Uji Kualitas Air Hujan Hasil Filtrasi untuk Penyediaan Air Bersih – Studi Kasus Politeknik Negeri Lampung

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

04 Juni 2025, 09.33

pixabay.com

Krisis air bersih semakin nyata di Indonesia, terutama di kawasan urban dan semi-urban. Penurunan kualitas air tanah akibat pencemaran, eksploitasi berlebih, serta keterbatasan sumber air permukaan mendorong masyarakat untuk mencari alternatif yang lebih berkelanjutan. Salah satu solusi yang kian relevan adalah pemanfaatan air hujan melalui sistem pemanenan (rainwater harvesting/RWH) dan filtrasi sederhana. Paper karya Aniessa Rinny Asnaning, Surya, dan Andy Eka Saputra dari Politeknik Negeri Lampung ini menguji efektivitas sistem filtrasi sederhana dalam meningkatkan kualitas air hujan agar layak digunakan sebagai air bersih, dengan data empiris, analisis kualitas air, dan potensi penerapannya di masyarakat luas123.

Latar Belakang dan Urgensi Penelitian

Ketersediaan air bersih kini menjadi isu krusial di banyak daerah. Eksploitasi air tanah yang berlebihan memicu dampak lingkungan serius seperti banjir rob, amblesan tanah, dan intrusi air laut. Sementara itu, air hujan—salah satu sumber air atmosfer—seringkali hanya menjadi limpasan permukaan tanpa dimanfaatkan optimal. Padahal, dengan sistem penampungan dan filtrasi yang tepat, air hujan dapat menjadi sumber air bersih yang murah, ramah lingkungan, dan mendukung konservasi air tanah123.

Negara-negara maju seperti Jepang dan Australia telah lama mengadopsi RWH dalam skala luas, sementara di Indonesia, penerapan RWH masih terbatas pada inisiatif lokal dan belum menjadi kebijakan wajib di banyak daerah. Penelitian ini sangat relevan dengan tren global dan nasional yang mendorong pemanfaatan air hujan, baik untuk kebutuhan domestik, pertanian, maupun industri123.

Metode: Sistem RWH dan Filtrasi Sederhana

Desain Sistem

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah Politeknik Negeri Lampung, menggunakan atap bangunan seluas 96,72 m² sebagai area tangkapan air hujan. Sistem RWH terdiri dari rangkaian talang, pipa PVC, dan bak penampungan. Air hujan yang jatuh di atap dialirkan ke bak penampungan, lalu masuk ke sistem filtrasi seri123.

Material filtrasi yang digunakan:

  • Kerikil
  • Pasir silika
  • Serabut kelapa (pengganti ijuk)
  • Arang aktif

Urutan material ini dirancang untuk menyaring partikel kasar, partikel halus, dan zat organik, serta menjernihkan air dari warna dan bau yang tidak diinginkan. Proses filtrasi ini merupakan metode pengolahan air secara fisik, sehingga fokus pada parameter fisik dan kimia utama123.

Studi Kasus: Data Empiris dan Analisis Kualitas Air

Potensi Volume Air Hujan

Berdasarkan data klimatologi 2009–2017, curah hujan rata-rata bulanan di lokasi penelitian adalah 13,4 mm. Dengan luas atap 96,72 m² dan asumsi kehilangan air sekitar 30% karena evaporasi dan kebocoran, potensi air hujan yang bisa dikumpulkan setiap bulan adalah 0,91 m³ per bangunan123.

Kualitas Air Hujan Sebelum Filtrasi

Pengujian laboratorium menunjukkan hasil sebagai berikut123:

  • Fisik:
    • Kekeruhan: 10 NTU (standar baku mutu: 25 NTU)
    • Total padatan terlarut (TDS): 178 mg/l (standar: 1000 mg/l)
    • Suhu: 27,5°C
    • Rasa & bau: tidak berasa, tidak berbau
  • Biologi:
    • Total koliform: 6,1 MPN/100 ml (standar: 50 MPN/100 ml)
  • Kimia:
    • pH: 4,4 (standar: 6,5–8,5; tidak memenuhi)
    • Besi (Fe): <0,110 mg/l (standar: 1 mg/l)
    • Timbal (Pb): <0,021 mg/l (standar: 0,05 mg/l)
    • Kesadahan: 3,69 mg/l (standar: 500 mg/l)

Hampir semua parameter memenuhi baku mutu air bersih kecuali pH yang terlalu asam. Nilai pH rendah ini diduga berasal dari dekomposisi bahan organik di atap, seperti daun dan kotoran hewan, serta polutan udara123.

Kualitas Air Hujan Setelah Filtrasi

Setelah melewati sistem filtrasi, terjadi peningkatan kualitas air secara signifikan123:

  • Fisik:
    • Kekeruhan: turun menjadi 2,02 NTU (penurunan 79,8%)
    • Total padatan terlarut: turun menjadi 20,48 mg/l (penurunan 88,5%)
    • Suhu: 28°C
    • Rasa & bau: tetap tidak berasa dan tidak berbau
  • Kimia:
    • pH: naik menjadi 7,96 (memenuhi baku mutu)

Secara visual, air hujan hasil filtrasi tampak jauh lebih jernih, dengan endapan padatan yang sebelumnya terlihat kini sudah hilang. Proses filtrasi mampu menyaring partikel tersuspensi dan zat organik secara efektif123.

