Pendahuluan: Membongkar Keseimbangan Sensitivitas Penumpang
Perencanaan transportasi modern di kota-kota besar membutuhkan lebih dari sekadar data historis; diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana penumpang bereaksi terhadap perubahan layanan. Seberapa cepat mereka beralih moda transportasi jika bus atau kereta menjadi lebih lambat? Dan yang lebih krusial, seberapa cepat mereka kembali jika layanan ditingkatkan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi fokus utama dalam sebuah studi data mutakhir yang menganalisis lebih dari 25 juta perjalanan penumpang di Greater London.1
Selama beberapa dekade, perencana kota mengandalkan metode yang digambarkan sebagai "sirkuit" atau tidak langsung. Metode ini melibatkan monetisasi penghematan waktu perjalanan menggunakan asumsi Nilai Waktu (Value of Time atau VOT), yang kemudian dikonversi menjadi dampak finansial melalui elastisitas tarif. Pendekatan ini rentan terhadap berbagai asumsi dan sering kali menggunakan parameter yang diseragamkan (homogenised).1
Sebagai solusi, penelitian yang dilakukan oleh Howard Wong dan Menno Yap di Journal of Public Transportation ini mengusulkan metrik yang lebih langsung dan transparan: Elastisitas Waktu Perjalanan Umum (Generalised Journey Time atau GJT). Dengan GJT, perencana dapat secara langsung memperkirakan dampak permintaan dari perubahan GJT yang diprediksi tanpa perlu asumsi perantara yang rumit. Perkiraan perubahan permintaan ini kemudian dapat langsung diubah menjadi dampak pendapatan berdasarkan hasil rata-rata per perjalanan penumpang.1
Skala Data dan Temuan Kunci
Keandalan temuan studi ini terletak pada volumenya yang masif. Alih-alih mengandalkan survei preferensi (stated preference) atau data penjualan tiket yang teragregasi, penelitian ini menggunakan pendekatan preferensi tersingkap (revealed preference) berdasarkan data penumpang individu yang sangat terperinci dari sistem kartu pintar Automated Fare Collection (AFC) dan Automated Vehicle Location (AVL).1
Secara total, analisis ini mencakup lebih dari 25 juta perjalanan empiris yang dipengaruhi oleh sembilan intervensi layanan yang berbeda—baik perbaikan terencana (seperti perpanjangan jalur baru) maupun degradasi sementara (seperti penutupan jalur) — di London antara tahun 2018 dan 2022. Skala dan resolusi data ini secara substansial meningkatkan ukuran sampel dan representasi temuan.1
Temuan inti dari analisis ini menetapkan elastisitas GJT rata-rata sebesar -0.61.1 Secara praktis, nilai ini berarti adanya hubungan terbalik: untuk setiap kenaikan 1% pada waktu perjalanan umum, permintaan transportasi publik diperkirakan akan berkurang sebesar 0.61%, dan sebaliknya.1 Untuk memberikan gambaran yang lebih nyata, jika layanan transportasi publik mengalami kemunduran kolektif hingga GJT memburuk sebesar 10% di seluruh jaringan, otoritas transportasi harus bersiap kehilangan 6.1% dari basis penumpang mereka.
Rahasia GJT: Apa yang Membuat Penumpang Berpaling dari Transit?
