Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 11 Agustus 2025
Pendahuluan
Disertasi karya Nimesha Vilasini ini mengangkat persoalan klasik namun krusial di industri konstruksi: bagaimana mengintegrasikan sistem operasional yang efisien ke dalam proyek yang menggunakan metode alliance contracting. Meskipun alliancing menjanjikan kolaborasi dan kinerja unggul, bukti empiris menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas yang “game breaking” belum sepenuhnya terwujud.
Penulis berargumen bahwa kelemahan ini disebabkan oleh fokus yang terlalu besar pada ranah kontraktual dan organisasi, sementara domain operasional diabaikan. Sebagai solusi, penelitian ini mengusulkan penerapan prinsip Lean—suatu filosofi manajemen yang menitikberatkan pada pengurangan limbah (waste) dan penciptaan nilai—ke dalam lingkungan proyek alliancing.
Kerangka Teori dan Landasan Konseptual
1. Filosofi Alliancing
Dalam kerangka teorinya, Vilasini menjelaskan bahwa alliancing merupakan bentuk kontrak relasional yang memfokuskan diri pada:
Kerja sama berbasis kepercayaan
Alokasi risiko dan keuntungan secara adil
Transparansi biaya melalui prinsip open-book
Konsep ini dianggap mampu meminimalkan “interferensi” (hambatan kinerja) sebagaimana dirumuskan dalam Gallwey’s Formula:
Kinerja aktual = Potensi sejati – Interferensi
Namun, temuan di berbagai studi menunjukkan bahwa masih ada interferensi yang bersumber dari proses operasional yang kurang efisien.
2. Filosofi Lean
Lean didefinisikan sebagai upaya berkelanjutan untuk menghilangkan pemborosan, memaksimalkan nilai, dan mengoptimalkan aliran kerja. Penulis mengadopsi delapan kategori pemborosan:
Overproduksi
Menunggu
Transportasi berlebih
Pemrosesan tambahan
Inventori berlebih
Gerakan tidak perlu
Pekerjaan ulang (rework)
Tidak dimanfaatkannya kreativitas pekerja (unused creativity) – fokus utama studi ini
Kombinasi alliancing dan Lean dipandang selaras: alliancing menyediakan lingkungan kolaboratif, sementara Lean memberi kerangka operasional yang sistematis.
Kontribusi Ilmiah
Penelitian ini menyumbang tiga hal penting:
Integrasi Teori dan Praktik
Menggabungkan kerangka relational contracting (khususnya alliancing) dengan teori Lean, yang sebelumnya jarang dikaji secara mendalam di konteks konstruksi Selandia Baru.
Pengukuran Waste di Proyek Alliancing
Melalui studi kasus jembatan Newmarket Viaduct, penulis memetakan berbagai jenis process waste dan behavioural waste, lalu mengaitkannya dengan peluang perbaikan berbasis Lean.
Metodologi Peningkatan Proses di Lapangan
Menghasilkan metode observasi, pemetaan aliran nilai (Value Stream Mapping), dan analisis partisipatif yang dapat diadopsi oleh proyek sejenis.
Metodologi dan Strategi Penelitian
Pendekatan Filosofis
Paradigma interpretivis dipilih untuk memahami fenomena secara kontekstual, bukan sekadar mengukur variabel.
Peneliti berperan aktif dalam proses observasi, sejalan dengan action research approach.
Strategi
Studi kasus longitudinal tunggal: proyek penggantian Viaduct di Auckland.
Metode pengumpulan data:
Observasi partisipatif pada lima proses konstruksi berulang
Pertemuan tindak lanjut dengan manajemen proyek
Wawancara semi-terstruktur dengan manajemen puncak
Kuesioner ke manajemen menengah
Analisis dokumen proyek
Analisis Data
Value Stream Mapping (VSM) untuk mengidentifikasi VA, NVAN, dan NVAU.
Diagram sebab-akibat, spaghetti diagram, dan Pareto chart untuk memetakan penyebab pemborosan.
Pendekatan campuran (kualitatif + kuantitatif) untuk menggabungkan hasil observasi dan persepsi partisipan.
Hasil dan Angka Penting
Proporsi Waste
Studi menemukan bahwa tingkat process waste di proyek alliancing hampir setara dengan model pengadaan lain (55% pada salah satu proses). Artinya, model kontrak saja tidak otomatis mengurangi pemborosan.
