Keinsinyuran
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025
Latar Belakang: Mengapa Kompetensi Insinyur Sipil Perlu Dikaji?
Industri konstruksi memegang peran vital dalam pembangunan infrastruktur, namun keberhasilan proyek tidak hanya ditentukan oleh material dan teknologi, melainkan oleh sumber daya manusianya. Dalam konteks ini, insinyur sipil sebagai aktor utama dituntut memiliki tiga pilar kompetensi: pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan sikap (attitude).
Penelitian oleh H. Setiawan dan F. Raharjo dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini mencoba mengukur ketiga aspek tersebut dalam konteks Indonesia, dengan referensi profil insinyur sipil tahun 2025 yang ditetapkan oleh American Society of Civil Engineers (ASCE). Studi ini penting karena bisa menjadi dasar perbaikan kurikulum teknik sipil dan pengembangan SDM di sektor konstruksi nasional.
Metodologi Penelitian: Survei Kompetensi Berdasarkan 21 Atribut ASCE
Penelitian ini melibatkan 100 praktisi teknik sipil dari berbagai latar belakang (kontraktor, konsultan, ASN, dan wirausahawan di bidang konstruksi). Mereka diminta menilai 21 atribut kompetensi berdasarkan dua hal:
Analisis dilakukan menggunakan:
Hasil Utama: Soft Skills Mendominasi, Pengetahuan Akademik Mulai Tergeser
1. Komunikasi: Kompetensi Nomor Satu
Dari seluruh atribut, kemampuan komunikasi menempati peringkat tertinggi baik dalam aspek kepentingan (mean: 3,50) maupun performa (mean: 3,78). Ini menunjukkan bahwa industri sangat menghargai kemampuan insinyur dalam menyampaikan ide dan berkolaborasi lintas disiplin.
2. Pengetahuan Justru di Posisi Terendah
Kategori knowledge memiliki rata-rata terendah dibanding skill dan attitude. Pengetahuan teknis dasar seperti matematika, fisika, desain struktur, bahkan sustainability hanya menempati posisi ke-16 dalam kepentingan dan ke-21 dalam performa.
3. Attitude dan Skill Dianggap Lebih Penting
Kategori sikap (attitudes) seperti kejujuran, integritas, rasa ingin tahu, dan komitmen terhadap etika mendapatkan skor tinggi baik dalam persepsi maupun praktik. Begitu juga dengan keterampilan seperti manajemen proyek, adaptasi teknologi baru, dan kerja sama tim.
Studi Kasus: Sustainability Masih Dianggap “Tambahan”
Salah satu temuan yang mencolok adalah rendahnya perhatian terhadap kompetensi keberlanjutan (sustainability). Atribut ini hanya menempati peringkat ke-16 dalam hal kepentingan dan ke-18 dalam hal performa. Padahal, isu keberlanjutan menjadi sangat penting dalam konstruksi global, mengingat kontribusi sektor ini terhadap emisi karbon dan limbah bangunan.
Hal ini menunjukkan bahwa banyak insinyur sipil di Indonesia belum menjadikan prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai kompetensi inti, dan ini bisa menjadi tantangan besar dalam era pembangunan hijau.
Analisis Korelasi dan Matriks IPA: Semua Kompetensi Dianggap Penting dan Terlaksana Baik
Spearman Rank Correlation menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,892, mengindikasikan hubungan yang sangat kuat dan positif antara kepentingan dan performa. Artinya, atribut yang dianggap penting juga cenderung dijalankan dengan baik oleh para insinyur.
Dalam analisis Importance–Performance Matrix (IPA), seluruh atribut berada di kuadran kedua (tinggi kepentingan, tinggi performa). Ini menunjukkan bahwa secara umum, para insinyur di Indonesia telah memenuhi ekspektasi dasar kompetensi yang dibutuhkan industri saat ini.
Implikasi Bagi Pendidikan Tinggi dan Dunia Industri
1. Kampus Teknik Harus Meninjau Ulang Kurikulum
Fakta bahwa kategori pengetahuan berada di posisi terbawah seharusnya menjadi bahan refleksi untuk program studi teknik sipil. Kampus tidak bisa hanya fokus pada mata kuliah teori, tetapi perlu mengintegrasikan:
2. Perusahaan Perlu Melanjutkan Pelatihan Soft Skills
Salah satu peluang besar bagi perusahaan adalah mengembangkan program pelatihan internal yang berfokus pada kepemimpinan, manajemen konflik, dan etika profesional, yang semuanya terbukti berperan besar dalam performa insinyur.
3. Pemerintah Perlu Memperkuat Regulasi Kompetensi Hijau
Mengingat pentingnya isu lingkungan, pemerintah perlu mendorong sertifikasi keberlanjutan sebagai syarat wajib dalam proyek infrastruktur, dan menyelaraskan pendidikan teknik dengan agenda pembangunan berkelanjutan.
Bandingkan dengan Studi Lain: Apakah Tren Global Sama?
