Sosiohidrologi

Mengelola Lahan di Bawah Tegakan untuk Tingkatkan Produksi Padi Gogo dan Palawija

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 09 Juli 2025


Latar Belakang: Lahan Kering, Potensi Besar yang Terlupakan

Alih fungsi lahan sawah di Pulau Jawa mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan 144 juta hektare lahan kering, di mana sekitar 91 juta hektare dinilai cocok untuk pertanian. Pengembangan padi gogo dan palawija di bawah tegakan tanaman tahunan (seperti karet, sawit, dan jati) menjadi salah satu strategi alternatif untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Tantangan Budidaya di Bawah Tegakan

1. Intensitas Cahaya Rendah
Naungan dari tanaman utama menurunkan intensitas cahaya. Misalnya, hanya 1–25% cahaya yang diterima di bawah kanopi pohon. Hal ini mengganggu fotosintesis, mengurangi jumlah anakan, luas daun, dan hasil gabah.

2. Ketersediaan Air Terbatas
Pada musim kemarau, budidaya hanya bisa berlangsung jika ada irigasi tambahan. Solusi seperti embung, dam parit, long storage, dan sumur bor sangat vital. Di Bantul, embung meningkatkan hasil panen dari 4.230 kg/ha menjadi 11.700 kg/ha per tahun.

3. Kesuburan Tanah Rendah
Tanah masam, pH < 5, kandungan fosfor rendah, dan kerap kekurangan bahan organik membuat pertumbuhan tanaman kurang optimal. Solusi termasuk penggunaan pupuk organik, pupuk hayati, dan inokulum pelarut fosfat.

Strategi Teknis Meningkatkan Produktivitas

1. Menggunakan Varietas Toleran Naungan dan Kekeringan
Contoh varietas unggul:

  • Rindang 1: Toleran terhadap naungan dan kekeringan, hasil 4,6–6,9 ton/ha
  • Inpago 12: Toleran kekeringan, hasil hingga 10,2 ton/ha
  • Inpago 10: Toleran keracunan Al, hasil 4–7,3 ton/ha

2. Teknik Konservasi Tanah dan Air

  • Teras, guludan, rorak untuk mencegah erosi
  • Mulsa vertikal menekan aliran permukaan hingga 55% dan meningkatkan hasil jagung 47%
  • Embung kecil (7 m × 2,5 m × 3 m) mampu menampung air 52,5 m³, cukup untuk irigasi satu musim

3. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Jerami dari padi gogo digunakan untuk pakan ternak, sementara kotoran ternak kembali menjadi pupuk kandang. Ini menciptakan siklus nutrisi yang efisien dan meningkatkan pendapatan petani.

4. Teknik Irigasi Hemat Air

  • Irigasi tetes, kabut, dan sprinkler
  • Irigasi dilakukan sesuai fase pertumbuhan tanaman untuk menghindari pemborosan

Studi Kasus: Bukti Nyata di Lapangan

  • Selopamioro, Bantul: Embung meningkatkan pendapatan petani hingga Rp26 miliar/musim dari bawang merah dan cabai
  • Blora, Jateng: Produktivitas jagung meningkat dari 5–6 t/ha menjadi 9–10 t/ha dengan pola tanam padi–jagung–semangka, IP naik jadi 300
  • HTR Lampung: Irigasi kabut dan sprinkler digunakan di bawah tegakan, meningkatkan hasil pertanian musim kemarau

Rekomendasi Kebijakan

  • Perluasan areal tanam sebaiknya fokus pada lahan HTR dan perkebunan muda (umur < 3 tahun)
  • Kebijakan insentif: subsidi modal, jaminan pasar, dan harga jual
  • Penyesuaian regulasi agar budidaya di kawasan hutan dan perkebunan dapat dilakukan secara legal dan produktif
  • Program “Gerakan Panen Air” sejalan dengan Inpres No. 1 Tahun 2018 untuk mempercepat pembangunan embung desa

Peluang Pengembangan ke Depan

  • Agroforestri jadi kunci integrasi pertanian lestari
  • Penelitian harus diarahkan pada varietas padi gogo merah yang tahan naungan dan cocok untuk sistem agroforestri
  • Diperlukan pembentukan lembaga diseminasi teknologi agar hasil riset bisa langsung diterapkan petani

Analisis Kritis dan Relevansi Global

Kekuatan:

  • Pendekatan komprehensif: agronomi, konservasi air, sosial ekonomi
  • Studi kasus lokal aplikatif dan terukur
  • Dukungan data teknis varietas dan hasil panen

Kelemahan:

  • Minim analisis pasar dan rantai pasok
  • Belum mengaitkan langsung dengan target SDGs, khususnya SDG 2 (Zero Hunger) dan SDG 6 (Clean Water)

Relevansi dengan Tren Global:

  • Sejalan dengan praktik pertanian konservasi (conservation agriculture) yang dicanangkan FAO
  • Menjawab tantangan pangan masa depan tanpa merusak lingkungan
  • Menyatu dengan prinsip land sharing antara konservasi hutan dan produksi pangan

Kesimpulan: Solusi Lokal untuk Tantangan Nasional

Budidaya padi gogo dan palawija di bawah tegakan tanaman tahunan bukan lagi opsi kedua, tapi strategi utama untuk menghadapi keterbatasan lahan, air, dan degradasi lingkungan. Kuncinya adalah kombinasi antara varietas unggul, pengelolaan tanah dan air yang adaptif, serta dukungan kebijakan yang tepat. Jika diterapkan secara luas dan konsisten, pendekatan ini berpotensi mengubah wajah pertanian Indonesia menjadi lebih berkelanjutan dan tangguh terhadap krisis pangan di masa depan.

