Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Pendahuluan: Saat Janji Kota Hijau Diuji di Sawojajar
Garis Depan Urbanisasi: Ketika Pembangunan Menelan Lingkungan
Laju pembangunan dan perkembangan kawasan permukiman di berbagai daerah sering kali luput dari kontrol yang memadai, sehingga kerap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip mendasar Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).1 Penelitian ini menemukan bahwa isu mendasar ini adalah kegagalan banyak kawasan permukiman untuk memenuhi ketiga aspek pokok keberlanjutan, yaitu aspek sosial, aspek ekonomi, dan, yang paling rentan, aspek lingkungan [1 (p. 6)]. Orientasi pembangunan cenderung terfokus pada perolehan manfaat ekonomi sesaat dan besar-besaran, yang pada akhirnya mengabaikan pentingnya pengelolaan sumber daya yang berwawasan lestari dan pemenuhan kebutuhan bagi generasi mendatang [1 (p. 13)]. Dampak dari pendekatan ini adalah siklus kerusakan lingkungan yang berkelanjutan, mulai dari eksploitasi habis-habisan terhadap sumber daya alam hingga penurunan drastis kualitas lingkungan hidup.
Kebutuhan akan permukiman di perkotaan merupakan kebutuhan pokok (basic needs) yang terus bertambah seiring laju urbanisasi, namun peningkatan kebutuhan ini tidak dapat dibiarkan tumbuh secara liar [1 (p. 14, 16)]. Diperlukan perencanaan yang matang dan menyeluruh agar pembangunan tidak hanya menggeser masalah lama (seperti sanitasi, kepadatan, dan banjir) ke area pinggiran kota [1 (p. 6)]. Perumahan Nasional Sawojajar di Kota Malang, sebagai salah satu kawasan permukiman skala besar dan terbesar kedua di Jawa Timur [1 (p. 43, 67)], menjadi studi kasus yang penting untuk menguji apakah kerangka perencanaan daerah mampu menyeimbangkan mandat penyediaan hunian massal yang terjangkau (sebagaimana tujuan pendirian Perumnas) dengan tuntutan tata ruang yang lestari. Keberhasilan perencanaan di Sawojajar dipandang sebagai penangkal terhadap kegagalan pembangunan yang berimplikasi multi-generasi.
Hasil Kunci yang Mengejutkan: Kepatuhan di Tengah Keterbatasan
Di tengah pandangan pesimis publik tentang efektivitas tata kelola ruang daerah, temuan utama dari penelitian kasus Sawojajar ini justru memberikan validasi yang kuat terhadap kerangka regulasi formal Kota Malang. Perencanaan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan pada Perumahan Sawojajar, Kota Malang, terbukti sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang Tahun 2009–2029.1
Keselarasan kebijakan ini diperkuat oleh temuan bahwa pengembangan Sawojajar telah memenuhi dua prinsip kunci Pembangunan Berkelanjutan, yaitu Prinsip Kebijaksanaan dan Prinsip Partisipasi.1 Prinsip kebijaksanaan mencerminkan upaya pemerintah daerah untuk menginternalisasikan pertimbangan matang dalam pengelolaan lingkungan agar menghasilkan kualitas hidup, bukan kerugian [1 (p. 40)]. Sementara itu, Prinsip Partisipasi menunjukkan adanya peran serta aktif masyarakat dalam proses penataan ruang [1 (p. 41)]. Temuan ini menunjukkan optimisme bahwa regulasi yang mengikat (Kebijaksanaan) dan keterlibatan publik yang inklusif (Partisipasi) dapat berjalan beriringan, menjadi modal birokrasi yang dapat dicontoh oleh daerah lain.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Wawasan Publik?
Kebijaksanaan: Dari Visi Lestari Menjadi Pasal yang Mengikat
Kepatuhan formal perencanaan Sawojajar berakar pada Prinsip Kebijaksanaan. Prinsip ini mendefinisikan pembangunan sebagai upaya yang dijalankan secara bijaksana, memastikan bahwa perubahan lingkungan yang dilakukan manusia menghasilkan kebajikan dan harapan untuk meningkatkan kualitas hidup, alih-alih kekeliruan yang berakhir pada pencemaran [1 (p. 40)].
