Sosiohidrologi

Pendekatan Sosiohidrologi Hadirkan Solusi Adaptif untuk Krisis Air di Pulau Sungai Asia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Masalah air bersih menjadi salah satu tantangan global paling mendesak, terlebih di kawasan pulau-pulau besar di sungai Asia seperti Fraserganj (India), Dakshin Bedkashi (Bangladesh), dan Con Dao (Vietnam). Meski dikelilingi air, masyarakat di wilayah ini justru terjebak dalam kelangkaan air bersih, krisis lingkungan, dan ketimpangan sosial. Studi oleh Pankaj Kumar dan kolega ini menekankan pentingnya pendekatan socio-hydrology—sebuah integrasi antara ilmu hidrologi dan dinamika sosial—dalam mengelola sumber daya air secara adaptif dan inklusif.

Mengapa Sosiohidrologi Dibutuhkan?

Secara global, lebih dari 2,4 miliar orang hidup dalam kondisi kekurangan air, dan jumlah ini diprediksi naik menjadi dua pertiga populasi dunia pada 2025. Di Asia, meski memiliki >35% cadangan air tawar dunia, distribusi air per kapita tetap rendah akibat urbanisasi, perubahan iklim, dan intrusi air laut.

Pulau sungai menghadapi kombinasi tekanan yang unik:

  • Intrusi salinitas air tanah akibat badai dan naiknya permukaan laut.
  • Penurunan produktivitas pertanian (contoh: 12% penurunan hasil panen padi setiap kenaikan 1 dS/m salinitas).
  • Gangguan mental dan sosial akibat kelangkaan air, dari kecemasan hingga kekerasan rumah tangga.

Tiga Studi Kasus: Fraserganj, Bedkashi, dan Con Dao

Fraserganj, India

Terletak di delta Sundarbans, wilayah ini mengalami:

  • Naiknya salinitas air tanah hingga memicu pertumbuhan alga beracun.
  • Peralihan mata pencaharian dari pertanian ke tambak air payau yang merusak lahan.
  • Proyeksi tahun 2051 menunjukkan lonjakan kebutuhan air dua kali lipat, sedangkan ketersediaan stagnan.

Dakshin Bedkashi, Bangladesh

  • Warga menghadapi banjir, siklon, kekeringan, dan intrusi salin secara reguler.
  • Perempuan menjadi korban paling rentan karena ketimpangan gender dalam distribusi air, nutrisi, dan hak sosial.
  • Air asin menyebabkan kulit kasar dan gelap, yang dalam budaya lokal berujung pada peningkatan biaya mahar pernikahan.

Con Dao, Vietnam

  • Menyediakan air dari 25 sumur bor dengan pasokan 3400 m³/hari.
  • Tingkat air tanah turun 1,19 meter dalam 6 tahun akibat eksploitasi berlebih.
  • Kebutuhan air domestik diprediksi naik tiga kali lipat pada 2030, sedangkan ketersediaan terus menurun.

Temuan Penting dari Studi Lapangan

Penelitian ini melakukan 14 diskusi kelompok (FGD) di Delta GBM. Temuan utama:

  • Salinitas air bukan hanya masalah lingkungan, tetapi pemicu stres psikologis jangka panjang.
  • Munculnya perubahan mata pencaharian, migrasi, konflik sosial, bahkan pembunuhan akibat konflik air.
  • Dua pemicu utama gangguan mental:
    1. Gagal panen dan kehilangan pekerjaan.
    2. Kesulitan akses air minum saat musim kering.

Sosiohidrologi sebagai Solusi Terpadu

Pendekatan sosiohidrologi terdiri dari dua bagian utama:

  1. Siklus Sosiohidrologi
    • Kebutuhan dan ketersediaan air (analisis anggaran air dan proyeksi).
    • Respons sosial-budaya (kearifan lokal, adaptasi pertanian, konsumsi air).
    • Tata kelola dan kebijakan (integrasi top-down dan bottom-up).
    • Kesiapsiagaan bencana (terutama siklon dan banjir).
    • Manajemen produktivitas lahan dan air (konservasi air & pencegahan intrusi salin).
  2. Faktor Normalisasi Makro
    • Ekosistem & layanan lingkungan
    • Regim iklim dan skala perubahan

Tujuan akhirnya adalah mencapai 6 dimensi ketahanan air:

  • Air domestik, ekonomi, kota, lingkungan, bencana, dan lintas batas.

