Keselamatan Kerja

Evaluasi dan Perbandingan Metode Penilaian Risiko dalam Ruang Terbatas Berdasarkan ICOP 2010 dan ISO 31010

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025


Keselamatan kerja dalam ruang terbatas (confined space) merupakan tantangan besar bagi industri, terutama di sektor manufaktur, minyak dan gas, serta konstruksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelemahan dalam sistem penilaian risiko ICOP 2010 dan memberikan rekomendasi perbaikan dengan menggunakan pendekatan yang lebih terstruktur sesuai dengan ISO 31010. Dengan analisis mendalam terhadap metode seperti Checklist, Risk Scale, Bowtie Analysis, dan Risk Assessment Model, penelitian ini memberikan perspektif yang lebih luas tentang bagaimana perusahaan dapat meningkatkan efektivitas sistem manajemen risiko mereka.

Penelitian ini dilakukan melalui:

Analisis literatur tentang metode penilaian risiko yang digunakan dalam industri ruang terbatas. Studi perbandingan antara pendekatan penilaian risiko dalam ICOP 2010 dan ISO 31010. Pemetaan alat penilaian risiko dari jurnal-jurnal terkait untuk mengidentifikasi kesenjangan dan peluang perbaikan dalam ICOP 2010.

ICOP 2010 mengklasifikasikan proses penilaian risiko dalam lima bagian utama:

  1. Pekerjaan yang akan dilakukan (Work to be undertaken).
  2. Metode yang dapat digunakan (Range of possible methods).
  3. Identifikasi bahaya yang ada (Present hazards).
  4. Metode spesifik yang digunakan untuk pekerjaan tertentu (Actual method details).
  5. Prosedur penyelamatan dan layanan darurat (Rescue and emergency services).

ISO 31010, di sisi lain, memiliki empat tahap utama dalam penilaian risiko:

  1. Identifikasi risiko (Risk Identification – RI).
  2. Analisis risiko (Risk Analysis – RA).
  3. Evaluasi risiko (Risk Evaluation – RE).
  4. Penanganan risiko (Risk Treatment – RT).

Penelitian ini menemukan bahwa metode yang digunakan dalam ICOP 2010 memiliki beberapa kelemahan, antara lain:

Kurangnya spesifikasi dalam metode identifikasi bahaya, sehingga beberapa faktor risiko potensial dapat terlewat. Tidak adanya pendekatan berbasis skala probabilitas dan dampak, yang menyebabkan kesulitan dalam menentukan tingkat risiko secara kuantitatif. Kurangnya integrasi dengan metode mitigasi yang spesifik, seperti Bowtie Analysis atau Proportional Risk Assessment. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa insiden di ruang terbatas masih menjadi masalah utama di Malaysia. Berdasarkan data Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Malaysia (DOSH), terdapat lebih dari 50 kasus kecelakaan fatal di ruang terbatas antara 2009 hingga 2019. Penyebab utama adalah Kurangnya kesadaran dan kompetensi pekerja. Tidak adanya dokumen penilaian risiko yang memadai sebelum memasuki ruang terbatas. Minimnya prosedur penyelamatan yang terdokumentasi dengan baik.

Penelitian ini membandingkan metode penilaian risiko dalam ICOP 2010 dengan ISO 31010 dan menemukan bahwa beberapa metode dalam ICOP 2010 perlu diperbarui untuk meningkatkan efektivitasnya. Berikut adalah beberapa temuan utama:

  • ISO 31010 lebih rinci dalam mengklasifikasikan risiko dengan pendekatan berbasis probabilitas dan dampak.
  • ICOP 2010 masih menggunakan pendekatan umum tanpa model kuantitatif yang jelas.
  • ISO 31010 lebih fleksibel dengan berbagai metode penilaian risiko seperti Checklist, Ishikawa Diagram, dan Risk Matrix, sedangkan ICOP 2010 hanya mengandalkan dokumentasi sederhana.

Kelebihan 

Menyediakan analisis berbasis data yang kuat tentang metode penilaian risiko dalam ruang terbatas. Memberikan pemetaan yang jelas antara ICOP 2010 dan standar internasional ISO 31010. Menyajikan solusi berbasis jurnal ilmiah terkait peningkatan efektivitas metode penilaian risiko.