Behavioural Waste
Pekerja lapangan: minimnya partisipasi dalam perbaikan proses mengakibatkan ide-ide inovatif tidak termanfaatkan.
Subkontraktor: kurangnya integrasi menyebabkan koordinasi lemah, menambah waktu tunggu dan pekerjaan ulang.
Efektivitas Lean Tools
Implementasi alat Lean menghasilkan penghematan signifikan pada proses berulang, seperti pengurangan waktu tunggu dan peningkatan efisiensi penggunaan peralatan.
Refleksi Teoretis atas Temuan
Temuan ini memperkuat argumen bahwa kinerja proyek tidak hanya ditentukan oleh “apa” kontraknya, tetapi juga “bagaimana” kontrak itu dioperasikan. Alliancing menciptakan ekosistem kolaboratif, tetapi tanpa sistem operasional seperti Lean, potensi maksimumnya terhambat.
Dari perspektif TFV (Transformation–Flow–Value), integrasi Lean membantu mengurangi gangguan pada flow dan memastikan value yang dihasilkan benar-benar sesuai kebutuhan pengguna akhir.
Analisis Argumentatif Penulis
Vilasini membangun narasi dengan alur logis:
Menunjukkan masalah produktivitas di industri konstruksi (latar belakang).
Mengidentifikasi bahwa alliancing telah memberi perbaikan di ranah strategis, tapi belum di ranah operasional.
Menawarkan Lean sebagai solusi, dengan argumentasi kompatibilitas kedua konsep.
Menguji solusi ini melalui studi kasus terperinci.
Menyimpulkan bahwa tanpa integrasi sistem operasional, alliancing tidak akan mencapai breakthrough performance.
Pendekatan ini memadukan analisis empiris (data kuantitatif) dengan pembacaan konseptual (teori Lean dan relational contracting).
Kritik terhadap Metodologi
Kekuatan
Kedalaman konteks: studi longitudinal tunggal memungkinkan pemahaman mendalam atas dinamika proyek.
Kombinasi metode: triangulasi data meningkatkan validitas internal.
Keterlibatan langsung: posisi peneliti sebagai partisipan memberi akses ke detail proses yang biasanya tertutup.
Keterbatasan
Generalisasi terbatas: satu studi kasus di Selandia Baru mungkin tidak mewakili semua proyek alliancing global.
Potensi bias: peneliti tunggal mengumpulkan dan menganalisis data, meskipun mitigasi dilakukan lewat member checking.
Durasi pemantauan terbatas: sulit menilai keberlanjutan perbaikan Lean setelah proyek selesai.
Dari sudut pandang epistemologis, pendekatan interpretivis sangat tepat untuk tujuan eksplorasi, namun akan lebih kuat bila dilengkapi studi komparatif lintas proyek.
Implikasi Ilmiah dan Praktis
Potensi Ilmiah
Membuka ruang studi interdisipliner antara manajemen kontrak, manajemen operasi, dan perilaku organisasi.
Menawarkan kerangka konseptual integrasi Lean–Alliancing yang dapat diadaptasi di penelitian selanjutnya.
Implikasi Praktis
Pemilik proyek dan kontraktor dapat menggunakan Lean untuk memaksimalkan pembagian keuntungan dalam gain–pain share.
Proses perbaikan berkelanjutan memerlukan integrasi pekerja lapangan dan subkontraktor sejak tahap awal.
Kesimpulan Reflektif
Disertasi ini menegaskan bahwa inovasi dalam metode pengadaan harus berjalan seiring dengan inovasi dalam manajemen proses. Alliancing menciptakan landasan kolaborasi, sementara Lean menjadi penggerak efisiensi di lapangan. Integrasi keduanya berpotensi menghasilkan kinerja proyek yang unggul, bukan hanya dalam hitungan biaya dan waktu, tetapi juga dalam kualitas dan keterlibatan manusia di dalamnya.
