Mengapa Keselamatan di Konstruksi adalah Masalah Hidup dan Mati yang Terlupakan
Ketika kita membicarakan industri konstruksi, yang terlintas di benak banyak orang adalah gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, infrastruktur megah, atau jalan raya yang menghubungkan kota. Industri ini adalah motor penggerak ekonomi global, yang pada tahun 2017 menyumbang lebih dari USD 10 triliun untuk Produk Domestik Bruto (PDB) global, dengan kontribusi sebesar USD 892 miliar di Amerika Serikat (AS) saja.1 Kekuatan ekonomi ini sangat bergantung pada lebih dari 7 juta pekerja yang bekerja di dalamnya di AS.1
Namun, di balik kontribusi ekonomi yang masif, tersembunyi sebuah kenyataan yang suram dan sering kali terabaikan: konstruksi adalah salah satu industri paling berbahaya di dunia, dengan angka cedera dan kematian yang sangat tinggi.1 Angka-angka ini tidak hanya mencolok, tetapi juga mengejutkan. Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS menunjukkan bahwa satu dari setiap lima kematian pekerja di AS terjadi di sektor konstruksi.1 Rata-rata, seorang pekerja konstruksi 5.5 kali lebih mungkin mengalami kecelakaan fatal di tempat kerja dibandingkan pekerja di industri lain.1 Pada tahun 2019 saja, 1.061 pekerja meninggal di industri ini, angka tertinggi sejak 2007.1
Angka-angka ini bukan sekadar statistik dingin; ini adalah cerita nyata tentang nyawa yang hilang, keluarga yang hancur, dan kerugian ekonomi yang tak terhitung. Selama ini, banyak yang meyakini bahwa kecelakaan di lokasi proyek utamanya disebabkan oleh kesalahan atau salah perhitungan dari para pekerja lapangan. Namun, pandangan ini mulai bergeser. Sejumlah peneliti dan profesional industri kini meyakini bahwa tingginya angka kecelakaan sering kali disebabkan oleh perencanaan dan kontrol keselamatan yang buruk, yang merupakan tanggung jawab utama dari tim manajemen dan personel keselamatan.1 Keberadaan personel keselamatan penuh waktu di lokasi proyek dapat meningkatkan kemungkinan kinerja keselamatan hingga 229%.1 Ini menyoroti sebuah realitas baru: masalah keselamatan di industri konstruksi bukan hanya soal perilaku individu, tetapi juga soal sistem, dan inti dari sistem itu adalah orang-orang yang ditugaskan untuk mengelolanya.
Celah Berbahaya: Mengapa Panduan Kualifikasi Selama Ini Tidak Ada?
Meskipun peran personel keselamatan sangat krusial, sebuah celah berbahaya terungkap: selama ini, tidak ada panduan standar atau bahkan konsensus yang jelas di antara para pemangku kepentingan industri di AS mengenai kualifikasi yang diinginkan untuk personel keselamatan konstruksi.1 Kurangnya pedoman ini telah menciptakan disparitas yang substansial dan berpotensi mematikan dalam kualifikasi para profesional ini.1 Ini berarti, seleksi individu untuk posisi keselamatan sering kali terabaikan, atau didasarkan pada kriteria yang tidak seragam di seluruh industri.1
Tentu saja, ada beberapa panduan umum yang tersedia, seperti "The Employer's Guide to Hiring a Safety Professional" dari American Society of Safety Professionals (ASSP).1 Namun, panduan ini tidak secara spesifik dirancang untuk industri konstruksi.1 Makalah penelitian yang diterbitkan di jurnal
Buildings ini secara tegas menunjukkan bahwa kualifikasi yang direkomendasikan untuk "industri umum"—yaitu semua industri selain pertanian, konstruksi, dan maritim—tidak sepenuhnya relevan dengan industri konstruksi.1
Sebagai contoh, panduan umum tersebut merekomendasikan sertifikasi seperti Certified Loss Control Specialist (CLCS) atau Certified Fire Protection Specialist (CFPS) untuk profesional keselamatan.1 Namun, penelitian ini mencatat bahwa sertifikasi-sertifikasi ini jarang sekali dimiliki oleh profesional keselamatan yang bekerja di industri konstruksi.1 Perbedaan-perbedaan ini sangat penting karena industri konstruksi memiliki keunikan tersendiri, termasuk jumlah pekerja imigran yang tinggi, perbedaan geografis, dan jenis bahaya yang spesifik.1 Dengan kata lain, pedoman umum tidak dapat menjadi solusi yang memadai untuk masalah yang sangat spesifik dan kompleks ini.