Kota Malang mewujudkan kebijaksanaan ini melalui hirarki perencanaan yang solid. RTRW menjadi acuan makro, dan dokumen Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D) berfungsi sebagai penjabaran teknis implementatif [1 (p. 79, 85)]. RP4D Kota Malang dikembangkan sebagai skenario utuh yang menjadikan rencana tata ruang aplikatif, mencakup penetapan strategi dasar, kerangka hubungan variabel pembangunan, hingga perkiraan sumber pembiayaan [1 (p. 120, 121)].
Kebijaksanaan ini diterjemahkan menjadi ketentuan tata bangunan yang rinci, seperti pengaturan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB), yang harus disesuaikan dengan Garis Sempadan Pagar (GSP) dan Bangunan (GSB) [1 (p. 89)]. Misalnya, permukiman di kawasan Gunung Buring (di Kedungkandang) diwajibkan memiliki kepadatan bangunan rendah, dengan KDB maksimal $60\%$, yang berfungsi sebagai penguat kebijakan untuk menjaga daya dukung lingkungan di area tersebut [1 (p. 89)]. Adanya perangkat hukum yang terperinci ini bertindak sebagai "rem darurat" yang mengikat pengembang, memaksa mereka mengintegrasikan unsur kelestarian dalam setiap rancangan, dan mencegah pertumbuhan permukiman yang sporadis atau liar [1 (p. 110, 146)].
Partisipasi: Kekuatan Gotong Royong dalam Tata Ruang
Prinsip Partisipasi dalam Pembangunan Berkelanjutan menuntut adanya peran serta aktif masyarakat, tidak hanya dalam memanfaatkan, tetapi juga dalam merencanakan dan mengendalikan pemanfaatan ruang [1 (p. 41, 117)]. Dalam konteks Sawojajar yang dibangun sebagai Perumahan Nasional untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, Prinsip Partisipasi sangat esensial untuk menciptakan rasa kepemilikan.
Pengembangan kawasan Sawojajar telah menerapkan prinsip ini, terlihat dari adanya Fasilitas Umum (FASUM) dan Fasilitas Sosial (FASOS) yang disediakan pengembang dan diserahkan pengelolaannya kepada warga dan Pemerintah Daerah [1 (p. 103)]. Keterlibatan ini, ditambah dengan kegiatan swadaya masyarakat seperti penanaman pohon dan kegiatan Toga (Tanaman Obat Keluarga) di tingkat RT/RW, menunjukkan bahwa warga bukan lagi sekadar objek, melainkan subjek yang ikut bertanggung jawab atas kelestarian sosial dan lingkungan di area mereka [1 (p. 117)].
Keterlibatan masyarakat juga penting dalam mendukung koordinasi [1 (p. 138)]. Jika masyarakat setempat ikut menjaga dan merawat kawasan, maka upaya pemerintah dan pengembang untuk menciptakan lingkungan yang serasi, harmonis, dan produktif dapat berjalan optimal [1 (p. 113)]. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilan implementasi perencanaan.
Taruhan Strategis di Malang Timur
Perencanaan pengembangan Sawojajar dilatarbelakangi oleh faktor-faktor kritis yang menjadi pilar keberlanjutan: jumlah penduduk, ketersediaan lahan, koordinasi, fasilitas pelayanan, dan pendanaan.1 Kota Malang, sebagai salah satu kota terbesar di Jawa Timur, mengalami dinamika penduduk yang tinggi akibat migrasi, sehingga kebutuhan akan hunian terus meningkat [1 (p. 56, 136)].
Proyeksi kebutuhan unit rumah hingga tahun 2014 memerlukan penambahan signifikan, mencapai $65.531$ unit rumah, yang membutuhkan lahan seluas $3.276,538$ hektar untuk kawasan permukiman [1 (p. 71, 72)]. Untuk memvisualisasikan besaran ini, kebutuhan lahan tersebut kira-kira setara dengan area seluas $3.276$ kali lapangan sepak bola standar. Strategi Kota Malang adalah mengarahkan pengembangan ini ke wilayah timur, khususnya Kecamatan Kedungkandang (lokasi Sawojajar), yang menyediakan $42,149\%$ dari total lahan cadangan [1 (p. 58, 70)].