Secara konseptual, penelitian ini adalah kontribusi berharga bagi pengembangan teori manajemen konstruksi, dan secara reflektif, ia mengingatkan bahwa teknologi atau kontrak secanggih apa pun tidak akan berdampak maksimal tanpa perbaikan proses di tingkat operasional.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Pembengkakan biaya (cost overrun) adalah masalah kronis di industri konstruksi, terutama di negara berkembang. Penelitian oleh Albtoush et al. (2021) berjudul Underlying Factors of Cost Overruns in Developing Countries: Multivariate Analysis of Jordanian Projects mengungkap empat penyebab utama pembengkakan biaya di Jordan: kesulitan finansial, masalah material, isu desain, dan pekerjaan tambahan. Studi ini menganalisis data dari 268 responden (kontraktor, konsultan, dan pemilik proyek) dengan metodologi kuantitatif dan factor analysis, memberikan wawasan mendalam tentang tantangan yang juga relevan bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya.
Temuan Kunci dan Analisis
1. Penyebab Utama Pembengkakan Biaya
Berdasarkan analisis Relative Important Index (RII) dan factor analysis, berikut penyebab terbesar:
Kesulitan finansial (45.27% varian):
Keterlambatan pembayaran oleh pemilik proyek (RII: 0.779).
Ketidakstabilan arus kas (RII: 0.774).
Contoh: Proyek jalan tol di Jawa terlambat 2 tahun akibat keterlambatan pendanaan pemerintah.
Masalah material (7.39% varian):
Kenaikan harga material (RII: 0.788) dan biaya transportasi (RII: 0.790).
Data: Harga baja di Jordan naik 20% dalam 1 tahun (2020–2021).
Isu desain (6.87% varian):
Perubahan desain frekuentif (RII: 0.780) dan gambar tidak lengkap saat tender.
Studi kasus: Proyek apartemen di Amman mengalami rework 30% akibat revisi desain.
Pekerjaan tambahan (4.61% varian):
Permintaan tambahan dari pemilik (RII: 0.715) dan kelebihan volume pekerjaan.
2. Perbandingan dengan Negara Berkembang Lain
Tabel perbandingan menunjukkan kesamaan masalah di berbagai negara:
Fluktuasi harga material adalah masalah utama di 5 dari 10 negara (Jordan, India, Pakistan, dll.).
Keterlambatan pembayaran terjadi di 50% kasus, terutama di proyek pemerintah.
Perbedaan unik Jordan: Ketergantungan pada tenaga kerja asing memperparah keterlambatan subkontraktor.
3. Dampak Industri
Ekonomi: Pembengkakan biaya mengurangi ROI proyek infrastruktur hingga 15–30%.
Hubungan antar-pihak: Konflik antara kontraktor-pemilik meningkat akibat klaim delay.
Solusi dan Rekomendasi
1. Manajemen Finansial
Pendanaan di muka: Pemerintah harus memastikan dana tersedia sebelum tender.
Pembayaran bertahap otomatis: Mengadopsi sistem blockchain untuk transparansi.
2. Pengendalian Material
Kontrak harga tetap (fixed-price contract) untuk material strategis.
Optimasi logistik: Gunakan Just-In-Time untuk mengurangi biaya penyimpanan.
3. Perbaikan Proses Desain
BIM (Building Information Modeling): Kurangi kesalahan desain sejak awal.
Keterlibatan pemilik: Libatkan stakeholder dalam review desain untuk minim perubahan.
4. Regulasi Proyek
Sanksi untuk keterlambatan pembayaran: Contoh: Di Malaysia, pemain bayar denda 0.1%/hari.
Pelatihan SDM: Program sertifikasi untuk tenaga kerja lokal kurangi ketergantungan impor.
Kritik dan Nilai Tambah
Kelebihan Penelitian:
Metodologi kuat dengan multivariate analysis dan data primer.
Rekomendasi spesifik untuk konteks Jordan yang bisa diadaptasi negara lain.
Kekurangan:
Tidak membahas peran korupsi sebagai faktor tersembunyi pembengkakan biaya.
Contoh kasus terbatas pada proyek besar, kurang mencakup UMKM.
Tren Global:
Prefabrikasi: Solusi efisiensi biaya di Singapura (kurangi overrun hingga 25%).
Kontrak kolaboratif: Relational Contracting di Australia kurangi konflik perubahan desain.
Kesimpulan
Penelitian ini menyoroti bahwa pembengkakan biaya di proyek konstruksi bukan hanya masalah teknis, tetapi juga manajemen finansial, koordinasi antar-pihak, dan stabilitas ekonomi. Untuk Indonesia, temuan ini relevan mengingat kesamaan tantangan seperti:
Keterlambatan pembayaran proyek pemerintah.
