Kajian Pemanfaatan Air Hujan sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau Ende

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

04 Juni 2025, 09.36

pixabay.com

Indonesia memiliki ribuan pulau kecil yang menyimpan tantangan tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Salah satu contohnya adalah Pulau Ende, di mana air tanah sangat terbatas dan cenderung payau akibat tipisnya lensa air tawar dan intrusi air laut. Kondisi geografis dan biofisik pulau-pulau kecil seperti Ende menyebabkan air hujan menjadi satu-satunya sumber air tawar yang layak, namun pemanfaatannya selama ini belum optimal. Paper karya Valentinus Tan dan Mikael Wora dari Universitas Flores, Ende, menyoroti pentingnya pemanenan air hujan skala rumah tangga sebagai solusi berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat Pulau Ende.

Latar Belakang dan Relevansi Penelitian

Pulau Ende menjadi gambaran nyata bagaimana air bersih merupakan barang mahal dan langka, meski dikelilingi lautan. Sumur-sumur di pulau ini umumnya menghasilkan air payau yang tidak layak konsumsi. Upaya penyulingan air laut (SWRO) pernah dilakukan dengan dana miliaran rupiah, namun gagal memberikan solusi karena alat tidak berfungsi. Akibatnya, masyarakat masih sangat bergantung pada air hujan yang ditampung di bak penampungan atau tandon, serta membeli air dari kota atau penjual keliling, yang kualitasnya pun masih payau.

Pemerintah Kabupaten Ende telah menetapkan pemenuhan kebutuhan air bersih sebagai prioritas pembangunan infrastruktur dan lingkungan hidup, terutama untuk wilayah-wilayah yang belum terjangkau layanan air bersih konvensional. Pemanenan air hujan (rainwater harvesting) menjadi alternatif yang logis dan murah, apalagi curah hujan tahunan di Indonesia rata-rata 2.263 mm dan relatif merata sepanjang tahun.

Sistem dan Komponen Pemanenan Air Hujan

Sistem pemanenan air hujan sederhana terdiri dari tiga komponen utama:

  • Area tangkapan (atap rumah): Luas atap sangat menentukan volume air hujan yang bisa ditampung.
  • Saluran pengumpul (talang/pipa): Mengalirkan air dari atap ke bak penampungan.
  • Bak penampungan (tandon/tangki): Tempat penyimpanan air hujan, baik di atas tanah maupun di bawah tanah.

Kualitas air hujan dapat dijaga dengan pemasangan filter sederhana untuk menyaring sampah dan polutan yang terbawa dari atap. Saluran pembuangan air hujan pada menit-menit awal juga penting untuk membuang air yang mungkin terkontaminasi debu atau kotoran.

Metode Penelitian: Simulasi Hidrologi Kuantitatif

Penelitian ini menggunakan data primer berupa luas atap rumah dan jumlah anggota keluarga, serta data sekunder berupa curah hujan harian rata-rata dari BPS Kabupaten Ende (2010–2014). Simulasi dilakukan dengan model siklus hujan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi air hujan dalam memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga, dengan variasi jumlah tangki penampungan (kapasitas 1.000–5.000 liter).

Studi Kasus: Pemenuhan Air Bersih Skala Rumah Tangga di Pulau Ende

Kondisi Sosial dan Infrastruktur

Pulau Ende didaulat sebagai pulau dengan ribuan penampung air hujan (PAH). Warga menampung air hujan dengan bak, ember, atau tandon seadanya. Namun, kapasitas penampungan yang terbatas hanya cukup untuk kebutuhan jangka pendek. Pada musim kemarau, masyarakat terpaksa membeli air dari luar pulau atau dari mobil tangki keliling, yang kualitasnya masih payau dan terasa asin saat diminum.

Simulasi dan Hasil Analisis

Penelitian mengambil sampel rumah dengan luas atap 231 m² dan 7 anggota keluarga. Dengan data curah hujan tahunan 4.560 mm, serta koefisien pengaliran 0,75 (jenis atap genteng miring), dilakukan simulasi kebutuhan air dan kapasitas tangki.

  • Dua tangki (masing-masing 1 m³): Dapat memenuhi 67,5% kebutuhan air bersih keluarga per tahun.
  • Tiga tangki (masing-masing 1 m³): Meningkatkan pemenuhan kebutuhan air hingga 82,6%.
  • Empat tangki (masing-masing 1 m³): Mampu memenuhi 90,3% kebutuhan air bersih.

Simulasi pada tahun-tahun berikutnya (2017–2020) menunjukkan variasi pemenuhan air tergantung curah hujan tahunan. Pada tahun dengan curah hujan rendah (2020), tiga tangki hanya mampu memenuhi sekitar 53,5% kebutuhan air keluarga.

Penelitian juga membandingkan beberapa skenario:

  • Luas atap sama, anggota keluarga berbeda: Semakin banyak anggota keluarga, semakin rendah persentase kebutuhan air yang terpenuhi.
  • Luas atap berbeda, anggota keluarga sama: Semakin besar luas atap, semakin tinggi volume air yang bisa ditampung dan semakin besar persentase kebutuhan air yang terpenuhi.

