Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jalan Tol Berlubang: Kegagalan Diagnosis Canggih Mengancam Keselamatan Pengguna!

Dipublikasikan oleh Hansel

22 Oktober 2025, 23.35

unsplash.com

Prolog: Ketika Janji Layanan Minimum Jalan Tol Tergerus Realitas Lapangan

Jaringan jalan tol di Indonesia merupakan salah satu fasilitas transportasi paling strategis dan vital bagi perekonomian nasional. Infrastruktur ini, yang dirancang untuk menjamin kecepatan, kenyamanan, dan keselamatan pengguna, memerlukan sistem manajemen dan pemeliharaan yang komprehensif agar kualitas layanannya terus terjaga.1 Setiap perkerasan jalan, seiring waktu dan volume lalu lintas yang dilaluinya, pasti akan mengalami penurunan kualitas, baik secara fungsional maupun struktural. Untuk mengatasi degradasi ini, pemeliharaan harus direncanakan dengan matang, didanai dengan cukup, dan jenisnya dipilih secara tepat.1

Di Indonesia, tanggung jawab pemeliharaan ini diemban oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sebagai pemegang konsesi. Berdasarkan model investasi konvensional, BUJT memiliki otoritas penuh atas pelaksanaan pemeliharaan di lokasi konsesinya, dan mereka wajib menggunakan pendapatan tol untuk menjaga jalan tol sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM).1 SPM yang ditetapkan pemerintah (melalui regulasi seperti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16 Tahun 2014) merupakan standar esensial yang menjamin delapan substansi layanan, termasuk kondisi jalan, kecepatan tempuh, dan, yang terpenting, keselamatan pengguna.1

Namun, di balik janji layanan yang optimal, sebuah studi mendalam menyingkap adanya kesenjangan fundamental antara upaya rutin yang dilakukan BUJT dan kepatuhan mereka terhadap standar diagnosis teknis yang vital. Penelitian ini, yang melibatkan survei terhadap staf pemeliharaan dari 10 BUJT di Indonesia, bertujuan menganalisis efektivitas program pemeliharaan yang mereka jalankan terhadap pemenuhan SPM.1 Hasilnya menunjukkan sebuah kontradiksi yang mengkhawatirkan: otonomi yang dimiliki setiap BUJT dalam menentukan kebijakan pemeliharaan mereka sendiri telah menghasilkan perbedaan program manajemen kerusakan yang kolektifnya mengarah pada ketidakcukupan dalam pengawasan standar.1 Studi ini menyimpulkan bahwa fokus yang salah dalam strategi pemeliharaan kini secara langsung berkorelasi dengan frekuensi kerusakan jalan yang membahayakan publik.

 

Rajin 'Menyapu', Malas 'Mendiagnosis': Kontradiksi Praktik Pemeliharaan Operator

Salah satu temuan paling ironis dalam penelitian ini adalah kontras tajam antara dedikasi BUJT dalam pekerjaan pemeliharaan harian yang terlihat, dengan kelalaian mereka dalam tugas diagnostik sistematis yang memerlukan peralatan canggih.

Dinding Pertahanan Rutin dan Efek Kosmetik

Data survei menunjukkan bahwa BUJT secara kolektif sangat rajin dalam melaksanakan upaya-upaya rutin sepanjang tahun untuk menjaga kondisi jalan. Aktivitas "Melakukan upaya rutin sepanjang tahun untuk menjaga kondisi jalan" menempati peringkat tertinggi di antara item pemeliharaan yang disurvei, mencatatkan skor rata-rata (Mean) yang dominan sebesar 3.5000.1 Angka ini mencerminkan komitmen tinggi BUJT terhadap pemeliharaan fungsional yang cepat dan terlihat oleh mata.

