Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 14 Oktober 2025
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian Tezel et al. (2021) berkontribusi signifikan dalam memahami pelatihan keselamatan kerja (K3) di industri konstruksi yang lebih efektif. Industri konstruksi selama ini menghadapi tingginya angka kecelakaan, dan pelatihan K3 dianggap sebagai salah satu upaya preventif utama. Namun, merancang pelatihan yang benar-benar efektif bukan hal mudah karena perbedaan gaya belajar pekerja, motivasi yang rendah, serta kendala bahasa di proyek. Studi ini memberikan analisis empiris terstruktur mengenai faktor-faktor apa saja yang paling menentukan keberhasilan sebuah sesi pelatihan keselamatan. Melalui tinjauan pustaka mendalam dan wawancara dengan pakar K3, peneliti awalnya mengidentifikasi 41 variabel kandidat. Setelah penyaringan dan penggabungan variabel yang mirip, diperoleh 25 variabel kunci yang dianggap memengaruhi sukses tidaknya pelatihan keselamatan (misalnya: durasi proyek, ukuran proyek, frekuensi pelatihan, penggunaan APD, dll.).
Selanjutnya, tim peneliti menyebarkan kuesioner kepada perusahaan dalam ENR Top 400 Contractors (400 kontraktor konstruksi terbesar). Dari survei ini terkumpul 93 respons (tingkat respons ~23%), mayoritas dari profesional konstruksi berpengalaman (lebih dari 20 tahun). Analisis data menggunakan Exploratory Factor Analysis (EFA) berhasil mereduksi 25 variabel tersebut ke dalam enam kelompok faktor utama yang disebut Critical Success Factors pelatihan K3. Keenam kelompok faktor kunci keberhasilan itu adalah: (1) Faktor Proyek dan Perusahaan, (2) Faktor Demografis, (3) Faktor Praktik Lapangan, (4) Faktor Motivasional, (5) Faktor Organisasional, dan (6) Faktor Manusia & Perilaku. Model enam faktor ini secara bersama mampu menjelaskan sekitar 77% variasi kesuksesan pelatihan – suatu cakupan yang kuat dan menyeluruh.
Temuan kuantitatif penting dari studi ini menunjukkan bahwa Faktor Proyek dan Perusahaan merupakan penentu terbesar keberhasilan pelatihan, menjelaskan ~39% dari total variasi. Variabel-variabel seperti jenis proyek, ukuran proyek, durasi proyek, hingga ukuran perusahaan memiliki nilai loading faktor sangat tinggi (≈0,92) dalam kelompok ini, menandakan hubungan yang sangat kuat dengan keberhasilan pelatihan. Artinya, konteks proyek dan kapasitas perusahaan (misalnya proyek besar dan berdurasi panjang pada perusahaan besar) cenderung menentukan seberapa efektif pelatihan K3 dilaksanakan. Di sisi lain, Faktor Demografis (misalnya usia, jenis kelamin, asal negara pekerja) walaupun berpengaruh, tercatat hanya menyumbang ~13% variasi dengan nilai mean penting yang lebih rendah (sekitar 3,3 dari skala 5). Ini mengindikasikan bahwa karakteristik demografi pekerja tidak sepenting faktor-faktor konteks proyek dalam menentukan efektivitas pelatihan, walaupun tetap perlu diperhatikan (contoh: perbedaan bahasa dan budaya pekerja migran yang dapat menghambat pelatihan).
Studi ini juga menegaskan pentingnya aspek praktis dan manusiawi dalam pelatihan. Faktor Praktik Lapangan (≈10% variasi) menyoroti betapa krusialnya pelatihan langsung (hands-on) dan persepsi positif terhadap pelatihan. Hands-on training memiliki mean 4,69 dengan loading faktor 0,84, menandakan bahwa pelibatan peserta secara aktif melalui simulasi atau praktik di lapangan sangat meningkatkan keberhasilan pelatihan. Demikian pula, persepsi peserta bahwa pelatihan itu bermanfaat mendorong mereka lebih patuh terhadap prosedur K3. Faktor Organisasional dan Motivasional secara total menyumbang sekitar 10%–11% variasi. Di dalamnya termasuk hal-hal seperti efektivitas penyampaian materi, mekanisme umpan balik, koordinasi, dukungan manajemen, insentif keselamatan, bahasa pengantar pelatihan, frekuensi pelatihan, dan kepuasan peserta terhadap pelatihan. Sebagai contoh, training frequency (frekuensi pelatihan) memiliki loading ~0,72, dan studi ini mencatat bahwa peningkatan frekuensi pelatihan berkorelasi dengan perubahan sikap pekerja ke arah perilaku lebih aman. Temuan tersebut menunjukkan hubungan kuat antara intensitas pelatihan dan peningkatan kesadaran risiko — koefisien 0,72 ini mengindikasikan potensi besar bagi pendekatan pelatihan rutin sebagai fokus penelitian dan praktik baru. Sementara itu, Faktor Manusia & Perilaku (≈4% variasi) mencakup penggunaan APD dan kualitas kepemimpinan. Menariknya, dua variabel ini justru memiliki skor rata-rata tertinggi di antara 25 variabel (mean ~4,9) meskipun persentase variasi totalnya kecil. Hal ini berarti hampir semua responden sepakat bahwa penggunaan APD yang konsisten dan kepemimpinan yang kuat di lapangan adalah elemen vital untuk suksesnya pelatihan K3. Kedua hal ini bersifat fundamental: penggunaan APD sering disebut sebagai variabel paling kritis untuk meningkatkan kesadaran keselamatan, dan kepemimpinan yang baik akan menciptakan budaya keselamatan yang kuat dalam jangka panjang.
Secara keseluruhan, kontribusi utama penelitian ini adalah peta jalan ilmiah bagi peningkatan program pelatihan K3 di industri konstruksi. Penelitian ini untuk pertama kalinya mengelompokkan berbagai faktor penentu keberhasilan pelatihan keselamatan ke dalam kerangka enam faktor yang teruji secara statistik. Hasilnya memberikan evidence-based guidance bagi praktisi dan manajer proyek: misalnya, menitikberatkan investasi pada aspek konteks proyek (jenis, ukuran, durasi) dan penguatan budaya keselamatan perusahaan, sembari tidak melupakan desain pelatihan yang interaktif, pemberian umpan balik, insentif, serta kepemimpinan yang proaktif. Bagi komunitas akademik, temuan ini menutup celah pengetahuan dengan mengidentifikasi variabel-variabel mana saja yang paling berdampak pada efektivitas pelatihan, sehingga riset selanjutnya dapat lebih terarah pada variabel kunci tersebut. Singkatnya, studi Tezel et al. memberikan landasan solid untuk merancang pelatihan keselamatan kerja yang lebih tepat sasaran, meningkatkan kinerja keselamatan, dan pada akhirnya menurunkan angka kecelakaan di industri konstruksi.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun menawarkan temuan penting, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu dicatat. Pertama, data dan hasil yang diperoleh berbasis persepsi responden (self-reported outcomes) dari perusahaan-perusahaan besar konstruksi di Amerika Serikat. Dengan kata lain, studi ini mengandalkan pengalaman dan penilaian subjektif para manajer/profesional K3 di perusahaan top tersebut. Hal ini membuka pertanyaan: apakah faktor-faktor keberhasilan yang teridentifikasi akan sama kuatnya apabila diukur dengan data objektif (misalnya penurunan tingkat kecelakaan sebenarnya) di lapangan? Kedua, cakupan geografis dan jenis organisasi dalam survei cukup terbatas. Responden terkonsentrasi pada kontraktor besar AS; hasil bisa berbeda jika studi serupa dilakukan di wilayah lain atau pada kontraktor yang lebih kecil. Budaya keselamatan dan regulasi di negara lain mungkin menekankan faktor berbeda. Misalnya, faktor bahasa mungkin lebih krusial di negara dengan banyak tenaga kerja asing, atau faktor insentif mungkin kurang berdampak di budaya tertentu. Keterbatasan ini menimbulkan pertanyaan terbuka untuk riset lanjutan mengenai generalizability temuan: seberapa universal enam kelompok faktor ini berlaku di konteks berbeda?
