Krisis Air

Kajian Pemanfaatan Air Hujan sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau Ende

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Indonesia memiliki ribuan pulau kecil yang menyimpan tantangan tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Salah satu contohnya adalah Pulau Ende, di mana air tanah sangat terbatas dan cenderung payau akibat tipisnya lensa air tawar dan intrusi air laut. Kondisi geografis dan biofisik pulau-pulau kecil seperti Ende menyebabkan air hujan menjadi satu-satunya sumber air tawar yang layak, namun pemanfaatannya selama ini belum optimal. Paper karya Valentinus Tan dan Mikael Wora dari Universitas Flores, Ende, menyoroti pentingnya pemanenan air hujan skala rumah tangga sebagai solusi berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat Pulau Ende.

Latar Belakang dan Relevansi Penelitian

Pulau Ende menjadi gambaran nyata bagaimana air bersih merupakan barang mahal dan langka, meski dikelilingi lautan. Sumur-sumur di pulau ini umumnya menghasilkan air payau yang tidak layak konsumsi. Upaya penyulingan air laut (SWRO) pernah dilakukan dengan dana miliaran rupiah, namun gagal memberikan solusi karena alat tidak berfungsi. Akibatnya, masyarakat masih sangat bergantung pada air hujan yang ditampung di bak penampungan atau tandon, serta membeli air dari kota atau penjual keliling, yang kualitasnya pun masih payau.

Pemerintah Kabupaten Ende telah menetapkan pemenuhan kebutuhan air bersih sebagai prioritas pembangunan infrastruktur dan lingkungan hidup, terutama untuk wilayah-wilayah yang belum terjangkau layanan air bersih konvensional. Pemanenan air hujan (rainwater harvesting) menjadi alternatif yang logis dan murah, apalagi curah hujan tahunan di Indonesia rata-rata 2.263 mm dan relatif merata sepanjang tahun.

Sistem dan Komponen Pemanenan Air Hujan

Sistem pemanenan air hujan sederhana terdiri dari tiga komponen utama:

  • Area tangkapan (atap rumah): Luas atap sangat menentukan volume air hujan yang bisa ditampung.
  • Saluran pengumpul (talang/pipa): Mengalirkan air dari atap ke bak penampungan.
  • Bak penampungan (tandon/tangki): Tempat penyimpanan air hujan, baik di atas tanah maupun di bawah tanah.

Kualitas air hujan dapat dijaga dengan pemasangan filter sederhana untuk menyaring sampah dan polutan yang terbawa dari atap. Saluran pembuangan air hujan pada menit-menit awal juga penting untuk membuang air yang mungkin terkontaminasi debu atau kotoran.

Metode Penelitian: Simulasi Hidrologi Kuantitatif

Penelitian ini menggunakan data primer berupa luas atap rumah dan jumlah anggota keluarga, serta data sekunder berupa curah hujan harian rata-rata dari BPS Kabupaten Ende (2010–2014). Simulasi dilakukan dengan model siklus hujan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi air hujan dalam memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga, dengan variasi jumlah tangki penampungan (kapasitas 1.000–5.000 liter).

Studi Kasus: Pemenuhan Air Bersih Skala Rumah Tangga di Pulau Ende

Kondisi Sosial dan Infrastruktur

Pulau Ende didaulat sebagai pulau dengan ribuan penampung air hujan (PAH). Warga menampung air hujan dengan bak, ember, atau tandon seadanya. Namun, kapasitas penampungan yang terbatas hanya cukup untuk kebutuhan jangka pendek. Pada musim kemarau, masyarakat terpaksa membeli air dari luar pulau atau dari mobil tangki keliling, yang kualitasnya masih payau dan terasa asin saat diminum.

Simulasi dan Hasil Analisis

Penelitian mengambil sampel rumah dengan luas atap 231 m² dan 7 anggota keluarga. Dengan data curah hujan tahunan 4.560 mm, serta koefisien pengaliran 0,75 (jenis atap genteng miring), dilakukan simulasi kebutuhan air dan kapasitas tangki.

  • Dua tangki (masing-masing 1 m³): Dapat memenuhi 67,5% kebutuhan air bersih keluarga per tahun.
  • Tiga tangki (masing-masing 1 m³): Meningkatkan pemenuhan kebutuhan air hingga 82,6%.
  • Empat tangki (masing-masing 1 m³): Mampu memenuhi 90,3% kebutuhan air bersih.

Simulasi pada tahun-tahun berikutnya (2017–2020) menunjukkan variasi pemenuhan air tergantung curah hujan tahunan. Pada tahun dengan curah hujan rendah (2020), tiga tangki hanya mampu memenuhi sekitar 53,5% kebutuhan air keluarga.

Penelitian juga membandingkan beberapa skenario:

  • Luas atap sama, anggota keluarga berbeda: Semakin banyak anggota keluarga, semakin rendah persentase kebutuhan air yang terpenuhi.
  • Luas atap berbeda, anggota keluarga sama: Semakin besar luas atap, semakin tinggi volume air yang bisa ditampung dan semakin besar persentase kebutuhan air yang terpenuhi.

Contoh pada tahun 2016:

  • Rumah 231 m², 7 anggota keluarga: 82,6% kebutuhan air terpenuhi dengan 3 tangki.
  • Rumah 231 m², 6 anggota keluarga: 87,7% terpenuhi.
  • Rumah 204 m², 7 anggota keluarga: 81,6% terpenuhi.
  • Rumah 112 m², 6 anggota keluarga: 82,8% terpenuhi.

Pada tahun 2020 (curah hujan rendah), persentase pemenuhan turun drastis, misalnya pada rumah 112 m² dengan 6 anggota keluarga hanya 41,2% kebutuhan air yang terpenuhi.

Pembahasan: Faktor Penentu dan Implikasi Praktis

Faktor Penentu Keberhasilan

  • Curah hujan: Semakin tinggi curah hujan tahunan, semakin besar peluang pemenuhan kebutuhan air bersih.
  • Luas atap: Area tangkapan yang lebih luas meningkatkan volume air yang bisa ditampung.
  • Jumlah anggota keluarga: Semakin banyak penghuni, semakin besar kebutuhan air dan semakin rendah persentase kebutuhan yang bisa dipenuhi dari air hujan.
  • Kapasitas tangki: Penambahan jumlah dan kapasitas tangki penampungan sangat berpengaruh terhadap ketahanan air rumah tangga, terutama saat musim kemarau.

Tantangan Implementasi

  • Variasi curah hujan: Pada tahun-tahun kering, bahkan dengan tiga tangki, hanya sekitar 50% kebutuhan air yang bisa dipenuhi. Ini menuntut strategi tambahan seperti penghematan air atau kolaborasi antar rumah tangga.
  • Kualitas air hujan: Meski relatif bersih, air hujan tetap perlu disaring dan didesinfeksi sebelum dikonsumsi, terutama jika atap dan saluran belum terjaga kebersihannya.
  • Investasi awal: Pembuatan tangki atau tandon dengan kapasitas besar membutuhkan biaya yang tidak sedikit, meski dalam jangka panjang lebih hemat daripada membeli air dari luar.

Perbandingan dengan Studi dan Tren Nasional

Penelitian serupa di daerah lain seperti Gunungkidul, Aceh, dan Riau menunjukkan pola yang sama: air hujan sangat potensial sebagai sumber air bersih, terutama di wilayah dengan air tanah dangkal yang payau atau tercemar. Studi di Gunungkidul membuktikan bahwa dengan penampungan yang cukup, air hujan dapat memenuhi hingga 80% kebutuhan air domestik selama musim hujan.

Tren nasional saat ini juga mendorong pemanfaatan air hujan sebagai bagian dari strategi ketahanan air, baik melalui program pemerintah, LSM, maupun inisiatif komunitas. Regulasi sumur resapan dan penampungan air hujan mulai diintegrasikan dalam perizinan bangunan baru di beberapa kota besar.

