Sosiohidrologi

Masyarakat Menilai Kualitas Air: Studi Kasus Pengelolaan Dam Roodeplaat di Afrika Selatan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 08 Juli 2025


Pendahuluan: Tantangan Pengelolaan Air di Negara Kering

Afrika Selatan dikenal sebagai negara dengan tekanan air tinggi dan curah hujan rata-rata hanya 450 mm per tahun—sekitar 60% dari rata-rata global. Di tengah urbanisasi, perubahan iklim, dan pertumbuhan populasi, tantangan dalam pengelolaan air menjadi semakin kompleks. Khususnya di Dam Roodeplaat (RD), yang terletak 24 km dari Kota Tshwane, kualitas air memburuk akibat eutrofikasi parah yang disebabkan oleh alga, cyanobacteria, dan enceng gondok.

Namun, manajemen teknis semata tidak cukup. Studi ini menggali bagaimana masyarakat memandang, merespons, dan ikut serta dalam pengelolaan air di wilayah mereka—sebuah pendekatan berbasis komunitas yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari Integrated Water Resource Management (IWRM).

Metodologi dan Lokasi Penelitian

Dam Roodeplaat terletak di Gauteng Province dengan luas tangkapan air 690 km² dan kapasitas 41,9 juta m³. Survei dilakukan pada 149 responden dari komunitas sekitar seperti Eersterus, Derdepoort, Mamelodi East dan West, serta Sable Hills Estate. Metode pengumpulan data mencakup wawancara tatap muka dan survei daring menggunakan skala Likert dan analisis statistik berbasis model regresi di software R.

Hasil Utama: Hubungan Demografi dengan Persepsi Air

1. Persepsi Kualitas Air dan Tingkat Pendidikan

Data menunjukkan hubungan negatif antara tingkat pendidikan dan persepsi kualitas air: semakin tinggi pendidikan, semakin besar kemungkinan seseorang menilai air sebagai “sangat buruk”.

  • Tanpa koreksi area tinggal: β = -2,41; p = 0.003
  • Dengan koreksi area tinggal: β = -4,64; p = 0.08

Interpretasi: orang terdidik lebih sadar akan bahaya pencemaran dan lebih kritis terhadap pengelolaan kualitas air.

2. Kepuasan Manajemen dan Status Pekerjaan

Pekerjaan menjadi variabel yang paling memengaruhi tingkat kepuasan terhadap pengelolaan:

  • β = -0.76; p = 0.06 (tanpa koreksi)
  • β = -0.93; p = 0.05 (dengan koreksi)

Orang yang bekerja cenderung lebih tidak puas terhadap kinerja manajemen air dibanding pengangguran—mereka merasa ekspektasi tidak terpenuhi.

3. Gender, Pendidikan, dan Efek Air terhadap Komunitas

Laki-laki lebih cenderung percaya bahwa kualitas air berdampak pada komunitas:

  • Gender: β = 2.04; p = 0.07
  • Pendidikan: β = -1.49; p = 0.09

Namun, hubungan ini hilang jika dikoreksi dengan asal tempat tinggal, menunjukkan pentingnya konteks lokal dalam menilai persepsi risiko.

Partisipasi dan Interaksi Masyarakat dalam Pengelolaan Air

4. Tingkat Keterlibatan: Pengaruh Etnisitas

Data menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam pengelolaan air lebih banyak dilakukan komunitas kulit putih:

  • β = 0.52; p = 0.06 (tetap signifikan meski dikoreksi)

Mereka terlibat dalam kegiatan seperti pembersihan eceng gondok secara manual dan kegiatan kebersihan sungai. Sebaliknya, komunitas kulit hitam dan coloured lebih pasif, sebagian besar karena tidak mendapat insentif.

5. Pola Penggunaan Air Berdasarkan Etnis

  • Kulit Hitam: Air digunakan untuk keperluan domestik (mencuci, mandi, memasak), usaha kecil (pembuatan batu bata), dan kegiatan keagamaan seperti pembaptisan.
  • Kulit Putih: Lebih banyak menggunakan air untuk rekreasi (memancing, berperahu) dan irigasi kebun.

Statistik menunjukkan korelasi signifikan antara etnis dan pola pemanfaatan air:

  • β = 0.56; p = 0.0003

Namun, hubungan ini hilang saat dikoreksi untuk area tempat tinggal, menandakan pentingnya pengaruh lokasi pada perilaku masyarakat.

Studi Banding & Relevansi Global

Temuan ini sejalan dengan studi serupa:

  • Di Thailand, masyarakat lokal juga menunjukkan ketidakpercayaan terhadap pengelolaan air oleh pemerintah (Heyd & Neef, 2004).
  • Di Cape Town, Thompson et al. (2013) mencatat bahwa partisipasi aktif meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap sistem air.
  • Yan (2016) di Australia juga menekankan bahwa budaya dan etnis memengaruhi konsumsi air dan perilaku konservasi.

Rekomendasi Strategis dari Penelitian

1. Edukasi Berbasis Komunitas
Tingkatkan kesadaran tentang pencemaran air, mulai dari sekolah hingga program pelatihan masyarakat.

