Keselamatan Kerja

Penerapan Lean Occupational Health and Safety (Lean-OHS) dalam Laboratorium Farmasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Mei 2025


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menjadi isu yang semakin krusial, terutama di era Revolusi Industri 4.0, di mana teknologi dan model bisnis yang terus berkembang menuntut karyawan bekerja lebih cepat dan fleksibel. Dalam makalah "A Case Study on Lean Occupational Safety" oleh Mesut Ulu dan Semra Birgün, diterbitkan dalam Sigma Journal of Engineering and Natural Sciences (2024), penulis mengusulkan model Lean-OHS sebagai pendekatan inovatif dalam meningkatkan keselamatan kerja. Studi kasus ini diterapkan pada laboratorium farmasi di sebuah universitas, dengan hasil yang menunjukkan perbaikan signifikan dalam kondisi kerja dan pengurangan risiko kecelakaan.

Lean-OHS mengadopsi prinsip Lean Manufacturing yang bertujuan untuk mengurangi pemborosan dan meningkatkan efisiensi. Model ini berfokus pada peningkatan keselamatan kerja melalui langkah-langkah seperti analisis risiko, penerapan teknik Lean, serta evaluasi dan perbaikan berkelanjutan.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi dan Farmakologi di sebuah universitas. Dari lima laboratorium yang ada, laboratorium ini dipilih karena memiliki peralatan analisis yang digunakan bersama oleh berbagai laboratorium serta kurangnya tindakan K3 yang memadai. Dengan lebih dari 500 bahan kimia berbeda yang tersimpan, terdapat berbagai potensi bahaya yang harus diatasi.

Langkah-langkah utama yang diterapkan dalam model Lean-OHS meliputi:

  1. Analisis Kondisi Saat Ini
    • Mengidentifikasi masalah seperti penyimpanan bahan kimia yang tidak sesuai, kabel yang tidak teratur, sistem ventilasi yang tidak memadai, dan kurangnya instruksi keselamatan.
  2. Analisis Risiko dengan Metode Fine Kinney
    • Risiko diklasifikasikan berdasarkan probabilitas, frekuensi, dan dampak.
    • Dari 20 risiko yang teridentifikasi, 8 dikategorikan sebagai risiko tinggi (>200), 7 sebagai risiko signifikan (70-200), dan 5 sebagai risiko pasti (20-70).
  3. Implementasi Teknik Lean
    • 5S (Sort, Set in Order, Shine, Standardize, Sustain) untuk meningkatkan keteraturan dan kebersihan laboratorium.
    • Visual Factory dengan pemberian tanda peringatan dan instruksi keselamatan.
    • Kaizen untuk perbaikan berkelanjutan, seperti pemasangan pipa gas, penataan kabel, dan perbaikan sistem ventilasi.
  4. Evaluasi dan Standarisasi
    • Setelah implementasi, dilakukan penilaian ulang dengan Fine Kinney.
    • Hasilnya, 18 dari 20 risiko berhasil diturunkan ke tingkat yang dapat diterima.

Setelah penerapan Lean-OHS, laboratorium mengalami perbaikan signifikan, antara lain:

  • Penyimpanan bahan kimia yang lebih aman dengan sistem inventarisasi dan klasifikasi yang jelas.
  • Pengurangan risiko kebakaran dengan pemasangan sistem pencegahan yang lebih baik.
  • Peningkatan ergonomi bagi pekerja melalui tata letak peralatan yang lebih baik.
  • Penurunan konsentrasi bahan kimia berbahaya di udara, yang mengurangi risiko penyakit akibat kerja.

Selain itu, implementasi ini mendapat respons positif dari staf dan mahasiswa, yang merasa lebih aman dan nyaman dalam melakukan penelitian.

Meskipun studi ini menunjukkan keberhasilan dalam menerapkan Lean-OHS di laboratorium farmasi, terdapat beberapa aspek yang masih bisa dikembangkan:

  • Kurangnya Fokus pada Aspek Psikologis: Studi ini lebih berfokus pada aspek fisik keselamatan kerja, sementara faktor psikososial seperti stres akibat tekanan kerja dan kurangnya pelatihan mental belum dieksplorasi.
  • Kendala dalam Implementasi di Gedung Bersejarah: Salah satu hambatan utama adalah keterbatasan dalam melakukan perubahan struktural, seperti pemasangan ventilasi yang lebih baik.
  • Evaluasi Jangka Panjang: Studi ini belum mencakup evaluasi jangka panjang terhadap efektivitas Lean-OHS dalam mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja secara berkelanjutan.

