Ringkasan Analitis: Disparitas Kinerja Keselamatan dan Celah Kritis dalam CSMS
Isu keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di sektor industri berisiko tinggi merupakan tantangan global yang mendesak. Menurut data dari International Labor Organization (ILO) tahun 2018, sebanyak 380.000 pekerja, atau 13,7% dari total 2,78 juta pekerja, meninggal dunia akibat kecelakaan kerja.1 Situasi ini bahkan lebih kritis di negara berkembang seperti Indonesia, di mana tingkat kecelakaan kerja dilaporkan empat kali lebih tinggi dibandingkan negara industri.1 Data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan juga menunjukkan angka yang signifikan, dengan 157.313 kecelakaan kerja pada tahun 2018 dan 130.923 kecelakaan dari Januari hingga September 2019.1
Di dalam konteks industri, tantangan ini semakin kompleks dengan adanya keterlibatan kontraktor. Sebuah studi evaluasi yang dilakukan oleh Wardhani (2022) pada PT Pupuk Kujang, sebuah perusahaan petrokimia yang memiliki risiko tinggi, secara spesifik mengkaji implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Kontraktor (CSMS). Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan metode observasi dan pendekatan cross-sectional untuk menilai efektivitas CSMS dalam memastikan keselamatan mitra kerja.1
Makalah ini menyajikan narasi logis yang berangkat dari evaluasi enam tahapan kunci dalam implementasi CSMS di PT Pupuk Kujang, yaitu identifikasi dan penilaian risiko, prakualifikasi, seleksi, kegiatan awal kerja, penilaian selama kerja, dan penilaian akhir kerja.1 Secara prosedural, semua tahapan ini telah dijalankan. Namun, penelitian ini berhasil mengidentifikasi sebuah anomali kritis yang merusak integritas seluruh sistem. Temuan menunjukkan bahwa pada tahap prakualifikasi, "sebelum dinyatakan lulus tahap penilaian prakualifikasi, kontraktor lokal telah ditunjuk sebagai pemenang tender".1
Temuan ini sangat penting karena menunjukkan adanya disparitas kinerja keselamatan yang mencolok. Berdasarkan data dari International Association of Oil and Gas Producers (OGP) pada tahun 2018 yang dikutip dalam makalah ini, Fatal Accident Rate (FAR)—sebuah metrik kunci yang mengukur jumlah kecelakaan fatal per 1 juta jam kerja—menunjukkan perbedaan signifikan antara karyawan perusahaan dan kontraktor.
Kategori:
-
Karyawan Perusahaan
-
Kontraktor
Jumlah Kematian:
-
Karyawan Perusahaan: 2
-
Kontraktor: 29
Jam Kerja yang Dilaporkan:
-
Karyawan Perusahaan: 21% dari total
-
Kontraktor: 79% dari total
Fatal Accident Rate (FAR) per 1 Juta Jam Kerja:
-
Karyawan Perusahaan: 0,31
-
Kontraktor: 1,20
Data ini menunjukkan hubungan kausal yang kuat antara kegagalan implementasi CSMS dengan hasil keselamatan. Disparitas FAR yang hampir empat kali lebih tinggi pada kontraktor (1.20 vs. 0.31) bukanlah sekadar data statistik; ini adalah manifestasi nyata dari kegagalan sistematis. Rantai sebab-akibatnya jelas: tingginya tingkat kecelakaan pada kontraktor (efek) disebabkan oleh praktik penunjukan pemenang tender yang tidak sesuai prosedur (sebab). Sistem seleksi yang seharusnya menjadi "penjaga gerbang" pertama untuk memastikan kontraktor memiliki kapabilitas K3 yang memadai, telah dilanggar.1
Implikasi dari temuan ini meluas melampaui PT Pupuk Kujang. Pelanggaran prosedur ini menunjukkan bahwa dokumen CSMS dan prosedur yang terperinci tidak secara otomatis menjamin kinerja keselamatan yang baik. Ada faktor-faktor non-teknis, seperti komitmen manajemen dan pertimbangan ekonomi atau sosial, yang dapat merusak integritas seluruh sistem.1 Makalah ini secara eksplisit menyebutkan bahwa pelanggaran tersebut disebabkan oleh "beberapa pertimbangan seperti harga penawaran, teknis, prioritas pada kontraktor lokal, dan pengalaman masa lalu kontraktor lokal sebagai mantan pekerja di perusahaan".1 Ini mengindikasikan bahwa CSMS tidak hanya merupakan masalah teknis-prosedural, tetapi juga masalah budaya organisasi dan komitmen kepemimpinan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi terpenting dari makalah ini adalah kemampuannya untuk menyingkap kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan. Alih-alih hanya menjelaskan bagaimana seharusnya CSMS bekerja, penelitian ini secara kritis menunjukkan di mana sistem tersebut dapat runtuh dalam praktik. Penemuan bahwa seorang kontraktor dapat memenangkan tender tanpa melewati proses prakualifikasi yang mengikat memberikan wawasan yang sangat berharga bagi praktisi dan akademisi.1