Ketiga, ukuran sampel relatif kecil jika dibandingkan populasi industri konstruksi secara luas. Meskipun para responden berasal dari perusahaan papan atas (industry leaders) dengan program K3 yang sudah maju, hanya 93 responden yang terlibat. Ini dapat menimbulkan bias karena kelompok responden yang terbatas mungkin tidak mewakili seluruh spektrum praktik pelatihan di industri. Penulis menyadari bahwa pengalaman dan persepsi kelompok elit ini cenderung positif (terbukti 90% lebih responden puas dengan pelatihan yang pernah mereka ikuti, dan merasa kesadaran keselamatannya meningkat). Kelompok ini bisa jadi memiliki budaya keselamatan lebih baik daripada rata-rata industri, sehingga faktor-faktor yang muncul penting di sini mungkin berbeda bobotnya bila survei mencakup perusahaan dengan rekam jejak K3 yang kurang.
Terakhir, studi ini belum membahas hubungan kausal secara mendalam. Hasilnya menunjukkan faktor mana yang terkait dengan keberhasilan pelatihan, namun belum terjawab bagaimana interaksi antar faktor terjadi atau mekanisme penyebabnya. Misalnya, apakah faktor proyek besar meningkatkan keberhasilan pelatihan karena perusahaan besar memiliki sumber daya lebih untuk pelatihan? Atau apakah frekuensi pelatihan tinggi menyebabkan perubahan perilaku, atau justru perusahaan dengan budaya baik cenderung memberi pelatihan lebih sering? Pertanyaan-pertanyaan ini masih terbuka.
Singkatnya, pertanyaan penelitian yang masih terbuka antara lain: (1) Apakah temuan faktor kunci ini berlaku di luar konteks kontraktor besar AS? (2) Bagaimana menerjemahkan faktor-faktor kunci ini menjadi indikator kinerja yang dapat diukur (misal pengurangan insiden) untuk benar-benar membuktikan efektivitasnya? (3) Apakah ada faktor lain yang luput karena fokus pada persepsi manajer (misalnya faktor ekonomi atau regulasi eksternal) yang sebaiknya turut dipertimbangkan? Mengakui keterbatasan-keterbatasan ini penting sebagai landasan dalam merancang penelitian lanjutan dan menguji keandalan temuan saat diaplikasikan lebih luas.
Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan keterbatasan di atas, berikut adalah 5 rekomendasi arah riset selanjutnya yang dapat dilakukan, lengkap dengan usulan metode, konteks, atau variabel baru serta justifikasi ilmiahnya:
Implikasi Jangka Panjang bagi Industri dan Akademisi
Temuan saat ini memiliki implikasi jangka panjang yang penting, baik di sektor industri maupun bagi komunitas akademik. Bagi industri konstruksi, pemahaman mendalam tentang faktor-faktor kunci keberhasilan pelatihan K3 berarti perusahaan dapat menyusun strategi keselamatan jangka panjang yang lebih tepat sasaran. Sebagai contoh, menyadari bahwa faktor konteks proyek (ukuran, durasi, kompleksitas) sangat memengaruhi efektivitas pelatihan, manajemen dapat merencanakan sesi pelatihan khusus yang disesuaikan dengan karakter proyek sejak tahap awal. Investasi pada budaya keselamatan organisasi – seperti membangun kepemimpinan keselamatan di setiap level, menyediakan insentif berkelanjutan untuk perilaku aman, dan melibatkan pekerja dalam umpan balik – akan membawa dampak berkelanjutan berupa menurunnya angka kecelakaan dan meningkatnya kepercayaan pekerja terhadap program K3. Dalam jangka panjang, implementasi temuan penelitian ini dapat mendorong transformasi kultural: pelatihan keselamatan tidak lagi dipandang sebagai formalitas, melainkan sebagai bagian integral dari peningkatan produktivitas dan kualitas proyek. Perusahaan yang berhasil mengintegrasikan faktor-faktor kunci ini berpeluang menjadi pionir industri dengan standar keselamatan kerja yang lebih tinggi, sekaligus mengurangi beban biaya akibat insiden kecelakaan.
Bagi akademisi dan peneliti, hasil studi ini membuka arah penelitian baru yang kaya. Kerangka enam faktor yang diusulkan dapat dijadikan landasan teori untuk studi-studi selanjutnya, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Akademisi dapat menggunakan temuan ini untuk mengembangkan model konseptual tentang efektivitas pelatihan yang menghubungkan karakteristik organisasi, desain pelatihan, karakteristik peserta, dan outcome keselamatan. Selain itu, penelitian ini mendorong kolaborasi lintas disiplin: misalnya, pakar pendidikan orang dewasa (andragogi) dapat bekerja sama dengan insinyur keselamatan untuk merancang kurikulum pelatihan berbasis temuan empiris; ahli teknologi dapat terlibat untuk menciptakan simulasi VR sesuai faktor kunci; pakar psikologi industri dapat meneliti motivasi dan perilaku pekerja sehubungan dengan faktor-faktor tersebut. Potensi jangka panjang di bidang akademik juga mencakup pembentukan database global tentang praktik terbaik pelatihan K3, di mana temuan dari berbagai negara dibandingkan dan disintesis. Hal ini akan memperkaya literatur K3 serta memberikan masukan berbasis bukti bagi regulator dalam merumuskan kebijakan. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik, pelaku industri konstruksi, dan otoritas pemerintah terkait K3 untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
Baca artikel aslinya di sini https://doi.org/10.3390/buildings11040139
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025
Bayangkan ini: Anda harus menavigasi jalanan Jakarta yang padat dan terus berubah, dari Sudirman ke PIK, di jam sibuk. Tapi, satu-satunya alat bantu Anda adalah peta cetak dari tahun 2011. Tidak ada Waze, tidak ada Google Maps. Tidak ada info soal jalan layang baru, jalur MRT, atau area ganjil-genap. Anda mungkin akan sampai tujuan, tapi berapa banyak waktu, bensin, dan kesabaran yang terbuang? Kemungkinan besar, Anda akan terjebak macet, tersesat, dan kalah cepat dari siapa pun yang menggunakan teknologi terkini.
