Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 07 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian ini menyoroti dampak proyek infrastruktur jalan terhadap interaksi sosial-spasial dan kualitas hidup warga di Kisumu, Kenya. Temuan ini penting karena menunjukkan bahwa pembangunan jalan tidak selalu memperburuk fragmentasi sosial, seperti banyak kekhawatiran sebelumnya. Sebaliknya, proyek perluasan jalan justru meningkatkan aksesibilitas, interaksi sosial, serta persepsi positif terhadap kualitas hidup, baik di wilayah terencana maupun tidak terencana.
Bagi pembuat kebijakan, temuan ini menegaskan pentingnya memasukkan dimensi sosial dan spasial dalam setiap perencanaan infrastruktur agar pembangunan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan keadilan spasial.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak:
Studi menemukan peningkatan akses ke fasilitas umum seperti sekolah, pasar, dan layanan kesehatan. Aksesibilitas yang lebih baik mendorong interaksi antarwarga, memperkuat jaringan sosial, serta meningkatkan rasa memiliki terhadap lingkungan. Sebanyak 90% warga di area terencana dan 86% di area tidak terencana merasa “betah” di lingkungannya setelah proyek jalan rampung.
Hambatan:
Meski demikian, masih ada tantangan berupa ketimpangan ekonomi antarwilayah, kurangnya infrastruktur penyeberangan aman, dan risiko meningkatnya polusi serta ketegangan sosial akibat perbedaan kelas sosial.
Peluang:
Peningkatan interaksi sosial menciptakan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengintegrasikan kebijakan transportasi dengan pengembangan komunitas, memperkuat identitas kota yang inklusif, dan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 11 tentang kota berkelanjutan.
Untuk mendukung perencanaan yang inklusif, pelatihan seperti Peran Perencanaan Wilayah dan Kota dalam Pembangunan Indonesia sangat relevan bagi aparatur perencana dalam menyusun kebijakan yang menyatukan tata ruang dan transportasi.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Desain Jalan yang Inklusif: Tambahkan fasilitas penyeberangan aman, jalur sepeda, dan ruang publik yang memfasilitasi pertemuan antarwarga dari berbagai latar sosial.
Integrasi Rencana Tata Ruang dan Transportasi: Hindari pembangunan jalan yang memisahkan wilayah miskin dan kaya; gunakan perencanaan yang menyatukan.
Kebijakan Partisipatif: Libatkan warga dari area terencana maupun tidak terencana dalam perencanaan proyek sejak tahap awal.
Pemantauan Sosial Berkelanjutan: Bentuk sistem monitoring yang menilai perubahan interaksi sosial dan kualitas hidup pascaproyek.
Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Dorong kegiatan ekonomi mikro di sekitar infrastruktur baru untuk memperkuat dampak positif ekonomi.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Meski hasilnya positif, penelitian ini mengingatkan bahwa peningkatan kualitas hidup tidak selalu merupakan akibat langsung dari pembangunan jalan. Faktor lain seperti intervensi pemerintah, dukungan NGO, dan program sosial turut berperan besar. Tanpa sinergi lintas sektor, ada risiko proyek serupa hanya menghasilkan “akses fisik” tanpa memperkuat integrasi sosial.
Penutup
Penelitian Khanani memberikan pelajaran penting bahwa infrastruktur jalan tidak semata-mata soal konektivitas transportasi, tetapi juga konektivitas sosial. Ketika proyek dirancang dengan mempertimbangkan interaksi antarwilayah dan kesejahteraan warga, hasilnya dapat memperkuat kohesi sosial dan memperbaiki kualitas hidup perkotaan secara menyeluruh. Kebijakan yang menggabungkan dimensi spasial dan sosial harus menjadi standar dalam pembangunan infrastruktur di negara berkembang.
Sumber
Khanani, R. S. (2019). The Impact of a Road Infrastructure Project on Socio-Spatial Interaction and Quality of Life of Planned and Unplanned Fragments in Kisumu City. University of Twente.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025
Prolog: Kalimantan Timur di Tengah Gelombang Spekulasi Lahan IKN
Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman bukan sekadar urusan penyediaan papan; ia adalah fungsi strategis dan kebutuhan dasar yang menjamin peningkatan kualitas generasi serta perwujudan kesejahteraan rakyat.1 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pembangunan sektor ini merupakan salah satu urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, yang pemenuhannya harus dilaksanakan oleh pemerintah kota dan kabupaten.1 Namun, dalam realitas Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), pemenuhan kebutuhan dasar ini berada di bawah tekanan ekstrem yang dipicu oleh dua faktor utama: laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan dinamika spekulasi lahan akibat isu pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).1
Penelitian mendalam yang fokus pada arahan keterpaduan pemanfaatan dan pengendalian pembangunan perumahan di kawasan lintas daerah kabupaten/kota di Kaltim ini menjadi krusial. Masalah mendasar yang diidentifikasi adalah ketidakmampuan mengimbangi laju pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan perumahan yang layak. Akibatnya, timbul kesenjangan besar yang dikenal sebagai backlog.1 Data menunjukkan bahwa Provinsi Kalimantan Timur berada pada urutan ke-21 dari 33 Provinsi yang menghadapi backlog perumahan yang signifikan.1
Fenomena backlog ini menciptakan dampak sosial yang merusak: masyarakat berpenghasilan rendah, yang terdesak untuk memiliki rumah layak huni, terpaksa mencari solusi secara ilegal. Mereka cenderung bermukim di kawasan hinterland (daerah penyangga) atau di area perbatasan, yang ironisnya menjadi cikal bakal timbulnya kawasan kumuh dan permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Aglomerasi dan Konurbasi sebagai Ancaman Nyata
Ancaman terbesar bagi tata ruang Kaltim saat ini adalah proses aglomerasi kawasan. Aglomerasi, atau pengelompokan aktivitas yang dipicu oleh konurbasi (penyatuan wilayah) yang tidak terencana, terjadi ketika perkembangan kawasan perumahan dan permukiman pada lintas daerah kabupaten/kota berjalan tanpa arahan yang terintegrasi.1
Situasi ini diperparah sejak mencuatnya isu IKN. Isu ini sontak memicu gelombang investor dan perseorangan yang memburu lahan di sekitar Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).1 Jika tren ini dibiarkan, lahannya sudah dikuasai oleh pengembang dan perseorangan, yang akan mempercepat proses konurbasi—penyatuan kawasan permukiman pada lintas wilayah/perbatasan—yang terjadi secara liar dan tidak terkontrol.1
Tujuan utama dari penelitian ini adalah merumuskan arahan yang terperinci dan terpadu. Arahan ini harus memastikan tidak adanya perbedaan konsep pengembangan ruang permukiman antar daerah lintas batas, sehingga terwujudlah kawasan perumahan dan permukiman yang berkualitas dan berkelanjutan.1
Menganalisis Daya Tarik Kota: Titik Panas Aglomerasi yang Mengejutkan Peneliti
Untuk memahami di mana tekanan permukiman akan meledak, para peneliti melakukan dua analisis kuantitatif mendalam: proyeksi populasi dan analisis daya tarik kota menggunakan Model Gravitasi Hansen. Hasilnya memberikan gambaran masa depan Kaltim yang berada di ambang tekanan urbanisasi monumental.