Oleh karena itu, penelitian ini muncul untuk mengisi kekosongan pengetahuan tersebut, dengan tujuan tunggal untuk mengidentifikasi kualifikasi yang diinginkan—dari segi pendidikan, pengalaman, dan sertifikasi—khusus untuk personel keselamatan di industri konstruksi AS.1 Ini adalah langkah kritis untuk menciptakan standar yang relevan dan dapat diterapkan, yang pada akhirnya dapat memperbaiki kinerja keselamatan di seluruh industri.
Menggali Kebenaran dari Ahlinya: Kisah di Balik Metode Delphi
Untuk mencapai tujuannya, studi ini menggunakan sebuah metodologi yang kokoh dan teruji, yaitu metode Delphi.1 Metode Delphi adalah teknik survei multi-putaran yang kolaboratif, dirancang untuk mengumpulkan umpan balik dari sekelompok pakar di bidang tertentu untuk mencapai konsensus.1 Metodologi ini dipilih karena dianggap andal untuk mengumpulkan wawasan dari para ahli dan telah berhasil digunakan dalam berbagai penelitian di bidang konstruksi sebelumnya.1
Laporan ini menyoroti sebuah proses yang teliti dan ketat dalam memilih panel ahli. Berbeda dengan klaim yang beredar bahwa proses seleksi tidak dijelaskan secara rinci, makalah ini justru menguraikan langkah demi langkahnya secara cermat.1 Pertama, tim peneliti mengidentifikasi daftar awal lebih dari 40 individu yang diyakini sebagai ahli keselamatan potensial, berdasarkan keanggotaan mereka di asosiasi dan komite ternama seperti American Society of Safety Professionals (ASSP) dan ASCE CI Construction Safety Committee.1
Langkah kedua adalah proses penyaringan yang sangat ketat. Dari 18 individu yang bersedia berpartisipasi, mereka dievaluasi menggunakan sistem poin objektif yang diadopsi dari studi sebelumnya.1 Sistem ini memberikan poin berdasarkan pendidikan, pengalaman (1 poin per tahun), sertifikasi profesional (3 poin per sertifikat), dan keterlibatan dalam komite atau publikasi ilmiah.1 Untuk memastikan panelis benar-benar ahli, tim peneliti menetapkan standar yang konservatif: skor minimum 15 poin, pengalaman profesional minimal 10 tahun, dan pendidikan minimal setingkat gelar sarjana.1
Dari proses seleksi yang ketat ini, hanya 15 individu yang berhasil memenuhi kualifikasi yang ditetapkan dan diakui sebagai subjek ahli untuk studi ini.1 Kredibilitas temuan studi ini sangat bergantung pada kredibilitas panelisnya. Dengan pengalaman profesional rata-rata 14 tahun dan latar belakang pendidikan yang solid, panel ini bukan hanya kumpulan opini, melainkan representasi dari akumulasi pengetahuan praktis dan teoretis yang mendalam di industri.1 Proses seleksi yang transparan dan ketat ini secara fundamental meningkatkan validitas dan keandalan temuan studi ini.
