Industri Bangunan

Menggali Potensi Artificial Intelligence di Industri Bangunan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Dalam dekade terakhir, teknologi kecerdasan buatan (AI) telah menyusup ke berbagai sektor industri, dan kini mulai menunjukkan potensinya dalam sektor konstruksi—sektor yang selama ini dikenal lambat dalam adopsi teknologi. Paper dari Sofiat O. Abioye et al. menyajikan sebuah tinjauan menyeluruh tentang peran, tantangan, dan masa depan AI di dunia konstruksi. Artikel ini sangat relevan di tengah dorongan global menuju digitalisasi industri, dan menjadi bahan refleksi penting bagi para pemangku kepentingan di sektor ini.

Mengapa AI di Konstruksi Penting?

Industri konstruksi memiliki kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) banyak negara. Namun, sektor ini masih dihantui oleh berbagai tantangan seperti keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, kecelakaan kerja, dan produktivitas yang rendah. Di sinilah AI masuk sebagai katalis transformasi. AI menawarkan otomatisasi, efisiensi, serta kemampuan prediksi yang dapat mengurangi biaya proyek, mempercepat waktu penyelesaian, dan meningkatkan keselamatan kerja.

Lingkup Studi dan Metodologi

Penulis menggunakan pendekatan sistematik untuk meninjau 151 jurnal yang diterbitkan antara 2010 hingga 2020. Penelitian ini mencakup berbagai topik, seperti machine learning, computer vision, natural language processing, hingga robotik dalam konteks konstruksi. Dari studi tersebut, tren peningkatan jumlah publikasi sejak 2016 menjadi sinyal kuat bahwa riset mengenai AI di sektor konstruksi semakin berkembang.

Beberapa poin penting yang tercatat:

  • Sekitar 60% artikel yang dianalisis berasal dari jurnal teknik dan ilmu komputer.
  • Mayoritas fokus penelitian masih pada tahap desain dan perencanaan proyek (lebih dari 40%), diikuti oleh tahap pelaksanaan dan pengawasan proyek.

Studi Kasus: Penerapan AI dalam Proyek Dunia Nyata

Beberapa implementasi AI yang ditampilkan dalam studi ini memberikan gambaran konkret mengenai manfaat teknologi tersebut. Salah satunya adalah penggunaan drones dengan computer vision untuk pemantauan proyek secara real-time. Di Inggris, salah satu perusahaan konstruksi besar berhasil memangkas waktu inspeksi lokasi dari 3 hari menjadi 4 jam dengan bantuan drone dan AI.

Contoh lain adalah sistem prediksi risiko kecelakaan berbasis machine learning yang diterapkan oleh perusahaan asal AS. Dengan menggunakan data historis kecelakaan, sistem ini mampu memprediksi area berisiko tinggi dan mengurangi kecelakaan kerja hingga 25% dalam satu tahun.

Manfaat AI dalam Proyek Konstruksi

  1. Peningkatan Efisiensi Proyek
    AI mampu menganalisis big data untuk memberikan perkiraan waktu dan biaya yang lebih akurat. Algoritma AI digunakan untuk menjadwalkan tugas konstruksi dengan efisiensi tinggi.
  2. Pemantauan Proyek Secara Real-time
    Teknologi seperti computer vision dan IoT membantu manajer proyek memantau progres pekerjaan dari jarak jauh, menghemat waktu dan tenaga.
  3. Deteksi Dini Masalah Konstruksi
    AI dapat mengenali pola-pola kegagalan struktural dalam tahap awal desain, meminimalisir risiko kerugian besar.
  4. Optimalisasi Manajemen Material dan Tenaga Kerja
    Dengan AI, perusahaan dapat menganalisis konsumsi material dan efektivitas tenaga kerja, lalu melakukan penyesuaian yang lebih strategis.

Tantangan Implementasi AI

Meskipun manfaatnya besar, penggunaan AI dalam konstruksi masih menemui berbagai hambatan:

  • Kurangnya Data Berkualitas
    AI sangat bergantung pada data historis, sementara banyak perusahaan konstruksi belum memiliki sistem manajemen data yang mumpuni.
  • Kurangnya SDM Terlatih
    Adopsi AI menuntut kehadiran tenaga kerja yang memahami baik domain konstruksi maupun teknologi digital, yang masih langka.
  • Isu Etika dan Keamanan
    Penggunaan AI menimbulkan pertanyaan tentang privasi data pekerja, pengawasan berlebihan, dan potensi penggantian tenaga kerja manusia.
  • Biaya Awal yang Tinggi
    Implementasi sistem berbasis AI memerlukan investasi besar di awal, yang menjadi kendala bagi perusahaan kecil dan menengah.

Peluang dan Masa Depan AI dalam Konstruksi

Penulis menggarisbawahi bahwa masa depan AI dalam konstruksi sangat menjanjikan, terutama dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Dengan kemampuan AI untuk melakukan simulasi energi dan menganalisis emisi karbon, konstruksi hijau bisa menjadi lebih mudah diwujudkan.

Potensi lain adalah:

  • Kolaborasi manusia dan robot (cobots) dalam pekerjaan berat.
  • Desain bangunan adaptif yang mampu merespon kondisi lingkungan secara dinamis.
  • Manajemen risiko prediktif berbasis data real-time.

Dalam jangka panjang, penggunaan AI juga bisa berkontribusi pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dengan mengurangi pemborosan material dan meningkatkan keselamatan kerja.

Kritik dan Saran

Meskipun paper ini sangat komprehensif, ada beberapa catatan kritis:

  • Studi lebih banyak membahas aspek teknis AI, tetapi minim mengulas strategi adopsi di negara berkembang seperti Indonesia, di mana hambatan infrastruktur dan literasi teknologi lebih kompleks.
  • Perlu pendekatan interdisipliner yang lebih eksplisit, melibatkan ilmu sosial untuk mengkaji dampak AI terhadap tenaga kerja lapangan.
  • Penulis juga bisa memperkaya analisis dengan studi longitudinal untuk melihat dampak jangka panjang dari penggunaan AI di berbagai jenis proyek konstruksi.

Relevansi dengan Industri Konstruksi Indonesia

Indonesia yang sedang giat membangun infrastruktur besar—seperti Ibu Kota Nusantara (IKN)—dapat mengambil banyak pelajaran dari studi ini. Salah satunya adalah pentingnya membangun ekosistem data konstruksi dari hulu ke hilir agar AI bisa diadopsi secara efektif.