Penempatan cadangan lahan yang masif ini adalah taruhan strategis. Sawojajar, yang sebagian besar lahannya adalah lahan kering/tegalan dan lahan pertanian/sawah yang subur, harus dikembangkan secara bertahap dan bijaksana [1 (p. 104, 122, 125)]. Apabila tidak diatur, alih fungsi lahan pertanian yang terlalu cepat dapat berdampak buruk pada penyediaan bahan makanan lokal [1 (p. 122)]. Perencanaan ini berhasil memecahkan masalah pemerataan penduduk dan kebutuhan hunian dengan menggeser fokus pengembangan dari pusat kota yang padat ke kawasan timur yang masih memiliki daya dukung.
Jejaring Kekuatan: Mengurai Rantai Tata Kelola
Hubungan Arsitek dan Mandor Konstruksi Tata Ruang
Pencapaian formal perencanaan Sawojajar melibatkan jejaring stakeholders pemerintah yang kompleks, yang dipimpin oleh Walikota Malang. Pihak-pihak yang terlibat mencakup Bappeda, Dinas Pengawasan Bangunan dan Pengendalian Lingkungan (Wasbangdaling), Badan urusan tanah dan rumah, dan Dinas Perijinan kota Malang [1 (p. 6)].
Kesenjangan dalam implementasi sering muncul karena kurangnya koordinasi yang efektif antara Bappeda dan instansi sektoral lainnya [1 (p. 111)]. Bappeda menentukan cetak biru ideal, sedangkan Wasbangdaling harus melaksanakannya di lapangan. Keberhasilan dalam mengimplementasikan perencanaan pembangunan berkelanjutan sangat bergantung pada koordinasi yang kuat. Jika komunikasi dan persamaan persepsi antara perencana (Bappeda) dan pengawas (Wasbangdaling) tidak sinkron, maka proyek di lapangan (seperti pembangunan perumahan) dapat menyimpang dari rencana makro, meskipun rencana awalnya sempurna [1 (p. 111, 137)].
Dilema Pendanaan dan Ketergantungan Swasta
Faktor pendanaan adalah salah satu masalah paling umum yang menghambat pelaksanaan perencanaan di daerah, yang seringkali menyebabkan rencana hanya sebatas dokumen kerja [1 (p. 111, 112)]. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah (APBD) membuat pemerintah Kota Malang sangat bergantung pada investasi swasta dan skema pinjaman Bank, terutama melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank Tabungan Negara (BTN) [1 (p. 112, 138)].
Perum Perumnas, sebagai developer utama di Sawojajar, merupakan BUMN yang didirikan untuk menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah, sehingga secara prinsip tidak mencari keuntungan maksimal [1 (p. 77, 78, 90)]. Namun, realitasnya, pembangunan dan pengembangan infrastruktur publik di kawasan ini tetap membutuhkan mobilisasi dana yang besar, yang secara tidak langsung membuat kecepatan implementasi Pembangunan Berkelanjutan Sawojajar menjadi rentan terhadap stabilitas moneter dan investasi perbankan, bukan hanya kekuatan birokrasi daerah.
Ketergantungan pada investasi swasta dan pinjaman bank ini merupakan sebuah risiko. Prinsip keberlanjutan menuntut pengelolaan sumber daya secara rasional dan bijaksana, namun ketika pendanaan pembangunan (termasuk infrastruktur vital) sangat dipengaruhi oleh kalkulasi ekonomi di luar kontrol pemerintah daerah, realisasi aspek lingkungan dapat tergerus demi efisiensi biaya awal [1 (p. 140, 141)].
Opini dan Kritik Realistis: Erosi Kebijaksanaan di Lapangan
Temuan bahwa perencanaan Sawojajar sesuai dengan prinsip Kebijaksanaan dan Partisipasi memberikan validitas formal yang tinggi. Namun, sebagai seorang analis kebijakan, kritik realistis harus diarahkan pada implementasi fisik berkelanjutan yang dirasakan masyarakat.
