Pemberdayaan Masyarakat dalam Pemanfaatan Air Hujan untuk Urban Farming di Cibabat Cimahi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

04 Juni 2025, 09.39

pixabay.com

Kota-kota besar di Indonesia, seperti Cimahi, menghadapi tantangan besar dalam penyediaan air bersih dan ruang hijau. Kualitas air sungai di Cimahi sudah tercemar berat oleh limbah domestik dan pertanian, sementara air tanah di banyak zona kota ini juga tidak layak minum akibat pencemaran dan eksploitasi berlebih. Di tengah krisis tersebut, konsep urban farming atau pertanian kota muncul sebagai solusi untuk menciptakan ruang hijau produktif, memperkuat ketahanan pangan, dan meningkatkan kualitas lingkungan. Namun, urban farming di kota padat membutuhkan pasokan air bersih yang stabil—dan di sinilah air hujan menjadi solusi inovatif yang murah, ramah lingkungan, dan berkelanjutan12.

Mengapa Air Hujan untuk Urban Farming?

Air hujan memiliki kualitas awal yang cenderung baik, namun di wilayah perkotaan, air hujan yang jatuh ke atap bangunan bisa terkontaminasi oleh polutan udara, material atap, dan dekomposisi bahan organik. Dengan pengolahan sederhana, air hujan dapat diubah menjadi air bersih yang aman untuk kebutuhan urban farming, khususnya sistem hidroponik yang sangat bergantung pada ketersediaan air berkualitas1.

Kota Cimahi memiliki potensi air hujan yang sangat besar, dengan curah hujan tahunan antara 1.700 hingga 4.000 mm dan total potensi volume air hujan mencapai 68,9–162,1 juta m³ per tahun. Jika dimanfaatkan dengan baik, air hujan dapat menopang kebutuhan air bersih untuk pertanian kota, mengurangi tekanan pada air tanah, dan membantu mengatasi masalah banjir melalui penyerapan air ke tanah (groundwater recharge)1.

Studi Kasus: Pemberdayaan Masyarakat RT 05 RW 22 Cibabat Cimahi

Konteks Wilayah

Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan di RT 05 RW 22 Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara. Wilayah ini didominasi permukiman padat dengan lahan terbatas dan kualitas air tanah yang buruk. Sebagian besar warga adalah ibu rumah tangga yang sebelumnya belum familiar dengan teknik hidroponik maupun pengolahan air hujan12.

Tahapan Program

  1. Sosialisasi dan Pelatihan
    Tim pengabdi dari Poltekkes Kemenkes Bandung melakukan sosialisasi mengenai pentingnya pengolahan air hujan dan teknik bertanam hidroponik. Materi pelatihan meliputi sejarah hidroponik, jenis dan keunggulan hidroponik, media tanam, kebutuhan nutrisi, serta pentingnya kualitas air untuk pertumbuhan tanaman.
  2. Praktik Pembuatan Sistem Hidroponik
    Warga dilatih membuat sistem hidroponik sederhana menggunakan metode wick system dan NFT (Nutrient Film Technique). Mereka diajarkan cara menanam bibit di rockwool, memindahkan ke netpot, serta merakit instalasi hidroponik dari paralon dan kontainer sederhana.
  3. Pengolahan Air Hujan
    Air hujan yang ditampung dari atap rumah disaring menggunakan filter sederhana sebelum digunakan untuk hidroponik. Warga diajarkan mengukur TDS (Total Dissolved Solids), EC (Electrical Conductivity), dan pH air hujan, serta mengganti air jika sudah keruh atau tidak jernih lagi.
  4. Pemeliharaan dan Panen
    Setelah bibit tumbuh 3–5 hari, tanaman dipindahkan ke instalasi hidroponik. Nutrisi hidroponik diberikan secara terukur, dan panen dilakukan sekitar 3–4 minggu kemudian. Hasil panen dapat dikonsumsi sendiri atau dijual untuk menambah pendapatan keluarga12.

Analisis Angka dan Fakta dari Program

  • Curah hujan tahunan Cimahi: 1.700–4.000 mm, potensi air hujan 68,9–162,1 juta m³/tahun1.
  • Peserta pelatihan: 15 orang ibu rumah tangga, didampingi dosen dan mahasiswa Poltekkes Kemenkes Bandung12.
  • Jenis tanaman hidroponik: Selada air, bayam, sawi, brokoli, kangkung, kale, daun kemangi, seledri, tomat, timun, paprika, stroberi, cabai, terong, dan pare1.
  • Metode hidroponik yang diajarkan: Wick system dan NFT, menggunakan bahan lokal seperti rockwool, netpot, paralon, dan kontainer plastik1.
  • Siklus panen: 3–4 minggu setelah tanam, dengan hasil yang lebih bersih dan sehat dibandingkan tanaman konvensional1.

Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Manfaat Sosial

  • Peningkatan pengetahuan dan keterampilan: Warga belajar teknik baru yang aplikatif dan langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari.
  • Penguatan kebersamaan: Urban farming dengan air hujan mempererat gotong royong dan interaksi sosial di lingkungan padat kota.
  • Ketahanan pangan keluarga: Hasil panen hidroponik dapat dikonsumsi sendiri, mengurangi ketergantungan pada pasar.

