Jakarta, sebagai megapolitan dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang pesat, terus menghadapi dua masalah besar terkait air: banjir saat musim hujan dan kekeringan air baku di musim kemarau. Ironisnya, kota ini justru mengalami kelimpahan air pada satu musim dan kekurangan di musim lain. Ketergantungan pada air tanah telah menimbulkan masalah serius seperti penurunan muka tanah dan intrusi air laut. Dalam konteks inilah, pemanfaatan air hujan (rainwater harvesting) menjadi solusi strategis yang semakin relevan, tidak hanya untuk rumah tangga, tetapi juga untuk fasilitas publik seperti tempat ibadah dan sekolah.
Penelitian oleh Iwan Dharmawan dan Wati Ariningsih Pranoto dari Universitas Tarumanagara ini menyoroti potensi pemanenan air hujan di Gereja Kalvari Lubang Buaya, Jakarta, dengan fokus pada kebutuhan pertamanan dan sanitasi. Artikel ini tidak hanya membedah hasil penelitian tersebut, tetapi juga mengaitkannya dengan tren pengelolaan air perkotaan, tantangan implementasi, dan peluang inovasi di masa depan.
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Banjir di Jakarta telah menjadi berita rutin setiap musim hujan, sementara di musim kemarau, masyarakat dihadapkan pada kelangkaan air bersih. Situasi ini mendorong eksploitasi air tanah secara masif, yang berujung pada penurunan permukaan tanah dan berbagai masalah lingkungan lainnya. Pemanenan air hujan, yang telah lama diterapkan di negara-negara maju seperti Jepang, kini mulai dilirik sebagai solusi dual-purpose: mengurangi risiko banjir dan menyediakan cadangan air bersih di musim kemarau14.
Penelitian ini bertujuan untuk:
- Menghitung potensi air hujan yang dapat dipanen di Gereja Kalvari Lubang Buaya.
- Menganalisis kebutuhan air untuk pertamanan dan sanitasi.
- Merancang sistem penampungan yang optimal dan menghitung potensi penghematan biaya air14.
Metodologi: Survei, Analisis Hidrologi, dan Perancangan Sistem
Penelitian menggunakan data primer (survei lapangan, pengukuran luas atap, dan area taman) serta data sekunder (curah hujan dari BMKG Stasiun Halim Perdana Kusuma). Analisis dilakukan dengan metode hidrologi standar, termasuk perhitungan hujan andalan (probabilitas 80%), volume air tertampung, kebutuhan air berdasarkan SNI 03-7065-2005, serta desain volume dan dimensi bak penampungan14.
Studi Kasus: Gereja Kalvari Lubang Buaya
Profil Lokasi
Gereja Kalvari Lubang Buaya berdiri sejak 1995 dan melayani 800–1000 umat. Bangunan terdiri dari tiga jenis atap: atap miring (1.309,78 m²), atap datar (1.361,35 m²), dan sky light kaca, dengan total area tangkapan air hujan sebesar 2.671,13 m². Area pertamanan seluas 1.203,45 m² juga menjadi bagian penting dari kebutuhan air gereja14.
Data Curah Hujan dan Hujan Andalan
Data curah hujan 10 tahun terakhir menunjukkan variasi ekstrem antara musim hujan dan kemarau:
- Curah hujan tertinggi: 244,35 mm/bulan (Februari)
- Curah hujan terendah: 0 mm/bulan (Juli–September)
- Hujan andalan (probabilitas 80%): Januari 127,11 mm, Februari 244,35 mm, Maret 33,83 mm, dst14.
Analisis Ketersediaan dan Kebutuhan Air
Perhitungan Ketersediaan Air Hujan
Dengan luas atap 2.671,13 m² dan koefisien limpasan 0,95, volume air hujan yang dapat ditampung setiap bulan sangat bervariasi:
- Januari: 322,55 m³
- Februari: 620,05 m³
- Maret: 85,85 m³
- April: 271,44 m³
- Mei: 187,08 m³
- Juni: 111,65 m³
- Juli–September: 0 m³ (tidak ada hujan)
- Oktober: 29,77 m³
- November: 291,54 m³
- Desember: 195,27 m³
Total ketersediaan air hujan selama satu tahun: 2.115,21 m³14.
