Keselamatan Kerja

Mengapa Manajemen Keselamatan Kontraktor Gagal

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 September 2025


Ringkasan Analitis: Disparitas Kinerja Keselamatan dan Celah Kritis dalam CSMS

Isu keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di sektor industri berisiko tinggi merupakan tantangan global yang mendesak. Menurut data dari International Labor Organization (ILO) tahun 2018, sebanyak 380.000 pekerja, atau 13,7% dari total 2,78 juta pekerja, meninggal dunia akibat kecelakaan kerja.1 Situasi ini bahkan lebih kritis di negara berkembang seperti Indonesia, di mana tingkat kecelakaan kerja dilaporkan empat kali lebih tinggi dibandingkan negara industri.1 Data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan juga menunjukkan angka yang signifikan, dengan 157.313 kecelakaan kerja pada tahun 2018 dan 130.923 kecelakaan dari Januari hingga September 2019.1

Di dalam konteks industri, tantangan ini semakin kompleks dengan adanya keterlibatan kontraktor. Sebuah studi evaluasi yang dilakukan oleh Wardhani (2022) pada PT Pupuk Kujang, sebuah perusahaan petrokimia yang memiliki risiko tinggi, secara spesifik mengkaji implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Kontraktor (CSMS). Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan metode observasi dan pendekatan cross-sectional untuk menilai efektivitas CSMS dalam memastikan keselamatan mitra kerja.1

Makalah ini menyajikan narasi logis yang berangkat dari evaluasi enam tahapan kunci dalam implementasi CSMS di PT Pupuk Kujang, yaitu identifikasi dan penilaian risiko, prakualifikasi, seleksi, kegiatan awal kerja, penilaian selama kerja, dan penilaian akhir kerja.1 Secara prosedural, semua tahapan ini telah dijalankan. Namun, penelitian ini berhasil mengidentifikasi sebuah anomali kritis yang merusak integritas seluruh sistem. Temuan menunjukkan bahwa pada tahap prakualifikasi, "sebelum dinyatakan lulus tahap penilaian prakualifikasi, kontraktor lokal telah ditunjuk sebagai pemenang tender".1

Temuan ini sangat penting karena menunjukkan adanya disparitas kinerja keselamatan yang mencolok. Berdasarkan data dari International Association of Oil and Gas Producers (OGP) pada tahun 2018 yang dikutip dalam makalah ini, Fatal Accident Rate (FAR)—sebuah metrik kunci yang mengukur jumlah kecelakaan fatal per 1 juta jam kerja—menunjukkan perbedaan signifikan antara karyawan perusahaan dan kontraktor.

Kategori:

  • Karyawan Perusahaan

  • Kontraktor

Jumlah Kematian:

  • Karyawan Perusahaan: 2

  • Kontraktor: 29

Jam Kerja yang Dilaporkan:

  • Karyawan Perusahaan: 21% dari total

  • Kontraktor: 79% dari total

Fatal Accident Rate (FAR) per 1 Juta Jam Kerja:

  • Karyawan Perusahaan: 0,31

  • Kontraktor: 1,20

Data ini menunjukkan hubungan kausal yang kuat antara kegagalan implementasi CSMS dengan hasil keselamatan. Disparitas FAR yang hampir empat kali lebih tinggi pada kontraktor (1.20 vs. 0.31) bukanlah sekadar data statistik; ini adalah manifestasi nyata dari kegagalan sistematis. Rantai sebab-akibatnya jelas: tingginya tingkat kecelakaan pada kontraktor (efek) disebabkan oleh praktik penunjukan pemenang tender yang tidak sesuai prosedur (sebab). Sistem seleksi yang seharusnya menjadi "penjaga gerbang" pertama untuk memastikan kontraktor memiliki kapabilitas K3 yang memadai, telah dilanggar.1

Implikasi dari temuan ini meluas melampaui PT Pupuk Kujang. Pelanggaran prosedur ini menunjukkan bahwa dokumen CSMS dan prosedur yang terperinci tidak secara otomatis menjamin kinerja keselamatan yang baik. Ada faktor-faktor non-teknis, seperti komitmen manajemen dan pertimbangan ekonomi atau sosial, yang dapat merusak integritas seluruh sistem.1 Makalah ini secara eksplisit menyebutkan bahwa pelanggaran tersebut disebabkan oleh "beberapa pertimbangan seperti harga penawaran, teknis, prioritas pada kontraktor lokal, dan pengalaman masa lalu kontraktor lokal sebagai mantan pekerja di perusahaan".1 Ini mengindikasikan bahwa CSMS tidak hanya merupakan masalah teknis-prosedural, tetapi juga masalah budaya organisasi dan komitmen kepemimpinan.

 

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi terpenting dari makalah ini adalah kemampuannya untuk menyingkap kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan. Alih-alih hanya menjelaskan bagaimana seharusnya CSMS bekerja, penelitian ini secara kritis menunjukkan di mana sistem tersebut dapat runtuh dalam praktik. Penemuan bahwa seorang kontraktor dapat memenangkan tender tanpa melewati proses prakualifikasi yang mengikat memberikan wawasan yang sangat berharga bagi praktisi dan akademisi.1

Makalah ini berfungsi sebagai studi kasus diagnostik yang kuat. Ini membuktikan bahwa keberadaan prosedur formal tidak cukup untuk menjamin kinerja keselamatan yang optimal jika komitmen untuk melaksanakannya tidak konsisten. Studi ini menggarisbawahi bagaimana faktor-faktor non-teknis, seperti "prioritas pada kontraktor lokal" atau "pertimbangan harga," dapat secara fundamental merusak efektivitas sistem manajemen keselamatan yang dirancang dengan baik.1

Secara tidak langsung, makalah ini juga menyoroti peran sentral dari komitmen manajemen yang otentik. Meskipun sistem dan prosedur ada, ketiadaan dukungan dan implementasi yang konsisten dari manajemen puncak dapat menyebabkan kegagalan sistematis. Ini merupakan kontribusi penting terhadap literatur K3 yang sering kali terlalu fokus pada aspek prosedural dan teknis, dan kurang memperhatikan aspek budaya dan kepemimpinan.