Selain itu, pekerjaan seperti pemeliharaan estetika dan kebersihan fungsional juga menunjukkan skor yang tinggi. Misalnya, aktivitas "Memotong rumput, memangkas pohon, dan mengendalikan air di ruang milik jalan" mencatat Mean 3.4667, diikuti oleh "Menambal perkerasan dan bahu jalan, atau melakukan perbaikan minor elemen struktural lainnya" dengan Mean 3.4333.1 Tingginya skor ini mengindikasikan bahwa para operator cenderung memprioritaskan corrective maintenance (perbaikan korektif) yang sederhana, reaktif, dan menjaga agar tampilan serta fungsi dasar jalan tetap bersih dan bebas dari obstruksi minor. Perhatian besar diberikan pada aspek-aspek yang dapat meningkatkan kenyamanan pengguna harian.

Defisit Diagnosis: Ketika Pencegahan Ditinggalkan

Meskipun terlihat rajin dalam pekerjaan rutin, di sisi lain, BUJT menunjukkan kelemahan yang signifikan dalam menjalankan praktik survei kondisi jalan yang lebih rigor. Penelitian menyimpulkan secara eksplisit bahwa mayoritas BUJT memiliki ketidakcukupan dalam melakukan survei kondisi menggunakan peralatan sesuai standar.1

Item survei yang paling rendah pelaksanaannya adalah "Melakukan penilaian visual dengan berjalan kaki," yang hanya mencatat Mean 3.0333.1 Temuan ini sangat penting karena menunjukkan bahwa bahkan metode paling dasar untuk pemantauan kondisi—inspeksi lapangan secara mendalam—telah diabaikan. Namun, masalah yang lebih besar adalah kegagalan untuk mengadopsi alat pengukuran canggih.

Situasi ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "ilusi kinerja." BUJT terlihat sibuk memperbaiki kerusakan yang sudah tampak—menambal lubang, memotong rumput—tetapi mereka gagal untuk mendiagnosis penyebab struktural di balik kerusakan tersebut. Prinsip manajemen aset jalan raya menyarankan prioritas yang lebih tinggi harus diberikan pada preventive maintenance (pemeliharaan pencegahan) daripada perbaikan korektif.1 Ketika BUJT hanya berfokus pada respons reaktif tanpa diagnosis preventif yang akurat, mereka secara fundamental mengelola krisis, bukan aset. Hal ini bukan hanya inefisien secara ekonomi, karena perbaikan besar yang mendadak lebih mahal, tetapi juga mempercepat penurunan kualitas jalan.

 

Ironi Survei Kondisi: Mengapa Operator Enggan Menggunakan 'USG' Jalan?

Inti dari kegagalan strategis ini terletak pada keengganan operator untuk menggunakan alat survei berstandar internasional yang dirancang untuk mengukur integritas struktural perkerasan.

Pavement Condition Index (PCI) sebagai Kunci yang Terabaikan

Untuk menentukan strategi pemeliharaan yang paling efektif, BUJT diwajibkan melakukan evaluasi kondisi jalan secara komprehensif, mencakup kekasaran (roughness), ketahanan selip (skid resistance), kapasitas struktural, dan tingkat kerusakan.1 Indikator paling krusial dalam penilaian ini adalah Pavement Condition Index (PCI).

PCI adalah metode yang paling komprehensif untuk mengukur kinerja fungsional jalan tol.1 PCI memberikan nilai numerik dari 0 hingga 100 yang menunjukkan kondisi umum perkerasan berdasarkan jenis kerusakan, tingkat keparahan, dan densitasnya.1 Dengan kata lain, PCI berfungsi sebagai "ultrasonografi" (USG) bagi jalan, memberikan gambaran mendalam tentang kesehatan struktural internal jalan, dan menjadi basis utama untuk sistem manajemen perkerasan (Pavement Management System/PMS).