Tiga Pilar Kunci: Membentuk Profesional Keselamatan Ideal
Hasil dari proses Delphi yang melibatkan para pakar ini menghasilkan sebuah kerangka kerja yang sangat dibutuhkan untuk kualifikasi personel keselamatan konstruksi. Temuan ini diuraikan untuk tiga posisi keselamatan yang umum ditemukan di lapangan: Staf Keselamatan Tingkat Awal (Entry Safety), Profesional Keselamatan (Safety Professional), dan Manajer Keselamatan (Safety Manager).1
Staf Keselamatan Tingkat Awal (Entry Safety)
Untuk posisi tingkat awal, konsensus yang tinggi tercapai. Panelis sepakat bahwa kualifikasi yang diinginkan adalah ijazah sekolah menengah atas sebagai pendidikan minimum, ditambah dengan pengalaman profesional 1-3 tahun.1 Menariknya, para ahli juga sepakat bahwa tidak ada sertifikasi wajib untuk posisi ini, meskipun beberapa panelis menyarankan kursus OSHA 500 atau pelatihan OSHA 10 jam sebagai nilai tambah.1
Profesional Keselamatan (Safety Professional)
Untuk posisi ini, para ahli merekomendasikan kualifikasi yang lebih tinggi.1 Kualifikasi yang paling diinginkan adalah gelar sarjana atau setara (gelar 4 tahun), dengan pengalaman profesional minimum 3-5 tahun.1 Dalam hal sertifikasi, dua per tiga panelis menyarankan sertifikasi Construction Health and Safety Technician (CHST) atau Graduate Safety Practitioner (GSP) sebagai kualifikasi yang diinginkan.1
Manajer Keselamatan (Safety Manager)
Sebagai pimpinan dalam urusan keselamatan, kualifikasi yang diinginkan untuk manajer keselamatan tentu lebih tinggi lagi. Temuan menunjukkan bahwa gelar sarjana atau setara (gelar 4 tahun) adalah pendidikan yang paling diinginkan.1 Panelis merekomendasikan pengalaman profesional minimum 5 tahun atau lebih.1 Dalam hal sertifikasi, ada konsensus kuat untuk memiliki sertifikasi CHST atau Certified Safety Professional (CSP).1
Secara keseluruhan, temuan dari studi ini dapat dirangkum dalam tabel di bawah ini, yang menyajikan panduan yang jelas bagi para pemangku kepentingan industri.
Dalam dunia konstruksi, kualifikasi personel keselamatan ditentukan berdasarkan jenjang posisi yang mereka emban. Untuk staf keselamatan tingkat awal, persyaratan utamanya relatif sederhana, yaitu lulusan sekolah menengah atas dengan pengalaman kerja antara satu hingga tiga tahun. Pada level ini tidak ada kewajiban sertifikasi khusus, sehingga fokus lebih pada pengalaman praktis di lapangan.
Sementara itu, untuk posisi profesional keselamatan, standar yang diinginkan lebih tinggi. Kandidat ideal setidaknya memiliki gelar sarjana empat tahun, ditambah pengalaman kerja tiga hingga lima tahun di bidang keselamatan. Selain itu, mereka juga diharapkan memiliki sertifikasi khusus seperti Construction Health and Safety Technician (CHST) atau Graduate Safety Practitioner (GSP).
Adapun pada jenjang tertinggi, yaitu manajer keselamatan, kualifikasi yang diperlukan semakin menuntut. Seorang manajer keselamatan minimal harus memiliki gelar sarjana empat tahun dengan pengalaman kerja lima tahun atau lebih di bidang terkait. Sertifikasi profesional juga menjadi prasyarat penting, dengan kualifikasi seperti CHST atau Certified Safety Professional (CSP) sebagai standar utama yang menunjukkan penguasaan dan kredibilitas dalam manajemen keselamatan konstruksi.
Penting untuk dicatat bahwa para ahli juga menyoroti fleksibilitas dari kualifikasi ini. Sebanyak 93.34% panelis menyatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari bidang terkait konstruksi, seperti teknik sipil, manajemen konstruksi, atau teknik lingkungan.1 Demikian pula, 86.67% dari mereka setuju bahwa pengalaman bisa datang dari industri konstruksi secara umum, tidak harus spesifik di bidang keselamatan.1 Fleksibilitas ini menunjukkan bahwa seorang profesional yang memiliki pengalaman luas di bidang konstruksi, misalnya sebagai insinyur sipil atau manajer proyek, dapat beralih ke peran keselamatan dengan modal pengetahuan yang sangat berharga.