Makalah ini berfungsi sebagai studi kasus diagnostik yang kuat. Ini membuktikan bahwa keberadaan prosedur formal tidak cukup untuk menjamin kinerja keselamatan yang optimal jika komitmen untuk melaksanakannya tidak konsisten. Studi ini menggarisbawahi bagaimana faktor-faktor non-teknis, seperti "prioritas pada kontraktor lokal" atau "pertimbangan harga," dapat secara fundamental merusak efektivitas sistem manajemen keselamatan yang dirancang dengan baik.1
Secara tidak langsung, makalah ini juga menyoroti peran sentral dari komitmen manajemen yang otentik. Meskipun sistem dan prosedur ada, ketiadaan dukungan dan implementasi yang konsisten dari manajemen puncak dapat menyebabkan kegagalan sistematis. Ini merupakan kontribusi penting terhadap literatur K3 yang sering kali terlalu fokus pada aspek prosedural dan teknis, dan kurang memperhatikan aspek budaya dan kepemimpinan.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Sebagai studi deskriptif dan cross-sectional, makalah ini memiliki beberapa keterbatasan metodologis yang perlu diakui. Penelitian ini hanya memberikan "potret" atau gambaran kondisi pada periode waktu yang spesifik (Februari hingga April 2018), sehingga tidak dapat menangkap dinamika perubahan atau dampak jangka panjang dari implementasi CSMS.1 Selain itu, karena studi ini terbatas pada satu perusahaan (PT Pupuk Kujang), generalisasi temuan ke industri atau perusahaan lain menjadi terbatas.1
Keterbatasan ini membuka sejumlah pertanyaan penting yang memerlukan penelitian lebih lanjut:
- Mengapa manajemen membuat keputusan yang bertentangan dengan prosedur K3 yang telah ditetapkan? Keputusan untuk mengesampingkan prosedur prakualifikasi demi kontraktor lokal menunjukkan adanya dilema internal. Apakah ini mencerminkan budaya organisasi di mana keselamatan dianggap sebagai biaya, bukan investasi? Apakah ada tekanan ekonomi atau sosial yang lebih besar yang menyebabkan kompromi ini?
- Apa dampak jangka panjang dari pelanggaran prosedur prakualifikasi ini terhadap kinerja keselamatan kontraktor? Makalah ini mengidentifikasi kegagalan dalam proses, tetapi tidak melacak konsekuensinya di masa depan. Apakah kontraktor yang dipilih secara tidak sah memiliki tingkat kecelakaan yang lebih tinggi atau lebih sering mengalami insiden dibandingkan dengan yang melalui proses seleksi ketat?
- Mengingat penelitian lain (yang dikutip dalam makalah) juga menemukan kekurangan serupa di perusahaan lain (misalnya, di PT Pupuk Sriwijaya dan PT X), seberapa luas masalah ini di sektor industri Indonesia? Apakah ada faktor regulasi atau budaya yang lebih besar yang berkontribusi pada fenomena ini? Sejauh mana praktik "prioritas kontraktor lokal" dan "pertimbangan harga" mendominasi keputusan pengadaan di industri lain, dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja K3 nasional?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan pertanyaan terbuka, berikut adalah lima rekomendasi riset yang dapat menjadi agenda penting bagi komunitas akademik dan penerima hibah, dengan justifikasi ilmiah yang kuat.
- Riset Kualitatif Mendalam tentang Komitmen Manajemen dan Budaya Keselamatan.
- Justifikasi: Temuan bahwa pelanggaran prosedur CSMS terjadi pada tahap prakualifikasi menunjukkan bahwa komitmen manajemen masih perlu diperkuat.1 Pemahaman tentang motivasi di balik keputusan ini tidak dapat diperoleh melalui data kuantitatif.
- Metode Baru: Menggunakan metode kualitatif, seperti wawancara mendalam dengan manajer senior, petugas K3, dan staf pengadaan barang/jasa. Tujuannya adalah untuk memahami dilema, hambatan, dan faktor-faktor yang memengaruhi keputusan yang mengesampingkan prosedur K3.
- Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk menganalisis bagaimana budaya organisasi, tekanan ekonomi, dan kebijakan internal (seperti prioritas kontraktor lokal) berinteraksi dan memengaruhi implementasi CSMS, melampaui apa yang terlihat pada dokumen.