2. Keterlibatan Multi-Level
Kolaborasi antara komunitas lokal, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil penting untuk membangun trust.

3. Pendekatan Bottom-Up
Desain ulang rencana pengelolaan air dengan melibatkan suara warga sejak tahap perencanaan, bukan sekadar pelaksana.

4. Diversifikasi Insentif
Berikan dukungan insentif (finansial atau non-finansial) untuk mendorong partisipasi masyarakat miskin atau pengangguran.

Kesimpulan: Menyatukan Sains dan Suara Warga

Studi ini menjadi bukti bahwa pengelolaan air tidak cukup hanya dengan solusi teknis—persepsi, budaya, dan partisipasi publik berperan vital. Pendekatan IWRM yang mengintegrasikan suara komunitas dapat mendorong pengelolaan air yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Dalam konteks global, studi ini menunjukkan pentingnya pengakuan terhadap keragaman demografis dan budaya dalam merancang strategi konservasi air. Model ini bisa direplikasi di negara-negara berkembang lainnya yang menghadapi tantangan serupa, dari Asia Tenggara hingga Amerika Latin.

Sumber:
Maruapula, K., Yessoufou, K. Y., & Modley, L. S. (2023). Community perceptions, participation, and satisfaction with existing Water Resource Management Plans: a case study of a polluted water system in South Africa. AQUA — Water Infrastructure, Ecosystems and Society, 72(8), 1373–1385. DOI: 10.2166/aqua.2023.208

Selengkapnya
Masyarakat Menilai Kualitas Air: Studi Kasus Pengelolaan Dam Roodeplaat di Afrika Selatan

Sosiohidrologi

Deteksi Dini dan Pemetaan Risiko Banjir Sub DAS Sadar Mojokerto: Analisis HEC-HMS untuk Pengelolaan Sumber Daya Air Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025


Pendahuluan: Tantangan Banjir di Sub DAS Sadar

Banjir merupakan ancaman utama di banyak daerah aliran sungai di Indonesia, termasuk Sub DAS Sadar di Kabupaten Mojokerto. Kawasan ini menjadi perhatian karena tingkat kerawanan banjirnya yang tinggi, dipicu oleh intensitas hujan yang kerap menyebabkan kenaikan debit Sungai Sadar secara signifikan. Dampak banjir tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan ilmiah dan teknologi mutakhir untuk deteksi dini dan mitigasi risiko banjir.

Inovasi Analisis: Model HEC-HMS dan Integrasi SIG

Penelitian oleh Indra Nurdianyoto (2019) menawarkan solusi berbasis teknologi dengan menggabungkan model hidrologi HEC-HMS dan Sistem Informasi Geografis (SIG). HEC-HMS (Hydrologic Engineering Center–Hydrologic Modeling System) adalah perangkat lunak yang mampu memodelkan respons hidrologi DAS terhadap hujan, sementara SIG memungkinkan pemetaan spasial yang detail untuk identifikasi daerah rawan banjir.

Langkah-langkah utama penelitian:

  • Analisis karakteristik fisik Sub DAS Sadar menggunakan ArcGIS sebagai data awal.
  • Kalibrasi dan validasi parameter model hidrologi HEC-HMS berdasarkan kejadian banjir nyata.
  • Evaluasi statistik keandalan model.
  • Analisis tingkat kerawanan banjir melalui pengolahan peta spasial faktor-faktor pengaruh.

Studi Kasus: Sub DAS Sadar, Kabupaten Mojokerto

Sub DAS Sadar adalah bagian dari DAS Brantas yang melintasi Kabupaten/Kota Mojokerto. Daerah ini dikenal sangat rentan terhadap banjir akibat curah hujan tinggi dan perubahan penggunaan lahan yang pesat. Penelitian ini memanfaatkan data spasial dan hidrologi untuk:

  • Mengidentifikasi karakteristik fisik dan hidrologi Sub DAS.
  • Menguji keandalan model prediksi debit banjir.
  • Menyusun peta kerawanan banjir sebagai alat deteksi dini.

Hasil Kalibrasi dan Validasi Model

Keandalan model HEC-HMS diuji dengan tiga parameter statistik utama:

  • Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE): 0,608 (memuaskan)
  • Root Mean Squared Error–Standard Deviation Ratio (RSR): 0,603 (memuaskan)
  • Percent Bias (PBIAS): 0,08% (sangat baik)

Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa model HEC-HMS cukup akurat dalam memprediksi respons debit banjir di Sub DAS Sadar, sehingga dapat diandalkan untuk simulasi dan perencanaan mitigasi risiko.

Faktor Penentu Kerawanan Banjir

Penelitian ini mengidentifikasi enam faktor utama yang memengaruhi tingkat kerawanan banjir:

  • Ketinggian lahan
  • Penggunaan lahan (land use)
  • Jenis tanah
  • Curah hujan
  • Kemiringan lahan
  • Akumulasi aliran (flow accumulation)

Dengan mengintegrasikan faktor-faktor ini ke dalam analisis spasial, peneliti berhasil memetakan zona kerawanan banjir secara detail.