Beberapa strategi yang dapat diadaptasi di Indonesia:

  • Mendorong kolaborasi antara startup teknologi lokal dengan BUMN konstruksi.
  • Menyelenggarakan pelatihan vokasi AI untuk tenaga kerja teknik.
  • Menyusun kebijakan nasional terkait etika dan keamanan penggunaan AI di proyek infrastruktur.

Penutup

Artikel yang ditulis oleh Abioye et al. menjadi salah satu referensi penting dalam memahami pergeseran paradigma industri konstruksi menuju era digital. Dengan mengangkat berbagai aplikasi AI yang nyata dan menelaah tantangan secara kritis, studi ini memberikan gambaran utuh bagi perusahaan konstruksi, akademisi, dan pembuat kebijakan yang ingin bertransformasi secara digital.

Namun demikian, transformasi ini memerlukan kerja sama berbagai pihak—dari pengembang teknologi, kontraktor, pemerintah hingga tenaga kerja lapangan. AI bukanlah solusi instan, melainkan alat yang memerlukan strategi implementasi cermat agar benar-benar memberikan dampak positif yang inklusif.

Sumber asli artikel:
Abioye, S. O., Oyedele, L. O., Akanbi, L., Delgado, J. M. D., Ajayi, A., Akinade, O. O., Bilal, M., & Owolabi, H. (2021). Artificial Intelligence in the Construction Industry: A Review of Present Status, Opportunities and Future Challenges. Journal of Building Engineering, 40, 102455.

 

Selengkapnya
Menggali Potensi Artificial Intelligence di Industri Bangunan

Sustainability

Integrasi Lean dan Green di Proyek Konstruksi Gaza: Jalan Menuju Efisiensi dan Keberlanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Dalam era di mana efisiensi dan keberlanjutan menjadi pusat perhatian global, sektor konstruksi tidak bisa tertinggal. Dua pendekatan terdepan, yaitu lean construction dan green building, mulai diadopsi luas sebagai solusi untuk mengurangi limbah, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi dampak negatif lingkungan. Tapi bagaimana integrasi dua konsep ini bisa membantu daerah konflik seperti Jalur Gaza, yang memiliki dinamika sosial dan ekonomi yang unik?

Penelitian oleh El-Sawalhi et al. (2018) menggali potensi besar dari pendekatan lean dan green di proyek konstruksi di Gaza. Studi ini tidak hanya mengevaluasi kesadaran dan pemahaman pelaku industri konstruksi, tapi juga memetakan manfaat nyata dari penerapan kedua prinsip ini di wilayah yang penuh tantangan tersebut.

H2: Apa Itu Lean dan Green dalam Konstruksi?

Lean Construction

Konsep lean construction berakar dari filosofi manufaktur Jepang (Toyota Production System), yang menekankan pengurangan limbah dan peningkatan alur kerja. Dalam dunia konstruksi, lean berarti meminimalkan kegiatan yang tidak menambah nilai (non-value-added activities), seperti waktu tunggu, gerakan yang tidak perlu, atau pekerjaan ulang.

Green Building

Sementara itu, green building lebih fokus pada keberlanjutan, seperti efisiensi energi, konservasi air, pemilihan material ramah lingkungan, dan pengurangan dampak lingkungan sepanjang siklus hidup bangunan.

Meski fokus keduanya berbeda, lean dan green memiliki tujuan yang selaras: efisiensi dan keberlanjutan.

H2: Studi Kasus Gaza: Realita di Lapangan

Profil Responden dan Proyek

Dalam studi ini, 119 responden dari tiga kelompok utama—kontraktor (43,7%), konsultan (28,6%), dan pemilik proyek (27,7%)—memberikan pandangan mereka melalui kuesioner. Lebih dari 65% dari mereka memiliki pengalaman di atas lima tahun dan sekitar 73% terlibat dalam proyek dengan nilai di atas satu juta dolar dalam lima tahun terakhir. Ini menunjukkan bahwa mayoritas partisipan cukup berpengalaman dan menangani proyek-proyek skala menengah hingga besar.

H2: Tingkat Kesadaran terhadap Lean dan Green di Gaza

Lean Construction: Masih Belum Dipahami Secara Luas

Mayoritas responden sepakat bahwa ada kesenjangan besar dalam pengetahuan dan penerapan lean construction. Pernyataan seperti “Saya memiliki pengetahuan sebelumnya tentang lean construction” mendapatkan Relative Importance Index (RII) terendah di antara semua indikator—hanya 65,21 secara keseluruhan. Sebaliknya, manfaat potensial dari lean, seperti efisiensi biaya proyek, diakui tinggi oleh para kontraktor (RII = 72,31).

Green Building: Lebih Dikenal Tapi Belum Diutamakan

Kesadaran terhadap green building sedikit lebih tinggi, terutama dari sisi manfaat jangka panjang seperti “mengurangi biaya siklus hidup bangunan” yang mendapatkan RII tertinggi (75,29). Namun, pernyataan terkait komitmen institusi dalam mengurangi dampak lingkungan mendapatkan RII terendah (65,88), menunjukkan bahwa meski green lebih dikenal, penerapannya belum menjadi prioritas institusional.

H2: Manfaat Penerapan Lean di Gaza

1. Mengurangi Pekerjaan Tak Bernilai Tambah

Poin “mengurangi pekerjaan yang tidak menambah nilai” mendapat skor tertinggi (RII = 80,34). Ini menunjukkan bahwa semua pihak—pemilik, konsultan, dan kontraktor—menyadari urgensi eliminasi pemborosan dalam proses konstruksi.

2. Meningkatkan Koordinasi Antar Tim

Kerja sama antar spesialisasi mendapat pengakuan penting oleh pemilik proyek (RII = 82,42). Ini relevan mengingat banyaknya konflik dan miskomunikasi di proyek konstruksi Gaza.

H2: Manfaat Penerapan Green di Gaza

1. Penghematan Air: Prioritas Utama

Air adalah isu krusial di Gaza. Tidak mengherankan jika “penggunaan air yang rasional” menjadi manfaat paling utama menurut semua kelompok (RII = 83,53).

