Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Air bersih adalah kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia. Namun, di banyak wilayah Indonesia, terutama di kawasan muara sungai seperti Distrik Inanwatan, Papua Barat, kualitas air tanah dan air permukaan seringkali tidak memenuhi standar kesehatan. Intrusi air payau, pencemaran limbah, dan keterbatasan sumber air bersih membuat masyarakat setempat sangat bergantung pada air hujan, terutama saat musim kemarau. Permasalahan ini mendorong lahirnya inovasi pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih alternatif, dengan fokus pada pengembangan sistem filtrasi sederhana yang efektif, murah, dan mudah diaplikasikan oleh masyarakat.
Latar Belakang Penelitian: Mengapa Air Hujan dan Filterisasi?
Distrik Inanwatan, salah satu distrik tertua di Kabupaten Sorong Selatan, berada di wilayah IMEKKO (Inanwatan, Matemani, Kais, Kokoda) dan memiliki luas 960,54 km². Sebagai kawasan muara sungai, sumber air tanah di sini sangat rentan terhadap intrusi air payau. Kondisi ini menyebabkan air sumur masyarakat tidak layak konsumsi, terutama untuk kebutuhan minum dan sanitasi. Di sisi lain, air hujan yang melimpah saat musim penghujan menjadi potensi besar yang belum dimanfaatkan optimal.
Sistem Pemanenan Air Hujan (SPAH) menjadi solusi yang relevan. SPAH adalah metode pengumpulan dan penampungan air hujan dari atap rumah, yang kemudian diolah melalui proses filtrasi agar memenuhi standar baku mutu kesehatan lingkungan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 32 Tahun 2017. Namun, air hujan mentah belum tentu langsung layak konsumsi karena masih mengandung kontaminan fisik, kimia, dan biologis.
Desain Penelitian dan Studi Kasus: Model Filter Air Hujan
Tahapan Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh Hari Dwi Wahyudi dan Syarifah Aini dari Universitas Widya Dharma ini terdiri dari beberapa tahap utama:
Komposisi dan Desain Filter
Filter air hujan yang dirancang menggunakan pipa PVC diameter 4 inchi dan panjang 80 cm, berisi media filter berlapis:
Desain ini terinspirasi dari teknologi Saringan Pasir Lambat (SPL) yang sederhana, murah, dan mudah dirawat oleh masyarakat pedesaan.
Analisis Data: Angka-Angka Kunci dari Studi
Kualitas Air Hujan Sebelum Filtrasi
Kualitas Air Hasil Filtrasi
Setelah melewati filter, terjadi perbaikan signifikan pada parameter yang sebelumnya bermasalah:
Parameter lain tetap lolos uji, sehingga air hasil filtrasi memenuhi standar Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 32 Tahun 2017 untuk keperluan higienis dan sanitasi.
Pembahasan: Efektivitas Filter dan Implikasi Kesehatan
Mengatasi Warna dan Keasaman
Parameter warna air hujan yang tinggi (78 TCU) disebabkan oleh kandungan bahan organik dan anorganik, seperti humus, oksida besi, dan mangan. Setelah filtrasi, warna turun menjadi 36 TCU. Karbon aktif dan pasir vulkanik berperan penting dalam proses ini, menyerap dan menyaring partikel penyebab warna.
Keasaman air hujan (pH 4,67) umum terjadi akibat pelarutan gas-gas atmosfer (CO2, NO2, SO2). Dengan penambahan karbon aktif, pH naik ke kisaran netral (6,88), sehingga air lebih aman untuk keperluan domestik.
Reduksi Kadmium dan Zat Organik
Kadmium adalah logam berat berbahaya yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal, hati, dan tulang jika terakumulasi dalam tubuh. Kandungan awal kadmium pada air hujan di Inanwatan (0,055 mg/L) jauh di atas standar. Setelah difiltrasi dengan serbuk keramik, kadarnya turun drastis ke 0,0045 mg/L.
Zat organik (diukur dengan KMnO4) juga berhasil direduksi dari 11,10 mg/L menjadi 6,94 mg/L. Kandungan zat organik yang tinggi dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme patogen dan mengganggu kesehatan.
Keamanan Biologis
Hasil uji biologis menunjukkan total coliform <3/100 mL, jauh di bawah ambang batas 50/100 mL. Artinya, air hujan di kawasan ini relatif aman dari kontaminasi bakteri patogen, meskipun tetap disarankan penggunaan filter tambahan atau desinfeksi untuk konsumsi langsung.
Studi Kasus: Penerapan di Distrik Inanwatan
Distrik Inanwatan menghadapi permasalahan air bersih akut akibat intrusi air payau pada sumur-sumur warga. Selama musim kemarau, masyarakat sangat bergantung pada air hujan yang ditampung dari atap rumah. Namun, tanpa pengolahan, air hujan belum tentu layak digunakan untuk minum atau kebutuhan higienis.
Dengan penerapan filter sederhana berbahan lokal (arang tempurung kelapa, keramik, pasir vulkanik, dan kerikil), masyarakat dapat mengolah air hujan menjadi air bersih yang memenuhi standar kesehatan. Biaya pembuatan filter relatif murah, perawatan mudah, dan teknologi bisa diterapkan secara mandiri oleh masyarakat.