Sumber Artikel:
Heryani, Nani; Kartiwa, Budi; Hamdani, Adang; Sutrisno, Nono. (2020). Pengelolaan Tanah dan Air Pada Budidaya Padi Gogo dan Palawija di Bawah Tegakan Tanaman Tahunan untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 14 No. 1, Juli 2020: 1–14.

Selengkapnya
Mengelola Lahan di Bawah Tegakan untuk Tingkatkan Produksi Padi Gogo dan Palawija

Sosiohidrologi

Meningkatkan Produksi Pertanian Lewat Optimalisasi Sumber Daya Air Berbasis Eco-Efficient

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 09 Juli 2025


Pendahuluan: Ketimpangan Air di Negeri Kaya Air

Indonesia memiliki potensi sumber daya air melimpah, namun ironisnya hanya sekitar 20% yang dimanfaatkan secara optimal. Akibatnya, terjadi kekeringan parah di musim kemarau dan banjir saat musim hujan. Padahal, 80% kebutuhan air di Indonesia diarahkan untuk irigasi pertanian, namun produktivitas masih stagnan, terutama di lahan sawah tadah hujan dan lahan kering.

Dampak Langsung Pemanfaatan Air yang Rendah

  • Di musim kemarau, lahan sawah seluas 38.546 ha di NTB dan ribuan hektar di Sumatera dan Jawa mengalami gagal panen.
  • Ketersediaan air nasional saat ini hanya 63 m³/kapita/tahun, jauh dari ideal 1.600 m³/kapita/tahun.
  • Solusi jangka pendek berupa pembangunan 65 bendungan ditargetkan meningkatkan tampungan air hingga 150 m³/kapita/tahun.

Konsep Eco-Efficient dalam Pengelolaan Air

Eco-efficient merupakan pendekatan yang menyeimbangkan efisiensi ekonomi dan ekologi secara bersamaan. Dalam konteks ini, air bukan sekadar komoditas, tapi aset lingkungan yang harus dijaga.

Teknologi yang mendukung konsep ini antara lain:

  • SRI (System of Rice Intensification)
  • Biopori dan micro-hydro
  • Panen air hujan (rainwater harvesting)
  • Irigasi hemat air seperti big gun sprinkler

Studi Kasus: Strategi Lokal, Dampak Nasional

1. DAS Citarum Hulu: Dam Parit Turunkan Banjir

  • Diperlukan 10 dam parit dengan kapasitas 16.000 m³/dam
  • Mampu menurunkan debit banjir rata-rata hingga 15 m³/detik
  • Volume air yang ditahan: 46,89 juta m³

2. Karawang: Mikrodam Dorong IP-300

  • Sebelumnya hanya IP-200 karena kekeringan di musim tanam ketiga
  • Empat mikrodam dibangun di saluran drainase Cibengbang
  • Hasil: petani bisa tanam 3 kali setahun (IP-300) di lahan 1.000 ha

3. Way Seputih, Lampung Tengah: Pompa Sungai untuk Tadah Hujan

  • Debit sungai 3,061 m³/detik digunakan untuk irigasi musim kemarau
  • Indeks tanam meningkat dari IP-100 ke IP-200
  • Target cakupan: lahan 10 ha menggunakan pompa dan saluran portable

4. Kawasan Jagung, Lampung: Irigasi Hemat Air

  • Irigasi big gun sprinkler digunakan dengan jangkauan 50 meter
  • Hasil tongkol jagung tertinggi dicapai dengan penggunaan 85% air dari kebutuhan menurut FAO: 82,06 kg/plot
  • Lebih tinggi dari penggunaan 100% (65,25 kg) atau 70% (72,83 kg)

5. Embung di Tanah Merah, Sulawesi Tenggara

  • Embung dibangun hanya dengan mengandalkan curah hujan
  • Volume embung penuh pada akhir musim hujan, menjamin irigasi musim kemarau
  • Mengandalkan catchment area dan neraca air embung

Strategi Infrastruktur Nasional: Skala Besar dan Terintegrasi

  • 2015–2016: Dibangun 2.030 unit embung, dam parit, dan long storage
  • Target 2017–2019:
    • 75.328 titik embung
    • 170.483 paket pemanfaatan air sungai
    • 8.781 dam parit
    • Tambahan 29 bendungan baru dengan kapasitas 2 miliar m³/tahun
  • Total 230 bendungan cukup untuk 11% layanan lahan irigasi dari 7,2 juta ha

Dampak terhadap Indeks Pertanaman dan Produksi

Optimalisasi air terbukti:

  • Meningkatkan indeks pertanaman (IP) dari 100 menjadi 300
  • Memungkinkan perluasan areal tanam, khususnya di musim kemarau
  • Mendukung target swasembada pangan dengan memaksimalkan musim tanam

Blue Water dan Green Water: Menyatukan Hulu ke Hilir

  • Blue Water: air dari sungai, danau, atau air tanah yang digunakan untuk irigasi
  • Green Water: kelembaban tanah yang langsung diserap tanaman melalui hujan
  • Saat ini, proporsi green water di Asia tropis 65% dan blue water 35%
  • Target keseimbangan ideal: Green 55% – Blue 45%
  • Prinsip distribusi: efisien, hemat, dan adil

Kebijakan dan Kelembagaan: Menjaga Keberlanjutan

  • Kementerian Pertanian dan PUPR harus terus mengembangkan:
    • Infrastruktur air skala mikro hingga makro
    • Lembaga petani pengelola air
    • Skema konservasi berbasis DAS
  • Fokus pada keberlanjutan dan mencegah konflik air saat musim tanam

Analisis dan Tinjauan Kritis

Keunggulan:

  • Penelitian ini kuat secara teknis dan data, menyertakan hasil lapangan nyata
  • Menawarkan solusi konkret dan aplikatif di berbagai kondisi agroklimat

Kelemahan:

  • Masih minim pembahasan tentang tantangan sosial-politik dalam pengelolaan air
  • Belum mengeksplorasi potensi kolaborasi lintas sektor (misal: swasta, NGO)

Perbandingan dengan Tren Global:

  • Sejalan dengan prinsip Integrated Water Resources Management (IWRM) yang diusung dalam World Water Forum
  • Konsisten dengan target FAO dalam meningkatkan produksi per tetes air
  • Relevan dengan ancaman nyata: perubahan iklim dan degradasi lahan

Kesimpulan: Air sebagai Faktor Penentu Masa Depan Pertanian

Optimalisasi pemanfaatan sumber daya air bukan sekadar teknis, tetapi juga ekologi, sosial, dan kebijakan. Dengan pendekatan eco-efficient, pemanfaatan air dapat meningkatkan produksi pertanian secara signifikan tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan. Dari Karawang hingga Sulawesi Tenggara, studi kasus yang disajikan membuktikan bahwa indeks tanam bisa melonjak, gagal panen dapat ditekan, dan keseimbangan ekosistem tetap terjaga.

Sumber Artikel:
Sutrisno, Nono & Hamdani, Adang. (2019). Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Air untuk Meningkatkan Produksi Pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan, Vol. 13 No. 2, Desember 2019: 73–88.

Selengkapnya
Meningkatkan Produksi Pertanian Lewat Optimalisasi Sumber Daya Air Berbasis Eco-Efficient

Sosiohidrologi

Memahami Relasi Sosial Sungai Mendorong Transformasi Pengelolaan Air Lingkungan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 08 Juli 2025


Pengantar: Sungai Tidak Hanya Aliran Air

Selama beberapa dekade, pendekatan konvensional dalam pengelolaan air lingkungan khususnya environmental flows telah berfokus pada aspek biofisik. Sungai dipandang sebagai objek alamiah yang dapat dikendalikan dan dimanfaatkan secara teknokratik. Namun, pendekatan ini mengabaikan satu dimensi penting: relasi sosial antara manusia dan sungai. Artikel oleh Anderson et al. (2019) mengajukan kritik tajam terhadap pendekatan ini dan menyerukan perlunya pemahaman bahwa sungai adalah sistem sosial-ekologis yang terbentuk dari interaksi dinamis antara manusia, ekosistem, dan budaya.

Definisi Baru Environmental Flows

Dalam Brisbane Declaration 2018, environmental flows didefinisikan sebagai kuantitas, waktu, dan kualitas aliran air tawar yang dibutuhkan untuk menjaga ekosistem perairan dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung padanya. Ini menandai pergeseran dari pendekatan teknis menjadi pendekatan yang inklusif secara sosial.

Evolusi Paradigma: Dari Aliran ke Relasi

Historisnya, pendekatan awal seperti Montana Method dan IFIM hanya mengukur debit minimum demi perlindungan ekologi. Tapi sejak 1990-an, mulai dikembangkan metodologi holistik seperti:

  • BBM (Building Block Methodology) – mempertimbangkan kebutuhan ekologi dan sosial
  • DRIFT (Downstream Response to Imposed Flow Transformation) – memberi bobot seimbang antara dampak biofisik dan sosial

Meski metodologi ini menyertakan aspek sosial, banyak yang masih membatasi manusia sebagai pengguna pasif, bukan sebagai bagian integral dari ekosistem sungai.

Studi Kasus: Integrasi Sosial dalam Pengelolaan Aliran Sungai

1. Sungai Patuca, Honduras

Populasi: Komunitas Miskito dan Tawahka
Pendekatan: Workshop dan pemetaan partisipatif
Hasil: Aliran minimum disesuaikan untuk menjaga transportasi air, pertanian dataran banjir, dan habitat ikan.
Catatan Penting: Informasi lokal dijadikan dasar utama rekomendasi aliran.

