Praktik Keselamatan Konstruksi Berdasarkan Kelas Kontraktor

Dipublikasikan oleh Raihan

15 September 2025, 20.52

Freepik.com

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian Ade Asmi, Aurino Djamaris, dan Ahmad Dasuqi Bin Dahlan (2023) berfokus pada evaluasi penerapan praktik keselamatan kerja di lokasi konstruksi dengan membandingkan empat kelas kontraktor (A, B, C, dan D). Latar belakang riset ini berpijak pada data statistik yang menunjukkan bahwa industri konstruksi di Malaysia memiliki tingkat kecelakaan fatal tertinggi dibanding sektor lain. Kondisi ini menegaskan urgensi penguatan implementasi budaya keselamatan.

Studi dilakukan dengan dua pendekatan utama: tinjauan literatur dan survei kuesioner. Dari literatur, 13 praktik inti keselamatan teridentifikasi, antara lain: penyediaan sumber daya keselamatan, pemeliharaan peralatan, program pelatihan pekerja, sistem keamanan lokasi, instruksi kerja, inspeksi rutin, penerapan standar keselamatan tinggi, strategi pencegahan risiko, kedisiplinan pekerja, kesiapsiagaan darurat, manajemen dan penegakan keselamatan, keterlibatan kontraktor profesional, serta penyediaan fasilitas keselamatan. Praktik-praktik ini kemudian digunakan sebagai indikator dalam kuesioner yang ditujukan kepada kontraktor dari kelas A hingga D.

Hasil survei yang diolah dengan SPSS menunjukkan tingkat reliabilitas instrumen yang sangat tinggi (Cronbach’s Alpha = 0,968), menandakan konsistensi kuat dari kuesioner. Temuan utama memperlihatkan adanya perbedaan signifikan dalam penerapan praktik keselamatan antar kelas kontraktor.

Secara kuantitatif:

  • Kontraktor Kelas A menempati peringkat terbaik dengan rata-rata skor 1,21 (lebih rendah = lebih baik, karena 1 = “Ya” untuk penerapan). Mereka menunjukkan kepatuhan tinggi dalam aspek inspeksi (1,15), kedisiplinan (1,00), dan kesiapsiagaan darurat (1,04).

  • Kontraktor Kelas B berada di tingkat menengah dengan rata-rata skor 1,56. Walaupun memiliki komitmen pada beberapa aspek, terdapat kelemahan pada perencanaan kerja (1,61) dan pelaksanaan program keselamatan standar (1,82).

  • Kontraktor Kelas C mencatat performa paling rendah dengan rata-rata skor 1,69. Mereka menunjukkan kelemahan serius pada aspek pelatihan pekerja (skor 2,00), manajemen keselamatan (2,00), serta keterlibatan kontraktor profesional (2,00).

  • Kontraktor Kelas D memiliki skor rata-rata 1,68, dengan kelemahan menonjol dalam pemeliharaan peralatan (1,89) dan inspeksi (1,89).

Analisis ini memperjelas bahwa perbedaan kelas kontraktor berdampak langsung pada kualitas praktik keselamatan. Kontraktor kelas atas (A) umumnya memiliki sumber daya dan sistem manajemen yang lebih baik, sementara kontraktor kelas bawah (C dan D) cenderung menghadapi kendala finansial, keterbatasan pengetahuan, dan lemahnya pengawasan.

Makalah ini berkontribusi penting dengan:

  1. Menyediakan gambaran komprehensif tentang perbedaan penerapan praktik keselamatan di berbagai kelas kontraktor.

  2. Menyusun 13 indikator keselamatan praktis yang dapat dijadikan tolok ukur standar di lapangan.

  3. Menyajikan bukti empiris berbasis data kuantitatif bahwa kontraktor kelas bawah membutuhkan dukungan tambahan untuk memperbaiki budaya keselamatan.

Secara konseptual, penelitian ini menegaskan bahwa regulasi dan slogan keselamatan belum cukup tanpa implementasi nyata yang merata di seluruh tingkatan kontraktor.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun riset ini memberikan kontribusi signifikan, terdapat sejumlah keterbatasan yang perlu dicatat:

  1. Lingkup geografis terbatas – Survei dilakukan di wilayah Kuala Terengganu sehingga hasil mungkin tidak sepenuhnya mewakili kondisi nasional atau regional lainnya. Variasi regulasi lokal maupun kondisi proyek dapat memengaruhi praktik keselamatan.

  2. Metode survei bersifat deskriptif – Instrumen yang digunakan berbasis checklist biner (Ya/Tidak). Meskipun sederhana, metode ini kurang mampu menangkap intensitas, kualitas, atau konsistensi pelaksanaan praktik keselamatan. Misalnya, kontraktor yang menjawab “Ya” bisa saja hanya menerapkan sebagian dari standar.

  3. Fokus pada kontraktor, bukan pekerja lapangan – Persepsi pekerja, yang merupakan pihak paling terdampak, tidak digali secara langsung. Padahal, sikap pekerja terhadap disiplin, APD, atau pelatihan sangat memengaruhi efektivitas program keselamatan.