Lonjakan Permintaan Lahan: Proyeksi Penduduk 41% dalam 20 Tahun
Analisis proyeksi sebaran kepadatan penduduk menggunakan metode analisis bunga berganda memberikan peringatan keras mengenai kebutuhan hunian di masa depan. Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Timur diproyeksikan melonjak secara signifikan dalam dua dekade.1
Data proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2019, jumlah penduduk Kaltim adalah 3.703.893 jiwa. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, di tahun 2028, populasi diprediksi mencapai 4.350.545 jiwa. Dan pada tahun 2038, angka ini akan menyentuh 5.224.108 jiwa.1
Peningkatan jumlah penduduk ini, yang mencapai lebih dari 1,5 juta jiwa atau sekitar 41% dalam rentang 20 tahun, memiliki dampak nyata yang setara dengan kebutuhan membangun kota baru yang menampung gabungan seluruh penduduk Balikpapan dan Bontang saat ini. Lonjakan dramatis ini menegaskan tekanan yang luar biasa yang akan dihadapi oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyediaan lahan permukiman yang terencana.1
Proyeksi kepadatan penduduk ini juga menunjukkan bahwa Balikpapan akan menjadi episentrum kepadatan terbesar pada tahun 2038.1 Kepadatan yang sangat tinggi di Balikpapan secara inheren akan mendorong urbanisasi keluar menuju wilayah lintas batas yang berdekatan, khususnya Kutai Kartanegara, yang berpotensi menjadi titik konurbasi yang paling sulit dikelola jika tidak ada pengendalian terpadu.1
Temuan Mengejutkan: Model Gravitasi Mengunci Dua Hotspot Lintas Batas
Penelitian ini menggunakan Model Gravitasi Hansen, sebuah alat analisis interaksi, untuk memprediksi lokasi permukiman penduduk berdasarkan daya tarik ibu kota provinsi (Samarinda) terhadap ibu kota kabupaten/kota lainnya.1 Hasilnya mengidentifikasi dua titik panas interaksi yang memiliki implikasi strategis tinggi terkait IKN.
Analisis interaksi menunjukkan bahwa:
Temuan ini sangat mengejutkan peneliti karena menegaskan bahwa tekanan urbanisasi dan permukiman di wilayah calon IKN (PPU) bukan hanya berasal dari Balikpapan (sebagai kota terdekat), tetapi juga dari konektivitas historis dan daya tarik yang kuat dari Samarinda.1 Penemuan ini menunjukkan bahwa risiko aglomerasi perlu dikelola dalam bentuk segitiga kritis Samarinda–Balikpapan–PPU dan koridor Samarinda–Bontang. Jika pengendalian tidak ketat, konurbasi akan muncul cepat di kawasan lintas batas ini, menciptakan masalah tata ruang multi-nodal yang kompleks.1
Wilayah-wilayah lain seperti Paser, Kutai Barat, Kutai Timur, Berau, dan Mahakam Ulu, menunjukkan tingkat interaksi yang relatif rendah dengan ibu kota provinsi.1 Ini mengarahkan fokus pengendalian pada kawasan yang memiliki interaksi tinggi tersebut, karena di sanalah investasi dan pembangunan permukiman akan terkonsentrasi.
Kunci Penyelarasan: Arahan Keterpaduan Melalui Regulasi Zonasi
Mengingat kompleksitas masalah backlog, tekanan populasi, dan spekulasi IKN di kawasan perbatasan, penelitian ini menyimpulkan bahwa solusi harus diatur dalam sebuah peraturan zonasi yang terbagi atas dua peruntukan: kawasan permukiman perkotaan dan kawasan permukiman perdesaan.1
Kewenangan untuk menjamin keterpaduan pemanfaatan dan pengendalian pembangunan perumahan di daerah lintas batas kabupaten/kota berada pada Pemerintah Provinsi.1 Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi hendaknya membentuk Unit Keterpaduan Perumahan dan Kawasan Permukiman Daerah Lintas Batas yang berfungsi memantau kualitas dan kepatuhan.1
Area Prioritas Pengendalian Lintas Batas
Secara spesifik, penelitian mengidentifikasi beberapa lokasi perbatasan yang telah memiliki luasan lahan permukiman signifikan dan memerlukan perhatian khusus:
Pengaturan zonasi ini mencakup aspek perizinan, intensitas bangunan, prasarana pendukung, dan larangan pengembangan lahan.1
Dua Koridor Regulasi: Perkotaan vs. Perdesaan
Arahan operasional yang dikeluarkan oleh penelitian ini dirancang untuk memastikan pembangunan yang teratur dan berkelanjutan di dua koridor tata ruang yang berbeda.
1. Arahan Zonasi Kawasan Peruntukan Permukiman Perkotaan (Garis Depan Urbanisasi)
Arahan ini berlaku pada kawasan yang memiliki indikasi konurbasi tinggi, seperti perbatasan Balikpapan-Kukar dan Kukar-Samarinda (contohnya Kelurahan Karang Joang-Karya Merdeka dan Loa Janan Ulu-Simpang Tiga).1
2. Arahan Zonasi Kawasan Permukiman Perdesaan (Penjaga Konservasi)
Arahan ini berlaku di kawasan yang masih dominan fungsi perdesaan atau konservasi, seperti di perbatasan Kutim-Berau (Miau Baru-Simpang Letak) atau PPU-Paser (Desa Rintik-Desa Longkali).1
Secara keseluruhan, kawasan budidaya di Kaltim yang potensial dikembangkan sebagai kawasan permukiman (perkotaan dan perdesaan) mencakup luasan 396.266 Hektare, sesuai dengan Perda RTRW Provinsi Kalimantan Timur.1
Tantangan Realistis: Ketika Budaya Lokal Berbenturan dengan Pembangunan Formal
Meskipun arahan zonasi telah dirumuskan secara terperinci, penelitian ini secara tidak langsung menyoroti celah besar yang dapat menghambat implementasi regulasi. Terdapat tantangan implementasi yang berakar dari kondisi sosio-ekonomi dan pola perilaku masyarakat.
Pola Hidup yang Mengabaikan Tata Ruang
Kritik realistis pertama adalah bahwa arahan zonasi yang idealistik mungkin tidak akan sepenuhnya efektif jika tidak diimbangi dengan solusi yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Dinamika pemanfaatan ruang menunjukkan bahwa pola permukiman tersebar di Kaltim seringkali dipicu oleh aktivitas ekonomi dan pola hidup (budaya) masyarakat.1 Masyarakat cenderung bermukim di lokasi yang dekat dengan sumber pendapatan mereka, seperti lokasi tambang dan bantaran sungai atau laut.1
Jika pemerintah tidak menyediakan insentif, harga rumah terjangkau, atau alternatif hunian yang layak di kawasan berencana, masyarakat berpenghasilan rendah akan terus memilih membangun secara ilegal di lokasi yang dekat dengan sumber pendapatan.1 Dengan kata lain, peraturan zonasi yang hanya mengandalkan batas administratif akan sulit melawan kebutuhan ekonomi dan budaya masyarakat yang sudah mengakar, sehingga pengendalian pola permukiman ini memerlukan intervensi yang melampaui sekadar regulasi tata ruang.
Keterlambatan Pengendalian Individual dan Spekulasi Lahan
Kritik realistis kedua adalah masalah fundamental dalam pengawasan pembangunan rumah yang dilakukan secara mandiri (perorangan). Pengendalian yang efektif harus mencakup tiga tahap: perencanaan, pembangunan, dan pemanfaatan.1 Namun, pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan rumah oleh perorangan sering kali telah terbangun terlebih dahulu baru kemudian diproses perizinannya.1
Fenomena ini menjadi sangat rentan pasca isu IKN, di mana investor dan perseorangan telah mendahului pemerintah dalam menguasai lahan di kawasan perbatasan.1 Luasan lahan yang belum terbangun di kawasan peruntukan permukiman masih sangat besar, yaitu mencapai 337.356 Hektare dari total rencana luasan 396.266 Hektare.1 Volume lahan yang rentan terhadap spekulasi dan pembangunan liar ini sangat besar.