Pembahasan: Efektivitas, Tantangan, dan Implikasi

Efektivitas Sistem Filtrasi

  • Penurunan kekeruhan hampir 80% menandakan efektivitas tinggi dalam menyaring partikel tersuspensi dan endapan organik dari air hujan.
  • Penurunan total padatan terlarut lebih dari 88% membuktikan kemampuan filter dalam mengurangi zat terlarut, sehingga air lebih aman untuk kebutuhan domestik.
  • Peningkatan pH dari 4,4 menjadi 7,96 membuat air hujan layak untuk digunakan sebagai air bersih sesuai Permenkes No. 416/MEN.KES/PER/IX/1990123.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Kapasitas Penampungan: Dengan curah hujan rendah (13,4 mm/bulan), volume air yang bisa ditampung hanya 0,91 m³/bulan. Untuk kebutuhan rumah tangga, sistem ini lebih cocok sebagai pelengkap, bukan sumber utama.
  • Kualitas Biologis: Meski total koliform sudah memenuhi standar, untuk konsumsi langsung tetap disarankan perebusan hingga mendidih. Penghilangan logam berat bisa ditingkatkan dengan tanaman air seperti eceng gondok.
  • Perawatan Sistem: Filter perlu dibersihkan dan diganti secara berkala agar performa tetap optimal123.

Studi Banding dan Tren Nasional

Studi serupa di Palestina menemukan adanya radon pada air hujan yang tidak dikelola dengan baik, menegaskan pentingnya filtrasi dan pengelolaan sistem RWH. Di Hong Kong, RWH tidak hanya untuk air bersih tetapi juga pendinginan mikroklimat kota. Di Indonesia, tren green building dan regulasi sumur resapan mulai mengadopsi sistem serupa, meski belum merata di seluruh daerah123.

Nilai Tambah dan Potensi Pengembangan

  • Solusi Berbiaya Rendah: Sistem filtrasi dengan kerikil, pasir, serabut kelapa, dan arang aktif mudah dibuat, murah, dan bisa diadopsi masyarakat pedesaan maupun perkotaan.
  • Konservasi Air Tanah: Dengan memanfaatkan air hujan, tekanan pada air tanah berkurang, membantu mengurangi risiko amblesan tanah dan intrusi air laut.
  • Dukungan Kebijakan: Pemerintah dapat mendorong adopsi RWH melalui insentif, pelatihan teknis, dan integrasi dalam perizinan bangunan baru123.

Opini, Kritik, dan Saran Pengembangan

Kritik

  • Fokus pada Kuantitas, Bukan Kualitas Konsumsi: Penelitian ini sangat kuat dalam aspek fisik dan kimia, namun belum membahas detail penghilangan bakteri patogen dan logam berat untuk air minum.
  • Kapasitas Sistem: Volume air yang bisa ditampung masih terbatas, sehingga perlu desain sistem kolektif atau penambahan area tangkapan untuk skala rumah tangga besar.
  • Kurangnya Analisis Ekonomi: Studi belum membahas biaya investasi, operasional, dan payback period, yang penting untuk mendorong adopsi massal123.

Saran

  • Integrasi dengan Filter Biologis dan UV: Untuk menjamin keamanan konsumsi, sistem dapat dikombinasikan dengan filter biologis atau lampu UV.
  • Edukasi dan Sosialisasi: Masyarakat perlu diedukasi tentang perawatan filter dan pentingnya merebus air sebelum diminum.
  • Pengembangan Skala Komunal: Sistem RWH dan filtrasi bisa dikembangkan untuk sekolah, rumah ibadah, dan fasilitas umum agar manfaatnya lebih luas123.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan kini menjadi bagian dari strategi green building, sustainable city, dan ketahanan air di banyak negara. Di Indonesia, sistem seperti ini sangat potensial untuk mengatasi krisis air bersih di wilayah urban, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, inovasi lokal seperti pemanenan dan filtrasi air hujan akan menjadi pilar utama ketahanan air nasional123.

Kesimpulan: Filtrasi Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks

Penelitian di Politeknik Negeri Lampung membuktikan bahwa sistem filtrasi sederhana mampu meningkatkan kualitas air hujan secara signifikan, sehingga layak digunakan sebagai air bersih. Dengan penurunan kekeruhan hampir 80%, total padatan terlarut turun lebih dari 88%, dan pH naik ke level netral, air hujan hasil filtrasi memenuhi standar air bersih nasional. Meski masih ada tantangan dalam kapasitas dan kualitas biologis, sistem ini sangat layak diadopsi sebagai solusi alternatif, terutama di daerah dengan keterbatasan air tanah dan permukaan.

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada edukasi, perawatan sistem, dan dukungan kebijakan. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan memperkuat peran pemanenan air hujan sebagai bagian dari strategi ketahanan air nasional dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan123.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Aniessa Rinny Asnaning, Surya, Andy Eka Saputra. "Uji Kualitas Air Hujan Hasil Filtrasi untuk Penyediaan Air Bersih." Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian VII, Politeknik Negeri Lampung, 2018, hlm. 288–293.