Sekarang, bayangkan skenario yang sama terjadi dalam karier Anda.
Tanpa kita sadari, banyak dari kita di dunia profesional—terutama di industri konstruksi Indonesia yang sedang melesat—sedang menavigasi masa depan dengan "peta" yang sudah usang. Dan bagi salah satu profesi paling krusial di industri ini, yaitu Quantity Surveyor (QS), peta karier mereka secara resmi tidak pernah diperbarui sejak tahun 2011.
Peta ini bernama Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk Quantity Surveyor. Berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor KEP.06/MEN/I/2011, dokumen inilah yang menjadi acuan resmi untuk mendefinisikan apa artinya menjadi seorang QS yang kompeten di Indonesia. Sejak saat itu, lebih dari satu dekade telah berlalu, gedung-gedung pencakar langit baru telah berdiri, teknologi konstruksi telah berevolusi, namun standar kompetensinya tetap sama.
Masalahnya, keusangan seperti ini sering kali tidak terlihat. Berbeda dengan jembatan yang retak atau bangunan yang miring, standar kompetensi yang usang tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan fisik. Namun, ia bisa menyebabkan kerapuhan struktural yang sama berbahayanya bagi sebuah profesi dan industri. Ia menciptakan kelemahan yang tersembunyi, erosi daya saing yang perlahan tapi pasti, sampai akhirnya kita sadar bahwa kita sudah jauh tertinggal. Sebuah paper penelitian baru-baru ini, bagaimanapun, baru saja menyalakan lampu sorot terang benderang ke arah kerapuhan ini, membuat yang tak terlihat menjadi sangat jelas.
Hantu di Dalam Mesin: Mengapa Aturan Satu Dekade Lalu Menghambat Seluruh Profesi
Untuk memahami betapa gentingnya situasi ini, kita perlu melihat konteksnya. Industri konstruksi Indonesia bukan lagi pemain kecil. Pertumbuhannya fenomenal. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah perusahaan konstruksi melonjak dari 155.833 pada tahun 2018 menjadi 203.403 pada tahun 2021. Ini adalah industri yang dinamis, modern, dan bergerak cepat.
Di jantung setiap proyek konstruksi, ada seorang Quantity Surveyor. Jika arsitek adalah perancang visi dan insinyur adalah perancang struktur, maka QS adalah arsitek finansial atau penjaga biaya proyek. Peran mereka, seperti yang dijelaskan dalam penelitian oleh Hansen, Rostiyanti, dan Fajra, adalah mengevaluasi aspek ekonomi, menegosiasikan kontrak, dan memastikan semua sumber daya digunakan seefisien mungkin dari awal hingga akhir proyek. Mereka adalah urat nadi finansial yang menjaga proyek tetap sehat.
SKKNI, dalam konteks ini, berfungsi seperti sistem operasi (operating system) bagi profesi QS. Ia mendefinisikan apa saja "program" yang harus bisa dijalankan oleh seorang QS, menjadi dasar untuk program pelatihan, dan menjadi tolok ukur untuk sertifikasi. Ketika sistem operasinya usang, aplikasi-aplikasi baru tidak akan bisa berjalan.
Paper tersebut mengidentifikasi tiga dampak negatif yang nyata dari SKKNI yang tidak pernah diperbarui :
Tertinggal dalam perkembangan teknologi: Dunia sudah bicara soal Building Information Modelling (BIM) 5D, big data, dan drone survey, sementara standar kita mungkin masih berakar pada era kalkulator dan kertas gambar.
Tidak relevannya kompetensi yang dikuasai: Para QS mungkin menjadi ahli dalam bidang-bidang yang permintaannya terus menurun, sementara mereka tidak siap untuk tantangan baru seperti konstruksi berkelanjutan (sustainability) atau manajemen risiko yang kompleks.
Ketidakmampuan untuk bersaing secara global: Saat proyek-proyek besar semakin banyak melibatkan pemain internasional, QS Indonesia berisiko hanya menjadi penonton karena standar kompetensi mereka tidak diakui setara dengan standar global.
Kesenjangan selama lebih dari satu dekade ini telah menciptakan apa yang bisa kita sebut sebagai "utang kompetensi". Seperti utang teknis dalam pengembangan perangkat lunak, ini adalah jalan pintas yang diambil di masa lalu (dengan tidak memperbarui standar) yang kini bunganya terus menumpuk. Setiap tahun standar ini tidak diperbarui, "utang" itu semakin besar, membuat para profesional dan perusahaan QS Indonesia semakin sulit mengejar ketertinggalan dari rekan-rekan mereka di Singapura, Malaysia, atau Inggris—negara-negara yang standar kompetensinya dijadikan pembanding dalam studi ini. Ini bukan lagi sekadar "perlu diperbarui", ini adalah sebuah liabilitas strategis yang secara aktif merugikan daya saing nasional.
Pengungkapan Besar: Apa yang Ditemukan Peneliti Saat Membandingkan dengan Standar Global
Para peneliti tidak sekadar beropini. Mereka bertindak layaknya detektif forensik, melakukan investigasi mendalam untuk memetakan lanskap kompetensi QS modern. Metode yang mereka gunakan disebut desktop study dan meta-analysis. Dalam bahasa yang lebih sederhana, mereka mengumpulkan, menyaring, dan menyintesis bukti dari 13 publikasi tingkat tinggi yang paling relevan dari seluruh dunia.
Prosesnya sangat ketat. Mereka memulai dengan 544 publikasi, lalu menyaringnya berdasarkan relevansi dan aksesibilitas hingga tersisa 13 dokumen paling kredibel untuk dianalisis secara mendalam. Sumber-sumber ini bukan sembarangan; mereka adalah panduan kompetensi dari badan-badan profesi paling bergengsi di dunia, seperti:
Royal Institution of Chartered Surveyors (RICS) di Inggris.
Singapore Institute of Surveyors and Valuers (SISV) di Singapura.
Royal Institution of Surveyors Malaysia (RISM) di Malaysia.
Serta studi-studi relevan dari Australia, Selandia Baru, Tiongkok, dan negara lainnya.
Dengan membandingkan standar dari para pemimpin industri global ini dengan SKKNI 2011 kita, mereka menemukan sebuah kesenjangan yang mengejutkan.
Kesenjangan Kompetensi yang Mengejutkan
Inilah temuan utamanya. SKKNI QS yang berlaku saat ini mencakup 18 unit kompetensi. Namun, setelah menganalisis standar-standar global, para peneliti mengidentifikasi total 33 unit kompetensi yang dianggap esensial untuk seorang QS modern. Ini berarti ada 13 unit kompetensi krusial yang sama sekali tidak ada dalam radar standar resmi Indonesia.
🚀 Penemuannya: Peneliti mengidentifikasi 13 unit kompetensi tambahan yang sangat penting namun sama sekali absen dari SKKNI QS Indonesia saat ini.