Opini, Kritik, dan Saran Pengembangan

Kritik

  • Fokus pada kuantitas, bukan kualitas: Penelitian ini sangat kuat dalam aspek kuantitatif, namun belum membahas detail kualitas air hujan dan perlunya filtrasi atau desinfeksi sebelum konsumsi.
  • Kurangnya analisis ekonomi: Studi belum membahas biaya investasi, operasional, dan manfaat ekonomi jangka panjang, yang penting untuk mendorong adopsi massal.
  • Belum ada strategi adaptasi saat musim kemarau ekstrem: Perlu kajian lebih lanjut tentang integrasi sumber air alternatif dan teknologi penghematan air.

Saran

  • Integrasi dengan teknologi filtrasi: Penambahan filter sederhana dan desinfeksi sangat penting untuk menjamin keamanan konsumsi air hujan.
  • Edukasi dan sosialisasi: Masyarakat perlu diedukasi tentang perawatan atap, saluran, dan tangki, serta pentingnya penghematan air.
  • Pengembangan skala komunal: Sistem penampungan air hujan komunal dapat menjadi solusi di lingkungan padat penduduk dengan keterbatasan lahan dan dana.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan kini menjadi bagian dari strategi green building dan sustainable living di sektor properti. Banyak pengembang perumahan mulai memasukkan sistem penampungan air hujan sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, inovasi lokal seperti pemanenan air hujan akan menjadi kunci ketahanan air di masa depan, tidak hanya di pulau kecil seperti Ende, tetapi juga di seluruh Indonesia.

Kesimpulan: Pemanenan Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks

Penelitian di Pulau Ende membuktikan bahwa pemanenan air hujan melalui sistem sederhana sangat efektif dalam memenuhi kebutuhan air bersih, terutama di wilayah dengan keterbatasan air tanah. Dengan tiga tangki penampungan berkapasitas 1 m³, rumah tangga dapat memenuhi hingga 80% kebutuhan air bersih pada tahun-tahun dengan curah hujan normal. Namun, pada tahun-tahun kering, kontribusi air hujan turun hingga sekitar 50%, sehingga perlu strategi tambahan.

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kapasitas penampungan, luas atap, jumlah penghuni, dan edukasi masyarakat. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan memperkuat peran pemanenan air hujan sebagai bagian dari strategi ketahanan air nasional dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Valentinus Tan, Mikael Wora. "Kajian Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Di Pulau Ende." Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Flores, Ende, 2021.

Selengkapnya
Kajian Pemanfaatan Air Hujan sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau Ende

Krisis Air

Uji Kualitas Air Hujan Hasil Filtrasi untuk Penyediaan Air Bersih – Studi Kasus Politeknik Negeri Lampung

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Krisis air bersih semakin nyata di Indonesia, terutama di kawasan urban dan semi-urban. Penurunan kualitas air tanah akibat pencemaran, eksploitasi berlebih, serta keterbatasan sumber air permukaan mendorong masyarakat untuk mencari alternatif yang lebih berkelanjutan. Salah satu solusi yang kian relevan adalah pemanfaatan air hujan melalui sistem pemanenan (rainwater harvesting/RWH) dan filtrasi sederhana. Paper karya Aniessa Rinny Asnaning, Surya, dan Andy Eka Saputra dari Politeknik Negeri Lampung ini menguji efektivitas sistem filtrasi sederhana dalam meningkatkan kualitas air hujan agar layak digunakan sebagai air bersih, dengan data empiris, analisis kualitas air, dan potensi penerapannya di masyarakat luas123.

Latar Belakang dan Urgensi Penelitian

Ketersediaan air bersih kini menjadi isu krusial di banyak daerah. Eksploitasi air tanah yang berlebihan memicu dampak lingkungan serius seperti banjir rob, amblesan tanah, dan intrusi air laut. Sementara itu, air hujan—salah satu sumber air atmosfer—seringkali hanya menjadi limpasan permukaan tanpa dimanfaatkan optimal. Padahal, dengan sistem penampungan dan filtrasi yang tepat, air hujan dapat menjadi sumber air bersih yang murah, ramah lingkungan, dan mendukung konservasi air tanah123.

Negara-negara maju seperti Jepang dan Australia telah lama mengadopsi RWH dalam skala luas, sementara di Indonesia, penerapan RWH masih terbatas pada inisiatif lokal dan belum menjadi kebijakan wajib di banyak daerah. Penelitian ini sangat relevan dengan tren global dan nasional yang mendorong pemanfaatan air hujan, baik untuk kebutuhan domestik, pertanian, maupun industri123.

Metode: Sistem RWH dan Filtrasi Sederhana

Desain Sistem

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah Politeknik Negeri Lampung, menggunakan atap bangunan seluas 96,72 m² sebagai area tangkapan air hujan. Sistem RWH terdiri dari rangkaian talang, pipa PVC, dan bak penampungan. Air hujan yang jatuh di atap dialirkan ke bak penampungan, lalu masuk ke sistem filtrasi seri123.

Material filtrasi yang digunakan:

  • Kerikil
  • Pasir silika
  • Serabut kelapa (pengganti ijuk)
  • Arang aktif

Urutan material ini dirancang untuk menyaring partikel kasar, partikel halus, dan zat organik, serta menjernihkan air dari warna dan bau yang tidak diinginkan. Proses filtrasi ini merupakan metode pengolahan air secara fisik, sehingga fokus pada parameter fisik dan kimia utama123.

Studi Kasus: Data Empiris dan Analisis Kualitas Air

Potensi Volume Air Hujan

Berdasarkan data klimatologi 2009–2017, curah hujan rata-rata bulanan di lokasi penelitian adalah 13,4 mm. Dengan luas atap 96,72 m² dan asumsi kehilangan air sekitar 30% karena evaporasi dan kebocoran, potensi air hujan yang bisa dikumpulkan setiap bulan adalah 0,91 m³ per bangunan123.

Kualitas Air Hujan Sebelum Filtrasi

Pengujian laboratorium menunjukkan hasil sebagai berikut123:

  • Fisik:
    • Kekeruhan: 10 NTU (standar baku mutu: 25 NTU)
    • Total padatan terlarut (TDS): 178 mg/l (standar: 1000 mg/l)
    • Suhu: 27,5°C
    • Rasa & bau: tidak berasa, tidak berbau
  • Biologi:
    • Total koliform: 6,1 MPN/100 ml (standar: 50 MPN/100 ml)
  • Kimia:
    • pH: 4,4 (standar: 6,5–8,5; tidak memenuhi)
    • Besi (Fe): <0,110 mg/l (standar: 1 mg/l)
    • Timbal (Pb): <0,021 mg/l (standar: 0,05 mg/l)
    • Kesadahan: 3,69 mg/l (standar: 500 mg/l)

Hampir semua parameter memenuhi baku mutu air bersih kecuali pH yang terlalu asam. Nilai pH rendah ini diduga berasal dari dekomposisi bahan organik di atap, seperti daun dan kotoran hewan, serta polutan udara123.

Kualitas Air Hujan Setelah Filtrasi

Setelah melewati sistem filtrasi, terjadi peningkatan kualitas air secara signifikan123:

  • Fisik:
    • Kekeruhan: turun menjadi 2,02 NTU (penurunan 79,8%)
    • Total padatan terlarut: turun menjadi 20,48 mg/l (penurunan 88,5%)
    • Suhu: 28°C
    • Rasa & bau: tetap tidak berasa dan tidak berbau
  • Kimia:
    • pH: naik menjadi 7,96 (memenuhi baku mutu)

Secara visual, air hujan hasil filtrasi tampak jauh lebih jernih, dengan endapan padatan yang sebelumnya terlihat kini sudah hilang. Proses filtrasi mampu menyaring partikel tersuspensi dan zat organik secara efektif123.