Studi ini menunjukkan bahwa Lean-OHS merupakan pendekatan yang efektif dalam meningkatkan keselamatan kerja di lingkungan laboratorium. Dengan mengadopsi prinsip Lean, risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dikurangi secara signifikan. Namun, untuk optimalisasi lebih lanjut, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup aspek psikososial serta evaluasi jangka panjang.

Sumber Asli

Ulu M, Birgün S. A case study on lean occupational safety. Sigma J Eng Nat Sci 2024;42(2):534-548.

 

Selengkapnya
Penerapan Lean Occupational Health and Safety (Lean-OHS) dalam Laboratorium Farmasi

Keselamatan Kerja

Peran Dewan Direksi dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Perusahaan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Mei 2025


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan aspek krusial dalam manajemen perusahaan modern. Paper berjudul “Boards of Directors’ Influences on Occupational Health and Safety: A Scoping Review of Evidence and Best Practices” oleh David Ebbevi, Ulrica Von Thiele Schwarz, Henna Hasson, Carl Johan Sundberg, dan Mandus Frykman mengulas bagaimana peran dewan direksi mempengaruhi implementasi dan efektivitas K3 di perusahaan. Artikel ini menyoroti kesenjangan penelitian terkait keterlibatan dewan direksi dalam strategi dan kebijakan K3 serta dampaknya terhadap kesejahteraan karyawan.

Penelitian ini merupakan tinjauan sistematis (scoping review) yang menggunakan sumber dari berbagai database akademik seperti PubMed, EMBASE, Web of Science, dan lain-lain. Dari 49 studi yang disaring, mayoritas berisi data empiris (57%), sementara sisanya bersifat normatif atau teoretis.

Beberapa poin penting yang ditemukan dalam penelitian ini antara lain:

  • Kurangnya penelitian mengenai mekanisme keterkaitan antara kebijakan dewan direksi dan hasil K3.
  • Sebagian besar penelitian hanya berfokus pada aspek keselamatan dibandingkan kesehatan pekerja.
  • Konteks organisasi dan budaya kerja sering kali menjadi faktor penentu efektivitas kebijakan K3.

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor utama yang mempengaruhi efektivitas peran dewan direksi dalam K3:

  1. Kompetensi dalam K3
    • Hanya 16% penelitian yang menyoroti perlunya peningkatan kompetensi anggota dewan dalam aspek K3.
    • Pelatihan dan sertifikasi bagi anggota dewan masih jarang diterapkan secara luas.
  2. Budaya Keselamatan dalam Organisasi
    • 51% studi menunjukkan bahwa budaya keselamatan yang didorong oleh dewan direksi berdampak positif pada pengurangan insiden kecelakaan kerja.
    • Keberhasilan strategi K3 sering kali bergantung pada seberapa jauh dewan direksi mendukung inisiatif keselamatan.
  3. Strategi dan Kebijakan Perusahaan
    • Sebagian besar perusahaan menerapkan kebijakan reaktif terhadap K3, hanya sedikit yang memiliki strategi proaktif.
    • Perusahaan dengan strategi K3 yang kuat melaporkan pengurangan kecelakaan hingga 40% dan peningkatan produktivitas sebesar 20%.
  4. Pelaporan dan Akuntabilitas
    • 41% penelitian menyoroti pentingnya sistem pelaporan yang terstruktur agar kebijakan K3 dapat dievaluasi secara berkala.
    • Sistem insentif dan sanksi bagi manajemen terkait K3 masih jarang diterapkan di perusahaan.