Penelitian ini selaras dengan temuan Male et al. (2011) dan Ajayi (2021) yang menyatakan bahwa soft skills seperti komunikasi, kolaborasi, dan sikap kerja sangat berpengaruh terhadap kesuksesan profesional insinyur di berbagai negara. Namun, Indonesia tampak masih tertinggal dalam hal kesadaran akan sustainability jika dibandingkan dengan negara seperti Australia, Jepang, atau Inggris.
Kesimpulan: Kompetensi Insinyur Masa Depan Harus Lebih dari Sekadar Teknikal
Studi ini menyampaikan pesan kuat: menjadi insinyur sipil andal tidak cukup hanya bermodal ilmu teknik. Justru kompetensi non-teknis seperti komunikasi, integritas, manajemen, dan kolaborasi menjadi pembeda utama di lapangan.
Namun, ada satu catatan kritis yang tidak boleh diabaikan: rendahnya perhatian terhadap sustainability adalah alarm keras. Jika kita ingin berperan dalam pembangunan berkelanjutan global, maka pendidikan dan pelatihan teknik di Indonesia harus segera memasukkan prinsip hijau dan sosial sebagai bagian inti dari kompetensi profesional.
Sumber artikel asli:
Setiawan, H., & Raharjo, F. (2019). Knowledge, Skills and Attitudes of Civil Engineers in Indonesia. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 615, 012030. doi:10.1088/1757-899X/615/1/012030.
Keinsinyuran
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025
Mengapa Etika Teknik Sangat Krusial?
Dalam dunia teknik yang penuh tekanan waktu, anggaran ketat, dan ekspektasi tinggi, insinyur sering kali dihadapkan pada pilihan sulit. Tugas mereka bukan sekadar menyusun gambar atau merancang jembatan, tapi juga menjamin keselamatan publik, kejujuran profesional, dan integritas moral. Steve Starrett, seorang profesor teknik sipil di Kansas State University, melalui artikel ini mengajak kita melihat lebih dekat berbagai dilema etika yang nyata dan menghantui karier teknik hingga saat ini.
Studi Kasus: Tragedi Skywalk Hyatt Regency, Kansas City (1981)
Kronologi Singkat
Pada 17 Juli 1981, sebuah pesta dansa teh digelar di atrium Hotel Hyatt Regency di Kansas City. Ratusan tamu berdiri di skywalk (jembatan kaca gantung) untuk melihat acara dari atas. Tiba-tiba, skywalk tersebut runtuh. Akibatnya:
Apa yang Salah?
Pelajaran Utama:
Prinsip Etika ASCE dan Relevansinya
Menurut Kode Etik ASCE (2006), kanon fundamental pertama adalah:
“Insinyur harus mengutamakan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan publik serta berusaha mematuhi prinsip pembangunan berkelanjutan dalam tugas profesional mereka.”
Pedoman turunannya menyatakan bahwa insinyur hanya boleh menyetujui dokumen desain yang telah ditinjau secara menyeluruh dan dianggap aman. Dalam kasus Hyatt, standar ini dilanggar, menunjukkan bahwa kesalahan etis bisa berakibat sangat fatal, bukan hanya bagi korban tetapi juga karier profesional si insinyur.
6 Pelajaran Kunci dari Dr. Mark Abkowitz tentang Kecelakaan Teknik
Abkowitz, profesor di Vanderbilt University, meneliti penyebab umum kecelakaan besar. Ia menyimpulkan 12 pelajaran penting; berikut yang paling relevan secara etika:
Etika Sehari-hari: Praktik Kecil, Imbas Besar
Penulis membagikan pengalaman pribadi saat magang di lembaga negara. Seorang inspektur teknik secara rutin “meminta” peralatan dari kontraktor seperti gergaji listrik atau kabel ekstensi, seolah-olah itu barang bekas. Dalam kenyataannya, semua alat masih bagus, dan praktik ini menjadi semacam barter tak resmi demi “perlakuan baik” dari inspektur. Ini merupakan contoh nyata korupsi kecil (petty corruption), yang bertentangan dengan prinsip ASCE Canon 6:
“Insinyur harus menolak segala bentuk suap, penipuan, dan korupsi dalam aktivitas teknik atau konstruksi.”
Starrett mengaku saat itu belum punya keberanian melapor, karena masih magang. Namun ia menekankan bahwa lingkungan kantor mengetahui hal ini tapi membiarkannya—hal yang juga merupakan pelanggaran etika institusional.
Dilema Etika Nyata di Dunia Teknik
Starrett, sebagai profesor dan saksi ahli di pengadilan, telah mendengar ratusan kisah etika dari kolega insinyur. Berikut beberapa dilema yang sering muncul:
Semua contoh ini menunjukkan bahwa dilema etika bukan hal langka. Yang membedakan insinyur hebat dan gagal adalah bagaimana mereka merespons tekanan tersebut.
