Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Aglomerasi Liar IKN Baru – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

06 November 2025, 13.59

unsplash.com

Prolog: Kalimantan Timur di Tengah Gelombang Spekulasi Lahan IKN

Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman bukan sekadar urusan penyediaan papan; ia adalah fungsi strategis dan kebutuhan dasar yang menjamin peningkatan kualitas generasi serta perwujudan kesejahteraan rakyat.1 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pembangunan sektor ini merupakan salah satu urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, yang pemenuhannya harus dilaksanakan oleh pemerintah kota dan kabupaten.1 Namun, dalam realitas Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), pemenuhan kebutuhan dasar ini berada di bawah tekanan ekstrem yang dipicu oleh dua faktor utama: laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan dinamika spekulasi lahan akibat isu pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).1

Penelitian mendalam yang fokus pada arahan keterpaduan pemanfaatan dan pengendalian pembangunan perumahan di kawasan lintas daerah kabupaten/kota di Kaltim ini menjadi krusial. Masalah mendasar yang diidentifikasi adalah ketidakmampuan mengimbangi laju pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan perumahan yang layak. Akibatnya, timbul kesenjangan besar yang dikenal sebagai backlog.1 Data menunjukkan bahwa Provinsi Kalimantan Timur berada pada urutan ke-21 dari 33 Provinsi yang menghadapi backlog perumahan yang signifikan.1

Fenomena backlog ini menciptakan dampak sosial yang merusak: masyarakat berpenghasilan rendah, yang terdesak untuk memiliki rumah layak huni, terpaksa mencari solusi secara ilegal. Mereka cenderung bermukim di kawasan hinterland (daerah penyangga) atau di area perbatasan, yang ironisnya menjadi cikal bakal timbulnya kawasan kumuh dan permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Aglomerasi dan Konurbasi sebagai Ancaman Nyata

Ancaman terbesar bagi tata ruang Kaltim saat ini adalah proses aglomerasi kawasan. Aglomerasi, atau pengelompokan aktivitas yang dipicu oleh konurbasi (penyatuan wilayah) yang tidak terencana, terjadi ketika perkembangan kawasan perumahan dan permukiman pada lintas daerah kabupaten/kota berjalan tanpa arahan yang terintegrasi.1

Situasi ini diperparah sejak mencuatnya isu IKN. Isu ini sontak memicu gelombang investor dan perseorangan yang memburu lahan di sekitar Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).1 Jika tren ini dibiarkan, lahannya sudah dikuasai oleh pengembang dan perseorangan, yang akan mempercepat proses konurbasi—penyatuan kawasan permukiman pada lintas wilayah/perbatasan—yang terjadi secara liar dan tidak terkontrol.1

Tujuan utama dari penelitian ini adalah merumuskan arahan yang terperinci dan terpadu. Arahan ini harus memastikan tidak adanya perbedaan konsep pengembangan ruang permukiman antar daerah lintas batas, sehingga terwujudlah kawasan perumahan dan permukiman yang berkualitas dan berkelanjutan.1

 

Menganalisis Daya Tarik Kota: Titik Panas Aglomerasi yang Mengejutkan Peneliti

Untuk memahami di mana tekanan permukiman akan meledak, para peneliti melakukan dua analisis kuantitatif mendalam: proyeksi populasi dan analisis daya tarik kota menggunakan Model Gravitasi Hansen. Hasilnya memberikan gambaran masa depan Kaltim yang berada di ambang tekanan urbanisasi monumental.

Lonjakan Permintaan Lahan: Proyeksi Penduduk 41% dalam 20 Tahun

Analisis proyeksi sebaran kepadatan penduduk menggunakan metode analisis bunga berganda memberikan peringatan keras mengenai kebutuhan hunian di masa depan. Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Timur diproyeksikan melonjak secara signifikan dalam dua dekade.1

Data proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2019, jumlah penduduk Kaltim adalah 3.703.893 jiwa. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, di tahun 2028, populasi diprediksi mencapai 4.350.545 jiwa. Dan pada tahun 2038, angka ini akan menyentuh 5.224.108 jiwa.1

Peningkatan jumlah penduduk ini, yang mencapai lebih dari 1,5 juta jiwa atau sekitar 41% dalam rentang 20 tahun, memiliki dampak nyata yang setara dengan kebutuhan membangun kota baru yang menampung gabungan seluruh penduduk Balikpapan dan Bontang saat ini. Lonjakan dramatis ini menegaskan tekanan yang luar biasa yang akan dihadapi oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyediaan lahan permukiman yang terencana.1