Hasil penelitian ini memberikan wawasan berharga bagi industri dalam meningkatkan efektivitas kebijakan K3, antara lain:

  1. Peningkatan Kompetensi Dewan Direksi
    • Perusahaan perlu memastikan anggota dewan memiliki pemahaman yang cukup tentang K3.
    • Pelatihan berbasis risiko dapat membantu meningkatkan kepatuhan dan implementasi kebijakan keselamatan kerja.
  2. Integrasi K3 ke dalam Strategi Perusahaan
    • K3 harus menjadi bagian integral dari strategi bisnis, bukan sekadar formalitas kepatuhan regulasi.
    • Perusahaan yang mengadopsi kebijakan proaktif dalam K3 terbukti lebih unggul dalam manajemen risiko dan efisiensi operasional.
  3. Penguatan Budaya Keselamatan
    • Peran dewan direksi dalam menciptakan budaya keselamatan sangat penting untuk keberlanjutan kebijakan K3.
    • Komitmen kepemimpinan terhadap keselamatan dapat mengurangi tingkat kecelakaan kerja secara signifikan.
  4. Optimalisasi Pelaporan dan Akuntabilitas
    • Perusahaan harus memiliki sistem pelaporan yang transparan dan berbasis data untuk memantau efektivitas kebijakan K3.
    • Insentif bagi perusahaan yang berhasil mengurangi insiden kecelakaan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap standar keselamatan.

Penelitian ini menyoroti pentingnya peran dewan direksi dalam memastikan keberhasilan implementasi K3 di perusahaan. Dengan strategi yang lebih proaktif, peningkatan kompetensi, serta sistem pelaporan yang lebih baik, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan produktif.

Untuk penelitian selanjutnya, direkomendasikan eksplorasi lebih lanjut mengenai efektivitas berbagai model kepemimpinan dewan direksi dalam implementasi K3 serta bagaimana kebijakan yang berbasis bukti dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Sumber Artikel:
Ebbevi, D., Von Thiele Schwarz, U., Hasson, H., Sundberg, C. J., & Frykman, M. (2021). Boards of Directors’ Influences on Occupational Health and Safety: A Scoping Review of Evidence and Best Practices. International Journal of Workplace Health Management, 14(1), 64-86.

 

Selengkapnya
Peran Dewan Direksi dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Perusahaan

Keselamatan Kerja

Akar Penyebab untuk Risiko Berbasis Manusia dalam Praktik K3 di Administrasi Provinsi Khusus

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Mei 2025


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor kunci dalam operasional institusi, terutama dalam administrasi provinsi khusus yang bertanggung jawab atas layanan publik. Paper berjudul “Root Cause Model Proposal for Human-Related Risks in Occupational Health and Safety Practices of Special Provincial Administrations” oleh Mustafa Erdem dan Alpaslan H. Kuzucuoğlu mengkaji faktor-faktor penyebab risiko berbasis manusia dalam praktik K3 di administrasi provinsi khusus di Turki.

Artikel ini menyoroti bagaimana faktor manusia berkontribusi terhadap kecelakaan kerja dan mengusulkan model akar penyebab untuk mengurangi insiden terkait K3. Studi ini berfokus pada peran pelatihan, kesadaran keselamatan, serta kepatuhan terhadap peraturan dalam meningkatkan kondisi kerja.

Penelitian ini dilakukan pada 372 pekerja dari total populasi 11.463 karyawan yang bekerja di administrasi provinsi khusus di Turki. Data dikumpulkan melalui survei dan dianalisis menggunakan SPSS 22.00 dengan metode uji t independen dan uji varians satu arah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor utama penyebab kecelakaan kerja meliputi:

  • Kurangnya kesadaran terhadap prosedur keselamatan
  • Kurangnya pelatihan keselamatan yang efektif
  • Pengaruh kondisi psikologis dan fisiologis pekerja
  • Faktor organisasi seperti manajemen yang kurang mendukung

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa 29% responden pernah mengalami kecelakaan kerja, sementara 39,2% mengalami kejadian nyaris celaka. Selain itu, data menunjukkan:

  • Tingkat kecelakaan kerja dapat dikurangi hingga 40% jika pelatihan keselamatan diterapkan dengan baik.
  • Produktivitas meningkat sebesar 20% di lingkungan kerja yang memiliki budaya keselamatan yang kuat.
  • Penggunaan peralatan pelindung diri (APD) dapat mengurangi cedera hingga 50%.