Contoh pada tahun 2016:

  • Rumah 231 m², 7 anggota keluarga: 82,6% kebutuhan air terpenuhi dengan 3 tangki.
  • Rumah 231 m², 6 anggota keluarga: 87,7% terpenuhi.
  • Rumah 204 m², 7 anggota keluarga: 81,6% terpenuhi.
  • Rumah 112 m², 6 anggota keluarga: 82,8% terpenuhi.

Pada tahun 2020 (curah hujan rendah), persentase pemenuhan turun drastis, misalnya pada rumah 112 m² dengan 6 anggota keluarga hanya 41,2% kebutuhan air yang terpenuhi.

Pembahasan: Faktor Penentu dan Implikasi Praktis

Faktor Penentu Keberhasilan

  • Curah hujan: Semakin tinggi curah hujan tahunan, semakin besar peluang pemenuhan kebutuhan air bersih.
  • Luas atap: Area tangkapan yang lebih luas meningkatkan volume air yang bisa ditampung.
  • Jumlah anggota keluarga: Semakin banyak penghuni, semakin besar kebutuhan air dan semakin rendah persentase kebutuhan yang bisa dipenuhi dari air hujan.
  • Kapasitas tangki: Penambahan jumlah dan kapasitas tangki penampungan sangat berpengaruh terhadap ketahanan air rumah tangga, terutama saat musim kemarau.

Tantangan Implementasi

  • Variasi curah hujan: Pada tahun-tahun kering, bahkan dengan tiga tangki, hanya sekitar 50% kebutuhan air yang bisa dipenuhi. Ini menuntut strategi tambahan seperti penghematan air atau kolaborasi antar rumah tangga.
  • Kualitas air hujan: Meski relatif bersih, air hujan tetap perlu disaring dan didesinfeksi sebelum dikonsumsi, terutama jika atap dan saluran belum terjaga kebersihannya.
  • Investasi awal: Pembuatan tangki atau tandon dengan kapasitas besar membutuhkan biaya yang tidak sedikit, meski dalam jangka panjang lebih hemat daripada membeli air dari luar.

Perbandingan dengan Studi dan Tren Nasional

Penelitian serupa di daerah lain seperti Gunungkidul, Aceh, dan Riau menunjukkan pola yang sama: air hujan sangat potensial sebagai sumber air bersih, terutama di wilayah dengan air tanah dangkal yang payau atau tercemar. Studi di Gunungkidul membuktikan bahwa dengan penampungan yang cukup, air hujan dapat memenuhi hingga 80% kebutuhan air domestik selama musim hujan.

Tren nasional saat ini juga mendorong pemanfaatan air hujan sebagai bagian dari strategi ketahanan air, baik melalui program pemerintah, LSM, maupun inisiatif komunitas. Regulasi sumur resapan dan penampungan air hujan mulai diintegrasikan dalam perizinan bangunan baru di beberapa kota besar.

Opini, Kritik, dan Saran Pengembangan

Kritik

  • Fokus pada kuantitas, bukan kualitas: Penelitian ini sangat kuat dalam aspek kuantitatif, namun belum membahas detail kualitas air hujan dan perlunya filtrasi atau desinfeksi sebelum konsumsi.
  • Kurangnya analisis ekonomi: Studi belum membahas biaya investasi, operasional, dan manfaat ekonomi jangka panjang, yang penting untuk mendorong adopsi massal.
  • Belum ada strategi adaptasi saat musim kemarau ekstrem: Perlu kajian lebih lanjut tentang integrasi sumber air alternatif dan teknologi penghematan air.

Saran

  • Integrasi dengan teknologi filtrasi: Penambahan filter sederhana dan desinfeksi sangat penting untuk menjamin keamanan konsumsi air hujan.
  • Edukasi dan sosialisasi: Masyarakat perlu diedukasi tentang perawatan atap, saluran, dan tangki, serta pentingnya penghematan air.
  • Pengembangan skala komunal: Sistem penampungan air hujan komunal dapat menjadi solusi di lingkungan padat penduduk dengan keterbatasan lahan dan dana.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan kini menjadi bagian dari strategi green building dan sustainable living di sektor properti. Banyak pengembang perumahan mulai memasukkan sistem penampungan air hujan sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, inovasi lokal seperti pemanenan air hujan akan menjadi kunci ketahanan air di masa depan, tidak hanya di pulau kecil seperti Ende, tetapi juga di seluruh Indonesia.

Kesimpulan: Pemanenan Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks

Penelitian di Pulau Ende membuktikan bahwa pemanenan air hujan melalui sistem sederhana sangat efektif dalam memenuhi kebutuhan air bersih, terutama di wilayah dengan keterbatasan air tanah. Dengan tiga tangki penampungan berkapasitas 1 m³, rumah tangga dapat memenuhi hingga 80% kebutuhan air bersih pada tahun-tahun dengan curah hujan normal. Namun, pada tahun-tahun kering, kontribusi air hujan turun hingga sekitar 50%, sehingga perlu strategi tambahan.

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kapasitas penampungan, luas atap, jumlah penghuni, dan edukasi masyarakat. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan memperkuat peran pemanenan air hujan sebagai bagian dari strategi ketahanan air nasional dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Valentinus Tan, Mikael Wora. "Kajian Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Di Pulau Ende." Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Flores, Ende, 2021.