Manfaat Ekonomi

  • Pendapatan tambahan: Hasil panen yang berlebih bisa dijual, meningkatkan ekonomi rumah tangga.
  • Efisiensi biaya: Tidak perlu membeli air bersih untuk pertanian, cukup memanfaatkan air hujan yang gratis dan melimpah.

Manfaat Lingkungan

  • Pengurangan tekanan pada air tanah: Dengan berkurangnya pengambilan air tanah, cadangan air bawah permukaan lebih terjaga.
  • Pengurangan risiko banjir: Air hujan yang ditampung tidak langsung menjadi limpasan permukaan, membantu mengurangi genangan di musim hujan.
  • Peningkatan ruang hijau: Urban farming menciptakan lahan hijau baru di tengah permukiman padat, memperbaiki kualitas udara dan estetika lingkungan.

Tantangan dan Solusi

Tantangan

  • Kualitas air hujan yang fluktuatif: Air hujan yang ditampung dari atap bisa terkontaminasi polutan udara dan material atap, sehingga butuh pengolahan sebelum digunakan.
  • Keterbatasan lahan: Urban farming harus kreatif memanfaatkan ruang sempit, seperti vertikultur dan sistem rak bertingkat.
  • Perawatan sistem hidroponik: Dibutuhkan pengetahuan dan ketelatenan dalam mengatur nutrisi, pH, dan kebersihan air.

Solusi

  • Sosialisasi berkelanjutan: Edukasi tidak hanya sekali, tetapi terus-menerus agar warga terbiasa dan percaya diri mengelola sistem hidroponik.
  • Teknologi sederhana: Pengolahan air hujan cukup dengan filter sederhana, mudah dibuat dan dirawat oleh masyarakat.
  • Kolaborasi lintas sektor: Melibatkan tokoh masyarakat, RT/RW, dan lembaga pendidikan untuk memperluas dampak program12.

Perbandingan dengan Studi dan Tren Nasional

Studi serupa di Yogyakarta (Kelompok Tani Code Hijau Asri, Wirogunan) juga membuktikan bahwa pemanfaatan air hujan untuk urban farming sangat efektif menghidupkan kembali komunitas tani yang sempat vakum akibat pandemi. Dengan instalasi pemanenan air hujan, kelompok tani bisa mengelola kebun asri di bantaran Sungai Code, menjadikan area tersebut ruang publik produktif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar34.

Tren nasional kini mendorong adopsi sistem pemanenan air hujan dan urban farming di kawasan permukiman padat, sekolah, dan fasilitas publik. Banyak kota besar mulai mengintegrasikan sumur resapan dan SPAH (Sistem Penampungan Air Hujan) dalam perizinan bangunan baru, sebagai bagian dari strategi pengendalian banjir, konservasi air tanah, dan ketahanan pangan perkotaan.

Opini, Kritik, dan Saran Pengembangan

Kritik

  • Kurangnya data kuantitatif hasil panen: Studi ini lebih menonjolkan aspek edukasi dan pemberdayaan, belum membahas detail produktivitas tanaman atau efisiensi air hujan yang digunakan.
  • Belum ada analisis ekonomi detail: Potensi penghematan biaya air dan nilai tambah ekonomi dari hasil panen belum dihitung secara spesifik.
  • Aspek kualitas air: Studi belum membahas detail parameter kualitas air hujan setelah pengolahan, padahal ini penting untuk keamanan pangan dan kesehatan.

Saran

  • Integrasi dengan teknologi filtrasi lanjutan: Penambahan filter karbon aktif atau UV akan meningkatkan kualitas air hujan, sehingga aman untuk hidroponik dan konsumsi.
  • Pengembangan skala komunal: Sistem penampungan air hujan dan urban farming dapat dikembangkan secara kolektif di lingkungan RT/RW untuk efisiensi dan dampak lebih luas.
  • Edukasi berkelanjutan: Pelatihan harus terus dilakukan, termasuk monitoring hasil panen, perawatan sistem, dan pengelolaan nutrisi tanaman.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan untuk urban farming sangat relevan dengan tren green city, green building, dan ketahanan pangan urban. Banyak pengembang properti kini mulai menawarkan hunian dengan sistem pemanenan air hujan dan kebun hidroponik sebagai selling point. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, inovasi lokal seperti ini menjadi kunci ketahanan air dan pangan di masa depan.

Kesimpulan: Urban Farming Berbasis Air Hujan, Solusi Nyata Kota Padat

Program pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan air hujan untuk urban farming di Cibabat Cimahi membuktikan bahwa inovasi sederhana dapat membawa perubahan besar. Dengan pelatihan, teknologi pengolahan air hujan, dan sistem hidroponik, warga kota padat bisa menciptakan ruang hijau produktif, memperkuat ketahanan pangan, dan mengurangi tekanan pada sumber air tanah. Keberhasilan program ini bergantung pada edukasi berkelanjutan, kolaborasi lintas sektor, dan adaptasi teknologi sesuai kebutuhan lokal.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Nia Yuniarti Hasan, Teguh Budi Prijanto. "Pemberdayaan Masyarakat dalam Pemanfaatan Air Hujan sebagai Sumber Air Bersih 'Urban Farming' di Wilayah Cibabat Cimahi." Jurnal Pengabdian Masyarakat Kesehatan Indonesia, Vol 2 No 1 Juni 2023, hlm. 241–250.