Pembahasan: Efektivitas, Tantangan, dan Implikasi

Efektivitas Sistem Filtrasi

  • Penurunan kekeruhan hampir 80% menandakan efektivitas tinggi dalam menyaring partikel tersuspensi dan endapan organik dari air hujan.
  • Penurunan total padatan terlarut lebih dari 88% membuktikan kemampuan filter dalam mengurangi zat terlarut, sehingga air lebih aman untuk kebutuhan domestik.
  • Peningkatan pH dari 4,4 menjadi 7,96 membuat air hujan layak untuk digunakan sebagai air bersih sesuai Permenkes No. 416/MEN.KES/PER/IX/1990123.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Kapasitas Penampungan: Dengan curah hujan rendah (13,4 mm/bulan), volume air yang bisa ditampung hanya 0,91 m³/bulan. Untuk kebutuhan rumah tangga, sistem ini lebih cocok sebagai pelengkap, bukan sumber utama.
  • Kualitas Biologis: Meski total koliform sudah memenuhi standar, untuk konsumsi langsung tetap disarankan perebusan hingga mendidih. Penghilangan logam berat bisa ditingkatkan dengan tanaman air seperti eceng gondok.
  • Perawatan Sistem: Filter perlu dibersihkan dan diganti secara berkala agar performa tetap optimal123.

Studi Banding dan Tren Nasional

Studi serupa di Palestina menemukan adanya radon pada air hujan yang tidak dikelola dengan baik, menegaskan pentingnya filtrasi dan pengelolaan sistem RWH. Di Hong Kong, RWH tidak hanya untuk air bersih tetapi juga pendinginan mikroklimat kota. Di Indonesia, tren green building dan regulasi sumur resapan mulai mengadopsi sistem serupa, meski belum merata di seluruh daerah123.

Nilai Tambah dan Potensi Pengembangan

  • Solusi Berbiaya Rendah: Sistem filtrasi dengan kerikil, pasir, serabut kelapa, dan arang aktif mudah dibuat, murah, dan bisa diadopsi masyarakat pedesaan maupun perkotaan.
  • Konservasi Air Tanah: Dengan memanfaatkan air hujan, tekanan pada air tanah berkurang, membantu mengurangi risiko amblesan tanah dan intrusi air laut.
  • Dukungan Kebijakan: Pemerintah dapat mendorong adopsi RWH melalui insentif, pelatihan teknis, dan integrasi dalam perizinan bangunan baru123.

Opini, Kritik, dan Saran Pengembangan

Kritik

  • Fokus pada Kuantitas, Bukan Kualitas Konsumsi: Penelitian ini sangat kuat dalam aspek fisik dan kimia, namun belum membahas detail penghilangan bakteri patogen dan logam berat untuk air minum.
  • Kapasitas Sistem: Volume air yang bisa ditampung masih terbatas, sehingga perlu desain sistem kolektif atau penambahan area tangkapan untuk skala rumah tangga besar.
  • Kurangnya Analisis Ekonomi: Studi belum membahas biaya investasi, operasional, dan payback period, yang penting untuk mendorong adopsi massal123.

Saran

  • Integrasi dengan Filter Biologis dan UV: Untuk menjamin keamanan konsumsi, sistem dapat dikombinasikan dengan filter biologis atau lampu UV.
  • Edukasi dan Sosialisasi: Masyarakat perlu diedukasi tentang perawatan filter dan pentingnya merebus air sebelum diminum.
  • Pengembangan Skala Komunal: Sistem RWH dan filtrasi bisa dikembangkan untuk sekolah, rumah ibadah, dan fasilitas umum agar manfaatnya lebih luas123.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan kini menjadi bagian dari strategi green building, sustainable city, dan ketahanan air di banyak negara. Di Indonesia, sistem seperti ini sangat potensial untuk mengatasi krisis air bersih di wilayah urban, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, inovasi lokal seperti pemanenan dan filtrasi air hujan akan menjadi pilar utama ketahanan air nasional123.

Kesimpulan: Filtrasi Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks

Penelitian di Politeknik Negeri Lampung membuktikan bahwa sistem filtrasi sederhana mampu meningkatkan kualitas air hujan secara signifikan, sehingga layak digunakan sebagai air bersih. Dengan penurunan kekeruhan hampir 80%, total padatan terlarut turun lebih dari 88%, dan pH naik ke level netral, air hujan hasil filtrasi memenuhi standar air bersih nasional. Meski masih ada tantangan dalam kapasitas dan kualitas biologis, sistem ini sangat layak diadopsi sebagai solusi alternatif, terutama di daerah dengan keterbatasan air tanah dan permukaan.

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada edukasi, perawatan sistem, dan dukungan kebijakan. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan memperkuat peran pemanenan air hujan sebagai bagian dari strategi ketahanan air nasional dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan123.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Aniessa Rinny Asnaning, Surya, Andy Eka Saputra. "Uji Kualitas Air Hujan Hasil Filtrasi untuk Penyediaan Air Bersih." Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian VII, Politeknik Negeri Lampung, 2018, hlm. 288–293.

Selengkapnya
Uji Kualitas Air Hujan Hasil Filtrasi untuk Penyediaan Air Bersih – Studi Kasus Politeknik Negeri Lampung

Krisis Air

Analisis Pemanfaatan Air Hujan untuk Kebutuhan Pertamanan dan Sanitasi di Gereja Kalvari Jakarta

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Jakarta, sebagai megapolitan dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang pesat, terus menghadapi dua masalah besar terkait air: banjir saat musim hujan dan kekeringan air baku di musim kemarau. Ironisnya, kota ini justru mengalami kelimpahan air pada satu musim dan kekurangan di musim lain. Ketergantungan pada air tanah telah menimbulkan masalah serius seperti penurunan muka tanah dan intrusi air laut. Dalam konteks inilah, pemanfaatan air hujan (rainwater harvesting) menjadi solusi strategis yang semakin relevan, tidak hanya untuk rumah tangga, tetapi juga untuk fasilitas publik seperti tempat ibadah dan sekolah.

Penelitian oleh Iwan Dharmawan dan Wati Ariningsih Pranoto dari Universitas Tarumanagara ini menyoroti potensi pemanenan air hujan di Gereja Kalvari Lubang Buaya, Jakarta, dengan fokus pada kebutuhan pertamanan dan sanitasi. Artikel ini tidak hanya membedah hasil penelitian tersebut, tetapi juga mengaitkannya dengan tren pengelolaan air perkotaan, tantangan implementasi, dan peluang inovasi di masa depan.

Latar Belakang dan Tujuan Penelitian

Banjir di Jakarta telah menjadi berita rutin setiap musim hujan, sementara di musim kemarau, masyarakat dihadapkan pada kelangkaan air bersih. Situasi ini mendorong eksploitasi air tanah secara masif, yang berujung pada penurunan permukaan tanah dan berbagai masalah lingkungan lainnya. Pemanenan air hujan, yang telah lama diterapkan di negara-negara maju seperti Jepang, kini mulai dilirik sebagai solusi dual-purpose: mengurangi risiko banjir dan menyediakan cadangan air bersih di musim kemarau14.

Penelitian ini bertujuan untuk:

  • Menghitung potensi air hujan yang dapat dipanen di Gereja Kalvari Lubang Buaya.
  • Menganalisis kebutuhan air untuk pertamanan dan sanitasi.
  • Merancang sistem penampungan yang optimal dan menghitung potensi penghematan biaya air14.

Metodologi: Survei, Analisis Hidrologi, dan Perancangan Sistem

Penelitian menggunakan data primer (survei lapangan, pengukuran luas atap, dan area taman) serta data sekunder (curah hujan dari BMKG Stasiun Halim Perdana Kusuma). Analisis dilakukan dengan metode hidrologi standar, termasuk perhitungan hujan andalan (probabilitas 80%), volume air tertampung, kebutuhan air berdasarkan SNI 03-7065-2005, serta desain volume dan dimensi bak penampungan14.

Studi Kasus: Gereja Kalvari Lubang Buaya

Profil Lokasi

Gereja Kalvari Lubang Buaya berdiri sejak 1995 dan melayani 800–1000 umat. Bangunan terdiri dari tiga jenis atap: atap miring (1.309,78 m²), atap datar (1.361,35 m²), dan sky light kaca, dengan total area tangkapan air hujan sebesar 2.671,13 m². Area pertamanan seluas 1.203,45 m² juga menjadi bagian penting dari kebutuhan air gereja14.

Data Curah Hujan dan Hujan Andalan

Data curah hujan 10 tahun terakhir menunjukkan variasi ekstrem antara musim hujan dan kemarau:

  • Curah hujan tertinggi: 244,35 mm/bulan (Februari)
  • Curah hujan terendah: 0 mm/bulan (Juli–September)
  • Hujan andalan (probabilitas 80%): Januari 127,11 mm, Februari 244,35 mm, Maret 33,83 mm, dst14.