Kekurangan 

Tidak melakukan uji coba langsung terhadap penerapan metode yang diusulkan. Belum membahas implementasi teknologi dalam mitigasi risiko ruang terbatas. Tidak ada analisis dampak ekonomi dari kecelakaan di ruang terbatas.

Beberapa langkah perbaikan yang direkomendasikan adalah:

  1. Integrasi Metode Penilaian Risiko yang Lebih Canggih, Menggunakan Bowtie Analysis untuk menghubungkan penyebab kecelakaan dengan konsekuensinya. Mengadopsi Risk Estimation Model untuk memperkirakan dampak kecelakaan dalam ruang terbatas.
  2. Peningkatan Dokumentasi dan Regulasi, Memastikan setiap pekerjaan dalam ruang terbatas memiliki dokumen risiko yang lebih spesifik. Mengembangkan standar nasional yang lebih mendetail, mirip dengan pendekatan ISO 31010.
  3. Penggunaan Teknologi dalam Mitigasi Risiko, Implementasi sensor gas otomatis untuk mendeteksi potensi bahaya atmosfer di ruang terbatas. Pemanfaatan sistem pemantauan real-time untuk meningkatkan keselamatan pekerja.
  4. Peningkatan Pelatihan dan Kesadaran Keselamatan, Menyediakan pelatihan berbasis skenario nyata untuk pekerja yang akan memasuki ruang terbatas. Mengadakan drill penyelamatan berkala untuk memastikan kesiapsiagaan dalam keadaan darurat.

Perbedaan metode penilaian risiko antara ICOP 2010 dan ISO 31010, serta bagaimana pendekatan yang lebih komprehensif dapat meningkatkan keselamatan kerja dalam ruang terbatas. Dengan mengadopsi metode yang lebih canggih, seperti Bowtie Analysis dan Risk Estimation Model, industri di Malaysia dapat mengurangi jumlah kecelakaan fatal di ruang terbatas dan meningkatkan standar keselamatan kerja secara keseluruhan. Dengan menerapkan rekomendasi yang disebutkan, perusahaan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap standar internasional dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi pekerja di ruang terbatas.

Sumber Artikel

Amin, Z., Mohammad, R., & Othman, N. (2020). Review and Comparison of Confined Space Risk Assessment Tools Practised by Industry Code of Practice for Safe Working in Confined Space of Malaysia, 2010 (ICOP 2010). Journal of Advanced Research in Business and Management Studies, 18(1), 16-23.

 

Selengkapnya
Evaluasi dan Perbandingan Metode Penilaian Risiko dalam Ruang Terbatas Berdasarkan ICOP 2010 dan ISO 31010

Keselamatan Kerja

Implementasi Sistem Tanggap Darurat berdasarkan NFPA 1600 di PT. LG Electronics Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional perusahaan. Banyak perusahaan mengalami kesulitan untuk kembali beroperasi setelah mengalami gangguan akibat bencana, sebagaimana hasil penelitian University of Minnesota yang menunjukkan bahwa 90% perusahaan tidak dapat bangkit setelah 10 hari mengalami kegagalan sistem kritis. Paper ini meneliti implementasi sistem tanggap darurat di PT. LG Electronics Indonesia berdasarkan standar National Fire Protection Association (NFPA) 1600, yang merupakan standar internasional untuk keberlanjutan bisnis, kesiapsiagaan darurat, dan manajemen krisis.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan triangulasi data, yang mencakup:

  • Wawancara terstruktur dengan tiga responden dari PT. LG Electronics Indonesia.
  • Studi dokumentasi dari dokumen perusahaan terkait sistem tanggap darurat.
  • Analisis kesesuaian sistem tanggap darurat dengan 194 elemen indikator NFPA 1600.

Teknik purposive sampling digunakan untuk memilih responden utama, yang terdiri dari General Manager, Koordinator Tim Tanggap Darurat, dan Ahli K3 perusahaan. Dari 194 elemen indikator NFPA 1600, hasil penelitian menunjukkan bahwa:

  • 160 elemen (82,5%) sudah sesuai dengan standar.
  • 34 elemen (17,5%) masih belum sesuai, baik sebagian maupun keseluruhan.