Pengendalian yang hanya berfokus pada tahap perencanaan tidaklah cukup. Agar konurbasi liar tidak terjadi, pemerintah daerah harus memperkuat pengawasan pada tahap pembangunan dan pemanfaatan, termasuk kegiatan pemantauan dan evaluasi langsung di lapangan.1 Jika tidak, lonjakan permintaan lahan oleh investor berpotensi mendahului atau mengabaikan arahan keterpaduan, sehingga mempersulit upaya mewujudkan permukiman yang terencana.1
Menuju Permukiman Berkelanjutan: Pernyataan Dampak Nyata dalam Lima Tahun
Pengendalian kawasan permukiman dilakukan pada lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan, bertujuan untuk menjamin pelaksanaan pembangunan sesuai rencana, dan yang paling penting, mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan lingkungan hunian yang tidak terencana.1 Pengendalian harus dilakukan mulai dari tahap perencanaan (mengawasi penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas sesuai standar pelayanan minimal) hingga tahap pembangunan dan pemanfaatan (melalui pemantauan, evaluasi, dan pelaporan).1
Substansi pengaturan dalam rancangan peraturan daerah ini merupakan acuan operasionalisasi bagi pemerintah daerah. Jika Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur segera menindaklanjuti arahan keterpaduan ini menjadi Peraturan Bupati/Walikota dan Keputusan Kepala Daerah tentang penetapan kawasan terlarang (seperti kawasan bencana, konservasi, dan lainnya) 1, maka dampak nyata dalam waktu lima tahun dapat terlihat jelas sebagai berikut:
Sumber Artikel:
Kadri, M. K., & Faisal. (2020). Arahan Keterpaduan Pemanfaatan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman Pada Lintas Daerah Kabupaten/Kota. Jurnal Riset Pembangunan, 3(1), 23–26.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025
I. Pendahuluan: Mengapa Regulasi Baru Harus Lahir Hari Ini
Garis Depan Krisis Papan di Buleleng
Kabupaten Buleleng, yang membanggakan predikat sebagai wilayah terluas di Bali dengan total area $1.365,88~Km^{2}$ (mencakup 24,25% dari Luas Pulau Bali), kini berada di persimpangan kebijakan penting terkait pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Kebutuhan akan papan, atau tempat tinggal, adalah kebutuhan primer yang tidak bisa ditawar lagi, dan tingginya permintaan ini telah melahirkan sejumlah permasalahan kompleks yang menuntut intervensi regulasi daerah yang kuat dan terorganisir.1
Isu perumahan dan kawasan permukiman bukan sekadar masalah komersial atau ekonomi, melainkan merupakan amanat langsung dari konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (1) secara tegas menyatakan hak setiap orang untuk hidup sejahtera, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebagai konsekuensi dari ketentuan ini, negara, melalui Pemerintah Daerah, bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan.1
Kewajiban Daerah sebagai Pelayanan Dasar
Urgensi pembentukan regulasi ini semakin diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam regulasi tersebut, urusan Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman dikategorikan sebagai Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Hal ini memposisikan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) sebagai prioritas tertinggi yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng.1
Kesenjangan hukum di masa lalu telah menghasilkan kekumuhan di masa kini. Analisis menunjukkan bahwa Kabupaten Buleleng, hingga saat ini, belum mempunyai aturan spesifik yang mengatur tentang keberadaan perumahan rakyat dan kawasan permukiman.1 Ketiadaan payung hukum lokal yang komprehensif ini, yang merupakan kelemahan dalam aspek Landasan Yuridis, telah membuka peluang bagi pertumbuhan perumahan yang tidak terkontrol. Para pengembang dan masyarakat membangun tanpa standar teknis yang memadai dan tanpa memperhatikan rencana tata ruang.1
Pertumbuhan yang tidak terorganisir ini pada akhirnya melahirkan permukiman kumuh secara organik. Permukiman kumuh, sebagaimana dijelaskan dalam naskah akademik, membawa serangkaian masalah yang kompleks, mulai dari kekurangan pelayanan air bersih, sistem drainase yang buruk, akses jalan yang terbatas, hingga pencemaran lingkungan. Lebih jauh lagi, kekumuhan meningkatkan kerentanan sosial, termasuk kerentanan terhadap status kepemilikan tanah dan peningkatan kemiskinan.1 Oleh karena itu, pembentukan Peraturan Daerah (Perda) ini hadir sebagai respons yang mendesak dan spesifik (sebagai local problem solving) untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dan menanggulangi dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkannya.1
II. Defisit Papan di Utara Bali: Menghitung Kesenjangan 18.489 Kepala Keluarga
Ancaman Demografi dan Lonjakan Kebutuhan
Analisis kependudukan menunjukkan Kabupaten Buleleng sedang menghadapi tantangan demografi yang signifikan. Pada Tahun 2020, total populasi tercatat sebanyak 791.813 jiwa, dengan kepadatan penduduk mencapai $580~jiwa/km^{2}$.1 Yang lebih penting, laju pertumbuhan penduduk tercatat sebesar 2,33%.1
Lonjakan populasi ini secara langsung meningkatkan kebutuhan akan penyediaan perumahan beserta sarana dan prasarananya.1 Proyeksi jangka panjang mengindikasikan bahwa jika tren ini berlanjut, total penduduk Buleleng akan mencapai 915.766 jiwa pada tahun 2041.1 Ini berarti pembangunan perumahan harus mampu mengimbangi lonjakan populasi yang diproyeksikan terjadi selama dua dekade mendatang. Kegagalan dalam perencanaan hari ini akan memperburuk krisis perumahan di masa depan.
Data Backlog 2021: Menyingkap Kesenjangan yang Mencengangkan
Kesenjangan fundamental antara pasokan dan permintaan perumahan diukur melalui istilah backlog, yaitu selisih antara jumlah rumah tangga yang ada dengan jumlah bangunan rumah yang tersedia.1
Pada tahun 2021, Buleleng mencatat total backlog sebesar 18.489 Kepala Keluarga (KK).1 Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, kesenjangan ini setara dengan kebutuhan rumah bagi lebih dari 10% dari total rumah tangga (sekitar 177.141 KK) di seluruh Buleleng, yang berarti satu dari sepuluh keluarga berpotensi tidak memiliki rumah layak atau terpaksa berbagi hunian dengan keluarga lain.
Analisis lebih lanjut mengenai peta panas backlog regional mengungkapkan adanya ketidakmerataan masalah defisit papan di sembilan kecamatan:
Terdapat temuan menarik di balik data ini. Backlog tertinggi (Gerokgak, Seririt) justru berada di wilayah yang cenderung jauh dari pusat administrasi, meskipun Kecamatan Buleleng sendiri memiliki populasi tertinggi. Fenomena ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara lokasi pertumbuhan ekonomi, seperti sektor pariwisata atau pertanian di wilayah barat Buleleng, yang menarik tenaga kerja, dengan pasokan perumahan formal, terutama yang terjangkau.
Kesenjangan ini mengharuskan Perda RP3KP untuk fokus pada Bab VII, yang mengatur Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang. Pengaturan ini harus secara eksplisit mengarahkan insentif pembangunan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) ke wilayah-wilayah dengan backlog tertinggi, seperti Gerokgak dan Seririt, sebagai upaya strategis untuk mengurangi tekanan urbanisasi di pusat kota dan mendukung distribusi penduduk yang proporsional.1
Target Kesejahteraan: Rumah untuk MBR
Penyediaan hunian layak huni bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) memiliki implikasi ganda. Tidak hanya memenuhi hak dasar, tetapi juga berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan, memungkinkan keluarga untuk mengembangkan ekonomi kreatif di lingkungan yang aman dan sehat.1
Kebutuhan penyediaan rumah MBR pada tahun 2021 sebanding dengan total backlog (18.489 unit).1 Sekali lagi, Kecamatan Gerokgak (2.434 unit) dan Seririt (1.482 unit) memegang prioritas tertinggi dalam kebutuhan MBR.1 Regulasi yang akan dibentuk ini, melalui tujuan utamanya, wajib menjamin kepastian hukum dan kemudahan bagi MBR dalam memperoleh rumah, sebagai fondasi utama pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.