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Nasional
Teknologi saringan pasir lambat (SPL) dan filter multi-media telah banyak diterapkan di berbagai daerah Indonesia, terutama di kawasan pedesaan dan pesisir. Studi di Yogyakarta dan Jakarta menunjukkan SPL efektif menurunkan kadar besi, mangan, dan kekeruhan air sumur serta air hujan. Penambahan karbon aktif dan keramik sebagai media filter semakin meningkatkan efektivitas penjernihan dan penurunan logam berat.
Tren nasional juga mengarah pada pemanfaatan air hujan sebagai sumber air alternatif, didorong oleh perubahan iklim, urbanisasi, dan keterbatasan sumber air tanah. Pemerintah dan LSM mendorong pembangunan SPAH di sekolah, rumah ibadah, dan rumah tangga sebagai bagian dari strategi ketahanan air.
Kritik, Opini, dan Saran Pengembangan
Kritik
Opini dan Saran
Relevansi dengan Tren Industri dan Lingkungan
Pemanfaatan air hujan dengan filter sederhana sangat relevan dengan tren green technology dan sustainable living. Industri properti mulai mengadopsi SPAH sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Di sisi lain, perubahan iklim dan penurunan kualitas air tanah mendorong inovasi pengelolaan air berbasis komunitas.
Teknologi filter lokal berbasis bahan alami (arang, keramik, pasir vulkanik) juga mendukung pengembangan industri kecil dan pemberdayaan masyarakat. Dengan biaya rendah dan perawatan mudah, solusi ini sangat cocok untuk daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) di Indonesia.
Kesimpulan: Filter Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks
Penelitian ini membuktikan bahwa air hujan, jika diolah dengan filter sederhana berbahan lokal, dapat menjadi sumber air bersih yang aman dan terjangkau di kawasan pesisir seperti Distrik Inanwatan. Model filter yang dirancang efektif menurunkan parameter warna, keasaman, kadmium, dan zat organik hingga sesuai standar kesehatan nasional. Teknologi ini layak diadopsi secara luas, baik oleh pemerintah, LSM, maupun masyarakat, sebagai bagian dari strategi ketahanan air nasional.
Dengan edukasi, inovasi, dan kolaborasi lintas sektor, pemanfaatan air hujan dapat menjadi solusi berkelanjutan untuk krisis air bersih di Indonesia, sekaligus mendukung target SDGs dan ketahanan lingkungan.
Sumber Artikel (Bahasa Asli):
Hari Dwi Wahyudi, Syarifah Aini. "Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Sumber Air Bersih di Wilayah Distrik Inanwatan – Papua Barat."
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Ketersediaan air bersih menjadi tantangan utama di kota-kota pesisir Indonesia, termasuk Kota Pekalongan. Pesatnya pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan ekspansi industri serta pariwisata meningkatkan kebutuhan air bersih secara signifikan. Namun, berkurangnya sumber air permukaan dan pencemaran air membuat masyarakat beralih ke air tanah sebagai sumber utama. Fenomena ini menimbulkan dilema: air tanah memang vital, tetapi eksploitasi berlebihan memicu penurunan muka tanah, intrusi air laut, dan banjir rob yang semakin parah15.
Penelitian oleh Komalawati, Anggi Sahru Romdon, dan Yayat Hidayat (2024) dalam Jurnal Litbang Kota Pekalongan menyoroti tingkat pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan dan konservasi air tanah. Artikel ini tidak hanya membedah hasil riset tersebut, tetapi juga mengaitkannya dengan tren konservasi air tanah, tantangan kebijakan, dan solusi inovatif berbasis studi kasus nyata di Pekalongan.
Konteks Kota Pekalongan: Tekanan Urbanisasi dan Industri
Kota Pekalongan adalah contoh nyata kota pesisir yang menghadapi tekanan luar biasa terhadap sumber daya air tanah. Dengan pertumbuhan penduduk mencapai 0,46% per tahun (309.742 jiwa pada 2022), serta pesatnya perkembangan industri, hotel, dan perdagangan, kebutuhan air bersih melonjak drastis. Data BPS 2023 menunjukkan, 54,76% penduduk dan pelaku usaha di Pekalongan mengandalkan air tanah, sementara PDAM baru melayani sekitar 40% penduduk13.
Sayangnya, kualitas air tanah dangkal menurun akibat pencemaran limbah domestik dan industri, khususnya limbah batik. Pengambilan air tanah melalui sumur bor, terutama lewat program PAMSIMAS yang telah berjalan 15 tahun, menyebabkan penurunan muka air tanah hingga -24,31 cm sampai -22,83 cm per tahun di beberapa kecamatan rawan banjir dan rob15. Kombinasi land subsidence dan kenaikan muka laut memperparah risiko banjir, dengan kerugian ekonomi yang bisa mencapai triliunan rupiah1.
Metodologi Penelitian: Survei dan Observasi di Zona Kritis
Penelitian dilakukan pada Juli–November 2023 di lima kelurahan zona kritis Pekalongan Barat dan Pekalongan Utara: Pasirkratonkramat, Padukuhan Kraton, Bandengan, Kandang Panjang, dan Panjang Baru. Survei melibatkan 200 responden rumah tangga pengguna air tanah, dipilih secara acak dari total 2.188 rumah tangga pengguna PAMSIMAS15.