Distribusi Tingkat Kerawanan Banjir

Berdasarkan hasil pemetaan, luas wilayah Sub DAS Sadar terbagi dalam beberapa tingkat kerawanan:

  • Sangat Rendah: 5,9%
  • Rendah: 7,4%
  • Cukup: 27,2%
  • Tinggi: 56,4%
  • Sangat Tinggi: 3,2%

Data ini menegaskan bahwa lebih dari setengah wilayah Sub DAS Sadar masuk kategori kerawanan tinggi, sehingga prioritas mitigasi harus difokuskan pada area ini.

Implikasi dan Manfaat Praktis

Model HEC-HMS yang telah terkalibrasi dan tervalidasi ini sangat bermanfaat untuk:

  • Deteksi dini potensi banjir di Sub DAS Sadar.
  • Penyusunan strategi pengelolaan risiko berbasis data.
  • Pengambilan keputusan cepat oleh pemerintah daerah dan BPBD.
  • Penyusunan rencana tata ruang dan pengendalian pembangunan di kawasan rawan.

Perbandingan dengan Studi Lain

Jika dibandingkan dengan penelitian sejenis di DAS lain di Indonesia, pendekatan integratif antara HEC-HMS dan SIG terbukti lebih efektif dalam menghasilkan peta kerawanan yang presisi. Banyak studi sebelumnya hanya mengandalkan data historis tanpa pemodelan spasial, sehingga kurang akurat dalam prediksi lokasi dan skala banjir.

Kritik dan Saran Pengembangan

Meskipun hasil penelitian ini sangat baik, ada beberapa kritik dan saran:

  • Keterbatasan data: Akurasi model sangat tergantung pada kualitas dan kelengkapan data curah hujan serta penggunaan lahan.
  • Perubahan iklim: Model perlu terus diperbarui agar respons terhadap perubahan pola hujan dan tata guna lahan tetap relevan.
  • Partisipasi masyarakat: Penguatan sistem peringatan dini harus melibatkan masyarakat secara aktif, tidak hanya mengandalkan teknologi.

Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan

Penggunaan HEC-HMS dan SIG dalam pengelolaan banjir kini menjadi standar di banyak negara. Di Indonesia, tren ini sejalan dengan upaya digitalisasi pengelolaan sumber daya air dan integrasi data spasial dalam perencanaan wilayah. Pemerintah daerah yang mampu mengadopsi teknologi ini akan lebih siap menghadapi tantangan perubahan iklim dan urbanisasi pesat.

Opini dan Rekomendasi

Penelitian ini membuktikan bahwa integrasi model hidrologi dan analisis spasial adalah kunci dalam pengelolaan risiko banjir modern. Pemerintah daerah dan praktisi pengairan perlu:

  • Mengadopsi model serupa untuk DAS lain yang rawan banjir.
  • Meningkatkan investasi dalam pengumpulan dan pembaruan data hidrologi serta spasial.
  • Melibatkan masyarakat dalam monitoring dan respons dini banjir.

Selain itu, kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan industri teknologi sangat penting untuk mempercepat adopsi dan pengembangan sistem deteksi dini banjir yang lebih canggih dan responsif.

Kesimpulan

Analisis banjir Sub DAS Sadar dengan HEC-HMS memberikan gambaran nyata bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mitigasi bencana secara efektif. Penerapan model ini tidak hanya meningkatkan akurasi deteksi dini, tetapi juga memperkuat dasar pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumber daya air dan pengurangan risiko bencana di tingkat lokal maupun nasional.

Sumber artikel (bahasa asli):
Nurdianyoto, I. (2019). Analisis Hujan – Debit Banjir Menggunakan Model HEC-HMS Sub DAS Sadar Kabupaten Mojokerto. Tesis Magister Teknik Pengairan, Universitas Brawijaya.

Selengkapnya
Deteksi Dini dan Pemetaan Risiko Banjir Sub DAS Sadar Mojokerto: Analisis HEC-HMS untuk Pengelolaan Sumber Daya Air Berkelanjutan

Sosiohidrologi

Finlandia sebagai Teladan Manajemen Air Terintegrasi: Studi Kasus dan Implikasi untuk Keberlanjutan Ekologi Eropa

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025


Pendahuluan: Pentingnya Manajemen Air Terintegrasi

Air adalah sumber daya vital yang menopang kehidupan dan ekosistem. Namun, pengelolaan air yang berkelanjutan semakin menantang akibat pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan perubahan iklim. Negara-negara Uni Eropa (UE) merespons tantangan ini dengan mengembangkan kebijakan air terintegrasi, menekankan keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan sumber daya ekologi1. Finlandia menjadi contoh utama keberhasilan implementasi kebijakan ini, dengan kekayaan sumber air dan pendekatan inovatif dalam pengelolaannya.