- Studi Komparatif Lintas Industri (Petrokimia vs. Pertambangan atau Migas).
- Justifikasi: Makalah ini menyiratkan bahwa masalah serupa mungkin terjadi di perusahaan lain.1 Namun, studi kasus tunggal membatasi generalisasi.
- Metode Baru: Mengadakan studi kasus multi-situs yang membandingkan implementasi CSMS di PT Pupuk Kujang dengan perusahaan di industri serupa yang dikenal memiliki kinerja K3 yang kuat. Analisis dapat berfokus pada variabel seperti struktur tata kelola, integrasi K3 ke dalam proses pengadaan, dan mekanisme audit.
- Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengidentifikasi praktik terbaik dan variabel kontekstual yang membedakan keberhasilan dan kegagalan implementasi CSMS di sektor berisiko tinggi.
- Analisis Korelasi dan Pemodelan Statistik antara Variabel Non-Teknis dan Kinerja K3 Kontraktor.
- Justifikasi: Makalah ini menyebutkan bahwa keputusan seleksi dipengaruhi oleh pertimbangan harga dan pengalaman masa lalu.1 Penelitian lanjutan harus memberikan bukti kuantitatif mengenai hubungan ini.
- Metode Baru: Mengumpulkan data kuantitatif dari beberapa perusahaan mengenai variabel non-teknis (misalnya, skor penawaran harga, status kontraktor lokal, jumlah proyek yang pernah dikerjakan) dan data kecelakaan historis mereka. Analisis regresi dapat digunakan untuk mengukur koefisien korelasi dan memodelkan hubungan kausal antara variabel-variabel ini dengan Fatal Accident Rate (FAR) atau Total Recordable Injury Rate (TRIR) kontraktor.
- Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk memberikan bukti yang kuat (bukan hanya deskriptif) mengenai seberapa besar pengaruh faktor non-teknis terhadap hasil keselamatan, yang dapat menjadi dasar untuk perubahan kebijakan.
- Studi Longitudinal Jangka Panjang tentang Dampak Prakualifikasi yang Gagal.
- Justifikasi: Makalah ini hanya mengidentifikasi pelanggaran prakualifikasi, tetapi tidak melacak dampaknya di masa depan.1
- Metode Baru: Melakukan studi longitudinal yang melacak kinerja keselamatan dari kontraktor yang dipilih melalui prosedur yang tidak sesuai selama 3–5 tahun. Ini akan melibatkan pengumpulan data kecelakaan, near-miss, dan insiden dari waktu ke waktu untuk secara objektif mengukur konsekuensi nyata dari kompromi prosedural.
- Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk secara definitif membuktikan dampak negatif dari kompromi prosedural terhadap keselamatan jangka panjang. Temuan ini dapat menjadi alat advokasi yang kuat untuk mendorong perubahan kebijakan di tingkat perusahaan dan industri.
- Pengembangan Kerangka Kerja CSMS Adaptif yang Mengintegrasikan Konteks Lokal.
- Justifikasi: Masalah utama yang diidentifikasi adalah ketegangan antara prosedur K3 yang ketat dan kebijakan pro-lokal.1 Penelitian ini perlu beralih dari diagnosis masalah menuju perancangan solusi.
- Metode Baru: Menggunakan pendekatan desain riset partisipatif (Participatory Action Research) yang melibatkan pemangku kepentingan dari perusahaan, kontraktor lokal, dan regulator. Tujuannya adalah untuk bersama-sama merancang model CSMS yang tidak hanya mempertahankan standar keselamatan internasional, tetapi juga menyediakan jalur yang transparan dan terukur bagi kontraktor lokal untuk meningkatkan kapabilitas K3 mereka hingga memenuhi standar tersebut.
- Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk menyediakan solusi praktis dan berkelanjutan yang mengatasi konflik kepentingan yang diidentifikasi dalam makalah, tanpa mengorbankan keselamatan.
Makalah ini memberikan dasar yang kuat untuk agenda riset yang lebih luas dan mendalam di bidang manajemen K3. Temuannya secara jelas menunjukkan bahwa ada celah yang signifikan antara prosedur yang dirancang dengan baik dan implementasi di lapangan. Disparitas tingkat kecelakaan antara karyawan dan kontraktor adalah manifestasi dari kegagalan ini, yang akarnya terletak pada faktor non-prosedural seperti komitmen manajemen dan pertimbangan ekonomi.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik, lembaga riset industri, dan otoritas pemerintah untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk menerjemahkan temuan riset menjadi kebijakan dan praktik yang lebih efektif.
(https://doi.org/10.20473/ijosh.v1lil.2022.1-11)