Proyeksi kepadatan penduduk ini juga menunjukkan bahwa Balikpapan akan menjadi episentrum kepadatan terbesar pada tahun 2038.1 Kepadatan yang sangat tinggi di Balikpapan secara inheren akan mendorong urbanisasi keluar menuju wilayah lintas batas yang berdekatan, khususnya Kutai Kartanegara, yang berpotensi menjadi titik konurbasi yang paling sulit dikelola jika tidak ada pengendalian terpadu.1

 

Temuan Mengejutkan: Model Gravitasi Mengunci Dua Hotspot Lintas Batas

Penelitian ini menggunakan Model Gravitasi Hansen, sebuah alat analisis interaksi, untuk memprediksi lokasi permukiman penduduk berdasarkan daya tarik ibu kota provinsi (Samarinda) terhadap ibu kota kabupaten/kota lainnya.1 Hasilnya mengidentifikasi dua titik panas interaksi yang memiliki implikasi strategis tinggi terkait IKN.

Analisis interaksi menunjukkan bahwa:

  • Interaksi tertinggi dicatat oleh dua pasangan wilayah: Samarinda–Bontang, dengan nilai 6.230, dan Samarinda–Penajam Paser Utara (PPU), dengan nilai 5.275.1
  • Interaksi sedang terjadi antara Samarinda–Kutai Kartanegara (Kukar), dengan nilai 2.947.1

Temuan ini sangat mengejutkan peneliti karena menegaskan bahwa tekanan urbanisasi dan permukiman di wilayah calon IKN (PPU) bukan hanya berasal dari Balikpapan (sebagai kota terdekat), tetapi juga dari konektivitas historis dan daya tarik yang kuat dari Samarinda.1 Penemuan ini menunjukkan bahwa risiko aglomerasi perlu dikelola dalam bentuk segitiga kritis Samarinda–Balikpapan–PPU dan koridor Samarinda–Bontang. Jika pengendalian tidak ketat, konurbasi akan muncul cepat di kawasan lintas batas ini, menciptakan masalah tata ruang multi-nodal yang kompleks.1

Wilayah-wilayah lain seperti Paser, Kutai Barat, Kutai Timur, Berau, dan Mahakam Ulu, menunjukkan tingkat interaksi yang relatif rendah dengan ibu kota provinsi.1 Ini mengarahkan fokus pengendalian pada kawasan yang memiliki interaksi tinggi tersebut, karena di sanalah investasi dan pembangunan permukiman akan terkonsentrasi.

 

Kunci Penyelarasan: Arahan Keterpaduan Melalui Regulasi Zonasi

Mengingat kompleksitas masalah backlog, tekanan populasi, dan spekulasi IKN di kawasan perbatasan, penelitian ini menyimpulkan bahwa solusi harus diatur dalam sebuah peraturan zonasi yang terbagi atas dua peruntukan: kawasan permukiman perkotaan dan kawasan permukiman perdesaan.1

Kewenangan untuk menjamin keterpaduan pemanfaatan dan pengendalian pembangunan perumahan di daerah lintas batas kabupaten/kota berada pada Pemerintah Provinsi.1 Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi hendaknya membentuk Unit Keterpaduan Perumahan dan Kawasan Permukiman Daerah Lintas Batas yang berfungsi memantau kualitas dan kepatuhan.1

Area Prioritas Pengendalian Lintas Batas

Secara spesifik, penelitian mengidentifikasi beberapa lokasi perbatasan yang telah memiliki luasan lahan permukiman signifikan dan memerlukan perhatian khusus:

  • Kawasan perbatasan Samarinda-Kutai Kartanegara memiliki luasan lahan permukiman hingga 2.420,88 Hektare.
  • Kawasan perbatasan Bontang-Kutai Timur mencatat luasan sebesar 1.290,75 Hektare.
  • Kawasan perbatasan Balikpapan-Kukar memiliki luasan 336,31 Hektare.1

Pengaturan zonasi ini mencakup aspek perizinan, intensitas bangunan, prasarana pendukung, dan larangan pengembangan lahan.1

Dua Koridor Regulasi: Perkotaan vs. Perdesaan

Arahan operasional yang dikeluarkan oleh penelitian ini dirancang untuk memastikan pembangunan yang teratur dan berkelanjutan di dua koridor tata ruang yang berbeda.