Data dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara mendalam dengan sembilan informan kunci (dinas, PDAM, pengelola PAMSIMAS, tokoh masyarakat), serta observasi lapangan. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif dan diuji hubungan antara pengetahuan dan persepsi menggunakan chi-square.
Profil Sosial-Ekonomi Responden: Potret Warga Pekalongan
Karakteristik responden sangat berpengaruh terhadap pengetahuan dan persepsi mereka. Mayoritas berusia produktif (30–57 tahun, 75%), berpendidikan rendah (57% hanya tamat SD/SMP), dan berjenis kelamin perempuan (80,5%). Sebagian besar adalah ibu rumah tangga (49%), dengan pendapatan di bawah Rp2 juta/bulan (63,5%) dan tanggungan keluarga 3–4 orang (43,5%)15.
Kondisi ini mencerminkan keterbatasan daya beli dan kecenderungan memilih sumber air yang ekonomis, seperti PAMSIMAS daripada PDAM. Biaya PAMSIMAS hanya Rp20.000–Rp70.000 per bulan, sementara masyarakat masih enggan beralih ke PDAM kecuali biaya setara atau sedikit lebih tinggi.
Pengetahuan Masyarakat: Tinggi, Tapi Belum Merata
Hasil Survei Pengetahuan
Mayoritas responden (61%) memiliki pengetahuan tinggi tentang pemanfaatan dan konservasi air tanah. Namun, masih ada 17% yang pengetahuannya rendah, sehingga edukasi intensif tetap diperlukan15.
Isi Pengetahuan
Masyarakat sadar pentingnya air tanah untuk kehidupan, namun belum sepenuhnya memahami bahaya jangka panjang eksploitasi berlebihan. Mereka tahu limbah industri dan pertanian mencemari air tanah, tetapi merasa tidak berdaya dan berharap pemerintah lebih aktif mengedukasi dan mengatur pelaku usaha.
Persepsi Masyarakat: Positif, Namun Minim Praktik Konservasi
Hasil Persepsi
Sebagian besar masyarakat setuju pentingnya konservasi air tanah dan mendukung regulasi pengelolaan sumber daya air. Namun, 77% responden mengaku belum pernah melakukan upaya konservasi di lingkungan mereka, seperti pembuatan sumur resapan, biopori, atau pemanfaatan air hujan15.
Faktor Penghambat
Studi Kasus: Dampak Eksploitasi Air Tanah di Pekalongan
Kelurahan Panjang Baru menjadi contoh nyata dampak eksploitasi air tanah. Warga di sini melaporkan penurunan permukaan tanah hingga 1,5–1,75 meter dalam beberapa tahun terakhir. Untuk mengurangi risiko banjir rob, mereka terpaksa melakukan pengurugan jalan dan rumah. Namun, solusi ini hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah15.
Selain itu, 15 kawasan di Pekalongan Barat dan Utara telah dikategorikan rawan banjir dan rob, dengan penurunan muka tanah tertinggi mencapai -24,31 cm/tahun. Kondisi ini diperparah oleh laju pembangunan yang mengurangi area resapan air hingga 54,08% dari total wilayah kota, membuat infiltrasi air hujan semakin minim dan memperbesar potensi banjir tahunan36.
Konservasi Air Tanah: Tantangan dan Solusi
Kelemahan Praktik Konservasi
Walaupun masyarakat tahu pentingnya konservasi, sebagian besar belum menerapkan langkah-langkah konkret seperti:
Alasannya adalah ketidaktahuan teknis, minimnya sosialisasi, dan rendahnya insentif atau kemudahan dari pemerintah.
Solusi dan Rekomendasi
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Nasional
Kondisi Pekalongan serupa dengan kota pesisir lain di Indonesia yang mengalami tekanan urbanisasi, penurunan muka tanah, dan banjir rob akibat eksploitasi air tanah. Studi di Semarang dan Jakarta menunjukkan bahwa konservasi air tanah dan pembangunan sumur resapan efektif mengurangi risiko banjir dan intrusi air laut, meski membutuhkan investasi awal dan perubahan perilaku masyarakat.
Tren nasional saat ini juga mendorong penggunaan air hujan sebagai sumber air alternatif, terutama di kawasan rawan krisis air bersih. Penggunaan teknologi sistem informasi geografis (SIG) untuk pemetaan area resapan air menjadi praktik terbaik dalam perencanaan konservasi perkotaan36.
Opini dan Kritik: Menuju Kebijakan Air Tanah yang Berkelanjutan
Penelitian ini memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi nyata di lapangan: pengetahuan dan persepsi masyarakat Pekalongan cukup baik, namun praktik konservasi masih minim. Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya, seperti pembangunan infrastruktur pengendali banjir, reklamasi pantai, dan sosialisasi PDAM, tetapi hasilnya belum optimal karena kurangnya edukasi teknis dan insentif nyata bagi masyarakat.
Kritik utama adalah lemahnya implementasi kebijakan dan kurangnya monitoring serta evaluasi program konservasi. Pemerintah perlu meningkatkan kolaborasi dengan komunitas lokal, memperkuat regulasi, dan menyediakan insentif untuk konservasi air tanah. Selain itu, edukasi berbasis aksi nyata dan pelatihan teknis harus menjadi prioritas agar masyarakat tidak hanya tahu, tetapi juga mau dan mampu melakukan konservasi.