Refleksi Mahasiswa dan Implikasi Pendidikan
Dalam salah satu kelas etika tekniknya, seorang mahasiswa pascasarjana berkata,
“Saya tidak pernah membayangkan bahwa saya bisa menghadapi dilema etika dalam karier teknik saya. Kelas ini benar-benar membuka mata.”
Hal ini membuktikan bahwa pendidikan teknik di banyak kampus masih terlalu teknis dan minim pendidikan etika. Padahal, keputusan teknis selalu berdampingan dengan pertimbangan moral.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Untuk Insinyur Muda:
Untuk Kampus Teknik:
Untuk Industri:
Penutup: Teknik adalah Profesi, Bukan Sekadar Pekerjaan
Artikel ini menyampaikan pesan yang sangat kuat: insinyur tidak hanya memegang tanggung jawab teknis, tetapi juga moral. Seiring meningkatnya tekanan proyek dan ekspektasi bisnis, semakin banyak insinyur yang dihadapkan pada pilihan antara efisiensi dan integritas.
Etika bukan aksesoris dalam dunia teknik, tapi fondasi dari semua keputusan yang menyangkut nyawa dan keselamatan publik. Seorang insinyur sejati adalah mereka yang berani berkata “tidak” ketika sebuah keputusan membahayakan banyak orang, tak peduli seberapa kecil risikonya atau besar tekanan yang diterima.
Sumber artikel asli :
Starrett, S. (2013). Engineers Face Ethical Dilemmas. Leadership and Management in Engineering, 13(1), 49–50. American Society of Civil Engineers.
Tantangan Global
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025
Di tengah pesatnya pertumbuhan industri teknologi dan transformasi digital global, posisi Indonesia sebagai salah satu pemain dalam Global Software Development (GSD) semakin mendapat sorotan. Paper berjudul “Software Engineer Competencies in Global Software Development: An Indonesian Perspective” oleh Anita Hidayati, Eko K. Budiardjo, dan Betty Purwandari ini hadir sebagai jawaban atas kebutuhan akan pemetaan kompetensi software engineer Indonesia di ranah global. Penelitian ini tidak hanya menyajikan daftar kompetensi, tetapi juga menyusun pemeringkatan berdasarkan tingkat kepentingan menggunakan pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP). Hasilnya sangat relevan, baik untuk kebijakan pendidikan, pengembangan talenta digital, maupun strategi ekspor layanan IT Indonesia.
Latar Belakang: Peluang dan Tantangan Indonesia dalam GSD
Global Software Development telah menjadi norma baru dalam industri IT sejak awal 1990-an, memungkinkan kolaborasi lintas negara dalam pengembangan perangkat lunak. Negara-negara seperti India, China, dan Filipina telah lama menjadi pemain utama. Sementara itu, Indonesia, meski memiliki potensi besar, belum sepenuhnya diakui sebagai pemain utama GSD. Padahal, menurut Kearney Global Services Location Index 2019, Indonesia menempati peringkat ke-4 dari 50 negara tujuan outsourcing. Namun, rendahnya peringkat Indonesia dalam IMD World Digital Competitiveness Ranking 2020 mengindikasikan lemahnya kapabilitas SDM digital, khususnya dalam kompetensi software engineering.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Literatur dan AHP
Penulis menggunakan pendekatan literatur dan Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk mengidentifikasi dan mengurutkan kompetensi penting. Sebanyak 6.693 artikel disaring, dan melalui proses bertahap, hanya 27 yang relevan dijadikan referensi utama. Dari situ, dirumuskan 40 sub-kompetensi yang dikelompokkan ke dalam delapan kriteria utama—empat hard competencies dan empat soft competencies.
Kriteria tersebut antara lain:
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner kepada lima pakar GSD dan software engineering dari berbagai institusi di Indonesia. Skor kepentingan diberikan melalui metode perbandingan berpasangan, lalu diproses menggunakan rumus AHP.
Hasil: Ranking Kompetensi dan Clustering
Dari hasil analisis AHP, diperoleh bobot global dari masing-masing sub-kompetensi. Tiga sub-kompetensi tertinggi berada pada kategori Programming Techniques, yaitu:
Sementara sub-kompetensi dengan bobot terendah terdapat pada kategori Collaboration and Knowledge Management, yaitu:
Menariknya, dari 40 sub-kompetensi yang disusun secara global, tak ada dominasi mutlak antara hard dan soft competencies. Meski hard competencies menempati posisi teratas, soft competencies seperti kemampuan memahami budaya kerja lintas negara, membangun kepercayaan dalam tim, dan kemampuan komunikasi global juga berada dalam 10 besar.
Berikut adalah lima kluster kompetensi yang dihasilkan:
Kluster 1 (Kompetensi Paling Esensial)
Kluster 2 (Sangat Penting)
Kluster 3 (Penting)
Kluster 4 (Cukup Penting)
Kluster 5 (Penting tapi Tidak Mendesak)
Studi Kasus: Analisis Kekuatan dan Kelemahan Engineer Indonesia
Dari pengamatan pakar dan hasil pemeringkatan, diketahui bahwa software engineer Indonesia cukup kuat dalam soft competencies, terutama pada aspek kolaborasi dan pemahaman budaya. Hal ini tak mengherankan mengingat karakter sosial dan budaya kerja kolektif di Indonesia.