Lebih dari Sekadar 'Kewajiban': Mengapa Rekomendasi Ini Begitu Bernuansa?
Salah satu aspek yang paling menarik dan mengungkapkan kedalaman pemikiran di balik penelitian ini adalah pergeseran terminologi dari "kualifikasi yang diperlukan" (required) menjadi "kualifikasi yang diinginkan" (desired). Perubahan ini bukanlah hal sepele; ia adalah cerminan dari dinamika yang kompleks antara standar akademis yang ideal dan realitas pragmatis di lapangan. Laporan ini secara spesifik menguraikan kisah di balik perubahan tersebut, yang mana tidak sepenuhnya diungkapkan oleh ringkasan eksternal.1
Pada putaran kedua survei, ketika peneliti menyajikan temuan awal yang menggunakan istilah "diperlukan", terjadi ketidaksepakatan yang signifikan di antara panelis.1 Sebanyak 53.85% panelis tidak setuju dengan kata tersebut untuk posisi Profesional dan Manajer Keselamatan.1 Mereka memberikan umpan balik yang sangat kritis, berargumen bahwa kata "diperlukan" terlalu kaku dan "menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk industri".1
Seorang panelis secara khusus menyatakan, "Tiga atau empat huruf setelah nama Anda tidak berarti banyak di lapangan jika Anda tidak memiliki pengalaman yang dibutuhkan".1 Dia menambahkan bahwa perusahaan yang hanya merekrut berdasarkan sertifikasi tertentu mungkin hanya mendapatkan orang yang "pintar secara teori" tetapi tidak memiliki pemahaman praktis tentang pekerjaan di lokasi proyek.1 Panelis lain menyoroti bahwa standar yang terlalu tinggi dapat "menyingkirkan cukup banyak profesional keselamatan hebat yang sudah ada" di industri, yang memiliki pengalaman luas tetapi mungkin tidak memiliki gelar formal.1
Para peneliti mendengarkan umpan balik ini dengan cermat. Mereka menyadari bahwa tujuan studi bukanlah untuk menciptakan hambatan birokrasi, tetapi untuk memberikan panduan yang realistis dan dapat diimplementasikan. Oleh karena itu, mereka menyesuaikan terminologi menjadi "direkomendasikan" (recommended) pada putaran ketiga survei, yang kemudian divalidasi ulang menjadi "diinginkan" (desired) setelah proses validasi lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan industri.1 Perubahan ini secara dramatis meningkatkan tingkat konsensus di antara para ahli, mencapai 84.62% untuk posisi Profesional Keselamatan dan 92.31% untuk posisi Manajer Keselamatan.1
Keputusan untuk mengubah istilah ini menunjukkan sebuah kompromi yang bernuansa dan sangat penting. Ini adalah cerita di balik data yang menunjukkan bahwa penelitian ini tidak hanya didasarkan pada teori, tetapi juga berakar kuat pada kebijaksanaan praktis dari para profesional yang bekerja di garis depan. Kerangka kerja yang dihasilkan bukanlah sebuah aturan kaku yang harus diikuti, melainkan sebuah panduan yang fleksibel dan beradaptasi dengan realitas industri.