Beberapa aspek yang sudah sesuai meliputi manajemen program, perencanaan, pelatihan, serta pengujian sistem tanggap darurat. Namun, masih ada kekurangan dalam perencanaan pemulihan pasca-bencana (recovery) dan kelengkapan fasilitas darurat. Penelitian mengungkapkan bahwa PT. LG Electronics Indonesia memiliki area berisiko tinggi, seperti:

  • Penyimpanan R600 dan LPG, yang rentan terhadap ledakan.
  • Gudang penyimpanan alkohol dan bahan kimia, yang mudah terbakar.
  • Area produksi dengan material ABS, yang telah menyebabkan beberapa kebakaran kecil akibat kesalahan teknis.

Sepanjang tahun 2019, terjadi beberapa kebakaran kecil di area produksi vacuum forming, dengan total kerugian sebesar Rp131.964.000. Kebakaran ini berhasil dipadamkan menggunakan Alat Pemadam Api Ringan (APAR), tetapi menunjukkan perlunya peningkatan dalam pengelolaan risiko kebakaran. Perusahaan telah membentuk tim tanggap darurat, dengan prosedur evakuasi yang jelas. Namun, ada beberapa kelemahan yang ditemukan:

  • Tidak adanya pusat operasi darurat (Emergency Operations Center).
  • Kurangnya perencanaan pemulihan bisnis setelah bencana.
  • Ketiadaan prosedur khusus untuk pekerja penyandang disabilitas dalam keadaan darurat.
  • Belum adanya sistem komunikasi darurat berbasis teknologi seperti IoT untuk deteksi dini kebakaran.

Sebagai perbandingan, penerapan sistem tanggap darurat di Jepang setelah gempa dan tsunami 2011 menunjukkan bahwa perusahaan dengan sistem tanggap darurat yang matang dapat pulih lebih cepat. Penelitian oleh Nanto (2011) menunjukkan bahwa industri manufaktur Jepang mengalami kerugian hingga $309 miliar, tetapi perusahaan yang memiliki perencanaan pemulihan yang baik mampu melanjutkan produksi lebih cepat dibandingkan yang tidak memiliki sistem pemulihan.

Kesimpulan

  1. Implementasi sistem tanggap darurat di PT. LG Electronics Indonesia sudah baik (82,5% sesuai NFPA 1600), tetapi masih ada beberapa kelemahan yang harus diperbaiki.
  2. Beberapa area berisiko tinggi belum sepenuhnya mendapat perlindungan maksimal, terutama dalam hal penyimpanan bahan kimia dan LPG.
  3. Kurangnya perencanaan pemulihan bisnis pasca-bencana (recovery) menjadi tantangan besar dalam meningkatkan ketahanan perusahaan terhadap bencana.

Saran

  1. Mendirikan Pusat Operasi Darurat (Emergency Operations Center) untuk meningkatkan koordinasi dalam situasi darurat.
  2. Menyusun rencana pemulihan bisnis (Business Continuity Plan) agar perusahaan dapat kembali beroperasi lebih cepat setelah bencana.
  3. Menggunakan teknologi berbasis IoT untuk deteksi dini kebakaran, seperti sensor asap otomatis yang terhubung dengan sistem pemadam.
  4. Menyesuaikan prosedur evakuasi bagi penyandang disabilitas, dengan jalur evakuasi yang ramah difabel.

Sumber Artikel

Fairuz Nabila Asfarisya, Herry Koesyanto. Implementasi Sistem Tanggap Darurat berdasarkan National Fire Protection Association (NFPA) 1600 di PT. LG Electronics Indonesia. Indonesian Journal of Public Health and Nutrition, Vol. 1, No. 2, 2021, 223-233.

Selengkapnya
Implementasi Sistem Tanggap Darurat berdasarkan NFPA 1600 di PT. LG Electronics Indonesia

Keselamatan Kerja

Penilaian Emergency Response Preparedness untuk Proteksi Ledakan pada Area Peleburan Besi di PT. X

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan kerja dalam industri peleburan besi menjadi perhatian utama mengingat tingginya potensi bahaya yang dapat terjadi, terutama ledakan dan kebakaran. Penelitian ini dilakukan dengan metode cross-sectional menggunakan pendekatan observasional kuantitatif. Sampel penelitian terdiri dari 72 orang tim tanggap darurat, yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Responden terdiri dari empat staf Safety Health Environment (SHE), satu penanggung jawab Electric Arc Furnace (EAF), serta enam anggota tim darurat. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi lapangan, serta analisis dokumen internal perusahaan terkait sistem tanggap darurat.