Memahami Elastisitas Waktu Perjalanan Umum (GJT) sangat penting karena metrik ini bukan hanya tentang seberapa cepat kereta bergerak. GJT adalah ukuran komprehensif yang menangkap respons penumpang terhadap perubahan di seluruh rantai perjalanan.1
Waktu Tunggu Lebih Berat Dua Kali Lipat
GJT didefinisikan sebagai jumlah dari waktu di dalam kendaraan ($t^{ivt}$), waktu di luar kendaraan ($t^{wtt}$, mencakup waktu berjalan dan menunggu), dan penalti jumlah transfer ($n^{tf}$), yang masing-masing dikalikan dengan faktor valuasi tertentu.1
Temuan penting dalam studi ini adalah valuasi waktu di luar kendaraan. Data menunjukkan bahwa penumpang secara rata-rata menilai waktu menunggu dan berjalan ($\beta$) dua kali lebih negatif dibandingkan waktu yang dihabiskan di dalam kendaraan yang tidak padat ($\beta=2.0$).1
Implikasi bagi perencana kota sangatlah jelas: bagi penumpang, penundaan 5 menit yang terjadi saat mereka menunggu di halte atau berjalan antar-moda terasa setara dengan penundaan 10 menit di dalam kendaraan yang nyaman. Sensitivitas yang tinggi terhadap waktu di luar kendaraan ini menekankan bahwa ketidakpastian (menunggu tanpa informasi) dan ketidaknyamanan (berjalan jauh atau antre) adalah faktor-faktor pendorong terbesar hilangnya permintaan.
Selain itu, setiap kali penumpang melakukan transfer atau pindah moda transportasi, ada penalti tetap sebesar 3.5 menit yang ditambahkan ke GJT, yang mencerminkan kerumitan dan stres yang terkait dengan pergantian perjalanan.
Faktor Kepadatan dan Dampak Nyata
Kepadatan (crowding) di dalam kendaraan juga menjadi elemen kunci dalam GJT, karena memengaruhi persepsi penumpang terhadap waktu yang dihabiskan. Kepadatan diukur menggunakan pengali ($\alpha$) yang meningkat sebanding dengan kepadatan berdiri di dalam kendaraan. Studi ini menetapkan bahwa nilai pengali kepadatan dapat mencapai 2.5 kali lipat saat total kapasitas kendaraan (kursi dan berdiri) telah terlampaui.1
Hal ini berarti waktu tempuh 10 menit di dalam bus yang sangat padat dapat terasa seperti 25 menit. Konsep ini secara langsung memecahkan teka-teki mengapa layanan yang nominalnya cepat masih kehilangan penumpang jika pengalamannya buruk. Perencana tidak hanya harus mengukur kecepatan, tetapi juga kenyamanan ruang.
Kisah Intervensi Layanan Besar
Elastisitas GJT bervariasi secara signifikan tergantung pada jenis dan skala intervensi layanan yang dianalisis. Analisis terhadap sembilan kasus, termasuk pembukaan dan penutupan jalur utama, memberikan gambaran yang jelas.
Sebagai contoh, pembukaan Jalur Elizabeth (EZL) baru di London, sebuah proyek infrastruktur besar, menghasilkan penurunan GJT yang signifikan dan respons permintaan yang sangat kuat. Untuk beberapa segmen yang terintegrasi, seperti integrasi jalur kereta timur dan barat ke jalur pusat Elizabeth Line (Kasus 4e EZL dan 4w EZL), elastisitas mencapai angka negatif yang sangat kuat, antara -0.90 hingga -0.92.1 Respons kuat ini mungkin didorong tidak hanya oleh penghematan waktu nominal, tetapi juga oleh peningkatan kenyamanan (kereta baru, ber-AC, stasiun modern) yang secara efektif mengurangi GJT non-nominal.
Sebaliknya, ketika terjadi degradasi layanan seperti penutupan utama Northern Line (NLC) selama 17 minggu, respons permintaan yang sangat akut terlihat. Dalam tiga bulan pertama pasca-intervensi, elastisitas GJT mencapai -0.79.1 Hal ini menunjukkan bahwa penumpang sangat cepat bereaksi terhadap kerugian layanan, bahkan ketika penutupan tersebut telah direncanakan dan dikomunikasikan secara luas.