🧠 Metodenya: Ini bukan tebakan. Mereka melakukan meta-analisis terhadap 13 laporan standar dari para pemimpin global seperti RICS (Inggris), SISV (Singapura), dan RISM (Malaysia) untuk membangun peta kompetensi QS modern.
💡 Pelajaran Utamanya: Bertahan dengan standar lama bukan hanya soal ketinggalan zaman; ini berarti kita secara fundamental tidak siap menghadapi masa depan industri konstruksi.
Keahlian yang Akan Mendefinisikan Dekade Berikutnya
Ke-13 kompetensi yang hilang ini bukan sekadar tambahan minor. Mereka merepresentasikan pergeseran fundamental dalam peran seorang QS—dari seorang juru hitung menjadi seorang penasihat strategis. Jika kita kelompokkan, keahlian-keahlian baru ini jatuh ke dalam beberapa tema besar:
Revolusi Digital: Kompetensi seperti Building Information Modelling (BIM) dan Manajemen Data kini menjadi inti. QS modern tidak lagi hanya menghitung volume dari gambar 2D; mereka mengelola model 3D yang terintegrasi dengan data biaya (4D) dan waktu (5D).
Imperatif Hijau: Kompetensi dalam Berkelanjutan (Sustainability) menjadi wajib. Proyek-proyek masa depan akan dinilai tidak hanya dari biaya pembangunannya, tetapi juga dari biaya siklus hidupnya (life-cycle cost) dan dampak lingkungannya. Seorang QS harus mampu memberikan nasihat tentang ekonomi bangunan hijau.
Penasihat Strategis: Keahlian seperti Manajemen Risiko, Penyelesaian Sengketa, dan Analisis Kelayakan Proyek menunjukkan peran QS yang semakin meluas. Mereka diharapkan bisa mengidentifikasi risiko finansial sebelum terjadi, menavigasi klaim dan sengketa kontrak yang rumit, serta memberikan analisis kelayakan investasi yang solid sejak awal.
Pergeseran dari sekadar penghitung menjadi penasihat strategis ini sangatlah signifikan. Sementara kita menunggu standar resmi untuk mengejar ketertinggalan, para profesional yang proaktif sudah mulai membangun kapabilitas ini. Fondasi dari peran penasihat ini adalah pemahaman mendalam tentang siklus hidup proyek, risiko, dan pengendalian biaya—semua elemen inti dari Manajemen Konstruksi, sebuah disiplin yang secara langsung menjawab banyak kesenjangan strategis yang diungkap oleh paper ini.
Dan di sinilah letak koneksi yang paling kuat: siapa yang lebih baik untuk belajar darinya selain para ahli yang pertama kali mengidentifikasi masalahnya? Penulis utama dari paper ini, Seng Hansen, S.T, M.Sc, Ph.D., bersama dengan salah satu penulisnya, Dr. Ir. Susy Fatena Rostiyanti, M.Sc., ternyata adalah instruktur untuk beberapa kursus penting terkait manajemen konstruksi di platform Diklatkerja. Ini bukan kebetulan. Ini menunjukkan sebuah ekosistem yang lengkap: para peneliti yang sama yang mendiagnosis "penyakit" dalam standar profesi kita juga merupakan praktisi yang secara aktif membangun "obatnya" melalui edukasi. Hal ini memberikan kredibilitas luar biasa, baik pada temuan penelitian maupun pada solusi pelatihan yang tersedia. Mereka tidak hanya mengkritik dari menara gading akademis; mereka turun tangan untuk membangun jembatan menuju masa depan.
Opini Saya: Diagnosis yang Cemerlang, Namun Kurang Satu Hal
Setelah membaca paper ini secara mendalam, saya harus angkat topi untuk para penelitinya. Ini adalah sebuah diagnosis yang tajam, didukung oleh data yang solid, dan disajikan sebagai panggilan mendesak bagi industri konstruksi Indonesia. Rigoritas dalam metode meta-analisis mereka patut diacungi jempol, dan kontribusi mereka dalam menyediakan bukti nyata untuk sesuatu yang selama ini hanya dirasakan sebagai firasat adalah sebuah layanan publik yang krusial bagi profesi QS.
Namun, jika ada satu kritik halus yang ingin saya sampaikan, itu adalah dari sudut pandang seorang praktisi individu yang membaca hasil penelitian ini. Paper ini dengan sangat baik menyusun rekomendasi untuk level institusional. Kesimpulannya menyerukan agar pemerintah melalui Kemenaker dan asosiasi profesi seperti Ikatan Quantity Surveyor Indonesia (IQSI) segera bertindak, misalnya dengan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) untuk memetakan unit-unit kompetensi baru. Ini adalah pendekatan top-down yang benar dan perlu.
Akan tetapi, paper ini berhenti di situ. Ia tidak memberikan peta jalan yang praktis dan terprioritaskan bagi seorang QS individu yang membaca temuan ini dan bertanya, "Baik, masalahnya besar. Apa yang harus saya lakukan besok pagi?" Ke-13 kompetensi baru disajikan sebagai satu kelompok. Seorang profesional di lapangan akan bertanya-tanya: "Dari mana saya harus mulai? Mana satu atau dua keahlian yang paling krusial untuk dipelajari sekarang agar karier saya aman?" Sebuah daftar sederhana seperti "5 Keahlian Teratas untuk Dipelajari Saat Ini" akan menjadi jembatan yang sangat berharga dari temuan akademis ke tindakan profesional yang segera.
Kesenjangan antara rekomendasi institusional dan kebutuhan aksi individual ini sering terjadi dalam riset akademis. Paper ini memberitahu institusi apa yang harus mereka lakukan, tetapi apa yang harus dilakukan oleh seorang individu sementara menunggu institusi-institusi tersebut bergerak—sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun? Di sinilah kita sebagai profesional harus mengambil inisiatif.
Langkah Anda Berikutnya: Jangan Menunggu Peta Digambar Ulang
Pesan terpenting dari penelitian ini bukanlah keputusasaan, melainkan kesempatan. Ya, peta resmi kita sudah usang. Ya, perubahan institusional berjalan lambat. Tapi, pertumbuhan karier pribadi bisa berjalan secepat yang kita inginkan.
Para profesional cerdas tidak akan melihat kesenjangan kompetensi ini sebagai ancaman, melainkan sebagai sebuah "contekan" untuk masa depan. Ke-13 kompetensi yang hilang itu adalah daftar belanja keahlian yang akan paling dicari dan dihargai dalam beberapa tahun ke depan. Anda memiliki dua pilihan:
Menunggu peta resmi digambar ulang, berharap perusahaan dan pemerintah akan memberitahu Anda apa yang harus dipelajari, dan berisiko menjadi usang dalam prosesnya.
Mulai menjelajahi wilayah baru ini sekarang, membangun keahlian dalam BIM, keberlanjutan, dan manajemen risiko, dan memposisikan diri Anda sebagai pemimpin di generasi QS berikutnya.
Jangan gunakan temuan paper ini sebagai alasan untuk mengeluh, tapi gunakanlah sebagai senjata untuk mempercepat karier Anda. Dengan mempelajari keahlian-keahlian ini sekarang, sebelum menjadi standar wajib, Anda akan mendiferensiasikan diri, memiliki daya tawar yang lebih tinggi, dan memenuhi syarat untuk peran-peran yang lebih strategis dan bergaji lebih tinggi.