Penelitian ini menekankan bahwa sebagian besar kecelakaan kerja dapat dicegah dengan meningkatkan kesadaran keselamatan dan memperbaiki sistem manajemen risiko.

Hasil studi ini memiliki beberapa implikasi penting:

  1. Meningkatkan Kesadaran Keselamatan di Tempat Kerja
    Kesadaran keselamatan yang tinggi dapat menekan insiden kecelakaan kerja dan meningkatkan kepatuhan terhadap prosedur keselamatan.
  2. Penerapan Pelatihan Berbasis Teknologi
    Penggunaan teknologi seperti realitas virtual (VR) dalam pelatihan K3 terbukti lebih efektif dibanding metode tradisional.
  3. Dukungan Manajemen dan Kepatuhan Regulasi
    Manajemen perlu memastikan bahwa kebijakan K3 diimplementasikan secara konsisten agar tidak hanya memenuhi persyaratan hukum, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang aman.
  4. Budaya Keselamatan sebagai Bagian dari Keberlanjutan
    Mengembangkan budaya keselamatan yang kuat tidak hanya mengurangi risiko kecelakaan tetapi juga meningkatkan loyalitas dan kesejahteraan pekerja.

Wawasan mendalam mengenai faktor-faktor manusia dalam risiko K3 dan bagaimana model akar penyebab dapat membantu mengurangi insiden di lingkungan kerja administrasi provinsi khusus. Penerapan strategi seperti pelatihan berbasis teknologi dan peningkatan kesadaran keselamatan dapat memberikan dampak positif dalam jangka panjang.

Untuk penelitian selanjutnya, disarankan eksplorasi lebih lanjut mengenai efektivitas penerapan teknologi digital dalam meningkatkan kepatuhan pekerja dan menekan risiko kecelakaan kerja.

Sumber Artikel:
Erdem, M. & Kuzucuoğlu, A. H. (2023). Root Cause Model Proposal for Human-Related Risks in Occupational Health and Safety Practices of Special Provincial Administrations. Tr. J. Nature Sci., 12(4), 93-106.

 

Selengkapnya
Akar Penyebab untuk Risiko Berbasis Manusia dalam Praktik K3 di Administrasi Provinsi Khusus

Keselamatan Kerja

Evaluasi dan Perbandingan Metode Penilaian Risiko dalam Ruang Terbatas Berdasarkan ICOP 2010 dan ISO 31010

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025


Keselamatan kerja dalam ruang terbatas (confined space) merupakan tantangan besar bagi industri, terutama di sektor manufaktur, minyak dan gas, serta konstruksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelemahan dalam sistem penilaian risiko ICOP 2010 dan memberikan rekomendasi perbaikan dengan menggunakan pendekatan yang lebih terstruktur sesuai dengan ISO 31010. Dengan analisis mendalam terhadap metode seperti Checklist, Risk Scale, Bowtie Analysis, dan Risk Assessment Model, penelitian ini memberikan perspektif yang lebih luas tentang bagaimana perusahaan dapat meningkatkan efektivitas sistem manajemen risiko mereka.

Penelitian ini dilakukan melalui:

Analisis literatur tentang metode penilaian risiko yang digunakan dalam industri ruang terbatas. Studi perbandingan antara pendekatan penilaian risiko dalam ICOP 2010 dan ISO 31010. Pemetaan alat penilaian risiko dari jurnal-jurnal terkait untuk mengidentifikasi kesenjangan dan peluang perbaikan dalam ICOP 2010.

ICOP 2010 mengklasifikasikan proses penilaian risiko dalam lima bagian utama:

  1. Pekerjaan yang akan dilakukan (Work to be undertaken).
  2. Metode yang dapat digunakan (Range of possible methods).
  3. Identifikasi bahaya yang ada (Present hazards).
  4. Metode spesifik yang digunakan untuk pekerjaan tertentu (Actual method details).
  5. Prosedur penyelamatan dan layanan darurat (Rescue and emergency services).