Evaluasi kesiapan tanggap darurat dilakukan dengan mengacu pada International Safety Rating System (ISRS), yang mencakup beberapa elemen:

  • Administrasi dan Manajemen Tanggap Darurat
  • Analisis Risiko dan Sistem Proteksi
  • Kesiapsiagaan Keadaan Darurat di Luar Perusahaan
  • Pengendalian Sumber Energi
  • Sistem Perlindungan dan Penyelamatan
  • Tim Tanggap Darurat dan Pelatihan
  • Komunikasi dan Koordinasi Darurat

Dari 670 poin harapan dalam ISRS, PT. X memperoleh skor 620 poin (92,5%), menunjukkan bahwa sistem tanggap darurat perusahaan telah cukup baik, namun masih memerlukan perbaikan pada beberapa aspek. Rincian hasil evaluasi adalah sebagai berikut:

  • Analisis Keadaan Darurat – 140 poin (96,5%)
  • Sistem Perlindungan dan Penyelamatan – 141 poin (94%)
  • Tim Tanggap Darurat – 40 poin (90%)
  • Pertolongan Pertama pada Kecelakaan – 78,5 poin (98,1%)
  • Perencanaan Pasca Kejadian – 20 poin (100%)
  • Komunikasi Keadaan Darurat – 20 poin (100%)
  • Kesiapsiagaan di Luar Perusahaan – 43 poin (71,7%), kategori ini masih perlu ditingkatkan karena belum ada sistem komunikasi dengan masyarakat sekitar.

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor risiko utama yang berpotensi menyebabkan ledakan dan kebakaran di area Electric Arc Furnace (EAF), antara lain:

  1. Konsleting listrik akibat lonjakan arus.
  2. Scrap basah yang dapat menyebabkan ledakan uap air ketika dipanaskan.
  3. Scrap yang mudah meledak karena komposisi material yang tidak stabil.
  4. Kesalahan dalam proses screening scrap, yang menyebabkan kontaminasi bahan peleburan.
  5. Korosi pada shell furnace, yang dapat mengakibatkan kebocoran material panas.
  6. Lapisan shell yang terpapar langsung oleh burner, meningkatkan risiko kebakaran.

Pada tahun 2004, terjadi ledakan besar di area peleburan besi PT. X yang menyebabkan 13 pekerja mengalami luka berat, satu di antaranya meninggal dunia. Insiden ini disebabkan oleh scrap yang mengandung kadar air tinggi, yang bereaksi dengan logam cair dan menghasilkan gas hidrogen yang mudah meledak. Selain itu, banyak pekerja saat itu tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai dengan standar keselamatan. Setelah kejadian tersebut, perusahaan mulai menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) berbasis OHSAS 18001, yang terintegrasi dengan ISO 14001 dan ISO 9001. Perusahaan juga meningkatkan prosedur tanggap darurat dengan latihan evakuasi berkala dan pemantauan suhu furnace secara real-time.

Saat ini, pelatihan bagi tim tanggap darurat di PT. X sudah cukup baik, tetapi perlu ditingkatkan dalam beberapa aspek:

  • Pelatihan penanganan bahan berbahaya dan tumpahan bahan kimia.
  • Latihan simulasi ledakan skala penuh dengan melibatkan seluruh pekerja.
  • Pelatihan pemakaian APD secara ketat, terutama bagi pekerja di area EAF.

Salah satu kelemahan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah kurangnya sistem komunikasi darurat yang efektif dengan masyarakat sekitar. Perusahaan perlu mengembangkan:

  • Sistem peringatan dini yang dapat menginformasikan warga sekitar tentang potensi bahaya.
  • Saluran komunikasi khusus dengan pemadam kebakaran lokal dan pihak berwenang.
  • Penyediaan jalur evakuasi yang lebih jelas untuk pekerja dan komunitas sekitar.

Beberapa rambu dan alat proteksi di PT. X mengalami kerusakan dan perlu diperbaiki. Rekomendasi dalam aspek ini meliputi:

  • Pemeriksaan berkala terhadap sistem alarm kebakaran dan detektor gas.
  • Penggantian dan pemeliharaan APAR serta hydrant.
  • Pemasangan pelindung korosi pada shell furnace untuk mencegah kebocoran.