Analisis Ketersediaan dan Kebutuhan Air

Perhitungan Ketersediaan Air Hujan

Dengan luas atap 2.671,13 m² dan koefisien limpasan 0,95, volume air hujan yang dapat ditampung setiap bulan sangat bervariasi:

  • Januari: 322,55 m³
  • Februari: 620,05 m³
  • Maret: 85,85 m³
  • April: 271,44 m³
  • Mei: 187,08 m³
  • Juni: 111,65 m³
  • Juli–September: 0 m³ (tidak ada hujan)
  • Oktober: 29,77 m³
  • November: 291,54 m³
  • Desember: 195,27 m³

Total ketersediaan air hujan selama satu tahun: 2.115,21 m³14.

Perhitungan Kebutuhan Air

  • Sanitasi (toilet, cuci tangan, dll.):
    SNI 03-7065-2005 menetapkan kebutuhan air untuk tempat ibadah sebesar 5 liter/umat/hari. Untuk 800–1.000 umat, kebutuhan air berkisar 4.000–5.000 liter/hari (4–5 m³/hari). Namun, karena gereja tidak digunakan setiap hari penuh, rerata kebutuhan air dihitung 2,27 m³/hari14.
  • Pertamanan:
    Luas taman 1.203,45 m², kebutuhan air minimal 1 liter/m²/hari, sehingga kebutuhan air untuk taman adalah 1,2 m³/hari14.
  • Total kebutuhan air:
    2,27 m³/hari x 30 hari = 68,1 m³/bulan (rata-rata), dengan variasi bulanan tergantung aktivitas gereja dan musim.

Total kebutuhan air selama setahun: 830,33 m³14.

Perbandingan Ketersediaan dan Kebutuhan: Surplus dan Defisit Musiman

Analisis neraca air menunjukkan:

  • Pada bulan-bulan basah (Januari, Februari, April, November, Desember), ketersediaan air jauh melebihi kebutuhan.
  • Pada bulan-bulan kering (Juli–September), tidak ada air hujan yang dapat dipanen, sehingga diperlukan cadangan air dari musim hujan14.
  • Untuk menutupi kebutuhan selama musim kemarau (Juli–Oktober), dibutuhkan volume penampungan sebesar 252,51 m³. Desain optimal adalah tiga bak beton bawah tanah berukuran 8,5 m x 8 m x 1,25 m (total kapasitas 255 m³), yang mampu menampung kelebihan air dari musim hujan untuk digunakan di musim kemarau14.

Dampak Ekonomi: Potensi Penghematan Biaya Air

Dengan sistem pemanenan air hujan, Gereja Kalvari dapat menghemat pembelian air bersih dari PAM JAYA sebesar Rp899.201 per tahun (simulasi tagihan air dengan volume 830,33 m³/tahun). Angka ini memang tidak besar jika dibandingkan biaya investasi awal pembangunan bak, namun dalam jangka panjang memberikan dampak ekonomi dan lingkungan yang signifikan, terutama jika diadopsi secara massal di fasilitas publik lain14.

Keunggulan dan Tantangan Sistem Pemanenan Air Hujan

Keunggulan

  • Mengurangi Risiko Banjir: Dengan menampung air hujan, volume limpasan permukaan berkurang, sehingga risiko banjir di sekitar gereja menurun.
  • Ketahanan Air Musiman: Sistem ini menjamin ketersediaan air untuk pertamanan dan sanitasi sepanjang tahun, bahkan saat musim kemarau.
  • Konservasi Air Tanah: Mengurangi ketergantungan pada air tanah, membantu menjaga cadangan air tanah Jakarta yang semakin kritis.
  • Mudah Diimplementasikan: Sistem ini hanya memerlukan talang, pipa, dan bak penampungan, tanpa instalasi distribusi yang rumit14.

Tantangan

  • Ketergantungan pada Musim: Pada musim kemarau panjang, air hujan yang ditampung tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, sehingga tetap diperlukan sumber air alternatif.
  • Kualitas Air Hujan: Air hujan yang ditampung belum tentu langsung layak pakai untuk konsumsi, terutama jika atap dan talang tidak terjaga kebersihannya. Diperlukan sistem filtrasi sederhana untuk meningkatkan kualitas air.
  • Investasi Awal: Pembangunan bak beton bawah tanah memerlukan biaya yang tidak sedikit, meski penghematan jangka panjang cukup signifikan.
  • Perawatan Sistem: Saluran air, talang, dan bak penampungan harus rutin dibersihkan agar tidak menjadi sarang nyamuk atau sumber pencemaran14.

Perbandingan dengan Studi dan Tren Nasional

Studi serupa di Bank Indonesia menunjukkan potensi penghematan air PAM hingga 65,41% dari total kebutuhan air pertamanan dengan sistem rainwater harvesting. Di Universitas Tarumanagara, penghematan air bersih harian mencapai 27,05% menurut kebutuhan SNI, bahkan hingga 87,12% berdasarkan tagihan air14.

Tren nasional kini mendorong penerapan sistem pemanenan air hujan di gedung publik, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Pemerintah daerah seperti DKI Jakarta mulai mengintegrasikan sumur resapan dan SPAH (Sistem Penampungan Air Hujan) dalam perizinan bangunan baru, sebagai bagian dari strategi pengendalian banjir dan konservasi air tanah.

Opini, Kritik, dan Saran Pengembangan

Kritik

  • Fokus pada Kuantitas, Bukan Kualitas: Penelitian ini sangat kuat dalam aspek kuantitatif, namun belum membahas detail kualitas air hujan dan perlunya filtrasi atau desinfeksi sebelum digunakan untuk sanitasi, apalagi konsumsi.
  • Estimasi Penghematan Konservatif: Potensi penghematan biaya air mungkin lebih besar jika sistem dioptimalkan untuk kebutuhan domestik lain, seperti flushing toilet, cuci kendaraan, atau pendingin AC.
  • Belum Ada Analisis Investasi dan Payback Period: Studi belum membahas secara detail perbandingan biaya investasi awal dengan waktu pengembalian modal (payback period), yang penting untuk mendorong adopsi luas.

Saran

  • Integrasi dengan Sistem Filtrasi: Penambahan filter sederhana (pasir, arang, keramik) akan meningkatkan kualitas air sehingga bisa digunakan untuk lebih banyak keperluan.
  • Sosialisasi dan Edukasi: Pemerintah dan pengelola gereja perlu mengedukasi jemaat tentang pentingnya pemeliharaan sistem pemanenan air hujan.
  • Replikasi di Fasilitas Publik Lain: Model ini sangat layak diadopsi di sekolah, rumah sakit, dan kantor pemerintahan untuk mendukung program konservasi air dan pengendalian banjir.
  • Kolaborasi dengan Pemerintah: Insentif atau subsidi pembangunan SPAH akan mempercepat adopsi di masyarakat luas.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Penerapan sistem pemanenan air hujan kini menjadi bagian dari strategi green building dan sustainable urban development di banyak kota besar dunia. Banyak pengembang properti mulai memasukkan SPAH sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Di Jakarta, regulasi tentang sumur resapan dan SPAH semakin diperkuat untuk mengurangi banjir dan meningkatkan cadangan air tanah. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, inovasi lokal seperti ini akan menjadi kunci ketahanan air di masa depan.

Kesimpulan: Pemanenan Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks

Penelitian di Gereja Kalvari Lubang Buaya membuktikan bahwa sistem pemanenan air hujan adalah solusi praktis, murah, dan berkelanjutan untuk kebutuhan pertamanan dan sanitasi di fasilitas publik perkotaan. Dengan desain sistem yang tepat, edukasi, dan perawatan rutin, air hujan dapat menjadi sumber air utama, mengurangi beban air tanah, dan mendukung pengendalian banjir.

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kapasitas penampungan, kualitas air, dan dukungan kebijakan. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan memperkuat peran SPAH sebagai bagian dari strategi ketahanan air nasional dan pengelolaan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Iwan Dharmawan, Wati Ariningsih Pranoto. "Analisis Pemanfaatan Air Hujan untuk Kebutuhan Pertamanan dan Sanitasi di Gereja Kalvari Jakarta." JMTS: Jurnal Mitra Teknik Sipil, Vol. 6, No. 4, November 2023, hlm. 1117–1130.