2. Sungai Gangga, India

Populasi: 80 juta pengunjung dalam Kumbh Mela 2013
Metode: Evaluasi kebutuhan budaya dan spiritual melalui teks dan wawancara
Hasil: Pemerintah menambah debit aliran sebesar 200–300 m³/s selama 2 bulan
Signifikansi: Aliran air untuk ibadah mendapat prioritas tertinggi, melebihi aspek ekologis.

3. Sungai Athabasca, Kanada

Populasi: First Nation ACFN dan MCFN
Pendekatan: Penetapan Aboriginal Base Flow (ABF) dan Aboriginal Extreme Flow (AXF)
Hasil: Parameter aliran minimum berdasarkan hak-hak adat dan pengalaman sejarah lokal
Signifikansi: Munculnya kerangka tata kelola berbasis konsultasi dan akomodasi hak adat.

4. Murray–Darling Basin, Australia

Pendekatan: Cultural Flow Assessments
Populasi: Wamba Wamba dan Ngemba
Temuan: Masyarakat adat memiliki hak atas “cultural water” untuk menjaga spiritualitas dan ekonomi lokal.
Alokasi: Disesuaikan dengan kebutuhan budidaya ikan, tempat suci, dan konektivitas sungai-billabong.

5. Sungai Kakaunui dan Orari, Selandia Baru

Pendekatan: Cultural Flow Preference Studies (CFPS)
Populasi: Suku Maori
Temuan: Debit minimum di bawah 350 L/s dianggap tidak layak secara spiritual dan ekologis
Hasil: Maori menuntut kebijakan air yang menjamin "feel" spiritual sungai tetap hidup dan sehat.

Angka dan Fakta Penting

  • 80 juta peziarah mengikuti Kumbh Mela 2013 di Sungai Gangga
  • 350–650 L/s debit air minimum yang dianggap layak secara budaya di Kakaunui
  • 200–300 m³/s debit tambahan yang dialokasikan untuk Gangga oleh pemerintah India selama festival
  • >90% waktu selama Kumbh Mela, rekomendasi debit berhasil dipenuhi
  • 2 alokasi kunci di Kanada: ABF & AXF, berbasis praktik adat

Analisis Kritis: Tantangan & Peluang

Tantangan utama dari pendekatan baru ini adalah mengintegrasikan epistemologi lokal dalam struktur tata kelola yang masih modernistik dan saintifik. Sebagian besar metodologi masih berangkat dari asumsi bahwa alam dan manusia terpisah, sehingga nilai-nilai relasional dan spiritual sering tidak dianggap ilmiah.

Peluang besar justru terletak pada tren baru seperti:

  • Pemberian status hukum personifikasi sungai (contoh: Whanganui River, NZ)
  • Deklarasi Global Brisbane 2018 yang mendorong aksi lintas sektor
  • SDG 6 dan UNDRIP yang mengakui hak masyarakat adat atas air

Hubungan dengan Tren Global

Artikel ini sangat relevan dalam konteks globalisasi isu air:

  • Isu krisis air tidak hanya tentang volume, tapi juga keadilan distribusi
  • Meningkatnya pengakuan hak masyarakat adat dan spiritualitas dalam pengelolaan sumber daya
  • Kebutuhan akan tata kelola kolaboratif yang menggabungkan science dan sense

Kesimpulan: Dari Objek ke Subjek

Sungai bukan hanya objek yang dikelola, tetapi subjek sosial dan spiritual dalam kehidupan masyarakat. Dalam era perubahan iklim dan ketimpangan sosial, pendekatan yang lebih inklusif dan relasional sangat penting untuk keberlanjutan jangka panjang. Artikel ini menegaskan bahwa environmental flow bukan semata soal debit air, tetapi juga tentang aliran nilai, hak, dan relasi manusia yang hidup berdampingan dengan sungai.

Sumber Artikel:
Anderson, E. P., Jackson, S., Tharme, R. E., et al. (2019). Understanding rivers and their social relations: A critical step to advance environmental water management. WIREs Water, 6(6).

Selengkapnya
Memahami Relasi Sosial Sungai Mendorong Transformasi Pengelolaan Air Lingkungan

Sosiohidrologi

Mengelola Sungai Secara Sosial-Ekologis untuk Masa Depan Lingkungan yang Adil

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 08 Juli 2025


Pendahuluan: Sungai Bukan Sekadar Sumber Daya Alam

Selama puluhan tahun, pengelolaan air dilakukan secara teknokratis, memisahkan sungai dari konteks sosial, budaya, dan spiritual masyarakat yang menggantungkan hidup padanya. Artikel oleh Anderson dkk. ini menekankan bahwa sungai adalah sistem sosial-ekologis menghubungkan manusia, ekosistem, dan nilai-nilai budaya dalam satu jaringan interdependen yang kompleks.

Makalah ini menyintesis konsep environmental flows dari perspektif baru, yaitu memasukkan relasi sosial dan budaya dalam menentukan alokasi air lingkungan, yang sebelumnya hanya berbasis sains biofisik. Mereka menyerukan pendekatan kolaboratif antara ilmu alam dan sosial untuk menjamin keberlanjutan air dan keadilan sosial.

