Pendahuluan
Di era perubahan iklim dan ketimpangan sosial, air menjadi sumber daya vital sekaligus sumber ketegangan. Artikel ilmiah oleh Döring, Kim, dan Swain (2024) menyoroti bagaimana bidang socio-hydrology—ilmu yang mengkaji interaksi antara masyarakat dan sistem hidrologi—dapat berkembang pesat bila diintegrasikan dengan riset perdamaian dan konflik. Pendekatan ini tidak hanya memperluas cara kita memahami konflik air, tetapi juga menawarkan cara baru untuk membangun perdamaian melalui tata kelola air yang lebih adil.
Mengapa Integrasi Socio-Hydrology dan Studi Konflik Penting?
Socio-hydrology berfokus pada dinamika sosial, kekuasaan, dan nilai-nilai budaya dalam pengelolaan air, bukan hanya aspek teknis. Sementara itu, riset konflik dan perdamaian menyajikan kerangka analisis mengenai bagaimana air memicu konflik—dan lebih penting lagi—bagaimana air bisa menjadi alat perdamaian. Dua bidang ini memiliki potensi saling melengkapi untuk menghadapi tantangan besar abad ke-21: kekurangan air, ketidaksetaraan distribusi, dan krisis iklim.
Konflik dan Kerja Sama atas Air: Data dan Temuan Penting
- 60% air tawar dunia berada di 310 sungai internasional dan lebih dari 500 akuifer lintas batas.
- Konflik air muncul saat negara hulu dan hilir berbeda kepentingan—seperti terlihat dalam kasus Sungai Nil dan Yordan.
- Namun, data menunjukkan kerja sama lebih dominan dibandingkan konflik bersenjata.
- Contoh: Transboundary Freshwater Dispute Database (TFDD) dan International River Conflict and Cooperation dataset (IRCC) menyatakan sebagian besar konflik bersifat diplomatik.
Studi Kasus Empiris dan Data Global
- Afrika Sub-Sahara dan Asia Tengah: sekitar setengah lahan pertanian mengalami kekurangan air minimal 5 bulan per tahun (Rosa et al., 2020).
- Afghanistan, DRC, Liberia: pendekatan partisipatif dalam pengelolaan air pasca-konflik terbukti memperkuat perdamaian dan kesehatan masyarakat (Burt & Keiru, 2011).
- Iraq Marshlands: proyek restorasi pascaperang oleh UNEP meningkatkan kualitas air dan mendorong pemulihan ekonomi, meski memunculkan tantangan tata kelola lokal (Aoki et al., 2011).
Pendekatan Kritis: Politik, Gender, dan Keadilan Air
Penelitian menunjukkan bahwa:
- Perspektif teknokratis saja tidak cukup. Proyek besar seperti bendungan seringkali mengabaikan dampak sosial dan lingkungan.
- Kerangka ‘hydro-hegemony’ dan ‘water justice’ digunakan untuk menganalisis kekuasaan dan ketidakadilan dalam akses air.
- Feminist political ecology mengungkapkan dampak tidak proporsional terhadap perempuan dan anak perempuan yang harus berjalan jauh untuk mengakses air bersih.
Peran Socio-Hydrology dalam Peacebuilding
Environmental peacebuilding menjadi pendekatan penting dalam pembangunan pascakonflik:
- Air dapat berfungsi sebagai jalur diplomatik untuk memperkuat institusi pasca-perang.
- Contoh nyata seperti Sungai Mekong dan Sungai Nil menunjukkan bahwa dialog air lintas negara bisa mengurangi ketegangan geopolitik.
- Socio-hydrology mampu memberikan model sistemik berbasis data dan pendekatan sosial untuk restorasi sumber daya air, terutama di negara fragile.
Kritik dan Refleksi: Apa yang Kurang dan Harus Diperbaiki
Tantangan utama integrasi dua bidang ini adalah:
- Masih adanya “silo ilmiah” antara ilmu sosial dan hidrologi.
- Socio-hydrology sering mengedepankan positivisme, sedangkan ilmu sosial menuntut refleksi ontologis dan nilai-nilai lokal.
- Kurangnya keterlibatan komunitas lokal dan suara kelompok rentan.
Namun, bila kolaborasi ini difasilitasi secara sistematis, hasilnya bisa membentuk kebijakan air yang lebih tangguh dan inklusif.
Relevansi dengan Target Global
Integrasi socio-hydrology dan studi konflik memiliki dampak langsung terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:
- SDG 6: Air Bersih dan Sanitasi
- SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Tangguh
- SDG 13: Aksi Iklim
Rekomendasi Kebijakan dan Penelitian
Untuk peneliti:
- Gunakan data kuantitatif (seperti dataset WARICC atau TFDD) dan gabungkan dengan metode etnografi, wawancara, dan peta partisipatif.
- Kaji kembali bias dalam desain studi, terutama yang hanya fokus pada konflik dan mengabaikan bentuk-bentuk kerja sama lokal.
Untuk pembuat kebijakan:
- Prioritaskan restorasi sumber daya air sebagai bagian dari rekonstruksi pasca-konflik.
- Terapkan pendekatan lintas disiplin yang menyertakan gender, keadilan sosial, dan analisis kekuasaan dalam proyek air.
Untuk masyarakat sipil dan organisasi internasional:
- Dorong partisipasi masyarakat lokal dalam proyek pengelolaan air.
- Lakukan kampanye hak atas air sebagai hak asasi manusia.
Kesimpulan
Artikel ini menunjukkan bahwa mengelola air tidak hanya soal teknologi dan infrastruktur, tetapi juga soal politik, keadilan, dan perdamaian. Integrasi antara socio-hydrology dan riset perdamaian memberi arah baru untuk menjawab tantangan air abad ke-21. Jika dikelola dengan cermat, air bisa menjadi alat pemersatu, bukan pemicu konflik. Ke depan, kolaborasi antardisiplin harus diperluas agar solusi terhadap krisis air bisa menyentuh akar masalah, bukan sekadar permukaan.
Sumber : Döring, S., Kim, K., & Swain, A. (2024). Integrating socio-hydrology, and peace and conflict research. Journal of Hydrology, 633, 131000.