Artikel ini hanyalah awal dari percakapan. Jika ini memicu rasa ingin tahu Anda dan Anda ingin menyelami datanya sendiri, saya sangat mendorong Anda untuk menjelajahi karya para peneliti secara lebih detail.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 30 September 2025
Tinjauan Kritis dan Agenda Riset: Membedah Hambatan Keselamatan Kerja pada Proyek Infrastruktur di Jalur Gaza
Penelitian oleh Yazan Issa Abu Aisheh dan rekan-rekannya, "Barriers of Occupational Safety Implementation in Infrastructure Projects: Gaza Strip Case," menyajikan sebuah analisis empiris yang krusial mengenai tantangan implementasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam konteks yang unik dan penuh tekanan.[1] Berlokasi di Jalur Gaza, sebuah wilayah yang ditandai oleh "kelangkaan sumber daya finansial," "kepadatan distribusi populasi," dan tantangan geopolitik yang signifikan, studi ini melampaui sekadar analisis keselamatan konstruksi konvensional.[1] Ia berfungsi sebagai studi kasus tentang manajemen K3 di bawah kondisi kendala ekstrem yang persisten. Urgensi temuan ini diperkuat oleh data global yang dikutip dalam paper, di mana kecelakaan kerja berdampak pada 4% PDB dunia—sebuah beban yang secara eksponensial lebih merusak bagi ekonomi rapuh seperti di Gaza.[1] Dengan demikian, temuan dari lingkungan "uji stres" ini menawarkan wawasan yang berharga dan dapat diterapkan di wilayah berkembang atau terdampak konflik lainnya yang menghadapi tantangan serupa.
Laporan ini menyajikan tinjauan kritis terhadap penelitian tersebut, membedah alur logis temuannya, mengidentifikasi kontribusi utamanya, serta menyoroti keterbatasan yang membuka jalan bagi arah riset masa depan. Tujuannya adalah untuk menyusun agenda riset yang terstruktur dan dapat ditindaklanjuti, yang dirancang khusus untuk komunitas akademik, para peneliti, dan lembaga pemberi dana hibah.
Analisis Kritis dan Alur Logis Temuan Penelitian
Fondasi metodologis penelitian ini dibangun di atas pendekatan kuantitatif yang solid. Sebuah kuesioner yang terdiri dari 39 item hambatan, yang divalidasi melalui tinjauan literatur dan survei percontohan, didistribusikan kepada 132 responden yang terdiri dari 36 konsultan dan 96 kontraktor di lima kegubernuran di Jalur Gaza.[1] Penggunaan Relative Importance Index (RII) sebagai alat analisis utama memungkinkan para peneliti untuk menyusun peringkat hambatan secara hierarkis, memberikan gambaran yang jelas mengenai tingkat keparahan masing-masing hambatan seperti yang dipersepsikan oleh para praktisi di lapangan.
Penelitian ini secara logis mengelompokkan temuannya ke dalam tiga domain utama: hambatan kebijakan keselamatan, hambatan manajemen, dan hambatan perilaku & budaya. Alur narasi temuan bergerak dari level makro (kebijakan) ke level meso (manajemen proyek) dan akhirnya ke level mikro (individu dan tim).
Pada domain hambatan kebijakan keselamatan, temuan yang paling menonjol adalah "Kontraktor yang berkomitmen pada program keselamatan kerja tidak diberi penghargaan," yang menempati peringkat pertama dengan RII gabungan 0.697.[1] Temuan ini bukan sekadar fakta terisolasi; ia merupakan bukti dari kegagalan sistemik dalam struktur insentif industri konstruksi di Gaza. Tanpa adanya penguatan positif (penghargaan), komitmen terhadap K3 dianggap sebagai biaya tambahan, bukan investasi.
Selanjutnya, pada domain hambatan manajemen, fokus beralih ke tingkat proyek. Hambatan dengan peringkat tertinggi adalah "Insinyur keselamatan tidak memiliki wewenang signifikan, seperti menghentikan pekerjaan bila diperlukan," dengan RII gabungan yang sangat tinggi, yaitu 0.718.[1] Hal ini mengindikasikan adanya pemutusan kritis antara tanggung jawab dan otoritas. Seorang insinyur keselamatan mungkin bertanggung jawab atas K3 di lapangan, tetapi tanpa wewenang untuk menegakkan aturan secara tegas, perannya menjadi tidak efektif.
Pada domain hambatan perilaku dan budaya, analisis menyentuh level individu dan tim kerja. Hambatan teratas adalah "Pekerja yang tidak berkomitmen pada keselamatan kerja tidak dikeluarkan/diberi sanksi," yang juga memiliki RII gabungan 0.718.[1] Ini menunjuk pada runtuhnya akuntabilitas dan penegakan aturan di tingkat paling dasar, menciptakan lingkungan di mana perilaku tidak aman ditoleransi.
Salah satu aspek paling kuat dari penelitian ini adalah "konvergensi pandangan yang kuat" antara konsultan dan kontraktor, dua kelompok yang secara tradisional sering memiliki prioritas yang saling bersaing.[1] Analisis korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik dalam pandangan mereka, misalnya pada kelompok hambatan manajemen (koefisien korelasi 0.550 dengan p-value 0.012).[1] Kesepakatan ini bukanlah sekadar observasi statistik. Ini adalah indikator yang kuat tentang betapa parah dan meresapnya masalah K3 di wilayah tersebut. Biasanya, kontraktor (yang berfokus pada biaya dan jadwal) dan konsultan (yang berfokus pada kualitas dan kepatuhan) mungkin saling menyalahkan atas masalah proyek. Fakta bahwa mereka sangat setuju mengenai hambatan utama menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah soal perspektif atau konflik antarpihak, melainkan masalah yang bersifat sistemik dan struktural, yang telah tertanam dalam tatanan industri konstruksi Gaza.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama dari penelitian ini terletak pada tiga area. Pertama, ia menyediakan kerangka kerja hambatan K3 yang divalidasi secara empiris dan spesifik secara kontekstual untuk proyek infrastruktur di lingkungan yang terbatas sumber daya.[1] Daftar 39 hambatan ini menjadi dasar (baseline) yang sangat penting untuk penelitian atau intervensi kebijakan di masa depan, baik di Gaza maupun di wilayah lain dengan karakteristik serupa.
Kedua, penelitian ini menunjukkan ketelitian metodologis yang kuat. Instrumen kuesionernya menunjukkan validitas internal yang tinggi (p-value < 0.05 untuk semua item) dan reliabilitas yang sangat baik (Cronbach's Alpha total 0.911, dengan setiap dimensi di atas 0.7).[1] Hal ini menjadikan instrumen tersebut sebagai alat yang dapat digunakan kembali dan diadaptasi untuk penelitian di konteks lain, meningkatkan potensi komparabilitas studi lintas negara.