Konsep Aliran Lingkungan dan Evolusi Pendekatannya

Environmental flows didefinisikan sebagai volume, waktu, dan kualitas aliran air yang diperlukan untuk menjaga kelestarian ekosistem akuatik, serta mendukung budaya, ekonomi, dan kesejahteraan manusia. Namun, pendekatan historis selama dekade-dekade awal terlalu fokus pada aspek teknis dan ekologis, mengabaikan:

  • Kebutuhan masyarakat adat
  • Nilai spiritual terhadap sungai
  • Penghidupan berbasis sungai
  • Identitas dan tempat sakral

Makalah ini menyajikan transisi dari metode hydrology-based (misal: Montana Method dan PHABSIM) menuju pendekatan holistik seperti BBM (Building Block Methodology) dan DRIFT yang mulai mempertimbangkan nilai sosial dan budaya secara eksplisit.

Relasi Sosial-Sungai dalam Studi Kasus Global

1. Sungai Patuca, Honduras

  • Komunitas Miskito dan Tawahka sangat bergantung pada Sungai Patuca untuk transportasi, pertanian banjir, dan perikanan.
  • Peneliti melakukan wawancara, pemetaan partisipatif, dan analisis budaya lokal untuk menentukan tingkat aliran minimum.
  • Rekomendasi aliran mempertimbangkan navigasi kapal, habitat ikan, dan banjir musiman.

2. Sungai Gangga, India

  • Dianggap suci oleh jutaan umat Hindu. Aliran air diperlukan untuk ritual seperti Kumbh Mela yang dihadiri 80 juta orang (2013).
  • WWF bersama komunitas lokal mengembangkan metode cultural flow requirements.
  • Pemerintah setempat menyetujui penambahan 200–300 m³/detik aliran air untuk mendukung festival.

3. Sungai Athabasca, Kanada

  • Dihubungkan erat dengan hak-hak adat First Nations (ACFN & MCFN) dalam Treaty No. 8.
  • Penurunan debit akibat industri pasir minyak mengancam hak spiritual, ekonomi, dan akses lahan.
  • Dikenalkan konsep Aboriginal Base Flow dan Aboriginal Extreme Flow sebagai standar minimum keberlanjutan sosial.

4. Murray-Darling Basin, Australia

  • Komunitas Wamba Wamba dan Ngemba melakukan penilaian terhadap situs budaya menggunakan metode semi-structured interview dan photo elicitation.
  • Mendorong cultural water entitlements sebagai bagian dari hak milik dan pengelolaan air.

5. Kakaunui dan Orari, Selandia Baru

  • CFPS (Cultural Flow Preference Study) digunakan oleh suku Māori untuk menilai kualitas spiritual dan kesejahteraan lingkungan berdasarkan debit sungai.
  • 350 L/detik di Kakaunui dan 900 L/detik di Orari dianggap minimum yang bisa diterima untuk mempertahankan mauri (jiwa sungai).

Perkembangan Global dalam Personifikasi Sungai

Beberapa negara seperti India, Selandia Baru, dan Kolombia telah mengakui sungai sebagai subjek hukum dengan status “personhood”. Pendekatan ini tidak hanya melindungi hak sungai, tapi juga mendorong timbal balik moral dan spiritual antara manusia dan sungai.

Contohnya:

  • Sungai Whanganui di Selandia Baru diakui sebagai entitas hidup oleh negara.
  • Masyarakat Lumbee di AS menyatakan bahwa identitas sungai dan komunitasnya saling membentuk.

Kritik terhadap Kerangka Lama: SUMHA dan ELOHA

  • Kerangka seperti ELOHA (Ecological Limits of Hydrologic Alteration) dan SUMHA masih terlalu fokus pada ecosystem services yang menempatkan sungai sebagai penyedia barang dan jasa.
  • Artikel ini menyatakan bahwa relasi manusia-sungai bersifat timbal balik, bukan sekadar ekstraksi.

Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan

1. Dekonstruksi Paradigma Modern
Ilmu tentang sungai perlu menerima bahwa pengetahuan ilmiah juga bersifat sosial dan historis.

2. Penguatan Kapasitas Sosial dalam Penilaian Aliran
Partisipasi penuh komunitas lokal, khususnya masyarakat adat, harus menjadi landasan pengambilan keputusan alokasi air.

3. Pluralitas Cara Pandang dan Epistemologi
Pendekatan ilmiah perlu membuka ruang untuk cara tahu lain seperti spiritualitas, memori kolektif, dan pengalaman turun-temurun.

4. Ko-produksi Pengetahuan
Interdisiplin menjadi keharusan, memadukan hidrologi, antropologi, hukum adat, dan ekologi masyarakat.

Kesimpulan

Studi ini membuka babak baru dalam pengelolaan air lingkungan dengan menempatkan manusia sebagai bagian dari sungai, bukan entitas terpisah. Pendekatan ini memperkuat:

  • Keberlanjutan ekologis
  • Keadilan sosial
  • Kesejahteraan spiritual dan kultural

Artikel ini menjadi referensi penting dalam menggeser narasi pengelolaan air dari sekadar teknis menjadi humanistik dan berkeadilan.

