Warga Pantau Air, Pemerintah Lambat Tanggap: Tantangan Integrasi Data CBM ke Kebijakan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

01 Juli 2025, 11.33

pixabay.com

Community-Based Monitoring (CBM) atau pemantauan berbasis komunitas, telah menjadi strategi yang berkembang pesat dalam upaya pelestarian lingkungan. Artikel ilmiah "Linking Community-Based Monitoring to Water Policy: Perceptions of Citizen Scientists" karya Tyler Carlson dan Alice Cohen menyoroti hubungan antara data lingkungan yang dikumpulkan oleh warga dengan penggunaan data tersebut dalam kebijakan pemerintah, khususnya dalam konteks sumber daya air di Kanada.

Mengapa CBM Diperlukan dan Bagaimana Itu Bekerja?

CBM memungkinkan masyarakat lokal baik ilmuwan warga maupun relawan untuk mengukur kualitas air melalui parameter seperti pH, suhu, oksigen terlarut, dan konduktivitas. Pendekatan ini bukan hanya menambah cakupan pemantauan air yang tidak mampu dijangkau oleh pemerintah, tetapi juga meningkatkan literasi ilmiah masyarakat dan keterlibatan publik terhadap isu lingkungan lokal.

Fakta penting:

  • Rata-rata usia program CBM adalah 8,9 tahun, dengan rentang antara kurang dari 1 tahun hingga 47 tahun.
  • Sejak tahun 2000 hingga 2016, jumlah program CBM naik empat kali lipat di Kanada.
  • 78% responden mengikuti protokol pemantauan standar, menunjukkan perbaikan integritas data.

Masalah Utama: Data Tak Diterima Pemerintah

Meski sebagian besar program CBM mengikuti standar ilmiah, hanya 46% responden menyatakan bahwa data mereka digunakan dalam kebijakan pemerintah. Bahkan, 30% menyatakan data mereka diabaikan, dan 24% tidak tahu apakah datanya dimanfaatkan.

Studi kasus menarik:
Program yang menjalin kemitraan dengan pemerintah dan jaringan CBM lainnya memiliki tingkat efektivitas tertinggi (74%) dalam mencapai tujuan awal mereka. Sebaliknya, hanya 29% dari program tanpa kemitraan yang merasa program mereka efektif.

Motivasi Warga Beragam, Tapi Tetap Konsisten

Dari hasil survei terhadap 121 organisasi, lima alasan utama warga melakukan CBM adalah:

  1. Kekhawatiran terhadap ekosistem lokal (52%)
  2. Edukasi & literasi lingkungan (27%)
  3. Kekosongan data dari pemerintah (22%)
  4. Mempengaruhi kebijakan (20%)
  5. Riset jangka panjang (15%)

Ini menunjukkan bahwa meskipun tujuan bisa berbeda, kebutuhan akan data lingkungan dari warga sangat penting.

Studi Kasus Implementasi di Lapangan

CBM digunakan oleh warga untuk berbagai tujuan lokal seperti:

  • Dampak pertambangan (8 kasus)
  • Pertanian & urbanisasi (14 kasus)
  • Banjir, logging, rekreasi, dan PLTA (10+ kasus)

Namun, keberhasilan CBM dalam memengaruhi kebijakan sangat bergantung pada tiga faktor:

  1. Usia program: Program >15 tahun memiliki tingkat adopsi kebijakan 58%.
  2. Jenis protokol: Protokol pemerintah daerah memiliki tingkat adopsi 50%, dibandingkan protokol federal hanya 25%.
  3. Kemitraan: Program dengan kolaborasi ganda lebih sukses dalam menciptakan perubahan.

Antara Data Berkualitas dan Keterlibatan Warga

Ironisnya, banyak ilmuwan masih meragukan kredibilitas data CBM. Namun studi terbaru menunjukkan bahwa kesalahan data warga setara dengan ilmuwan profesional, terutama dalam parameter sederhana seperti suhu dan pH. Bahkan, ketika komunitas diberi pelatihan dan alat ukur memadai, mereka dapat menghasilkan data setara kualitas laboratorium.

Masalah utama bukan kualitas data, melainkan akses dan komunikasi antar lembaga. Banyak pemerintah tidak transparan soal apakah dan bagaimana mereka memakai data CBM. Kurangnya umpan balik ini menyebabkan kebingungan dan demoralisasi komunitas.

Menuju Kolaborasi dan Kebijakan yang Lebih Inklusif

Para penulis menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak melihat CBM sebagai alternatif murah dari riset ilmiah resmi. CBM harus dianggap sebagai mitra strategis dalam pengumpulan data jangka panjang, terutama mengingat tantangan fiskal dan geografis yang dihadapi negara seperti Kanada.

Rekomendasi dari penelitian ini:

  • Pemerintah perlu memberikan pendanaan jangka panjang dan pelatihan teknis kepada program CBM.
  • Standarisasi protokol harus fleksibel, agar tidak menghilangkan pendekatan lokal dan kearifan lokal.
  • Harus ada mekanisme umpan balik agar warga tahu bagaimana data mereka digunakan.

Pelajaran untuk Indonesia dan Dunia

Meskipun studi ini dilakukan di Kanada, pelajarannya sangat relevan bagi negara-negara lain seperti Indonesia, yang memiliki banyak komunitas lokal yang peduli terhadap sumber daya air namun kurang terlibat dalam pembuatan kebijakan.

Untuk menjadikan CBM sebagai alat transformasi, diperlukan:

  • Integrasi data CBM ke sistem informasi resmi.
  • Peningkatan kapasitas digital dan teknologi di komunitas lokal.
  • Pendekatan multi-aktor: melibatkan LSM, pemerintah, industri, dan universitas.

Kesimpulan

Artikel ini memberikan kontribusi penting dalam memahami tantangan dan potensi CBM sebagai jembatan antara warga dan pembuat kebijakan. Dengan menjembatani kesenjangan antara pengetahuan lokal dan keputusan formal, CBM dapat menjadi pilar utama dalam pengelolaan sumber daya air yang lebih demokratis dan berkelanjutan.

Sumber: Carlson, T., & Cohen, A. (2018). Linking Community-Based Monitoring to Water Policy: Perceptions of Citizen Scientists. Journal of Environmental Management, 219, 168–177. DOI: 10.1016/j.jenvman.2018.04.077