Membangun Keselamatan Kerja yang Lebih Baik: Panduan Kualifikasi Personel Konstruksi Berbasis Riset

Dipublikasikan oleh Raihan

19 September 2025, 17.51

unsplash.com

Pengantar Analitis: Konteks dan Urgensi Riset

Industri konstruksi adalah pilar vital bagi ekonomi global, memberikan kontribusi signifikan yang membentuk lanskap pembangunan di seluruh dunia. Pada tahun 2017, sektor ini diperkirakan menyumbang lebih dari USD 10 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global, dengan kontribusi sebesar kurang lebih USD 892 miliar di Amerika Serikat (AS) saja. Sektor ini juga merupakan penyedia lapangan kerja yang masif, mempekerjakan lebih dari 7 juta orang di AS dengan proyeksi peningkatan tenaga kerja yang stabil, yang diantisipasi akan menarik hampir 400.000 karyawan baru.1 Namun, di balik angka-angka ekonomi yang mengesankan ini, industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor paling berbahaya. Situasi ini diperburuk oleh tingginya angka cedera fatal dan non-fatal. Menurut data yang disoroti oleh studi, satu dari setiap lima kematian pekerja di AS terjadi dalam industri konstruksi, menjadikan pekerja konstruksi 5.5 kali lebih mungkin meninggal di tempat kerja dibandingkan pekerja di sektor lain.1 Puncak dari krisis ini terlihat pada tahun 2019, di mana Biro Statistik Tenaga Kerja mencatat 1.061 kematian pekerja konstruksi, total terbesar sejak 2007.1

Angka-angka yang mengejutkan ini bukan sekadar statistik belaka; angka ini berfungsi sebagai justifikasi moral dan praktis yang kuat untuk seluruh argumen dalam studi ini. Mereka menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dan memperkuat urgensi penelitian yang secara fundamental menargetkan akar masalah keselamatan: kurangnya personel yang berkualitas. Sebagaimana yang diyakini oleh para profesional dan peneliti industri, tingginya angka cedera tidak selalu disebabkan oleh kesalahan pekerja garis depan. Seringkali, kecelakaan berakar pada perencanaan dan kontrol keselamatan yang buruk oleh manajemen menengah dan atas.1 Penelitian sebelumnya mendukung asumsi ini, menunjukkan bahwa probabilitas peningkatan kinerja keselamatan secara keseluruhan melonjak sebesar 2.29 kali lipat, yang setara dengan peningkatan 229%, dengan keberadaan personel keselamatan purnawaktu.1

Meskipun peran personel keselamatan sangat krusial, paper ini menggarisbawahi kekosongan pengetahuan yang signifikan: tidak ada panduan atau konsensus yang jelas di antara para pemangku kepentingan di AS mengenai kualifikasi yang diinginkan untuk personel keselamatan konstruksi.1 Kekosongan ini secara kausal terhubung dengan perbedaan yang substansial dalam kualifikasi personel yang ada. Berbagai panduan yang ada, seperti yang disediakan oleh American Society of Safety Professionals (ASSP), bersifat terlalu umum dan tidak spesifik untuk sektor konstruksi, bahkan merekomendasikan sertifikasi yang jarang atau tidak pernah digunakan dalam industri ini.1 Oleh karena itu, penelitian ini dirancang untuk mendefinisikan secara sistematis kriteria "siapa" yang harus menempati posisi krusial tersebut, dengan harapan dapat mengarahkan industri menuju perbaikan kinerja keselamatan yang substansial dan berkelanjutan.

Analisis Metodologi dan Alur Temuan

Untuk mencapai tujuannya dalam mengidentifikasi kualifikasi yang diinginkan, studi ini mengadopsi metode Delphi. Metodologi ini dipilih secara strategis karena kemampuannya untuk mencapai konsensus dari sekelompok ahli melalui survei multi-putaran yang terstruktur dan anonim.1 Penulis secara transparan mengakui kekuatan utama metode ini, seperti kemampuannya untuk mengumpulkan input ahli tanpa bias yang disebabkan oleh kepribadian dominan atau tekanan kelompok, serta kelemahannya, seperti proses yang memakan waktu dan potensi bias dalam pemilihan ahli.1

