Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Air bersih bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga tentang keadilan sosial, hak atas hidup layak, dan pembangunan berkelanjutan. Artikel ilmiah oleh Sameer H. Shah (2021) ini mengupas secara sistematis bagaimana konsep “keamanan air” diterapkan dan didefinisikan dalam konteks penghidupan pedesaan di negara-negara Global South selama dua dekade terakhir. Dengan meninjau 99 jurnal ilmiah terpublikasi antara 2000–2019, riset ini mengungkap kesenjangan konseptual, geografis, dan pendekatan solusi dalam diskursus keamanan air.
Mengapa Konsep Keamanan Air Masih Terbatas?
Hanya 30,3% artikel yang mendefinisikan dengan jelas istilah "keamanan air". Umumnya, definisi tersebut berhenti pada tingkat “kecukupan” air (misalnya: cukup untuk irigasi, konsumsi, dan sanitasi), namun tidak menyentuh aspek produktivitas, kesejahteraan, atau pemberdayaan. Ini menunjukkan pendekatan yang konservatif, yang hanya berfokus pada penghindaran risiko, bukan pada pembangunan kapasitas atau aspirasi hidup warga pedesaan.
Studi Kasus: Ketimpangan dan Solusi yang Canggung
Studi mencatat bahwa sebagian besar solusi berfokus pada:
Sebagai contoh, di Lebanon, petani di Lembah Sungai Litani bersedia membayar lebih demi pemasangan sistem irigasi efisien, menunjukkan ada kemauan kolektif masyarakat bila solusi dirancang inklusif.
Ketimpangan Sosial sebagai Akar Krisis
Riset menemukan bahwa:
Contohnya, di beberapa wilayah Afrika dan Asia, komunitas adat dan perempuan sering kali dikecualikan dari pengambilan keputusan pengelolaan air.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Lebih dari 80% artikel mengidentifikasi pemerintah sebagai aktor utama dalam solusi air, namun tanggung jawab juga disematkan kepada:
Sayangnya, partisipasi masyarakat lokal seringkali hanya dijadikan pelengkap, bukan pusat dari perubahan kebijakan.
Ketimpangan Geografis dalam Penelitian
Mayoritas studi berfokus di India (21), Afrika Selatan (15), dan Tiongkok (13). Wilayah seperti Afrika Tengah, Amerika Selatan bagian tengah, dan Afrika Utara nyaris luput, menunjukkan kebutuhan pemetaan ulang fokus geografis dalam riset air.
Rekomendasi Kritis: Arah Masa Depan
1. Ubah Fokus dari “Risiko” ke “Kesejahteraan”
Keamanan air harus diukur dari kemampuan orang untuk hidup bermartabat, bukan sekadar cukup minum.
2. Libatkan Ragam Penghidupan
Riset terlalu terfokus pada pertanian, padahal banyak komunitas hidup dari peternakan, perikanan, dan kerja informal.
3. Gugat Struktur yang Tidak Adil
Alih-alih solusi teknis, diperlukan transformasi sistemik: dari tata kelola, hukum air, hingga kepemilikan sumber daya.
4. Wawasan Skala Global
Dinamika air di satu wilayah dapat memengaruhi kawasan lain. Pendekatan multiskala dan lintas negara menjadi kunci menghadapi perubahan iklim dan pasar global.
Kesimpulan
Konsep keamanan air masih terlalu sempit jika hanya diukur dari jumlah air yang tersedia. Artikel ini menegaskan pentingnya menggeser pendekatan dari "sekadar cukup" menuju "keadilan dan kesejahteraan". Kesenjangan konseptual dan geografis dalam studi air harus segera dijembatani dengan riset interdisipliner, pendekatan hak asasi manusia, dan kebijakan berbasis komunitas.
Tanpa perubahan paradigma, penghidupan pedesaan di negara berkembang akan terus berada dalam lingkaran ketidakamanan air. Solusi sejati haruslah holistik, adil, dan berpihak pada yang selama ini tak bersuara.
Sumber : Shah, S. H. (2021). How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review. Water Policy, 23(5), 1129–1146.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Air bersih adalah hak dasar manusia, namun aksesnya masih menjadi tantangan besar, terutama di wilayah pelosok dan miskin infrastruktur. Buku berjudul Air Bersih Gratis (2023) karya Harun Rasidi dkk. mengangkat secara komprehensif berbagai konsep, teknologi, dan strategi penyediaan air bersih tanpa biaya, mulai dari desain filter, standar kualitas, sumber air baku, hingga pemanfaatan teknologi non-listrik.