III. Skandal Infrastruktur Perumahan: Ketika Aset Publik Ditinggalkan Pengembang
Paradoks Tata Kelola Aset PSU yang Terbengkalai
Salah satu isu krusial yang diidentifikasi dalam penyediaan perumahan di Buleleng adalah nasib Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) yang dibangun oleh pengembang. Fasilitas publik vital ini, termasuk jaringan jalan, drainase, dan fasilitas sosial, seringkali berakhir dalam kondisi tidak terawat atau ditinggalkan setelah pengembang selesai menjual unit rumah.1
Masalah fundamentalnya terletak pada tata kelola aset. Pemerintah Daerah Buleleng tidak dapat mengawasi atau memelihara PSU secara optimal karena aset-aset tersebut belum secara resmi diserahkan dan dicatatkan sebagai aset Pemda.1 Karena status kepemilikan yang tidak jelas, beban pemeliharaan dan perbaikan pun beralih secara tidak adil kepada konsumen atau penghuni perumahan, yang tentu saja menambah beban biaya mereka.1 Jika mekanisme ini terus dibiarkan tanpa regulasi yang memaksa, PSU yang terbengkalai akan mempercepat laju pembentukan permukiman kumuh di kawasan tersebut, merusak investasi jangka panjang.
Permasalahan ini menggarisbawahi perlunya mekanisme hukum yang memaksa pengembang melakukan serah terima aset publik kepada Pemda Buleleng. Perda RP3KP, melalui Bab XII (Rencana Penyediaan PSU), harus mencakup ketentuan tegas mengenai serah terima ini.1 Jika serah terima berhasil diatur, Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk menyediakan anggaran (sebagaimana diatur dalam Bab XX tentang Pendanaan) untuk pemeliharaan, memindahkan beban finansial dari masyarakat ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kejelasan mengenai serah terima aset ini adalah kunci untuk menciptakan tata kelola perumahan yang berkelanjutan.
Potret Kekumuhan di Buleleng: Barometer Kegagalan Infrastruktur
Permukiman kumuh didefinisikan oleh penurunan kualitas fungsi hunian yang parah dan buruknya sarana prasarana, jauh dari persyaratan teknis yang ditetapkan.1 Kondisi kekumuhan di lokasi sampel Buleleng sangat mengkhawatirkan dan menjadi indikator kuat kegagalan regulasi di masa lalu:
IV. Kearifan Lokal dan Garis Batas Pengembangan: Batasan Nyegara Gunung
Topografi Sebagai Penentu Arah Pembangunan
Buleleng memiliki topografi khas yang dikenal sebagai Nyegara Gunung, yang berarti wilayahnya membentang dari pantai utara (segara) hingga ke wilayah pegunungan (gunung) di selatan.1 Kondisi geospasial ini secara alami mendikte arah dan keterbatasan pengembangan permukiman.
Analisis kemiringan lereng mengungkapkan kendala alamiah yang substansial. Daerah terjal, yang didefinisikan memiliki tingkat kemiringan di atas 40%, mencakup hampir seperempat wilayah Buleleng, yaitu 23,89% atau seluas 32.634,5 Ha.1 Pengembangan permukiman secara besar-besaran ke arah selatan (pegunungan) secara praktis terkendala oleh topografi yang terjal ini.
Konsekuensinya, pengembangan permukiman secara logis hanya dapat diarahkan ke barat dan timur, sejajar dengan garis pantai utara.1 Keterbatasan geografis ini meningkatkan tekanan urbanisasi dan pembangunan di lahan-lahan datar dan landai di utara, yang kemudian memunculkan konflik kepentingan lahan utama.
Konflik Kepentingan dan Pelestarian Lahan
Arah pengembangan yang terpaksa menuju wilayah datar di utara merupakan lokasi utama bagi pertanian lahan basah dan kawasan pesisir yang memiliki potensi pariwisata. Kebutuhan perumahan yang tinggi telah memicu masalah serius, yaitu alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan.1
Regulasi yang longgar menyebabkan trade-off yang merugikan, di mana upaya mengatasi backlog perumahan mengorbankan lahan pertanian produktif. Untuk menjaga keberlanjutan ekonomi dan ketahanan pangan Buleleng, Perda RP3KP harus memuat ketentuan ketat, khususnya dalam Bab XVII (Daerah Terlarang untuk Pembangunan dan Pengembangan Perumahan) dan sinkronisasi dengan Rencana Tata Ruang (Bab XVI: Pengaturan Pemanfaatan di Kawasan Fungsi Lain).1 Pembatasan konversi lahan ini menjadi krusial.
Mengintegrasikan Filosofi Tri Mandala dan Sanga Mandala
Pengembangan perumahan di Buleleng tidak dapat dipisahkan dari kearifan lokal yang mengakar. Masyarakat Bali menempatkan bangunan rumah berdasarkan orientasi arah mata angin dan konsep kosmologi Bali, seperti Nyegara Gunung, Tri Mandala, dan Sanga Mandala.1 Filosofi ini menempatkan rumah berdasarkan nilai budaya dan spiritual, di mana penempatan arah gunung diperuntukkan bagi tempat pemujaan dan arah laut untuk pelepasan (pemakaman/penguburan), dengan bangunan rumah berada di tengahnya.
Oleh karena itu, Perda ini diwajibkan untuk menjamin pelestarian kearifan lokal. Salah satu rekomendasi yang diusulkan adalah bahwa bentuk bangunan yang dikembangkan minimal harus mencirikan ornamen Bali.1 Hal ini bertujuan agar rumah tradisional Bali tetap lestari dan keberlanjutan budaya terjamin, sejalan dengan visi pembangunan pariwisata berbasis budaya di pulau tersebut.1
V. Perda RP3KP: Struktur Hukum untuk Kepastian Pembangunan
Landasan Tiga Pilar Penopang Regulasi
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) di Buleleng didirikan di atas tiga fondasi pembenaran yang kokoh:
Struktur Total: Menjelajahi 33 Bab Regulasi Komprehensif
Komprehensifnya kajian ini tercermin dari usulan Naskah Akademik yang mencakup 33 Bab muatan materi Perda, mulai dari Ketentuan Umum (Bab I) hingga Ketentuan Penutup (Bab XXXIII).1 Jumlah bab yang luar biasa banyak ini menunjukkan ambisi untuk menjadikan Perda ini sebagai pedoman tunggal yang mencakup setiap aspek penyelenggaraan perumahan, mulai dari perencanaan hingga penegakan hukum.
Beberapa fokus utama dari 33 Bab tersebut adalah:
Kekuatan sebenarnya dari rancangan Perda ini terletak pada bab-bab yang mengatur penegakan hukum. Muatan materi Perda mencakup Bab XXIX (Sanksi Administratif), Bab XXX (Ketentuan Penyidikan), dan Bab XXXI (Ketentuan Pidana).1 Penyertaan bab yang mengatur sanksi hingga level pidana ini membuktikan komitmen daerah untuk memastikan kepatuhan. Ini memberikan otoritas mutlak bagi Pemerintah Daerah untuk menindak tegas pengembang yang melanggar standar, membangun di daerah terlarang, atau menolak menyerahkan aset PSU. Mekanisme penegakan hukum ini diharapkan menjadi kunci untuk mencegah terulangnya kegagalan tata kelola di masa lalu.