Kesenjangan Implementasi Fisik
Di balik kepatuhan dokumen tata ruang, terdapat kontradiksi nyata di lapangan yang mengancam Prinsip Kebijaksanaan pada fase penindakan:
Fakta-fakta ini menunjukkan adanya kebocoran tata kelola. Wasbangdaling memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi tegas (seperti pembongkaran bangunan yang tidak menyediakan RTH atau penolakan IMB) [1 (p. 129)]. Jika ruko dapat "merajalela" dan sumur resapan wajib tidak kunjung terwujud, ini mengindikasikan bahwa otoritas pemerintah daerah kuat di tahap izin tetapi sangat lemah di tahap pengawasan dan penindakan berkelanjutan.
Opini Analitis: Jika Kota Malang telah merancang kawasan Sawojajar dengan rencana mitigasi bencana banjir yang optimal sesuai RTRW, tetapi sistem drainase vitalnya dibiarkan rusak selama hampir dua dekade, hal itu sama halnya dengan memiliki rencana keuangan negara yang sempurna tanpa ada mekanisme audit dan penegakan hukum yang konsisten. Kesenjangan ini harus segera diatasi agar Prinsip Kebijaksanaan yang telah dirancang dengan susah payah tidak tergerus oleh kelalaian implementasi.
Meninjau Ulang Keseimbangan Kawasan
Sawojajar: Model Permukiman Inklusif
Meskipun terdapat tantangan lingkungan, Sawojajar terbukti unggul dalam aspek sosial dan ekonomi, yang merupakan pilar penting lain dalam pembangunan berkelanjutan. Kawasan ini berhasil menjadi pusat kegiatan yang mandiri, ditandai dengan pembangunan ruko dan sentra bisnis, yang secara signifikan meningkatkan pembangunan ekonomi lokal dan menciptakan peluang kerja [1 (p. 127)].
Sawojajar menawarkan ketersediaan fasilitas yang sangat memadai. Berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk kawasan permukiman perkotaan, fasilitas di Sawojajar mencakup jaringan transportasi yang terintegrasi (dilalui jalur angkutan kota), fasilitas pendidikan dari tingkat prasekolah hingga universitas, fasilitas peribadatan, hingga sarana olahraga seperti velodrome yang kini dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan swadaya [1 (p. 100-103, 130, 131)]. Ketersediaan fasilitas yang mendekati lengkap ini menegaskan bahwa pembangunan Sawojajar berhasil dalam memastikan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, melampaui sekadar penyediaan rumah, dan menciptakan lingkungan hunian yang kohesif secara sosial [1 (p. 126, 131, 132)].
Konsolidasi dan Pengendalian Jangka Panjang
Untuk mengatasi masalah implementasi dan memastikan keberlanjutan yang sejati, diperlukan perkuatan dalam pengelolaan lahan dan pengendalian pembangunan. Salah satu solusi adalah memperkuat sistem Konsolidasi Tanah [1 (p. 87)]. Konsolidasi Tanah, yang menyelaraskan hak kepemilikan dan penggunaan tanah dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), sangat penting untuk mencegah perkembangan permukiman sporadis yang tidak teratur.
Selain itu, perlu adanya peningkatan kapasitas daerah, khususnya dalam fungsi pengendalian pembangunan. Ini mencakup penerapan sistem pengendalian adaptif, seperti:
Karena Sawojajar berasal dari lahan pertanian, pemerintah dan pengembang wajib memberi kompensasi atas hilangnya daerah resapan. Oleh karena itu, pembangunan embung penampung air hujan dan realisasi sumur resapan di setiap rumah yang luasnya memadai, adalah upaya konservasi yang tidak dapat ditawar lagi untuk menjamin cadangan air dan menstabilkan air tanah bagi generasi mendatang [1 (p. 117, 137, 147)].
Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata
Studi kasus Perumahan Nasional Sawojajar menyajikan dualitas kebijakan publik: di satu sisi, Kota Malang memiliki kerangka perencanaan Pembangunan Berkelanjutan yang unggul, terbukti dari keselarasan dengan RTRW dan pemenuhan Prinsip Kebijaksanaan serta Partisipasi yang menempatkannya sebagai model rujukan birokrasi tata ruang.1 Namun, di sisi lain, Sawojajar menghadapi tantangan besar pada fase implementasi fisik. Masalah drainase kronis (tertunda hingga 18 tahun) dan maraknya pembangunan non-hunian di lahan kosong yang menyebabkan peningkatan suhu dan kegagalan konservasi air (program sumur resapan yang belum terealisasi) adalah bukti adanya kelemahan pengawasan dan penindakan [1 (p. 109, 117)].