 

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Sebagai studi deskriptif dan cross-sectional, makalah ini memiliki beberapa keterbatasan metodologis yang perlu diakui. Penelitian ini hanya memberikan "potret" atau gambaran kondisi pada periode waktu yang spesifik (Februari hingga April 2018), sehingga tidak dapat menangkap dinamika perubahan atau dampak jangka panjang dari implementasi CSMS.1 Selain itu, karena studi ini terbatas pada satu perusahaan (PT Pupuk Kujang), generalisasi temuan ke industri atau perusahaan lain menjadi terbatas.1

Keterbatasan ini membuka sejumlah pertanyaan penting yang memerlukan penelitian lebih lanjut:

  1. Mengapa manajemen membuat keputusan yang bertentangan dengan prosedur K3 yang telah ditetapkan? Keputusan untuk mengesampingkan prosedur prakualifikasi demi kontraktor lokal menunjukkan adanya dilema internal. Apakah ini mencerminkan budaya organisasi di mana keselamatan dianggap sebagai biaya, bukan investasi? Apakah ada tekanan ekonomi atau sosial yang lebih besar yang menyebabkan kompromi ini?
  2. Apa dampak jangka panjang dari pelanggaran prosedur prakualifikasi ini terhadap kinerja keselamatan kontraktor? Makalah ini mengidentifikasi kegagalan dalam proses, tetapi tidak melacak konsekuensinya di masa depan. Apakah kontraktor yang dipilih secara tidak sah memiliki tingkat kecelakaan yang lebih tinggi atau lebih sering mengalami insiden dibandingkan dengan yang melalui proses seleksi ketat?
  3. Mengingat penelitian lain (yang dikutip dalam makalah) juga menemukan kekurangan serupa di perusahaan lain (misalnya, di PT Pupuk Sriwijaya dan PT X), seberapa luas masalah ini di sektor industri Indonesia? Apakah ada faktor regulasi atau budaya yang lebih besar yang berkontribusi pada fenomena ini? Sejauh mana praktik "prioritas kontraktor lokal" dan "pertimbangan harga" mendominasi keputusan pengadaan di industri lain, dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja K3 nasional?

 

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan dan pertanyaan terbuka, berikut adalah lima rekomendasi riset yang dapat menjadi agenda penting bagi komunitas akademik dan penerima hibah, dengan justifikasi ilmiah yang kuat.

  1. Riset Kualitatif Mendalam tentang Komitmen Manajemen dan Budaya Keselamatan.
    • Justifikasi: Temuan bahwa pelanggaran prosedur CSMS terjadi pada tahap prakualifikasi menunjukkan bahwa komitmen manajemen masih perlu diperkuat.1 Pemahaman tentang motivasi di balik keputusan ini tidak dapat diperoleh melalui data kuantitatif.
    • Metode Baru: Menggunakan metode kualitatif, seperti wawancara mendalam dengan manajer senior, petugas K3, dan staf pengadaan barang/jasa. Tujuannya adalah untuk memahami dilema, hambatan, dan faktor-faktor yang memengaruhi keputusan yang mengesampingkan prosedur K3.
    • Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk menganalisis bagaimana budaya organisasi, tekanan ekonomi, dan kebijakan internal (seperti prioritas kontraktor lokal) berinteraksi dan memengaruhi implementasi CSMS, melampaui apa yang terlihat pada dokumen.
  2. Studi Komparatif Lintas Industri (Petrokimia vs. Pertambangan atau Migas).
    • Justifikasi: Makalah ini menyiratkan bahwa masalah serupa mungkin terjadi di perusahaan lain.1 Namun, studi kasus tunggal membatasi generalisasi.
    • Metode Baru: Mengadakan studi kasus multi-situs yang membandingkan implementasi CSMS di PT Pupuk Kujang dengan perusahaan di industri serupa yang dikenal memiliki kinerja K3 yang kuat. Analisis dapat berfokus pada variabel seperti struktur tata kelola, integrasi K3 ke dalam proses pengadaan, dan mekanisme audit.
    • Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengidentifikasi praktik terbaik dan variabel kontekstual yang membedakan keberhasilan dan kegagalan implementasi CSMS di sektor berisiko tinggi.
  3. Analisis Korelasi dan Pemodelan Statistik antara Variabel Non-Teknis dan Kinerja K3 Kontraktor.
    • Justifikasi: Makalah ini menyebutkan bahwa keputusan seleksi dipengaruhi oleh pertimbangan harga dan pengalaman masa lalu.1 Penelitian lanjutan harus memberikan bukti kuantitatif mengenai hubungan ini.
    • Metode Baru: Mengumpulkan data kuantitatif dari beberapa perusahaan mengenai variabel non-teknis (misalnya, skor penawaran harga, status kontraktor lokal, jumlah proyek yang pernah dikerjakan) dan data kecelakaan historis mereka. Analisis regresi dapat digunakan untuk mengukur koefisien korelasi dan memodelkan hubungan kausal antara variabel-variabel ini dengan Fatal Accident Rate (FAR) atau Total Recordable Injury Rate (TRIR) kontraktor.
    • Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk memberikan bukti yang kuat (bukan hanya deskriptif) mengenai seberapa besar pengaruh faktor non-teknis terhadap hasil keselamatan, yang dapat menjadi dasar untuk perubahan kebijakan.
  4. Studi Longitudinal Jangka Panjang tentang Dampak Prakualifikasi yang Gagal.
    • Justifikasi: Makalah ini hanya mengidentifikasi pelanggaran prakualifikasi, tetapi tidak melacak dampaknya di masa depan.1
    • Metode Baru: Melakukan studi longitudinal yang melacak kinerja keselamatan dari kontraktor yang dipilih melalui prosedur yang tidak sesuai selama 3–5 tahun. Ini akan melibatkan pengumpulan data kecelakaan, near-miss, dan insiden dari waktu ke waktu untuk secara objektif mengukur konsekuensi nyata dari kompromi prosedural.
    • Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk secara definitif membuktikan dampak negatif dari kompromi prosedural terhadap keselamatan jangka panjang. Temuan ini dapat menjadi alat advokasi yang kuat untuk mendorong perubahan kebijakan di tingkat perusahaan dan industri.
  5. Pengembangan Kerangka Kerja CSMS Adaptif yang Mengintegrasikan Konteks Lokal.
    • Justifikasi: Masalah utama yang diidentifikasi adalah ketegangan antara prosedur K3 yang ketat dan kebijakan pro-lokal.1 Penelitian ini perlu beralih dari diagnosis masalah menuju perancangan solusi.
    • Metode Baru: Menggunakan pendekatan desain riset partisipatif (Participatory Action Research) yang melibatkan pemangku kepentingan dari perusahaan, kontraktor lokal, dan regulator. Tujuannya adalah untuk bersama-sama merancang model CSMS yang tidak hanya mempertahankan standar keselamatan internasional, tetapi juga menyediakan jalur yang transparan dan terukur bagi kontraktor lokal untuk meningkatkan kapabilitas K3 mereka hingga memenuhi standar tersebut.
    • Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk menyediakan solusi praktis dan berkelanjutan yang mengatasi konflik kepentingan yang diidentifikasi dalam makalah, tanpa mengorbankan keselamatan.

Makalah ini memberikan dasar yang kuat untuk agenda riset yang lebih luas dan mendalam di bidang manajemen K3. Temuannya secara jelas menunjukkan bahwa ada celah yang signifikan antara prosedur yang dirancang dengan baik dan implementasi di lapangan. Disparitas tingkat kecelakaan antara karyawan dan kontraktor adalah manifestasi dari kegagalan ini, yang akarnya terletak pada faktor non-prosedural seperti komitmen manajemen dan pertimbangan ekonomi.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik, lembaga riset industri, dan otoritas pemerintah untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk menerjemahkan temuan riset menjadi kebijakan dan praktik yang lebih efektif.