Empat Tahapan Implementasi Sosiohidrologi

  1. Pengumpulan Informasi: Identifikasi pemangku kepentingan dan risiko.
  2. Analisis & Pengambilan Keputusan: Gunakan skenario kuantitatif & data warga.
  3. Implementasi Keputusan: Libatkan warga dalam eksekusi solusi.
  4. Monitoring & Evaluasi: Revisi metode berdasarkan umpan balik komunitas.

Model ini mendorong ko-desain dan ko-delivery antara ilmuwan, warga, dan pembuat kebijakan—bukan sekadar dari atas ke bawah, tapi juga “oleh dan untuk masyarakat.”

Tinjauan Kritis dan Relevansi Global

Artikel ini menyoroti perlunya model integratif untuk menjawab tantangan krisis air secara manusiawi dan ilmiah. Hal ini sangat relevan di negara-negara delta seperti Indonesia yang menghadapi ancaman serupa, seperti di Demak, Indramayu, atau pesisir Kalimantan.

Opini dan saran penulis:

  • Penelitian air jangan hanya fokus teknis, tetapi juga kesehatan mental dan dinamika gender.
  • Penanganan air butuh partisipasi lokal, bukan sekadar proyek teknokratik.
  • Socio-hydrology adalah pendekatan yang fleksibel, kolaboratif, dan berbasis realita sosial.

Kesimpulan

Sosiohidrologi bukan sekadar konsep, tapi pendekatan strategis untuk menghubungkan kebutuhan manusia dengan dinamika air secara berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan sains dan perspektif masyarakat, pendekatan ini menjadi solusi kunci menghadapi krisis air, ketimpangan sosial, dan perubahan iklim secara serentak.

Sumber : Kumar, P., Avtar, R., Dasgupta, R., Johnson, B. A., Mukherjee, A., Ahsan, M. N., Nguyen, D. C. H., Nguyen, H. Q., Shaw, R., & Mishra, B. K. (2020). Socio-hydrology: A key approach for adaptation to water scarcity and achieving human well-being in large riverine islands. Progress in Disaster Science, 8, 100134.

Selengkapnya
Pendekatan Sosiohidrologi Hadirkan Solusi Adaptif untuk Krisis Air di Pulau Sungai Asia

Sosiohidrologi

Warga Pantau Air, Pemerintah Lambat Tanggap: Tantangan Integrasi Data CBM ke Kebijakan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Community-Based Monitoring (CBM) atau pemantauan berbasis komunitas, telah menjadi strategi yang berkembang pesat dalam upaya pelestarian lingkungan. Artikel ilmiah "Linking Community-Based Monitoring to Water Policy: Perceptions of Citizen Scientists" karya Tyler Carlson dan Alice Cohen menyoroti hubungan antara data lingkungan yang dikumpulkan oleh warga dengan penggunaan data tersebut dalam kebijakan pemerintah, khususnya dalam konteks sumber daya air di Kanada.

Mengapa CBM Diperlukan dan Bagaimana Itu Bekerja?

CBM memungkinkan masyarakat lokal baik ilmuwan warga maupun relawan untuk mengukur kualitas air melalui parameter seperti pH, suhu, oksigen terlarut, dan konduktivitas. Pendekatan ini bukan hanya menambah cakupan pemantauan air yang tidak mampu dijangkau oleh pemerintah, tetapi juga meningkatkan literasi ilmiah masyarakat dan keterlibatan publik terhadap isu lingkungan lokal.

Fakta penting:

  • Rata-rata usia program CBM adalah 8,9 tahun, dengan rentang antara kurang dari 1 tahun hingga 47 tahun.
  • Sejak tahun 2000 hingga 2016, jumlah program CBM naik empat kali lipat di Kanada.
  • 78% responden mengikuti protokol pemantauan standar, menunjukkan perbaikan integritas data.

Masalah Utama: Data Tak Diterima Pemerintah

Meski sebagian besar program CBM mengikuti standar ilmiah, hanya 46% responden menyatakan bahwa data mereka digunakan dalam kebijakan pemerintah. Bahkan, 30% menyatakan data mereka diabaikan, dan 24% tidak tahu apakah datanya dimanfaatkan.

Studi kasus menarik:
Program yang menjalin kemitraan dengan pemerintah dan jaringan CBM lainnya memiliki tingkat efektivitas tertinggi (74%) dalam mencapai tujuan awal mereka. Sebaliknya, hanya 29% dari program tanpa kemitraan yang merasa program mereka efektif.