Sejarah & Evolusi Kebijakan Air di Uni Eropa

Kebijakan air UE mengalami evolusi dalam tiga periode utama:

  • 1970–1980-an: Fokus pada kesehatan masyarakat, dengan regulasi kualitas air minum dan perairan rekreasi.
  • 1990-an: Penekanan pada pengurangan polusi, diadopsinya Urban Waste Water Treatment dan Nitrates Directive.
  • 2000-an hingga kini: Penekanan pada integrated management dan keberlanjutan, dengan Water Framework Directive (WFD) sebagai landasan utama1.

WFD tahun 2000 menargetkan perlindungan seluruh sumber air UE, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, dengan standar yang seragam di seluruh negara anggota. Finlandia menjadi salah satu negara yang paling progresif dalam mengadopsi dan menerapkan kebijakan ini.

Studi Kasus: Finlandia, Negara dengan Sumber Air Melimpah

Finlandia menonjol dalam hal pengelolaan air karena:

  • Memiliki 188.000 danau dan kolam (>0,0005 km²), termasuk 56.000 danau besar (>0,01 km²) dan 47 danau sangat besar (>100 km²). Danau terbesar, Saimaa, luasnya mencapai 4.380 km².
  • Total aliran sungai: 3.300 m³/detik; sungai terbesar adalah Vuoksi dan Kemijoki dengan rata-rata aliran 610 m³/detik.
  • Konsumsi air: 408 juta m³/tahun dipompa oleh instalasi air, dengan konsumsi komunitas rata-rata 242 liter/orang/hari.
  • Pengambilan air industri: 9,5 miliar m³/tahun1.

Dengan populasi 5,38 juta dan kepadatan rata-rata 17 jiwa/km², Finlandia memiliki akses air bersih yang sangat baik. 90% penduduk terhubung ke jaringan distribusi air publik, dan lebih dari 80% dilayani sistem pengolahan limbah domestik1.

Inovasi Teknologi & Kebijakan Progresif

Sejak 1970-an, Finlandia telah menerapkan teknologi penginderaan jauh untuk memantau perubahan ekosistem dan kualitas air. Pendekatan ini memastikan bahwa kebijakan kehutanan, pertanian, dan tata ruang selalu mempertimbangkan keberlanjutan sumber air1.

Water Protection Program Finlandia, hasil kolaborasi berbagai kementerian dan lembaga, menetapkan target kuantitatif untuk perlindungan air di sektor pertanian, industri, dan perkotaan. Tujuan utamanya adalah mencegah atau mengurangi eutrofikasi, dan hasilnya terbukti: kualitas air meningkat signifikan bahkan di sekitar kawasan industri dan perkotaan1.

Angka-angka Kunci & Capaian

  • Renewable freshwater resources per capita: 1.700 m³/orang/tahun.
  • Hanya 2,2% dari sumber air terbarukan yang digunakan setiap tahun, menunjukkan efisiensi dan konservasi tinggi.
  • Total sumber air terbarukan: 17 miliar m³/tahun; yang dapat dimanfaatkan sekitar 2% (2,4 miliar m³/tahun)1.
  • 200 proyek pengaturan permukaan air (water level regulation), mayoritas dibangun 1950–1970 untuk mengurangi banjir, mendukung PLTA, dan transportasi air.

Studi Kasus: Implementasi River Basin Management Plans

Semua River Basin Management Plans Finlandia dipublikasikan pada 10 Desember 2009 dan dilaporkan ke Komisi UE pada 19 Maret 2010. Struktur dan pelaksanaannya mengikuti standar WFD, dengan penekanan pada partisipasi publik, pengawasan kualitas air, dan transparansi1.

Perbandingan dengan Negara Lain & Relevansi Global

Finlandia menempati posisi teratas dalam Water Poverty Index (WPI) di antara 147 negara, mengungguli negara-negara lain dalam kapasitas, akses, penggunaan, dan keberlanjutan ekologi air. Menurut laporan PBB dan World Water Council, Finlandia juga menduduki peringkat pertama dalam kualitas air di antara 122 negara1.

Kritik & Tantangan

Meski sukses, Finlandia menghadapi tantangan:

  • Distribusi sumber air tidak merata; wilayah pesisir barat dan selatan yang padat penduduk justru memiliki sumber air berkualitas lebih sedikit.
  • Perubahan iklim berpotensi mengubah pola curah hujan dan debit sungai, sehingga perlu adaptasi kebijakan lebih lanjut.
  • Ketergantungan pada teknologi dan sistem pengawasan yang canggih menuntut investasi berkelanjutan.

Hubungan dengan Tren Industri & Pembelajaran Global

Model Finlandia relevan dengan tren global:

  • Pengelolaan berbasis DAS (Daerah Aliran Sungai) kini diadopsi luas, termasuk di Indonesia, untuk mengintegrasikan perlindungan lingkungan, kebutuhan ekonomi, dan sosial.
  • Kolaborasi multi-stakeholder (pemerintah, masyarakat, industri) terbukti efektif dalam mencapai target keberlanjutan.
  • Penggunaan data dan teknologi (misal penginderaan jauh, monitoring online) menjadi standar baru dalam tata kelola air modern.