Aspek yang sangat penting dari rigor metodologis studi ini terletak pada proses seleksi panel ahli. Untuk memastikan bahwa panelis benar-benar merupakan ahli subjek yang mumpuni, peneliti menerapkan sistem poin yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya. Dari 18 kandidat yang bersedia berpartisipasi, tiga diantaranya dieliminasi karena tidak memenuhi kriteria ketat yang telah ditetapkan, yaitu skor minimum 15 poin dalam sistem kualifikasi, pengalaman profesional minimal 10 tahun, dan gelar pendidikan tinggi.1 Proses eliminasi yang ketat ini bukan hanya sekadar prosedur; ini adalah validasi internal yang secara langsung mengatasi batasan yang diakui oleh studi itu sendiri tentang "bias seleksi ahli." Pendekatan ini menunjukkan bagaimana sebuah studi Delphi dapat secara proaktif memitigasi kelemahan inherennya, meningkatkan keandalan dan validitas temuan secara keseluruhan.

Perjalanan studi menuju konsensus adalah demonstrasi yang menarik tentang dinamika antara teori dan praktik. Pada Putaran 1, panelis diminta untuk menentukan kualifikasi minimum yang "diwajibkan" (required) untuk tiga posisi keselamatan. Temuan awal ini kemudian disajikan kembali pada Putaran 2. Namun, tingkat konsensus yang tercapai untuk posisi profesional keselamatan dan manajer keselamatan hanya sebesar 53.85%, yang relatif rendah untuk studi Delphi.1 Komentar dari panelis yang tidak setuju mengungkapkan alasan yang mendalam: mereka merasa istilah "diwajibkan" terlalu kaku dan tidak realistis untuk diterapkan di industri yang sangat beragam. Salah satu panelis bahkan menyatakan bahwa "tiga atau empat huruf setelah nama Anda tidak berarti banyak di lapangan" tanpa pengalaman yang relevan, menyoroti ketegangan antara kredensial formal dan kompetensi praktis.1

Menanggapi umpan balik yang kritis ini, peneliti melakukan perubahan metodologis yang signifikan. Dalam Putaran 3, istilah "diwajibkan" diubah menjadi "direkomendasikan" (recommended). Pergeseran terminologi yang tampaknya sederhana ini menghasilkan lonjakan konsensus yang dramatis, dengan tingkat persetujuan naik menjadi 84.62% untuk posisi profesional dan 92.31% untuk manajer.1 Kenaikan yang signifikan ini menunjukkan hubungan kuat antara kebutuhan panduan kualifikasi spesifik dan metodologi Delphi yang cermat, dengan koefisien lonjakan konsensus dari 53.85% menjadi 92.31%—menunjukkan potensi kuat untuk merumuskan pedoman praktis yang dapat diterima secara luas oleh industri.

Perubahan terminologi ini juga mengungkapkan sebuah pemahaman mendalam tentang nilai sesungguhnya dari studi ini. Nilai inti dari temuan ini bukan pada penetapan standar yang kaku dan tidak fleksibel, tetapi pada penyediaan kerangka kerja yang dapat beradaptasi dan dapat diterima oleh para pemangku kepentingan. Studi ini secara efektif mengidentifikasi bahwa kunci untuk adopsi pedoman di lapangan adalah dengan mendefinisikan kualifikasi yang "diinginkan" (desired) daripada "wajib." Temuan akhir dari proses Delphi dan validasi yang dilakukan mengidentifikasi kualifikasi spesifik untuk setiap posisi.

Untuk posisi keselamatan level awal, studi ini merekomendasikan kualifikasi dasar berupa ijazah sekolah menengah, dengan pengalaman 1 hingga 3 tahun. Sertifikasi tidak dianggap sebagai persyaratan wajib untuk posisi ini. Bagi seorang profesional keselamatan, kualifikasi yang diinginkan adalah memiliki gelar sarjana atau setara gelar 4-tahun, dengan pengalaman 3 hingga 5 tahun. Studi ini juga menunjukkan bahwa sertifikasi seperti Construction Health and Safety Technician (CHST) atau Graduate Safety Practitioner (GSP) sangat direkomendasikan. Sementara itu, untuk posisi manajer keselamatan, kualifikasi yang diinginkan adalah gelar sarjana atau setara gelar 4-tahun dengan pengalaman minimal 5 tahun atau lebih. Selain itu, sertifikasi CHST atau Certified Safety Professional (CSP) dianggap sebagai kualifikasi yang diinginkan.1

Studi ini juga menemukan bahwa mayoritas panelis setuju bahwa pendidikan bisa berasal dari bidang yang terkait dengan konstruksi secara luas (93.34%) dan pengalaman bisa didapat dari industri konstruksi secara umum (86.67%).1 Fleksibilitas ini memperkuat keselarasan antara temuan studi dan realitas lapangan.

