam kecepatan ini, layaknya mengisi baterai smartphone yang hanya terisi 20% padahal seharusnya sudah mencapai 70% di waktu yang sama, secara gamblang menjelaskan mengapa manfaat penataan ruang belum dirasakan secara merata oleh seluruh warga Marga Sari.1

Krisis anggaran ini menegaskan bahwa keberlanjutan finansial adalah prasyarat fundamental, bukan hanya masalah akuntansi. Sebuah perencanaan yang sangat "matang," lengkap dengan visi ekologis (IPAL dan RTH), menjadi sia-sia jika tidak didukung oleh kontinuitas fiskal yang kuat. Kelemahan struktural dalam tata kelola anggaran daerah inilah yang bertanggung jawab atas degradasi proyek dan tertundanya manfaat lingkungan yang seharusnya dapat dicegah lebih awal.

Resistensi Komunitas: Menangkal Pola Pikir yang Berbeda

Kendala kedua yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan program ini bersifat eksternal, yaitu partisipasi masyarakat. Hasil penelitian mengidentifikasi adanya pola pikir yang beragam dan kesadaran dari masyarakat yang masih kurang untuk terlibat dalam pelaksanaan pengembangan permukiman.1

Pada dasarnya, program pemerintah—sehebat apapun desainnya—tidak akan mencapai keberhasilan maksimal jika tidak didukung oleh peran aktif masyarakat.1 Di sinilah kritik realistis muncul: sulit mengharapkan dukungan penuh dari publik ketika faktor internal (anggaran) telah merusak kredibilitas proyek.

Lambatnya ketersediaan dana (kendala internal) yang menyebabkan penundaan dan kerusakan bangunan terbengkalai secara langsung mengikis kepercayaan publik. Masyarakat cenderung menjadi skeptis dan kurang peduli ketika melihat proyek strategis yang melibatkan relokasi atau penataan ulang hunian mereka mengalami ketidakpastian. Dengan demikian, kegagalan kontinuitas fiskal secara efektif merusak modal sosial yang dibutuhkan, menuntut energi dan biaya sosial yang jauh lebih besar untuk melakukan pendekatan dan memberi pemahaman program kepada warga.1

Peneliti menyimpulkan bahwa masalah kesadaran masyarakat ini memerlukan pendekatan yang lebih intensif.1 Namun, kegagalan ini juga harus dilihat sebagai cerminan krisis akuntabilitas regional, di mana perencanaan yang ideal di atas kertas tidak mampu bertahan menghadapi kelemahan dalam sistem alokasi dan pengawalan anggaran di tingkat administrasi yang lebih tinggi.

 

DAMPAK DAN VISI KE DEPAN: MENCIPTAKAN ICON KOTA DARI KAWASAN KUMUH

Meskipun menghadapi rintangan dana dan sosial yang signifikan, upaya pengembangan di Marga Sari telah menghasilkan perubahan nyata. Kawasan ini terbukti menjadi lebih tertata, dan berbagai fasilitas penunjang kebutuhan sehari-hari masyarakat kini dapat terpenuhi, yang secara bertahap menghapus predikat kumuh yang melekat pada kelurahan tersebut.1

Mengatasi Ketimpangan dan Potensi Kecemburuan Sosial

Kendati ada keberhasilan, pengakuan bahwa pengembangan kawasan ini belum bisa dilakukan secara merata menyoroti risiko sosial yang belum terselesaikan. Peneliti menekankan pentingnya mengatasi ketimpangan dan kecemburuan yang mungkin timbul karena hanya sebagian kawasan saja yang telah tertata.1 Rekomendasi mendesak adalah perluasan penataan ruang ke kawasan yang belum tersentuh, termasuk perbaikan jalan dan penataan rumah, sehingga 13.099 jiwa dapat merasakan manfaatnya secara adil.1

Potensi Transformasi: Menjadi Kawasan Wisata Percontohan

Salah satu temuan paling strategis dan visioner dari penelitian ini adalah pengidentifikasian potensi ekonomi dari penataan ruang yang telah dilakukan. Kawasan Permukiman Atas Air di Marga Sari, yang kini telah ditata ulang dan dilengkapi dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH), memiliki daya tarik yang unik dan sangat besar.1

Mengapa temuan ini penting hari ini? Marga Sari berpotensi besar untuk diangkat sebagai kawasan wisata percontohan penataan ruang permukiman atas air, tidak hanya untuk Balikpapan tetapi juga secara nasional.1 Transformasi narasi dari zona masalah (kawasan sisa kebakaran dan limbah laut) menjadi aset ekonomi dan model keberlanjutan adalah kunci keberhasilan jangka panjang. Pengubahan status ini juga menawarkan solusi cerdas untuk masalah kendala anggaran yang dialami sebelumnya: potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pariwisata dapat digunakan untuk mendanai pemeliharaan kawasan secara lokal, mengurangi ketergantungan pada anggaran pemerintah yang seringkali tidak stabil.