ISO 31010, di sisi lain, memiliki empat tahap utama dalam penilaian risiko:

  1. Identifikasi risiko (Risk Identification – RI).
  2. Analisis risiko (Risk Analysis – RA).
  3. Evaluasi risiko (Risk Evaluation – RE).
  4. Penanganan risiko (Risk Treatment – RT).

Penelitian ini menemukan bahwa metode yang digunakan dalam ICOP 2010 memiliki beberapa kelemahan, antara lain:

Kurangnya spesifikasi dalam metode identifikasi bahaya, sehingga beberapa faktor risiko potensial dapat terlewat. Tidak adanya pendekatan berbasis skala probabilitas dan dampak, yang menyebabkan kesulitan dalam menentukan tingkat risiko secara kuantitatif. Kurangnya integrasi dengan metode mitigasi yang spesifik, seperti Bowtie Analysis atau Proportional Risk Assessment. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa insiden di ruang terbatas masih menjadi masalah utama di Malaysia. Berdasarkan data Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Malaysia (DOSH), terdapat lebih dari 50 kasus kecelakaan fatal di ruang terbatas antara 2009 hingga 2019. Penyebab utama adalah Kurangnya kesadaran dan kompetensi pekerja. Tidak adanya dokumen penilaian risiko yang memadai sebelum memasuki ruang terbatas. Minimnya prosedur penyelamatan yang terdokumentasi dengan baik.

Penelitian ini membandingkan metode penilaian risiko dalam ICOP 2010 dengan ISO 31010 dan menemukan bahwa beberapa metode dalam ICOP 2010 perlu diperbarui untuk meningkatkan efektivitasnya. Berikut adalah beberapa temuan utama:

  • ISO 31010 lebih rinci dalam mengklasifikasikan risiko dengan pendekatan berbasis probabilitas dan dampak.
  • ICOP 2010 masih menggunakan pendekatan umum tanpa model kuantitatif yang jelas.
  • ISO 31010 lebih fleksibel dengan berbagai metode penilaian risiko seperti Checklist, Ishikawa Diagram, dan Risk Matrix, sedangkan ICOP 2010 hanya mengandalkan dokumentasi sederhana.

Kelebihan 

Menyediakan analisis berbasis data yang kuat tentang metode penilaian risiko dalam ruang terbatas. Memberikan pemetaan yang jelas antara ICOP 2010 dan standar internasional ISO 31010. Menyajikan solusi berbasis jurnal ilmiah terkait peningkatan efektivitas metode penilaian risiko.

Kekurangan 

Tidak melakukan uji coba langsung terhadap penerapan metode yang diusulkan. Belum membahas implementasi teknologi dalam mitigasi risiko ruang terbatas. Tidak ada analisis dampak ekonomi dari kecelakaan di ruang terbatas.

Beberapa langkah perbaikan yang direkomendasikan adalah:

  1. Integrasi Metode Penilaian Risiko yang Lebih Canggih, Menggunakan Bowtie Analysis untuk menghubungkan penyebab kecelakaan dengan konsekuensinya. Mengadopsi Risk Estimation Model untuk memperkirakan dampak kecelakaan dalam ruang terbatas.
  2. Peningkatan Dokumentasi dan Regulasi, Memastikan setiap pekerjaan dalam ruang terbatas memiliki dokumen risiko yang lebih spesifik. Mengembangkan standar nasional yang lebih mendetail, mirip dengan pendekatan ISO 31010.
  3. Penggunaan Teknologi dalam Mitigasi Risiko, Implementasi sensor gas otomatis untuk mendeteksi potensi bahaya atmosfer di ruang terbatas. Pemanfaatan sistem pemantauan real-time untuk meningkatkan keselamatan pekerja.
  4. Peningkatan Pelatihan dan Kesadaran Keselamatan, Menyediakan pelatihan berbasis skenario nyata untuk pekerja yang akan memasuki ruang terbatas. Mengadakan drill penyelamatan berkala untuk memastikan kesiapsiagaan dalam keadaan darurat.