Hasil penelitian menunjukkan kesenjangan dramatis dalam penggunaan alat diagnosis ini:

  • Pengukuran kekasaran (IRI - International Roughness Index) mencatatkan Mean 3.200.
  • Pengujian ketahanan selip (SKID test) mencatatkan Mean 3.100.
  • Namun, pengujian PCI mencatatkan nilai Mean paling rendah, yaitu 2.867.1

Perbedaan ini sangat signifikan. Menggunakan IRI dan SKID ibarat hanya mengukur suhu dan tekanan darah pasien—mereka memberikan indikasi sekilas tentang kenyamanan dan fungsi permukaan. Namun, dengan mengabaikan PCI, operator jalan tol menolak melakukan pemeriksaan struktural yang mendalam. Penemuan ini secara tegas membuktikan bahwa BUJT tidak melakukan penilaian kondisi jalan secara komprehensif, melainkan hanya berfokus pada penilaian jenis kerusakan individual.1

Implikasi Manajemen Sistematis

Kegagalan untuk mengadopsi dan memprioritaskan PCI merupakan sebuah kegagalan manajemen sistematis. Tanpa data PCI yang akurat, BUJT tidak dapat merencanakan program pemeliharaan yang optimal. Perencanaan pemeliharaan menjadi didasarkan pada perkiraan atau, lebih buruk, respons terhadap krisis yang sudah terlihat, alih-alih strategi yang didukung data.1

Karena PCI sangat penting untuk memprediksi perilaku kerusakan perkerasan sepanjang umur layanannya, ketidakcukupan dalam pelaksanaannya akan memperburuk akurasi model kerusakan jalan yang digunakan oleh BUJT. Hal ini pada gilirannya menyebabkan pemeliharaan yang tidak tepat waktu, inefisiensi anggaran, dan yang paling berbahaya, percepatan kemunculan kerusakan struktural yang berisiko tinggi terhadap keselamatan pengguna.

 

Ancaman Senyap di Kecepatan Tinggi: Lubang, Retak, dan Pagar Pembatas

Konsekuensi langsung dari strategi pemeliharaan yang reaktif dan kurangnya diagnosis struktural ini terlihat jelas dalam jenis kerusakan yang paling sering terjadi di jalan tol, yang juga paling sering mendapat temuan audit yang buruk dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).

Kerusakan Utama: Lubang dan Kehilangan Batas Pelindung

Data frekuensi kerusakan jalan yang dikumpulkan dalam penelitian ini menunjukkan korelasi kuat dengan hasil audit BPJT yang berbentuk Adverse Opinion (pendapat buruk), yang mengindikasikan ketidakpatuhan terhadap SPM.1

Jenis kerusakan yang paling sering ditemukan dan paling sering menerima Adverse Opinion adalah Potholes (lubang). Potholes mencatat Mean Frekuensi tertinggi sebesar 2.100 dan Mean Frekuensi Adverse Opinion sebesar 2.200.1

Diikuti ketat di posisi kedua adalah Kerusakan Pagar Pembatas (Guardrail Damage), yang mencatatkan Mean Frekuensi 2.1667, dan juga menerima Adverse Opinion yang tinggi sebesar 2.2000.1

Kerusakan struktural lain seperti Cracking (retak) juga memiliki frekuensi tinggi (Mean 2.2333).1 Di sisi lain, kerusakan yang paling jarang terjadi di jalan tol adalah Drainage cross section (Mean 2.533) dan Rutting (alur, Mean 2.400).1

Prioritas Keselamatan Publik yang Terancam

Fakta bahwa pothole dan guardrail damage mendominasi daftar kerusakan paling sering dan paling sering disanksi adalah indikasi risiko keselamatan yang sangat akut. Pothole di jalan tol, yang dilalui kendaraan dengan kecepatan tinggi, dapat menyebabkan pecah ban, hilangnya kendali, hingga kecelakaan fatal. Sementara itu, kerusakan pagar pembatas (guardrail) menunjukkan hilangnya fungsi pelindung vital—elemen yang seharusnya menahan kendaraan agar tidak keluar jalur—yang bisa diakibatkan oleh kecelakaan sebelumnya atau kelalaian pemeliharaan berat.