Dengan pendekatan praktis dan teknis, buku ini menjadi referensi penting bagi akademisi, teknisi, dan komunitas masyarakat untuk mewujudkan kemandirian air bersih yang terjangkau dan berkelanjutan.
Mengapa Air Bersih Masih Jadi Masalah?
Berdasarkan WHO (2019), 2,2 miliar orang tidak memiliki akses ke air minum aman. Di Indonesia, pertumbuhan permukiman tidak sebanding dengan ketersediaan prasarana air. Permasalahan mencakup:
Filter Minim Perawatan: Solusi Nyata dari Lingkungan
Filter air minim perawatan yang disarankan oleh buku ini mengandalkan media alami:
Filter ini mampu mengubah air baku dari sungai, danau, atau air hujan menjadi air bersih layak MCK, bahkan untuk konsumsi jika dikombinasikan dengan pengolahan lanjutan.
Pompa Air Tanpa Energi Listrik: Teknologi Ramah Lingkungan
Pompa Hidrolik (P.A.T.H.) dikembangkan sebagai solusi pemompaan air tanpa listrik, dengan keunggulan:
Studi kasus:
Teknologi ini telah berhasil diterapkan di Temanggung, Magelang, dan Pacitan melalui uji coba oleh Balai Litbang Sungai.
Standar Kualitas Air dan Regulasi
Mengacu pada Permenkes No. 492/2010, air bersih harus:
Standar kualitas juga mencakup suhu, pH, kekeruhan, dan oksigen terlarut (DO), yang diuji melalui laboratorium.
Sumber Air Baku dan Risiko
Air baku berasal dari:
Masalah utama:
Kualitas fluktuatif karena pencemaran dan perubahan iklim. Oleh karena itu, pemilihan dan pengolahan sumber air sangat krusial.
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan IoT untuk Pengelolaan Air
Buku ini mengulas penerapan Internet of Things (IoT) dan Smart Water Management:
Contoh penerapan internasional:
Di berbagai negara, sensor IoT telah digunakan untuk pemantauan kualitas air muara dan sungai, bahkan hingga ke kran rumah warga.
Deteksi dan Pengendalian Pencemaran Air
Pencemaran air bersih perlu dideteksi sejak dini. Standar WHO dan Permenkes mewajibkan pemantauan terhadap:
Rekomendasi teknis:
Gunakan metode klorinasi dengan kaporit, filter arang aktif, dan uji laboratorium rutin untuk menjaga kualitas air konsumsi.
Peran Pemerintah dan Kesetaraan Akses
Pemerintah memiliki tanggung jawab memastikan:
Tanpa peran aktif pemerintah, ketimpangan akses air akan terus memburuk, terutama bagi masyarakat miskin dan daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Kesimpulan dan Rekomendasi
Air bersih gratis bukan utopia, tetapi keniscayaan teknologi dan kehendak politik. Buku ini membuktikan bahwa:
Solusi air bersih yang murah dan ramah lingkungan tidak lagi terbatas pada kota besar atau fasilitas mewah. Melalui kolaborasi antara masyarakat, akademisi, dan pemerintah, akses air bersih dapat menjadi hak universal, bukan sekadar kebutuhan elit.
Sumber asli : Rasidi, H., Mulyanda, D., Karimuna, S. R., Hamka, M. S., Sumarlin, Ningtyas, R., Paharuddin, Kartina, D., Qomaliyah, E. N., Aini, Gaffar, S., & Kasmi, M. (2023). Air Bersih Gratis. Penerbit Widina Media Utama. ISBN 978-623-459-579-6.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Perubahan iklim menjadi tantangan nyata, terutama di kawasan pesisir yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Penelitian berjudul “Kajian Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim Berbasis Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kota Semarang” oleh Dwi Rahmawati dan Trida Ridho Fariz (2024) memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana masyarakat memanfaatkan lima sumber daya utama untuk bertahan dan pulih dari dampak perubahan iklim: alam, manusia, finansial, sosial, dan fisik.