 

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Paper ini memberikan beberapa kontribusi signifikan yang berdampak baik pada ranah teoretis maupun praktis dalam bidang keselamatan konstruksi. Pertama, studi ini berhasil mengisi kekosongan pengetahuan yang sangat kritis dalam literatur.1 Berbeda dengan panduan umum yang sudah ada, seperti yang disediakan oleh ASSP, yang tidak spesifik untuk industri konstruksi dan bahkan merekomendasikan sertifikasi yang jarang atau tidak relevan, penelitian ini menyajikan pedoman yang secara langsung dapat diterapkan dalam konteks industri konstruksi AS.

Kedua, studi ini menghadirkan landasan pengetahuan teoretis dan praktis yang baru. Selain hanya mengidentifikasi kualifikasi, studi ini menyediakan metodologi yang dapat direplikasi untuk mencapai konsensus ahli, menambahkan "kontribusi teoretis pada badan pengetahuan tentang keselamatan konstruksi".1 Proses seleksi ahli yang cermat dan adaptasi terhadap umpan balik panelis menunjukkan pendekatan penelitian yang inovatif dan terstruktur, yang dapat berfungsi sebagai model untuk studi Delphi di masa depan.

Ketiga, dan yang paling penting, studi ini memberikan pedoman praktis yang realistis dan dapat diimplementasikan. Dengan beralih dari terminologi "wajib" menjadi "direkomendasikan" dan mengakui relevansi pengalaman di bidang konstruksi secara umum, studi ini menciptakan kerangka kerja yang tidak hanya didasarkan pada konsensus ahli, tetapi juga disesuaikan dengan realitas pasar kerja.1 Pedoman yang dihasilkan dapat secara langsung diadopsi oleh pemangku kepentingan industri, seperti kontraktor umum, untuk meningkatkan proses perekrutan mereka, yang pada gilirannya diharapkan dapat berdampak positif pada kinerja keselamatan dan proyek secara keseluruhan.1

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Studi ini secara transparan mengakui beberapa keterbatasan penting yang harus dipertimbangkan. Pertama, sebagai studi Delphi, temuan-temuan yang dihasilkan sangat bergantung pada persepsi panel ahli, yang secara inheren dapat memperkenalkan bias dan subjektivitas.1 Meskipun penulis telah melakukan mitigasi melalui proses seleksi yang ketat, keterbatasan ini tetap ada. Kedua, penulis juga mengakui bahwa temuan dari studi Delphi mungkin tidak dapat digeneralisasi secara luas di luar konteks penelitian spesifik, meskipun studi validasi singkat telah dilakukan untuk mengurangi keterbatasan ini.1

Selain keterbatasan yang diakui, studi ini juga memunculkan beberapa pertanyaan terbuka yang signifikan, yang berfungsi sebagai titik awal untuk penelitian di masa depan. Pertanyaan pertama adalah tentang hubungan kausal. Meskipun studi ini mengasumsikan bahwa kualifikasi yang diinginkan akan meningkatkan kinerja keselamatan, asumsi ini tidak diuji secara empiris. Hubungan kausal ini tetap menjadi hipotesis yang kuat tetapi belum terverifikasi secara definitif.1

Kedua, ada ketegangan yang jelas antara nilai sertifikasi dan keterampilan praktis. Komentar dari panelis yang skeptis tentang nilai sertifikasi tanpa pengalaman yang relevan menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk memahami bobot relatif dari setiap kualifikasi. Studi ini menetapkan sertifikasi sebagai kualifikasi yang "diinginkan," tetapi gagal mengeksplorasi secara mendalam bagaimana kredensial formal ini diterjemahkan menjadi efektivitas di lapangan, sebuah area yang matang untuk penelitian lebih lanjut.