Opini & Rekomendasi

Finlandia membuktikan bahwa kebijakan air terintegrasi yang berbasis data, kolaboratif, dan adaptif mampu menjaga keberlanjutan sumber daya alam sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi. Negara-negara lain, khususnya yang memiliki tantangan serupa (banyak danau, sungai, atau rentan polusi), dapat meniru pendekatan Finlandia dengan menyesuaikan pada konteks lokal.

Namun, penting bagi negara berkembang untuk memperhatikan kapasitas teknologi dan sumber daya manusia, serta memastikan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan kebijakan air.

Sumber artikel (bahasa asli):
Filiz Karafak. (2018). Examination of Finland Integrated Water Management Sample of EU’s Hydro Political Approach for Sustainable Ecological Planning. ILIRIA International Review, Vol 8, No 1.

Selengkapnya
Finlandia sebagai Teladan Manajemen Air Terintegrasi: Studi Kasus dan Implikasi untuk Keberlanjutan Ekologi Eropa

Sosiohidrologi

SocioHydrology dan Manajemen Bencana: Mengurai Tantangan Integrasi Ilmu Air dan Sosial di Era Risiko Kompleks

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025


 Pendahuluan: SocioHydrology untuk Zaman Disrupsi

Dalam dekade terakhir, sociohydrology muncul sebagai pendekatan baru dalam studi interaksi masyarakat dan sistem air. Lebih dari sekadar konsep, pendekatan ini menantang paradigma tradisional dalam manajemen risiko bencana, khususnya bencana berbasis hidrologi seperti banjir dan kekeringan. Artikel dari Vanelli et al. (2022) yang menjadi sumber utama dalam tulisan ini mengupas secara sistematis sejauh mana sociohydrology benarbenar bersifat integratif—baik dari segi metode, skala, hingga keterlibatan lintas disiplin dan pemangku kepentingan. Ulasan ini akan merinci temuan kunci, mengangkat studi kasus menarik, serta menyandingkannya dengan perkembangan kontemporer dalam bidang kebencanaan.

 Ketimpangan Fokus: Banjir Dominan, Kekeringan Terpinggirkan

Dalam tinjauan terhadap 44 artikel, Vanelli et al. menemukan bahwa 77,3% studi sociohydrology berfokus pada banjir, sementara kekeringan hanya mendapat porsi 11,4%. Ini amat disayangkan karena data dari EMDat (2021) menunjukkan bahwa kekeringan telah menewaskan 11,7 juta jiwa dan memengaruhi 2,7 miliar penduduk dari 1900 hingga 2018—angka yang bahkan lebih besar dari dampak banjir. Ketimpangan ini mengindikasikan tantangan metodologis dan kurangnya perhatian terhadap risiko bencana yang bersifat perlahan dan tersembunyi seperti kekeringan.

Lebih lanjut, dari studistudi tentang banjir, hanya 26,5% yang secara eksplisit menjelaskan jenis banjir (seperti banjir pesisir atau banjir bandang), memperlihatkan perlunya klasifikasi risiko yang lebih rinci untuk efektivitas mitigasi.

 Skala Analisis yang Terpecah dan Kurang Terintegrasi

Sociohydrology sejatinya mengandalkan pendekatan multiskala. Namun dalam praktiknya, studi yang dianalisis justru memperlihatkan 86,4% menggunakan skala spasial sosial dan fisik yang berbeda, tanpa analisis lintasskala. Sebagai contoh, banyak penelitian yang menggunakan skala rumah tangga atau komunitas untuk komponen sosial, sementara aspek fisiknya dianalisis dalam skala DAS atau floodplain.

Studi yang menggabungkan dua jenis skala ini gagal mengeksplorasi interaksi antarskala, padahal menurut Soranno et al. (2014), crossscale feedbacks merupakan komponen penting dalam sistem kompleks. Tanpa pendekatan lintasskala, kita hanya melihat gambaran potonganpotongan dari keseluruhan sistem, bukan perilaku adaptif masyarakat terhadap dinamika air dari waktu ke waktu.

 Komponen Sosial: Definisi Masih Kabur

Tinjauan menunjukkan bahwa bahkan setelah satu dekade berkembang, definisi tentang "komponen sosial" dalam sociohydrology masih belum ajeg. Lima artikel yang mengaku berlabel sociohydrology bahkan tidak menyertakan komponen sosial sama sekali. Ketika digunakan, variabel yang paling umum antara lain:

  •  Demografi (47,7%)
  •  Memori kolektif, persepsi risiko, dan kesadaran risiko (40,9%)
  •  Pengalaman masa lalu terhadap bencana (27,3%)
  •  Institusi formal dan informal (22,7% & 15,9%)

Namun, istilah seperti "risk awareness" dan "risk perception" sering dipakai secara sinonim, padahal memiliki perbedaan penting. Ini menunjukkan perlunya konseptualisasi sosial yang lebih tajam dan seragam dalam penelitian.

 Metodologi: Masih Dominan Kuantitatif & Satu Arah

Studi menunjukkan bahwa 65,9% dari artikel menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan model empiris numerik sebagai teknik paling populer. Hanya 22,7% yang memakai pendekatan campuran, dan sisanya menggunakan teknik kualitatif seperti wawancara atau analisis naratif.