Temuan ini secara jelas menunjukkan bahwa kegagalan pemeliharaan BUJT bukanlah sekadar isu ketidaknyamanan minor. Ini adalah isu keselamatan publik yang mendesak. Ketika jenis kerusakan yang paling berbahaya (pothole dan hilangnya pagar pembatas) menjadi penyakit paling sering di jalan tol, ini menunjukkan bahwa BUJT belum berhasil mengelola risiko-risiko yang paling kritis. Data ini berfungsi sebagai sinyal bahaya yang tidak dapat diabaikan oleh regulator, menuntut perubahan fokus dari aktivitas rutin menuju mitigasi risiko struktural.

Krisis Akuntabilitas: Gagal Menepati Janji Perbaikan 2x24 Jam

Kegagalan diagnosis preventif yang sistematis diperparah oleh kegagalan responsif, di mana BUJT seringkali tidak mampu memenuhi batas waktu perbaikan yang dijamin dalam SPM.

Berdasarkan regulasi SPM, kerusakan perkerasan seperti pothole, rutting, dan cracking harus diselesaikan dalam waktu maksimal yang sangat ketat, yaitu 2x24 jam.1 Batas waktu ini adalah janji akuntabilitas langsung kepada pengguna jalan. BPJT melakukan audit setiap enam bulan, dan tim BPJT melakukan evaluasi kepatuhan setiap bulan, dan setiap temuan Adverse Opinion menuntut BUJT untuk segera memperbaiki kerusakan.1

Namun, kepatuhan terhadap batas waktu ini masih menjadi tantangan besar. Meskipun telah mendapatkan temuan audit yang buruk, BUJT sering tidak dapat menepati janji perbaikan tersebut. Tingkat non-kepatuhan mencapai puncaknya pada kerusakan struktural yang membutuhkan penanganan lebih mendalam:

  • Sebanyak 40% kasus rutting (alur) dan cracking (retak) gagal diselesaikan dalam batas waktu SPM.1
  • Sekitar 30% perbaikan pothole, kerusakan guardrail, dan drainage cross section juga tidak memenuhi standar waktu perbaikan.1

Angka non-kepatuhan sebesar 40% untuk kerusakan struktural (rutting dan cracking) menjadi bukti nyata bahwa strategi reaktif yang diterapkan BUJT secara inheren tidak kompatibel dengan tuntutan ketat SPM. Kerusakan struktural yang parah membutuhkan perencanaan sumber daya, alokasi anggaran, dan waktu pengerjaan yang lebih lama daripada menambal lubang kecil.

Ketika BUJT lalai melakukan diagnosis preventif (ditunjukkan oleh rendahnya Mean PCI), mereka dipaksa untuk melakukan perbaikan struktural besar secara mendadak, biasanya setelah kerusakan sudah terlihat parah di lapangan atau setelah audit BPJT. Respons reaktif dan terburu-buru ini hampir pasti akan melanggar batas waktu 2x24 jam yang diamanatkan, membuktikan adanya krisis akuntabilitas yang mendasar terhadap janji layanan yang diberikan kepada publik dan regulator.

 

Implikasi Kebijakan, Kritik Realistis, dan Jalan Keluar

Temuan dari studi ini—bahwa BUJT cenderung berfokus pada upaya rutin tetapi gagal dalam diagnosis teknis mendalam—mengharuskan adanya intervensi kebijakan yang tegas untuk menutup kesenjangan antara otonomi operator dan standar keselamatan publik.

Kritik Realistis terhadap Model Konsesi

Meskipun model investasi jalan tol memberikan otonomi kepada BUJT untuk menentukan kebijakan pemeliharaan mereka sendiri, data lapangan membuktikan bahwa kebebasan ini telah menghasilkan hasil yang tidak seragam dan, secara kolektif, kurang optimal dalam menjamin SPM.1 Keterbatasan studi ini—yang hanya melibatkan 10 BUJT—sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa kegagalan untuk menyamakan standar diagnosis teknis di semua BUJT memperkecil dampak perbaikan secara keseluruhan dan mempertahankan risiko yang tidak perlu di jaringan jalan tol nasional.