Perhitungan Kebutuhan Air
- Sanitasi (toilet, cuci tangan, dll.):
SNI 03-7065-2005 menetapkan kebutuhan air untuk tempat ibadah sebesar 5 liter/umat/hari. Untuk 800–1.000 umat, kebutuhan air berkisar 4.000–5.000 liter/hari (4–5 m³/hari). Namun, karena gereja tidak digunakan setiap hari penuh, rerata kebutuhan air dihitung 2,27 m³/hari14. - Pertamanan:
Luas taman 1.203,45 m², kebutuhan air minimal 1 liter/m²/hari, sehingga kebutuhan air untuk taman adalah 1,2 m³/hari14. - Total kebutuhan air:
2,27 m³/hari x 30 hari = 68,1 m³/bulan (rata-rata), dengan variasi bulanan tergantung aktivitas gereja dan musim.
Total kebutuhan air selama setahun: 830,33 m³14.
Perbandingan Ketersediaan dan Kebutuhan: Surplus dan Defisit Musiman
Analisis neraca air menunjukkan:
- Pada bulan-bulan basah (Januari, Februari, April, November, Desember), ketersediaan air jauh melebihi kebutuhan.
- Pada bulan-bulan kering (Juli–September), tidak ada air hujan yang dapat dipanen, sehingga diperlukan cadangan air dari musim hujan14.
- Untuk menutupi kebutuhan selama musim kemarau (Juli–Oktober), dibutuhkan volume penampungan sebesar 252,51 m³. Desain optimal adalah tiga bak beton bawah tanah berukuran 8,5 m x 8 m x 1,25 m (total kapasitas 255 m³), yang mampu menampung kelebihan air dari musim hujan untuk digunakan di musim kemarau14.
Dampak Ekonomi: Potensi Penghematan Biaya Air
Dengan sistem pemanenan air hujan, Gereja Kalvari dapat menghemat pembelian air bersih dari PAM JAYA sebesar Rp899.201 per tahun (simulasi tagihan air dengan volume 830,33 m³/tahun). Angka ini memang tidak besar jika dibandingkan biaya investasi awal pembangunan bak, namun dalam jangka panjang memberikan dampak ekonomi dan lingkungan yang signifikan, terutama jika diadopsi secara massal di fasilitas publik lain14.
Keunggulan dan Tantangan Sistem Pemanenan Air Hujan
Keunggulan
- Mengurangi Risiko Banjir: Dengan menampung air hujan, volume limpasan permukaan berkurang, sehingga risiko banjir di sekitar gereja menurun.
- Ketahanan Air Musiman: Sistem ini menjamin ketersediaan air untuk pertamanan dan sanitasi sepanjang tahun, bahkan saat musim kemarau.
- Konservasi Air Tanah: Mengurangi ketergantungan pada air tanah, membantu menjaga cadangan air tanah Jakarta yang semakin kritis.
- Mudah Diimplementasikan: Sistem ini hanya memerlukan talang, pipa, dan bak penampungan, tanpa instalasi distribusi yang rumit14.
Tantangan
- Ketergantungan pada Musim: Pada musim kemarau panjang, air hujan yang ditampung tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, sehingga tetap diperlukan sumber air alternatif.
- Kualitas Air Hujan: Air hujan yang ditampung belum tentu langsung layak pakai untuk konsumsi, terutama jika atap dan talang tidak terjaga kebersihannya. Diperlukan sistem filtrasi sederhana untuk meningkatkan kualitas air.
- Investasi Awal: Pembangunan bak beton bawah tanah memerlukan biaya yang tidak sedikit, meski penghematan jangka panjang cukup signifikan.