  4. Ketiadaan analisis hubungan kausalitas – Studi ini hanya memotret tingkat penerapan praktik, namun tidak meneliti kaitannya dengan angka kecelakaan nyata di proyek. Pertanyaan terbuka: apakah skor tinggi dalam pelatihan benar-benar berhubungan dengan penurunan insiden?

  5. Variasi antar fase proyek tidak diperhitungkan – Pentingnya tiap praktik keselamatan bisa berubah seiring fase proyek (misalnya, keamanan lokasi paling relevan saat tahap awal, sementara kesiapsiagaan darurat lebih kritis saat konstruksi berjalan). Riset ini belum menangkap dimensi temporal tersebut.
     

Pertanyaan-pertanyaan terbuka yang tersisa antara lain:

  • Bagaimana hubungan antara skor praktik keselamatan dengan outcome keselamatan aktual (jumlah insiden, tingkat keparahan)?

  • Apakah intervensi regulasi yang lebih ketat dapat menutup kesenjangan antara kelas kontraktor?

  • Bagaimana peran subkontraktor dan pekerja informal yang sering kali tidak terikat langsung dengan regulasi?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

  1. Analisis Kausalitas antara Praktik Keselamatan dan Tingkat Kecelakaan
    Studi lanjutan perlu menghubungkan data penerapan praktik keselamatan (misalnya skor rata-rata 1,21 untuk kelas A vs 1,69 untuk kelas C) dengan angka kecelakaan nyata di lapangan. Metode regression analysis atau structural equation modeling (SEM) dapat digunakan untuk menguji apakah variabel seperti pelatihan atau inspeksi rutin berkontribusi signifikan dalam menurunkan kecelakaan. Ini akan menjawab pertanyaan apakah praktik dengan skor rendah benar-benar berimplikasi pada outcome keselamatan.

  2. Pengembangan Instrumen Penilaian Multilevel (Manajemen dan Pekerja)
    Riset mendatang perlu menggabungkan persepsi manajer dengan pekerja lapangan. Misalnya, instrumen survei dapat dilengkapi skala Likert (1–5) untuk menilai kualitas pelaksanaan, serta focus group discussion dengan pekerja untuk memahami kendala kepatuhan. Hal ini akan memperlihatkan kesenjangan antara kebijakan manajemen dan realitas di lapangan.

  3. Studi Longitudinal Berdasarkan Fase Proyek
    Penelitian ke depan sebaiknya dilakukan secara longitudinal, mengikuti proyek dari tahap awal hingga akhir. Dengan begitu, dapat dipetakan perubahan relevansi setiap praktik. Contoh hipotesis: perencanaan kerja (skor kelas A = 1,00) paling krusial di awal, sementara kesiapsiagaan darurat (kelas A = 1,04) paling vital saat eksekusi proyek. Variabel temporal ini akan memperkaya pemahaman tentang dinamika praktik keselamatan.

  4. Perbandingan Lintas Wilayah dan Lintas Negara
    Karena konteks studi ini terbatas di Kuala Terengganu, riset lebih luas perlu dilakukan lintas negara berkembang, seperti Indonesia, Thailand, atau Vietnam. Perbandingan ini dapat mengidentifikasi faktor kontekstual (regulasi, budaya keselamatan, kapasitas finansial) yang memengaruhi implementasi. Dengan memasukkan variabel moderasi seperti tingkat penegakan hukum, peneliti dapat menilai apakah kelemahan kelas kontraktor C/D bersifat lokal atau global.

  5. Integrasi KPI Keselamatan dengan Indikator Kinerja Proyek
    Studi selanjutnya dapat mengembangkan model integratif yang menghubungkan praktik keselamatan dengan kinerja proyek lain (biaya, waktu, mutu). Pendekatan multi-criteria decision making (MCDM) dapat digunakan untuk menimbang trade-off. Misalnya, apakah investasi pada pelatihan rutin (skor rendah di kelas C dan D) berdampak pada efisiensi biaya jangka panjang karena mengurangi insiden keterlambatan akibat kecelakaan. Hal ini akan memperkuat argumen bahwa keselamatan bukan sekadar beban, tetapi investasi strategis.

Penelitian Ade Asmi et al. (2023) berhasil mengidentifikasi perbedaan nyata dalam penerapan praktik keselamatan berdasarkan kelas kontraktor, dengan data kuantitatif yang menunjukkan bahwa kontraktor kelas A lebih konsisten dalam budaya keselamatan dibanding kelas C dan D. Namun, keterbatasan metodologis dan lingkup riset membuka peluang besar untuk studi lanjutan yang lebih komprehensif, lintas konteks, dan berbasis kausalitas.

Untuk memperkuat dampak, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Universitas Bakrie (Indonesia), Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM), serta lembaga pengawas keselamatan kerja nasional. Kolaborasi lintas institusi ini akan memastikan keberlanjutan, validitas, dan relevansi hasil penelitian demi terciptanya lingkungan konstruksi yang lebih aman.

Baca Penelitian Lengkapnya disini : A STUDY ON ASSESSING CONSTRUCTION SITE SAFETY PRACTICES AMONG CLASS OF CONTRACTORS. (2023). Jurnal Infrastruktur 9(2), 107-118. https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/infrastruktur/article/view/5604