Kesimpulan: Dari Pengetahuan Menuju Aksi Nyata
Pengetahuan dan persepsi masyarakat Pekalongan terhadap pemanfaatan dan konservasi air tanah sudah relatif baik, namun masih terdapat gap besar antara pengetahuan dan aksi nyata. Urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat menuntut solusi inovatif dan kolaboratif untuk menjaga keberlanjutan air tanah.
Masa depan Pekalongan dan kota-kota pesisir lain di Indonesia sangat bergantung pada keberhasilan konservasi air tanah melalui edukasi, teknologi, dan kebijakan yang berpihak pada lingkungan dan masyarakat. Dengan sinergi semua pihak, konservasi air tanah bukan sekadar wacana, melainkan aksi kolektif demi keberlanjutan generasi mendatang.
Sumber Artikel (Bahasa Asli):
Komalawati, Anggi Sahru Romdon, Yayat Hidayat. "Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan dan Konservasi Air Tanah di Kota Pekalongan." Jurnal Litbang Kota Pekalongan, Vol. 22, No. 1, Juli 2024, hlm. 14–27.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Indonesia, negeri tropis dengan curah hujan 2.000–4.000 mm per tahun, ironisnya masih menghadapi krisis air bersih yang semakin meningkat. Data menunjukkan, proporsi wilayah krisis air di Indonesia naik dari 6% pada tahun 2000 menjadi 9,6% pada 20451. Penyebab utamanya adalah perubahan iklim, pencemaran air, dan pengelolaan sumber daya air yang belum optimal. Di sisi lain, potensi air hujan yang melimpah belum dimanfaatkan maksimal sebagai sumber air bersih, padahal air hujan dapat menjadi solusi strategis untuk mendukung target SDGs nomor 6: akses air bersih dan sanitasi layak bagi semua.
Artikel ini membahas inovasi pemanfaatan air hujan menjadi air bersih melalui sistem otomasi water bank berbasis reaksi elektrolisis dan filter UV, dengan sumber daya panel surya. Selain menyoroti studi kasus dan hasil nyata dari riset, artikel ini mengaitkan tren teknologi energi terbarukan dan tantangan implementasi di Indonesia.
Mengapa Air Hujan? Potensi Besar yang Terlupakan
Indonesia diberkahi curah hujan tinggi, namun seringkali air hujan hanya menjadi penyebab banjir, bukan solusi air bersih. Padahal, air hujan yang dipanen dan diolah dengan benar bisa menjadi sumber air bersih yang murah, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 2009 bahkan menegaskan air hujan sebagai sumber air yang dapat dimanfaatkan secara langsung atau sebagai imbuhan air tanah.
Sayangnya, banyak wilayah masih mengandalkan air tanah yang kualitasnya menurun akibat pencemaran, atau air permukaan yang kian langka saat musim kemarau. Inovasi teknologi diperlukan agar air hujan bisa diolah menjadi air bersih secara efisien, ekonomis, dan mudah diakses masyarakat.
Studi Kasus: Rancang Bangun Water Bank Otomatis Berbasis Elektrolisis dan UV
Konsep Sistem
Tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada merancang sistem otomatis water bank yang mengintegrasikan tiga teknologi utama:
Sistem ini didukung sensor otomatis, mikrokontroler, dan pompa yang bekerja berdasarkan deteksi ketinggian air di tangki. Semua proses berjalan otomatis, mulai dari pengisian, pemrosesan, hingga penyimpanan air bersih.
Tahapan dan Komponen Sistem
Angka dan Data Kunci dari Studi
Analisis dan Nilai Tambah: Keunggulan & Tantangan Sistem
Keunggulan Sistem
Tantangan Implementasi
Perbandingan dengan Inovasi Serupa
Teknologi serupa telah dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya, di Bali, sistem pengolahan air hujan berbasis elektrolisis dan UV dengan smart control system berbasis IoT telah diterapkan di SMAN 1 Mengwi. Hasilnya, waktu elektrolisis bisa dipercepat dari 90 menit menjadi hanya 30 menit dengan penyesuaian kapasitor, dan air hasil olahan terbukti steril dari E. Coli4.
Di desa-desa terpencil, sistem filtrasi air berbasis tenaga surya juga mulai diadopsi. Dengan panel surya 100 Wp, aki 12 volt 18 Ah, dan pompa DC 50 watt, sistem dapat beroperasi selama 5 jam dan menurunkan bakteri E. Coli hingga 29/100 ml dalam satu jam penyinaran UV.
Kritik dan Saran Pengembangan
Kritik
Saran
Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi
Pemanfaatan air hujan dan energi surya sejalan dengan tren green technology dan urban sustainability. Banyak pengembang properti kini mulai menerapkan sistem harvesting air hujan dan panel surya sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Industri energi terbarukan juga terus mengembangkan panel surya yang lebih efisien, bahkan yang mampu menghasilkan listrik dari tetesan air hujan.
Di tingkat global, inovasi serupa menjadi bagian penting dalam strategi mitigasi perubahan iklim dan pengurangan ketergantungan pada energi fosil. Dengan semakin terjangkaunya harga panel surya dan filter UV, peluang adopsi sistem ini di Indonesia semakin besar.