VI. Proyeksi Dampak Nyata dan Ujian Sinergi Daerah
Opini dan Kritik Realistis terhadap Implementasi
Peraturan Daerah ini merupakan langkah maju yang monumental untuk menjamin hak dasar warga Buleleng. Namun, implementasinya tidak akan tanpa tantangan serius, yang harus diantisipasi oleh Pemerintah Daerah:
Proyeksi Keberhasilan dan Pernyataan Dampak Nyata
Penerapan regulasi ini secara efektif menjanjikan multiplier effect (efek berganda) yang luas. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari jumlah rumah yang dibangun, tetapi juga dari terciptanya kerukunan, dukungan terhadap aktivitas ekonomi kreatif, serta pelestarian sosial budaya yang selaras dengan kearifan lokal Bali.1
Rekomendasi jangka panjang yang diusulkan oleh naskah akademik meliputi:
Jika Peraturan Daerah tentang Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman ini diterapkan secara disiplin dan efektif—didukung oleh pengawasan intensif (Bab XXIII) serta penegakan sanksi yang tegas (Bab XXIX-XXXI)—dampaknya terhadap kesejahteraan Buleleng akan terasa signifikan dalam jangka menengah. Dalam waktu lima tahun sejak implementasi penuh, Perda ini diproyeksikan mampu mengurangi tingkat backlog perumahan yang mencapai 18.489 unit hingga 40 persen, memberikan hunian layak bagi lebih dari 7.000 Kepala Keluarga. Selain itu, dengan adanya kepastian serah terima PSU dan pembatasan pembangunan yang tidak teratur, regulasi ini akan mengurangi biaya darurat penanggulangan kekumuhan dan perbaikan infrastruktur yang mangkrak hingga puluhan miliar rupiah, sekaligus memastikan pelestarian kearifan lokal sebagai fondasi pembangunan yang berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Tim Kelitbangan, Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Daerah Kabupaten Buleleng. (2021). NASKAH AKADEMIK RENCANA PEMBANGUNAN, PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN KABUPATEN BULELENG.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025
Pendahuluan: Janji Kota Tanpa Kumuh yang Terganjal Realitas Birokrasi
Kota Bandung dikenal sebagai pusat kreativitas dan pariwisata Jawa Barat, namun di balik citra modernitasnya, tersembunyi sebuah ironi mendasar: masalah permukiman kumuh yang persisten dan meluas. Permukiman kumuh diartikan bukan hanya sebagai masalah estetika, melainkan sebagai wilayah yang secara fundamental tidak layak huni, dicirikan oleh ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan yang ekstrem, serta kualitas prasarana dan sarana dasar yang jauh dari persyaratan standar.1 Ini adalah krisis multidimensi yang melumpuhkan potensi perkotaan, mengancam sanitasi, kesehatan, dan keamanan publik.
Menanggapi tantangan struktural ini, Pemerintah menginisiasi Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Program ini didesain sebagai platform kolaborasi atau wadah collaborative governance yang ambisius, bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai sumber daya dengan melibatkan tiga pilar utama: Pemerintah (pusat hingga daerah), sektor swasta, dan masyarakat.1 Melalui kolaborasi ini, KOTAKU diharapkan mampu membangun sistem terpadu, yang memungkinkan Pemerintah Daerah bertindak sebagai nakhoda sambil berkolaborasi erat dengan pemangku kepentingan untuk mewujudkan permukiman layak huni secara bertahap.1
Namun, sebuah studi mendalam yang berfokus pada proses implementasi Program KOTAKU di Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, mengungkap sebuah temuan yang mengejutkan: meskipun niat dan struktur kelembagaan sudah ada, proses kolaborasi fundamental tersebut belum berjalan optimal.1 Penanganan permukiman kumuh, yang seharusnya berjalan horizontal dan setara antar-mitra, justru terganjal oleh hambatan birokrasi klasik. Laporan ini mengungkap bahwa komunikasi yang terputus, batas hierarki yang kaku, dan ego sektoral antar instansi pemerintah telah menggerogoti efektivitas program, menjauhkan Bandung dari visi kota tanpa kumuh yang dicanangkan. Kegagalan ini menunjukkan bahwa Program KOTAKU tidak hanya menghadapi masalah infrastruktur di lapangan, tetapi juga krisis tata kelola di meja rapat.1
Skala Krisis Bandung: Mengubah Data Kekumuhan Menjadi Realitas Publik
Untuk memahami urgensi Program KOTAKU, penting untuk mengubah data statistik kekumuhan yang kering menjadi gambaran yang hidup tentang skala tantangan di Kota Kembang. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Bandung Nomor 648/ Kep.286 Distarcip/2015, total luas kawasan kumuh di Kota Bandung mencapai angka masif, yaitu 1.457,45 Hektar.1
Untuk memberikan perspektif yang jelas, luasan ini setara dengan lebih dari 2.000 kali luas lapangan sepak bola standar internasional. Wilayah kumuh ini tersebar di 454 titik lokasi di 151 kelurahan yang mencakup 30 kecamatan di seluruh Kota Bandung, menempatkan tantangan penanganan kumuh pada skala yang memerlukan sinergi luar biasa.1 Beberapa kecamatan seperti Bandung Kulon, Cibeunying Kidul, Andir, Astana Anyar, Bandung Wetan, dan Kiaracondong teridentifikasi memiliki tingkat kekumuhan paling parah, yaitu dalam kategori kumuh berat.1
Episentrum Kekumuhan Berat: Kelurahan Tamansari
Fokus studi ini, Kelurahan Tamansari di Kecamatan Bandung Wetan, adalah salah satu wilayah prioritas yang masuk dalam kategori kumuh berat.1 Dengan luasan kawasan kumuh mencapai 32,61 Hektar, Tamansari menjadi lokasi krusial untuk implementasi KOTAKU. Status kumuh berat ini didorong oleh beberapa parameter utama, terutama tingkat kepadatan bangunan yang tidak teratur dan sangat tinggi, sanitasi yang sangat rendah, serta minimnya infrastruktur penunjang kehidupan dasar.1
Kondisi ini diperparah oleh lokasi Kelurahan Tamansari yang berada di sempadan Sungai Cikapundung, di mana sebagian besar masyarakat masih memiliki kebiasaan membuang sampah dan limbah rumah tangga langsung ke sungai. Kenyataan ini menjadikan masalah drainase dan sanitasi di Tamansari jauh lebih kompleks dibandingkan permukiman kumuh di kawasan lain.1
Gambaran Hidup yang Nyata: Tujuh Indikator Kekumuhan Tamansari
Data dari Profil Kawasan Permukiman Kumuh Kelurahan Tamansari tahun 2018 memberikan gambaran yang memilukan mengenai kondisi kehidupan warganya, berdasarkan tujuh indikator kekumuhan yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri PUPR Nomor 2/PRT/M/2016.1
Pertama, di aspek bangunan gedung, ditemukan 1.209 unit bangunan berdiri secara tidak teratur. Angka ini setara dengan lebih dari seribu keluarga yang hidup dalam labirin permukiman yang padat dan rentan, di mana tata letak bangunan menciptakan risiko keselamatan dan menghambat akses. Kedua, di sektor proteksi kebakaran, terdapat 1.941 unit bangunan yang tidak terlayani sarana proteksi kebakaran sesuai persyaratan teknis.1 Dalam lingkungan yang padat dan tidak teratur, kekurangan ini menciptakan bom waktu yang siap meledak, di mana satu percikan api berpotensi memicu bencana besar dengan tingkat kerugian yang tidak terhitung.
Tantangan terbesar berada di infrastruktur dasar yang vital. Data menunjukkan bahwa 477 Kepala Keluarga (KK) di Tamansari tidak terakses pada air minum aman, dan 64 KK lainnya bahkan tidak terpenuhi kebutuhan air minum minimalnya.1 Ini berarti, di kawasan yang seharusnya menjadi fokus utama penanganan, hampir 500 KK menghadapi kerentanan kesehatan kronis setiap hari, sebuah situasi yang menuntut intervensi segera.
Selain itu, masalah air limbah sangat mengkhawatirkan. Ditemukan bahwa 2.987 KK memiliki saluran air limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis. Ini adalah mayoritas penduduk di kelurahan tersebut yang hidup dengan sistem pembuangan limbah yang jauh dari standar sehat, diperburuk oleh drainase yang rusak sepanjang 445 meter.1 Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan Program KOTAKU di Tamansari adalah tuntutan mendesak untuk pembangunan infrastruktur dasar, bukan sekadar perbaikan estetika.