Dampak Nyata dan Tantangan di Depan: Jalan Menuju Industri Konstruksi yang Lebih Aman
Dengan menyediakan panduan yang spesifik dan berbasis konsensus untuk kualifikasi personel keselamatan, studi ini telah memberikan kontribusi signifikan, baik secara teoretis maupun praktis.1 Secara teoretis, studi ini mengisi celah pengetahuan yang telah lama ada, melengkapi literatur yang ada yang cenderung berfokus pada industri umum.1 Secara praktis, studi ini memberikan peta jalan yang jelas bagi pemangku kepentingan industri, seperti kontraktor umum dan perusahaan, untuk memilih personel keselamatan yang benar-benar berkualitas untuk proyek-proyek mereka.1
Jika panduan ini diterapkan secara luas, dampaknya bisa sangat nyata dan transformatif. Peningkatan dalam seleksi personel keselamatan yang berkualitas diharapkan dapat secara langsung meningkatkan kinerja keselamatan di tempat kerja, mengurangi insiden, dan pada akhirnya, berkontribusi pada penurunan angka cedera dan kematian.1 Lebih dari itu, studi ini menunjukkan bahwa investasi dalam kualifikasi personel keselamatan dapat membawa manfaat finansial. Organisasi yang memprioritaskan keselamatan dan merekrut profesional yang berkualitas cenderung memiliki citra dan reputasi yang lebih baik, menarik pekerja terampil, dan mengurangi biaya yang terkait dengan kecelakaan, seperti klaim kompensasi pekerja.1 Jika diterapkan secara efektif, temuan ini dapat mengurangi biaya operasional dan menyelamatkan nyawa dalam kurun waktu lima tahun.
Namun, seperti halnya setiap penelitian, ada keterbatasan yang perlu diakui.1 Pertama, studi ini sangat bergantung pada persepsi para panelis ahli, yang dapat menimbulkan bias dan subjektivitas.1 Meskipun tim peneliti telah melakukan upaya mitigasi melalui proses seleksi yang ketat dan studi validasi, pandangan dari para pekerja lini depan mungkin berbeda.1 Kedua, temuan ini secara spesifik berfokus pada industri konstruksi AS dan mungkin tidak dapat digeneralisasi sepenuhnya ke negara lain yang memiliki karakteristik unik, seperti perbedaan regulasi dan budaya kerja.1
Pada akhirnya, studi ini tidak dimaksudkan untuk menjadi sebuah aturan yang tidak bisa diubah. Sebaliknya, ia berfungsi sebagai kerangka kerja yang kuat untuk pengambilan keputusan, menawarkan saran-saran yang didukung oleh konsensus para ahli. Para pembuat keputusan di industri konstruksi harus mempertimbangkan konteks yang lebih luas, berkonsultasi dengan para ahli, dan mengadaptasi panduan ini sesuai dengan kebutuhan spesifik proyek dan organisasi mereka. Temuan ini adalah titik awal yang penting, sebuah fondasi yang dapat disempurnakan seiring berjalannya waktu dan munculnya informasi baru.
Kesimpulan: Fondasi Baru untuk Keselamatan
Industri konstruksi adalah pilar ekonomi yang vital, namun juga salah satu tempat kerja paling berbahaya di dunia. Selama ini, kurangnya pedoman yang jelas tentang kualifikasi personel keselamatan telah menciptakan celah berbahaya yang berkontribusi pada tingginya angka kecelakaan. Penelitian yang inovatif ini berhasil mengisi kekosongan tersebut dengan menggunakan metode Delphi yang melibatkan panelis ahli yang sangat berkualitas.
Dengan menemukan kualifikasi yang diinginkan untuk tiga posisi keselamatan—dari tingkat awal hingga manajer—studi ini memberikan sebuah fondasi baru yang solid bagi industri. Yang paling penting, studi ini menunjukkan bahwa kualifikasi yang efektif haruslah merupakan perpaduan antara pendidikan formal, pengalaman praktis yang substansial, dan sertifikasi yang relevan. Kesediaan peneliti untuk mengubah istilah "diperlukan" menjadi "diinginkan" juga menunjukkan sebuah pemahaman yang mendalam bahwa pengalaman di lapangan adalah aset yang tak ternilai, sebuah kebijaksanaan yang tidak dapat diukur hanya dengan gelar atau sertifikat.
Jika panduan ini diimplementasikan, industri konstruksi memiliki kesempatan nyata untuk menjadi lebih aman, lebih efisien, dan pada akhirnya, lebih manusiawi. Ini adalah langkah besar menuju masa depan di mana setiap pekerja konstruksi dapat kembali ke rumah dengan selamat pada akhir hari.
Sumber Artikel:
Karakhan, A. A., & Al-Bayati, A. J. (2023). Identification of desired qualifications for construction safety personnel in the United States. Buildings, 13(5), 1237.