Ketiga, studi ini secara eksklusif berfokus pada kualifikasi teknis dan formal, mengabaikan pentingnya "soft skills" atau kualifikasi non-teknis. Tinjauan literatur dalam paper ini menyinggung bahwa "kreativitas dan inovasi" serta "sosiabilitas" membentuk kompetensi seorang koordinator keselamatan 1, namun studi Delphi tidak mengukur atau mengeksplorasi aspek-aspek ini. Hal ini meninggalkan kesenjangan pengetahuan yang signifikan mengenai bagaimana atribut interpersonal dan keterampilan manajemen berkontribusi pada kesuksesan seorang profesional keselamatan, yang membutuhkan eksplorasi yang lebih mendalam.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan analisis mendalam terhadap temuan dan keterbatasan studi oleh Karakhan dan Al-Bayati, berikut adalah lima rekomendasi riset yang dapat membentuk agenda penelitian di masa depan untuk komunitas akademik dan para penerima hibah. Setiap rekomendasi berakar kuat pada temuan dalam paper ini dan bertujuan untuk memperluas validitas serta kedalaman pemahaman kita.

  1. Validasi Empiris Kuantitatif Lintas-Industri:
    Justifikasi ilmiah untuk penelitian ini berangkat langsung dari keterbatasan studi yang mengakui generalisasi yang terbatas dan kurangnya data empiris lapangan. Meskipun studi validasi telah dilakukan, studi ini tidak mencakup skala yang memadai untuk mengkonfirmasi bahwa kualifikasi yang direkomendasikan benar-benar menghasilkan peningkatan kinerja keselamatan. Oleh karena itu, langkah logis selanjutnya adalah melakukan validasi kuantitatif yang lebih luas.
    Penelitian ini harus berupa studi survei berskala besar, yang menargetkan perusahaan konstruksi dari berbagai ukuran dan spesialisasi di seluruh AS. Variabel yang akan diukur meliputi tingkat kecelakaan, metrik kinerja keselamatan yang terukur seperti Experience Modification Rate (EMR), dan data rinci tentang kualifikasi personel keselamatan yang dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk secara statistik menguji hipotesis apakah perusahaan yang mempekerjakan personel dengan kualifikasi yang direkomendasikan oleh paper ini benar-benar menunjukkan metrik keselamatan yang lebih baik. Temuan ini akan memberikan dasar empiris yang kuat untuk mendukung temuan Delphi dan memberikan argumen bisnis yang tak terbantahkan bagi industri.
  2. Eksplorasi Mendalam Kualifikasi Non-Teknis (Soft Skills):
    Studi ini secara eksplisit menyoroti pentingnya pendidikan, pengalaman, dan sertifikasi, tetapi mengabaikan kualifikasi non-teknis yang disinggung dalam tinjauan literatur, seperti kreativitas, inovasi, dan sosiabilitas.1 Hal ini menciptakan kesenjangan yang signifikan, karena soft skills seringkali menjadi pembeda antara personel keselamatan yang efektif dan yang biasa-biasa saja.

    Penelitian lanjutan ini harus mengadopsi pendekatan kualitatif, menggunakan wawancara mendalam dan focus group dengan personel keselamatan, manajer proyek, dan pekerja garis depan. Fokus wawancara akan mencakup bagaimana soft skills dikenali, bagaimana mereka diterapkan di lapangan dalam situasi nyata, dan bagaimana mereka berkorelasi dengan kemampuan seorang profesional keselamatan untuk memengaruhi perilaku aman di tempat kerja. Tujuannya adalah untuk membangun model kompetensi yang lebih holistik, yang tidak hanya mencakup kualifikasi teknis dan formal tetapi juga atribut interpersonal, sehingga pedoman perekrutan di masa depan dapat menjadi lebih komprehensif dan efektif.
  3. Analisis Kausal Antara Kualifikasi dan Kinerja Keselamatan:
    Paper ini secara retoris menyatakan bahwa pemilihan personel yang berkualitas diharapkan akan "positively reflect on other project outcomes".1 Namun, hubungan kausal ini belum dibuktikan secara empiris. Ada kebutuhan mendesak untuk secara definitif menguji hipotesis ini.