(https://doi.org/10.20473/ijosh.v1lil.2022.1-11)

 

Selengkapnya
Mengapa Manajemen Keselamatan Kontraktor Gagal

Keselamatan Kerja

Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 22 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian ini berfokus pada perspektif para pekerja konstruksi atau tradespeople, kelompok yang paling rentan terhadap risiko kecelakaan. Mereka menilai bagaimana kebijakan dan sistem manajemen K3 yang ada benar-benar bekerja dalam kehidupan sehari-hari di proyek. Temuan menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara manajemen dan pekerja lapangan. Bagi banyak pekerja, pelatihan keselamatan masih dianggap formalitas, sementara implementasi praktik pencegahan di lapangan belum optimal. Hal ini memperlihatkan adanya jurang antara desain kebijakan di atas kertas dengan realitas pelaksanaan di proyek.

Dalam konteks Indonesia, masalah ini sangat relevan. Regulasi formal terkait K3 sudah ada, bahkan diwajibkan dalam berbagai proyek strategis. Namun, tingkat kecelakaan kerja di sektor konstruksi masih tinggi. Pekerja lapangan sering tidak mendapatkan pelatihan yang memadai atau perlengkapan pelindung diri yang layak. Penelitian ini menekankan perlunya kebijakan publik yang tidak hanya menyusun aturan, tetapi juga melibatkan para pekerja dalam perencanaan dan evaluasi sistem K3. Hal ini sejalan dengan panduan dari artikel K3 di Sektor Konstruksi: Panduan Lengkap untuk Mencegah Kecelakaan Kerja Berdasarkan Standar ILO yang menjelaskan bahwa regulasi keselamatan harus diterapkan sejak tahap perencanaan dan dirancang agar sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi manajemen K3 memiliki dampak positif yang signifikan. Dengan pelatihan yang benar dan kepatuhan pada protokol, angka kecelakaan dapat ditekan, produktivitas meningkat, dan kualitas pekerjaan lebih terjamin. Keberadaan budaya keselamatan yang kuat juga menciptakan rasa aman bagi pekerja, yang pada akhirnya meningkatkan motivasi kerja.

Namun, terdapat banyak hambatan yang muncul. Salah satunya adalah budaya kerja di mana pekerja seringkali mengutamakan kecepatan dan target proyek dibandingkan keselamatan. Kurangnya pengawasan yang konsisten membuat banyak prosedur keselamatan hanya berjalan di atas kertas. Hambatan lain adalah biaya tambahan untuk pelatihan dan penyediaan alat pelindung diri, yang sering dianggap sebagai beban oleh kontraktor.

Meski begitu, peluang tetap besar. Dengan meningkatnya perhatian publik terhadap isu keselamatan kerja, ditambah dengan dorongan dari organisasi internasional seperti ILO, ada ruang untuk memperkuat kebijakan K3 di sektor konstruksi. Pemanfaatan teknologi digital seperti aplikasi monitoring keselamatan dan wearable devices juga membuka peluang untuk meningkatkan pengawasan secara real-time.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Pertama, pemerintah perlu mewajibkan integrasi pelatihan K3 berbasis praktik ke dalam setiap proyek konstruksi, bukan hanya sebagai formalitas administratif. Kedua, perlu ada mekanisme pengawasan independen untuk memastikan bahwa standar keselamatan benar-benar diterapkan di lapangan. Ketiga, penyediaan perlengkapan pelindung diri harus menjadi tanggung jawab kontraktor utama, dengan sanksi tegas jika lalai. Keempat, kebijakan publik harus mendorong partisipasi pekerja dalam evaluasi program K3, karena merekalah yang paling memahami risiko nyata di lapangan. Kelima, pemanfaatan teknologi digital dalam pengawasan keselamatan harus diperluas agar kebijakan lebih adaptif terhadap tantangan lapangan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika kebijakan K3 tidak diterapkan secara konsisten, risiko yang muncul sangat besar. Pertama, angka kecelakaan kerja akan tetap tinggi, menyebabkan kerugian manusia dan ekonomi. Kedua, kredibilitas regulasi K3 akan melemah, karena pekerja melihatnya hanya sebagai aturan formal tanpa dampak nyata. Ketiga, ketidakselarasan antara kebijakan dan praktik lapangan akan memperlebar kesenjangan kepercayaan antara pekerja dan manajemen. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan daya saing industri konstruksi Indonesia di mata investor global.

Penutup

Penelitian tentang pandangan pekerja konstruksi terhadap manajemen K3 memberikan pelajaran penting bahwa keselamatan kerja bukan hanya persoalan regulasi, tetapi juga budaya, kepedulian, dan implementasi nyata. Indonesia perlu mengambil pelajaran dari temuan ini untuk memperkuat kebijakan publik yang menekankan keterlibatan pekerja, konsistensi pengawasan, dan pemanfaatan teknologi. Dengan langkah-langkah tersebut, industri konstruksi dapat bergerak menuju masa depan yang lebih aman, produktif, dan berdaya saing global.

Sumber

Health and Safety Management on Construction Projects: The View of Construction Tradespeople.

Selengkapnya
Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan

Keselamatan Kerja

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kualifikasi Petugas Keselamatan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025


Mengapa Keselamatan di Konstruksi adalah Masalah Hidup dan Mati yang Terlupakan

Ketika kita membicarakan industri konstruksi, yang terlintas di benak banyak orang adalah gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, infrastruktur megah, atau jalan raya yang menghubungkan kota. Industri ini adalah motor penggerak ekonomi global, yang pada tahun 2017 menyumbang lebih dari USD 10 triliun untuk Produk Domestik Bruto (PDB) global, dengan kontribusi sebesar USD 892 miliar di Amerika Serikat (AS) saja.1 Kekuatan ekonomi ini sangat bergantung pada lebih dari 7 juta pekerja yang bekerja di dalamnya di AS.1

Namun, di balik kontribusi ekonomi yang masif, tersembunyi sebuah kenyataan yang suram dan sering kali terabaikan: konstruksi adalah salah satu industri paling berbahaya di dunia, dengan angka cedera dan kematian yang sangat tinggi.1 Angka-angka ini tidak hanya mencolok, tetapi juga mengejutkan. Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS menunjukkan bahwa satu dari setiap lima kematian pekerja di AS terjadi di sektor konstruksi.1 Rata-rata, seorang pekerja konstruksi 5.5 kali lebih mungkin mengalami kecelakaan fatal di tempat kerja dibandingkan pekerja di industri lain.1 Pada tahun 2019 saja, 1.061 pekerja meninggal di industri ini, angka tertinggi sejak 2007.1

Angka-angka ini bukan sekadar statistik dingin; ini adalah cerita nyata tentang nyawa yang hilang, keluarga yang hancur, dan kerugian ekonomi yang tak terhitung. Selama ini, banyak yang meyakini bahwa kecelakaan di lokasi proyek utamanya disebabkan oleh kesalahan atau salah perhitungan dari para pekerja lapangan. Namun, pandangan ini mulai bergeser. Sejumlah peneliti dan profesional industri kini meyakini bahwa tingginya angka kecelakaan sering kali disebabkan oleh perencanaan dan kontrol keselamatan yang buruk, yang merupakan tanggung jawab utama dari tim manajemen dan personel keselamatan.1 Keberadaan personel keselamatan penuh waktu di lokasi proyek dapat meningkatkan kemungkinan kinerja keselamatan hingga 229%.1 Ini menyoroti sebuah realitas baru: masalah keselamatan di industri konstruksi bukan hanya soal perilaku individu, tetapi juga soal sistem, dan inti dari sistem itu adalah orang-orang yang ditugaskan untuk mengelolanya.