Kesimpulan: Menuju Masa Depan Air Bersih dan Energi Mandiri
Rancang bangun sistem otomasi water bank berbasis elektrolisis dan filter UV dengan sumber daya panel surya membuktikan bahwa air hujan dapat diolah menjadi air bersih yang aman, murah, dan berkelanjutan. Sistem ini menawarkan solusi konkret untuk krisis air bersih di Indonesia, sekaligus mendukung transisi menuju energi terbarukan.
Keberhasilan inovasi ini sangat bergantung pada edukasi masyarakat, dukungan kebijakan, dan pengembangan teknologi yang adaptif terhadap kondisi lokal. Dengan kolaborasi lintas sektor, Indonesia dapat menjadi pelopor pemanfaatan air hujan dan energi surya untuk masa depan yang lebih hijau dan sehat.
Sumber Artikel (Bahasa Asli):
Yuan Shafira Adelia P., Andreas Niel Alfiandi, Andreani Farah Wahyuditya. "PEMANFAATAN AIR HUJAN MENJADI AIR BERSIH MELALUI RANCANG BANGUN SISTEM OTOMASI WATER BANK BERBASIS REAKSI ELEKTROLISIS DAN FILTER UV DENGAN SUMBER DAYA PANEL SURYA."
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Permasalahan air bersih di Indonesia masih menjadi isu krusial, terutama di kawasan perkotaan yang padat penduduk. Data WHO menunjukkan lebih dari 1,1 miliar orang di dunia kekurangan akses air minum layak, dan 2,6 miliar tidak memiliki akses sanitasi dasar. Dampaknya sangat terasa, terutama bagi anak-anak yang rentan terhadap penyakit akibat sanitasi buruk. Di Indonesia sendiri, alokasi anggaran untuk air bersih masih minim. Dari kebutuhan Rp36,1 triliun, pemerintah hanya mengalokasikan 10%, jauh dari angka ideal 30%1.
Jagabaya III di Bandar Lampung menjadi contoh nyata kawasan padat dengan beragam jenis bangunan—mulai dari rumah tinggal, pertokoan, rumah makan, hingga fasilitas umum—yang menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan air hujan dan banjir. Di tengah minimnya daerah resapan dan saluran drainase yang belum memadai, banjir dan kekurangan air bersih menjadi masalah berulang setiap tahunnya1.
Mengapa Air Hujan Penting untuk Permukiman Padat?
Air hujan adalah sumber air yang mudah diakses dan gratis, namun seringkali tidak dimanfaatkan secara optimal. Jika dikelola dengan baik, air hujan dapat dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga seperti mandi, mencuci, hingga sebagai cadangan air bersih di musim kemarau. Sayangnya, banyak masyarakat masih menganggap air hujan sebagai peristiwa alam biasa, bukan sebagai solusi potensial untuk krisis air bersih maupun banjir1.
Studi Kasus: Penyuluhan dan Implementasi di Jagabaya III
Analisis Situasi dan Permasalahan
Jagabaya III merupakan kelurahan dengan kepadatan penduduk tinggi. Bangunan yang rapat dan minimnya ruang terbuka membuat air hujan sulit meresap ke tanah. Akibatnya, saat hujan deras, drainase yang ada tidak mampu menampung debit air sehingga sering terjadi luapan air dan banjir. Selain itu, masyarakat belum sepenuhnya sadar akan pentingnya pengelolaan air hujan1.
Metode Pengabdian dan Edukasi
Tim dari Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung melakukan serangkaian kegiatan pengabdian masyarakat, meliputi:
Solusi yang Diterapkan
Solusi yang diusulkan dan disosialisasikan kepada warga adalah sistem jaringan air hujan yang ditampung dalam tangki air melalui proses filtrasi sederhana. Setelah itu, air dialirkan ke sumur resapan. Kelebihan air yang tidak tertampung akan disalurkan ke saluran pembuangan umum. Sistem ini tidak hanya membantu mengurangi risiko banjir, tetapi juga menyediakan air bersih untuk kebutuhan mandi, cuci, dan kakus (MCK)1.
Dampak dan Manfaat Implementasi di Lapangan
Manfaat Lingkungan dan Sosial
Tantangan Implementasi
Studi Kasus Lapangan: Detail Angka dan Fakta
Dalam kegiatan pengabdian di Jagabaya III, tim melakukan pengukuran luas atap rumah warga sebagai dasar perhitungan kapasitas penampungan air hujan. Misalnya, sebuah rumah dengan luas atap 100 m² dan curah hujan harian rata-rata 100 mm dapat menampung hingga 10.000 liter air hujan per hari—tentu dengan asumsi efisiensi penampungan maksimal sebelum dikurangi faktor kehilangan akibat rembesan atau penguapan.
Selain itu, penyuluhan diikuti oleh pegawai kelurahan, lurah, dan masyarakat sekitar. Materi yang diberikan mencakup perhitungan dan perancangan bangunan pemanenan air hujan, serta diskusi interaktif agar warga dapat memahami dan menerapkan sistem ini secara mandiri1.