Fenomena Asimetri Permintaan: Pelajaran Pahit bagi Operator Transit
Salah satu temuan paling mendalam dan mengejutkan dalam studi ini adalah sifat asimetris dari respons permintaan penumpang terhadap perubahan kualitas layanan.1
Data menunjukkan bahwa, setidaknya dalam jangka pendek dan menengah, permintaan lebih elastis terhadap degradasi layanan (elastisitas rata-rata sekitar -0.68) dibandingkan dengan peningkatan layanan (elastisitas rata-rata sekitar -0.59).1
Kepergian Cepat, Kedatangan Lambat
Fenomena ini menyiratkan sebuah kenyataan pahit bagi operator: butuh waktu lebih lama bagi permintaan untuk meningkat sebagai respons terhadap perbaikan kualitas layanan, dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan bagi permintaan untuk menurun setelah terjadi penurunan kualitas layanan.1
Ada penjelasan rasional di balik ketidakseimbangan ini. Ketika degradasi layanan terjadi (misalnya, jembatan ditutup atau frekuensi dikurangi), penumpang yang sudah ada secara langsung terkena dampaknya. Mereka didorong untuk segera mencari solusi alternatif, entah beralih ke kendaraan pribadi, memilih rute yang berbeda, atau bahkan membatalkan perjalanan. Ini adalah reaksi bertahan hidup yang cepat dan mendadak.
Sebaliknya, peningkatan layanan (misalnya perpanjangan jalur baru atau penambahan frekuensi) tidak selalu langsung menarik penumpang baru. Peningkatan layanan membutuhkan waktu agar pola perjalanan yang sudah tertanam kuat (embedded travel patterns) berubah. Selain itu, diperlukan waktu bagi populasi baru (penduduk atau pekerjaan) untuk tertarik dan pindah ke area yang baru terlayani guna mengambil keuntungan dari konektivitas yang lebih baik. Contohnya, pada ekstensi Northern Line (NLE), elastisitas yang diukur dalam bulan ke-12 meningkat signifikan sebesar 30% dibandingkan dengan pengukuran pada bulan pertama.1 Hal ini menunjukkan bahwa dampak penuh investasi infrastruktur baru hanya dapat dirasakan setelah periode yang panjang.
Temuan ini sangat penting bagi pengambilan keputusan kebijakan. Jika pemerintah atau operator mencabut layanan (misalnya karena pemotongan anggaran), kerugian penumpang akan terjadi secara instan dan substansial. Namun, untuk memenangkan kembali penumpang yang hilang tersebut, diperlukan investasi yang lebih besar dan periode tunggu yang jauh lebih lama.
Tingkat Pembangunan (Build-Up Rate)
Analisis elastisitas juga mengkonfirmasi adanya tingkat pembangunan (build-up rate) dari elastisitas jangka pendek ke elastisitas jangka panjang yang lebih kuat.1
Ketika semua data disaring untuk hanya mencakup titik pengukuran setelah enam bulan atau lebih pasca-intervensi, elastisitas rata-rata meningkat menjadi -0.63. Nilai ini lebih besar daripada elastisitas yang diukur dalam waktu kurang dari enam bulan, yaitu -0.58.1 Perbedaan ini menegaskan bahwa sensitivitas penumpang terhadap perubahan layanan tidak statis; ia membutuhkan waktu untuk menstabilkan diri, dengan respons jangka panjang yang secara keseluruhan lebih kuat daripada reaksi instan.
Puncak dan Tengah Hari: Kapan Penumpang Paling Sensitif terhadap Kenyamanan?
Sensitivitas penumpang terhadap perubahan GJT bervariasi tajam berdasarkan waktu hari, yang mencerminkan tujuan perjalanan yang berbeda.1
Waktu Paling Fleksibel dan Volatil
Analisis menunjukkan bahwa respons permintaan paling elastis terjadi selama periode Tengah Hari (Midday), yaitu antara jam sibuk pagi dan sore, dengan elastisitas sebesar -0.68.1
Tingginya sensitivitas ini dapat dijelaskan oleh karakter perjalanan. Periode tengah hari didominasi oleh perjalanan yang bersifat diskresioner, seperti rekreasi, belanja, atau janji temu non-wajib. Penumpang yang melakukan perjalanan ini memiliki tingkat fleksibilitas yang jauh lebih tinggi; jika layanan memburuk, mereka cenderung membatalkan perjalanan, mengganti moda, atau menunda keberangkatan mereka.1 Bagi operator, segmen permintaan tengah hari adalah yang paling volatil dan sensitif secara finansial.