 

Celah Berbahaya: Mengapa Panduan Kualifikasi Selama Ini Tidak Ada?

 

Meskipun peran personel keselamatan sangat krusial, sebuah celah berbahaya terungkap: selama ini, tidak ada panduan standar atau bahkan konsensus yang jelas di antara para pemangku kepentingan industri di AS mengenai kualifikasi yang diinginkan untuk personel keselamatan konstruksi.1 Kurangnya pedoman ini telah menciptakan disparitas yang substansial dan berpotensi mematikan dalam kualifikasi para profesional ini.1 Ini berarti, seleksi individu untuk posisi keselamatan sering kali terabaikan, atau didasarkan pada kriteria yang tidak seragam di seluruh industri.1

Tentu saja, ada beberapa panduan umum yang tersedia, seperti "The Employer's Guide to Hiring a Safety Professional" dari American Society of Safety Professionals (ASSP).1 Namun, panduan ini tidak secara spesifik dirancang untuk industri konstruksi.1 Makalah penelitian yang diterbitkan di jurnal

Buildings ini secara tegas menunjukkan bahwa kualifikasi yang direkomendasikan untuk "industri umum"—yaitu semua industri selain pertanian, konstruksi, dan maritim—tidak sepenuhnya relevan dengan industri konstruksi.1

Sebagai contoh, panduan umum tersebut merekomendasikan sertifikasi seperti Certified Loss Control Specialist (CLCS) atau Certified Fire Protection Specialist (CFPS) untuk profesional keselamatan.1 Namun, penelitian ini mencatat bahwa sertifikasi-sertifikasi ini jarang sekali dimiliki oleh profesional keselamatan yang bekerja di industri konstruksi.1 Perbedaan-perbedaan ini sangat penting karena industri konstruksi memiliki keunikan tersendiri, termasuk jumlah pekerja imigran yang tinggi, perbedaan geografis, dan jenis bahaya yang spesifik.1 Dengan kata lain, pedoman umum tidak dapat menjadi solusi yang memadai untuk masalah yang sangat spesifik dan kompleks ini.

Oleh karena itu, penelitian ini muncul untuk mengisi kekosongan pengetahuan tersebut, dengan tujuan tunggal untuk mengidentifikasi kualifikasi yang diinginkan—dari segi pendidikan, pengalaman, dan sertifikasi—khusus untuk personel keselamatan di industri konstruksi AS.1 Ini adalah langkah kritis untuk menciptakan standar yang relevan dan dapat diterapkan, yang pada akhirnya dapat memperbaiki kinerja keselamatan di seluruh industri.

 

Menggali Kebenaran dari Ahlinya: Kisah di Balik Metode Delphi

 

Untuk mencapai tujuannya, studi ini menggunakan sebuah metodologi yang kokoh dan teruji, yaitu metode Delphi.1 Metode Delphi adalah teknik survei multi-putaran yang kolaboratif, dirancang untuk mengumpulkan umpan balik dari sekelompok pakar di bidang tertentu untuk mencapai konsensus.1 Metodologi ini dipilih karena dianggap andal untuk mengumpulkan wawasan dari para ahli dan telah berhasil digunakan dalam berbagai penelitian di bidang konstruksi sebelumnya.1

Laporan ini menyoroti sebuah proses yang teliti dan ketat dalam memilih panel ahli. Berbeda dengan klaim yang beredar bahwa proses seleksi tidak dijelaskan secara rinci, makalah ini justru menguraikan langkah demi langkahnya secara cermat.1 Pertama, tim peneliti mengidentifikasi daftar awal lebih dari 40 individu yang diyakini sebagai ahli keselamatan potensial, berdasarkan keanggotaan mereka di asosiasi dan komite ternama seperti American Society of Safety Professionals (ASSP) dan ASCE CI Construction Safety Committee.1

Langkah kedua adalah proses penyaringan yang sangat ketat. Dari 18 individu yang bersedia berpartisipasi, mereka dievaluasi menggunakan sistem poin objektif yang diadopsi dari studi sebelumnya.1 Sistem ini memberikan poin berdasarkan pendidikan, pengalaman (1 poin per tahun), sertifikasi profesional (3 poin per sertifikat), dan keterlibatan dalam komite atau publikasi ilmiah.1 Untuk memastikan panelis benar-benar ahli, tim peneliti menetapkan standar yang konservatif: skor minimum 15 poin, pengalaman profesional minimal 10 tahun, dan pendidikan minimal setingkat gelar sarjana.1

Dari proses seleksi yang ketat ini, hanya 15 individu yang berhasil memenuhi kualifikasi yang ditetapkan dan diakui sebagai subjek ahli untuk studi ini.1 Kredibilitas temuan studi ini sangat bergantung pada kredibilitas panelisnya. Dengan pengalaman profesional rata-rata 14 tahun dan latar belakang pendidikan yang solid, panel ini bukan hanya kumpulan opini, melainkan representasi dari akumulasi pengetahuan praktis dan teoretis yang mendalam di industri.1 Proses seleksi yang transparan dan ketat ini secara fundamental meningkatkan validitas dan keandalan temuan studi ini.

 

Tiga Pilar Kunci: Membentuk Profesional Keselamatan Ideal

 

Hasil dari proses Delphi yang melibatkan para pakar ini menghasilkan sebuah kerangka kerja yang sangat dibutuhkan untuk kualifikasi personel keselamatan konstruksi. Temuan ini diuraikan untuk tiga posisi keselamatan yang umum ditemukan di lapangan: Staf Keselamatan Tingkat Awal (Entry Safety), Profesional Keselamatan (Safety Professional), dan Manajer Keselamatan (Safety Manager).1

 

Staf Keselamatan Tingkat Awal (Entry Safety)

 

Untuk posisi tingkat awal, konsensus yang tinggi tercapai. Panelis sepakat bahwa kualifikasi yang diinginkan adalah ijazah sekolah menengah atas sebagai pendidikan minimum, ditambah dengan pengalaman profesional 1-3 tahun.1 Menariknya, para ahli juga sepakat bahwa tidak ada sertifikasi wajib untuk posisi ini, meskipun beberapa panelis menyarankan kursus OSHA 500 atau pelatihan OSHA 10 jam sebagai nilai tambah.1

 

Profesional Keselamatan (Safety Professional)

 

Untuk posisi ini, para ahli merekomendasikan kualifikasi yang lebih tinggi.1 Kualifikasi yang paling diinginkan adalah gelar sarjana atau setara (gelar 4 tahun), dengan pengalaman profesional minimum 3-5 tahun.1 Dalam hal sertifikasi, dua per tiga panelis menyarankan sertifikasi Construction Health and Safety Technician (CHST) atau Graduate Safety Practitioner (GSP) sebagai kualifikasi yang diinginkan.1

 

Manajer Keselamatan (Safety Manager)

 

Sebagai pimpinan dalam urusan keselamatan, kualifikasi yang diinginkan untuk manajer keselamatan tentu lebih tinggi lagi. Temuan menunjukkan bahwa gelar sarjana atau setara (gelar 4 tahun) adalah pendidikan yang paling diinginkan.1 Panelis merekomendasikan pengalaman profesional minimum 5 tahun atau lebih.1 Dalam hal sertifikasi, ada konsensus kuat untuk memiliki sertifikasi CHST atau Certified Safety Professional (CSP).1

Secara keseluruhan, temuan dari studi ini dapat dirangkum dalam tabel di bawah ini, yang menyajikan panduan yang jelas bagi para pemangku kepentingan industri.