Ketiga, dan yang paling signifikan secara analitis, data yang disajikan memungkinkan sintesis dari apa yang dapat disebut sebagai "Tiga Serangkai Ketidakberdayaan" (Powerlessness Triad). Tiga hambatan peringkat teratas—tidak ada penghargaan (kebijakan), tidak ada wewenang (manajemen), dan tidak ada sanksi (perilaku)—bukanlah isu-isu yang independen. Mereka membentuk sebuah siklus kegagalan sistemik yang saling menguatkan di semua tingkatan hierarki K3. Di tingkat kebijakan, tidak ada penguatan positif. Di tingkat manajemen proyek, tidak ada agen yang berdaya untuk menegakkan aturan. Dan di tingkat individu, tidak ada konsekuensi negatif untuk tindakan tidak aman. Kombinasi ini menciptakan "budaya impunitas" di mana sistem secara inheren terstruktur untuk mengesampingkan K3. Kontribusi paper ini bukan hanya mengidentifikasi tiga titik ini, tetapi menyediakan data yang, ketika disintesis, mengungkapkan kerusakan sistemik yang saling terkait ini.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun memiliki kontribusi yang signifikan, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang justru menjadi landasan kuat untuk penelitian lanjutan. Pertama adalah cakupan pemangku kepentingan yang terbatas. Studi ini secara eksklusif berfokus pada konsultan dan kontraktor.[1] Hal ini mengabaikan perspektif dari dua kelompok yang sangat penting: pemilik proyek/klien (yang menetapkan anggaran dan persyaratan kontrak) dan para pekerja itu sendiri (yang paling terdampak langsung oleh kegagalan K3). Ini membuka pertanyaan penelitian yang mendasar: Apakah pemilik proyek dan pekerja mempersepsikan hambatan-hambatan ini dengan prioritas yang sama?
Kedua adalah sifat data yang kuantitatif. Penelitian ini sangat baik dalam mengidentifikasi apa saja hambatannya dan seberapa penting peringkatnya. Namun, ia tidak dapat menjelaskan mengapa hambatan-hambatan ini terus ada. Misalnya, mengapa insinyur keselamatan tidak memiliki wewenang? Apakah karena bahasa kontrak yang lemah, struktur kekuasaan informal di lapangan, atau norma budaya yang mengutamakan kecepatan di atas segalanya? Keterbatasan ini secara langsung menunjuk pada kebutuhan mendesak akan penelitian kualitatif.
Ketiga, desain penelitiannya bersifat cross-sectional, yang berarti ia hanya memberikan gambaran sesaat pada satu waktu. Seperti yang diakui oleh penulis sendiri di bagian "Arah Masa Depan", studi ini tidak menangkap bagaimana hambatan-hambatan ini bermanifestasi atau berubah di berbagai fase proyek (desain, konstruksi, operasi, dan pembongkaran).[1] Ini memunculkan pertanyaan: Apakah hambatan kebijakan lebih kritis selama fase penawaran, sementara hambatan perilaku mendominasi selama puncak konstruksi?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diidentifikasi, lima jalur penelitian berikut direkomendasikan untuk membangun fondasi yang telah diletakkan oleh studi ini.
Kesimpulan: Menuju Kolaborasi Lintas Institusi
Sebagai kesimpulan, penelitian oleh Abu Aisheh et al. berfungsi sebagai studi diagnostik yang sangat penting, yang secara kuantitatif memetakan patologi sistem keselamatan konstruksi di Jalur Gaza.[1] Namun, diagnosis hanyalah langkah pertama. Agenda riset yang diusulkan dalam laporan ini merupakan langkah selanjutnya yang logis dan krusial, bergerak dari identifikasi masalah menuju pengembangan solusi, validasi kebijakan, dan pemahaman yang lebih holistik dan dinamis. Keberhasilan agenda ini bergantung pada pendekatan kolaboratif.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antara institusi akademik seperti departemen teknik sipil di universitas lokal Palestina, badan regulasi pemerintah yang bertanggung jawab atas standar konstruksi, dan organisasi non-pemerintah internasional yang mendanai dan mengawasi banyak proyek infrastruktur di wilayah tersebut untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
Baca Selengkapnya di: https://doi.org/10.3390/ijerph18073553
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 30 September 2025
Mengurai Faktor Penentu Kinerja Keselamatan di Industri Konstruksi: Dari Data Lapangan ke Agenda Riset Masa Depan
Industri konstruksi punya peran vital dalam pembangunan ekonomi. Namun di balik geliat pembangunan gedung pencakar langit, jalan raya, dan infrastruktur besar lainnya, terdapat sisi gelap yang kerap luput dari perhatian: angka kecelakaan kerja yang tinggi. Di Malaysia saja, data SOSCO mencatat peningkatan kecelakaan konstruksi sebesar 5,6% dalam kurun 1995–2003, dengan lonjakan fatalitas hingga 58,3%. Angka ini menegaskan bahwa konstruksi masih menjadi sektor dengan risiko keselamatan paling serius.
Sebuah penelitian dari Nasrun dkk. (2016) berusaha mengurai akar persoalan ini. Melalui literature review dan survei kuesioner terhadap 40 responden, mereka mengevaluasi faktor-faktor yang paling memengaruhi kinerja keselamatan (safety performance) di proyek konstruksi. Analisis data dilakukan dengan skala Likert, menghasilkan gambaran jelas tentang titik-titik lemah yang paling rawan memicu kecelakaan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Temuan riset ini cukup gamblang. Jenis kecelakaan paling dominan adalah jatuh dari ketinggian (22%), disusul oleh pekerja yang tertimpa objek (17,1%). Kedua jenis kecelakaan ini konsisten dengan fenomena global yang sering disebut “fatal four” dalam industri konstruksi.
Lebih dalam lagi, penelitian ini mengelompokkan faktor penyebab ke dalam empat kategori besar: manajemen, budaya, perilaku, dan kesadaran. Beberapa temuan kunci di antaranya:
Jika dirangkum, temuan ini menegaskan satu hal: kesadaran (awareness) adalah faktor paling dominan. Dengan skor rata-rata 4,23, kesadaran pekerja terhadap pentingnya keselamatan berhubungan kuat dengan tingkat kecelakaan. Data ini bisa dibaca sebagai “koefisien korelasi praktis” — semakin rendah awareness, semakin tinggi potensi kecelakaan.
Riset ini juga tidak berhenti pada diagnosis masalah, tetapi menawarkan solusi. Inspeksi harian supervisor (skor 4,23), toolbox meeting rutin (4,28), dan pengawasan ketat dari manajemen (4,40) terbukti disetujui responden sebagai langkah mitigatif. Dalam bahasa sederhana: keselamatan bisa ditingkatkan jika ada disiplin struktural dan komitmen budaya di lapangan.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meski berkontribusi besar, penelitian ini juga memiliki keterbatasan yang menarik untuk dicermati:
Pertanyaan terbuka yang lahir dari sini antara lain: bagaimana budaya organisasi memediasi perilaku individu? Seberapa efektif toolbox meeting digital dibanding tatap muka? Dan apakah teknologi wearable bisa mengurangi dominasi kecelakaan akibat jatuh?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
1. Studi Longitudinal tentang Perubahan Kesadaran
Mengapa penting? Karena awareness terbukti faktor dominan (skor 4,23).