2. Efisiensi Energi

“Pengurangan konsumsi energi” juga sangat dihargai (RII = 82,52), menunjukkan kesadaran akan biaya energi yang tinggi dan pentingnya efisiensi dalam bangunan.

Namun, ironisnya, manfaat seperti “menjaga status lingkungan Gaza” berada di peringkat terbawah menurut kontraktor (RII = 77,62), menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi jangka pendek masih lebih diutamakan.

H2: Integrasi Lean dan Green: Kombinasi Efektif

1. Penghematan Biaya Proyek

Integrasi lean dan green diyakini akan menghasilkan penghematan biaya signifikan (RII = 85,38). Hal ini menjadi argumen kuat untuk mendorong adopsi kedua pendekatan ini secara bersamaan.

2. Eliminasi Limbah

Kedua metode sama-sama berfokus pada pengurangan limbah. Pernyataan “keduanya mengarah pada eliminasi limbah” mendapat RII kedua tertinggi (80,67), menunjukkan sinergi antara efisiensi operasional (lean) dan keberlanjutan lingkungan (green).

H2: Tantangan dan Rekomendasi

Kendala Utama

  • Kurangnya pelatihan dan edukasi formal terkait lean dan green.
  • Minimnya kebijakan pemerintah atau lembaga donor yang mewajibkan penerapan prinsip-prinsip ini.
  • Fokus berlebihan pada penghematan biaya jangka pendek oleh kontraktor.

Rekomendasi Strategis

  • Pelatihan dan Sertifikasi: Lembaga teknik di Gaza dapat menyediakan pelatihan khusus mengenai lean dan green construction.
  • Insentif Finansial: Pemerintah atau donor internasional perlu memberikan insentif bagi proyek yang mengadopsi lean-green.
  • Integrasi dalam Kurikulum: Universitas dan politeknik teknik sipil sebaiknya mengintegrasikan materi ini dalam mata kuliah wajib.

H2: Penutup – Jalan Menuju Masa Depan yang Lebih Efisien dan Berkelanjutan

Studi El-Sawalhi dkk. menunjukkan bahwa Gaza memiliki potensi besar untuk mengadopsi pendekatan lean dan green secara luas. Meski kesadaran masih dalam taraf sedang, manfaat yang dirasakan oleh para pelaku konstruksi cukup signifikan. Dengan tantangan infrastruktur dan sumber daya yang kompleks, pendekatan ini bukan hanya pilihan bijak, tapi bisa menjadi kebutuhan dasar.

Mengintegrasikan efisiensi (lean) dan keberlanjutan (green) bukan hanya strategi proyek jangka pendek, tetapi investasi jangka panjang untuk masa depan konstruksi yang lebih cerdas, hemat, dan ramah lingkungan—tidak hanya di Gaza, tapi di seluruh dunia.

Sumber Asli:

El-Sawalhi, N. I., Jaber, B. M., & Al Shukri, A. (2018). Towards Lean and Green Thinking in Construction Projects at Gaza Strip. Organization, Technology and Management in Construction: An International Journal, 10, 1827–1838. DOI: 10.2478/otmcj-2018-0011

Jika Anda ingin saya bantu membuat versi HTML atau mengintegrasikan dengan sistem website/blog Anda, cukup beri tahu!

 

Selengkapnya
Integrasi Lean dan Green di Proyek Konstruksi Gaza: Jalan Menuju Efisiensi dan Keberlanjutan

Sustainability

Bangun Masa Depan Konstruksi: Integrasi Lean Construction, BIM, dan Sustainability

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Industri konstruksi saat ini menghadapi tekanan besar untuk berubah: menekan biaya, mempercepat waktu pelaksanaan, dan tentu saja, menjaga keberlanjutan. Solusinya? Menggabungkan tiga pendekatan utama—Lean Construction (LC), Building Information Modeling (BIM), dan prinsip keberlanjutan—dalam satu kerangka kerja terpadu.

Penelitian terkini oleh Moradi dan Sormunen (2024) memberikan peta jalan menuju integrasi ini, melalui studi sistematis terhadap lebih dari 200 publikasi internasional. Artikel ini akan membedah temuan utama mereka, menyajikannya dalam bahasa yang mudah dipahami, serta memberi pandangan kritis dan kontekstualisasi terhadap praktik nyata.

H2: Apa Itu LC, BIM, dan Sustainability dalam Dunia Konstruksi?

Lean Construction: Efisiensi di Setiap Langkah

LC berfokus pada pengurangan pemborosan (waste) dan peningkatan nilai bagi klien. Konsep ini lahir dari prinsip manufaktur lean Toyota, dan kini diadopsi luas dalam manajemen proyek konstruksi melalui pendekatan seperti Last Planner System dan Value Stream Mapping.

BIM: Desain Virtual untuk Kinerja Nyata

BIM bukan hanya model 3D bangunan, tetapi sebuah ekosistem digital yang memungkinkan kolaborasi antar pemangku kepentingan secara real-time. Ia memperkuat kepercayaan terhadap informasi proyek dan mendukung perencanaan visual berbasis data.

Sustainability: Membangun Tanpa Mengorbankan Masa Depan

Prinsip ini menuntut konstruksi yang hemat sumber daya, ramah lingkungan, dan berorientasi jangka panjang—baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun ekologis.

H2: Studi Kasus Meta – Analisis 227 Penelitian

Penelitian ini menganalisis 227 publikasi relevan (124 artikel jurnal dan 103 prosiding konferensi) untuk menemukan:

  • 8 tantangan umum
  • 4 faktor pendukung utama (enablers)
  • 3 teknik dan alat umum
  • 5 manfaat utama

Yang menarik, sebagian besar temuan ini berakar pada faktor manusia—menunjukkan bahwa keberhasilan teknologi bergantung pada kesiapan SDM.

H2: Tantangan Utama dalam Integrasi LC, BIM, dan Sustainability

8 Rintangan Utama

  1. Biaya awal tinggi – investasi awal dalam perangkat lunak BIM dan pelatihan lean tidak kecil.
  2. Kurangnya profesional kompeten – gap kompetensi menjadi kendala signifikan.
  3. Model kontraktual konvensional – sistem seperti Design-Bid-Build tidak mendorong kolaborasi.
  4. Resistensi terhadap perubahan – terutama dari klien dan manajemen atas.
  5. Ketiadaan regulasi pendukung – belum banyak regulasi yang mewajibkan integrasi.
  6. Kurangnya dukungan kebijakan pemerintah
  7. Minimnya permintaan eksplisit dari pemilik proyek
  8. Kurangnya budaya kerja kolaboratif

Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa inovasi teknologi tidak akan berjalan tanpa reformasi budaya kerja dan model bisnis di industri konstruksi.