Sumber Asli:
Anderson, E.P., Jackson, S., Tharme, R.E., et al. Understanding rivers and their social relations: A critical step to advance environmental water management. WIREs Water, 2019; 6(6). doi:10.1002/wat2.1381.

Selengkapnya
Mengelola Sungai Secara Sosial-Ekologis untuk Masa Depan Lingkungan yang Adil

Sosiohidrologi

Panduan Kelola Air Tingkatkan Ketahanan Pertanian dan Kehutanan di Tengah Krisis Iklim

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 08 Juli 2025


Pendahuluan

Finlandia, negara dengan bentang alam yang kaya akan hutan, lahan pertanian, dan sumber daya air, menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan air seiring meningkatnya tekanan dari perubahan iklim. Dokumen berjudul Water Management Guidelines for Agriculture and Forestry (2020), diterbitkan oleh Ministry of Agriculture and Forestry Finlandia, menawarkan pendekatan strategis dan praktis berbasis ilmiah terhadap pengelolaan air yang berkelanjutan. Panduan ini menjadi pedoman penting dalam menjawab tantangan agrikultur modern, kelestarian ekosistem, dan mitigasi krisis iklim.

Latar Belakang dan Tujuan Panduan

Panduan ini ditulis oleh Olle Häggblom, Laura Härkönen, Samuli Joensuu, Ville Keskisarja, dan Helena Äijö. Tujuannya adalah menyusun arahan kebijakan dan praktik teknis untuk mengelola air secara berkelanjutan di lahan pertanian dan hutan. Fokusnya pada:

  • Mitigasi dampak perubahan iklim
  • Peningkatan kualitas air
  • Pemeliharaan keanekaragaman hayati
  • Penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Air dan Lahan

1. Di antara prediksi paling menonjol adalah peningkatan curah hujan musim dingin hingga tahun 2069, yang akan meningkatkan limpasan dan pencucian nutrien di lahan tanpa salju. Hal ini diproyeksikan berdampak pada kelebihan air di ladang, yang mengganggu pertumbuhan tanaman dan memperburuk erosi serta kompaksi tanah.

2. Tanah gambut menjadi sorotan penting. Drainase yang tidak terkendali mempercepat dekomposisi bahan organik, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Misalnya, budidaya di lahan gambut menyumbang 14% dari total emisi gas rumah kaca Finlandia, bahkan melebihi emisi dari mobil.

Tujuan Strategis Pengelolaan Air yang Berkelanjutan

1. Meningkatkan produktivitas lahan pertanian
Drainase yang optimal meningkatkan daya dukung tanah, mengurangi pemadatan, dan membantu tanaman tumbuh maksimal. Keseimbangan kadar air di tanah juga penting untuk penyerapan karbon yang efektif.

2. Mendorong pertumbuhan hutan secara berkelanjutan
Drainase pada tanah gambut memungkinkan pohon tumbuh dengan lebih baik, meningkatkan daya serap karbon dan suplai kayu untuk bioekonomi.

3. Mengurangi beban pencemaran air
Studi MetsäVesi menunjukkan bahwa 25% beban fosfor dan 16% beban nitrogen di wilayah tangkapan hutan berasal dari kegiatan kehutanan.

Enam Pilar Utama Strategi Pengelolaan Air

1. Governance (Tata Kelola)
Sinkronisasi kebijakan pertanian dan kehutanan diperlukan. Misalnya, pemeliharaan saluran air dan perlindungan lahan gambut harus dilakukan lintas sektor secara terintegrasi.

2. Pendanaan dan Insentif
Panduan merekomendasikan peningkatan alat kebijakan fiskal untuk mendukung proyek drainase ramah lingkungan dan restorasi ekosistem.

3. Perencanaan dan Implementasi
Rencana tindakan harus berbasis skala DAS (daerah aliran sungai), dengan pemetaan dan pemodelan hidrologi yang cermat.

4. Riset dan Inovasi
Masih kurang data tentang dampak drainase pada gas rumah kaca dan kualitas air. Teknologi seperti sensor, pengendalian jarak jauh, dan penggunaan plastik daur ulang di sistem drainase menjadi fokus penelitian lanjutan.

5. Pendidikan dan Pelatihan
Peningkatan kapasitas teknis bagi perencana, pelaksana proyek, dan petani sangat krusial.

6. Digitalisasi
Penggunaan sistem informasi spasial, pemantauan daring, dan alat permodelan untuk deteksi dini banjir dan kekeringan akan memperkuat adaptasi.

Solusi Berbasis Alam sebagai Strategi Utama

Konsep nature-based solutions menekankan penggunaan bendungan alami, lahan basah buatan, dan saluran air dua tingkat untuk mengelola limpasan, mengurangi erosi, serta mendukung keanekaragaman hayati.

Studi Kasus dan Data Kunci

Studi: Proyek MetsäVesi (2019)

  • Forestry menyumbang 25% fosfor, 16% nitrogen, dan 4% karbon dalam area tangkapan hutan.
  • Menunjukkan efek jangka panjang dari drainase kehutanan terhadap kualitas air.