Kesimpulan

  1. Sistem Emergency Response Preparedness di PT. X sudah cukup baik dengan skor 92,5% dalam ISRS, namun masih ada beberapa aspek yang perlu ditingkatkan, terutama dalam kesiapsiagaan di luar perusahaan.
  2. Faktor risiko utama ledakan dan kebakaran berasal dari scrap basah, lonjakan listrik, serta kegagalan struktur furnace akibat korosi.
  3. Studi kasus insiden ledakan tahun 2004 menunjukkan perlunya peningkatan pemakaian APD dan pengawasan scrap sebelum peleburan.
  4. Perusahaan perlu meningkatkan latihan simulasi darurat, komunikasi dengan masyarakat, dan pemeliharaan sistem keamanan agar sistem tanggap darurat lebih optimal.

Sumber Artikel

Putri Anggitasari, M. Sulaksmono. Penilaian Emergency Response Preparedness untuk Proteksi Ledakan pada Area Peleburan Besi pada PT. X. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 3, No. 1, Jan-Jun 2014, 71-81.

Selengkapnya
Penilaian Emergency Response Preparedness untuk Proteksi Ledakan pada Area Peleburan Besi di PT. X

Keselamatan Kerja

Pentingnya Implementasi Contractor Safety Management System (CSMS) dalam Industri Petrokimia: Studi Kasus PT Pupuk Kujang

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Dalam industri petrokimia, keselamatan kerja menjadi prioritas utama mengingat risiko tinggi yang melekat dalam setiap aktivitasnya. Berdasarkan laporan Safety Performance Indicator untuk Oil and Gas Producers (OGP) tahun 2018, tercatat 2 kematian di dalam perusahaan dan 29 kematian yang melibatkan kontraktor. Dengan Fatal Accident Rate (FAR) sebesar 1,20 per 1 juta jam kerja untuk kontraktor dibandingkan dengan 0,31 di dalam perusahaan, jelas bahwa risiko keselamatan bagi kontraktor lebih tinggi. Oleh karena itu, implementasi Contractor Safety Management System (CSMS) menjadi solusi penting dalam mengelola keselamatan kerja kontraktor, sebagaimana yang dilakukan oleh PT Pupuk Kujang.

PT Pupuk Kujang, sebagai perusahaan petrokimia dengan tingkat risiko tinggi, telah menerapkan enam tahapan dalam pelaksanaan CSMS, yaitu:

  1. Identifikasi dan Penilaian Risiko – Proses awal yang bertujuan untuk mengidentifikasi potensi bahaya yang mungkin dihadapi kontraktor.
  2. Prakualifikasi – Penyaringan awal kontraktor berdasarkan pengalaman dan kepatuhan terhadap standar keselamatan.
  3. Seleksi – Penentuan kontraktor yang memenuhi kriteria teknis dan keselamatan.
  4. Aktivitas Awal Pekerjaan – Memastikan semua aspek keselamatan dipahami sebelum pekerjaan dimulai.
  5. Penilaian Selama Pekerjaan – Monitoring secara berkala terhadap pelaksanaan keselamatan di lapangan.
  6. Penilaian Akhir Pekerjaan – Evaluasi kinerja kontraktor dalam aspek keselamatan.

Namun, dalam studi ini ditemukan adanya kelemahan dalam tahap prakualifikasi, di mana kontraktor lokal telah ditunjuk sebagai pemenang tender sebelum dinyatakan lolos tahap prakualifikasi. Hal ini menimbulkan risiko terhadap kepatuhan terhadap standar keselamatan.

Berdasarkan hasil penelitian di PT Pupuk Kujang, ditemukan bahwa implementasi CSMS belum berjalan optimal. Berikut beberapa temuan utama:

  • Data Risiko Kecelakaan: FAR untuk kontraktor lebih tinggi (1,20) dibandingkan dengan perusahaan (0,31), menunjukkan perlunya pengawasan lebih ketat terhadap kontraktor.
  • Evaluasi Pra-kualifikasi: Standar seleksi kontraktor belum sepenuhnya diterapkan dengan konsisten, terutama dalam penentuan pemenang tender.
  • Pelaksanaan Pekerjaan: Meskipun terdapat pengawasan rutin, masih ditemukan beberapa pelanggaran terhadap prosedur keselamatan kerja.
  • Evaluasi Akhir: Perusahaan telah menerapkan sistem reward dan punishment untuk meningkatkan kepatuhan kontraktor terhadap standar keselamatan.