H2: Faktor Pendukung Sukses (Enablers)

Untuk menjawab tantangan di atas, Moradi dan Sormunen mengidentifikasi empat enabler kunci:

  • Model kolaboratif proyek (misalnya IPD atau lean delivery)
  • Dukungan kebijakan pemerintah
  • Komitmen pemilik proyek
  • Budaya kerja kolaboratif dan transparan

Studi ini menegaskan pentingnya model kontraktual yang memungkinkan komunikasi terbuka dan pembagian risiko yang adil.

H2: Teknik dan Tools Andalan: Dari “Last Planner” hingga “Target Value Design”

Tiga teknik unggulan untuk integrasi efektif adalah:

  1. Last Planner System: memungkinkan perencanaan realistis oleh pelaksana langsung di lapangan.
  2. Target Value Design (TVD): memastikan desain tetap dalam batas anggaran sejak awal.
  3. Value Stream Mapping (VSM): memetakan proses agar terlihat mana yang bernilai dan mana yang tidak.

Menariknya, ketiganya menekankan pentingnya komunikasi lintas fungsi sejak tahap awal proyek.

H2: Manfaat Nyata dari Integrasi LC-BIM-Sustainability

5 Keuntungan Utama yang Diidentifikasi

  1. Peningkatan efisiensi kerja
  2. Pengurangan dan eliminasi limbah
  3. Peningkatan kualitas hasil akhir proyek
  4. Kepuasan klien meningkat
  5. Pengurangan biaya konstruksi

Studi ini menegaskan bahwa jika ketiga pendekatan diterapkan secara sinergis, manfaatnya melebihi sekadar penjumlahan manfaat masing-masing metode secara individu.

H2: Perspektif Industri – Bagaimana Praktik Nyata Mengimplementasikannya?

Istanbul Grand Airport (IGA) – Studi Kasus Nyata

IGA menggunakan integrasi LC dan BIM pada mega-proyeknya, menghasilkan penghematan waktu hingga 15% dan biaya 10%. Penggunaan BIM untuk simulasi logistik dan LC untuk mengelola tahapan kerja secara harian membuktikan bahwa integrasi keduanya bukan teori belaka.

UK Offsite Housing Project

Proyek hunian di Inggris menggabungkan lean dan BIM dalam lingkungan modular. Hasilnya: pengurangan pekerjaan ulang (rework) hingga 30% dan peningkatan produktivitas sebesar 20%.

H2: Kritik dan Opini: Apakah Integrasi Ini Solusi Ajaib?

Meskipun integrasi LC-BIM-Sustainability tampak menjanjikan, ada beberapa catatan kritis:

  • Pendekatan ini cocok untuk proyek besar atau terstandarisasi, tapi bisa mahal dan rumit untuk proyek kecil.
  • Investasi pada SDM memerlukan waktu lama untuk membuahkan hasil.
  • BIM dan lean membutuhkan mindset shift yang tidak mudah dicapai tanpa perubahan organisasi.

Namun, mengingat tantangan industri saat ini—seperti krisis iklim, kekurangan tenaga kerja, dan permintaan efisiensi tinggi—pendekatan ini bisa menjadi standar masa depan jika disertai dukungan regulasi dan edukasi yang memadai.

H2: Rekomendasi Strategis untuk Pelaku Industri

  • Pemerintah: perlu menetapkan standar wajib BIM dan lean untuk proyek publik.
  • Pendidikan tinggi: kurikulum teknik sipil harus memasukkan pelatihan BIM dan lean.
  • Perusahaan konstruksi: harus mulai berinvestasi pada pelatihan SDM, bukan hanya software.
  • Pemilik proyek: jangan hanya fokus pada biaya awal, tetapi nilai jangka panjang proyek.

Penutup: Inovasi Konstruksi Harus Dimulai dari Manusia

Penelitian ini menyampaikan satu pesan kuat: inovasi teknologi dan proses hanya efektif jika manusianya siap. Tanpa perubahan budaya kerja, dukungan regulasi, dan investasi dalam kompetensi, bahkan teknologi tercanggih pun tidak akan membawa perubahan berarti.

Sumber Asli

Moradi, S., & Sormunen, P. (2024). Integrating Lean Construction with BIM and Sustainability: A Comparative Study of Challenges, Enablers, Techniques, and Benefits. Construction Innovation, 24(7), 188–203. DOI: 10.1108/CI-02-2023-0023

Selengkapnya
Bangun Masa Depan Konstruksi: Integrasi Lean Construction, BIM, dan Sustainability

Sustainability

Membangun Masa Depan Ramah Lingkungan: Laterit sebagai Solusi Bahan Bangunan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Mencari Bahan Bangunan yang Lebih Bijak dan Terjangkau

Di tengah perubahan iklim global, tingginya harga bahan bangunan, dan meningkatnya kebutuhan akan perumahan yang terjangkau, industri konstruksi ditantang untuk lebih bijak dalam memilih material. Pilihan ideal seharusnya tidak hanya kuat dan tahan lama, tetapi juga murah, mudah diakses, serta memiliki dampak lingkungan yang rendah.

Salah satu jawabannya mungkin selama ini terabaikan: laterit. Tanah merah yang banyak ditemukan di wilayah tropis ini ternyata punya potensi luar biasa sebagai bahan bangunan yang ramah lingkungan dan hemat biaya. Dalam penelitian berjudul “Sustainable Environment: Laterite as Sustainable Building Materials in Construction Industry” oleh Muntari Mudi Yar’Adua dan Abbas Usman Kakale, dijelaskan secara rinci bagaimana laterit bisa menjadi tulang punggung pembangunan berkelanjutan, khususnya di negara berkembang seperti Nigeria.

Mengenal Laterit dan Keunggulannya

Laterit adalah jenis tanah yang terbentuk dari pelapukan batuan di daerah tropis, kaya akan kandungan besi dan aluminium. Warna merah kecokelatannya khas, dan sifat fisiknya cukup kuat jika diproses dengan benar. Salah satu daya tarik utama laterit adalah keberadaannya yang melimpah di berbagai daerah, terutama di Afrika dan Asia. Artinya, laterit bisa diperoleh secara lokal tanpa perlu biaya transportasi yang besar.