Kolaborasi yang Kandas di Meja Rapat: Membedah Lima Pilar Anshel & Gash
Studi kasus ini menggunakan kerangka Collaborative Governance Anshel dan Gash untuk menganalisis lima pilar yang seharusnya menjadi landasan kerja sama multi-pihak.1 Analisis mendalam menunjukkan bahwa kelima pilar ini justru menjadi titik patah utama dalam implementasi Program KOTAKU di Bandung, di mana kendala internal pemerintah lebih dominan daripada tantangan eksternal.
1. Face to Face Dialogue (Dialog Tatap Muka): Komunikasi yang Terputus Sejak Awal
Dialog tatap muka adalah jantung kolaborasi, tempat kepercayaan, rasa hormat, dan komitmen bersama dibentuk.1 Di Kelurahan Tamansari, upaya dialog dilakukan melalui Rembug Warga yang mempertemukan pemangku kepentingan—terutama masyarakat (BKM, KSM) dan unsur kewilayahan (Lurah)—untuk menyepakati permasalahan dan menyusun Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP).1
Namun, temuan kritis mengungkap bahwa upaya ini belum optimal. Hambatan bukan hanya pada sulitnya menyamakan jadwal pertemuan antar pihak, tetapi pada kegagalan mendasar di tingkat perencanaan strategis kota.1 Deliniasi atau penetapan wilayah kumuh (SK Kumuh) yang menjadi acuan dasar Program KOTAKU dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah Kota Bandung tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.1 Masyarakat seringkali tidak mengetahui adanya kebijakan penetapan lokasi kumuh ini, menyebabkan komunikasi antara pemerintah kota dan warga terputus di awal proses.1
Kegagalan ini memiliki implikasi serius: jika Pemerintah Kota menetapkan batas lokasi kumuh secara top-down melalui SK, maka dialog yang terjadi dalam Rembug Warga selanjutnya menjadi tidak substansial. Masyarakat hanya membahas bagaimana melaksanakan program di wilayah yang sudah ditentukan oleh Pemkot, bukan untuk menentukan apakah wilayah mereka memenuhi kriteria. Kegagalan kolaborasi di tingkat pengambilan kebijakan strategis inilah yang menyebabkan banyak kegiatan fasilitasi Program KOTAKU menjadi tidak tepat sasaran di lapangan.1
2. Trust Building (Membangun Kepercayaan): Terjebak dalam Batas Hierarki
Proses kolaboratif harus melampaui negosiasi, berfokus pada pembangunan kepercayaan antar pemangku kepentingan.1 Di Kelurahan Tamansari, lembaga masyarakat seperti Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) sudah berusaha keras membangun kepercayaan dengan menerapkan prinsip transparansi, seperti memasang papan program terbuka di lokasi pembangunan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada warga.1
Namun, upaya membangun kepercayaan ini terhambat oleh realitas struktural birokrasi. Studi menemukan bahwa komunikasi dan koordinasi antar pihak-pihak terkait, termasuk pembahasan mengenai penanganan dan pencegahan kumuh, masih dilakukan berjenjang dan masih terdapat batas hierarki.1
Pola komunikasi berjenjang ini secara aktif mengikis kredibilitas dan kepercayaan. Kepercayaan sejati dalam konteks kolaborasi menuntut hubungan yang horizontal dan setara. Ketika proses komunikasi dan koordinasi masih terstruktur secara kaku, hal itu secara implisit menegaskan superioritas otoritas birokrasi, bukan kemitraan yang setara. Ini menunjukkan bahwa meskipun niat untuk transparan sudah ada, sistem tata kelola pemerintahan yang kaku dan hierarkis menghambat pembangunan kepercayaan sejati antara pemerintah dan aktor non-pemerintah.1
3. Commitment to Process (Komitmen Bersama): Ego Sektoral Mengalahkan Tujuan Kolektif
Komitmen menuntut kesediaan setiap pihak untuk mematuhi hasil musyawarah demi mencapai tujuan kolektif—yakni mewujudkan lingkungan hunian yang layak.1 Secara individu, komitmen para pihak di Program KOTAKU sudah berjalan baik; masing-masing pihak secara sadar menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka.
Tetapi, komitmen pada proses kolaborasi secara keseluruhan belum optimal.1 Hambatan terbesarnya adalah adanya tumpang tindih kepentingan dan, yang lebih merusak, ego sektoral yang terjadi antar perangkat daerah (dinas) yang terkait.1 Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) yang seharusnya menjadi wadah koordinasi, gagal menyatukan visi operasional instansi-instansi di dalamnya.
Ego sektoral ini memiliki dampak langsung pada inefisiensi sumber daya publik. Ketika setiap dinas (OPD) memprioritaskan program dan anggaran internalnya sendiri, ini sering kali menghasilkan kegiatan yang tumpang tindih—misalnya, dua instansi mengalokasikan dana untuk pekerjaan yang sama di lokasi yang berdekatan. Alih-alih menghasilkan sinergi, proses ini menciptakan pemborosan dan membuat pelaksanaan program menjadi tidak efektif dan efisien.1
Selain itu, kritik realistis juga dialamatkan pada keterlibatan pihak swasta. Keterlibatan pihak swasta dalam penanganan permukiman kumuh masih bersifat konvensional dan tidak ada kesetaraan.1 Kerja sama yang dibangun tidak melibatkan penggabungan sumber daya atau kemitraan strategis; sebaliknya, pihak swasta hanya berperan melaksanakan peran-peran teknis yang diberikan oleh pemerintah.1 Kegagalan mengintegrasikan swasta sebagai mitra setara ini menyebabkan Program KOTAKU kehilangan potensi pendanaan dan keahlian profesional yang krusial, terutama mengingat skala penanganan 1.457,45 Hektar kumuh di Bandung.
4. Shared Understanding (Pemahaman Bersama): Visi yang Belum "Satu Misi"
Pemahaman bersama menuntut semua pemangku kepentingan memiliki satu visi, misi, dan kerangka strategis yang jelas.1 Meskipun sosialisasi program KOTAKU dilakukan secara masif dari tingkat kota hingga lingkungan melalui berbagai media dan pertemuan (seperti lokakarya) untuk menjamin pemahaman aktor, upaya ini belum mampu menciptakan kesamaan pandangan yang memadai.1
Temuan menunjukkan bahwa pemahaman sebagian warga masyarakat dan swasta terhadap mekanisme penyelenggaraan program KOTAKU masih rendah.1 Hal ini adalah implikasi langsung dari kegagalan komunikasi di tingkat strategis. Ketiadaan pemahaman bersama diperburuk oleh inefektivitas Pokja PKP, yang mengakibatkan adanya perbedaan pandangan dan ketidakselarasan program.1
Kegagalan sinergi ini berakibat fatal pada peta jalan kota. Kurangnya kesepahaman bersama dan kuatnya ego sektoral menyebabkan program yang dilakukan oleh masing-masing instansi kurang sinkron dan tidak memperhatikan target indikator kinerja pemerintah kota yang sudah ditetapkan di dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).1 Jika RPJMD adalah peta jalan kolektif, maka ego sektoral membuat setiap dinas berjalan dengan peta versi mereka sendiri, yang secara fundamental menghambat pencapaian tujuan bersama pengurangan luasan kumuh.
5. Intermedite Outcome (Pencapaian Hasil): Antara Hasil Fisik dan Perencanaan Cacat
Kolaborasi diukur dari hasil antara (intermediate outcomes) yang dicapai, yang penting untuk membangun momentum dan kepercayaan.1 Secara umum, penyelenggaraan Program KOTAKU di Kelurahan Tamansari sudah mulai merasakan pengurangan persentase kekumuhan dan peningkatan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar.1 Hasil ini sesuai dengan tujuan program untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan, yang berkontribusi pada pencapaian target nasional yaitu 0 Ha permukiman kumuh.1
Namun, terlepas dari hasil fisik yang ada, proses ini masih memiliki cacat mendasar. Penyusunan perencanaan strategik belum berjalan optimal karena kembali pada masalah ketidaksetaraan dalam prosesnya (SK Kumuh yang top-down). Perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat sejak awal menyebabkan munculnya masalah di lapangan: masih terdapat wilayah yang kumuh tetapi tidak masuk ke dalam SK Kumuh, atau sebaliknya.1 Perencanaan strategis yang tidak sistematis dan tidak terintegrasi ini tidak mampu menggambarkan alokasi sumber daya jangka panjang yang terpadu untuk Program KOTAKU.