Perbedaan metode penilaian risiko antara ICOP 2010 dan ISO 31010, serta bagaimana pendekatan yang lebih komprehensif dapat meningkatkan keselamatan kerja dalam ruang terbatas. Dengan mengadopsi metode yang lebih canggih, seperti Bowtie Analysis dan Risk Estimation Model, industri di Malaysia dapat mengurangi jumlah kecelakaan fatal di ruang terbatas dan meningkatkan standar keselamatan kerja secara keseluruhan. Dengan menerapkan rekomendasi yang disebutkan, perusahaan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap standar internasional dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi pekerja di ruang terbatas.

Sumber Artikel

Amin, Z., Mohammad, R., & Othman, N. (2020). Review and Comparison of Confined Space Risk Assessment Tools Practised by Industry Code of Practice for Safe Working in Confined Space of Malaysia, 2010 (ICOP 2010). Journal of Advanced Research in Business and Management Studies, 18(1), 16-23.

 

Selengkapnya
Evaluasi dan Perbandingan Metode Penilaian Risiko dalam Ruang Terbatas Berdasarkan ICOP 2010 dan ISO 31010

Keselamatan Kerja

Implementasi Sistem Tanggap Darurat berdasarkan NFPA 1600 di PT. LG Electronics Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional perusahaan. Banyak perusahaan mengalami kesulitan untuk kembali beroperasi setelah mengalami gangguan akibat bencana, sebagaimana hasil penelitian University of Minnesota yang menunjukkan bahwa 90% perusahaan tidak dapat bangkit setelah 10 hari mengalami kegagalan sistem kritis. Paper ini meneliti implementasi sistem tanggap darurat di PT. LG Electronics Indonesia berdasarkan standar National Fire Protection Association (NFPA) 1600, yang merupakan standar internasional untuk keberlanjutan bisnis, kesiapsiagaan darurat, dan manajemen krisis.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan triangulasi data, yang mencakup:

  • Wawancara terstruktur dengan tiga responden dari PT. LG Electronics Indonesia.
  • Studi dokumentasi dari dokumen perusahaan terkait sistem tanggap darurat.
  • Analisis kesesuaian sistem tanggap darurat dengan 194 elemen indikator NFPA 1600.

Teknik purposive sampling digunakan untuk memilih responden utama, yang terdiri dari General Manager, Koordinator Tim Tanggap Darurat, dan Ahli K3 perusahaan. Dari 194 elemen indikator NFPA 1600, hasil penelitian menunjukkan bahwa:

  • 160 elemen (82,5%) sudah sesuai dengan standar.
  • 34 elemen (17,5%) masih belum sesuai, baik sebagian maupun keseluruhan.

Beberapa aspek yang sudah sesuai meliputi manajemen program, perencanaan, pelatihan, serta pengujian sistem tanggap darurat. Namun, masih ada kekurangan dalam perencanaan pemulihan pasca-bencana (recovery) dan kelengkapan fasilitas darurat. Penelitian mengungkapkan bahwa PT. LG Electronics Indonesia memiliki area berisiko tinggi, seperti:

  • Penyimpanan R600 dan LPG, yang rentan terhadap ledakan.
  • Gudang penyimpanan alkohol dan bahan kimia, yang mudah terbakar.
  • Area produksi dengan material ABS, yang telah menyebabkan beberapa kebakaran kecil akibat kesalahan teknis.

Sepanjang tahun 2019, terjadi beberapa kebakaran kecil di area produksi vacuum forming, dengan total kerugian sebesar Rp131.964.000. Kebakaran ini berhasil dipadamkan menggunakan Alat Pemadam Api Ringan (APAR), tetapi menunjukkan perlunya peningkatan dalam pengelolaan risiko kebakaran. Perusahaan telah membentuk tim tanggap darurat, dengan prosedur evakuasi yang jelas. Namun, ada beberapa kelemahan yang ditemukan:

  • Tidak adanya pusat operasi darurat (Emergency Operations Center).
  • Kurangnya perencanaan pemulihan bisnis setelah bencana.
  • Ketiadaan prosedur khusus untuk pekerja penyandang disabilitas dalam keadaan darurat.
  • Belum adanya sistem komunikasi darurat berbasis teknologi seperti IoT untuk deteksi dini kebakaran.