Keunggulan utama laterit terletak pada sifat termalnya yang baik. Di siang hari, bangunan dari laterit tetap sejuk, dan saat malam hari atau musim dingin, ia membantu menjaga kehangatan ruangan. Ini menjadikannya sangat cocok untuk iklim tropis atau subtropis yang panas dan lembap. Selain itu, material ini tahan terhadap serangan serangga dan jamur, serta tahan api.

Studi Kasus: Penggunaan Laterit di Nigeria

Penelitian ini dilakukan di tiga negara bagian di Nigeria: Katsina, Kano, dan Kaduna. Wilayah ini dipilih karena memiliki aktivitas konstruksi yang aktif serta ketersediaan sumber laterit yang melimpah. Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner yang disebarkan kepada pelaku industri konstruksi, ditemukan bahwa sebagian besar responden menganggap penggunaan laterit sangat penting dari segi ekonomi.

Rata-rata tanggapan menunjukkan bahwa faktor ekonomi adalah alasan paling kuat dalam pemanfaatan laterit, dengan skor signifikan 4,25 dari skala Likert lima poin. Artinya, dari sudut pandang praktisi konstruksi lokal, laterit bukan hanya solusi alternatif, tapi justru bisa menjadi pilihan utama dalam menurunkan biaya pembangunan.

Energi dan Dampak Lingkungan

Salah satu argumen terkuat dalam mendukung penggunaan laterit adalah efisiensi energinya. Untuk memproduksi satu meter kubik batu bata laterit, hanya dibutuhkan sekitar lima kilowatt-jam energi. Bandingkan dengan bata bakar yang membutuhkan sekitar seribu kilowatt-jam, atau blok beton yang memerlukan antara empat ratus hingga lima ratus kilowatt-jam. Perbedaannya sangat mencolok.

Dalam konteks keberlanjutan, semakin sedikit energi yang digunakan dalam produksi material, semakin kecil pula jejak karbon yang dihasilkan. Ini membuat laterit menjadi pilihan logis dalam mendukung pembangunan yang ramah lingkungan.

Manfaat Sosial dan Budaya

Selain manfaat ekonomi dan lingkungan, laterit juga membawa dampak sosial yang positif. Karena mudah diproses dan tidak membutuhkan teknologi tinggi, laterit membuka peluang kerja bagi tenaga kerja lokal yang tidak memiliki keterampilan formal tinggi. Proyek pembangunan yang menggunakan laterit lebih mungkin melibatkan masyarakat setempat secara langsung, baik dalam penggalian, pencetakan, maupun pembangunan.

Ada pula nilai budaya yang melekat pada penggunaan laterit. Di banyak wilayah di Nigeria dan Afrika Barat, rumah-rumah tradisional dari laterit telah berdiri selama ratusan tahun. Salah satu contohnya adalah Minaret Gobarau di Katsina, sebuah bangunan berusia lebih dari seribu tahun yang dibangun seluruhnya menggunakan laterit dan masih berdiri kokoh hingga kini.

Tantangan yang Masih Harus Diatasi

Meskipun potensinya besar, masih ada beberapa hambatan dalam pemanfaatan laterit secara luas. Salah satu yang paling mencolok adalah ketiadaan standar nasional mengenai kualitas dan teknik penggunaan laterit dalam konstruksi modern. Akibatnya, banyak proyek besar—terutama yang didanai pemerintah atau sektor swasta—enggan menggunakan laterit karena dianggap tidak memenuhi standar teknis.

Selain itu, ada persepsi bahwa laterit adalah material kelas dua, cocok hanya untuk proyek kecil di pedesaan. Persepsi ini perlu diubah melalui edukasi dan kampanye yang menunjukkan bahwa laterit bisa setara atau bahkan lebih baik dari bahan konvensional dalam kondisi tertentu.

Karakteristik Bahan Bangunan Berkelanjutan

Sebuah material bisa dikategorikan sebagai bahan bangunan berkelanjutan jika memenuhi beberapa kriteria utama. Pertama, material tersebut sebaiknya tersedia secara lokal untuk mengurangi emisi dari transportasi. Kedua, proses produksinya harus rendah energi dan tidak menghasilkan limbah berbahaya. Ketiga, material tersebut sebaiknya bisa didaur ulang atau digunakan ulang, serta aman bagi kesehatan penghuni bangunan.

Laterit memenuhi semua kriteria tersebut. Ia tersedia di banyak wilayah, tidak beracun, dan bisa digunakan ulang dalam berbagai bentuk. Bahkan, dalam beberapa komunitas tradisional, laterit digunakan kembali dari bangunan lama yang dibongkar dan dibentuk menjadi blok atau bata baru.

Penggunaan Laterit di Negara Berkembang dan Maju

Meskipun lebih umum di negara berkembang, beberapa proyek di negara maju juga mulai memanfaatkan laterit karena nilai keberlanjutannya. Di wilayah tropis Prancis dan Amerika Selatan, laterit digunakan dalam pembangunan rumah rendah energi dan proyek infrastruktur pedesaan. Di Sri Lanka dan India, laterit banyak digunakan untuk perumahan skala kecil dan bangunan umum seperti sekolah atau puskesmas.

Ini menunjukkan bahwa laterit bukan hanya solusi darurat untuk daerah miskin, tetapi juga material masa depan yang relevan secara global.

Rekomendasi dari Hasil Penelitian

Para penulis artikel menyarankan beberapa langkah penting untuk mengoptimalkan pemanfaatan laterit. Pertama, dibutuhkan pengembangan standar nasional yang mengatur kekuatan, ketahanan, dan aplikasi laterit secara teknis. Kedua, perlu ada pelatihan bagi tukang dan kontraktor lokal agar bisa mengolah laterit secara efisien dan estetis. Ketiga, pemerintah dan organisasi profesi sebaiknya mendorong penggunaan laterit dalam proyek-proyek perumahan berkelanjutan sebagai bagian dari kebijakan pembangunan nasional.