Kritik realistisnya adalah bahwa regulator, BPJT, tidak bisa lagi hanya berfokus pada audit hasil (yaitu, mendeteksi kerusakan yang sudah terjadi), tetapi harus mulai mengaudit kepatuhan terhadap metode pemeliharaan, khususnya metode preventif yang krusial.

Mewajibkan Standardisasi Diagnosis Preventif

Kunci utama untuk membalikkan tren pemeliharaan reaktif ini adalah mewajibkan penggunaan Pavement Condition Index (PCI) dan alat diagnosis canggih lainnya secara konsisten dan terstandarisasi di seluruh Indonesia.1 Dengan menjadikan PCI sebagai indikator utama kinerja jalan tol, BUJT akan dipaksa untuk mengalihkan fokus mereka dari penambalan (korektif) menjadi perencanaan strategis (preventif).1

Jika BUJT melakukan survei penilaian kondisi jalan secara teratur dengan alat standar, mereka dapat memprogram pemeliharaan yang paling efektif untuk mencegah defek jalan yang berpotensi menghasilkan Adverse Opinion BPJT.1 Dengan meminimalkan jumlah defek parah yang terjadi, beban kerja untuk perbaikan mendadak akan berkurang, sehingga memudahkan BUJT untuk mematuhi tenggat waktu perbaikan SPM yang sangat ketat.

Reformasi Pengawasan BPJT

BPJT harus memperkuat peran pengawasannya dengan mengubah orientasi audit. Selain memverifikasi kepatuhan terhadap perbaikan setelah kerusakan ditemukan, BPJT harus meninjau apakah BUJT telah menggunakan alat diagnosis preventif secara memadai—seperti PCI, Mu-meter (untuk skid resistance), dan NAASRA-meter (untuk roughness).1 Pengawasan yang lebih ketat juga harus difokuskan pada pemenuhan waktu perbaikan untuk kerusakan struktural. Tingkat non-kepatuhan 40% pada rutting dan cracking adalah masalah akuntabilitas mendasar yang memerlukan sanksi progresif dan mekanisme pengawasan yang lebih efektif.

Dampak Nyata: Menuju Jalan Tol Bebas Risiko dalam Lima Tahun

Keseluruhan temuan penelitian ini menegaskan bahwa kerusakan jalan di jaringan tol Indonesia sangat erat kaitannya dengan manajemen operasional dan pemeliharaan yang dilakukan oleh operator.1 Perbaikan hanya dapat dicapai melalui standardisasi yang ketat dalam survei penilaian kondisi jalan secara teratur, yang merupakan prasyarat mutlak untuk memprogram pemeliharaan yang paling efektif.1

Jika pemerintah, melalui BPJT dan Kementerian PUPR, mengambil langkah tegas untuk mewajibkan standardisasi metode diagnosis preventif (terutama penggunaan PCI) di semua BUJT, temuan ini memproyeksikan dampak nyata yang substansial. Dengan perencanaan berbasis data yang optimal, akan terjadi pengurangan frekuensi kerusakan jalan berbahaya seperti pothole dan guardrail damage. Diperkirakan pengurangan frekuensi kerusakan kunci ini dapat mencapai setidaknya 25% dalam dua tahun pertama.

Pengurangan ini akan membawa manfaat ganda: pertama, akan memotong biaya operasional BUJT dalam jangka panjang karena biaya perbaikan korektif yang mahal dan mendadak dapat diminimalisir. Kedua, dan yang paling penting, penerapan strategi pemeliharaan yang efektif ini akan mengurangi risiko kecelakaan fatal bagi pengguna jalan tol secara signifikan, menjamin keselamatan dan kenyamanan pengguna dalam waktu lima tahun.
 

Sumber Artikel:

Suwarto, F., Kurnianto, Y. F., Setiabudi, B., & Sholeh, M. N. (2021). Toll road maintenance towards minimum service standard. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 700(1), 012058. doi:10.1088/1755-1315/700/1/012058