Kritik dan Opini: Meningkatkan Efektivitas Program
Kritik
Saran
Relevansi dengan Tren Nasional dan Industri
Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air alternatif mulai banyak diadopsi di kota-kota besar di Indonesia. Beberapa kota telah mengeluarkan regulasi yang mewajibkan pembangunan sumur resapan di setiap bangunan baru. Program serupa di Yogyakarta dan Surabaya menunjukkan bahwa sistem penampungan air hujan dapat memenuhi hingga 60% kebutuhan air non-minum rumah tangga selama musim hujan, serta secara signifikan menurunkan risiko banjir.
Di sektor properti, tren green building juga menekankan pentingnya sistem penampungan air hujan sebagai bagian dari desain ramah lingkungan. Industri teknologi filtrasi air pun berkembang, menawarkan solusi filter air hujan yang semakin terjangkau dan mudah diaplikasikan.
Kesimpulan: Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Masalah Kompleks
Studi kasus di Kelurahan Jagabaya III membuktikan bahwa pemanfaatan air hujan adalah solusi efektif dan ekonomis untuk mengatasi masalah banjir dan kekurangan air bersih di kawasan padat penduduk. Keberhasilan program ini sangat bergantung pada edukasi masyarakat, desain sistem yang tepat, serta dukungan kebijakan pemerintah.
Dengan laju urbanisasi yang terus meningkat, pemanfaatan air hujan harus menjadi bagian dari strategi pengelolaan air perkotaan yang berkelanjutan. Inovasi sederhana seperti penampungan air hujan dan sumur resapan, jika diterapkan secara luas dan konsisten, dapat membawa perubahan besar bagi kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Sumber Artikel (Bahasa Asli):
Yuda Romdania, Ahmad Herison, Ofik Taufik Purwadi, Endro Prasetyo Wahono, Sumiharni. "Penyuluhan Pemanfaatan Air Hujan Kelurahan Jagabaya III Kecamatan Way Halim Kota Bandar Lampung." SAKAI SAMBAYAN – Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, Vol 4 No 2 Juli 2020.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Urbanisasi cepat di wilayah pinggiran Yogyakarta, seperti Kecamatan Depok di Kabupaten Sleman, menciptakan tantangan baru dalam tata kelola air. Dengan 71,45% dari luas wilayahnya sudah tertutup bangunan, fungsi ekologis kawasan ini untuk menyerap air hujan menjadi sangat terbatas. Alih fungsi lahan menjadi bangunan beton berdampak langsung pada berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah, meningkatnya limpasan permukaan, dan terjadinya genangan serta banjir lokal.
Namun, ada satu potensi yang selama ini sering diabaikan: air hujan. Melalui pendekatan "city as a catchment area"—kota sebagai daerah tangkapan air—air hujan tidak hanya bisa dikelola, tetapi juga dimanfaatkan sebagai sumber air bersih alternatif dan alat mitigasi genangan perkotaan.
Tujuan Penelitian: Menjawab Dua Masalah Sekaligus
Penelitian ini bertujuan mengukur potensi air hujan yang bisa dimanfaatkan dari atap-atap bangunan di Kecamatan Depok serta menghitung seberapa besar kontribusinya dalam mengurangi genangan air. Pendekatannya bersandar pada regulasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11 Tahun 2014 tentang pengelolaan air hujan.
Dengan perhitungan teknis dan data curah hujan selama 2017–2020 dari sistem satelit NASA POWER, tim peneliti menggunakan pendekatan volume wajib kelola air hujan (Vwk) dan volume tertampung dari atap bangunan (Vtadah). Hasilnya memperlihatkan potensi besar yang selama ini terabaikan di ruang urban.
Gambaran Umum Wilayah Studi: Depok, Sleman
Kecamatan Depok memiliki luas 35,55 km² yang terdiri dari tiga desa dan 58 dusun. Dari luasan ini, sekitar 25,40 km² sudah tertutup bangunan. Jumlah penduduk mencapai 131.005 jiwa. Aktivitas pendidikan, perdagangan, dan jasa yang sangat tinggi memperbesar kebutuhan air bersih dan memperparah risiko genangan saat musim hujan.
Data curah hujan harian dari tahun 2017 hingga 2020 menunjukkan bahwa wilayah ini mengalami hujan dengan intensitas cukup tinggi, dengan curah hujan pada persentil 95 mencapai 34,48 mm. Data inilah yang digunakan sebagai dasar simulasi volume air hujan potensial yang bisa ditampung dan dimanfaatkan.
Estimasi Potensi Pemanenan Air Hujan
Menggunakan luas atap bangunan yang mencapai 25,4 juta m² dan koefisien limpasan (runoff coefficient) sebesar 0,85, hasil penghitungan menunjukkan bahwa volume air hujan yang dapat ditampung dengan teknik PAH (pemanenan air hujan) di Kecamatan Depok mencapai 636.481,84 m³ per hari hujan intensitas tinggi.
Volume ini dihitung dari skenario hujan persentil 95—yakni curah hujan harian sebesar 34,48 mm yang hanya terjadi pada 5% hari-hari terbasah. Artinya, dalam kondisi hujan ekstrem pun, sistem ini memiliki kapasitas untuk memanen air dalam jumlah besar secara efisien.
Kebutuhan Air Bersih Penduduk: Apakah Air Hujan Cukup?