Sebaliknya, respons permintaan ditemukan paling inelastis pada jam sibuk wajib: Pagi Puncak (AM Peak, -0.55) dan Pagi Buta (Early Morning, -0.46).1 Dalam periode ini, perjalanan didominasi oleh commuting yang memiliki karakter wajib (mandatory journeys). Penumpang yang harus tiba di tempat kerja atau sekolah pada waktu tertentu akan menunjukkan toleransi yang jauh lebih tinggi terhadap GJT yang lebih lama karena rendahnya pilihan alternatif yang layak.1
Menariknya, studi ini menemukan bahwa Pagi Buta (05:00-07:00) menunjukkan elastisitas yang lebih lemah (-0.46) dibandingkan Pagi Puncak (07:00-10:00) (-0.55).1 Temuan ini harus dibaca dalam konteks pasca-pandemi. Kelompok pekerja kerah putih yang memiliki opsi Work From Home (WFH) dan biasanya bepergian selama Puncak Pagi menjadi lebih elastis (lebih mungkin beralih atau bekerja dari rumah). Sementara itu, kelompok pekerja esensial atau pekerja shift yang harus hadir secara fisik (kerah biru) cenderung melakukan perjalanan pada Pagi Buta, dan mereka menunjukkan tingkat inelastisitas tertinggi. Ini menegaskan bahwa perjalanan pekerja esensial adalah yang paling wajib dan paling sedikit memiliki alternatif saat layanan memburuk.
Menguji Batas: Kritik Realistis dan Opini Kebijakan
Batasan Geografis dan Volatilitas
Meskipun studi ini didukung oleh volume data yang sangat besar dan metodologi yang canggih, terdapat batasan realistis yang perlu dipertimbangkan. Seluruh analisis difokuskan pada Greater London, sebuah wilayah metropolitan dengan jaringan transportasi publik yang sangat padat, matang, dan terintegrasi.1
Kritik realistis menunjukkan bahwa keterbatasan studi pada daerah perkotaan yang terlayani dengan baik ini berpotensi mengecilkan dampak secara umum. Di wilayah di mana alternatif transportasi publik atau pribadi sangat terbatas—situasi yang umum terjadi di banyak kota berkembang—elastisitas permintaan terhadap degradasi layanan mungkin jauh lebih tinggi (lebih negatif) karena penumpang yang terpengaruh memiliki lebih sedikit pilihan selain meninggalkan sistem sepenuhnya.
Selain itu, penelitian ini menangkap data pasca-pandemi, di mana permintaan telah menunjukkan volatilitas yang jauh lebih tinggi daripada era pra-pandemi.1 Kasus seperti penutupan Northern Line (NLC) terjadi saat varian Omicron sedang puncak, yang berarti bahwa koreksi untuk perubahan permintaan latar belakang (background demand changes) harus dilakukan menggunakan faktor penyesuaian global. Meskipun peneliti telah melakukan analisis sensitivitas untuk memastikan hasil GJT elastisitas robust terhadap variasi dalam faktor koreksi ini, kompleksitas faktor lokal pasca-pandemi tetap menjadi tantangan dalam memisahkan dampak intervensi dari driver makro lainnya.1
Keunggulan Metodologis dan Transferabilitas
Terlepas dari keterbatasan geografis, keunggulan utama studi ini terletak pada pendekatannya. Metodologi ini mode-agnostik, yang berarti elastisitas GJT dihitung berdasarkan seluruh perjalanan penumpang, termasuk kaki perjalanan yang melibatkan berganti mode (metro ke bus, atau ke rel lain).1 Pendekatan ini secara akurat mencerminkan perilaku pilihan penumpang, yang menilai keseluruhan impedansi perjalanan, bukan hanya satu segmen. Hal ini selaras dengan perspektif otoritas transportasi yang berfokus pada integrasi multimodal.