Namun, tantangan besar terletak pada aspek teknis, terutama:
Rendahnya skor pada aspek-aspek ini menunjukkan perlunya peningkatan kurikulum pendidikan tinggi, pelatihan industri, dan pengalaman proyek nyata agar engineer Indonesia mampu bersaing dengan engineer dari India, Filipina, dan Vietnam.
Implikasi Kebijakan dan Strategi
Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi berbagai pihak:
Perbandingan dengan Studi Lain
Jika dibandingkan dengan studi oleh Saldaña-Ramos et al. (2014) yang juga menyusun kompetensi untuk GSD, pendekatan paper ini lebih menyeluruh karena memadukan AHP dan kontekstualisasi lokal (Indonesia). Paper ini juga lebih aplikatif karena tidak hanya memberikan deskripsi, tapi juga prioritas pengembangan.
Kelebihan dan Kelemahan Penelitian
Kelebihan:
Kekurangan:
Penutup dan Rekomendasi
Artikel ini berhasil menjawab kebutuhan mendesak dalam pemetaan kompetensi software engineer Indonesia di kancah global. Dengan metodologi yang solid dan hasil yang aplikatif, studi ini menjadi referensi penting bagi strategi pengembangan SDM digital nasional.
Namun, untuk meningkatkan daya saing, langkah lanjutan seperti pelibatan responden lintas negara, penerapan hasil dalam bentuk pelatihan dan program pendidikan, serta pengukuran dampak setelah implementasi sangat disarankan.
Pengembangan ke depan dapat diarahkan pada pemetaan kompetensi dalam tim Agile (Scrum), yang kini menjadi standar dalam proyek GSD. Jika Indonesia ingin menegaskan diri sebagai “the next India” dalam outsourcing IT, maka investasi pada pengembangan hard competencies mutlak diperlukan.
Sumber asli artikel: Anita Hidayati, Eko K. Budiardjo, dan Betty Purwandari. "Software Engineer Competencies in Global Software Development: An Indonesian Perspective." Tehnički vjesnik 29, 2(2022), 683–691.
Sustainable Practices
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025
Dalam beberapa dekade terakhir, sektor konstruksi menghadapi tekanan besar untuk bertransformasi menjadi industri yang tidak hanya efisien secara ekonomi tetapi juga berkontribusi terhadap keberlanjutan sosial dan lingkungan. Paper berjudul “Toward a Holistic View on Lean Sustainable Construction: A Literature Review” karya Sam Solaimani dan Mohamad Sedighi menjadi upaya penting dalam menjembatani kesenjangan pemahaman tentang bagaimana prinsip-prinsip Lean dapat berkontribusi secara nyata terhadap triple bottom line: people (sosial), planet (lingkungan), dan profit (ekonomi). Resensi ini mengulas paper tersebut secara komprehensif, dengan menganalisis data, menyajikan studi kasus, serta mengaitkannya dengan praktik industri dan arah masa depan konstruksi berkelanjutan.
Membedah Integrasi Lean dan Keberlanjutan: Mengapa Perlu?
Lean Construction, yang berakar dari sistem produksi Toyota, pada awalnya berfokus pada efisiensi dan pengurangan limbah (waste) dalam proses. Namun, dalam perkembangan terbaru, pendekatan ini mulai diperluas ke ranah keberlanjutan. Solaimani dan Sedighi menggunakan metode Systematic Literature Review (SLR) terhadap 118 artikel dari tahun 1998–2017 untuk menjawab satu pertanyaan mendasar: Bagaimana Lean Construction berkontribusi terhadap keberlanjutan secara menyeluruh?
Hasil studi ini menunjukkan bahwa sebagian besar literatur masih condong ke aspek ekonomi, sementara aspek sosial dan lingkungan kurang mendapatkan porsi perhatian yang seimbang. Paper ini kemudian menyusun framework holistik berdasarkan tiga dimensi utama: aktor (supplier, developer, customer), fase konstruksi (dari ekstraksi hingga okupansi), dan dimensi keberlanjutan (ekonomi, lingkungan, sosial).
Dimensi Ekonomi: Efisiensi dan Efektivitas Proses
Studi Kasus: JIT dan VSM untuk Efisiensi Material
Dalam fase extraction and processing, penggunaan strategi Just-In-Time (JIT) terbukti mampu mengurangi biaya inventaris dan limbah material. Sebagai contoh, penerapan VSM (Value Stream Mapping) oleh Mullens (2008) dalam pabrik prefab menunjukkan peningkatan signifikan dalam alur kerja dan efisiensi waktu.