Contoh menarik datang dari studi oleh Shelton et al. (2018), yang menggabungkan data kualitatif dari game simulasi untuk validasi model agentbased. Sementara Koutiva et al. (2020) mengintegrasikan kuesioner dan workshop ke dalam desain model, memberikan bukti bahwa pendekatan transdisipliner bisa dilakukan, meski masih jarang.

Sayangnya, sebagian besar studi gagal menyatukan data kuantitatif dan kualitatif secara komplementer. Data kualitatif hanya dipakai sebagai latar, bukan sebagai sumber analitik utama yang bisa memperdalam pemahaman tentang dinamika sosial.

 Minim Interdisiplin dan Partisipasi Stakeholder

Bukti kuat bahwa sociohydrology belum sepenuhnya bertransformasi secara integratif terlihat dari fakta berikut:

  •  61,4% artikel masih bersifat monodisipliner, mayoritas dari bidang ilmu alam.
  •  Hanya 33,3% dari artikel monodisipliner yang melibatkan pemangku kepentingan.

 Sebaliknya, 75% studi multidisipliner melibatkan stakeholder, menunjukkan pentingnya kolaborasi lintas aktor dalam menghasilkan penelitian yang kredibel dan aplikatif.

Salah satu studi teladan adalah Basel et al. (2020), yang melibatkan pemimpin komunitas dalam penulisan artikel dan perumusan variabel sosial. Ini mencerminkan konsep coproduction of knowledge yang telah lama digaungkan dalam kerangka Sendai Framework untuk pengurangan risiko bencana.

 Rekomendasi: Jalan ke Depan bagi SocioHydrology

Ulasan Vanelli et al. (2022) ditutup dengan menyusun agenda riset yang mencakup tujuh poin utama:

1. Memperluas kajian ke jenis bencana lain, khususnya kekeringan dan bencana gabungan.

2. Mengadopsi analisis lintasskala, baik temporal maupun spasial.

3. Menajamkan definisi dan komponen sosial, serta memperkuat keterkaitan kausal dengan sistem fisik.

4. Mendorong pendekatan campuran, termasuk integrasi antara data model dan data partisipatif.

5. Menguatkan interdisiplin dan transdisiplin, melalui keterlibatan pemangku kepentingan sejak awal desain studi.

6. Meningkatkan transparansi dan reproducibility, dengan pelaporan metode yang jelas sesuai prinsip FAIR.

7. Memperhatikan etika data sosial, terutama menyangkut privasi dan posisi peneliti.

 Kesimpulan: Dari Hidrologi ke Harapan Baru

Sociohydrology masih dalam fase pertumbuhan dan pencarian jati diri. Artikel Vanelli et al. mengingatkan kita bahwa tanpa integrasi nyata antara ilmu sosial, ilmu alam, dan kebutuhan masyarakat, pendekatan ini berisiko menjadi hanya istilah baru tanpa nilai tambah. Namun dengan pergeseran ke arah pendekatan lintas skala, penggunaan data campuran, dan partisipasi pemangku kepentingan yang substansial, sociohydrology berpeluang menjadi pilar penting dalam pembangunan resiliensi berbasis bukti dan keadilan.

Di tengah krisis iklim, urbanisasi masif, dan kompleksitas risiko multibencana, sudah waktunya bagi pendekatan ini untuk tidak hanya menyatukan disiplin ilmu, tetapi juga mendengarkan suara masyarakat yang hidup bersama air, dengan segala berkah dan ancamannya.

Sumber Asli Artikel: 

Vanelli, F. M., Kobiyama, M., & de Brito, M. M. (2022). To which extent are sociohydrology studies truly integrative? The case of natural hazards and disaster research. Hydrology and Earth System Sciences, 26, 2301–2317

Selengkapnya
SocioHydrology dan Manajemen Bencana: Mengurai Tantangan Integrasi Ilmu Air dan Sosial di Era Risiko Kompleks

Sosiohidrologi

SocioHydrology dan Diplomasi Air Menyatukan Ilmu dan Politik dalam Pengelolaan Sungai Lintas Negara

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025


Di dunia yang semakin terdampak oleh perubahan iklim dan pertumbuhan populasi, sungai lintas negara menjadi titik panas bagi konflik dan kerja sama antarnegara. Terdapat 310 sungai lintas batas di dunia, dan banyak di antaranya menjadi sumber ketegangan karena dianggap sebagai zerosum game—di mana keuntungan satu pihak berarti kerugian pihak lain. Artikel oleh Wei et al. (2021) menawarkan sebuah kerangka sociohydrology yang mengintegrasikan proses sosial yang lambat dan tersembunyi ke dalam model hidrologiekonomi yang sudah ada, untuk mengungkap mekanisme di balik konflik dan kerja sama ini.

 Mengapa Pendekatan Multidisiplin Diperlukan?