Dalam dunia konstruksi, kualifikasi personel keselamatan ditentukan berdasarkan jenjang posisi yang mereka emban. Untuk staf keselamatan tingkat awal, persyaratan utamanya relatif sederhana, yaitu lulusan sekolah menengah atas dengan pengalaman kerja antara satu hingga tiga tahun. Pada level ini tidak ada kewajiban sertifikasi khusus, sehingga fokus lebih pada pengalaman praktis di lapangan.

Sementara itu, untuk posisi profesional keselamatan, standar yang diinginkan lebih tinggi. Kandidat ideal setidaknya memiliki gelar sarjana empat tahun, ditambah pengalaman kerja tiga hingga lima tahun di bidang keselamatan. Selain itu, mereka juga diharapkan memiliki sertifikasi khusus seperti Construction Health and Safety Technician (CHST) atau Graduate Safety Practitioner (GSP).

Adapun pada jenjang tertinggi, yaitu manajer keselamatan, kualifikasi yang diperlukan semakin menuntut. Seorang manajer keselamatan minimal harus memiliki gelar sarjana empat tahun dengan pengalaman kerja lima tahun atau lebih di bidang terkait. Sertifikasi profesional juga menjadi prasyarat penting, dengan kualifikasi seperti CHST atau Certified Safety Professional (CSP) sebagai standar utama yang menunjukkan penguasaan dan kredibilitas dalam manajemen keselamatan konstruksi.

Penting untuk dicatat bahwa para ahli juga menyoroti fleksibilitas dari kualifikasi ini. Sebanyak 93.34% panelis menyatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari bidang terkait konstruksi, seperti teknik sipil, manajemen konstruksi, atau teknik lingkungan.1 Demikian pula, 86.67% dari mereka setuju bahwa pengalaman bisa datang dari industri konstruksi secara umum, tidak harus spesifik di bidang keselamatan.1 Fleksibilitas ini menunjukkan bahwa seorang profesional yang memiliki pengalaman luas di bidang konstruksi, misalnya sebagai insinyur sipil atau manajer proyek, dapat beralih ke peran keselamatan dengan modal pengetahuan yang sangat berharga.

 

Lebih dari Sekadar 'Kewajiban': Mengapa Rekomendasi Ini Begitu Bernuansa?

 

Salah satu aspek yang paling menarik dan mengungkapkan kedalaman pemikiran di balik penelitian ini adalah pergeseran terminologi dari "kualifikasi yang diperlukan" (required) menjadi "kualifikasi yang diinginkan" (desired). Perubahan ini bukanlah hal sepele; ia adalah cerminan dari dinamika yang kompleks antara standar akademis yang ideal dan realitas pragmatis di lapangan. Laporan ini secara spesifik menguraikan kisah di balik perubahan tersebut, yang mana tidak sepenuhnya diungkapkan oleh ringkasan eksternal.1

Pada putaran kedua survei, ketika peneliti menyajikan temuan awal yang menggunakan istilah "diperlukan", terjadi ketidaksepakatan yang signifikan di antara panelis.1 Sebanyak 53.85% panelis tidak setuju dengan kata tersebut untuk posisi Profesional dan Manajer Keselamatan.1 Mereka memberikan umpan balik yang sangat kritis, berargumen bahwa kata "diperlukan" terlalu kaku dan "menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk industri".1

Seorang panelis secara khusus menyatakan, "Tiga atau empat huruf setelah nama Anda tidak berarti banyak di lapangan jika Anda tidak memiliki pengalaman yang dibutuhkan".1 Dia menambahkan bahwa perusahaan yang hanya merekrut berdasarkan sertifikasi tertentu mungkin hanya mendapatkan orang yang "pintar secara teori" tetapi tidak memiliki pemahaman praktis tentang pekerjaan di lokasi proyek.1 Panelis lain menyoroti bahwa standar yang terlalu tinggi dapat "menyingkirkan cukup banyak profesional keselamatan hebat yang sudah ada" di industri, yang memiliki pengalaman luas tetapi mungkin tidak memiliki gelar formal.1

Para peneliti mendengarkan umpan balik ini dengan cermat. Mereka menyadari bahwa tujuan studi bukanlah untuk menciptakan hambatan birokrasi, tetapi untuk memberikan panduan yang realistis dan dapat diimplementasikan. Oleh karena itu, mereka menyesuaikan terminologi menjadi "direkomendasikan" (recommended) pada putaran ketiga survei, yang kemudian divalidasi ulang menjadi "diinginkan" (desired) setelah proses validasi lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan industri.1 Perubahan ini secara dramatis meningkatkan tingkat konsensus di antara para ahli, mencapai 84.62% untuk posisi Profesional Keselamatan dan 92.31% untuk posisi Manajer Keselamatan.1

Keputusan untuk mengubah istilah ini menunjukkan sebuah kompromi yang bernuansa dan sangat penting. Ini adalah cerita di balik data yang menunjukkan bahwa penelitian ini tidak hanya didasarkan pada teori, tetapi juga berakar kuat pada kebijaksanaan praktis dari para profesional yang bekerja di garis depan. Kerangka kerja yang dihasilkan bukanlah sebuah aturan kaku yang harus diikuti, melainkan sebuah panduan yang fleksibel dan beradaptasi dengan realitas industri.