Ketergantungan pada material impor.
Rendahnya kualitas desain.
Dengan menerapkan solusi berbasis bukti dari Jordan, negara berkembang dapat memitigasi risiko cost overrun dan meningkatkan keberhasilan proyek.
Sumber:
Albtoush, A.M.F., Doh, S.I., & Rahman, R.A. (2021). Underlying Factors of Cost Overruns in Developing Countries: Multivariate Analysis of Jordanian Projects. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 682 012019. DOI:10.1088/1755-1315/682/1/012019.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pendahuluan: Korupsi dan Pembangunan, Dua Kutub yang Saling Bertentangan
Indonesia sebagai negara berkembang sangat bergantung pada pembangunan infrastruktur untuk memperkuat fondasi ekonominya. Namun, proses pembangunan seringkali diwarnai dengan praktik korupsi, terutama dalam proyek-proyek konstruksi yang melibatkan anggaran besar dan banyak pihak. Studi dari Felix Hidayat dan Sherly Mulyanto (2017) mencoba membedah anatomi korupsi dalam proyek konstruksi di Indonesia, mengungkap karakteristik, pola, serta dampaknya dengan pendekatan grounded theory.
Karakteristik Umum Proyek Konstruksi yang Terkorupsi
Berdasarkan analisis terhadap 15 putusan Mahkamah Agung terkait korupsi di sektor konstruksi, ditemukan pola menarik:
Titik Rawan Korupsi: Fase Pelaksanaan Proyek
Dari studi ini terungkap bahwa fase pelaksanaan konstruksi adalah momen paling rentan terhadap praktik korupsi. Bentuk korupsi paling umum adalah ketidaksesuaian volume pekerjaan dengan laporan progres, yang berdampak pada pembayaran yang tidak sesuai. Ini diperparah dengan adanya berita acara fiktif dan laporan rekayasa.
Pihak paling sering terlibat adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), karena mereka memiliki wewenang atas verifikasi pekerjaan fisik dan persetujuan pembayaran.
Menariknya, intervensi masyarakat juga ditemukan sebagai faktor eksternal yang signifikan, terutama pada proyek-proyek di daerah terpencil seperti Nusa Tenggara dan Papua. Di wilayah ini, pengaruh budaya lokal dan lemahnya infrastruktur memperbesar risiko manipulasi.
Dampak Teknis dan Hukum Korupsi Proyek
Korupsi pada proyek konstruksi tidak hanya menyebabkan kerugian finansial, tetapi juga gagalnya fungsi bangunan:
Dari sisi hukum, vonis rata-rata untuk pelaku korupsi adalah 44,8 bulan penjara dan denda USD 10.716. Nilai ini tidak sebanding dengan kerugian proyek yang mencapai 16,7% hingga 33,4% dari nilai kontrak. Bahkan, di beberapa wilayah, seperti Papua, kerugian bisa mencapai 80% dari total anggaran.
Pola Korupsi: Sebuah Rantai Sistemik
Penelitian ini menyusun urutan tindakan korupsi sebagai berikut:
1. Penetapan volume kerja fiktif atau melebihi kenyataan.
2. Manipulasi laporan progres untuk menyesuaikan dengan pembayaran.
3. Pengesahan pembayaran oleh PPK berdasarkan dokumen palsu.
4. Pembiaran dari pengawas atau konsultan yang berperan pasif.
Pola ini menunjukkan bahwa korupsi bukanlah tindakan individu semata, tetapi merupakan konspirasi sistemik yang melibatkan banyak aktor.
Perspektif Kritis dan Komparatif
Jika dibandingkan dengan studi oleh Le et al. (2014) di Tiongkok, Indonesia menunjukkan pola yang mirip, terutama pada:
Namun, studi di Indonesia menambahkan satu faktor penting: intervensi eksternal, seperti tekanan budaya lokal dan kondisi geografis yang menyulitkan pengawasan.
Solusi dan Rekomendasi Praktis
Berdasarkan temuan ini, berikut rekomendasi untuk berbagai pemangku kepentingan:
Untuk Pemerintah:
Untuk Kontraktor:
Untuk Akademisi:
Penutup: Integritas adalah Fondasi Pembangunan
Korupsi dalam proyek konstruksi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita pembangunan. Studi oleh Hidayat dan Mulyanto menunjukkan bahwa membenahi sektor konstruksi tidak cukup hanya dengan penguatan teknis, tetapi juga penanaman nilai integritas di seluruh lapisan pelaku.