Motivasi Warga Beragam, Tapi Tetap Konsisten

Dari hasil survei terhadap 121 organisasi, lima alasan utama warga melakukan CBM adalah:

  1. Kekhawatiran terhadap ekosistem lokal (52%)
  2. Edukasi & literasi lingkungan (27%)
  3. Kekosongan data dari pemerintah (22%)
  4. Mempengaruhi kebijakan (20%)
  5. Riset jangka panjang (15%)

Ini menunjukkan bahwa meskipun tujuan bisa berbeda, kebutuhan akan data lingkungan dari warga sangat penting.

Studi Kasus Implementasi di Lapangan

CBM digunakan oleh warga untuk berbagai tujuan lokal seperti:

  • Dampak pertambangan (8 kasus)
  • Pertanian & urbanisasi (14 kasus)
  • Banjir, logging, rekreasi, dan PLTA (10+ kasus)

Namun, keberhasilan CBM dalam memengaruhi kebijakan sangat bergantung pada tiga faktor:

  1. Usia program: Program >15 tahun memiliki tingkat adopsi kebijakan 58%.
  2. Jenis protokol: Protokol pemerintah daerah memiliki tingkat adopsi 50%, dibandingkan protokol federal hanya 25%.
  3. Kemitraan: Program dengan kolaborasi ganda lebih sukses dalam menciptakan perubahan.

Antara Data Berkualitas dan Keterlibatan Warga

Ironisnya, banyak ilmuwan masih meragukan kredibilitas data CBM. Namun studi terbaru menunjukkan bahwa kesalahan data warga setara dengan ilmuwan profesional, terutama dalam parameter sederhana seperti suhu dan pH. Bahkan, ketika komunitas diberi pelatihan dan alat ukur memadai, mereka dapat menghasilkan data setara kualitas laboratorium.

Masalah utama bukan kualitas data, melainkan akses dan komunikasi antar lembaga. Banyak pemerintah tidak transparan soal apakah dan bagaimana mereka memakai data CBM. Kurangnya umpan balik ini menyebabkan kebingungan dan demoralisasi komunitas.

Menuju Kolaborasi dan Kebijakan yang Lebih Inklusif

Para penulis menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak melihat CBM sebagai alternatif murah dari riset ilmiah resmi. CBM harus dianggap sebagai mitra strategis dalam pengumpulan data jangka panjang, terutama mengingat tantangan fiskal dan geografis yang dihadapi negara seperti Kanada.

Rekomendasi dari penelitian ini:

  • Pemerintah perlu memberikan pendanaan jangka panjang dan pelatihan teknis kepada program CBM.
  • Standarisasi protokol harus fleksibel, agar tidak menghilangkan pendekatan lokal dan kearifan lokal.
  • Harus ada mekanisme umpan balik agar warga tahu bagaimana data mereka digunakan.

Pelajaran untuk Indonesia dan Dunia

Meskipun studi ini dilakukan di Kanada, pelajarannya sangat relevan bagi negara-negara lain seperti Indonesia, yang memiliki banyak komunitas lokal yang peduli terhadap sumber daya air namun kurang terlibat dalam pembuatan kebijakan.

Untuk menjadikan CBM sebagai alat transformasi, diperlukan:

  • Integrasi data CBM ke sistem informasi resmi.
  • Peningkatan kapasitas digital dan teknologi di komunitas lokal.
  • Pendekatan multi-aktor: melibatkan LSM, pemerintah, industri, dan universitas.

Kesimpulan

Artikel ini memberikan kontribusi penting dalam memahami tantangan dan potensi CBM sebagai jembatan antara warga dan pembuat kebijakan. Dengan menjembatani kesenjangan antara pengetahuan lokal dan keputusan formal, CBM dapat menjadi pilar utama dalam pengelolaan sumber daya air yang lebih demokratis dan berkelanjutan.

