Kota Tarakan, Kalimantan Utara, adalah pulau kecil dengan luas 655,77 km² yang kini menghadapi tantangan besar akibat perubahan iklim. Dampak nyata seperti perubahan pola curah hujan, naiknya permukaan laut, banjir, dan kekeringan semakin menekan ketersediaan air bersih di perkotaan. Kota ini menjadi contoh nyata bagaimana perubahan iklim berdampak langsung pada ketahanan air, terutama di wilayah kepulauan yang sumber air permukaannya terbatas dan sangat bergantung pada curah hujan tahunan yang tinggi1.
Tarakan memiliki curah hujan tahunan rata-rata 3.898,2 mm dengan 269 hari hujan per tahun, menjadikannya salah satu kota dengan iklim sangat basah di Indonesia. Ironisnya, meski air melimpah, distribusi dan ketersediaan air bersih tetap menjadi masalah utama, diperparah oleh pertumbuhan penduduk, keterbatasan infrastruktur air bersih, dan kerusakan lingkungan akibat pembangunan pesat1.
Studi Kasus: Ketahanan Air Bersih di Kota Tarakan
Kondisi Infrastruktur dan Ketersediaan Air
PDAM Tarakan mengandalkan beberapa sungai kecil dan embung sebagai sumber air baku. Kapasitas efektif instalasi pengolahan air hanya 345 liter/detik, sementara kehilangan air mencapai 40,5% akibat kebocoran dan inefisiensi distribusi. Harga produksi air bersih adalah Rp1.200/m³, namun harga di pengecer bisa mencapai Rp5.000–10.000/m³, menandakan adanya beban ekonomi tambahan bagi warga yang tidak terjangkau layanan PDAM1.
Pada tahun 2021, cakupan pelayanan air bersih PDAM baru mencapai 86,8% dari total 241.893 jiwa, dengan wilayah pesisir seperti Tarakan Timur hanya terlayani sekitar 58,7%. Defisit air baku mencapai 3,8 juta m³ per tahun, sehingga pada musim kemarau, ribuan warga kerap mengalami krisis air bersih.
Pemanfaatan Air Hujan oleh Masyarakat
Survei lapangan menunjukkan masyarakat Tarakan sudah terbiasa memanen air hujan secara individual. Sistem yang umum digunakan adalah drum atau tanki di atas tanah dengan kapasitas 1.200–2.200 liter. Setiap rumah rata-rata memiliki dua buah drum, cukup untuk memenuhi kebutuhan MCK dan menyiram tanaman selama 4–10 hari (rata-rata 7 hari). Rata-rata luas atap yang digunakan sebagai area tangkapan adalah 10 m², dengan biaya investasi pembelian dan pemasangan sekitar Rp1.600.000 per drum1.
Kualitas air hujan yang ditampung umumnya tidak diolah lebih lanjut, sehingga penggunaannya terbatas pada kebutuhan non-konsumsi seperti MCK dan kebersihan rumah. Namun, dalam kondisi darurat atau gangguan pasokan air PDAM, air hujan menjadi sumber utama yang sangat vital bagi masyarakat1.
Analisis Potensi Ekonomi dan Lingkungan Pemanenan Air Hujan
Perhitungan Potensi Air Hujan
Dengan curah hujan harian rata-rata 14,5 mm dan luas atap 10 m², satu rumah tangga dapat menampung sekitar 145 liter air hujan per hari. Dalam setahun, potensi air hujan yang bisa dipanen oleh satu rumah mencapai 52,9 m³ atau 52.925 liter. Jika seluruh 52.602 rumah tangga di Tarakan memanen air hujan, total volume air yang dapat ditampung mencapai 2.782.600 m³ per tahun1.
Nilai ekonomi air hujan ini sangat signifikan. Jika dihitung berdasarkan harga produksi air PDAM (Rp1.200/m³), total nilai air hujan yang bisa dipanen mencapai Rp3,33 miliar per tahun. Jika menggunakan harga pengecer (Rp7.000/m³), nilainya melonjak hingga Rp19,47 miliar per tahun. Investasi untuk pembelian dan pemasangan drum/tanki bagi seluruh rumah tangga diperkirakan sebesar Rp84,16 miliar, dengan waktu pengembalian modal antara 4,32 hingga 25 tahun tergantung harga air pengganti1.
Dampak Lingkungan: Reduksi Banjir dan Konservasi Air Tanah
Selain nilai ekonomi, pemanfaatan air hujan juga berdampak positif pada lingkungan. Dengan menampung air hujan, volume limpasan permukaan berkurang sehingga risiko banjir menurun. Kelebihan air hujan yang tidak tertampung dapat diresapkan ke tanah untuk mengisi kembali cadangan air tanah, membantu konservasi dan menekan laju penurunan muka air tanah1.
Kritik dan Opini: Tantangan, Peluang, dan Pembelajaran dari Tarakan
Kelebihan dan Keunggulan Studi
- Data Empiris dan Analisis Ekonomi: Studi ini menggunakan data curah hujan aktual, survei lapangan, dan analisis ekonomi yang rinci, sehingga hasilnya sangat aplikatif untuk wilayah serupa.