    Metode yang ideal adalah studi longitudinal yang melacak kinerja proyek dari waktu ke waktu. Penelitian ini akan mengumpulkan data rinci tentang kualifikasi personel keselamatan yang ditugaskan pada proyek, menghubungkan data ini dengan metrik kinerja proyek yang terukur, seperti tingkat insiden, tingkat cedera, dan hasil audit keselamatan. Analisis regresi akan menjadi metode utama untuk mengisolasi efek kualifikasi personel dari variabel perancu lainnya, seperti ukuran proyek, jenis proyek, dan budaya keselamatan perusahaan. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk secara definitif membuktikan nilai investasi (Return on Investment - ROI) dari mempekerjakan personel keselamatan yang terkualifikasi, yang akan memberikan argumen bisnis yang kuat bagi para pemangku kepentingan industri untuk mengadopsi pedoman ini.
  4. Analisis Komparatif Kualifikasi Global:
    Studi ini secara spesifik mencatat bahwa pedoman Eropa mungkin tidak sepenuhnya berlaku di AS karena keunikan industri AS, termasuk tingginya jumlah pekerja imigran dan perbedaan geografis.1 Namun, ini juga membuka peluang besar untuk penelitian komparatif.

    Penelitian ini akan menggunakan pendekatan campuran (mix-method). Tahap pertama akan melakukan tinjauan sistematis terhadap standar dan regulasi keselamatan di negara-negara dengan industri konstruksi maju (misalnya, di Eropa, Australia, atau Asia). Tahap kedua akan melibatkan wawancara semi-terstruktur dengan para profesional keselamatan internasional untuk memahami perbedaan dalam praktik dan pandangan budaya. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi kualifikasi universal yang berlaku di seluruh dunia, serta kualifikasi yang spesifik untuk konteks nasional, memberikan wawasan berharga bagi perusahaan multinasional dan akademisi yang tertarik pada manajemen keselamatan global.
  5. Revisi Kualifikasi Berdasarkan Transformasi Teknologi:
    Paper ini menyoroti perlunya personel keselamatan untuk terus memperbarui pengetahuan mereka karena "continuous changes in construction technology and practices".1 Namun, kualifikasi yang diidentifikasi dalam studi ini sebagian besar bersifat tradisional. Mereka tidak secara spesifik mempertimbangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola risiko dari teknologi baru seperti
    Building Information Modeling (BIM), robotika, drone, dan Internet of Things (IoT) di tempat kerja.
    Penelitian ini harus menjadi studi Delphi lanjutan yang secara eksplisit berfokus pada "masa depan" industri konstruksi. Panelis ahli akan diminta untuk menilai kualifikasi baru yang relevan dengan tren teknologi, seperti pengetahuan tentang analisis data, penggunaan drone untuk inspeksi keselamatan, dan kompetensi dalam mengelola sistem keselamatan terintegrasi secara digital. Tujuannya adalah untuk merumuskan kualifikasi yang relevan bagi personel keselamatan di era digital, memastikan bahwa industri tetap selangkah lebih maju dalam mengelola risiko yang muncul dari inovasi teknologi.

 

Kesimpulan dan Ajakan Kolaborasi

Paper oleh Karakhan & Al-Bayati (2023) merupakan kontribusi fundamental yang menjawab kekosongan kritis dalam literatur dan praktik industri konstruksi. Dengan secara sistematis mengidentifikasi kualifikasi yang diinginkan (pendidikan, pengalaman, dan sertifikasi), studi ini menyediakan kerangka kerja yang tidak hanya terperinci tetapi juga realistis dan dapat diimplementasikan. Pergeseran strategis dari pedoman "wajib" menjadi "direkomendasikan" menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang dinamika industri, memberikan nilai praktis yang lebih besar dan kemungkinan adopsi yang lebih tinggi.

Meskipun memiliki keterbatasan yang diakui, studi ini secara efektif meletakkan dasar bagi agenda riset masa depan yang lebih ambisius. Kelima rekomendasi yang diuraikan di atas menawarkan jalur eksplorasi yang jelas, mulai dari validasi empiris hingga antisipasi terhadap lanskap teknologi yang terus berubah. Untuk mewujudkan potensi penuh dari rekomendasi ini dan memastikan keberlanjutan serta validitas hasil, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisiplin antara komunitas akademik, lembaga sertifikasi profesional (seperti ASSP, CHST, dan GSP), serta asosiasi industri yang relevan (ASCE, AGC). Kolaborasi semacam itu akan menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik, menghasilkan pedoman yang lebih komprehensif dan dapat diterapkan untuk meningkatkan keselamatan kerja di seluruh industri.

(https://doi.org/10.3390/buildings13051237)