Sumber: Carlson, T., & Cohen, A. (2018). Linking Community-Based Monitoring to Water Policy: Perceptions of Citizen Scientists. Journal of Environmental Management, 219, 168–177. DOI: 10.1016/j.jenvman.2018.04.077

Selengkapnya
Warga Pantau Air, Pemerintah Lambat Tanggap: Tantangan Integrasi Data CBM ke Kebijakan

Sosiohidrologi

Citizen Science Ubah Wajah Pemantauan Hidrologi Menuju Masa Depan Air yang Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Pendahuluan

Dalam dunia yang terus menghadapi tekanan perubahan iklim, urbanisasi, dan degradasi lingkungan, pemantauan hidrologi menjadi fondasi penting untuk memastikan pengelolaan air yang berkelanjutan. Sayangnya, biaya tinggi dan keterbatasan jaringan pemantauan membuat negara-negara berpenghasilan rendah sulit memperoleh data yang memadai. Artikel ilmiah dari Njue et al. (2019) mengusulkan solusi revolusioner: citizen science, yakni keterlibatan masyarakat umum dalam pengumpulan dan analisis data ilmiah, sebagai alternatif yang murah, partisipatif, dan efektif.

Mengapa Citizen Science Relevan untuk Hidrologi?

Pemantauan hidrologi konvensional mahal, memerlukan sensor otomatis, tenaga ahli, dan infrastruktur kompleks. Namun:

  • Banyak wilayah belum dipantau atau memiliki data hidrologi yang tidak memadai.
  • Peristiwa ekstrem seperti banjir atau kekeringan sering terlewat.
  • Negara-negara berpendapatan rendah seperti Kenya, Ethiopia, dan Tanzania mengalami kesenjangan data.

Citizen science menjembatani kesenjangan ini dengan:

  • Mengurangi biaya melalui pengumpulan data oleh sukarelawan.
  • Memperluas jangkauan spasial dan frekuensi pengukuran.
  • Meningkatkan literasi lingkungan masyarakat.

Temuan Kunci dan Angka-Angka dari Studi

  • Review dilakukan terhadap 71 studi dari tahun 2001 hingga 2018.
  • Sekitar 63% proyek citizen science fokus pada kualitas air, meski data tinggi muka air lebih mudah dikumpulkan.
  • 45% proyek berlangsung di Amerika Utara, 20% di Eropa, dan hanya 10% di Afrika serta 9% di Asia—menunjukkan adanya kesenjangan adopsi global.
  • Sebanyak 73% proyek bersifat "contributory", artinya masyarakat hanya berperan dalam pengumpulan data.

Studi Kasus Nyata: Teknologi, Data, dan Partisipasi

1. Kenya – Sondu Catchment

  • Digunakan alat murah seperti tampon detektor deterjen, turbidity tube, dan pengukuran nitrat dengan strip warna.
  • Data dikumpulkan dan dilaporkan melalui SMS oleh warga.
  • Tingkat akurasi pengukuran cukup tinggi dan komparabel dengan sensor otomatis.

2. CoCoRaHS (AS dan Kanada)

  • Jaringan pemantauan curah hujan oleh warga sejak 1998.
  • Lebih dari 20.000 partisipan menghasilkan data berkualitas tinggi.
  • Data digunakan oleh NOAA dan badan pemerintah untuk validasi radar dan peringatan dini.

3. CrowdHydrology (AS)

  • Warga mengirim pembacaan tinggi air melalui pesan teks.
  • Data dikalibrasi dengan sensor tekanan—hasilnya sangat akurat.

4. NetAtmo dan IoT

  • Sensor cuaca pribadi warga tersambung otomatis ke platform daring.
  • Memberikan data suhu, tekanan udara, kelembaban, curah hujan—sangat membantu dalam pemodelan hidrologi perkotaan.

Keunggulan dan Tantangan Citizen Science

Keunggulan:

  • Biaya rendah: proyek dapat dimulai dengan peralatan sederhana.
  • Skalabilitas tinggi: dari lokal hingga global.
  • Kualitas data baik, terutama jika warga mendapat pelatihan dan protokol jelas.
  • Data dapat diunggah secara real-time melalui aplikasi smartphone, SMS, atau web.

Tantangan:

  • Kekhawatiran akan kualitas dan validitas data dari warga biasa.
  • Rendahnya adopsi di negara berkembang karena kurangnya pelatihan, dukungan, dan infrastruktur.
  • Keterbatasan dalam desain partisipatif—mayoritas proyek masih bersifat top-down.