Perbandingan dengan Industri Lain

Jika dibandingkan dengan implementasi CSMS di PT Pupuk Sriwijaya, ditemukan bahwa PT Pupuk Kujang memiliki kelemahan dalam tahap komunikasi antara departemen pengadaan dan HSE (Health, Safety, and Environment). Sementara di PT Petrokimia Gresik, sistem CSMS telah lebih terstruktur dengan adanya kriteria minimal bagi kontraktor untuk lolos seleksi. Di sektor lain seperti pertambangan, penelitian di perusahaan tambang batu bara menunjukkan bahwa tahapan prakualifikasi lebih ketat, dengan evaluasi menyeluruh terhadap dokumen keselamatan sebelum kontraktor dapat bekerja di lapangan. Hal ini menyoroti perlunya peningkatan pengawasan dalam implementasi CSMS di PT Pupuk Kujang.

Rekomendasi

Untuk meningkatkan efektivitas CSMS di PT Pupuk Kujang, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan adalah:

  1. Peningkatan Transparansi dalam Seleksi Kontraktor – Proses prakualifikasi harus dilakukan sebelum pengumuman pemenang tender.
  2. Monitoring dan Evaluasi yang Lebih Ketat – Pengawasan harus dilakukan secara lebih sistematis dengan pelaporan berkala.
  3. Pelatihan Keselamatan bagi Kontraktor – Meningkatkan kesadaran dan kepatuhan kontraktor terhadap standar keselamatan.
  4. Penerapan Teknologi dalam Pengawasan – Menggunakan sistem digital untuk memantau kepatuhan kontraktor dalam implementasi CSMS.

Kesimpulan

Implementasi CSMS di PT Pupuk Kujang telah berjalan dengan baik dalam beberapa aspek, namun masih terdapat kelemahan terutama dalam tahap prakualifikasi kontraktor. Dengan meningkatnya angka kecelakaan kerja yang lebih tinggi pada kontraktor dibandingkan dengan pekerja internal perusahaan, penting bagi PT Pupuk Kujang untuk memperbaiki sistem seleksi dan pengawasan terhadap kontraktor. Dengan penerapan rekomendasi di atas, diharapkan implementasi CSMS dapat lebih efektif dalam mengurangi risiko kecelakaan kerja.

Sumber: Wardhani, Y. D. K. (2022) ‘Implementation of Contractor Safety Management System as a Requirement for Partners at a Petrochemical Company’, The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, 11(1), pp. 1-11.

Selengkapnya
Pentingnya Implementasi Contractor Safety Management System (CSMS) dalam Industri Petrokimia: Studi Kasus PT Pupuk Kujang

Keselamatan Kerja

Peran Safety Management System (SMS) dalam Meningkatkan Budaya Keselamatan di Program Penerbangan Perguruan Tinggi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Dalam dunia penerbangan, keselamatan menjadi aspek utama yang tidak dapat diabaikan. Safety Management System (SMS) adalah pendekatan sistematis dalam mengelola keselamatan, termasuk struktur organisasi, akuntabilitas, kebijakan, dan prosedur. Meski implementasi SMS di program penerbangan perguruan tinggi masih bersifat sukarela, banyak institusi yang telah menerapkannya sebagai bagian dari upaya peningkatan keselamatan.

Penelitian oleh Foster dan Adjekum (2022) menyoroti hubungan antara implementasi SMS dan persepsi budaya keselamatan dalam berbagai program penerbangan di perguruan tinggi di Amerika Serikat. Studi ini menemukan adanya kesenjangan pemahaman mengenai SMS di kalangan mahasiswa, instruktur penerbangan bersertifikat (Certified Flight Instructors/CFI), dan pemimpin keselamatan.

Studi ini melibatkan tiga program penerbangan perguruan tinggi dengan tingkat implementasi SMS yang berbeda:

  • Universitas A: Baru memulai proses implementasi SMS.
  • Universitas B: Telah mencapai tahap kepatuhan aktif dalam program SMS yang diakui FAA.
  • Universitas C: Telah mencapai tahap akhir dalam standar SMS internasional.