Penelitian ini dapat diakses di MATEC Web of Conferences, SICEST 2016 melalui tautan resmi: https://doi.org/10.1051/matecconf/201710105018
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pengantar: Mengapa Triple Constraint Krusial dalam Proyek Konstruksi?
Dalam manajemen proyek, keberhasilan selalu dikaitkan dengan tercapainya tiga elemen utama yang dikenal sebagai triple constraint: waktu, biaya, dan mutu. Ketiga faktor ini membentuk fondasi yang saling terhubung, di mana perubahan satu variabel akan berdampak pada dua lainnya. Dalam konteks pandemi Covid-19, tekanan terhadap triple constraint semakin kompleks, terutama di pusat aktivitas konstruksi seperti Jakarta. Studi oleh Monika Natalia dkk. (2021) memberikan gambaran komprehensif terhadap berbagai faktor penyebab kendala dalam pelaksanaan proyek konstruksi di Jakarta selama pandemi.
Metodologi Penelitian: Kuantitatif, Terstruktur, dan Representatif
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner kepada 38 responden dari lima proyek konstruksi aktif di Jakarta. Responden terdiri dari manajer proyek, engineer, safety officer, hingga tim K3. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan SPSS v.22 melalui uji validitas, reliabilitas, korelasi Pearson, dan regresi linier berganda untuk mengidentifikasi faktor paling dominan yang mengganggu pelaksanaan proyek.
Hasil Utama: Tiga Faktor Paling Mempengaruhi Triple Constraint
Dari belasan faktor yang dianalisis, tiga sub-faktor ditemukan memiliki pengaruh signifikan terhadap pelaksanaan proyek selama pandemi, yaitu:
1. Kualitas Bahan yang Kurang Baik (X2.3)
Koefisien regresi: 0,302
T hitung: 2,641 (signifikan karena > t tabel)
Implikasi: Mutu material menjadi krusial. Saat pandemi, banyak kontraktor mengalami kesulitan impor bahan, atau harus menggunakan alternatif berkualitas rendah. Ini memicu rework dan keterlambatan.
2. Penerapan Teknologi Baru yang Belum Dikuasai (X8.2)
Koefisien regresi: 0,268
T hitung: 2,962
Analisis: Transisi ke metode konstruksi modern seperti BIM, prefabrikasi, atau teknologi jarak jauh memang terpaksa dilakukan. Namun, minimnya pelatihan dan kesiapan menyebabkan proyek berjalan lambat.
3. Kesulitan Melihat Laporan Laba Rugi per Proyek (X9.4)
Koefisien regresi: 0,194
T hitung: 3,324
Konsekuensi: Manajemen keuangan yang tidak transparan dan lambat memicu keterlambatan pengambilan keputusan, penundaan pembayaran vendor, hingga stagnasi proyek.
Konteks Nyata: Studi Kasus Proyek Rusun PIK Jakarta Timur
Salah satu proyek yang ditinjau adalah pembangunan Rusun PIK di Jakarta Timur. Proyek ini mengalami keterlambatan akibat pembatasan pekerja, sulitnya distribusi material, serta ketidakmampuan mengadaptasi teknologi kerja jarak jauh. Tim manajemen kesulitan mengevaluasi progres karena absennya sistem digital yang solid.
Korelasi Faktor Tambahan: Kompleksitas Tidak Hanya dari Tiga Sub-Faktor
Meskipun hanya tiga faktor yang signifikan secara statistik, analisis korelasi Pearson menunjukkan hubungan kuat pada beberapa sub-faktor lain:
Ketiga faktor ini tidak signifikan dalam regresi, namun tetap berpengaruh dalam dinamika proyek, khususnya dalam koordinasi harian dan pengambilan keputusan.
Interpretasi Tambahan: Mengapa Ini Terjadi?
Pandemi memaksa proyek bekerja dalam keterbatasan:
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Penelitian ini senada dengan studi Dartok (2021) di Batam yang menunjukkan bahwa 50,16% keterlambatan proyek berasal dari masalah material, dan 26% dari PHK pekerja. Ini menunjukkan pola yang konsisten secara nasional: pasokan dan sumber daya manusia menjadi titik lemah utama saat pandemi.