- Solusi Adaptif dan Familiar: Sistem pemanenan air hujan sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Tarakan, sehingga adopsi teknologi tidak menemui hambatan sosial berarti.
- Dampak Ganda: Selain untuk ketahanan air, pemanenan air hujan membantu mengurangi risiko banjir dan mendukung konservasi air tanah.
Tantangan Implementasi
- Keterbatasan Kapasitas Penampungan: Banyak rumah hanya mampu menampung air hujan untuk kebutuhan 4–10 hari. Pada musim kemarau panjang atau curah hujan rendah, defisit air tetap terjadi dan masyarakat harus mencari sumber air alternatif15.
- Kualitas Air Hujan: Air hujan yang ditampung umumnya tidak diolah, sehingga belum layak untuk konsumsi langsung. Potensi kontaminasi dari atap, debu, dan polutan udara perlu diatasi dengan teknologi filtrasi sederhana.
- Investasi Awal: Meskipun biaya investasi drum/tanki tidak terlalu besar, bagi masyarakat berpenghasilan rendah tetap menjadi beban, terutama jika harus membeli lebih dari satu drum.
- Ketergantungan pada Curah Hujan: Pada tahun-tahun dengan curah hujan di bawah rata-rata, embung dan penampungan air hujan bisa kering, seperti yang pernah terjadi pada 2001 dan 2018, menyebabkan ribuan warga krisis air bersih5.
Studi Banding dan Tren Nasional
Kondisi Tarakan mirip dengan banyak kota pesisir lain di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa: sumber air permukaan terbatas, air tanah asin atau tercemar, dan ketergantungan pada air hujan. Kota-kota seperti Ambon, Kupang, dan pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara juga mengadopsi teknologi pemanenan air hujan sebagai strategi adaptasi iklim dan ketahanan air123.
Tren nasional kini mendorong pembangunan sumur resapan, embung, dan sistem penampungan air hujan di kawasan permukiman, perkantoran, dan industri. Pemerintah pusat dan daerah mulai mengintegrasikan pemanenan air hujan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya air dan tata ruang kota, termasuk insentif dan sosialisasi melalui Gerakan Memanen Hujan123.
Rekomendasi Kebijakan dan Inovasi Teknologi
Langkah Strategis untuk Ketahanan Air di Era Perubahan Iklim
- Regulasi dan Insentif: Pemerintah daerah perlu menetapkan kebijakan wajib pemanenan air hujan di setiap bangunan baru, baik rumah tangga, perkantoran, maupun fasilitas umum. Insentif berupa subsidi pembelian drum/tanki dan pelatihan pembuatan filter sederhana sangat diperlukan untuk memperluas adopsi teknologi13.
- Sosialisasi dan Edukasi: Program edukasi dan pendampingan masyarakat harus digencarkan agar pemanfaatan air hujan tidak hanya sebagai pelengkap, tetapi menjadi sumber utama air bersih, terutama di musim hujan.
- Inovasi Teknologi: Pengembangan sistem filtrasi sederhana berbasis bahan lokal (pasir, arang, keramik) perlu didorong agar air hujan yang ditampung layak konsumsi. Teknologi smart water management dan monitoring berbasis IoT dapat diintegrasikan untuk memantau volume, kualitas, dan distribusi air hujan13.
- Kolaborasi Multi-Sektor: Pemerintah, swasta, dan komunitas harus bekerja sama membangun sistem penampungan air hujan komunal di kawasan padat penduduk yang tidak memiliki cukup lahan atau atap untuk penampungan individual.
Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi
Pemanfaatan air hujan kini menjadi bagian dari strategi green building dan urban sustainability di sektor properti. Banyak pengembang perumahan mulai memasukkan sistem penampungan air hujan sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Di kota-kota besar, regulasi tentang sumur resapan dan SPAH mulai diberlakukan untuk mengurangi banjir dan meningkatkan cadangan air tanah123.
Dengan perubahan iklim yang kian nyata, inovasi lokal seperti pemanenan air hujan menjadi kunci ketahanan air di masa depan, baik untuk rumah tangga, industri, maupun sektor pertanian.
Kesimpulan: Pemanenan Air Hujan, Adaptasi Sederhana untuk Tantangan Kompleks
Studi di Kota Tarakan membuktikan bahwa pemanfaatan air hujan adalah strategi adaptasi perubahan iklim yang efektif, murah, dan mudah diadopsi masyarakat. Dengan curah hujan tinggi dan keterbatasan sumber air permukaan, sistem penampungan air hujan skala rumah tangga mampu meningkatkan ketahanan air, mengurangi risiko banjir, dan memberikan nilai ekonomi signifikan bagi warga.
Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kapasitas penampungan, kualitas air, edukasi masyarakat, dan dukungan kebijakan pemerintah. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan memperkuat peran pemanenan air hujan sebagai bagian integral dari strategi ketahanan air nasional dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.
Sumber Artikel (Bahasa Asli):
Mislan, Partimin. "Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Melalui Pemanfaatan Air Hujan Untuk Penyediaan Air Bersih Di Kota Tarakan-Kalimantan Utara." Jurnal Geosains Kutai Basin, Vol. 5 No. 2, 2022, hlm. 99–110.