Melalui wawancara semi-terstruktur, ditemukan bahwa mayoritas mahasiswa dan CFI tidak memahami secara mendalam tentang SMS dan implementasinya. Mereka cenderung mengasosiasikan SMS hanya dengan sistem pelaporan keselamatan, padahal SMS mencakup aspek yang lebih luas seperti manajemen risiko dan pengawasan keselamatan.

Peran CFI dalam Budaya Keselamatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa CFI memiliki peran krusial dalam membentuk persepsi mahasiswa terhadap budaya keselamatan. Beberapa temuan utama:

  • CFI sebagai Teladan: Mahasiswa lebih banyak terpengaruh oleh perilaku CFI dibandingkan oleh kebijakan tertulis atau pemimpin keselamatan.
  • Variasi Pengajaran Keselamatan: Mahasiswa yang memiliki lebih dari satu CFI mendapatkan perspektif yang beragam terkait keselamatan.
  • Kesenjangan Pemahaman SMS: Banyak CFI yang tidak memahami SMS secara mendalam, sehingga sulit untuk menanamkan pemahaman yang baik kepada mahasiswa.

Implikasi Implementasi SMS

1. Kurangnya Pemahaman SMS

Salah satu temuan penting adalah kurangnya pemahaman mahasiswa dan CFI terhadap SMS. Bahkan ketika diberikan pertanyaan spesifik mengenai jenis SMS yang digunakan di institusi mereka, banyak yang tidak dapat memberikan jawaban yang tepat. Hal ini menunjukkan perlunya pendidikan lebih lanjut mengenai SMS di lingkungan akademik.

2. Peran Pelatihan Keselamatan

Mahasiswa dan CFI lebih banyak belajar tentang keselamatan melalui interaksi sehari-hari daripada melalui pelatihan formal. Oleh karena itu, penting untuk memasukkan SMS dalam kurikulum penerbangan dan memastikan CFI memahami perannya dalam membentuk budaya keselamatan.

3. Kebutuhan Umpan Balik dalam Pelaporan Keselamatan

Mahasiswa dan CFI cenderung enggan melaporkan insiden keselamatan jika mereka tidak mendapatkan umpan balik yang jelas. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian umpan balik terhadap laporan keselamatan dapat meningkatkan partisipasi dalam sistem pelaporan dan memperkuat budaya keselamatan.

Rekomendasi

Berdasarkan temuan penelitian, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan di program penerbangan perguruan tinggi adalah:

  1. Meningkatkan Edukasi SMS
    • Memasukkan SMS sebagai bagian dari kurikulum penerbangan.
    • Menyediakan pelatihan reguler bagi CFI mengenai implementasi SMS.
  2. Memperkuat Peran CFI dalam Keselamatan
    • Menjadikan CFI sebagai mentor keselamatan bagi mahasiswa.
    • Mendorong CFI untuk lebih aktif dalam proses manajemen risiko.
  3. Meningkatkan Efektivitas Pelaporan Keselamatan
    • Menyediakan sistem umpan balik bagi pelapor.
    • Mempromosikan pentingnya pelaporan keselamatan sebagai bagian dari budaya keselamatan.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa SMS memiliki potensi besar dalam meningkatkan budaya keselamatan di program penerbangan perguruan tinggi. Namun, keberhasilan implementasi SMS sangat bergantung pada pemahaman dan partisipasi aktif mahasiswa dan CFI. Dengan meningkatkan edukasi SMS, memperkuat peran CFI, dan memastikan sistem pelaporan yang efektif, institusi dapat membangun budaya keselamatan yang lebih baik.

Sumber: Foster, R. A. & Adjekum, D. K. (2022). ‘A Qualitative Review of the Relationship between Safety Management Systems (SMS) and Safety Culture in Multiple-Collegiate Aviation Programs’. Collegiate Aviation Review International, 40(1), 63-94.