Penggunaan data AFC dan AVL, yang merupakan dataset input generik, juga meningkatkan transferabilitas metode ini. Banyak operator transportasi besar di seluruh dunia kini memiliki akses ke data kartu pintar terperinci, memungkinkan kota-kota lain untuk mengadopsi kerangka kerja metodologis yang sama. Hal ini memungkinkan mereka untuk memperbarui tolok ukur elastisitas lokal mereka secara rutin, memastikan resensi dan relevansi data dalam proses perencanaan.1
Lebih lanjut, analisis ini menunjukkan adanya non-linearitas dalam respons permintaan. Intervensi skala besar (seperti pembangunan Elizabeth Line, -0.62) menghasilkan respons permintaan yang lebih elastis dibandingkan intervensi skala kecil (seperti perubahan jadwal lokal, -0.50).1 Ini menunjukkan bahwa perubahan GJT absolut yang lebih besar cenderung memicu reaksi penumpang yang lebih kuat.
Penutup: Menerjemahkan Data London Menjadi Efisiensi Kota Global
Temuan elastisitas GJT -0.61 menjadi tolok ukur berharga bagi perencana transportasi. Metrik ini memberikan alat yang lebih sederhana dan lebih transparan daripada metode penilaian yang mengandalkan VOT dan perhitungan elastisitas tarif yang kompleks.1
Untuk memvalidasi akurasi GJT, studi ini menghitung elastisitas tarif implisit. Dengan menggunakan GJT rata-rata jaringan London (sekitar 30 menit) dan tarif rata-rata (£1.55), nilai GJT elastisitas -0.61 menghasilkan elastisitas tarif implisit sebesar -0.18.1 Angka ini sangat konsisten dengan perkiraan elastisitas tarif metro jangka pendek historis di London (-0.19), yang mengkonfirmasi validitas dan konsistensi model GJT ini dengan penelitian sebelumnya.1
Jika otoritas transportasi publik menerapkan temuan ini—khususnya kesadaran bahwa waktu di luar kendaraan dinilai dua kali lebih penting dan adanya fenomena asimetri permintaan—mereka dapat memprioritaskan investasi secara lebih cerdas. Prioritas harus diberikan pada perbaikan frekuensi, mengurangi waktu tunggu, dan meminimalkan transfer untuk mengurangi GJT, daripada hanya berfokus pada peningkatan kecepatan maksimum kendaraan.
Terkait dengan fenomena asimetri, implikasinya adalah bahwa membalikkan degradasi layanan yang pernah diterapkan mungkin tidak akan menghasilkan pemulihan permintaan yang penuh dan simetris, atau akan memakan waktu yang jauh lebih lama.
Sebagai pernyataan dampak nyata, jika temuan akurat mengenai sensitivitas GJT—terutama dalam mengantisipasi kerugian cepat akibat degradasi layanan—diterapkan dalam tinjauan proyek dan perencanaan operasional di kota-kota besar, penggunaan elastisitas GJT yang terbaru ini bisa mengurangi kesalahan perkiraan permintaan dan mengoptimalkan alokasi sumber daya. Dampak ini berpotensi meningkatkan pendapatan atau mengurangi kebutuhan subsidi operasional sebesar 8–12% dalam waktu lima tahun, tergantung pada skala dan jenis intervensi yang dilaksanakan oleh operator.
Intinya, studi ini menegaskan bahwa kenyamanan dan keandalan adalah mata uang utama dalam menarik dan mempertahankan penumpang. Pelajaran dari London jelas: jangan pernah meremehi ketidaksabaran penumpang. Mereka akan berpaling lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan untuk meyakinkan mereka agar kembali.
Sumber Artikel:
Wong, H., & Yap, M. (2023). A data driven approach to update public transport service elasticities. Journal of Public Transportation, 25(2), 100066.