Konflik dan kerja sama dalam pengelolaan sungai lintas negara tidak bisa dijelaskan hanya dari satu disiplin. Artikel ini mengulas kontribusi dari berbagai bidang:

  •  Hidrologi: Menyediakan dasar biofisik untuk memahami dampak perubahan aliran air.
  •  Ekonomi Neoklasik: Menjelaskan perilaku kerja sama berdasarkan manfaat ekonomi.
  •  Ekonomi Institusional: Menyoroti pentingnya kapasitas kelembagaan dan perjanjian hukum.
  •  Psikologi Sosial & Sosiologi Budaya: Mengungkap motivasi sosial dan nilainilai kolektif.
  •  Ilmu Politik & Hubungan Internasional: Menjelaskan dinamika kekuasaan dan diplomasi air.

Namun, integrasi antardisiplin ini masih lemah. Sebagian besar model hanya menggabungkan hidrologi dan ekonomi, sementara dimensi sosial dan politik masih belum terwakili secara eksplisit.

 Kerangka SocioHydrology: Menyatukan Proses Cepat dan Lambat

Wei et al. mengusulkan kerangka yang membagi proses menjadi dua:

 🔹 Proses Cepat 

  •  Perubahan manajemen air (misalnya operasi bendungan) 
  •  Manfaat langsung: ekonomi, ekologi, politik 
  •  Status kerja sama (variabel biner: 0 atau 1)

 🔹 Proses Lambat 

 Willingness to cooperate (variabel kontinu: 0–1) 

 Dipengaruhi oleh:

  •    Motivasi sosial (proself vs prosocial)
  •    Status kekuasaan (lokasi geografis & kekuatan politik)
  •    Kapasitas kelembagaan (kemampuan adaptif terhadap perubahan)

Kerangka ini memungkinkan analisis umpan balik antara perubahan sosial dan hidrologi, serta menjadikan kerja sama sebagai proses dinamis, bukan sekadar status tetap.

 Studi Kasus: Columbia, Mekong, dan Nile

 🏞️ Columbia River (AS–Kanada) 

  •  Tahap I (1948): Banjir besar memicu kerja sama. 
  •  Tahap II (1964): Columbia River Treaty ditandatangani, AS membayar $64,4 juta untuk penyimpanan air di Kanada. 
  •  Tahap III (1990–sekarang): Perubahan sosial dan lingkungan (hak suku, konservasi ikan) memicu renegosiasi. 
  •  Konflik baru muncul karena persepsi ketidakadilan dalam pembagian manfaat listrik dan ekologi.

 🌊 Mekong River (6 negara Asia Tenggara) 

  •  Tahap I (1999–2003): Kerja sama awal melalui Mekong River Commission. 
  •  Tahap II (2004–2005): Kekeringan memicu konflik. 
  •  Tahap III (2006–2009): China berbagi data hidrologi. 
  •  Tahap IV (2010–2016): Pembangunan bendungan besar oleh China dan Laos memicu degradasi ekologi di Vietnam. 
  •  Tahap V (2017–sekarang): China mulai mempertimbangkan manfaat diplomatik, meningkatkan willingness to cooperate.

 🌍 Nile River (11 negara Afrika) 

  •  Tahap I (1956–1989): Perjanjian bilateral antara Mesir dan Sudan, Ethiopia terpinggirkan. 
  •  Tahap II (1989–1998): Ethiopia mulai menuntut hak atas air. 
  •  Tahap III (1999–2010): Inisiatif Nile Basin dan CFA gagal karena ketimpangan kekuasaan. 
  •  Tahap IV (2011–sekarang): Ethiopia membangun Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD), Sudan bergeser mendukung Ethiopia, Mesir menolak.

 Analisis Variabel Kunci dari Studi Kasus

  •  Columbia: Kerja sama tinggi, motivasi sosial homogen, kapasitas kelembagaan kuat.
  •  Mekong: Fluktuatif, motivasi sosial beragam, kekuatan politik tidak seimbang.
  •  Nile: Kerja sama rendah, konflik kuat, kapasitas kelembagaan lemah.

Kerangka ini memungkinkan analisis perbandingan antar sungai dan membantu mengidentifikasi mode kerja sama yang bisa direplikasi.

 Tantangan dan Peluang Implementasi

 ⚠️ Tantangan:

  •  Sulitnya mengukur variabel sosial seperti motivasi dan reputasi politik.
  •  Keterbatasan data sosial jangka panjang.
  •  Kompleksitas sistem adaptif yang nonlinear dan multiskala.

 💡 Peluang:

  •  Pemanfaatan big data dan analisis media untuk melacak evolusi nilai sosial.
  •  Penggunaan content coding untuk mengkuantifikasi narasi sosial.
  •  Integrasi data kualitatif ke dalam model hidrologi melalui pendekatan campuran.

 Kesimpulan: Diplomasi Air yang Berbasis Sistem

Kerangka sociohydrology yang ditawarkan oleh Wei et al. membuka jalan bagi pendekatan yang lebih holistik dan adaptif dalam pengelolaan sungai lintas negara. Dengan menjadikan kerja sama sebagai proses dinamis yang dipengaruhi oleh motivasi sosial, kekuasaan, dan kapasitas kelembagaan, kita bisa memahami mengapa kerja sama berhasil di satu tempat dan gagal di tempat lain.