Aplikasi di Media Sosial dan Teknologi Terbuka

Penelitian juga menunjukkan bahwa media sosial seperti YouTube, Twitter, dan Flickr menjadi sumber data baru:

  • Video banjir, foto aliran air, atau laporan warga secara tidak langsung berkontribusi pada pemodelan banjir dan pemetaan kejadian ekstrem.
  • Studi di Prancis dan Argentina menunjukkan bahwa video warga dapat digunakan untuk mengestimasi debit dan kecepatan aliran.

Rekomendasi untuk Masa Depan

Untuk Peneliti dan Akademisi:

  • Gunakan kombinasi metode tradisional dan partisipatif.
  • Kembangkan aplikasi yang mudah digunakan dan mampu memberi umpan balik otomatis.
  • Bangun proyek co-created agar warga juga terlibat dalam desain dan interpretasi hasil.

Untuk Pemerintah dan Lembaga Lingkungan:

  • Buat kebijakan yang mendukung integrasi data warga ke dalam sistem nasional.
  • Berikan insentif atau sertifikasi kepada warga yang berpartisipasi.

Untuk Platform Pembelajaran dan LSM:

  • Gunakan platform digital untuk pelatihan warga, seperti video daring, gamifikasi, dan aplikasi instruksional.
  • Promosikan konsep citizen scientist sebagai profesi masa depan.

Kesimpulan: Masa Depan Hidrologi Bersama Masyarakat

Artikel ini membuktikan bahwa citizen science mampu menghasilkan data hidrologi yang kredibel, luas, dan hemat biaya. Kuncinya adalah pelatihan, komunikasi dua arah, dan integrasi data ke dalam pengambilan keputusan. Dengan meningkatnya teknologi, smartphone, dan konektivitas internet, potensi untuk memobilisasi warga menjadi pengumpul data sains semakin besar, terutama di negara berkembang.

Citizen science bukan hanya strategi ilmiah, tapi juga gerakan sosial yang memperkuat hak masyarakat atas air, data, dan masa depan yang berkelanjutan.

Sumber : Njue, N., Kroese, J. S., Gräf, J., Jacobs, S. R., Weeser, B., Breuer, L., & Rufino, M. C. (2019). Citizen science in hydrological monitoring and ecosystem services management: State of the art and future prospects. Science of the Total Environment, 693, 133531.

Selengkapnya
Citizen Science Ubah Wajah Pemantauan Hidrologi Menuju Masa Depan Air yang Berkelanjutan

Sosiohidrologi

Riset Perdamaian dan Socio-Hydrology Bersatu Hadapi Krisis Air Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Pendahuluan

Di era perubahan iklim dan ketimpangan sosial, air menjadi sumber daya vital sekaligus sumber ketegangan. Artikel ilmiah oleh Döring, Kim, dan Swain (2024) menyoroti bagaimana bidang socio-hydrology—ilmu yang mengkaji interaksi antara masyarakat dan sistem hidrologi—dapat berkembang pesat bila diintegrasikan dengan riset perdamaian dan konflik. Pendekatan ini tidak hanya memperluas cara kita memahami konflik air, tetapi juga menawarkan cara baru untuk membangun perdamaian melalui tata kelola air yang lebih adil.

Mengapa Integrasi Socio-Hydrology dan Studi Konflik Penting?

Socio-hydrology berfokus pada dinamika sosial, kekuasaan, dan nilai-nilai budaya dalam pengelolaan air, bukan hanya aspek teknis. Sementara itu, riset konflik dan perdamaian menyajikan kerangka analisis mengenai bagaimana air memicu konflik—dan lebih penting lagi—bagaimana air bisa menjadi alat perdamaian. Dua bidang ini memiliki potensi saling melengkapi untuk menghadapi tantangan besar abad ke-21: kekurangan air, ketidaksetaraan distribusi, dan krisis iklim.

Konflik dan Kerja Sama atas Air: Data dan Temuan Penting

  • 60% air tawar dunia berada di 310 sungai internasional dan lebih dari 500 akuifer lintas batas.
  • Konflik air muncul saat negara hulu dan hilir berbeda kepentingan—seperti terlihat dalam kasus Sungai Nil dan Yordan.
  • Namun, data menunjukkan kerja sama lebih dominan dibandingkan konflik bersenjata.
    • Contoh: Transboundary Freshwater Dispute Database (TFDD) dan International River Conflict and Cooperation dataset (IRCC) menyatakan sebagian besar konflik bersifat diplomatik.