 

Dampak Nyata dan Tantangan di Depan: Jalan Menuju Industri Konstruksi yang Lebih Aman

 

Dengan menyediakan panduan yang spesifik dan berbasis konsensus untuk kualifikasi personel keselamatan, studi ini telah memberikan kontribusi signifikan, baik secara teoretis maupun praktis.1 Secara teoretis, studi ini mengisi celah pengetahuan yang telah lama ada, melengkapi literatur yang ada yang cenderung berfokus pada industri umum.1 Secara praktis, studi ini memberikan peta jalan yang jelas bagi pemangku kepentingan industri, seperti kontraktor umum dan perusahaan, untuk memilih personel keselamatan yang benar-benar berkualitas untuk proyek-proyek mereka.1

Jika panduan ini diterapkan secara luas, dampaknya bisa sangat nyata dan transformatif. Peningkatan dalam seleksi personel keselamatan yang berkualitas diharapkan dapat secara langsung meningkatkan kinerja keselamatan di tempat kerja, mengurangi insiden, dan pada akhirnya, berkontribusi pada penurunan angka cedera dan kematian.1 Lebih dari itu, studi ini menunjukkan bahwa investasi dalam kualifikasi personel keselamatan dapat membawa manfaat finansial. Organisasi yang memprioritaskan keselamatan dan merekrut profesional yang berkualitas cenderung memiliki citra dan reputasi yang lebih baik, menarik pekerja terampil, dan mengurangi biaya yang terkait dengan kecelakaan, seperti klaim kompensasi pekerja.1 Jika diterapkan secara efektif, temuan ini dapat mengurangi biaya operasional dan menyelamatkan nyawa dalam kurun waktu lima tahun.

Namun, seperti halnya setiap penelitian, ada keterbatasan yang perlu diakui.1 Pertama, studi ini sangat bergantung pada persepsi para panelis ahli, yang dapat menimbulkan bias dan subjektivitas.1 Meskipun tim peneliti telah melakukan upaya mitigasi melalui proses seleksi yang ketat dan studi validasi, pandangan dari para pekerja lini depan mungkin berbeda.1 Kedua, temuan ini secara spesifik berfokus pada industri konstruksi AS dan mungkin tidak dapat digeneralisasi sepenuhnya ke negara lain yang memiliki karakteristik unik, seperti perbedaan regulasi dan budaya kerja.1

Pada akhirnya, studi ini tidak dimaksudkan untuk menjadi sebuah aturan yang tidak bisa diubah. Sebaliknya, ia berfungsi sebagai kerangka kerja yang kuat untuk pengambilan keputusan, menawarkan saran-saran yang didukung oleh konsensus para ahli. Para pembuat keputusan di industri konstruksi harus mempertimbangkan konteks yang lebih luas, berkonsultasi dengan para ahli, dan mengadaptasi panduan ini sesuai dengan kebutuhan spesifik proyek dan organisasi mereka. Temuan ini adalah titik awal yang penting, sebuah fondasi yang dapat disempurnakan seiring berjalannya waktu dan munculnya informasi baru.

 

Kesimpulan: Fondasi Baru untuk Keselamatan

 

Industri konstruksi adalah pilar ekonomi yang vital, namun juga salah satu tempat kerja paling berbahaya di dunia. Selama ini, kurangnya pedoman yang jelas tentang kualifikasi personel keselamatan telah menciptakan celah berbahaya yang berkontribusi pada tingginya angka kecelakaan. Penelitian yang inovatif ini berhasil mengisi kekosongan tersebut dengan menggunakan metode Delphi yang melibatkan panelis ahli yang sangat berkualitas.

Dengan menemukan kualifikasi yang diinginkan untuk tiga posisi keselamatan—dari tingkat awal hingga manajer—studi ini memberikan sebuah fondasi baru yang solid bagi industri. Yang paling penting, studi ini menunjukkan bahwa kualifikasi yang efektif haruslah merupakan perpaduan antara pendidikan formal, pengalaman praktis yang substansial, dan sertifikasi yang relevan. Kesediaan peneliti untuk mengubah istilah "diperlukan" menjadi "diinginkan" juga menunjukkan sebuah pemahaman yang mendalam bahwa pengalaman di lapangan adalah aset yang tak ternilai, sebuah kebijaksanaan yang tidak dapat diukur hanya dengan gelar atau sertifikat.

Jika panduan ini diimplementasikan, industri konstruksi memiliki kesempatan nyata untuk menjadi lebih aman, lebih efisien, dan pada akhirnya, lebih manusiawi. Ini adalah langkah besar menuju masa depan di mana setiap pekerja konstruksi dapat kembali ke rumah dengan selamat pada akhir hari.

Sumber Artikel:

Karakhan, A. A., & Al-Bayati, A. J. (2023). Identification of desired qualifications for construction safety personnel in the United States. Buildings13(5), 1237.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kualifikasi Petugas Keselamatan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Keselamatan Kerja

Analisis Prosedur Keselamatan Kerja dalam Ruang Terbatas pada Perbaikan Tangki CPO di PT. Tunggal Perkasa Plantations

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Mei 2025


Keselamatan kerja dalam ruang terbatas (confined spaces) merupakan tantangan besar di berbagai industri, terutama dalam sektor perkebunan dan manufaktur. Penelitian ini menyoroti bagaimana kurangnya penerapan sistem K3 yang optimal dapat meningkatkan risiko kecelakaan kerja, serta perlunya pengawasan yang lebih ketat untuk memastikan keselamatan pekerja di ruang terbatas.

Prosedur keselamatan kerja di ruang terbatas masih jauh dari optimal. Beberapa temuan utama meliputi:

  • Tidak adanya sertifikasi K3 untuk pekerja yang terlibat dalam perbaikan tangki CPO.
  • Identifikasi bahaya tidak dilakukan secara menyeluruh, terutama terkait kadar gas beracun dan ventilasi udara.
  • Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) masih kurang memadai
  • Kurangnya prosedur tanggap darurat

Beberapa insiden diidentifikasi sebagai bukti kurangnya penerapan sistem K3:

  • Kasus sesak napas akibat kadar oksigen rendah di dalam tangki
  • Kasus kecelakaan akibat tidak adanya pemantauan atmosfer
  • Kecelakaan fatal di industri terkait

Menurut data internasional, antara tahun 2005 hingga 2009 terdapat 481 kematian akibat kecelakaan kerja dalam ruang terbatas, dengan rata-rata 96 kematian per tahun atau 2 kematian per minggu. Insiden ini terjadi di berbagai sektor, terutama konstruksi, perbaikan, dan pembersihan. Di Indonesia, kasus kecelakaan kerja akibat gas beracun dalam ruang terbatas juga sering terjadi, seperti di Riau dan Sukabumi, di mana pekerja meninggal akibat paparan gas berbahaya dalam sumur atau tangki industri.

Kelebihan 

Menyediakan wawasan empiris dari industri perkebunan mengenai tantangan keselamatan dalam ruang terbatas. Menggunakan metode triangulasi data untuk memastikan validitas hasil penelitian. Menyajikan studi kasus nyata yang memperjelas dampak dari kurangnya prosedur keselamatan kerja.

Kekurangan

Tidak ada perbandingan dengan industri lain yang memiliki ruang terbatas, seperti pertambangan atau manufaktur berat. Minimnya data kuantitatif mengenai jumlah kecelakaan kerja di PT. Tunggal Perkasa Plantations. Kurangnya rekomendasi terkait pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan keselamatan dalam ruang terbatas.