Selengkapnya
Analisis Pemanfaatan Air Hujan untuk Kebutuhan Pertamanan dan Sanitasi di Gereja Kalvari Jakarta

Krisis Air

Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Melalui Pemanfaatan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih di Kota Tarakan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Kota Tarakan, Kalimantan Utara, adalah pulau kecil dengan luas 655,77 km² yang kini menghadapi tantangan besar akibat perubahan iklim. Dampak nyata seperti perubahan pola curah hujan, naiknya permukaan laut, banjir, dan kekeringan semakin menekan ketersediaan air bersih di perkotaan. Kota ini menjadi contoh nyata bagaimana perubahan iklim berdampak langsung pada ketahanan air, terutama di wilayah kepulauan yang sumber air permukaannya terbatas dan sangat bergantung pada curah hujan tahunan yang tinggi1.

Tarakan memiliki curah hujan tahunan rata-rata 3.898,2 mm dengan 269 hari hujan per tahun, menjadikannya salah satu kota dengan iklim sangat basah di Indonesia. Ironisnya, meski air melimpah, distribusi dan ketersediaan air bersih tetap menjadi masalah utama, diperparah oleh pertumbuhan penduduk, keterbatasan infrastruktur air bersih, dan kerusakan lingkungan akibat pembangunan pesat1.

Studi Kasus: Ketahanan Air Bersih di Kota Tarakan

Kondisi Infrastruktur dan Ketersediaan Air

PDAM Tarakan mengandalkan beberapa sungai kecil dan embung sebagai sumber air baku. Kapasitas efektif instalasi pengolahan air hanya 345 liter/detik, sementara kehilangan air mencapai 40,5% akibat kebocoran dan inefisiensi distribusi. Harga produksi air bersih adalah Rp1.200/m³, namun harga di pengecer bisa mencapai Rp5.000–10.000/m³, menandakan adanya beban ekonomi tambahan bagi warga yang tidak terjangkau layanan PDAM1.

Pada tahun 2021, cakupan pelayanan air bersih PDAM baru mencapai 86,8% dari total 241.893 jiwa, dengan wilayah pesisir seperti Tarakan Timur hanya terlayani sekitar 58,7%. Defisit air baku mencapai 3,8 juta m³ per tahun, sehingga pada musim kemarau, ribuan warga kerap mengalami krisis air bersih.

Pemanfaatan Air Hujan oleh Masyarakat

Survei lapangan menunjukkan masyarakat Tarakan sudah terbiasa memanen air hujan secara individual. Sistem yang umum digunakan adalah drum atau tanki di atas tanah dengan kapasitas 1.200–2.200 liter. Setiap rumah rata-rata memiliki dua buah drum, cukup untuk memenuhi kebutuhan MCK dan menyiram tanaman selama 4–10 hari (rata-rata 7 hari). Rata-rata luas atap yang digunakan sebagai area tangkapan adalah 10 m², dengan biaya investasi pembelian dan pemasangan sekitar Rp1.600.000 per drum1.

Kualitas air hujan yang ditampung umumnya tidak diolah lebih lanjut, sehingga penggunaannya terbatas pada kebutuhan non-konsumsi seperti MCK dan kebersihan rumah. Namun, dalam kondisi darurat atau gangguan pasokan air PDAM, air hujan menjadi sumber utama yang sangat vital bagi masyarakat1.

Analisis Potensi Ekonomi dan Lingkungan Pemanenan Air Hujan

Perhitungan Potensi Air Hujan

Dengan curah hujan harian rata-rata 14,5 mm dan luas atap 10 m², satu rumah tangga dapat menampung sekitar 145 liter air hujan per hari. Dalam setahun, potensi air hujan yang bisa dipanen oleh satu rumah mencapai 52,9 m³ atau 52.925 liter. Jika seluruh 52.602 rumah tangga di Tarakan memanen air hujan, total volume air yang dapat ditampung mencapai 2.782.600 m³ per tahun1.

Nilai ekonomi air hujan ini sangat signifikan. Jika dihitung berdasarkan harga produksi air PDAM (Rp1.200/m³), total nilai air hujan yang bisa dipanen mencapai Rp3,33 miliar per tahun. Jika menggunakan harga pengecer (Rp7.000/m³), nilainya melonjak hingga Rp19,47 miliar per tahun. Investasi untuk pembelian dan pemasangan drum/tanki bagi seluruh rumah tangga diperkirakan sebesar Rp84,16 miliar, dengan waktu pengembalian modal antara 4,32 hingga 25 tahun tergantung harga air pengganti1.

Dampak Lingkungan: Reduksi Banjir dan Konservasi Air Tanah

Selain nilai ekonomi, pemanfaatan air hujan juga berdampak positif pada lingkungan. Dengan menampung air hujan, volume limpasan permukaan berkurang sehingga risiko banjir menurun. Kelebihan air hujan yang tidak tertampung dapat diresapkan ke tanah untuk mengisi kembali cadangan air tanah, membantu konservasi dan menekan laju penurunan muka air tanah1.

Kritik dan Opini: Tantangan, Peluang, dan Pembelajaran dari Tarakan

Kelebihan dan Keunggulan Studi

  • Data Empiris dan Analisis Ekonomi: Studi ini menggunakan data curah hujan aktual, survei lapangan, dan analisis ekonomi yang rinci, sehingga hasilnya sangat aplikatif untuk wilayah serupa.
  • Solusi Adaptif dan Familiar: Sistem pemanenan air hujan sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Tarakan, sehingga adopsi teknologi tidak menemui hambatan sosial berarti.
  • Dampak Ganda: Selain untuk ketahanan air, pemanenan air hujan membantu mengurangi risiko banjir dan mendukung konservasi air tanah.

Tantangan Implementasi

  • Keterbatasan Kapasitas Penampungan: Banyak rumah hanya mampu menampung air hujan untuk kebutuhan 4–10 hari. Pada musim kemarau panjang atau curah hujan rendah, defisit air tetap terjadi dan masyarakat harus mencari sumber air alternatif15.
  • Kualitas Air Hujan: Air hujan yang ditampung umumnya tidak diolah, sehingga belum layak untuk konsumsi langsung. Potensi kontaminasi dari atap, debu, dan polutan udara perlu diatasi dengan teknologi filtrasi sederhana.
  • Investasi Awal: Meskipun biaya investasi drum/tanki tidak terlalu besar, bagi masyarakat berpenghasilan rendah tetap menjadi beban, terutama jika harus membeli lebih dari satu drum.
  • Ketergantungan pada Curah Hujan: Pada tahun-tahun dengan curah hujan di bawah rata-rata, embung dan penampungan air hujan bisa kering, seperti yang pernah terjadi pada 2001 dan 2018, menyebabkan ribuan warga krisis air bersih5.

Studi Banding dan Tren Nasional

Kondisi Tarakan mirip dengan banyak kota pesisir lain di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa: sumber air permukaan terbatas, air tanah asin atau tercemar, dan ketergantungan pada air hujan. Kota-kota seperti Ambon, Kupang, dan pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara juga mengadopsi teknologi pemanenan air hujan sebagai strategi adaptasi iklim dan ketahanan air123.

Tren nasional kini mendorong pembangunan sumur resapan, embung, dan sistem penampungan air hujan di kawasan permukiman, perkantoran, dan industri. Pemerintah pusat dan daerah mulai mengintegrasikan pemanenan air hujan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya air dan tata ruang kota, termasuk insentif dan sosialisasi melalui Gerakan Memanen Hujan123.