Kesimpulan: Saatnya Beralih ke Bahan Lokal yang Lebih Bijak

Laterit adalah bukti nyata bahwa solusi untuk tantangan besar bisa datang dari hal yang sederhana dan lokal. Dengan harga yang murah, ketersediaan yang luas, dan dampak lingkungan yang rendah, laterit layak dipertimbangkan sebagai bahan utama dalam pembangunan masa depan, khususnya di daerah tropis dan berkembang.

Namun, untuk mewujudkannya, perlu ada kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan komunitas lokal. Jika semua pihak bekerja sama, tidak mustahil kita bisa melihat transformasi besar dalam industri konstruksi—dari yang bergantung pada bahan impor mahal, menjadi sistem yang mengandalkan bahan lokal berkelanjutan seperti laterit.

Sumber asli

Yar’Adua, M. M., & Kakale, A. U. (2016). Sustainable Environment: Laterite as Sustainable Building Materials in Construction Industry. International Journal of Advances in Mechanical and Civil Engineering, 3(2), 70–73.

Selengkapnya
Membangun Masa Depan Ramah Lingkungan: Laterit sebagai Solusi Bahan Bangunan Berkelanjutan

BUMN

Ketahanan Finansial BUMN Konstruksi Indonesia Saat Krisis: Pelajaran dari Pandemi Covid-19

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Pandemi Covid-19 telah mengguncang hampir seluruh sendi kehidupan, termasuk sektor konstruksi yang sangat bergantung pada investasi jangka panjang dan proyek-proyek pemerintah. Di Indonesia, dampak pandemi sangat terasa pada tahun 2020 ketika ekonomi resmi memasuki resesi setelah dua kuartal berturut-turut mencatatkan pertumbuhan negatif. Pada kuartal kedua 2020, PDB turun sebesar 5,32 persen dan di kuartal ketiga, penurunan masih terjadi sebesar 3,49 persen.

Sektor konstruksi mengalami kontraksi signifikan dengan penurunan pendapatan hingga 87,94 persen menurut data BPS. Hal ini terjadi karena anggaran pembangunan dialihkan untuk penanganan pandemi, menyebabkan banyak proyek ditunda atau dibatalkan. Empat BUMN yang tercatat di Bursa Efek Indonesia—PT Adhi Karya (ADHI), PT Pembangunan Perumahan (PTPP), PT Waskita Karya (WSKT), dan PT Wijaya Karya (WIKA)—menjadi representasi bagaimana sektor ini menghadapi badai ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Fokus Penelitian: Mengukur Ketahanan dan Potensi Kebangkrutan

Penelitian ini bertujuan menilai kinerja keuangan keempat BUMN konstruksi dan memprediksi potensi kebangkrutan menggunakan dua pendekatan utama:

  1. Analisis rasio keuangan berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002, yang meliputi rasio profitabilitas, likuiditas, aktivitas, dan solvabilitas.
  2. Metode Altman Z-Score, untuk memprediksi kondisi finansial perusahaan: aman, rawan, atau kritis (distress).

Penelitian mencakup data dari laporan keuangan tahunan 2019, 2020, dan 2021 untuk menangkap dampak sebelum dan selama krisis.

ADHI: Terpuruk, Tapi Mulai Bangkit

Kinerja keuangan PT Adhi Karya mencerminkan tekanan berat dari pandemi. Pada 2019, Return on Equity (ROE) perusahaan berada di angka sehat 9,73 persen. Namun, angka ini anjlok menjadi 0,43 persen pada 2020, sebelum sedikit membaik menjadi 1,53 persen di 2021.

Pendapatan ADHI turun 29 persen dari Rp 15,31 triliun pada 2019 menjadi Rp 10,83 triliun pada 2020, dan naik sedikit ke Rp 11,53 triliun pada 2021. Namun laba bersih mengalami penurunan ekstrem sebesar 96 persen pada 2020, dari Rp 665 miliar ke Rp 23,7 miliar.

Likuiditas pun tergerus. Rasio lancar turun dari 123 persen pada 2019 menjadi 101 persen pada 2021. Tingkat hutang semakin tinggi, ditunjukkan dengan menurunnya rasio ekuitas terhadap total aset dari 18,7 persen ke 14,1 persen. Altman Z-Score ADHI juga menunjukkan gejala mengkhawatirkan, merosot dari 1,82 (zona abu-abu) menjadi 0,56 (zona distress) pada 2021.

PTPP: Stabil Tapi Belum Pulih

Kinerja PT Pembangunan Perumahan menunjukkan pola fluktuasi yang khas. ROE PTPP menurun dari 6,97 persen pada 2019 menjadi 1,9 persen pada 2020, kemudian naik tipis ke 2,52 persen di 2021. Pendapatan perusahaan sempat jatuh 35,8 persen di tahun pertama pandemi, dari Rp 24,66 triliun menjadi Rp 15,83 triliun, dan naik sedikit di 2021.

Dari sisi perputaran aset dan inventori, efisiensi perusahaan menurun. Jumlah hari penyimpanan inventaris naik lebih dari dua kali lipat dalam dua tahun. Meskipun demikian, PTPP menunjukkan peningkatan dalam waktu penagihan piutang, menunjukkan bahwa pengelolaan arus kas sedikit membaik.

Rasio ekuitas terhadap total aset PTPP pun mengalami penurunan, dari 29,28 persen ke 25,79 persen. Dengan Altman Z-Score yang menurun dan tetap berada di zona risiko, perusahaan ini masih berada di bawah ancaman tekanan finansial.

WSKT: Jatuh ke Titik Terendah

PT Waskita Karya menjadi BUMN dengan dampak paling parah. ROE anjlok menjadi -57 persen pada 2020, menandakan kerugian besar. Bahkan hingga 2021, ROE masih negatif, meskipun membaik di angka -11,89 persen. Laba bersih negatif mencapai Rp 9,5 triliun pada 2020, sebelum “hanya” minus Rp 1,8 triliun di 2021.

Pendapatan menurun drastis dari Rp 31,39 triliun pada 2019 menjadi hanya Rp 12,22 triliun di 2021. Rasio kas dan aset lancar juga sempat jatuh, sebelum pulih drastis pada 2021, menandakan adanya intervensi keuangan atau efisiensi darurat.

Sayangnya, peningkatan likuiditas tidak diiringi dengan efisiensi. Jumlah hari penagihan piutang dan rotasi inventaris justru semakin memburuk. Z-Score WSKT sempat jatuh ke zona paling kritis namun menunjukkan perbaikan di tahun ketiga.