Rekomendasi untuk Implementasi

  1. Peningkatan Kepatuhan terhadap Regulasi K3
  2. Optimasi Sistem Pemantauan Atmosfer
  3. Penyediaan APD yang Memadai
  4. Peningkatan Kesadaran dan Pelatihan Keselamatan
  5. Penggunaan Teknologi dalam Pengawasan

Gambaran mendalam mengenai implementasi prosedur keselamatan kerja dalam ruang terbatas di PT. Tunggal Perkasa Plantations Air Molek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat banyak kelemahan dalam sistem keselamatan kerja, terutama dalam aspek sertifikasi pekerja, identifikasi bahaya, dan penggunaan APD yang sesuai. Dengan mengadopsi rekomendasi yang telah disebutkan, perusahaan dapat meningkatkan tingkat keselamatan pekerja dan mengurangi risiko kecelakaan di ruang terbatas secara signifikan. Penerapan teknologi, pelatihan yang lebih intensif, serta pengawasan yang lebih ketat adalah kunci utama dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan sesuai dengan standar regulasi yang berlaku.

Sumber Artikel

Masribut, & Clinton, S. (2016). Analisis Prosedur Pelaksanaan pada Pekerjaan di Ruang Terbatas (Confined Spaces) pada Perbaikan Tangki CPO di PT. Tunggal Perkasa Plantations Air Molek. AL-TAMIMI KESMAS, 5(2), 41-48.

 

Selengkapnya
Analisis Prosedur Keselamatan Kerja dalam Ruang Terbatas pada Perbaikan Tangki CPO di PT. Tunggal Perkasa Plantations

Keselamatan Kerja

Keselamatan Kerja di Ruang Terbatas bagi Pekerja Layanan Air di Malaysia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Mei 2025


Pekerjaan di ruang terbatas (confined space) merupakan tantangan besar dalam dunia industri, terutama dalam sektor layanan air. Penelitian ini mengungkapkan bahwa meskipun sebagian besar pekerja memiliki pemahaman yang cukup baik tentang risiko kerja di ruang terbatas, masih ada aspek yang perlu ditingkatkan dalam penerapan praktik keselamatan. Studi ini penting karena menunjukkan hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik keselamatan dalam mencegah kecelakaan kerja.

Penelitian ini menggunakan metode studi cross-sectional dengan 207 pekerja layanan air yang bekerja di ruang terbatas di Malaysia Tengah. Data dikumpulkan melalui kuesioner dalam bahasa Melayu yang sudah divalidasi. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

  • Statistik deskriptif 
  • Uji Chi-Square 
  • Regresi logistik 

Penelitian ini menemukan bahwa:

  • 67,1% pekerja memiliki tingkat pengetahuan yang baik mengenai keselamatan kerja di ruang terbatas.
  • 65,7% pekerja memiliki sikap positif terhadap keselamatan kerja.
  • 60,4% pekerja menerapkan praktik keselamatan yang baik.

Berdasarkan analisis regresi logistik, ditemukan beberapa faktor utama yang mempengaruhi keselamatan kerja:

  • Usia ≥30 tahun meningkatkan kemungkinan memiliki pengetahuan yang baik dengan Adjusted OR 2.793 (p = 0.008).
  • Pekerja yang sudah menikah lebih mungkin memiliki sikap positif terhadap keselamatan kerja (Adjusted OR 4.126, p < 0.001).
  • Sikap positif menjadi faktor utama yang mempengaruhi praktik keselamatan kerja (Adjusted OR 1.878, p = 0.036).

Sebanyak 83,6% pekerja tidak menyadari bahwa ventilasi harus tetap menyala selama bekerja di ruang terbatas, bukan hanya saat awal pekerjaan. Hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang pentingnya sirkulasi udara yang berkelanjutan untuk mencegah akumulasi gas beracun. Mayoritas pekerja menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti helm (78,3%), sarung tangan (61,8%), dan pelindung mata (57,5%). Namun, hanya 36,2% pekerja yang selalu menggunakan tali pengaman, yang menjadi perhatian serius karena dapat meningkatkan risiko kecelakaan.

Menurut data Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Malaysia, terjadi 45 kasus kecelakaan fatal di ruang terbatas antara tahun 2009-2019, yang sebagian besar disebabkan oleh kurangnya kesadaran akan prosedur keselamatan. Seorang pekerja mengalami kecelakaan fatal akibat gas metana yang terakumulasi di ruang terbatas tanpa ventilasi yang memadai. Insiden ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan kadar gas sebelum memasuki ruang terbatas. Seorang teknisi kehilangan kesadaran saat membersihkan saluran air bawah tanah. Pemeriksaan setelah kejadian menunjukkan bahwa kadar oksigen di dalam ruang hanya 17%, jauh di bawah standar aman 19,5%.

Kelebihan 

Studi ini menggunakan data kuantitatif yang kuat dari pekerja di sektor layanan air, memberikan gambaran nyata tentang kondisi kerja mereka. Regresi logistik digunakan untuk menentukan faktor-faktor utama yang mempengaruhi keselamatan kerja. Paper ini memberikan rekomendasi berbasis data untuk meningkatkan keselamatan pekerja di ruang terbatas.

Kekurangan 

Tidak ada pembahasan mendalam tentang perbandingan dengan industri lain di luar sektor layanan air. Kurangnya analisis mengenai efektivitas program pelatihan yang telah diterapkan oleh perusahaan. Tidak ada pembahasan tentang dampak jangka panjang dari paparan gas beracun terhadap kesehatan pekerja.

Rekomendasi untuk Implementasi di Lapangan

Beberapa langkah dapat diterapkan untuk meningkatkan keselamatan kerja di ruang terbatas:

1. Peningkatan Pelatihan dan Kesadaran Pekerja

Mewajibkan pelatihan deteksi gas beracun dan ventilasi yang aman sebelum pekerja memasuki ruang terbatas. Mengadakan simulasi keadaan darurat setiap enam bulan untuk meningkatkan kesiapan pekerja menghadapi kecelakaan.

2. Penerapan Teknologi Pemantauan Keselamatan

Menggunakan sensor otomatis untuk mendeteksi kadar oksigen dan gas beracun secara real-time. Mengembangkan drone inspeksi untuk memantau kondisi ruang terbatas sebelum pekerja masuk.

3. Regulasi dan Audit Keselamatan yang Lebih Ketat

Melakukan audit keselamatan tahunan untuk memastikan kepatuhan terhadap standar keselamatan ruang terbatas. Menerapkan sistem insentif keselamatan, di mana pekerja yang mematuhi SOP keselamatan mendapatkan penghargaan.

Keselamatan kerja di ruang terbatas dalam industri layanan air di Malaysia. Meskipun tingkat pengetahuan dan sikap pekerja terhadap keselamatan tergolong baik, masih terdapat tantangan dalam implementasi praktik keselamatan yang ketat. Faktor utama yang mempengaruhi praktik keselamatan adalah usia, status pernikahan, dan sikap positif pekerja terhadap keselamatan kerja. Selain itu, kurangnya kesadaran tentang pentingnya ventilasi dan penggunaan alat pelindung diri menjadi aspek yang perlu diperbaiki. Dengan meningkatkan pelatihan, pemantauan atmosfer, dan regulasi keselamatan, diharapkan angka kecelakaan di ruang terbatas dapat ditekan secara signifikan.