Rekomendasi Kebijakan dan Inovasi Teknologi

Langkah Strategis untuk Ketahanan Air di Era Perubahan Iklim

  • Regulasi dan Insentif: Pemerintah daerah perlu menetapkan kebijakan wajib pemanenan air hujan di setiap bangunan baru, baik rumah tangga, perkantoran, maupun fasilitas umum. Insentif berupa subsidi pembelian drum/tanki dan pelatihan pembuatan filter sederhana sangat diperlukan untuk memperluas adopsi teknologi13.
  • Sosialisasi dan Edukasi: Program edukasi dan pendampingan masyarakat harus digencarkan agar pemanfaatan air hujan tidak hanya sebagai pelengkap, tetapi menjadi sumber utama air bersih, terutama di musim hujan.
  • Inovasi Teknologi: Pengembangan sistem filtrasi sederhana berbasis bahan lokal (pasir, arang, keramik) perlu didorong agar air hujan yang ditampung layak konsumsi. Teknologi smart water management dan monitoring berbasis IoT dapat diintegrasikan untuk memantau volume, kualitas, dan distribusi air hujan13.
  • Kolaborasi Multi-Sektor: Pemerintah, swasta, dan komunitas harus bekerja sama membangun sistem penampungan air hujan komunal di kawasan padat penduduk yang tidak memiliki cukup lahan atau atap untuk penampungan individual.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan kini menjadi bagian dari strategi green building dan urban sustainability di sektor properti. Banyak pengembang perumahan mulai memasukkan sistem penampungan air hujan sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Di kota-kota besar, regulasi tentang sumur resapan dan SPAH mulai diberlakukan untuk mengurangi banjir dan meningkatkan cadangan air tanah123.

Dengan perubahan iklim yang kian nyata, inovasi lokal seperti pemanenan air hujan menjadi kunci ketahanan air di masa depan, baik untuk rumah tangga, industri, maupun sektor pertanian.

Kesimpulan: Pemanenan Air Hujan, Adaptasi Sederhana untuk Tantangan Kompleks

Studi di Kota Tarakan membuktikan bahwa pemanfaatan air hujan adalah strategi adaptasi perubahan iklim yang efektif, murah, dan mudah diadopsi masyarakat. Dengan curah hujan tinggi dan keterbatasan sumber air permukaan, sistem penampungan air hujan skala rumah tangga mampu meningkatkan ketahanan air, mengurangi risiko banjir, dan memberikan nilai ekonomi signifikan bagi warga.

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kapasitas penampungan, kualitas air, edukasi masyarakat, dan dukungan kebijakan pemerintah. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan memperkuat peran pemanenan air hujan sebagai bagian integral dari strategi ketahanan air nasional dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Mislan, Partimin. "Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Melalui Pemanfaatan Air Hujan Untuk Penyediaan Air Bersih Di Kota Tarakan-Kalimantan Utara." Jurnal Geosains Kutai Basin, Vol. 5 No. 2, 2022, hlm. 99–110.

Selengkapnya
Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Melalui Pemanfaatan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih di Kota Tarakan

Krisis Air

Analisis Pemanenan Air Hujan Memanfaatkan Atap Rumah untuk Memenuhi Kebutuhan Air Bersih di Dusun Padak, Sumbawa

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Kebutuhan air bersih di Indonesia terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk, sementara ketersediaan sumber air bersih semakin menurun akibat perubahan iklim, pencemaran, dan degradasi lingkungan. Di kawasan pesisir seperti Dusun Padak, Desa Labuan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa, permasalahan menjadi lebih kompleks: air sumur terasa asin akibat intrusi air laut, sementara distribusi air PDAM sangat terbatas karena kendala elevasi dan infrastruktur. Dalam tujuh tahun terakhir, masyarakat setempat bahkan tidak lagi mengandalkan PDAM dan sepenuhnya bergantung pada air hujan yang ditampung secara mandiri1.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Sumbawa. Banyak wilayah pesisir di Indonesia menghadapi tantangan serupa, seperti di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan sejumlah desa di Aceh Barat, di mana air tanah dangkal tidak lagi layak konsumsi dan air permukaan tercemar limbah domestik maupun industri3. Oleh karena itu, pemanfaatan air hujan menjadi solusi strategis yang semakin relevan dalam menghadapi krisis air bersih di masa depan.

Latar Belakang Penelitian: Mengapa Air Hujan dan Atap Rumah?

Penelitian yang dilakukan oleh Suparman Ajis dan Adi Mawardin dari Universitas Teknologi Sumbawa ini berfokus pada analisis potensi pemanenan air hujan melalui media atap rumah sebagai solusi pemenuhan kebutuhan air bersih skala rumah tangga di Dusun Padak1. Lokasi penelitian dipilih karena karakteristiknya yang khas: wilayah pesisir dengan kualitas tanah yang buruk, rentan intrusi air laut, dan minimnya akses air PDAM.

Pemanenan air hujan (Rainwater Harvesting/RWH) adalah teknik menampung dan menyimpan air hujan secara lokal, biasanya dengan memanfaatkan atap rumah sebagai area tangkapan dan menyalurkan air ke bak penampungan. Teknologi ini sudah diterapkan sejak era 90-an, namun kini kembali relevan seiring meningkatnya kebutuhan air bersih dan menurunnya ketersediaan sumber air konvensional.

Metodologi Penelitian: Survei Lapangan, Analisis Hidrologi, dan Perhitungan Kebutuhan

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pengambilan sampel acak. Data primer meliputi luas atap rumah dan jumlah penghuni, diperoleh melalui survei langsung. Data sekunder berupa jumlah penduduk dan curah hujan diambil dari BMKG Stasiun Meteorologi Sultan Muhammad Kaharuddin Sumbawa.

Analisis dilakukan dengan menghitung:

  • Kebutuhan air bersih per rumah tangga: Berdasarkan standar konsumsi 150 liter/orang/hari.
  • Luas atap rumah: Variasi dari 45,1 m² hingga 237,3 m².
  • Curah hujan rata-rata: Data 10 tahun terakhir (2014–2023), rata-rata tahunan 12.900 mm.
  • Koefisien runoff: 0,8 (mengacu pada jenis atap dan efisiensi penangkapan air).

Studi Kasus: Potensi Pemanenan Air Hujan di Dusun Padak

Kondisi Sosial dan Infrastruktur

Dusun Padak merupakan kawasan pesisir yang sangat rentan terhadap kekeringan. Pada musim kemarau panjang, 21 desa di Sumbawa (termasuk Labuan Sumbawa) dengan total 71.653 jiwa terdampak kekurangan air bersih. Warga bahkan rela membeli air tandon seharga Rp600 ribu per minggu untuk kebutuhan memasak dan mandi, atau menempuh jarak hingga 45 km untuk mengambil air bersih4. Bantuan air dari pemerintah dan lembaga sosial seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga.

Analisis Luas Atap dan Ketersediaan Air

Total luas atap rumah yang dianalisis dalam penelitian ini adalah 3.118,36 m². Dengan rata-rata curah hujan tahunan 12.900 mm, potensi air hujan yang dapat dipanen sangat besar. Namun, untuk memastikan ketersediaan air pada musim kering, peneliti menggunakan curah hujan andalan (probabilitas 99%) sebesar 15,99 mm/bulan.

Hasil perhitungan menunjukkan:

  • Ketersediaan air rata-rata: 235,82 m³/bulan (dari seluruh atap yang diteliti).
  • Kebutuhan air rata-rata: 125 m³/bulan (untuk seluruh rumah tangga sampel).
  • Volume air hujan yang bisa ditampung per rumah: Tergantung luas atap, berkisar antara 9–42 m³/bulan.

Pada bulan-bulan tertentu (November, Desember, Januari, Oktober), ketersediaan air hujan lebih tinggi dari kebutuhan. Namun, pada bulan-bulan kering (Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, September), terjadi defisit air karena curah hujan sangat minim atau bahkan nol.

Hasil dan Pembahasan: Efektivitas dan Tantangan Sistem Pemanenan Air Hujan

Perbandingan Kebutuhan dan Ketersediaan

Analisis data bulanan memperlihatkan fluktuasi tajam antara ketersediaan dan kebutuhan air. Misalnya:

  • Desember: Ketersediaan air 580,11 m³, kebutuhan 23 m³ (surplus).
  • April: Ketersediaan air 0 m³, kebutuhan 27 m³ (defisit).
  • Oktober: Ketersediaan air 511,36 m³, kebutuhan 14 m³ (surplus).