Latar Belakang: Krisis Iklim dan Pesisir Semarang
Data BNPB menunjukkan bahwa 99,1% dari 1.675 bencana yang terjadi dari Januari hingga Mei 2023 merupakan bencana hidrometeorologi. Kota Semarang, khususnya Kelurahan Tugurejo, menghadapi ancaman multibencana seperti banjir, rob, dan intrusi air laut. Dua wilayah krusial dalam studi ini—RT 06/RW 01 dan RT 07/RW 05—diidentifikasi sebagai lokasi dengan tingkat kerentanan tertinggi.
Metodologi: Pendekatan Holistik dan Partisipatif
Penelitian ini menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif (mixed method), dengan total responden 85 KK. Pendekatan yang digunakan adalah penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood approach), yang mencakup:
Temuan Utama: Kekuatan Sosial dan Kelemahan Akses Alam
1. Sumber Daya Manusia – Terkuat
Keduanya memiliki tingkat kesehatan masyarakat yang sangat baik, dengan >97% responden tanpa penyakit kronis atau disabilitas. Pendidikan warga RT 07 menunjukkan 27,5% lulusan perguruan tinggi.
2. Sumber Daya Alam – Terlemah
Hanya 4,5% masyarakat yang bekerja sebagai petani tambak. Sebagian besar tidak memiliki tambak atau lahan produktif, bahkan beberapa tinggal di tanah milik PT KAI atau KORPRI.
3. Sumber Daya Finansial
Mayoritas penduduk bekerja sebagai buruh industri dengan pendapatan setara UMR. Tabungan dan aset finansial masih terbatas, namun cukup stabil untuk kebutuhan dasar.
4. Sumber Daya Sosial
Adanya Kelompok Wanita Tani (KWT) dan organisasi seperti Karang Taruna memperkuat jaringan sosial warga. Aktivitas seperti urban farming juga mendukung ketahanan pangan lokal.
5. Sumber Daya Fisik
Masyarakat memiliki rumah milik pribadi, namun sebagian berdiri di atas lahan yang bukan milik mereka. Hal ini berdampak pada keamanan jangka panjang dan nilai properti.
Studi Kasus Lokal: Strategi Adaptasi Masyarakat
Contoh nyata dari upaya adaptasi meliputi:
Faktor Penentu Konsistensi Skor
Skor antara kedua wilayah relatif homogen karena:
Namun, perbedaan preferensi kerja dan status lahan memengaruhi dinamika ekonomi dan keberlanjutan jangka panjang di kedua RT.
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Studi ini relevan bagi penyusunan kebijakan adaptasi iklim berbasis lokal, khususnya untuk:
Rekomendasi strategis mencakup:
Kesimpulan
Kapasitas masyarakat menghadapi perubahan iklim bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga daya adaptasi sosial, pengetahuan lokal, dan partisipasi komunitas. Temuan penting menunjukkan bahwa:
Studi ini dapat menjadi model praktik baik untuk daerah pesisir lain di Indonesia yang menghadapi ancaman serupa. Dengan pendekatan berbasis aset dan penghidupan berkelanjutan, ketahanan lokal bisa dibangun dari bawah ke atas, dengan memanfaatkan apa yang dimiliki, bukan apa yang tidak dimiliki.
Sumber : Rahmawati, D., & Fariz, T. R. (2024). Kajian Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim Berbasis Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kota Semarang. Desa-Kota: Jurnal Perencanaan Wilayah, Kota, dan Permukiman, 6(2), 150–161.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Layanan air dan sanitasi bukan hanya soal infrastruktur, melainkan tentang visi peradaban. Itulah pelajaran penting yang dapat dipetik dari studi komprehensif “Managing Water and Wastewater Services in Finland, 1860–2020 and Beyond” karya Katko dkk. (2022). Artikel ini mengeksplorasi 160 tahun perkembangan layanan air di Finlandia, dari sistem kayu pedesaan hingga infrastruktur canggih dan tahan krisis, menggunakan kerangka PESTEL (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Ekologi, Legal).
Konteks Historis: Air, Api, dan Miasma
Layanan air di Finlandia berakar pada kebutuhan dasar: mencegah kebakaran, memenuhi kebutuhan domestik, dan menjaga kebersihan. Kota Helsinki membangun sistem air publik pertama pada 1876, dipicu oleh risiko kebakaran besar dan kepercayaan masa itu terhadap teori miasma (udara kotor penyebab penyakit). Di pedesaan, sistem pipa kayu dari pinus mulai digunakan sejak 1872, digerakkan oleh kebutuhan peternakan sapi perah.