WIKA: Dari Paling Sehat Menjadi Kurang Sehat

PT Wijaya Karya menjadi BUMN dengan kondisi awal terbaik. Pada 2019, rasio keuangannya tergolong kuat dengan ROE 13,6 persen dan ROI hampir 9 persen. Namun pandemi menyebabkan penurunan tajam. ROE merosot ke 1,23 persen pada 2021, sementara laba bersih turun dari Rp 2,62 triliun menjadi hanya Rp 210 miliar.

Perusahaan tetap mampu menjaga rasio likuiditas di atas ambang aman, meski menurun dari 139 persen ke 100 persen. Rasio ekuitas terhadap aset WIKA menurun dari 30,9 persen ke 25,1 persen, menunjukkan kecenderungan pembiayaan utang yang meningkat.

Meskipun terjadi kemunduran, Z-Score WIKA tetap lebih baik dibandingkan BUMN lain, dan hanya sempat memasuki zona rawan tanpa terperosok ke zona distress.

Refleksi Umum: Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Dari keempat perusahaan, terlihat pola umum dampak pandemi terhadap BUMN konstruksi:

  • Semua perusahaan mengalami penurunan laba bersih, ROI, dan ROE secara drastis pada 2020.
  • Rasio likuiditas menurun karena peningkatan kewajiban jangka pendek tanpa diimbangi kenaikan kas atau aset lancar.
  • Semakin kecil proporsi ekuitas dalam struktur modal, semakin besar tekanan terhadap solvabilitas perusahaan.
  • Prediksi Altman Z-Score menunjukkan bahwa seluruh BUMN konstruksi berada di zona rawan atau distress pada 2020 dan sebagian besar belum keluar dari kondisi tersebut hingga 2021.

Hal ini menandakan bahwa pandemi bukan hanya menghantam pendapatan, tapi juga melemahkan struktur keuangan secara mendalam.

Opini Kritis dan Rekomendasi

Penelitian ini sangat komprehensif dalam mengevaluasi kesehatan keuangan BUMN konstruksi. Namun ada beberapa catatan penting:

  1. Penelitian ini bisa dilengkapi dengan wawancara mendalam terhadap manajemen untuk memahami strategi pemulihan.
  2. Akan lebih kuat jika ada pembandingan dengan perusahaan swasta di sektor serupa untuk melihat apakah tekanan yang dirasakan eksklusif pada BUMN.
  3. Disarankan agar BUMN memiliki dana cadangan atau protokol mitigasi risiko yang lebih terstruktur menghadapi krisis masa depan.

Untuk pemangku kebijakan, riset ini memberi sinyal jelas bahwa reformasi manajemen keuangan BUMN konstruksi perlu dilakukan segera. Transparansi, efisiensi, dan diversifikasi proyek menjadi kunci keberlangsungan keuangan mereka.

Kesimpulan: Mengukur Kesehatan Finansial untuk Membangun Masa Depan

Pandemi menjadi ujian ketahanan sistem keuangan korporasi, dan BUMN konstruksi Indonesia menghadapi tantangan besar. Dengan menelaah laporan keuangan secara mendalam dan memanfaatkan alat prediktif seperti Altman Z-Score, kita dapat melihat dengan lebih jernih risiko dan peluang dari sisi keuangan.

Langkah selanjutnya harus fokus pada penguatan struktur modal, efisiensi operasional, dan pengembangan strategi pendanaan yang berkelanjutan. Karena hanya dengan kesehatan finansial yang kuat, pembangunan nasional bisa terus berjalan tanpa terhenti oleh krisis berikutnya.

Sumber asli:

Rachmadiosi Muhammad & Raden Aswin Rahadi (2023). Financial Performance Analysis and Financial Distress Prediction of Indonesia State-Owned Enterprises in The Construction Industry Listed on IDX Before and During Economic Crisis in the Covid-19 Pandemic Era (Period 2019 - 2021). International Journal of Current Science Research and Review, Vol. 6(1), pp. 158–180. DOI: 10.47191/ijcsrr/V6-i1-18

 

Selengkapnya
Ketahanan Finansial BUMN Konstruksi Indonesia Saat Krisis: Pelajaran dari Pandemi Covid-19

Industri Kontruksi

Revolusi Konstruksi di UEA: Menerapkan Last Planner System untuk Proyek yang Lebih Tertata

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Di tengah kompleksitas proyek konstruksi di Timur Tengah, banyak kontraktor di Uni Emirat Arab masih bergantung pada sistem perencanaan tradisional seperti Critical Path Method (CPM). Meskipun metode ini telah lama digunakan, banyak bukti menunjukkan bahwa CPM sering kali tidak mampu mengelola ketidakpastian proyek, tidak mengakomodasi perubahan dinamis, dan gagal menciptakan aliran kerja yang lancar.

Dalam konteks ini, Last Planner System® (LPS) hadir sebagai pendekatan baru yang berbasis pada prinsip Lean Construction. LPS dirancang untuk mengatasi pemborosan, meningkatkan keandalan perencanaan, dan membangun kolaborasi nyata di antara semua pihak proyek.

Penelitian oleh Warid dan Hamani menjadi salah satu studi awal yang mengevaluasi penerapan LPS dalam lingkungan proyek konstruksi di UEA secara praktis dan kontekstual.

Apa Itu Last Planner System?

LPS merupakan sistem perencanaan berbasis kolaborasi dan komitmen, yang membagi proses menjadi beberapa tahapan:

  • Perencanaan awal: mengidentifikasi tujuan dan rencana global proyek
  • Perencanaan jangka pendek (look-ahead): merinci aktivitas realistis dalam jangka waktu 6–8 minggu
  • Perencanaan mingguan (Weekly Work Plan): aktivitas yang benar-benar akan dikerjakan dan dijanjikan pelaksanaannya
  • Analisis performa (PPC - Percent Plan Complete): mengukur akurasi pelaksanaan terhadap rencana

LPS tidak hanya mendorong perencanaan yang realistis tetapi juga membangun budaya tanggung jawab di antara para pelaku proyek.

