Memahami Relasi Sosial Sungai Mendorong Transformasi Pengelolaan Air Lingkungan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

08 Juli 2025, 15.33

pixabay.com

Pengantar: Sungai Tidak Hanya Aliran Air

Selama beberapa dekade, pendekatan konvensional dalam pengelolaan air lingkungan khususnya environmental flows telah berfokus pada aspek biofisik. Sungai dipandang sebagai objek alamiah yang dapat dikendalikan dan dimanfaatkan secara teknokratik. Namun, pendekatan ini mengabaikan satu dimensi penting: relasi sosial antara manusia dan sungai. Artikel oleh Anderson et al. (2019) mengajukan kritik tajam terhadap pendekatan ini dan menyerukan perlunya pemahaman bahwa sungai adalah sistem sosial-ekologis yang terbentuk dari interaksi dinamis antara manusia, ekosistem, dan budaya.

Definisi Baru Environmental Flows

Dalam Brisbane Declaration 2018, environmental flows didefinisikan sebagai kuantitas, waktu, dan kualitas aliran air tawar yang dibutuhkan untuk menjaga ekosistem perairan dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung padanya. Ini menandai pergeseran dari pendekatan teknis menjadi pendekatan yang inklusif secara sosial.

Evolusi Paradigma: Dari Aliran ke Relasi

Historisnya, pendekatan awal seperti Montana Method dan IFIM hanya mengukur debit minimum demi perlindungan ekologi. Tapi sejak 1990-an, mulai dikembangkan metodologi holistik seperti:

  • BBM (Building Block Methodology) – mempertimbangkan kebutuhan ekologi dan sosial
  • DRIFT (Downstream Response to Imposed Flow Transformation) – memberi bobot seimbang antara dampak biofisik dan sosial

Meski metodologi ini menyertakan aspek sosial, banyak yang masih membatasi manusia sebagai pengguna pasif, bukan sebagai bagian integral dari ekosistem sungai.

Studi Kasus: Integrasi Sosial dalam Pengelolaan Aliran Sungai

1. Sungai Patuca, Honduras

Populasi: Komunitas Miskito dan Tawahka
Pendekatan: Workshop dan pemetaan partisipatif
Hasil: Aliran minimum disesuaikan untuk menjaga transportasi air, pertanian dataran banjir, dan habitat ikan.
Catatan Penting: Informasi lokal dijadikan dasar utama rekomendasi aliran.

2. Sungai Gangga, India

Populasi: 80 juta pengunjung dalam Kumbh Mela 2013
Metode: Evaluasi kebutuhan budaya dan spiritual melalui teks dan wawancara
Hasil: Pemerintah menambah debit aliran sebesar 200–300 m³/s selama 2 bulan
Signifikansi: Aliran air untuk ibadah mendapat prioritas tertinggi, melebihi aspek ekologis.

3. Sungai Athabasca, Kanada

Populasi: First Nation ACFN dan MCFN
Pendekatan: Penetapan Aboriginal Base Flow (ABF) dan Aboriginal Extreme Flow (AXF)
Hasil: Parameter aliran minimum berdasarkan hak-hak adat dan pengalaman sejarah lokal
Signifikansi: Munculnya kerangka tata kelola berbasis konsultasi dan akomodasi hak adat.

4. Murray–Darling Basin, Australia

Pendekatan: Cultural Flow Assessments
Populasi: Wamba Wamba dan Ngemba
Temuan: Masyarakat adat memiliki hak atas “cultural water” untuk menjaga spiritualitas dan ekonomi lokal.
Alokasi: Disesuaikan dengan kebutuhan budidaya ikan, tempat suci, dan konektivitas sungai-billabong.

5. Sungai Kakaunui dan Orari, Selandia Baru

Pendekatan: Cultural Flow Preference Studies (CFPS)
Populasi: Suku Maori
Temuan: Debit minimum di bawah 350 L/s dianggap tidak layak secara spiritual dan ekologis
Hasil: Maori menuntut kebijakan air yang menjamin "feel" spiritual sungai tetap hidup dan sehat.

Angka dan Fakta Penting

  • 80 juta peziarah mengikuti Kumbh Mela 2013 di Sungai Gangga
  • 350–650 L/s debit air minimum yang dianggap layak secara budaya di Kakaunui
  • 200–300 m³/s debit tambahan yang dialokasikan untuk Gangga oleh pemerintah India selama festival
  • >90% waktu selama Kumbh Mela, rekomendasi debit berhasil dipenuhi
  • 2 alokasi kunci di Kanada: ABF & AXF, berbasis praktik adat

Analisis Kritis: Tantangan & Peluang

Tantangan utama dari pendekatan baru ini adalah mengintegrasikan epistemologi lokal dalam struktur tata kelola yang masih modernistik dan saintifik. Sebagian besar metodologi masih berangkat dari asumsi bahwa alam dan manusia terpisah, sehingga nilai-nilai relasional dan spiritual sering tidak dianggap ilmiah.

Peluang besar justru terletak pada tren baru seperti:

  • Pemberian status hukum personifikasi sungai (contoh: Whanganui River, NZ)
  • Deklarasi Global Brisbane 2018 yang mendorong aksi lintas sektor
  • SDG 6 dan UNDRIP yang mengakui hak masyarakat adat atas air

Hubungan dengan Tren Global

Artikel ini sangat relevan dalam konteks globalisasi isu air:

  • Isu krisis air tidak hanya tentang volume, tapi juga keadilan distribusi
  • Meningkatnya pengakuan hak masyarakat adat dan spiritualitas dalam pengelolaan sumber daya
  • Kebutuhan akan tata kelola kolaboratif yang menggabungkan science dan sense

Kesimpulan: Dari Objek ke Subjek

Sungai bukan hanya objek yang dikelola, tetapi subjek sosial dan spiritual dalam kehidupan masyarakat. Dalam era perubahan iklim dan ketimpangan sosial, pendekatan yang lebih inklusif dan relasional sangat penting untuk keberlanjutan jangka panjang. Artikel ini menegaskan bahwa environmental flow bukan semata soal debit air, tetapi juga tentang aliran nilai, hak, dan relasi manusia yang hidup berdampingan dengan sungai.

Sumber Artikel:
Anderson, E. P., Jackson, S., Tharme, R. E., et al. (2019). Understanding rivers and their social relations: A critical step to advance environmental water management. WIREs Water, 6(6).