Sebagai perbandingan, penerapan sistem tanggap darurat di Jepang setelah gempa dan tsunami 2011 menunjukkan bahwa perusahaan dengan sistem tanggap darurat yang matang dapat pulih lebih cepat. Penelitian oleh Nanto (2011) menunjukkan bahwa industri manufaktur Jepang mengalami kerugian hingga $309 miliar, tetapi perusahaan yang memiliki perencanaan pemulihan yang baik mampu melanjutkan produksi lebih cepat dibandingkan yang tidak memiliki sistem pemulihan.

Kesimpulan

  1. Implementasi sistem tanggap darurat di PT. LG Electronics Indonesia sudah baik (82,5% sesuai NFPA 1600), tetapi masih ada beberapa kelemahan yang harus diperbaiki.
  2. Beberapa area berisiko tinggi belum sepenuhnya mendapat perlindungan maksimal, terutama dalam hal penyimpanan bahan kimia dan LPG.
  3. Kurangnya perencanaan pemulihan bisnis pasca-bencana (recovery) menjadi tantangan besar dalam meningkatkan ketahanan perusahaan terhadap bencana.

Saran

  1. Mendirikan Pusat Operasi Darurat (Emergency Operations Center) untuk meningkatkan koordinasi dalam situasi darurat.
  2. Menyusun rencana pemulihan bisnis (Business Continuity Plan) agar perusahaan dapat kembali beroperasi lebih cepat setelah bencana.
  3. Menggunakan teknologi berbasis IoT untuk deteksi dini kebakaran, seperti sensor asap otomatis yang terhubung dengan sistem pemadam.
  4. Menyesuaikan prosedur evakuasi bagi penyandang disabilitas, dengan jalur evakuasi yang ramah difabel.

Sumber Artikel

Fairuz Nabila Asfarisya, Herry Koesyanto. Implementasi Sistem Tanggap Darurat berdasarkan National Fire Protection Association (NFPA) 1600 di PT. LG Electronics Indonesia. Indonesian Journal of Public Health and Nutrition, Vol. 1, No. 2, 2021, 223-233.

Selengkapnya
Implementasi Sistem Tanggap Darurat berdasarkan NFPA 1600 di PT. LG Electronics Indonesia

Keselamatan Kerja

Penilaian Emergency Response Preparedness untuk Proteksi Ledakan pada Area Peleburan Besi di PT. X

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan kerja dalam industri peleburan besi menjadi perhatian utama mengingat tingginya potensi bahaya yang dapat terjadi, terutama ledakan dan kebakaran. Penelitian ini dilakukan dengan metode cross-sectional menggunakan pendekatan observasional kuantitatif. Sampel penelitian terdiri dari 72 orang tim tanggap darurat, yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Responden terdiri dari empat staf Safety Health Environment (SHE), satu penanggung jawab Electric Arc Furnace (EAF), serta enam anggota tim darurat. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi lapangan, serta analisis dokumen internal perusahaan terkait sistem tanggap darurat.

Evaluasi kesiapan tanggap darurat dilakukan dengan mengacu pada International Safety Rating System (ISRS), yang mencakup beberapa elemen:

  • Administrasi dan Manajemen Tanggap Darurat
  • Analisis Risiko dan Sistem Proteksi
  • Kesiapsiagaan Keadaan Darurat di Luar Perusahaan
  • Pengendalian Sumber Energi
  • Sistem Perlindungan dan Penyelamatan
  • Tim Tanggap Darurat dan Pelatihan
  • Komunikasi dan Koordinasi Darurat

Dari 670 poin harapan dalam ISRS, PT. X memperoleh skor 620 poin (92,5%), menunjukkan bahwa sistem tanggap darurat perusahaan telah cukup baik, namun masih memerlukan perbaikan pada beberapa aspek. Rincian hasil evaluasi adalah sebagai berikut:

  • Analisis Keadaan Darurat – 140 poin (96,5%)
  • Sistem Perlindungan dan Penyelamatan – 141 poin (94%)
  • Tim Tanggap Darurat – 40 poin (90%)
  • Pertolongan Pertama pada Kecelakaan – 78,5 poin (98,1%)
  • Perencanaan Pasca Kejadian – 20 poin (100%)
  • Komunikasi Keadaan Darurat – 20 poin (100%)
  • Kesiapsiagaan di Luar Perusahaan – 43 poin (71,7%), kategori ini masih perlu ditingkatkan karena belum ada sistem komunikasi dengan masyarakat sekitar.