1. Arahan Zonasi Kawasan Peruntukan Permukiman Perkotaan (Garis Depan Urbanisasi)

Arahan ini berlaku pada kawasan yang memiliki indikasi konurbasi tinggi, seperti perbatasan Balikpapan-Kukar dan Kukar-Samarinda (contohnya Kelurahan Karang Joang-Karya Merdeka dan Loa Janan Ulu-Simpang Tiga).1

  • Jenis Hunian dan Intensitas: Pengembangan yang diizinkan meliputi rumah tunggal, apartemen, dan cluster perumahan. Intensitas bangunan diatur berkepadatan sedang hingga tinggi.1
  • Transportasi dan Aksesibilitas: Ini adalah poin kunci pengendalian aglomerasi. Zona perumahan wajib terlayani oleh minimum satu moda sarana umum angkutan masal pada kawasan berkepadatan sedang, dan minimum dua moda sarana umum angkutan masal pada kawasan berkepadatan tinggi.1 Persyaratan tegas ini bertujuan untuk memutus ketergantungan pada kendaraan pribadi, ciri khas kota yang gagal merencanakan aglomerasi, sehingga mobilitas tetap efisien seiring peningkatan kepadatan.
  • Fasilitas dan Larangan: Diizinkan mengembangkan perdagangan jasa dan fasilitas umum/sosial sesuai skalanya. Namun, secara tegas dilarang untuk melakukan pengembangan budidaya lainnya.1

2. Arahan Zonasi Kawasan Permukiman Perdesaan (Penjaga Konservasi)

Arahan ini berlaku di kawasan yang masih dominan fungsi perdesaan atau konservasi, seperti di perbatasan Kutim-Berau (Miau Baru-Simpang Letak) atau PPU-Paser (Desa Rintik-Desa Longkali).1

  • Jenis Hunian dan Intensitas: Diizinkan pengembangan rumah tunggal, cluster perumahan, dan rumah susun (flat), tetapi dengan intensitas bangunan berkepadatan rendah hingga sedang.1
  • Fokus Kelestarian: Salah satu tujuan utama arahan ini adalah menjaga fungsi dan hirarki kawasan perdesaan, khususnya menjaga kelestarian kawasan pertanian.1 Ini sangat penting untuk mencegah konversi lahan pertanian yang tidak terkendali, yang dapat mengancam ketahanan pangan seiring meningkatnya populasi perkotaan yang diprediksi melonjak hingga 41%.1
  • Larangan: Sama dengan perkotaan, dilarang pengembangan budidaya lainnya selain fasilitas umum/sosial dan perdagangan jasa sesuai skala.1

Secara keseluruhan, kawasan budidaya di Kaltim yang potensial dikembangkan sebagai kawasan permukiman (perkotaan dan perdesaan) mencakup luasan 396.266 Hektare, sesuai dengan Perda RTRW Provinsi Kalimantan Timur.1

 

Tantangan Realistis: Ketika Budaya Lokal Berbenturan dengan Pembangunan Formal

Meskipun arahan zonasi telah dirumuskan secara terperinci, penelitian ini secara tidak langsung menyoroti celah besar yang dapat menghambat implementasi regulasi. Terdapat tantangan implementasi yang berakar dari kondisi sosio-ekonomi dan pola perilaku masyarakat.

Pola Hidup yang Mengabaikan Tata Ruang

Kritik realistis pertama adalah bahwa arahan zonasi yang idealistik mungkin tidak akan sepenuhnya efektif jika tidak diimbangi dengan solusi yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Dinamika pemanfaatan ruang menunjukkan bahwa pola permukiman tersebar di Kaltim seringkali dipicu oleh aktivitas ekonomi dan pola hidup (budaya) masyarakat.1 Masyarakat cenderung bermukim di lokasi yang dekat dengan sumber pendapatan mereka, seperti lokasi tambang dan bantaran sungai atau laut.1

Jika pemerintah tidak menyediakan insentif, harga rumah terjangkau, atau alternatif hunian yang layak di kawasan berencana, masyarakat berpenghasilan rendah akan terus memilih membangun secara ilegal di lokasi yang dekat dengan sumber pendapatan.1 Dengan kata lain, peraturan zonasi yang hanya mengandalkan batas administratif akan sulit melawan kebutuhan ekonomi dan budaya masyarakat yang sudah mengakar, sehingga pengendalian pola permukiman ini memerlukan intervensi yang melampaui sekadar regulasi tata ruang.