Dengan asumsi standar kebutuhan air sebesar 150 liter per orang per hari (0,15 m³), maka total kebutuhan air harian bagi 131.005 jiwa adalah sekitar 19.650,75 m³ per hari. Ini berarti air hujan yang tertampung dari atap bangunan saat hujan besar bisa mencukupi kebutuhan seluruh penduduk selama lebih dari 32 hari, jika dikelola dan disimpan dengan baik.
Dengan kata lain, air hujan dapat menggantikan air tanah atau PDAM dalam jangka waktu tertentu, terutama pada musim penghujan. Manfaat lainnya adalah pengurangan konsumsi air tanah yang berisiko menurunkan permukaan tanah dan menyebabkan kerusakan ekosistem lokal.
Kontribusi Terhadap Pengurangan Genangan
Salah satu temuan paling signifikan dari penelitian ini adalah bahwa penerapan teknologi pemanenan air hujan pada seluruh bangunan di Kecamatan Depok dapat mengurangi volume limpasan permukaan yang menjadi andil banjir hingga 51,93%.
Artinya, separuh dari potensi genangan saat hujan deras dapat dicegah hanya dengan menampung air hujan dari atap bangunan. Strategi ini sangat selaras dengan prinsip drainase ramah lingkungan, yang dikenal dengan slogan TRAP (Tampung, Resapkan, Alirkan, Pelihara).
Implementasi Sistem PAH: Bagaimana Seharusnya?
Agar hasil penelitian ini tidak berhenti pada angka-angka teoritis, diperlukan panduan implementasi yang dapat diterapkan secara praktis. Sistem pemanenan air hujan ideal untuk bangunan perkotaan mencakup:
Untuk rumah tangga biasa, kapasitas tangki minimal 1–3 m³ sudah cukup untuk menampung air hujan selama 2–5 hari. Sedangkan untuk gedung besar seperti kampus atau kantor, kapasitas tangki bisa mencapai puluhan hingga ratusan meter kubik.
Perbandingan dan Komparasi Penelitian Lain
Penelitian ini memperkuat hasil studi sebelumnya yang dilakukan di wilayah perkotaan lain di Indonesia:
Namun, kelebihan penelitian oleh Nugroho dan Hardiyanti ini adalah kuantifikasi simultan dua manfaat sekaligus: konservasi air bersih dan pengurangan genangan. Pendekatan ini sangat relevan untuk perencanaan kota yang berkelanjutan.
Kritik dan Catatan Tambahan
Walaupun hasil penelitian sangat menjanjikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ke depannya:
Rekomendasi Kebijakan dan Tindak Lanjut
Hasil penelitian ini layak dijadikan dasar kebijakan pemerintah daerah, khususnya dalam menyusun regulasi dan perencanaan tata kota. Beberapa rekomendasi praktis:
Kesimpulan: Air Hujan, Harapan yang Turun dari Langit
Penelitian ini secara meyakinkan menunjukkan bahwa air hujan adalah sumber daya yang belum dimanfaatkan secara optimal di kawasan urban. Dengan luas atap bangunan yang dominan dan curah hujan yang tinggi, Kecamatan Depok menyimpan potensi luar biasa untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan air bersih penduduknya sekaligus mengurangi genangan hingga lebih dari separuh.
Lebih dari sekadar solusi teknis, pemanenan air hujan adalah manifestasi dari pembangunan berkelanjutan. Ia menggabungkan konservasi lingkungan, efisiensi energi, adaptasi perubahan iklim, dan kemandirian air untuk masyarakat. Maka sudah saatnya, kota-kota di Indonesia mulai menengadah bukan hanya untuk berlindung dari hujan, tetapi untuk menyambut solusi dari langit.
Sumber Asli Artikel:
Andri Prasetyo Nugroho & Ratih Hardiyanti. Potensi Pemanfaatan Air Hujan untuk Memenuhi Kebutuhan Air dan Mengurangi Genangan di Kecamatan Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta. Jurnal Daur Lingkungan, 5(1), Februari 2022, hlm. 19–22. Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Batanghari Jambi. DOI: 10.33087/daurling.v5i1.91
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Kebutuhan air bersih di kota-kota besar seperti Bandung terus meningkat seiring pesatnya pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi. Namun, ironisnya, pasokan air tanah semakin menipis dan PDAM pun tidak selalu mampu memenuhi seluruh permintaan. Sebagian besar air digunakan bukan hanya untuk konsumsi, tapi juga untuk kebutuhan sekunder seperti sanitasi dan penyiraman taman.
Dalam konteks ini, air hujan—yang biasanya hanya dianggap sebagai penyebab banjir atau genangan—justru dapat menjadi jawaban atas krisis air urban. Melalui sistem pemanenan air hujan yang tepat, sumber daya gratis ini bisa diubah menjadi solusi nyata, hemat, dan ramah lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh Moch. Hikmat Ramadhan Arifin membuktikan hal tersebut secara konkret di Kompleks Gedung Pemerintahan Kota Bandung.
Tujuan dan Konteks Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah menghitung berapa besar potensi air hujan yang dapat ditampung dari atap-atap gedung pemerintahan di Kota Bandung, dan merancang sistem tangki penampungan yang optimal untuk memenuhi kebutuhan air non-konsumtif, yakni sanitasi (toilet, wastafel) dan pertamanan.