Sumber

Ngah, H.; Mohd Hairon, S.; Hamzah, N.A.; Noordin, S.; Shafei, M.N. (2022). Assessment of Knowledge, Attitude, and Practice on Safe Working in Confined Space among Male Water Services Workers in the Central Region of Malaysia. International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(7416).

 

Selengkapnya
Keselamatan Kerja di Ruang Terbatas bagi Pekerja Layanan Air di Malaysia

Keselamatan Kerja

Hubungan Faktor Personal dengan Perilaku Keselamatan Pekerja di Ruang Terbatas

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Mei 2025


Pekerjaan di ruang terbatas (confined space) memiliki risiko bahaya yang tinggi, sering kali disebut sebagai silent killer karena banyaknya insiden fatal yang terjadi akibat lingkungan kerja yang berbahaya. Penelitian ini menyoroti bahwa perilaku keselamatan (safety behaviour) pekerja dipengaruhi oleh faktor internal individu, seperti tingkat pengetahuan, sikap, keterampilan, dan komitmen terhadap keselamatan kerja. Studi ini dilakukan di PT. X, sebuah perusahaan manufaktur baja yang memiliki banyak proses kerja di ruang terbatas.

Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sampel yang digunakan sebanyak 83 pekerja, dipilih melalui teknik purposive sampling dengan kriteria: Pernah bekerja di ruang terbatas, Memiliki pengalaman minimal dua tahun di perusahaan dan Hadir saat penelitian dilakukan.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan:

Analisis Univariat untuk melihat distribusi frekuensi variabel penelitian, Analisis Bivariat untuk menguji hubungan antara faktor personal dengan perilaku keselamatan, Korelasi Spearman untuk menilai kekuatan hubungan antar variabel dan SPSS digunakan untuk pengolahan data statistik.

Ruang terbatas memiliki tingkat bahaya yang tinggi. Data dari US Bureau of Statistics mencatat 350 kematian akibat kecelakaan di ruang terbatas selama periode 2000–2009. Di Malaysia, 1.395 kecelakaan terkait ruang terbatas terjadi pada tahun 2010, dengan satu pekerja meninggal dan 37 mengalami cacat permanen.

Di Indonesia, insiden serupa juga terjadi:

Tiga pekerja migas di Balikpapan tewas akibat menghirup gas beracun saat memeriksa tangki air, Seorang karyawan PT. Riau Prima Energi meninggal akibat terpapar Sulfamic Acid Dan Dua pekerja tewas akibat kecelakaan di gorong-gorong ITC Cempaka Mas, Jakarta.

Penelitian ini mengidentifikasi empat faktor personal utama yang mempengaruhi perilaku keselamatan pekerja di ruang terbatas:

  1. Tingkat Pengetahuan, 65% pekerja memiliki tingkat pengetahuan sedang tentang keselamatan kerja, 8% pekerja memiliki pengetahuan rendah, yang meningkatkan risiko kecelakaan Dan Analisis Spearman menunjukkan korelasi positif antara tingkat pengetahuan dan perilaku keselamatan (r = 0.346, p = 0.001), namun hubungan ini masih tergolong lemah.
  2. Tingkat Keterampilan, 61% pekerja memiliki keterampilan sedang dalam menerapkan prosedur keselamatan, Hasil analisis menunjukkan bahwa pekerja dengan keterampilan lebih tinggi memiliki perilaku keselamatan yang lebih baik (r = 0.277, p = 0.011), meskipun korelasinya lemah.
  3. Sikap terhadap Keselamatan, 75% pekerja memiliki sikap positif terhadap keselamatan kerja, Hubungan antara sikap dan perilaku keselamatan cukup signifikan (r = 0.315, p = 0.004), tetapi masih belum cukup kuat untuk menjamin kepatuhan penuh terhadap prosedur keselamatan.
  4. Komitmen terhadap K3, 68% pekerja memiliki komitmen tinggi terhadap keselamatan kerja, 31% pekerja memiliki komitmen sedang, yang berarti masih ada ruang untuk perbaikan dalam kepatuhan terhadap prosedur keselamatan Dan Analisis statistik menunjukkan hubungan positif antara komitmen dan perilaku keselamatan (r = 0.328, p = 0.002).

Di PT. X, meskipun kebijakan keselamatan telah diterapkan, masih terdapat masalah dalam implementasinya:

Beberapa pekerja tidak melaporkan kegiatan mereka di ruang terbatas karena prosedur izin kerja yang dianggap rumit, Masih ada pekerja yang mengandalkan indera penciuman untuk mendeteksi gas berbahaya, bukan menggunakan alat pengukur gas, Pekerja jarang melakukan pemeriksaan berkala terhadap APD, sehingga meningkatkan risiko kecelakaan.

Kelebihan 

Menggunakan pendekatan statistik yang kuat untuk menganalisis hubungan antara faktor personal dan perilaku keselamatan, Studi kasus yang konkret memberikan wawasan mendalam mengenai praktik keselamatan di lapangan, Menyoroti pentingnya pelatihan dan pengawasan dalam meningkatkan kepatuhan pekerja terhadap prosedur keselamatan.

Kekurangan K3

Tidak mengeksplorasi faktor psikologis yang lebih dalam, seperti stres kerja dan budaya keselamatan, Tidak ada perbandingan dengan perusahaan lain untuk menilai efektivitas kebijakan keselamatan yang diterapkan, Tidak membahas dampak ekonomi dari kecelakaan kerja terhadap produktivitas perusahaan.

Rekomendasi untuk Implementasi 

  1. Peningkatan Edukasi Keselamatan, Mengadakan pelatihan rutin berbasis simulasi VR untuk meningkatkan kesadaran pekerja. Menggunakan media visual seperti poster dan video untuk meningkatkan pemahaman pekerja terhadap prosedur keselamatan.
  2. Optimalisasi Penggunaan Teknologi, Memanfaatkan sensor gas otomatis untuk mendeteksi kondisi berbahaya secara real-time. Menggunakan sistem digital untuk mempercepat proses izin kerja di ruang terbatas.
  3. Peningkatan Pengawasan dan Kepatuhan, Mengadakan inspeksi keselamatan yang lebih ketat dan audit berkala. Meningkatkan keterlibatan manajemen dalam memastikan kepatuhan pekerja terhadap kebijakan keselamatan.

Faktor personal seperti tingkat pengetahuan, keterampilan, sikap, dan komitmen memiliki hubungan dengan perilaku keselamatan pekerja di ruang terbatas, meskipun hubungan tersebut tergolong lemah. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang lebih efektif dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pekerja terhadap prosedur keselamatan, baik melalui pelatihan, teknologi, maupun pengawasan yang lebih ketat.

Sumber Artikel

Gultom, G. O., & Widajati, N. (2018). Hubungan Personal Factor dengan Safety Behaviour Pekerja Confined Space PT. X. Universitas Airlangga.

Selengkapnya
Hubungan Faktor Personal dengan Perilaku Keselamatan Pekerja di Ruang Terbatas
« First Previous page 2 of 13 Next Last »