Rekomendasi Praktis: Apa yang Bisa Dilakukan?
Berdasarkan temuan ini, beberapa strategi bisa diterapkan untuk mencegah kendala berulang:
Peningkatan Transparansi Laporan: Setiap proyek harus memiliki sistem laporan laba rugi mingguan yang dapat diakses stakeholder.
Kesimpulan: Triple Constraint Butuh Penanganan Holistik
Kunci dari keberhasilan proyek bukan sekadar menyelesaikan bangunan tepat waktu atau dalam anggaran, tetapi menjaga keseimbangan antara mutu, waktu, dan biaya. Pandemi menantang semua itu secara bersamaan. Studi Monika Natalia dkk. membuktikan bahwa kelemahan dalam mutu material, ketidaksiapan teknologi, dan buruknya sistem keuangan internal menjadi pemicu utama kegagalan proyek konstruksi di Jakarta. Tanpa perbaikan sistemik, triple constraint akan selalu menjadi sumber masalah dalam kondisi krisis.
Dalam kerangka ke depan, industri konstruksi Indonesia harus belajar dari pandemi dengan memperkuat teknologi, sumber daya manusia, serta keuangan proyek. Tidak cukup hanya bertahan, proyek-proyek masa depan harus tangguh menghadapi krisis. Transformasi digital, budaya belajar yang cepat, dan kolaborasi lintas fungsi bukan lagi pilihan—melainkan kebutuhan.
Sumber:
Natalia, M., Riswandi, R., Oktaviani, D., & Putri, M. H. (2021). Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kendala Triple Constraint Proyek Konstruksi di Kota Jakarta Akibat Pandemi Covid-19. Siklus: Jurnal Teknik Sipil, 7(2), 160–174. https://doi.org/10.31849/siklus.v7i2.7397
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 19 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi Mesir memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional, menyumbang lebih dari 15% PDB negara tersebut. Namun, di balik angka pertumbuhan yang mengesankan, proyek konstruksi Mesir kerap dilanda pembengkakan biaya dan keterlambatan waktu. Salah satu penyebab utamanya adalah "rework" atau pengerjaan ulang.
Rework adalah upaya mengoreksi kesalahan atau ketidaksesuaian pekerjaan sebelumnya agar sesuai dengan spesifikasi awal. Dalam studi oleh Al-Janabi et al. (2020), rework terbukti menjadi penyebab dominan rendahnya performa proyek, baik dari sisi biaya maupun durasi. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi akar penyebab rework di Mesir, menilai dampaknya, serta memberikan rekomendasi strategis berbasis data dari 67 profesional konstruksi pada 19 proyek bernilai 45 juta hingga 5,25 miliar EGP.
Apa Itu Rework dan Mengapa Ia Begitu Merugikan?
Rework bukan sekadar kesalahan kecil. Ia merupakan biaya tersembunyi yang menggerogoti efisiensi proyek. Dampaknya bisa mencakup:
Studi Josephson et al. (2002) mencatat bahwa rework bisa menyita 7,1% waktu kerja dan menyumbang 4,4% dari total biaya proyek. Dalam konteks Mesir, angka-angka ini bahkan bisa lebih besar karena tantangan ekonomi dan sistem manajemen yang belum terstandardisasi.
10 Kategori Penyebab Rework: Temuan Utama Penelitian
Penelitian ini mengidentifikasi 87 faktor penyebab rework, yang dikelompokkan ke dalam 10 kategori:
1. Faktor Eksternal
Situasi ekonomi nasional (nilai tukar, inflasi) adalah penyebab rework paling krusial (T.I.I.R.I: 68%).
Dampaknya langsung terasa pada harga material, upah, dan jadwal proyek.
2. Faktor Konstruksi
Penjadwalan yang dipaksakan atau schedule compression (T.I.I.R.I: 51,75%) menempati urutan kedua.
Perubahan oleh klien setelah pekerjaan berjalan juga signifikan (T.I.I.R.I: 41%).
3. Faktor Desain
Perubahan desain karena tabrakan dengan utilitas bawah tanah (T.I.I.R.I: 47,83%) sering terjadi pada proyek infrastruktur.
Desain yang belum matang saat tender juga menghambat.
4. Faktor Klien
Perubahan spesifikasi dan kurangnya studi kelayakan sejak awal sangat berpengaruh.