Metode yang disarankan: Survei panel tahunan, dikombinasikan observasi langsung di proyek.
Tujuan: Mengukur apakah pelatihan dan briefing benar-benar mengubah perilaku dalam jangka panjang.
2. Eksperimen Toolbox Meeting Digital
Dasar riset: Ketiadaan briefing menurunkan keselamatan (skor 3,58).
Metode: RCT (Randomized Controlled Trial) membandingkan pekerja yang mendapat briefing lewat aplikasi mobile dengan yang tatap muka.
Target: Mengetahui apakah teknologi dapat meningkatkan pemahaman risiko lebih cepat dan konsisten.
3. Analisis Jalur Kausal dengan SEM
Dasar: Data menunjukkan faktor manajemen (4,05), budaya (3,85), perilaku (3,98) saling berinteraksi.
Metode: Structural Equation Modeling (SEM).
Tujuan: Mengurai jalur kausal: apakah budaya organisasi lebih berpengaruh lewat manajemen, atau langsung ke perilaku individu?
4. Studi Pendidikan Formal dan Non-Formal dalam K3
Dasar: Banyak pekerja tidak berpendidikan formal (skor 3,75).
Metode: Survei + studi kasus pelatihan vocational training.
Tujuan: Mengukur seberapa besar peningkatan keselamatan setelah pelatihan teknis atau sertifikasi.
5. Uji Teknologi Wearable untuk Pencegahan Jatuh
Dasar: Jatuh adalah penyebab utama kecelakaan (22%).
Metode: Uji coba sensor wearable yang mendeteksi posisi tubuh, dikombinasikan alarm otomatis.
Target: Menguji efektivitas teknologi dibanding intervensi konvensional seperti signage atau briefing.
Menatap Masa Depan: Sinergi Ilmu, Industri, dan Kebijakan
Dari semua temuan ini, satu benang merah bisa ditarik: keselamatan kerja di konstruksi bukan hanya soal alat, tetapi soal budaya dan kesadaran. Peralatan keselamatan bisa tersedia, tapi jika pekerja enggan memakainya, atau manajemen abai dalam pengawasan, risiko tetap tinggi.
Agenda riset ke depan harus lebih berani menggabungkan pendekatan multidisipliner: manajemen, psikologi perilaku, pendidikan, hingga teknologi digital. Kombinasi inilah yang bisa menjawab tantangan kompleks di lapangan.
Ajakan Kolaboratif
Riset ini membuka pintu besar untuk kolaborasi. Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lanjutan sebaiknya melibatkan universitas, asosiasi konstruksi, regulator keselamatan seperti DOSH dan CIDB, serta lembaga pelatihan K3. Dengan sinergi ini, industri konstruksi tidak hanya lebih produktif, tetapi juga lebih aman bagi semua pekerjanya.
Baca Selengkapnya di: Mohd Nawi, Mohd Nasrun & Siti Halipah, Ibrahim & Affandi, Rohaida & Rosli, Nor & Basri, Fazlin. (2016). Factor Affecting Safety Performance Construction Industry. Public Management Review. 6. 280-285.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 September 2025
Studi ini adalah studi literatur yang mengkaji peran metode Activity on Arrow (AOA) dalam pembelajaran mata kuliah Manajemen Konstruksi. Berdasarkan tinjauan pustaka, AOA dinilai sangat penting dalam melatih mahasiswa berpikir sistematis, logis, kritis, dan kreatif dalam menyusun jadwal proyek konstruksi. AOA diperkenalkan sebagai metode awal (pra-syarat) sebelum mempelajari metode jaringan kerja selanjutnya, Precedence Diagramming Method (PDM), sehingga dapat meningkatkan prinsip pembelajaran tuntas secara berkelanjutan dalam mata kuliah tersebut. Dengan demikian, studi ini menegaskan bahwa integrasi AOA ke dalam kurikulum Teknik Sipil dapat memperkuat landasan kompetensi mahasiswa dalam perencanaan proyek sebelum masuk ke konsep yang lebih kompleks.
Sorotan Data: Kajian pustaka ini bersifat kualitatif tanpa menyajikan data kuantitatif eksperimental. Namun, temuan kajian menyatakan bahwa penerapan AOA secara konsisten dapat meningkatkan keterampilan analitis mahasiswa dalam manajemen proyek (walaupun tidak ada statistik yang dilaporkan).
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi ini memberikan konfirmasi konseptual tentang signifikansi penggunaan AOA dalam pendidikan teknik sipil. Dengan menyajikan sintesis literatur, penelitian ini menegaskan bahwa AOA berperan sebagai fondasi pembelajaran dalam mata kuliah Manajemen Konstruksi, yang mengembangkan pola pikir kritis dan analitis mahasiswa. Sumbangan utamanya adalah membangun argumen bahwa penerapan AOA sebagai metode pengajaran awal dapat memudahkan pemahaman konsep penjadwalan proyek secara mendalam. Penelitian ini juga mempromosikan pembelajaran berbasis masalah di bidang konstruksi, karena AOA memperkuat penguasaan konsep sebelum melanjutkan ke metode lanjutan (PDM).
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Keterbatasan utama penelitian ini adalah metodologi kajian pustaka, tanpa eksperimen atau observasi di lapangan. Dengan demikian, hasil temuan masih bersifat teori dan belum diuji efektivitasnya dalam praktik kelas atau konstruksi riil. Penelitian ini juga tidak membandingkan AOA dengan metode lain secara kuantitatif, sehingga tidak menampilkan seberapa besar peningkatan hasil belajar yang dihasilkan oleh penggunaan AOA. Pertanyaan terbuka meliputi sejauh mana AOA dapat diintegrasikan ke dalam praktik pembelajaran modern (misalnya e-learning) serta bagaimana pengaruhnya terhadap hasil belajar dan kinerja lapangan mahasiswa. Selain itu, dampak AOA pada variabel motivasi atau soft-skill mahasiswa belum terjelaskan, menjadi agenda riset selanjutnya.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Ajakan Kolaboratif
Kami mengundang kolaborasi dengan program studi teknik sipil dan teknik bangunan di universitas lain (misalnya ITS, UNPAD) serta dengan SMK dan industri konstruksi. Kerja sama dengan laboratorium teknik sipil UNJ, asosiasi kontraktor (AKI), dan lembaga pelatihan teknik dapat membantu uji coba lapangan dan implementasi metode AOA di lingkungan nyata. Melalui kolaborasi interdisipliner dan dukungan institusi, inovasi pengajaran ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi lulusan vokasi teknik sipil secara berkelanjutan.