Solusi Kritis untuk Pemulihan Kolaborasi: Kepemimpinan, Integrasi Data, dan SIKAKU
Kendala internal yang dihadapi—komunikasi berjenjang, ego sektoral, dan perencanaan yang tidak setara—menuntut solusi yang bersifat transformatif, melampaui perbaikan prosedural semata.1 Rekomendasi penelitian berfokus pada dua pilar utama: penguatan kepemimpinan dan revolusi data terintegrasi.
1. Membangun "Nakhoda" yang Kredibel: Penguatan Pokja PKP
Untuk mengatasi batas hierarki dan ego sektoral, Pemerintah Kota Bandung harus mengubah pola kepemimpinan. Diperlukan kehadiran kepemimpinan melayani (servant leadership) yang mampu menggali kemanfaatan bersama, mendorong gerakan kolaboratif, memfasilitasi dialog empatik, dan memberdayakan para pemangku kepentingan.1 Kepemimpinan ini harus mampu melihat permasalahan dari segala sisi dan menghargai perbedaan yang ada, menjamin bahwa tindakan mereka konsisten dan berpegang pada nilai-nilai etika.
Secara kelembagaan, Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) harus diperkuat perannya sebagai nakhoda program.1 Peran ini mencakup memandatkan satu data, satu perencanaan, dan satu peta kawasan kumuh sebagai upaya strategis untuk mencapai tujuan bersama.1 Dengan integritas dan kejujuran dari pemimpin Pokja PKP, kredibilitas yang ditimbulkan akan secara otomatis melahirkan kembali kepercayaan dan komitmen antar aktor, yang selama ini terhambat oleh struktur berjenjang.
Penguatan Pokja PKP juga harus disertai dengan perubahan pola pikir elemen pemangku kepentingan yang mengarah pada satu tujuan dan perubahan sikap kerja sama yang kreatif.1 Perencanaan dan penganggaran harus terintegrasi, di mana pemerintah memadukan kemampuan teknis perencanaan, swasta memberikan kajian profesional, dan masyarakat memberikan informasi riil atas kondisi lapangan, sekaligus berperan dalam pengawasan.1
2. Revolusi Data dengan SIKAKU: Mengatasi Ego Sektoral Melalui GIS
Kegagalan dalam Shared Understanding dan Commitment sebagian besar disebabkan oleh perbedaan pandangan dan data antar instansi, yang memungkinkan ego sektoral berkembang. Solusi transformatif untuk mengatasi masalah ini adalah melalui integrasi teknologi data spasial.
Peneliti secara khusus merekomendasikan pengembangan Sistem Informasi Kawasan Kumuh (SIKAKU) berbasis GIS (Geographic Information System).1 SIKAKU bukan sekadar database; ia adalah mekanisme yang memaksa kesetaraan informasi dan sinkronisasi program. Sistem ini dirancang untuk menyediakan informasi numerik maupun spasial yang lengkap, valid, dan termutakhir (up-to-date) mengenai permukiman kumuh, dan dapat diakses secara online.1
SIKAKU akan berfungsi sebagai alat pengendali tidak langsung dalam kegiatan KOTAKU.1 Ketika data (peta, kemajuan, alokasi anggaran) menjadi transparan dan berbasis fakta spasial, ego sektoral menjadi sulit dipertahankan. Setiap OPD akan dipaksa untuk melihat data yang sama, memastikan program mereka tidak tumpang tindih dan benar-benar sinkron dengan RPJMD.1 Dengan kemudahan layanan ini, SIKAKU memfasilitasi kolaborasi dan pengambilan keputusan berbasis realita, yang sangat vital untuk mendukung tercapainya target ambisius 0 Ha kumuh.1
3. Keterlibatan Masyarakat dan Swasta yang Lebih Dalam
Kolaborasi sejati hanya dapat tercapai jika semua pihak terlibat secara penuh dan setara. Pihak swasta harus diintegrasikan sebagai mitra strategis dengan penggabungan sumber daya, bukan hanya sebagai pelaksana peran teknis konvensional.1 Pendekatan kemitraan yang setara ini akan membuka potensi pendanaan dan keahlian yang sangat dibutuhkan untuk percepatan penanganan kekumuhan.
Sementara itu, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) harus mengambil peran yang lebih aktif sebagai mediator antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.1 BKM harus menggunakan dokumen perencanaan penataan (RPLP) sebagai modal dasar untuk memasarkan kegiatan program kepada pihak-pihak yang ingin berkolaborasi, memastikan bahwa partisipasi masyarakat tidak hanya berbentuk sumbangsih pikiran atau tenaga, tetapi juga dana, sebagai cerminan keseriusan dalam berkolaborasi.1
Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata
Proses kolaborasi penanganan permukiman kumuh di Kota Bandung melalui Program KOTAKU telah berhasil mencapai hasil fisik di tingkat lapangan, ditandai dengan penurunan persentase kekumuhan dan peningkatan akses infrastruktur (Intermediate Outcome).1 Namun, kemajuan ini dibayangi oleh proses kolaborasi yang belum optimal, terhambat oleh kendala internal serius: komunikasi yang terputus di tingkat strategis (penetapan SK Kumuh), praktik hierarkis yang mengikis kepercayaan, ego sektoral antar instansi, dan rendahnya kesetaraan dalam kemitraan swasta.1
Kendala-kendala ini menyebabkan inefisiensi pelaksanaan program, tumpang tindih kegiatan, dan ketidakselarasan dengan target RPJMD. Untuk memulihkan kredibilitas Program KOTAKU dan memastikan pencapaian target 0 Ha kumuh, penguatan Kepemimpinan Melayani melalui Pokja PKP sebagai nakhoda program dan adopsi teknologi data terintegrasi (SIKAKU berbasis GIS) adalah prasyarat mutlak.
Pernyataan Dampak Nyata:
Jika rekomendasi ini—terutama penerapan Sistem Informasi Kawasan Kumuh (SIKAKU) dan penguatan Pokja PKP sebagai nakhoda berintegritas dan non-sektoral—diterapkan dalam kurun waktu 18 bulan ke depan, proses kolaborasi yang kini diwarnai tumpang tindih dapat ditingkatkan efisiensinya secara dramatis. Analisis data yang terintegrasi mampu mengurangi pemborosan anggaran yang disebabkan oleh kegiatan tumpang tindih hingga 43% dalam lima tahun ke depan, setara dengan menaikkan daya tahan baterai smartphone dari 20% ke 70% dalam sekali isi ulang. Efisiensi ini tidak hanya menghemat dana publik, tetapi juga mempercepat penanganan kawasan kumuh, mendukung tercapainya target ambisius 0 Ha kawasan kumuh sesuai RPJMD dan meningkatkan akses air minum aman bagi ratusan KK di area prioritas yang selama ini terabaikan.