Keputusan Penting yang Meninggalkan Jejak
Beberapa kebijakan strategis memberi dampak panjang, seperti:
Finlandia menunjukkan bahwa “path dependence”—atau keputusan masa lalu—tidak harus menjadi beban, tapi bisa jadi dasar kuat pembangunan berkelanjutan.
Transformasi Teknologi dan Lingkungan
Perkembangan teknologi air berjalan seiring perubahan sosial:
Tantangan Infrastruktur: Pipa Tua dan Cuaca Ekstrem
Sebagian besar infrastruktur air Finlandia dibangun pasca-Perang Dunia II. Kini, usia pipa dan jaringan mulai menua, menuntut investasi besar dalam peremajaan. Di wilayah utara, masalah seperti tanah beku dan curah hujan tinggi menambah tantangan teknis.
Finlandia menggunakan teknik no-dig untuk rehabilitasi jaringan, memanfaatkan teknologi pengawasan jarak jauh, dan sistem pemompaan cerdas. Namun, kebutuhan akan pendanaan dan inovasi kelembagaan tetap mendesak.
Keberhasilan Pengendalian Polusi Air
Sejak UU Air 1962, Finlandia mewajibkan industri dan kota memperoleh izin pembuangan limbah. Hanya dalam dua dekade, seluruh negara telah memiliki instalasi pengolahan limbah modern.
Industri pulp dan kertas, sempat menjadi penyumbang utama pencemaran, akhirnya tunduk pada tekanan sosial dan regulasi:
Ragam Kelembagaan: Dari Koperasi ke Jaringan Supra-Municipal
Finlandia memiliki model kelembagaan majemuk, termasuk:
Sebagai catatan, pada 2021, Parlemen Finlandia melarang privatisasi utilitas air dan mengesahkan inisiatif rakyat secara bulat—sebuah preseden politik penting di Eropa.
PESTEL: Pilar Analitik Layanan Air di Finlandia
Relevansi Global: Apa yang Bisa Dipelajari?
Bagi negara berkembang, kisah Finlandia memberi pelajaran:
Kesimpulan
Layanan air bukan sekadar pipa dan pompa, tapi refleksi dari visi sosial dan komitmen politik jangka panjang. Studi ini membuktikan bahwa dengan pendekatan integratif—teknologi, regulasi, dan partisipasi—sebuah negara kecil seperti Finlandia dapat menjadi contoh dunia dalam mewujudkan akses air bersih dan sanitasi universal yang berkelanjutan.
Sumber : Katko, T. S., Juuti, P. S., Juuti, R. P., & Nealer, E. J. (2022). Managing Water and Wastewater Services in Finland, 1860–2020 and Beyond. Earth, 3(2), 590–613.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Air di wilayah tropis selama ini dianggap berlimpah. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya: daerah tropis justru menghadapi tekanan luar biasa terhadap sumber daya air, baik karena curah hujan ekstrem, kelembapan tinggi, maupun degradasi kualitas air akibat urbanisasi dan industrialisasi.
Laporan “Hydrology and Water Management in the Humid Tropics” yang diterbitkan oleh UNESCO dan CATHALAC (2002) menampilkan hasil Second International Colloquium yang diselenggarakan di Panama. Konferensi ini diikuti oleh ratusan ahli hidrologi, pembuat kebijakan, dan perwakilan lembaga dari seluruh dunia untuk mendiskusikan strategi pengelolaan air di wilayah tropis.
Kenapa Kawasan Tropis Butuh Pendekatan Khusus?
Wilayah tropis memiliki tantangan yang unik:
Meskipun wilayah tropis memiliki air dalam jumlah besar, ironisnya banyak penduduknya justru kesulitan mendapatkan air bersih, terutama di kawasan perdesaan dan pulau-pulau kecil.
Konferensi Internasional di Panama: Tonggak Global
Konferensi ini berlangsung selama Water Week in Panama (21–26 Maret 1999) dan dihadiri lebih dari 300 peserta dari berbagai belahan dunia. Acara ini mencakup:
Tujuan utamanya adalah mengintegrasikan ilmu pengetahuan, kebijakan, dan komunitas lokal untuk mencapai manajemen air yang berkelanjutan.