Secara total, selama setahun, potensi air hujan yang bisa dipanen mencapai 1.569,09 m³, sedangkan total kebutuhan air bersih 231 m³. Namun, distribusi curah hujan yang tidak merata menyebabkan beberapa bulan tetap mengalami kekurangan air.

Faktor Penentu Keberhasilan

  • Luas atap: Semakin luas atap, semakin besar volume air yang dapat ditampung. Rumah dengan atap 45 m² hanya mampu menampung 23 m³/bulan, sedangkan atap 237 m² bisa menampung hingga 42 m³/bulan.
  • Koefisien runoff: Jenis atap (genteng, seng, asbes) berpengaruh pada efisiensi penangkapan air. Permukaan atap yang halus dan bersih meningkatkan volume air yang bisa ditampung.
  • Kapasitas bak penampungan: Harus disesuaikan dengan volume air yang bisa ditampung pada bulan-bulan basah agar bisa digunakan saat musim kering.
  • Perawatan sistem: Saluran air, talang, dan bak penampungan harus rutin dibersihkan untuk mencegah kontaminasi dan pertumbuhan lumut.

Analisis Kritis: Kelebihan, Tantangan, dan Implikasi

Kelebihan Penelitian

  • Data empiris dan terukur: Penelitian ini menggunakan data curah hujan aktual, survei langsung luas atap, dan standar kebutuhan air, sehingga hasilnya sangat aplikatif.
  • Solusi berbasis kearifan lokal: Sistem pemanenan air hujan sudah menjadi tradisi masyarakat Sumbawa sejak era 90-an, sehingga penerapannya mudah diterima dan diadopsi.
  • Mengurangi tekanan pada air tanah: Dengan memanfaatkan air hujan, konsumsi air tanah dan risiko intrusi air laut dapat ditekan, mendukung konservasi lingkungan.

Tantangan Implementasi

  • Distribusi curah hujan tidak merata: Pada bulan-bulan kering, ketersediaan air hujan sangat minim sehingga tetap diperlukan sumber air alternatif.
  • Keterbatasan kapasitas penampungan: Banyak rumah belum memiliki bak penampung yang cukup besar untuk menyimpan air hujan selama musim kemarau.
  • Kualitas air hujan: Penelitian ini fokus pada kuantitas, belum membahas aspek kualitas air hujan dan perlunya filtrasi atau desinfeksi sebelum konsumsi, padahal air hujan dapat terkontaminasi debu, polutan, dan mikroorganisme.
  • Biaya investasi awal: Meski sistem sederhana, pembangunan bak penampung dan saluran air tetap memerlukan biaya, yang bisa menjadi kendala bagi keluarga berpenghasilan rendah.

Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Nasional

Studi di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, menunjukkan hasil serupa: potensi air hujan yang dapat dipanen dari atap rumah mencapai 1.318.781 m³/tahun, namun hanya mampu memenuhi sebagian kebutuhan air bersih penduduk3. Artinya, sistem pemanenan air hujan sangat efektif sebagai sumber air tambahan, tetapi belum bisa menjadi satu-satunya solusi, terutama di wilayah dengan musim kemarau panjang dan curah hujan yang fluktuatif.

Tren nasional kini mendorong adopsi sistem Rainwater Harvesting (RWH) di kawasan perkotaan dan pedesaan. Banyak kota besar mulai mewajibkan pembangunan sumur resapan dan bak penampung air hujan pada setiap bangunan baru untuk mengurangi banjir dan mendukung ketahanan air. Inovasi teknologi, seperti filter sederhana dari pasir, arang, dan keramik, juga semakin banyak dikembangkan untuk meningkatkan kualitas air hujan yang ditampung.

Opini dan Saran: Menuju Ketahanan Air Berbasis Komunitas

Penelitian ini sangat relevan untuk daerah pesisir dan kawasan rawan kekeringan di Indonesia. Pemerintah daerah sebaiknya:

  • Mendorong pembangunan bak penampung air hujan skala rumah tangga dengan insentif atau subsidi.
  • Mengintegrasikan program edukasi tentang pentingnya pemeliharaan sistem pemanenan air hujan dan filtrasi sederhana.
  • Mengembangkan sistem kolektif (komunal) di lingkungan padat penduduk, sehingga air hujan yang ditampung bisa dibagi secara adil antar warga.
  • Melakukan penelitian lanjutan tentang kualitas air hujan dan pengembangan teknologi filtrasi murah berbasis bahan lokal.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan kini menjadi bagian dari strategi green building dan sustainable living di sektor properti. Banyak pengembang perumahan mulai memasukkan sistem penampungan air hujan sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Selain itu, teknologi smart water management dan Internet of Things (IoT) mulai diintegrasikan untuk memantau volume air, kualitas, dan pemeliharaan sistem penampungan secara otomatis.

Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, inovasi lokal seperti pemanenan air hujan akan menjadi kunci ketahanan air di masa depan, tidak hanya di Sumbawa, tetapi juga di seluruh Indonesia.

Kesimpulan: Pemanenan Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks

Penelitian ini membuktikan bahwa pemanenan air hujan melalui atap rumah adalah solusi praktis, murah, dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan air bersih di wilayah pesisir seperti Dusun Padak, Sumbawa. Dengan desain sistem yang tepat, edukasi masyarakat, dan dukungan kebijakan, air hujan dapat menjadi sumber air utama, mengurangi ketergantungan pada air tanah dan PDAM, serta mendukung konservasi lingkungan.

Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kapasitas penampungan, distribusi curah hujan, dan kualitas air. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sangat penting untuk memperluas cakupan dan manfaat sistem ini.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Suparman Ajis, Adi Mawardin. "Analisis Pemanenan Air Hujan Dengan Memanfaatkan Atap Dalam Memenuhi Kebutuhan Air Bersih." Journal of Applied Civil Engineering and Infrastructure Technology (JACEIT), Vol. 5 No. 2 (2024), hlm. 95–98.

Selengkapnya
Analisis Pemanenan Air Hujan Memanfaatkan Atap Rumah untuk Memenuhi Kebutuhan Air Bersih di Dusun Padak, Sumbawa

Krisis Air

Analisis Pemanfaatan Air Hujan dan Perencanaan Sistem Penampung Air Hujan untuk Rumah Tangga di Kota Masohi, Maluku Tengah

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Indonesia, sebagai negara tropis dengan dua musim utama—hujan dan kemarau—selalu menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sumber daya air. Fluktuasi curah hujan yang ekstrem, perubahan iklim, dan pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air bersih. Pada musim hujan, air melimpah hingga menimbulkan banjir, sementara musim kemarau membawa ancaman kekeringan. Permasalahan ini semakin kompleks di daerah-daerah yang belum memiliki sistem penyediaan air bersih yang memadai, seperti di Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah.

Penelitian yang dilakukan oleh Charles J. Tiwery, Novita I. D. Magrib, dan Ester Putri Sahetapy dari Universitas Kristen Indonesia Maluku ini mengkaji secara mendalam potensi pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih alternatif, serta merancang sistem penampungan air hujan (SPAH) yang efektif untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, khususnya di Jln. Chr. M. Tiahahu, RT 008, Kota Masohi.

Latar Belakang: Mengapa Air Hujan?

Air hujan merupakan sumber air yang sangat potensial, terutama di wilayah dengan kualitas air tanah yang rendah atau akses air bersih terbatas. Di lokasi penelitian, masyarakat umumnya mengandalkan sumur gali dan sumur bor. Namun, dari 21 KK pengguna air sumur, hanya 15 KK yang memiliki sumur bor pribadi. Ketergantungan pada air tanah menghadapi banyak kendala, mulai dari kualitas yang menurun akibat pencemaran hingga debit yang tidak stabil saat musim kemarau.

Sistem penampungan air hujan (SPAH) menjadi solusi yang menarik dan murah, dengan sedikit pengolahan sebelum digunakan untuk kebutuhan domestik. Metode ini tidak hanya mengurangi konsumsi air tanah, tetapi juga berkontribusi pada konservasi air dan pengurangan risiko banjir.