Studi Kasus Empiris dan Data Global

  • Afrika Sub-Sahara dan Asia Tengah: sekitar setengah lahan pertanian mengalami kekurangan air minimal 5 bulan per tahun (Rosa et al., 2020).
  • Afghanistan, DRC, Liberia: pendekatan partisipatif dalam pengelolaan air pasca-konflik terbukti memperkuat perdamaian dan kesehatan masyarakat (Burt & Keiru, 2011).
  • Iraq Marshlands: proyek restorasi pascaperang oleh UNEP meningkatkan kualitas air dan mendorong pemulihan ekonomi, meski memunculkan tantangan tata kelola lokal (Aoki et al., 2011).

Pendekatan Kritis: Politik, Gender, dan Keadilan Air

Penelitian menunjukkan bahwa:

  • Perspektif teknokratis saja tidak cukup. Proyek besar seperti bendungan seringkali mengabaikan dampak sosial dan lingkungan.
  • Kerangka ‘hydro-hegemony’ dan ‘water justice’ digunakan untuk menganalisis kekuasaan dan ketidakadilan dalam akses air.
  • Feminist political ecology mengungkapkan dampak tidak proporsional terhadap perempuan dan anak perempuan yang harus berjalan jauh untuk mengakses air bersih.

Peran Socio-Hydrology dalam Peacebuilding

Environmental peacebuilding menjadi pendekatan penting dalam pembangunan pascakonflik:

  • Air dapat berfungsi sebagai jalur diplomatik untuk memperkuat institusi pasca-perang.
  • Contoh nyata seperti Sungai Mekong dan Sungai Nil menunjukkan bahwa dialog air lintas negara bisa mengurangi ketegangan geopolitik.
  • Socio-hydrology mampu memberikan model sistemik berbasis data dan pendekatan sosial untuk restorasi sumber daya air, terutama di negara fragile.

Kritik dan Refleksi: Apa yang Kurang dan Harus Diperbaiki

Tantangan utama integrasi dua bidang ini adalah:

  • Masih adanya “silo ilmiah” antara ilmu sosial dan hidrologi.
  • Socio-hydrology sering mengedepankan positivisme, sedangkan ilmu sosial menuntut refleksi ontologis dan nilai-nilai lokal.
  • Kurangnya keterlibatan komunitas lokal dan suara kelompok rentan.

Namun, bila kolaborasi ini difasilitasi secara sistematis, hasilnya bisa membentuk kebijakan air yang lebih tangguh dan inklusif.

Relevansi dengan Target Global

Integrasi socio-hydrology dan studi konflik memiliki dampak langsung terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:

  • SDG 6: Air Bersih dan Sanitasi
  • SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Tangguh
  • SDG 13: Aksi Iklim

Rekomendasi Kebijakan dan Penelitian

Untuk peneliti:

  • Gunakan data kuantitatif (seperti dataset WARICC atau TFDD) dan gabungkan dengan metode etnografi, wawancara, dan peta partisipatif.
  • Kaji kembali bias dalam desain studi, terutama yang hanya fokus pada konflik dan mengabaikan bentuk-bentuk kerja sama lokal.

Untuk pembuat kebijakan:

  • Prioritaskan restorasi sumber daya air sebagai bagian dari rekonstruksi pasca-konflik.
  • Terapkan pendekatan lintas disiplin yang menyertakan gender, keadilan sosial, dan analisis kekuasaan dalam proyek air.

Untuk masyarakat sipil dan organisasi internasional:

  • Dorong partisipasi masyarakat lokal dalam proyek pengelolaan air.
  • Lakukan kampanye hak atas air sebagai hak asasi manusia.

Kesimpulan

Artikel ini menunjukkan bahwa mengelola air tidak hanya soal teknologi dan infrastruktur, tetapi juga soal politik, keadilan, dan perdamaian. Integrasi antara socio-hydrology dan riset perdamaian memberi arah baru untuk menjawab tantangan air abad ke-21. Jika dikelola dengan cermat, air bisa menjadi alat pemersatu, bukan pemicu konflik. Ke depan, kolaborasi antardisiplin harus diperluas agar solusi terhadap krisis air bisa menyentuh akar masalah, bukan sekadar permukaan.

Sumber : Döring, S., Kim, K., & Swain, A. (2024). Integrating socio-hydrology, and peace and conflict research. Journal of Hydrology, 633, 131000.

Selengkapnya
Riset Perdamaian dan Socio-Hydrology Bersatu Hadapi Krisis Air Global
« First Previous page 9 of 9