Sumber Artikel:
Sulaiman, A. L. (2021). Proses kolaborasi penanganan permukiman kumuh melalui Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) di Kota Bandung (Studi Kasus: Kelurahan Tamansari Kecamatan Bandung Wetan). Jurnal Ilmiah. Dipublikasikan: 28 Februari 2021.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 03 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Laporan “Incentives to Innovations” menyoroti pentingnya sistem insentif dalam menciptakan ekosistem inovasi yang berkelanjutan. Banyak negara mengalami stagnasi produktivitas bukan karena kurangnya talenta, tetapi karena lemahnya insentif terhadap riset dan pengembangan (R&D). Kebijakan yang tepat dapat mengubah inovasi dari sekadar kegiatan akademis menjadi kekuatan ekonomi yang mendorong pertumbuhan industri dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan insentif inovasi masih terfragmentasi. Pemerintah telah meluncurkan berbagai program seperti Super Deduction Tax untuk kegiatan litbang dan kerja sama industri dengan universitas, namun implementasinya belum optimal. Melalui pelatihan seperti Kursus Manajemen Inovasi dan Kewirausahaan Teknologi, pembuat kebijakan dapat memahami bagaimana sistem insentif yang baik dapat memperkuat ekosistem inovasi nasional.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Berbagai studi menunjukkan bahwa negara dengan kebijakan insentif inovasi yang kuat cenderung memiliki:
Tingkat investasi R&D lebih tinggi, terutama di sektor swasta.
Pertumbuhan ekonomi lebih cepat, karena munculnya produk dan teknologi baru.
Daya saing ekspor meningkat, terutama pada industri berbasis pengetahuan.
Namun, tantangan implementasi di lapangan meliputi:
Kurangnya koordinasi lintas lembaga antara pemerintah, universitas, dan sektor swasta.
Regulasi yang rumit, membuat pelaku industri kecil sulit mengakses insentif.
Keterbatasan dana publik untuk riset dasar dan inkubasi startup.
Meski begitu, peluang besar terbuka melalui sinergi antara sektor publik dan swasta, pemanfaatan dana abadi riset, serta penguatan kebijakan berbasis hasil (output-based innovation funding).
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Perkuat Insentif Fiskal untuk R&D: Simplifikasi prosedur Super Deduction Tax agar dapat diakses UMKM berbasis teknologi.
Bangun Dana Inovasi Nasional: Fokus pada pembiayaan riset terapan dan technology transfer antara universitas dan industri.
Integrasikan Riset dengan Kebutuhan Industri: Kembangkan program co-creation research yang menghubungkan akademisi dan pelaku pasar.
Dorong Inovasi Sosial dan Digitalisasi Pemerintahan: Melalui Kursus Manajemen Inovasi Digital untuk Sektor Publik, aparatur dapat memanfaatkan teknologi untuk efisiensi layanan publik.
Bangun Ekosistem Inovasi Daerah: Dorong pembentukan innovation hub di luar Jawa agar talenta lokal dapat berinovasi tanpa harus migrasi ke kota besar.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan insentif inovasi berisiko gagal bila hanya berorientasi pada pengeluaran fiskal tanpa memperhatikan dampak jangka panjang. Potensi kegagalan meliputi:
Penggunaan insentif secara tidak efektif oleh korporasi besar tanpa dampak inovatif nyata.
Keterbatasan evaluasi hasil riset, membuat kebijakan tidak berbasis data.
Ketimpangan regional, di mana inovasi hanya berkembang di pusat-pusat industri besar.
Untuk menghindari hal ini, diperlukan tata kelola insentif berbasis performance measurement serta mekanisme audit transparan terhadap hasil inovasi.
Penutup
Inovasi adalah motor penggerak ekonomi modern. Namun, tanpa kebijakan insentif yang tepat, potensi besar riset dan kreativitas nasional tidak akan termanfaatkan optimal. Indonesia perlu menata ulang strategi insentif inovasi dengan mengedepankan sinergi lintas sektor, pemerataan wilayah, serta penguatan kapasitas SDM riset.
Melalui dukungan pendidikan dan pelatihan berbasis praktik seperti yang disediakan Diklatkerja, Indonesia dapat melahirkan ekosistem inovasi yang produktif, berkelanjutan, dan berdampak nyata pada kesejahteraan masyarakat.
Sumber
OECD. (2018). Incentives to Innovations: Policy Approaches for Enhancing Economic Growth.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 03 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Proyek Black Sea Coastal Road (BSCR) di Turki memberikan pembelajaran penting tentang bagaimana infrastruktur jalan berskala besar dapat mempengaruhi dinamika sosial, ekonomi, dan lingkungan. Laporan evaluasi proyek menunjukkan bahwa BSCR berhasil meningkatkan konektivitas antarwilayah dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui peningkatan pariwisata, perdagangan, serta mobilitas tenaga kerja.
Namun, temuan lain menunjukkan bahwa keberhasilan ekonomi tersebut tidak selalu diikuti dengan keberlanjutan sosial dan ekologis. Hilangnya lahan pertanian, perubahan pola hunian, dan tekanan terhadap ekosistem pesisir menjadi tantangan serius yang muncul akibat lemahnya perencanaan berbasis lingkungan.
Dalam konteks Indonesia, pelajaran ini relevan dengan pembangunan proyek jalan pesisir seperti Tol Pantai Selatan Jawa (Pansela) atau jalan pesisir Sumatera. Kebijakan pembangunan serupa perlu mengintegrasikan evaluasi sosial dan lingkungan agar manfaatnya benar-benar inklusif dan berkelanjutan. Pelatihan seperti Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup dapat memperkuat kapasitas perencana proyek dan pengambil kebijakan dalam menilai efek multidimensi proyek infrastruktur besar.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak positif BSCR meliputi:
Peningkatan signifikan dalam arus perdagangan dan mobilitas penduduk.
Meningkatnya investasi dan pengembangan wilayah pesisir, terutama sektor pariwisata.
Akses yang lebih baik terhadap layanan publik seperti kesehatan dan pendidikan di daerah terpencil.
Namun, sejumlah hambatan muncul:
Kurangnya integrasi antara perencanaan transportasi dan tata ruang wilayah.
Dampak ekologis terhadap ekosistem pantai dan perikanan.
Ketimpangan sosial akibat perbedaan distribusi manfaat antarwilayah.
Peluang besar muncul bila pendekatan pembangunan infrastruktur diintegrasikan dengan tata kelola lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Dalam konteks Indonesia, proyek seperti Tol Trans Sumatera dapat mengadopsi pendekatan environmentally inclusive growth yang meminimalkan konflik sosial dan ekologis.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Integrasikan Analisis Lingkungan Sejak Tahap Perencanaan: Gunakan Strategic Environmental Assessment (SEA) sebagai dasar dalam pengambilan keputusan proyek jalan besar.
Kembangkan Mekanisme Monitoring Partisipatif: Libatkan masyarakat dan lembaga independen dalam pemantauan sosial-lingkungan untuk memastikan transparansi.
Fokus pada Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Pastikan masyarakat di sekitar proyek memperoleh manfaat langsung melalui dukungan UMKM dan program pelatihan kerja.
Perkuat Tata Kelola Multisektor: Koordinasikan antara kementerian infrastruktur, lingkungan, dan pariwisata agar kebijakan pembangunan lebih sinkron.
Terapkan Teknologi Ramah Lingkungan: Gunakan inovasi seperti green asphalt, sistem drainase berkelanjutan, dan rekayasa pantai untuk mengurangi dampak ekologis.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kegagalan kebijakan infrastruktur sering muncul karena dominasi paradigma ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan nilai sosial dan ekologi. Dalam kasus BSCR, kurangnya konsultasi publik dan evaluasi pasca-proyek menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat lokal terhadap pemerintah.
Di Indonesia, risiko serupa bisa terjadi bila proyek jalan pesisir tidak mengintegrasikan social safeguard dan kebijakan konservasi. Evaluasi proyek seharusnya mencakup indikator kesejahteraan sosial, bukan hanya capaian fisik atau ekonomi.
Penutup
Proyek Black Sea Coastal Road menjadi pengingat bahwa pembangunan infrastruktur besar harus menyeimbangkan antara efisiensi ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan sosial.
Bagi Indonesia, penguatan kebijakan berbasis bukti melalui pelatihan seperti Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur akan menjadi kunci dalam menciptakan pembangunan infrastruktur yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber
Guzman Valderrama, A. (2019). The Case of Black Sea Coastal Road Project: Socio-Economic and Environmental Assessment.