Kompleks Gedung Pemerintahan Kota Bandung, sebagai lokasi studi, merupakan kawasan dengan luas atap cukup besar dan aktivitas harian tinggi. Sejauh ini, air bersih di kawasan tersebut disuplai dari dua sumber utama: air tanah dan air PDAM. Namun, tidak semua kebutuhan harus dipenuhi oleh air berstandar minum. Untuk aktivitas seperti flushing toilet dan penyiraman taman, air hujan sebenarnya sudah sangat mencukupi.
Metodologi dan Komponen Sistem PAH
Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data curah hujan tahunan Kota Bandung, luas atap bangunan, jumlah pegawai dan tamu, serta luas taman. Kemudian dilakukan:
Sistem PAH yang dirancang terdiri dari lima komponen utama:
Analisis Kebutuhan Air: Berapa Banyak yang Diperlukan?
Peneliti menghitung kebutuhan air berdasarkan dua variabel utama: jumlah pegawai dan luas taman.
Setelah dihitung secara agregat per bulan, rata-rata kebutuhan air total di kompleks pemerintahan ini mencapai 392,3 m³ per bulan. Nilai ini mencakup aktivitas toilet dari pegawai dan tamu, serta penyiraman taman yang cukup luas.
Estimasi Ketersediaan Air Hujan: Potensi Besar yang Selama Ini Terbuang
Dengan luas total atap 5.526 m² dan data curah hujan andalan Kota Bandung selama setahun, volume air hujan yang dapat dipanen mencapai 6.092,41 m³ per tahun. Ini setara dengan lebih dari 500 m³ per bulan pada bulan-bulan basah seperti November dan April.
Koefisien aliran (runoff coefficient) ditetapkan 0,9, karena atap beton memiliki daya tangkap air tinggi. Artinya, 90% dari air hujan yang jatuh di atap dapat dimanfaatkan, sisanya hilang akibat penguapan atau cipratan.
Perbandingan Volume Tangki dan Efektivitasnya
Peneliti merancang tiga alternatif kapasitas tangki penampungan untuk mengakomodasi kebutuhan air:
Dari sini terlihat bahwa dengan kapasitas tangki yang cukup besar, air hujan mampu mencukupi seluruh kebutuhan sanitasi dan taman di kompleks pemerintahan ini, bahkan tanpa perlu campur tangan PDAM.
Neraca Air Bulanan: Strategi Penyimpanan untuk Menghadapi Musim Kering
Salah satu kekhawatiran umum terhadap PAH adalah fluktuasi cuaca. Musim kemarau bisa menyebabkan kekosongan tangki jika tidak ada sistem penyimpanan yang memadai.
Namun, neraca air yang dihitung dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penampungan yang cukup (1.500 m³), kebutuhan air tetap dapat terpenuhi bahkan di bulan-bulan kering seperti Juli dan Agustus, yang hanya menerima curah hujan 1–2 mm.
Sebaliknya, pada bulan-bulan basah seperti November, volume air yang tersedia jauh melampaui kebutuhan. Maka dari itu, sistem harus dilengkapi dengan overflow yang dialirkan ke sumur resapan agar kelebihan air tetap memberi manfaat lingkungan.
Kelebihan Sistem PAH yang Dirancang
Tantangan dan Solusi Implementasi di Gedung Pemerintah
Tantangan:
Solusi:
Opini dan Komparasi dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sangat komprehensif dan praktis. Dalam hal perhitungan dan desain, riset ini melampaui banyak studi PAH lain di Indonesia yang hanya berhenti pada estimasi volume. Riset oleh Tri Yayuk Susana (2012) di BI, misalnya, tidak menyertakan neraca air bulanan. Di sisi lain, studi PAH di Universitas Indonesia oleh Ahmad Zaki hanya merancang tangki 3 m³ untuk kampus skala kecil.
Keunggulan dari studi Arifin adalah cakupan data yang lengkap, simulasi realistis, dan hasil langsung dapat diterapkan di kompleks perkantoran mana pun di Indonesia.
Rekomendasi Kebijakan dan Replikasi
Hasil penelitian ini sangat potensial dijadikan pedoman teknis untuk:
Kesimpulan: Saatnya Gedung Pemerintahan Menjadi Contoh Pemanfaatan Air Hujan
Air hujan bukan lagi sekadar fenomena alam yang ditunggu atau dihindari, melainkan sumber daya potensial yang selama ini terbuang percuma. Penelitian ini membuktikan bahwa pemanenan air hujan, dengan perencanaan volume dan kebutuhan yang matang, bisa mengubah wajah manajemen air di gedung-gedung pemerintah.
Dalam konteks Kota Bandung—yang padat, berpolusi, dan rawan kekurangan air—sistem PAH bukan sekadar solusi teknis, melainkan kebijakan moral dan strategi berkelanjutan. Kota yang modern seharusnya juga bijak dalam memanen berkah dari langit.
Sumber Asli Artikel:
Arifin, Moch. Hikmat Ramadhan. Analisis Pemanfaatan Air Hujan sebagai Alternatif Penyediaan Air Sanitasi dan Pertamanan pada Kompleks Gedung Pemerintahan Kota Bandung. FTSP Series: Seminar Nasional dan Diseminasi Tugas Akhir 2021, Universitas Sangga Buana