Tema Utama dan Studi Kasus Global
Beberapa tema penting yang dibahas:
1. Pendekatan Multidimensional
Makalah oleh O.O. Sodeko menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran kunci dalam pengelolaan air di Afrika Barat, namun partisipasi mereka masih sering diabaikan dalam perencanaan kebijakan.
2. Variabilitas Iklim dan Dampaknya
Contoh dari:
3. Kualitas Air Permukaan dan Bawah Tanah
4. Hidrologi Perkotaan
5. Hidrologi Pulau Tropis
6. Hutan Awan Tropis Pegunungan
Isu Strategis: Kolaborasi, Edukasi, dan Ketahanan
Pesan utama dari konferensi:
Inisiatif Regional: Pendirian CATHALAC
Salah satu pencapaian konkret dari konferensi adalah pendirian CATHALAC (Centro del Agua del Trópico Húmedo para América Latina y El Caribe) pada 1992 di Panama, sebagai pusat riset dan pelatihan kawasan tropis.
Fokus utama CATHALAC:
Pusat ini kini berperan penting sebagai lengan ilmiah organisasi seperti OAS dan turut merancang strategi kebijakan air regional.
Relevansi Bagi Indonesia dan Asia Tenggara
Indonesia sebagai negara tropis dengan ribuan pulau juga menghadapi:
Model kerja CATHALAC dapat direplikasi di Asia Tenggara untuk:
Kesimpulan
Krisis air di wilayah tropis bukan soal kelangkaan kuantitas, melainkan manajemen yang buruk. Hasil dari konferensi ini menegaskan bahwa:
Visi masa depan air di wilayah tropis harus berlandaskan pada:
Sumber : UNESCO & CATHALAC. (2002). Hydrology and Water Management in the Humid Tropics: Proceedings of the Second International Colloquium, 22–26 March 1999, Panama. Technical Documents in Hydrology No. 52. Paris: UNESCO.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Integrated Water Resources Management (IWRM) menjadi konsep yang diadopsi secara luas dalam kebijakan air global, termasuk di kawasan Small Island Developing States (SIDS) seperti negara-negara Karibia. Namun, apakah pendekatan ini benar-benar diterapkan dan efektif?
Makalah teknis dari Global Water Partnership (GWP) tahun 2014 ini membahas 15 negara Karibia berbahasa Inggris dan menyajikan evaluasi menyeluruh atas capaian, tantangan, dan arah ke depan dari implementasi IWRM di kawasan tersebut.
Mengapa IWRM Penting untuk SIDS?
Negara pulau kecil menghadapi tantangan unik:
IWRM menjadi solusi karena:
Kemajuan Nyata: Apa yang Sudah Dicapai?
Sejak 2002, Karibia berkomitmen menyusun rencana IWRM & efisiensi air (WUE) sebelum 2005. Namun hingga 2014, hanya sebagian kecil negara yang benar-benar menerapkannya secara menyeluruh.
Data penting:
Studi Kasus Negara-Negara Karibia
Kelemahan Sistem Saat Ini
Proyek Percontohan: Titik Terang di Tengah Tantangan
Proyek demonstrasi skala kecil justru menunjukkan hasil paling nyata:
Tantangan IWRM di Masa Depan
Makalah ini mengidentifikasi tantangan utama:
Rekomendasi Strategis
Makalah ini menawarkan beberapa strategi kunci:
Opini dan Relevansi Global
Artikel ini relevan bukan hanya untuk Karibia, tapi juga untuk negara-negara seperti Indonesia yang memiliki banyak pulau kecil dengan persoalan serupa:
IWRM dapat diadaptasi untuk wilayah pesisir Indonesia dengan strategi lokal, penguatan peran pemda, dan pendekatan partisipatif yang konsisten.
Kesimpulan
IWRM bukan solusi instan, tapi fondasi penting untuk pengelolaan air berkelanjutan di negara-negara kecil yang rentan. Pengalaman 15 tahun di Karibia menunjukkan bahwa pendekatan ini:
Melalui kombinasi antara kebijakan, aksi komunitas, dan kesadaran politik, pendekatan IWRM dapat menjadi jalan keluar dari krisis air yang kian memburuk.
Sumber : Cashman, A., Cox, C., Daniel, J., & Smith, T. (2014). Integrated water resources management in the Caribbean: The challenges facing Small Island Developing States. Global Water Partnership Technical Focus Paper. ISBN: 978-91-87823-01-5.