Tren: Drainase Hutan (1909–2019)

  • Telah terjadi lonjakan signifikan dalam drainase pertama dan pemeliharaan saluran parit.
  • Rencana terbaru tidak lagi menetapkan target per hektar, tetapi mengedepankan pengelolaan kualitas.

Fakta Iklim:

  • Panjang musim tanam meningkat menjadi 105–185 hari tergantung wilayah.
  • Curah hujan tahunan 500–750 mm.
  • Drainase yang salah mengakibatkan pencemaran dan degradasi tanah.

Kritik dan Nilai Tambah

Meski panduan ini kuat dalam menyelaraskan berbagai kebijakan nasional dan internasional, masih ada tantangan nyata:

  • Kurangnya data sistematis terhadap kondisi drainase aktual di lapangan.
  • Pendekatan sukarela di sektor pertanian dalam pengurangan fosfor belum cukup untuk memenuhi standar Uni Eropa.
  • Ketimpangan antara peran publik dan swasta dalam pelaksanaan juga perlu dikaji lebih lanjut.

Namun demikian, pendekatan berbasis DAS, integrasi solusi alami, dan digitalisasi memberikan kerangka kerja yang kuat dan adaptif, sangat relevan bagi negara lain dengan kondisi agroklimat serupa.

Kesimpulan

Panduan pengelolaan air ini menjadi blueprint penting untuk memastikan keberlanjutan sektor agrikultur dan kehutanan di era perubahan iklim. Dengan pendekatan interdisipliner, berbasis data dan inovasi, serta mendorong partisipasi lintas sektor, Finlandia memberikan contoh praktik terbaik dalam menyeimbangkan produktivitas ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Sumber Asli
Häggblom, Olle; Härkönen, Laura; Joensuu, Samuli; Keskisarja, Ville; Äijö, Helena. Water Management Guidelines for Agriculture and Forestry. Publications of the Ministry of Agriculture and Forestry 2020:12. ISBN PDF: 978-952-366-381-7.

Selengkapnya
Panduan Kelola Air Tingkatkan Ketahanan Pertanian dan Kehutanan di Tengah Krisis Iklim

Sosiohidrologi

Aksi Kolektif dan Visi Bersama Tingkatkan Kapasitas Komunitas dalam Konservasi Air Kota

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 08 Juli 2025


Pendahuluan: Krisis Air dan Peran Masyarakat Kota

Kota Jakarta menghadapi tantangan ganda dalam pengelolaan sumber daya air: meningkatnya permintaan akibat urbanisasi dan ancaman iklim berupa banjir serta kekeringan ekstrem. Studi ini berfokus pada bagaimana kapasitas komunitas dapat menjadi kekuatan dalam konservasi sumber daya air di kawasan danau buatan sebagai bagian dari program normalisasi sungai.

Dalam konteks ini, aksi kolektif, pemberdayaan masyarakat, dan visi bersama dievaluasi sebagai faktor utama dalam membentuk kapasitas komunitas dalam konservasi air, khususnya di sekitar Danau Kampung Bintaro dan Danau Cavalio.

Tujuan Penelitian

  1. Mengukur pengaruh aksi kolektif, pemberdayaan masyarakat, dan visi bersama terhadap kapasitas komunitas dalam konservasi air kota.
  2. Membandingkan efek ketiga variabel tersebut di empat lokasi berbeda berdasarkan kedekatannya dengan danau.

Metodologi: Kuantitatif dan Berbasis Lokasi

Penelitian ini menggunakan desain kausal dengan pendekatan kuantitatif. Data dikumpulkan dari 300 responden melalui kuesioner di 4 klaster lokasi:

  • Klaster 1: Sekitar Danau Kampung Bintaro
  • Klaster 2: Sekitar Danau Cavalio
  • Klaster 3 & 4: Area pembanding di utara dan selatan dari klaster utama

Analisis dilakukan dengan Principal Component Analysis (PCA) dan regresi linier berganda untuk mengevaluasi hubungan variabel.

Profil Sosial Ekonomi Responden

  • Status Kepemilikan Rumah: Di Klaster 1–3 mayoritas rumah dimiliki sendiri (68–80%), sementara Klaster 4 lebih banyak rumah sewa (48%).
  • Asal Responden: Mayoritas Klaster 1 lahir di lokasi (62%), sementara Klaster 4 didominasi pendatang dari luar Jakarta (57%).
  • Pengalaman Banjir: Klaster 1 & 2 sering terdampak banjir sebelum pembangunan danau; Klaster 4 tidak pernah mengalami banjir.
  • Lokasi Kerja: 70 responden di Klaster 4 bekerja di sekitar danau, dibandingkan hanya 37 orang di Klaster 1.

Hasil Utama: Analisis Tiga Pilar Kapasitas Komunitas

1. Aksi Kolektif

Aksi kolektif terbukti sangat berpengaruh di Klaster 1, dengan skor loading tinggi untuk indikator seperti:

  • Partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan
  • Koordinasi antar penyedia layanan
  • Jaringan sosial yang saling percaya dan membantu

Klaster 4 menunjukkan tingkat kepercayaan sosial yang rendah, diduga karena banyaknya penduduk baru yang belum membentuk ikatan sosial kuat.