Klien sering mengubah rencana tanpa mempertimbangkan dampak teknis.
5. Faktor Kontraktor dan Subkontraktor
Kekurangan dana dan arus kas menjadi tantangan utama (T.I.I.R.I: 41,54%).
Pemilihan subkontraktor tanpa kriteria kompetensi turut memperburuk situasi.
6. Faktor Supervisi
Perencanaan aktivitas yang buruk dari tim pengawas (T.I.I.R.I: 38,36%) adalah penyumbang signifikan.
7. Faktor Material dan Peralatan
Ketiadaan material saat dibutuhkan (T.I.I.R.I: 37,6%) menyebabkan jeda dan pemborosan waktu.
8. Faktor Lokasi Proyek
Kondisi tanah yang buruk, air tanah tinggi, dan ketiadaan investigasi awal lapangan adalah masalah umum.
9. Faktor Tenaga Kerja
Kekurangan tenaga kerja terampil dan mutu pengerjaan rendah menjadi tantangan serius.
10. Faktor Dokumen Kontrak
Dokumen kontrak yang kabur atau tidak lengkap mengarah pada klaim dan perubahan pekerjaan.
Studi Kasus: Proyek-Proyek Bernilai Miliaran di Mesir
Dari 19 proyek yang diteliti, 16 di antaranya adalah proyek baru bernilai ratusan juta hingga miliaran EGP, mencakup:
Fakta menarik: proyek perumahan mendominasi dengan 40,3% responden bekerja pada sektor ini. Hal ini mencerminkan tren pertumbuhan pesat sektor properti di Mesir.
Dampak Langsung dan Tidak Langsung dari Rework
Rework memiliki dua jenis dampak:
Menurut Love (2002), dampak tak langsung bisa mencapai 3-6 kali lebih besar dari biaya langsung. Di proyek Mesir, keterlambatan akibat rework sering kali memicu tuntutan hukum antar pihak.
Analisis Tambahan dan Opini: Mengapa Rework Terjadi dan Bagaimana Mencegahnya?
Berdasarkan temuan, akar rework adalah kombinasi lemahnya koordinasi, kurangnya perencanaan awal, dan tekanan ekonomi. Dalam konteks Mesir:
Solusi Praktis yang Direkomendasikan:
Perbandingan dengan Negara Lain
Berikut perbandingan penyebab rework antara Mesir dan negara lain:
Mesir unik karena pengaruh besar kondisi ekonomi makro terhadap proyek mikro.
Kesimpulan
Penelitian ini berhasil mengidentifikasi faktor-faktor penyebab utama rework di proyek konstruksi Mesir. Yang paling dominan adalah pengaruh situasi ekonomi, disusul oleh penjadwalan yang dipaksakan dan perubahan desain. Dampaknya sangat signifikan, terutama pada proyek-proyek bernilai besar.
Untuk meminimalisir dampak rework, diperlukan perubahan pendekatan dari semua stakeholder: mulai dari perencanaan awal yang matang, penggunaan teknologi, hingga pengelolaan sumber daya manusia yang profesional.
Sumber
Al-Janabi, A. M., Abdel-Monem, M. S., & El-Dash, K. M. (2020). Factors causing rework and their impact on projects' performance in Egypt. Journal of Civil Engineering and Management, 26(7), 666-689. https://doi.org/10.3846/jcem.2020.12916
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025
Dalam dunia konstruksi yang penuh dengan dinamika dan banyak pihak terlibat, komunikasi visual menjadi kunci utama keberhasilan proyek. Artikel ini menyoroti betapa pentingnya penggunaan Visual Management (VM) sebagai bagian dari pendekatan Lean Construction. Diadaptasi dari kesuksesan lean manufacturing milik Toyota, pendekatan lean dalam konstruksi bertujuan mengurangi limbah dan meningkatkan nilai proyek. VM menjadi alat bantu yang sangat efektif dalam mendukung tujuan tersebut karena menyederhanakan komunikasi dan pengambilan keputusan langsung di lapangan.
Tujuan Penelitian dan Metodologi
Penelitian ini bertujuan menganalisis penggunaan dan efektivitas 12 alat visual dalam proyek konstruksi di India. Data dikumpulkan melalui survei terhadap 725 profesional konstruksi (kontraktor, konsultan, akademisi, dan lembaga pemerintah), yang menghasilkan 153 tanggapan valid. Metode analisis yang digunakan meliputi:
Pendekatan kuantitatif dan kualitatif dikombinasikan untuk memberikan gambaran menyeluruh.