Solaimani dan Sedighi juga menyoroti bagaimana pemanfaatan pull-based production dan kemitraan jangka panjang dengan supplier dapat mengurangi variasi pasokan dan meningkatkan keandalan distribusi. Hal ini diperkuat oleh pendekatan Kaizen (perbaikan berkelanjutan) serta 5S dalam pengaturan ruang kerja.
Visualisasi dan BIM dalam Perencanaan
Di tahap design and planning, penggunaan BIM (Building Information Modeling) dan perangkat lunak simulasi seperti CAD dan TEKLA membantu mengantisipasi bottleneck, meningkatkan kolaborasi, dan mendukung pengambilan keputusan berbasis data. Studi oleh Sacks et al. menunjukkan bahwa BIM mampu mengurangi kesalahan desain dan mempercepat proses perencanaan hingga 30%.
Dimensi Lingkungan: Efisiensi Energi dan Minimasi Limbah
Lean Construction tidak hanya tentang biaya, tetapi juga tentang bagaimana mengurangi dampak lingkungan. Paper ini menunjukkan bahwa dalam fase logistik dan distribusi, kelebihan pengiriman material merupakan salah satu sumber utama emisi karbon. Upaya mengoptimalkan estimasi material dan pemesanan yang tepat waktu menjadi kunci.
Studi Kasus: Proyek Net-Zero Energy
Dalam proyek skala besar yang menerapkan prinsip net-zero energy, monitoring konsumsi energi dan penggunaan bahan lokal mampu menurunkan jejak karbon secara signifikan. Koranda et al. (2012) mencatat bahwa pengurangan emisi CO2 hingga 20% dicapai hanya dengan mengurangi jarak distribusi material.
Namun, paper ini juga mencatat adanya ketimpangan antara proyek besar dan kecil. Proyek besar cenderung lebih siap secara struktur dan pendanaan untuk menerapkan prinsip Lean dan ramah lingkungan, sedangkan proyek kecil sering kali kesulitan.
Dimensi Sosial: Kesejahteraan, Keselamatan, dan Keadilan
Aspek sosial menjadi bagian yang paling menantang karena sulit diukur secara kuantitatif. Namun, penting untuk tidak diabaikan.
Autonomation untuk Keselamatan Pekerja
Konsep autonomation, yaitu pemberian kewenangan kepada pekerja untuk menghentikan proses produksi jika terdeteksi potensi bahaya, menjadi salah satu pilar Lean yang berkontribusi pada keselamatan kerja. Ikuma et al. (2011) menekankan bahwa sistem ini menurunkan risiko cedera kerja secara signifikan dalam proyek high-rise dengan tingkat repetisi tinggi.
Modulasi dan Ergonomi
Penerapan modularisasi mengurangi pekerjaan manual dan meningkatkan ergonomi di lokasi kerja. Ini bukan hanya efisien secara operasional, tetapi juga mengurangi kelelahan dan cedera. Visualisasi juga membantu meningkatkan koordinasi dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat.
Cakupan Global dan Pola Penelitian
Sebagian besar studi Lean-Sustainable Construction berasal dari AS, Inggris, dan India, dengan pendekatan yang sangat didominasi oleh studi kasus (40 studi tunggal dan 18 multi-kasus). Ini mencerminkan betapa kontekstualnya implementasi Lean dan pentingnya mempertimbangkan kondisi lokal dalam adopsinya.
Namun, masih sedikit studi yang menggunakan pendekatan kuantitatif atau eksploratif jangka panjang seperti longitudinal atau action research. Padahal, hal ini penting untuk menguji efektivitas jangka panjang dari integrasi Lean dan keberlanjutan.
Trade-off dan Tantangan Integrasi
Paper ini tidak mengabaikan adanya potensi konflik antara tiga pilar keberlanjutan. Misalnya:
Solaimani dan Sedighi menggunakan causal loop diagram untuk menunjukkan bahwa intervensi Lean yang positif di satu area dapat menghasilkan penguatan atau bahkan ketegangan di area lain. Inilah pentingnya pendekatan holistik.
Kritik dan Implikasi Praktis
Salah satu nilai tambah utama paper ini adalah struktur framework “GLean Construction” – gabungan Green dan Lean – yang menjadi referensi praktis dan teoritis. Namun, penulis juga mengakui keterbatasan seperti kurangnya perhatian pada aspek teknologi terkini (Industry 4.0), inovasi lokal, dan pengelolaan SDM berbasis Lean.
Praktisi di lapangan bisa menggunakan insight dari paper ini untuk:
Sementara itu, akademisi bisa mendorong penelitian baru di bidang Lean HRM, penggunaan AI/IoT dalam optimasi keberlanjutan, serta studi lintas negara tentang penerapan Lean-Sustainable Construction.
Penutup: Menuju Konstruksi yang Benar-benar Holistik
Paper ini adalah panggilan untuk melampaui sekadar efisiensi biaya dan berpikir dalam kerangka besar. Keberlanjutan bukan sekadar slogan, tetapi proses kolaboratif antar aktor konstruksi yang harus mempertimbangkan manusia, lingkungan, dan ekonomi secara seimbang.