Selengkapnya
Peran Safety Management System (SMS) dalam Meningkatkan Budaya Keselamatan di Program Penerbangan Perguruan Tinggi

Keselamatan Kerja

Menuju Operasi Offshore Tanpa Insiden: Konseptualisasi Langkah Keselamatan Tingkat Lanjut

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Industri minyak dan gas offshore menghadapi tantangan besar dalam menjaga keselamatan operasional. Dengan risiko tinggi akibat kondisi lingkungan ekstrem, kesalahan manusia, dan kegagalan peralatan, industri ini harus menerapkan langkah-langkah keselamatan yang lebih maju untuk mencapai zero-incident operations. Studi oleh Aderamo et al. (2024) menyajikan kerangka konseptual untuk meningkatkan keselamatan dengan teknologi canggih dan pendekatan manajemen keselamatan berbasis budaya organisasi.

Studi Kasus dan Data

Penelitian ini menyajikan beberapa studi kasus dari platform minyak offshore yang telah menerapkan langkah-langkah keselamatan inovatif. Beberapa angka penting dari studi ini meliputi:

  • Reduksi kecelakaan kerja sebesar 35% dengan penerapan pemeliharaan prediktif berbasis AI.
  • Peningkatan efisiensi operasional hingga 20% melalui penggunaan sensor IoT untuk pemantauan real-time.
  • Tingkat kepatuhan terhadap regulasi meningkat 90% dengan implementasi sistem keselamatan berbasis budaya.

Teknologi Keselamatan yang Diusulkan

1. Pemeliharaan Prediktif dengan AI

  • Menggunakan machine learning untuk mendeteksi potensi kegagalan peralatan sebelum terjadi insiden.
  • Menganalisis pola keausan dan memberi peringatan dini.
  • Mengurangi downtime dan memperpanjang umur peralatan.

2. Pemantauan Real-time dengan IoT

  • Sensor IoT digunakan untuk mengukur kondisi lingkungan dan kinerja peralatan.
  • Data dikirim secara langsung ke pusat kontrol untuk analisis dan respons cepat.
  • Mampu mendeteksi kebocoran gas atau perubahan tekanan yang berpotensi membahayakan.

3. Pelatihan Keselamatan dengan Virtual Reality (VR)

  • Simulasi berbasis VR memungkinkan pekerja mengalami skenario berbahaya dalam lingkungan yang aman.
  • Mengurangi risiko kesalahan manusia dengan meningkatkan kesiapan mental dan teknis pekerja.
  • Studi menunjukkan bahwa pekerja yang menjalani pelatihan VR memiliki peningkatan keterampilan keselamatan sebesar 40%.

Regulasi dan Budaya Keselamatan

Penerapan teknologi saja tidak cukup tanpa komitmen terhadap budaya keselamatan. Perusahaan yang sukses dalam mencapai zero-incident operations memiliki ciri:

  • Kepemimpinan yang berorientasi keselamatan: Manajer terlibat langsung dalam inisiatif keselamatan.
  • Sistem pelaporan insiden tanpa sanksi: Pekerja lebih aktif melaporkan potensi bahaya tanpa takut hukuman.
  • Kepatuhan regulasi ketat: Standarisasi mengikuti ISO 45001 dan regulasi dari badan internasional seperti IMO.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dengan kombinasi teknologi canggih, budaya keselamatan, dan regulasi ketat, industri offshore dapat bergerak menuju zero-incident operations. Studi ini menunjukkan bahwa langkah-langkah seperti pemeliharaan prediktif, pemantauan IoT, dan pelatihan VR dapat mengurangi risiko dan meningkatkan efisiensi.

Rekomendasi Utama:

  1. Mengintegrasikan teknologi AI dan IoT dalam pemantauan operasional.
  2. Menerapkan pelatihan VR untuk meningkatkan kesiapan pekerja terhadap bahaya.
  3. Mendorong budaya keselamatan proaktif dengan kepemimpinan yang mendukung pelaporan insiden tanpa sanksi.
  4. Mematuhi standar regulasi internasional guna memastikan keselamatan optimal.

Sumber: Aderamo, A. T., Olisakwe, H. C., Adebayo, Y. A., & Esiri, A. E. (2024). ‘Towards Zero-Incident Offshore Operations: Conceptualizing Advanced Safety Safeguards’. International Journal of Engineering Research and Development, 20(11), 216-233.

Selengkapnya
Menuju Operasi Offshore Tanpa Insiden: Konseptualisasi Langkah Keselamatan Tingkat Lanjut
« First Previous page 2 of 11 Next Last »