Visual Management Tools: Alat yang Menyederhanakan Kompleksitas
Berikut ini beberapa alat visual yang dievaluasi dalam penelitian:
Big Room
Big Room adalah ruang kolaboratif yang dilengkapi dengan papan informasi, kode warna, dan jadwal kerja (LPS). Pertemuan harian 15 menit (disebut hurdle meeting) menjadi sarana untuk mengevaluasi status proyek, membahas kendala, dan menyelaraskan jadwal antar tim. RII Big Room: 92% (paling tinggi dalam survei)
5S (Sort, Set in Order, Shine, Standardize, Sustain)
Teknik manajemen lokasi kerja ini berasal dari Jepang dan bertujuan mengatur, membersihkan, dan menstandarkan lingkungan kerja agar lebih efisien. 5S memungkinkan pengurangan waktu pencarian alat dan meningkatkan disiplin visual. RII 5S: 91%
Last Planner System (LPS)
Sistem perencanaan kolaboratif lima tahap ini memungkinkan perencanaan jangka pendek yang realistis dan disepakati bersama, mengurangi ketidakpastian di lapangan. RII LPS: 90%
Building Information Modeling (BIM)
BIM digunakan untuk menyatukan semua informasi desain dan teknik dalam satu model digital. BIM membantu dalam clash detection dan memvisualisasikan hasil akhir proyek sejak awal. RII BIM: 88%
Augmented Construction Field Visualization
Teknologi realitas tertambah ini memproyeksikan desain 3D ke lokasi nyata, memudahkan stakeholder memahami hasil akhir dan melakukan revisi desain sebelum pekerjaan dimulai. RII: 85%
Temuan Utama: RII dan Cluster Analysis
Penelitian mengidentifikasi tiga kategori utama alat berdasarkan nilai RII:
Salah satu insight menarik dari cluster analysis adalah bahwa BIM, meskipun tidak mendapatkan RII tertinggi, menjadi predictor paling kuat dalam meningkatkan nilai proyek.
Studi Kasus: Praktik Visual Management di Lapangan
Salah satu studi kasus menampilkan pelaksanaan Big Room yang memperlihatkan manfaat besar dalam menyelaraskan komunikasi antar kontraktor dan subkontraktor. Misalnya, dengan memasang informasi status proyek secara visual, semua pekerja dari berbagai latar belakang bahasa dapat langsung memahami prioritas dan kendala tanpa harus melalui rapat panjang.
Sebagai contoh, ketika proyek mengalami keterlambatan dalam pengiriman beton pracetak, papan visual menampilkan status logistik real-time yang memungkinkan tim proyek segera mengatur ulang urutan pekerjaan. Ini menghindarkan biaya idle tinggi yang biasanya muncul karena informasi tidak tersebar dengan cepat.
Tantangan dan Hambatan
Meskipun manfaatnya jelas, masih banyak proyek yang belum menerapkan visual management. Alasan utamanya:
Penggunaan alat seperti Heijunka masih sangat minim, padahal teknik ini dapat mengatur produksi secara merata dan menghindari kelebihan stok yang sering kali membebani lokasi proyek.
Rekomendasi Penulis
Penulis memberikan beberapa rekomendasi kunci:
Opini Penulis Resensi: Visual Management sebagai Masa Depan Lean Konstruksi
Artikel ini menjadi jembatan penting antara teori lean dan praktik lapangan yang nyata. Visual Management tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga platform koordinasi, pemantauan, hingga motivasi kerja. Dalam konteks proyek-proyek konstruksi di Indonesia yang juga memiliki masalah fragmentasi stakeholder dan keterlambatan logistik, pendekatan ini sangat relevan.
Dengan era digital yang terus berkembang dan adopsi teknologi seperti BIM semakin umum, visual management menjadi pilar utama dalam transformasi manajemen konstruksi yang lebih transparan, efisien, dan kolaboratif. Ini bukan sekadar tren, tapi kebutuhan.
Sumber asli artikel:
Subhav Singh & Kaushal Kumar. A study of lean construction and visual management tools through cluster analysis. Ain Shams Engineering Journal, 12 (2021), 1153–1162.