Dalam era perubahan iklim dan tekanan urbanisasi yang masif, hanya pendekatan holistik seperti yang ditawarkan oleh Solaimani dan Sedighi yang bisa menjadi panduan untuk masa depan konstruksi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Sumber artikel asli:
Solaimani, S., & Sedighi, M. (2020). Toward a Holistic View on Lean Sustainable Construction: A Literature Review. Journal of Cleaner Production, 248, 119213.
Sustainable Practices
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025
Industri konstruksi global sedang mengalami transformasi besar-besaran. Dua pendekatan manajemen yang sering diperbincangkan untuk meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan adalah Lean Construction (LC) dan Sustainable Construction (SC). Namun, dalam praktiknya, integrasi dua pendekatan ini belum optimal, terutama di negara berkembang seperti Malaysia. Dalam artikel “The Integration of Lean Construction and Sustainable Construction: A Stakeholder Perspective in Analyzing Sustainable Lean Construction Strategies in Malaysia,” Ahmad Huzaimi Abd Jamil dan Mohamad Syazli Fathi mencoba menjembatani kesenjangan ini dengan menyusun kerangka kerja konseptual yang mendalam, berbasis kajian pustaka dan pendekatan pemangku kepentingan (stakeholder).
Lean dan Sustainable Construction: Dua Pilar yang Seharusnya Saling Menguatkan
Secara prinsip, baik LC maupun SC sama-sama berupaya menghilangkan pemborosan (waste), hanya saja orientasinya berbeda. LC fokus pada efisiensi proses dan nilai pelanggan, sementara SC menekankan keseimbangan antara aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dalam artikel ini, penulis menunjukkan bahwa sinergi antara keduanya bisa menghasilkan manfaat ganda—meningkatkan profitabilitas sekaligus mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Namun, hasil literatur dari 118 studi menunjukkan bahwa integrasi LC dan SC belum banyak dipraktikkan secara holistik, bahkan cenderung berjalan sendiri-sendiri. Banyak proyek konstruksi yang gagal karena kurangnya perhatian pada aspek lingkungan dan ketidakterlibatan pemangku kepentingan secara penuh.
Metodologi dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini bersifat konseptual dengan metode integrative literature review dan kerangka pengodean (coding framework). Tujuannya adalah membangun pemahaman teoritis dan praktis dari integrasi LC dan SC menjadi Sustainable Lean Construction (SLC). Fokus utama ditujukan pada bagaimana keterlibatan pemangku kepentingan dapat meningkatkan keberhasilan implementasi SLC.
Penulis juga mengembangkan sebuah model integrasi berdasarkan kajian literatur terdahulu, khususnya dari Koranda et al. (2012), namun memperluasnya dengan pendekatan analisis pemangku kepentingan yang lebih komprehensif.
Pilar-Pilar Sustainable Construction (SC)
SC dalam konteks ini mencakup tujuh komponen utama:
Beberapa studi menyatakan bahwa keberhasilan implementasi SC sangat tergantung pada pengetahuan dan komitmen stakeholder. Studi dari Abdullah et al. (2009) menyebutkan bahwa kurangnya pemahaman SC menjadi salah satu hambatan utama. Lam et al. (2010) mengidentifikasi kendala lainnya seperti hambatan budaya, kurangnya teknologi hijau, serta rendahnya keterlibatan pemangku kepentingan.
Pilar-Pilar Lean Construction (LC)
LC memiliki akar dari industri manufaktur dan berfokus pada pengelolaan produksi berbasis nilai tambah. Prinsip utama LC meliputi:
Namun, dalam praktik di Malaysia, LC masih terhambat. Studi oleh Johansen dan Walter (2007) menunjukkan bahwa implementasi LC di industri konstruksi Malaysia tergolong lambat. Hambatan yang sering muncul antara lain rendahnya kesadaran lean, kurangnya dukungan manajemen puncak, serta lemahnya sistem kolaborasi antar-stakeholder.
Studi Kasus: Proyek Pentagon dan Toyota South Campus
Dua studi kasus penting yang dibahas dalam artikel ini adalah renovasi Pentagon dan pembangunan kampus Toyota South di Amerika Serikat. Keduanya berhasil menerapkan integrasi SC dan LC melalui:
Dalam proyek Pentagon, integrasi SC dan LC menghasilkan penghematan biaya dan waktu yang signifikan. Strategi pengadaan yang fleksibel menjadi kunci keberhasilan.
Model Integrasi LC dan SC (Koranda et al., 2012)
Penulis mengadopsi dan memodifikasi model Koranda untuk merancang pendekatan implementasi SLC di Malaysia. Model ini menekankan:
Dalam konteks Malaysia, pendekatan ini sangat penting karena 45,9% keterlambatan proyek konstruksi terjadi pada fase pelaksanaan (Abdul Rahman et al., 2006). Selain itu, masalah klasik seperti banjir kilat, erosi tanah, dan pencemaran suara adalah indikator lemahnya implementasi SC.