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor risiko utama yang berpotensi menyebabkan ledakan dan kebakaran di area Electric Arc Furnace (EAF), antara lain:

  1. Konsleting listrik akibat lonjakan arus.
  2. Scrap basah yang dapat menyebabkan ledakan uap air ketika dipanaskan.
  3. Scrap yang mudah meledak karena komposisi material yang tidak stabil.
  4. Kesalahan dalam proses screening scrap, yang menyebabkan kontaminasi bahan peleburan.
  5. Korosi pada shell furnace, yang dapat mengakibatkan kebocoran material panas.
  6. Lapisan shell yang terpapar langsung oleh burner, meningkatkan risiko kebakaran.

Pada tahun 2004, terjadi ledakan besar di area peleburan besi PT. X yang menyebabkan 13 pekerja mengalami luka berat, satu di antaranya meninggal dunia. Insiden ini disebabkan oleh scrap yang mengandung kadar air tinggi, yang bereaksi dengan logam cair dan menghasilkan gas hidrogen yang mudah meledak. Selain itu, banyak pekerja saat itu tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai dengan standar keselamatan. Setelah kejadian tersebut, perusahaan mulai menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) berbasis OHSAS 18001, yang terintegrasi dengan ISO 14001 dan ISO 9001. Perusahaan juga meningkatkan prosedur tanggap darurat dengan latihan evakuasi berkala dan pemantauan suhu furnace secara real-time.

Saat ini, pelatihan bagi tim tanggap darurat di PT. X sudah cukup baik, tetapi perlu ditingkatkan dalam beberapa aspek:

  • Pelatihan penanganan bahan berbahaya dan tumpahan bahan kimia.
  • Latihan simulasi ledakan skala penuh dengan melibatkan seluruh pekerja.
  • Pelatihan pemakaian APD secara ketat, terutama bagi pekerja di area EAF.

Salah satu kelemahan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah kurangnya sistem komunikasi darurat yang efektif dengan masyarakat sekitar. Perusahaan perlu mengembangkan:

  • Sistem peringatan dini yang dapat menginformasikan warga sekitar tentang potensi bahaya.
  • Saluran komunikasi khusus dengan pemadam kebakaran lokal dan pihak berwenang.
  • Penyediaan jalur evakuasi yang lebih jelas untuk pekerja dan komunitas sekitar.

Beberapa rambu dan alat proteksi di PT. X mengalami kerusakan dan perlu diperbaiki. Rekomendasi dalam aspek ini meliputi:

  • Pemeriksaan berkala terhadap sistem alarm kebakaran dan detektor gas.
  • Penggantian dan pemeliharaan APAR serta hydrant.
  • Pemasangan pelindung korosi pada shell furnace untuk mencegah kebocoran.

Kesimpulan

  1. Sistem Emergency Response Preparedness di PT. X sudah cukup baik dengan skor 92,5% dalam ISRS, namun masih ada beberapa aspek yang perlu ditingkatkan, terutama dalam kesiapsiagaan di luar perusahaan.
  2. Faktor risiko utama ledakan dan kebakaran berasal dari scrap basah, lonjakan listrik, serta kegagalan struktur furnace akibat korosi.
  3. Studi kasus insiden ledakan tahun 2004 menunjukkan perlunya peningkatan pemakaian APD dan pengawasan scrap sebelum peleburan.
  4. Perusahaan perlu meningkatkan latihan simulasi darurat, komunikasi dengan masyarakat, dan pemeliharaan sistem keamanan agar sistem tanggap darurat lebih optimal.

Sumber Artikel

Putri Anggitasari, M. Sulaksmono. Penilaian Emergency Response Preparedness untuk Proteksi Ledakan pada Area Peleburan Besi pada PT. X. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 3, No. 1, Jan-Jun 2014, 71-81.

Selengkapnya
Penilaian Emergency Response Preparedness untuk Proteksi Ledakan pada Area Peleburan Besi di PT. X
« First Previous page 3 of 13 Next Last »