Data Regresi:

  • Semua Area: p = 0.000**
  • Klaster 1: p = 0.000**
  • Klaster 3: p = 0.058
  • Klaster 2 dan 4: Tidak signifikan

2. Pemberdayaan Masyarakat

Indikator yang dominan berbeda antar klaster:

  • Klaster 1: Kemampuan belajar dari pengalaman banjir masa lalu
  • Klaster 2: Efektivitas dalam menyepakati rencana lingkungan
  • Klaster 3: Keberhasilan mengatasi masalah kesehatan lingkungan
  • Klaster 4: Kemampuan mengenali masalah & kebutuhan masyarakat

Menariknya, Klaster 4 yang sebelumnya kurang memiliki aksi kolektif ternyata menunjukkan pemberdayaan paling signifikan terhadap kapasitas komunitas.

Data Regresi:

  • Klaster 4: p = 0.001**
  • Klaster lain: Tidak signifikan

3. Visi Bersama

Seluruh klaster menunjukkan pergeseran visi bersama dari ketakutan banjir ke kekhawatiran akan kelangkaan air bersih. Faktor utama meliputi:

  • Kekhawatiran terhadap pencemaran air tanah
  • Kehilangan spesies ikan dan ekosistem danau
  • Kebutuhan akan lingkungan bersih dan ruang terbuka
  • Kualitas hidup: layanan kesehatan dan sosial

Data Regresi:

  • Semua Area: p = 0.004*
  • Klaster 1: p = 0.005**
  • Klaster 4: p = 0.001**

Analisis Perbandingan Antar Klaster

Klaster 1:
Didominasi warga asli yang memiliki ikatan sosial kuat. Kombinasi aksi kolektif dan visi bersama menjadi pendorong utama kapasitas komunitas. Pengalaman banjir memunculkan kesadaran kolektif untuk perubahan.

Klaster 2:
Komunitas heterogen dengan keberadaan kelompok petani yang aktif dalam konservasi danau. Meskipun aksi kolektif tak signifikan, peran petani menonjol dalam pemberdayaan lokal.

Klaster 3:
Berada di dataran tinggi dan tidak terdampak banjir, namun tetap menunjukkan keterikatan sosial yang tinggi. Sayangnya, kurangnya waktu sosial akibat jarak kerja menurunkan semangat gotong royong.

Klaster 4:
Area dengan tingkat ekonomi lebih rendah dan banyak penduduk baru, menyebabkan jaringan sosial lemah. Namun, kesadaran akan peran individu terhadap kualitas air mendorong pemberdayaan dan visi bersama sebagai faktor dominan.

Diskusi: Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya

Berbeda dari studi Brinkman (2012) di DAS Kaskaskia, AS, yang menunjukkan pemberdayaan sebagai faktor paling signifikan, penelitian ini menemukan variasi antar lokasi. Tidak ada satu pendekatan tunggal yang berlaku universal.

Penelitian ini juga menegaskan teori Mishra et al. (2010), bahwa ikatan emosional dengan tempat tinggal meningkatkan kesiapan komunitas dalam menghadapi bencana dan perubahan lingkungan.

Implikasi Praktis: Strategi untuk Pemerintah dan LSM

  • Pendekatan Lokal Spesifik:
    Strategi konservasi air harus mempertimbangkan karakteristik sosial, ekonomi, dan sejarah komunitas.
  • Bangun Kepercayaan Sosial:
    Aksi kolektif hanya tumbuh di komunitas dengan jaringan sosial kuat. Pemerintah perlu menciptakan ruang interaksi warga.
  • Fasilitasi Visi Bersama:
    Perubahan sikap kolektif akan terjadi jika masyarakat melihat hubungan langsung antara tindakan mereka dan hasil lingkungan.
  • Dorong Pemberdayaan Berbasis Pengalaman:
    Masyarakat yang mengalami banjir menunjukkan kesadaran lebih tinggi. Ini bisa digunakan sebagai basis pelatihan dan kampanye edukatif.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa penguatan kapasitas komunitas untuk konservasi sumber daya air tidak bisa diseragamkan. Perbedaan sosial, ekonomi, dan historis setiap wilayah menciptakan jalur yang unik menuju partisipasi aktif.

Dengan memahami dimensi aksi kolektif, pemberdayaan, dan visi bersama, pengambil kebijakan dan pengelola lingkungan dapat merancang strategi yang lebih tepat sasaran—khususnya untuk kota-kota besar seperti Jakarta yang rentan terhadap krisis air.

Sumber:
W. Mahanani dan Chotib. The influence of collective action, community empowerment, and shared vision to the community capacity in urban water resource conservation. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science, Vol. 200 (2018), 012040. DOI: 10.1088/1755-1315/200/1/012040

Selengkapnya
Aksi Kolektif dan Visi Bersama Tingkatkan Kapasitas Komunitas dalam Konservasi Air Kota
« First Previous page 3 of 9 Next Last »