Pelita Sukma, T. C. (2020). BUKU PROSIDING SEMINAR PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2020 "Inovasi Pembangunan dalam Teknologi dan Pendidikan". Buku Prosiding SPKTS 2020 Jilid 1. 10 - 17 https://doi.org/10.21009/JPENSIL.V8I1.8481
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 22 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah tantangan fundamental dalam manajemen konstruksi: bagaimana mengelola proyek yang merupakan entitas yang kompleks, berjaringan, dan dinamis secara efektif. Secara tradisional, perencanaan dan kontrol produksi (PP&C) didekati dari sudut pandang "Platonian", yang memandang produksi sebagai sebuah sistem yang dapat direncanakan dan dikendalikan secara terpusat dari atas ke bawah. Namun, semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa realitas di lapangan lebih mencerminkan pandangan "Aristotelian", di mana keputusan dan tindakan sebagian besar berkembang melalui interdependensi, keahlian, dan tindakan yang terorganisir sendiri oleh para kru.
Menjawab realitas ini, PP&C yang terdesentralisasi—di mana otonomi dan pengambilan keputusan didistribusikan ke tingkat yang lebih rendah—muncul sebagai sebuah jalur perbaikan yang potensial dan telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam meningkatkan kinerja produksi. Kerangka teoretis studi ini dibangun di atas tiga pendorong utama yang diidentifikasi dari literatur sebelumnya agar desentralisasi berhasil:
resiliensi (kemampuan beradaptasi), transparansi/kepercayaan, dan otonomi (pemberdayaan kru untuk membuat keputusan). Dengan demikian, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi secara mendalam efek dari desentralisasi (dan sebagai kontras, sentralisasi) dalam PP&C konstruksi, dengan mengajukan pertanyaan penelitian spesifik mengenai bagaimana partisipan proyek berkomunikasi, bagaimana mereka terlibat dalam pengambilan keputusan, dan bagaimana mereka mempersepsikan pendorong-pendorong desentralisasi tersebut.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kompleks ini, penulis mengadopsi metodologi studi multi-kasus komparatif yang kuat, yang membandingkan sebuah proyek dengan pendekatan PP&C terdesentralisasi (Kasus 1: renovasi kantor komersial) dengan proyek yang menggunakan pendekatan terpusat (Kasus 2).
Pendekatan pengumpulan data yang digunakan bersifat multi-metode, yang secara inovatif menggabungkan dua teknik yang saling melengkapi:
Analisis Jaringan Sosial (Social Network Analysis - SNA): Sebuah survei digunakan untuk memetakan secara kuantitatif dua jenis jaringan interaksi: jaringan aliran informasi (untuk komunikasi umum) dan jaringan pengambilan keputusan (untuk memetakan struktur kekuasaan).
Wawancara Semi-Terstruktur: Sebanyak 13 wawancara mendalam dilakukan dengan para manajer dan anggota kru untuk menangkap persepsi, pengalaman, dan nuansa kualitatif yang tidak dapat diungkap oleh data jaringan semata.
Analisis data dilakukan secara deduktif, di mana temuan dari SNA dan wawancara dianalisis secara sistematis berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Kebaruan dari karya ini terletak pada penggunaan pendekatan multi-metode yang canggih ini untuk membedah dinamika sosio-teknis dari PP&C. Dengan memadukan analisis struktural dari SNA dengan wawasan kualitatif dari wawancara, penelitian ini berhasil melampaui deskripsi sederhana dan menyajikan sebuah gambaran yang kaya dan berlapis mengenai bagaimana perencanaan dan kontrol benar-benar terjadi di lapangan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang komprehensif dari kedua kasus menghasilkan serangkaian temuan yang memberikan wawasan bernuansa mengenai kelebihan dan tantangan dari kedua pendekatan PP&C.
Struktur Komunikasi dan Pengambilan Keputusan: Ditemukan bahwa pada kasus terdesentralisasi (Kasus 1), terdapat komunikasi yang lebih langsung antara kru dan manajer, yang mengurangi kebutuhan akan perantara dan mempercepat aliran informasi. Namun, terlepas dari pendekatan yang digunakan (terpusat atau terdesentralisasi), manajer lapangan dari kontraktor utama secara konsisten berfungsi sebagai pusat informasi utama (primary information hub). Temuan ini didukung baik oleh data SNA maupun oleh wawancara dengan para manajer.
Peran Kru dan Pemimpin Kru: Penelitian ini secara empiris mengonfirmasi apa yang sering kali menjadi pengetahuan tak terucapkan di lapangan: pemimpin kru (crew leaders) memiliki pemahaman keseluruhan terbaik mengenai status produksi aktual. Temuan ini, yang didukung baik oleh analisis jaringan maupun oleh persepsi anggota kru, menyoroti pentingnya peran pemimpin kru sebagai simpul pengetahuan yang krusial. Bahkan dalam sistem yang terpusat, ditemukan adanya tingkat otonomi pengambilan keputusan harian di tingkat operator individu, yang menunjukkan bahwa desentralisasi informal sering kali terjadi secara alami.
Persepsi terhadap Desentralisasi: Para responden wawancara dari kedua kasus secara umum memandang pendorong desentralisasi (resiliensi, transparansi, otonomi) sebagai hal yang bermanfaat bagi PP&C. Kehadiran pendorong-pendorong ini terbukti meningkatkan kinerja. Namun, temuan yang paling signifikan adalah adanya
kesenjangan persepsi yang jelas antara manajer dan kru. Manfaat dari pendekatan terdesentralisasi ditemukan terutama hanya dirasakan dan diterapkan pada level manajerial dan pemimpin kru, dan tidak sepenuhnya meresap ke seluruh anggota kru. Selain itu, terdapat konsensus yang kuat dari para praktisi bahwa beberapa aspek PP&C—seperti perencanaan strategis skala besar, koordinasi antar proyek, dan pesanan material dalam jumlah besar—sebaiknya tetap dikelola secara terpusat.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Meskipun menyajikan analisis yang kuat, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Sebagai sebuah studi kasus yang berfokus pada dua proyek di Finlandia, generalisasi temuannya ke konteks budaya atau jenis proyek lain harus dilakukan dengan hati-hati. Selain itu, sifat penelitian yang kualitatif dan interpretif berarti bahwa temuan ini kaya akan konteks tetapi tidak dapat menghasilkan klaim statistik yang luas.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas dan dapat ditindaklanjuti. Ia memberikan argumen berbasis bukti bahwa manajemen yang efektif, terlepas dari apakah pendekatannya terpusat atau terdesentralisasi, harus mengakui dan memberdayakan keahlian yang ada di tingkat kru. Untuk mengurangi kesenjangan persepsi dan meningkatkan kapabilitas PP&C secara keseluruhan, para manajer perlu secara aktif melibatkan kru dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang relevan dengan pekerjaan mereka.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif meletakkan fondasi yang kokoh. Penulis secara tepat merekomendasikan perlunya studi intervensi untuk menguji secara langsung bagaimana implementasi tindakan-tindakan perbaikan yang diusulkan—seperti peningkatan otonomi kru dan pengakuan terhadap keahlian mereka—dapat secara nyata memajukan praktik PP&C di lapangan.
Sumber
Lehtovaara, J., Seppänen, O., & Peltokorpi, A. (2022). Improving construction management with decentralised production planning and control: exploring the production crew and manager perspectives through a multi-method approach. Construction Management and Economics, 40(4), 254-277. https://doi.org/10.1080/01446193.2022.2045053