Metodologi Penelitian: Survei, Analisis Hidrologi, dan Perancangan Sistem

Penelitian dilakukan pada Juli–Oktober 2021 di Jln. Chr. M. Tiahahu, RT 008, Kecamatan Namasina, Kota Masohi. Metode yang digunakan meliputi survei lapangan untuk memperoleh data primer (jumlah rumah, luas wilayah, jumlah sumur), pengumpulan data sekunder (curah hujan bulanan, jumlah penduduk), serta analisis hidrologi untuk menghitung potensi air hujan yang dapat ditampung.

Analisis kuantitatif dilakukan dengan model matematika hidrologi, termasuk perhitungan curah hujan rerata, hujan andalan (probabilitas 80%), volume air tertampung, kebutuhan air rumah tangga, dan dimensi optimal bak penampungan.

Studi Kasus: RT 008, Kota Masohi—Potret Kebutuhan dan Ketersediaan Air

Komposisi Penduduk dan Kebutuhan Air

RT 008, lokasi studi, memiliki 115 KK dengan total 448 jiwa (rata-rata 4 orang per KK). Berdasarkan standar kebutuhan air domestik untuk desa (70 liter/orang/hari), satu KK membutuhkan 280 liter air per hari atau 0,28 m³/hari. Untuk menghadapi musim kemarau, kebutuhan air selama 17 hari tanpa hujan adalah 4,8 m³ per KK.

Analisis Curah Hujan dan Potensi Tangkapan

Data curah hujan dari BMKG Stasiun Amahai selama 10 tahun menunjukkan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 3.014,6 mm dengan 232 hari hujan per tahun. Namun, pada musim kemarau, curah hujan bulanan minimum hanya sekitar 16 mm (November dan Desember). Untuk analisis debit andalan, digunakan curah hujan minimum dengan peluang 80% sebesar 27 mm per bulan.

Luas atap rumah rata-rata yang digunakan sebagai area tangkapan adalah 108 m², dengan koefisien runoff 0,95 (jenis atap seng atau genteng). Dengan demikian, volume air hujan yang dapat ditampung setiap bulan pada musim kemarau adalah:

  • Volume air tertampung = Curah hujan x Luas atap x Koefisien runoff
  • = 0,027 m x 108 m² x 0,95
  • = 2,77 m³ (dibulatkan menjadi 3,00 m³)

Perbandingan Kebutuhan dan Ketersediaan

Dari hasil perhitungan, volume air hujan yang dapat ditampung per bulan (3,00 m³) hanya mampu memenuhi kebutuhan air satu KK selama 11 hari (dari total 17 hari tanpa hujan). Dengan kebutuhan air 4,8 m³ untuk 17 hari, masih terdapat defisit air sebesar 1,8 m³ per bulan.

Untuk mengatasi kekurangan ini, peneliti menyarankan beberapa solusi:

  • Memperluas area tangkapan air hujan (misal, menambah atap pada bak penampung).
  • Mengoptimalkan desain bak penampungan agar mampu menampung air lebih banyak saat musim hujan.

Desain Sistem Penampungan Air Hujan (SPAH): Dimensi dan Implementasi

Berdasarkan kebutuhan air 4,8 m³ per bulan, dimensi optimal bak penampungan untuk satu KK adalah:

  • Panjang: 1,5 m
  • Lebar: 1,5 m
  • Tinggi: 2 m

Desain ini memungkinkan penampungan air hujan yang cukup untuk kebutuhan keluarga selama musim kemarau, asalkan area tangkapan atap diperbesar atau sistem penampungan diintegrasikan antar rumah tangga.

Penelitian juga membandingkan berbagai luasan atap:

  • Atap 45 m²: hanya mampu memenuhi kebutuhan air selama 4 hari.
  • Atap 70 m²: 6 hari.
  • Atap 90 m²: 8 hari.
  • Atap 108 m²: 11 hari.
  • Atap 240 m²: 22 hari.
  • Atap 300 m²: 27 hari.

Semakin luas atap, semakin lama air hujan dapat memenuhi kebutuhan keluarga tanpa hujan.

Analisis Kritis: Kelebihan, Tantangan, dan Relevansi

Kelebihan Penelitian

  • Data Empiris dan Analisis Detail: Penelitian ini menggunakan data curah hujan aktual, jumlah penduduk, dan standar kebutuhan air, sehingga hasil perhitungannya sangat aplikatif untuk wilayah serupa.
  • Desain SPAH Praktis: Dimensi bak penampungan yang diusulkan mudah diaplikasikan, dengan bahan dan konstruksi yang sederhana.
  • Solusi Berkelanjutan: Pemanfaatan air hujan mengurangi tekanan pada air tanah dan sumur bor, serta mendukung konservasi air.

Tantangan Implementasi

  • Keterbatasan Area Tangkapan: Rumah dengan atap kecil tidak mampu memenuhi kebutuhan air keluarga selama musim kemarau. Solusi kolektif atau penambahan struktur atap sangat diperlukan.
  • Kualitas Air Hujan: Penelitian ini fokus pada kuantitas, belum membahas detail kualitas air hujan dan perlunya filtrasi atau desinfeksi sebelum konsumsi.
  • Perubahan Iklim: Variabilitas curah hujan akibat perubahan iklim dapat mengubah pola ketersediaan air hujan di masa depan.

Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian serupa di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia membuktikan bahwa sistem panen air hujan (rainwater harvesting) sangat efektif untuk memenuhi kebutuhan air domestik, terutama di musim kemarau. Studi di Yogyakarta dan Bali menunjukkan bahwa dengan desain tangkapan dan penampungan yang optimal, air hujan dapat memenuhi 60–80% kebutuhan air rumah tangga. Namun, keberhasilan sangat bergantung pada edukasi masyarakat, desain sistem, dan integrasi dengan teknologi filtrasi sederhana.

Opini dan Saran: Menuju Ketahanan Air Rumah Tangga

Penelitian ini sangat relevan untuk daerah-daerah dengan akses air bersih terbatas. Pemerintah daerah sebaiknya mendorong adopsi sistem penampungan air hujan melalui insentif, pelatihan teknis, dan integrasi dengan program sanitasi. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kualitas air hujan, pengembangan filter sederhana, dan integrasi SPAH dengan teknologi smart water management.

Agar sistem ini benar-benar berkelanjutan, masyarakat perlu diberikan edukasi tentang pentingnya pemeliharaan bak penampung, pembersihan saluran, dan filtrasi air sebelum digunakan untuk konsumsi. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sangat penting untuk memperluas cakupan manfaat SPAH.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan sejalan dengan tren green building dan sustainable living yang kini banyak diadopsi di sektor properti dan industri. Banyak pengembang perumahan mulai memasukkan sistem penampungan air hujan sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Di kota-kota besar, regulasi tentang sumur resapan dan SPAH mulai diberlakukan untuk mengurangi banjir dan meningkatkan cadangan air tanah.

Teknologi SPAH juga mendukung pencapaian SDGs (Sustainable Development Goals), khususnya target akses air bersih dan sanitasi layak bagi semua. Dengan perubahan iklim yang makin nyata, inovasi lokal seperti ini akan menjadi kunci ketahanan air di masa depan.

Kesimpulan: SPAH, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks

Penelitian ini membuktikan bahwa sistem penampungan air hujan adalah solusi praktis, murah, dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga di wilayah dengan akses air bersih terbatas. Dengan desain yang tepat dan edukasi masyarakat, SPAH dapat mengurangi ketergantungan pada air tanah, mendukung konservasi air, dan meningkatkan ketahanan keluarga menghadapi musim kemarau.

Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada luas area tangkapan, kualitas air hujan, dan dukungan kebijakan. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan memperkuat peran SPAH sebagai bagian dari strategi ketahanan air nasional.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Charles J. Tiwery, Novita I. D. Magrib, Ester Putri Sahetapy. "Analisis Pemanfaatan Air Hujan Dan Perencanaan Sistem Penampung Air Hujan Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Rumah Tangga (Studi Kasus: Jln. Chr. M. Tiahahu, RT 008 Kota Masohi Kabupaten Maluku Tengah)."

Selengkapnya
Analisis Pemanfaatan Air Hujan dan Perencanaan Sistem Penampung Air Hujan untuk Rumah Tangga di Kota Masohi, Maluku Tengah
« First Previous page 4 of 7 Next Last »