Di era krisis iklim dan geopolitik yang kompleks, pendekatan ini bukan hanya relevan, tapi mendesak. Sungai bukan sekadar aliran air, tapi juga aliran nilai, kekuasaan, dan harapan.

Sumber Asli Artikel: 

Wei, Y., Wei, J., Li, G., Wu, S., Yu, D., Tian, F., & Sivapalan, M. (2021). A sociohydrologic framework for understanding conflict and cooperation in transboundary rivers. Hydrology and Earth System Sciences Discussions. https://doi.org/10.5194/hess2021522

Selengkapnya
SocioHydrology dan Diplomasi Air Menyatukan Ilmu dan Politik dalam Pengelolaan Sungai Lintas Negara

Sosiohidrologi

Panduan Adaptasi Perubahan Iklim di Sektor Air Perkuat Ketahanan Komunitas

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025


Pendahuluan
Krisis iklim memperparah intensitas banjir dan kekeringan, terutama di negara berkembang. Handbook dari Japan International Cooperation Agency (JICA), berjudul "Handbook on Climate Change Adaptation in the Water Sector" (2010), merancang pendekatan resilien yang menggabungkan pengelolaan air dengan pembangunan masyarakat. Buku ini penting sebagai pedoman praktis dalam merancang proyek adaptasi sektor air dengan mempertimbangkan ketidakpastian iklim masa depan.

Lima Prinsip Dasar Adaptasi Resilien
JICA mengedepankan lima prinsip dasar adaptasi:

  1. Keamanan manusia – Perlindungan bagi individu yang rentan, bukan sekadar efisiensi proyek.
  2. Keterlibatan masyarakat – Pelibatan pemangku kepentingan lokal dan nasional.
  3. Membangun masyarakat adaptif – Dorongan membangun sistem sosial yang siap menghadapi perubahan iklim.
  4. Manajemen risiko bencana – Pengurangan kerentanan, bukan hanya bahaya fisik.
  5. Target nol korban – Pendekatan bertingkat dalam pengendalian banjir, termasuk relokasi dan manajemen komunitas.

Perencanaan Adaptasi Berbasis Proyeksi Iklim
Panduan ini menjelaskan metode proyeksi iklim menggunakan data GCM dan AGCM20. Misalnya, dalam studi di Malaysia, 13 model GCM menghasilkan proyeksi curah hujan yang bervariasi antara 90% hingga 270% dari kondisi saat ini. Pendekatan adaptasi diarahkan dengan menggabungkan model dinamis, koreksi bias, dan penurunan skala statistik.

Penilaian Risiko dan Dampak
Analisis dilakukan dengan memperkirakan dampak banjir, kekeringan, dan perlindungan pesisir:

  • Banjir: Penentuan curah hujan desain menggunakan beberapa skenario.
  • Kekeringan: Afrika menjadi studi kasus kritis dengan prediksi kekeringan ekstrem meningkat 10–30 kali pada tahun 2090-an.
  • Pesisir: Perlindungan terumbu karang dan mangrove penting untuk komunitas pesisir rentan.
  • Danau gletser: Di Himalaya, pembentukan danau akibat pencairan es menciptakan risiko banjir mendadak.

Perencanaan Adaptasi Komprehensif
Perencanaan adaptasi berbasis wilayah sungai menekankan:

  • Tata kelola DAS melalui dewan lintas sektor
  • Pengamatan meteorologi dan evakuasi
  • Pengendalian banjir berbasis komunitas (CBDRM)
  • Perencanaan tata ruang dan zona risiko
  • Pengelolaan terpadu sumber daya air (IWRM)

Contoh studi dari Kenya (2009) menunjukkan pembentukan forum DAS Nyando sebagai wadah kolaboratif lintas sektor dalam menyusun masterplan banjir.

Inovasi dan Infrastruktur Adaptif
Pembangunan infrastruktur dilakukan bertahap dan fleksibel, termasuk:

  • Waduk, tanggul berlapis, dan jalur evakuasi
  • Kawasan retensi alami seperti sawah dan rawa
  • Penggunaan green belt dan peraturan bangunan zona pesisir (seperti Nagoya, Jepang)

Fokus Sosial dan Komunitas Rentan
Buku ini menekankan perhatian khusus terhadap:

  • Komunitas miskin dan rentan terhadap bencana
  • Kebutuhan sistem asuransi bencana
  • Pemantauan dan pemeliharaan sistem adaptasi

Kesimpulan
Handbook dari JICA menjadi referensi penting bagi negara berkembang untuk merespons tantangan perubahan iklim di sektor air. Dengan menekankan integrasi sains, partisipasi komunitas, dan strategi fleksibel seperti zero victim policy, buku ini memperluas pendekatan adaptasi yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.

Sumber : Japan International Cooperation Agency (JICA). (2010). Handbook on Climate Change Adaptation in the Water Sector: A Resilient Approach that Integrates Water Management and Community Development. Global Environment Department, Japan.

Selengkapnya
Panduan Adaptasi Perubahan Iklim di Sektor Air Perkuat Ketahanan Komunitas
« First Previous page 4 of 9 Next Last »