Peran Kritis Stakeholder dalam SLC
Salah satu sumbangan utama paper ini adalah memperluas pendekatan lean menjadi berbasis stakeholder. Menurut Aaltonen (2011), persepsi pemangku kepentingan tentang keberhasilan proyek dapat sangat berbeda. Oleh karena itu, keterlibatan aktif mereka dari tahap awal sangat penting. Hal ini diperkuat oleh studi Davis (2014) yang menyatakan bahwa pemahaman terhadap lingkungan stakeholder akan menentukan pendekatan strategi SC dan LC yang digunakan.
Studi ini menegaskan bahwa komunikasi lintas fungsi, seperti pada proyek Integrated Project Delivery (IPD), mampu mereduksi konflik desain dan meningkatkan efisiensi waktu.
Tantangan Utama dan Saran Ke Depan
Berikut adalah beberapa tantangan utama yang diidentifikasi:
Untuk menjawab tantangan tersebut, penulis menyarankan:
Model yang dikembangkan diharapkan menjadi panduan praktis bagi pemangku kepentingan untuk mengartikulasikan kebutuhan dan tujuan proyek secara lebih strategis.
Simpulan
Paper ini menjadi landasan penting bagi perumusan strategi Sustainable Lean Construction di negara berkembang seperti Malaysia. Dengan pendekatan berbasis stakeholder dan model integrasi yang jelas, artikel ini bukan hanya memperkaya literatur akademik, tetapi juga memberikan arahan praktis bagi pelaku industri konstruksi.
Keberhasilan integrasi LC dan SC sangat tergantung pada kolaborasi lintas fungsi, kepemimpinan yang visioner, dan kemampuan memahami dinamika lokal. Apabila diterapkan secara konsisten, strategi ini dapat menjadi alat transformatif bagi industri konstruksi yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan berorientasi sosial.
Sumber artikel asli:
Ahmad Huzaimi Abd Jamil dan Mohamad Syazli Fathi. “The Integration of Lean Construction and Sustainable Construction: A Stakeholder Perspective in Analyzing Sustainable Lean Construction Strategies in Malaysia.” Procedia Computer Science, 100 (2016) 634–643.
Sustainable Practices
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025
Dalam dunia konstruksi jalan yang sarat tekanan waktu dan logistik kompleks, ketepatan perencanaan dan kelancaran rantai pasok (supply chain) menjadi penentu utama keberhasilan proyek. Artikel berjudul “The Analysis of Supply Chain Performance Measurement at Construction Project” karya M. Agung Wibowo dan Moh Nur Sholeh membahas secara mendalam bagaimana model SCOR—yang biasa digunakan di industri manufaktur—bisa diadaptasi untuk mengukur kinerja rantai pasok proyek konstruksi, khususnya jalan raya.
Mengapa Rantai Pasok Penting dalam Proyek Jalan?
Konstruksi jalan bukan hanya soal cor beton dan aspal. Material seperti baja, beton, pasir, dan alat berat harus tersedia tepat waktu. Sedikit keterlambatan dalam pengiriman satu komponen saja dapat menyebabkan efek domino, merugikan biaya dan waktu. Di tengah kompleksitas ini, pendekatan SCOR (Supply Chain Operations Reference) menjadi relevan untuk menilai efisiensi dan ketepatan distribusi material serta koordinasi antar pihak.
Dalam konteks proyek infrastruktur Indonesia, model pengukuran seperti SCOR belum banyak digunakan. Padahal, dengan tingginya jumlah proyek jalan nasional dan daerah, kebutuhan akan sistem manajemen pasok yang cerdas dan adaptif sangatlah penting.
Studi Kasus: Proyek Pelebaran Jalan Siliwangi di Semarang
Penelitian ini dilakukan di proyek pelebaran Jalan Siliwangi yang dikerjakan oleh PT Adhi Karya, dengan melibatkan pemasok baja dari Sidoarjo, berjarak sekitar 350 kilometer dari lokasi proyek. Tantangan utama dalam proyek ini adalah keterlambatan pengiriman baja dan gangguan pasokan beton akibat erupsi Gunung Merapi yang memperparah distribusi material bangunan.
Ketika proyek mencapai tahap konstruksi 60 persen, material baja yang sangat dibutuhkan justru mengalami penundaan signifikan. Imbasnya, seluruh jadwal kerja terpaksa direvisi. Inilah yang memicu perlunya pengukuran performa rantai pasok secara sistematis.
Pendekatan dan Metodologi yang Digunakan
Model SCOR yang diadopsi dalam studi ini mencakup lima indikator utama:
Setiap indikator dievaluasi menggunakan gabungan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan bobot pentingnya, dan OMAX untuk mengukur performa aktual. Hasil akhirnya divisualisasikan dengan sistem warna “traffic light”—merah untuk buruk, kuning untuk sedang, dan hijau untuk baik.