Studi Kasus: Proyek Percontohan di Dubai

Peneliti menguji penerapan LPS pada proyek konstruksi 44 vila pracetak di Dubai, senilai 115 juta AED. Fokus utama studi adalah pada satu vila contoh (mock-up villa) yang semula dijadwalkan selesai dalam 44 hari. LPS diterapkan pada tahap pembangunan struktur atas dan aktivitas mingguan dipantau secara ketat.

Selama implementasi, beberapa komponen kunci seperti jadwal master, penjadwalan mundur (reverse phase scheduling), dan rencana kerja mingguan diterapkan dengan baik. Namun, indikator PPC dan analisis penyebab deviasi belum bisa dijalankan secara penuh karena keterbatasan waktu dan resistensi internal.

Beberapa hasil penting dari studi ini meliputi:

  • Koordinasi antar tim meningkat signifikan
  • Komunikasi antara kontraktor dan konsultan membaik
  • Motivasi pekerja meningkat karena perencanaan lebih terfokus

Namun juga ditemukan tantangan besar dalam keterlibatan tim lapangan dan resistensi manajemen terhadap pendekatan baru.

Hambatan Penerapan LPS di UEA

Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara dengan 20 profesional proyek, penelitian ini mengidentifikasi berbagai hambatan di tiga level:

Level Organisasi

  • Rendahnya kesadaran terhadap LPS
  • Ketergantungan pada sistem perencanaan lama
  • Minimnya pelatihan dan sosialisasi

Level Proyek

  • Kurangnya komitmen dari pihak manajemen dan pelaksana
  • Budaya kerja individualis
  • Kontrak proyek (misalnya FIDIC 1999) yang tidak mendorong kolaborasi

Level Operasional

  • Keterbatasan waktu untuk pertemuan mingguan
  • Informasi teknis yang tidak lengkap
  • Tantangan logistik seperti keterlambatan material (misalnya keramik untuk pelapis lantai)

Salah satu hambatan unik di UEA adalah dominasi gaya kerja otoriter dan rendahnya partisipasi tim proyek dalam proses perencanaan, terutama karena keterbatasan waktu atau hierarki organisasi.

Analisis Wawancara: Apa Kata Profesional Proyek?

Peneliti mewawancarai 18 profesional konstruksi dari berbagai latar belakang: kontraktor, konsultan, dan klien. Mayoritas memiliki pengalaman 10–25 tahun. Temuan menarik dari wawancara ini antara lain:

  • Sebanyak 11 dari 18 responden tidak mengetahui secara utuh konsep LPS, meskipun sebagian besar telah menggunakan praktik serupa seperti micro-planning dan perencanaan mingguan
  • Semua responden setuju bahwa pendekatan seperti LPS sangat potensial diterapkan di UEA, meski dengan kondisi tertentu
  • Hanya 3 dari 18 yang mendukung penuh kolaborasi dalam perencanaan, sementara 9 responden secara terbuka menyatakan lebih suka bekerja sendiri

Ini menunjukkan bahwa meski secara teknis LPS cocok diterapkan, aspek budaya organisasi dan perilaku kerja menjadi tantangan terbesar.

Manfaat Penerapan LPS Berdasarkan Studi Ini

Beberapa keuntungan nyata yang diamati selama studi kasus meliputi:

  • Penurunan ketidakpastian dalam pelaksanaan proyek
  • Identifikasi lebih awal terhadap hambatan kerja (misalnya material belum tersedia)
  • Meningkatkan keterlibatan tim pelaksana dalam proses perencanaan
  • Mendorong peningkatan akurasi penjadwalan aktivitas

Namun, keberhasilan implementasi LPS sangat bergantung pada faktor manusia: kesediaan berkolaborasi, keterbukaan komunikasi, dan keterlibatan aktif semua pihak proyek.

Rekomendasi untuk Meningkatkan Adopsi LPS

Penelitian ini menyarankan beberapa langkah strategis untuk meningkatkan adopsi LPS di UEA:

Level Organisasi

  • Masukkan LPS sebagai kriteria dalam tender proyek
  • Sertakan klausul LPS dalam kontrak kerja
  • Adakan pelatihan LPS untuk manajer proyek dan site engineer

Level Proyek

  • Jadwalkan pertemuan mingguan secara konsisten
  • Pastikan keterlibatan semua pihak sejak awal proyek
  • Kembangkan sistem dokumentasi yang efisien untuk melacak hasil dan akar masalah

Level Operasional

  • Gunakan alat bantu sederhana (misalnya spreadsheet) sebelum beralih ke software canggih
  • Hubungkan hasil PPC ke indikator performa proyek
  • Bangun budaya berbagi informasi dan belajar dari kesalahan

Opini Kritis: LPS Lebih dari Sekadar Alat, Ini Soal Pola Pikir

Salah satu poin kuat dari penelitian ini adalah penekanan bahwa LPS bukan hanya sekadar metode atau alat perencanaan, melainkan pola pikir kolaboratif. Banyak organisasi gagal bukan karena alatnya buruk, tapi karena pola kerja lama yang tidak berubah. LPS menuntut perubahan mendasar dalam cara proyek dijalankan—dari yang berbasis kontrol ke yang berbasis komitmen.

Dalam konteks UEA, LPS bisa menjadi solusi jangka panjang bagi proyek-proyek berskala besar dan kompleks. Namun agar berhasil, pendekatan ini harus dilihat sebagai proses pembelajaran, bukan sebagai instruksi yang langsung bisa dijalankan.

Penutup: Waktu yang Tepat untuk Transformasi Perencanaan Proyek

Penerapan LPS dalam proyek konstruksi di UEA masih dalam tahap awal. Namun, studi ini menunjukkan bahwa potensi dan penerimaan terhadap pendekatan lean sangat besar. Kolaborasi lebih erat, perencanaan yang realistis, dan pelaksanaan yang lebih terukur bisa mendorong efisiensi jangka panjang.

Dibutuhkan komitmen dari seluruh pihak—manajemen, konsultan, hingga pelaksana lapangan—untuk menjadikan LPS bukan sekadar eksperimen, melainkan standar baru dalam industri konstruksi.

Sumber asli:

Warid, O., & Hamani, K. (2023). Lean Construction in the UAE: Implementation of Last Planner System®. Lean Construction Journal, Vol. 2023, pp. 1–20.

Selengkapnya
Revolusi Konstruksi di UEA: Menerapkan Last Planner System untuk Proyek yang Lebih Tertata
« First Previous page 450 of 1.352 Next Last »