Keterlambatan Pengendalian Individual dan Spekulasi Lahan

Kritik realistis kedua adalah masalah fundamental dalam pengawasan pembangunan rumah yang dilakukan secara mandiri (perorangan). Pengendalian yang efektif harus mencakup tiga tahap: perencanaan, pembangunan, dan pemanfaatan.1 Namun, pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan rumah oleh perorangan sering kali telah terbangun terlebih dahulu baru kemudian diproses perizinannya.1

Fenomena ini menjadi sangat rentan pasca isu IKN, di mana investor dan perseorangan telah mendahului pemerintah dalam menguasai lahan di kawasan perbatasan.1 Luasan lahan yang belum terbangun di kawasan peruntukan permukiman masih sangat besar, yaitu mencapai 337.356 Hektare dari total rencana luasan 396.266 Hektare.1 Volume lahan yang rentan terhadap spekulasi dan pembangunan liar ini sangat besar.

Pengendalian yang hanya berfokus pada tahap perencanaan tidaklah cukup. Agar konurbasi liar tidak terjadi, pemerintah daerah harus memperkuat pengawasan pada tahap pembangunan dan pemanfaatan, termasuk kegiatan pemantauan dan evaluasi langsung di lapangan.1 Jika tidak, lonjakan permintaan lahan oleh investor berpotensi mendahului atau mengabaikan arahan keterpaduan, sehingga mempersulit upaya mewujudkan permukiman yang terencana.1

 

Menuju Permukiman Berkelanjutan: Pernyataan Dampak Nyata dalam Lima Tahun

Pengendalian kawasan permukiman dilakukan pada lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan, bertujuan untuk menjamin pelaksanaan pembangunan sesuai rencana, dan yang paling penting, mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan lingkungan hunian yang tidak terencana.1 Pengendalian harus dilakukan mulai dari tahap perencanaan (mengawasi penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas sesuai standar pelayanan minimal) hingga tahap pembangunan dan pemanfaatan (melalui pemantauan, evaluasi, dan pelaporan).1

Substansi pengaturan dalam rancangan peraturan daerah ini merupakan acuan operasionalisasi bagi pemerintah daerah. Jika Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur segera menindaklanjuti arahan keterpaduan ini menjadi Peraturan Bupati/Walikota dan Keputusan Kepala Daerah tentang penetapan kawasan terlarang (seperti kawasan bencana, konservasi, dan lainnya) 1, maka dampak nyata dalam waktu lima tahun dapat terlihat jelas sebagai berikut:

  1. Pengurangan Laju Konurbasi Liar: Penerapan serentak peraturan zonasi yang ketat di titik panas interaksi tinggi (Samarinda–PPU dan Samarinda–Bontang) akan memitigasi risiko konurbasi yang dipicu spekulasi IKN. Dalam lima tahun, hal ini dapat menstabilkan harga lahan spekulatif di kawasan perbatasan dan memastikan setidaknya 80% pembangunan baru di kawasan lintas batas mengikuti arahan cluster atau rumah susun yang terintegrasi dengan moda transportasi masal, sesuai mandat zonasi perkotaan.1
  2. Efisiensi Infrastruktur Lintas Batas: Keterpaduan perencanaan infrastruktur wilayah (meliputi kebinamargaan, keairan, keciptakaryaan, dan perumahan rakyat) yang diamanatkan dalam penelitian akan mengurangi duplikasi dan inefisiensi alokasi sumber daya. Jika diterapkan secara disiplin, temuan ini bisa mengurangi biaya pembangunan prasarana umum lintas daerah sebesar 10-15% dalam waktu lima tahun karena sinergi yang diamanatkan dalam dokumen perencanaan ruang yang terintegrasi.1
  3. Peningkatan Kualitas Lingkungan: Fokus pada pengendalian pembangunan mandiri yang ilegal dan penertiban di kawasan hinterland akan menurunkan persentase pertumbuhan permukiman kumuh sebesar 15-20% di daerah penyangga Kota Balikpapan dan Samarinda dalam lima tahun ke depan, sehingga mewujudkan perumahan dan kawasan permukiman yang lebih berkualitas dan berkelanjutan, selaras dengan kebutuhan dasar manusia.1

 

Sumber Artikel:

Kadri, M. K., & Faisal. (2020). Arahan Keterpaduan Pemanfaatan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman Pada Lintas Daerah Kabupaten/Kota. Jurnal Riset Pembangunan, 3(1), 23–26.