- Perawatan Sistem: Saluran air, talang, dan bak penampungan harus rutin dibersihkan agar tidak menjadi sarang nyamuk atau sumber pencemaran14.
Perbandingan dengan Studi dan Tren Nasional
Studi serupa di Bank Indonesia menunjukkan potensi penghematan air PAM hingga 65,41% dari total kebutuhan air pertamanan dengan sistem rainwater harvesting. Di Universitas Tarumanagara, penghematan air bersih harian mencapai 27,05% menurut kebutuhan SNI, bahkan hingga 87,12% berdasarkan tagihan air14.
Tren nasional kini mendorong penerapan sistem pemanenan air hujan di gedung publik, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Pemerintah daerah seperti DKI Jakarta mulai mengintegrasikan sumur resapan dan SPAH (Sistem Penampungan Air Hujan) dalam perizinan bangunan baru, sebagai bagian dari strategi pengendalian banjir dan konservasi air tanah.
Opini, Kritik, dan Saran Pengembangan
Kritik
- Fokus pada Kuantitas, Bukan Kualitas: Penelitian ini sangat kuat dalam aspek kuantitatif, namun belum membahas detail kualitas air hujan dan perlunya filtrasi atau desinfeksi sebelum digunakan untuk sanitasi, apalagi konsumsi.
- Estimasi Penghematan Konservatif: Potensi penghematan biaya air mungkin lebih besar jika sistem dioptimalkan untuk kebutuhan domestik lain, seperti flushing toilet, cuci kendaraan, atau pendingin AC.
- Belum Ada Analisis Investasi dan Payback Period: Studi belum membahas secara detail perbandingan biaya investasi awal dengan waktu pengembalian modal (payback period), yang penting untuk mendorong adopsi luas.
Saran
- Integrasi dengan Sistem Filtrasi: Penambahan filter sederhana (pasir, arang, keramik) akan meningkatkan kualitas air sehingga bisa digunakan untuk lebih banyak keperluan.
- Sosialisasi dan Edukasi: Pemerintah dan pengelola gereja perlu mengedukasi jemaat tentang pentingnya pemeliharaan sistem pemanenan air hujan.
- Replikasi di Fasilitas Publik Lain: Model ini sangat layak diadopsi di sekolah, rumah sakit, dan kantor pemerintahan untuk mendukung program konservasi air dan pengendalian banjir.
- Kolaborasi dengan Pemerintah: Insentif atau subsidi pembangunan SPAH akan mempercepat adopsi di masyarakat luas.
Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi
Penerapan sistem pemanenan air hujan kini menjadi bagian dari strategi green building dan sustainable urban development di banyak kota besar dunia. Banyak pengembang properti mulai memasukkan SPAH sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Di Jakarta, regulasi tentang sumur resapan dan SPAH semakin diperkuat untuk mengurangi banjir dan meningkatkan cadangan air tanah. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, inovasi lokal seperti ini akan menjadi kunci ketahanan air di masa depan.
Kesimpulan: Pemanenan Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks
Penelitian di Gereja Kalvari Lubang Buaya membuktikan bahwa sistem pemanenan air hujan adalah solusi praktis, murah, dan berkelanjutan untuk kebutuhan pertamanan dan sanitasi di fasilitas publik perkotaan. Dengan desain sistem yang tepat, edukasi, dan perawatan rutin, air hujan dapat menjadi sumber air utama, mengurangi beban air tanah, dan mendukung pengendalian banjir.
Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kapasitas penampungan, kualitas air, dan dukungan kebijakan. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan memperkuat peran SPAH sebagai bagian dari strategi ketahanan air nasional dan pengelolaan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan.
Sumber Artikel (Bahasa Asli):
Iwan Dharmawan, Wati Ariningsih Pranoto. "Analisis Pemanfaatan Air Hujan untuk Kebutuhan Pertamanan dan Sanitasi di Gereja Kalvari Jakarta." JMTS: Jurnal Mitra Teknik Sipil, Vol. 6, No. 4, November 2023, hlm. 1117–1130.