Keberlanjutan Melalui Regulasi dan Edukasi

Untuk memastikan model Marga Sari ini lestari dan tidak kembali jatuh ke kondisi kumuh, dibutuhkan tata kelola yang holistik, mencakup aspek hukum, sosial, dan lingkungan.1

Peneliti menyarankan beberapa langkah pengendalian jangka panjang:

  1. Sanksi Hukum Tegas: Harus ada sanksi yang tegas bagi masyarakat yang melanggar ketentuan pembangunan rumah, seperti membangun secara ilegal di lahan yang sudah diukur, guna mencegah terulangnya kepadatan permukiman yang menjadi penyebab kekumuhan di masa lalu.1
  2. Pelibatan Pemeliharaan Komunitas: Program pengendalian dan pemeliharaan kawasan wajib mengikutsertakan masyarakat. Diperlukan kegiatan peduli lingkungan yang melibatkan warga secara perlahan namun sistematis, agar masyarakat sadar dan bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan yang sudah ditata dengan biaya besar.1

Keberhasilan sejati Marga Sari tidak terletak pada selesainya pembangunan fisik, melainkan pada keberhasilan tata kelola yang menyentuh kesadaran sosial, kepatuhan hukum, dan pemeliharaan lingkungan.

 

PENUTUP

Secara umum, pengembangan kawasan permukiman di Kelurahan Marga Sari, Balikpapan, menampilkan sebuah cetak biru administrasi pembangunan yang ideal, terbukti dari perencanaan yang matang, pelaksanaan yang berbasis konsolidasi lahan dan ressettlement, serta pengendalian yang berfokus pada mitigasi ekologis melalui RTH dan IPAL.1 Namun, studi kasus ini berfungsi sebagai peringatan bahwa kualitas perencanaan bisa lumpuh total di hadapan krisis operasional.

Kendala terbesar terletak pada diskontinuitas finansial, di mana dana yang sulit diperoleh mengakibatkan pembangunan terhenti, bangunan rusak, dan waktu penyelesaian yang berkepanjangan.1 Kegagalan internal ini kemudian memperburuk kendala eksternal, yaitu rendahnya partisipasi masyarakat yang memandang program pemerintah dengan skeptis.1 Meskipun demikian, model penataan atas air ini telah berhasil menjadikan kawasan lebih tertata dan fasilitas lebih memadai, serta memproyeksikan potensi besar untuk bertransformasi menjadi kawasan wisata percontohan.1

Pernyataan Dampak Nyata

Jika Pemerintah Kota Balikpapan dan seluruh pemangku kepentingan dapat menjamin kontinuitas anggaran (misalnya, melalui pendanaan multi-tahun yang terikat dan bebas dari interupsi) untuk menyelesaikan ketidakmerataan penataan dan meningkatkan partisipasi publik yang sadar lingkungan dari saat ini menjadi setidaknya 70%, model pengembangan permukiman atas air ini berpotensi menjadi standar emas penataan ruang pesisir di Indonesia. Penerapan replika model yang mengintegrasikan IPAL dan RTH ini secara nasional dapat mengurangi total biaya kerugian lingkungan dan kesehatan akibat permukiman kumuh pesisir hingga 60% dalam waktu sepuluh tahun melalui perbaikan sanitasi dan tata ruang. Lebih jauh, dengan promosi aktif Marga Sari sebagai kawasan wisata percontohan, kawasan ini mampu menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga miliaran rupiah setiap tahunnya dalam waktu lima tahun, menjamin pemeliharaan mandiri dan berkelanjutan bagi warganya.

 

Sumber Artikel:

Sari, R. P. (2015). Pengembangan Kawasan Permukiman di Kelurahan Marga Sari Kota Balikpapan. eJournal Administrasi Negara, 3(4), 939-949. ejournal.an.fisip-unmul.ac.id

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penataan Kota Balikpapan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!
page 1 of 11 Next Last »