Hasil Penelitian: Kinerja Masih Dalam Kategori “Cukup”
Dari pengukuran yang dilakukan, skor keseluruhan performa rantai pasok dalam proyek ini mencapai angka 6,4 dari skala 10. Ini menempatkan proyek dalam kategori sedang—artinya sudah ada koordinasi yang baik, namun masih banyak ruang untuk perbaikan, khususnya dalam aspek waktu pengiriman dan fleksibilitas.
Sebagai contoh, tingkat keterpenuhan pesanan berada pada angka 94,5 persen, menunjukkan bahwa pesanan yang diterima sesuai dengan spesifikasi proyek. Namun, waktu pemenuhan rata-rata mencapai 12 hari—melewati target ideal yang hanya 7 hari. Hal ini memperlihatkan adanya kendala dalam distribusi logistik atau koordinasi dengan pemasok.
Sementara itu, fleksibilitas produksi juga masih rendah. Artinya, jika terjadi perubahan dalam kebutuhan desain atau permintaan tambahan material di lapangan, sistem rantai pasok tidak cukup tangkas untuk merespons dengan cepat.
Strategi dan Taktik Mitigasi Keterlambatan
Peneliti menemukan bahwa salah satu strategi efektif untuk mengatasi keterlambatan adalah dengan meminjam stok material dari proyek lain milik perusahaan yang sama. Pendekatan ini menjadi solusi darurat yang cukup berhasil menstabilkan progres proyek. Namun, praktik ini hanya mungkin dilakukan jika perusahaan memiliki portofolio proyek yang berdekatan secara geografis.
Selain itu, PT Adhi Karya juga mulai mempertimbangkan penggunaan sistem digital pemantau logistik agar pengiriman bisa dipantau secara real time. Dengan data yang lebih presisi, potensi gangguan pasokan bisa diidentifikasi lebih awal, sehingga kontraktor dapat membuat rencana cadangan yang lebih akurat.
Refleksi atas Penggunaan Model SCOR
Menggunakan SCOR dalam proyek konstruksi adalah pendekatan inovatif, mengingat model ini lebih sering diterapkan di sektor manufaktur. Kelebihannya adalah, SCOR menawarkan struktur dan indikator yang sangat sistematis, sehingga memudahkan manajer proyek dalam membaca performa logistik secara menyeluruh.
Namun, kelemahannya adalah belum sepenuhnya cocok dengan karakteristik proyek konstruksi yang sangat dinamis dan bergantung pada kondisi cuaca, medan, dan regulasi lokal. Oleh karena itu, penerapan SCOR dalam konstruksi sebaiknya disesuaikan dengan realitas lapangan, atau dikombinasikan dengan pendekatan lean construction atau BIM.
Implikasi bagi Dunia Industri dan Akademik
Bagi industri konstruksi, studi ini membuka jalan bagi adopsi model pengukuran rantai pasok berbasis data yang konkret. Jika SCOR bisa diimplementasikan secara konsisten di berbagai proyek, maka manajemen logistik yang selama ini jadi titik lemah dapat ditingkatkan drastis.
Sementara itu, bagi kalangan akademisi dan institusi pendidikan teknik sipil, model SCOR bisa dimasukkan ke dalam kurikulum manajemen proyek. Mahasiswa teknik tidak cukup hanya menguasai desain struktur, tapi juga harus memahami bagaimana material sampai ke lokasi proyek tepat waktu dan sesuai anggaran.
Opini Penulis dan Rekomendasi
Penulis artikel merekomendasikan agar pengukuran rantai pasok seperti ini dilakukan secara berkala, tidak hanya di akhir proyek. Dengan begitu, manajer proyek dapat membuat keputusan berbasis data sejak awal. Mereka juga menyarankan agar perusahaan konstruksi mengembangkan unit khusus logistik internal yang bertugas mengelola alur pasok secara lebih proaktif.
Sebagai pengembangan lanjutan, perlu dilakukan studi lintas proyek—misalnya membandingkan proyek jalan, jembatan, dan perumahan—untuk mengetahui perbedaan performa rantai pasok antar tipe konstruksi.
Penutup
Resensi ini menunjukkan bahwa pengukuran rantai pasok dalam konstruksi bukanlah sekadar aktivitas tambahan, melainkan bagian inti dari strategi sukses proyek. Dengan menggunakan model SCOR, pelaku konstruksi bisa mengidentifikasi titik lemah logistik, mengambil tindakan korektif lebih dini, dan menjaga proyek tetap berjalan di jalurnya.
Jika ingin menciptakan proyek jalan yang efisien, bebas dari keterlambatan dan pemborosan, maka rantai pasok bukan lagi urusan belakang layar—tetapi harus menjadi bagian dari manajemen utama yang dirancang sejak hari pertama.
Sumber artikel asli:
M. Agung Wibowo dan Moh Nur Sholeh. The Analysis of Supply Chain Performance Measurement at Construction Project. Procedia Engineering 125 (2015): 25–31.