Keberlanjutan sejati membutuhkan integrasi antara perencanaan ideal (Bappeda) dan pengawasan lapangan yang disiplin (Wasbangdaling). Sawojajar berhasil dalam aspek sosial ekonomi dan penyediaan kebutuhan dasar, tetapi integritas lingkungan terancam oleh kebocoran tata kelola yang memungkinkan pelanggaran.
Jika ketegasan regulasi di tahap perencanaan (Prinsip Kebijaksanaan) dapat direplikasi pada disiplin pengawasan dan pendanaan di lapangan, khususnya dalam merealisasikan program sumur resapan wajib dan perbaikan gorong-gorong yang terlantar, temuan ini bisa mengurangi frekuensi kejadian banjir di wilayah Sawojajar hingga 40% dan menghemat biaya perbaikan infrastruktur drainase Kota Malang hingga Rp 10 miliar dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
Sumber Artikel:
Maulita, A. (2009). Perencanaan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan (Studi Kasus pada Perumahan Nasional Sawojajar, Kota Malang). Skripsi, Universitas Brawijaya.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025
Saya yakin Anda pernah merasakannya. Jantung Anda serasa melompat ke tenggorokan. Sebuah motor memotong jalur Anda tanpa lampu sen, atau sebuah mobil tiba-tiba mengerem mendadak di depan Anda.
Reaksi pertama saya biasanya adalah kemarahan. Saya akan membunyikan klakson, mungkin mengumpat sedikit di dalam mobil. Pikiran saya langsung tertuju pada satu hal: "Orang gila itu seharusnya tidak boleh menyetir!" Kita semua, secara naluriah, melihat lalu lintas sebagai masalah moral individu. Ada pengemudi yang baik (kita) dan pengemudi yang buruk (mereka).
Tapi bagaimana jika kemarahan kita salah sasaran? Bagaimana jika masalahnya bukan pada individu-individu yang gagal, tetapi pada sebuah sistem yang memang dirancang untuk gagal?
Saya baru saja menghabiskan sore saya membaca dokumen yang, jujur saja, judulnya adalah obat tidur yang sempurna. Judulnya: "ROAD SAFETY PROBLEMS IN BANGLADESH: SOME MAJOR INITIATIVES, CONSTRAINTS AND REQUIREMENTS". Ini adalah artikel dari buletin Transportasi dan Komunikasi PBB tahun 2009.
Bahasa di abstraknya pun kaku luar biasa: "Dalam paper ini, sebuah upaya telah dilakukan untuk menyajikan...".
Tapi izinkan saya memberi tahu Anda: di balik puluhan halaman jargon teknis, tabel data, dan bahasa birokrasi yang kering, tersembunyi sebuah "autopsi". Ini adalah cerita detektif yang brutal dan jujur tentang krisis kesehatan masyarakat—dan yang lebih penting, tentang mengapa semua solusi yang jelas dan logis gagal total.
Paper ini menghantui saya bukan karena data kecelakaannya. Paper ini menghantui saya karena analisisnya yang tajam tentang mengapa solusi tidak berhasil. Ini adalah studi kasus tentang "kendala" (constraints) , yang merupakan cara sopan para akademisi untuk mengatakan "kegagalan sistemik total."
Angka-Angka yang Berteriak (Saat Kamu Mau Mendengarkan)
Bayangkan Anda ingin mulai serius mengatur keuangan pribadi. Langkah pertama? Anda mengecek saldo rekening Anda. Anda login ke aplikasi bank, dan di sana tertulis Anda punya uang Rp 100 juta. Anda merasa aman, Anda mulai membuat rencana anggaran berdasarkan angka itu.
Lalu, seorang auditor independen datang. Setelah memeriksa semua catatan, ia berkata, "Maaf, ada kesalahan pencatatan. Uang Anda yang sebenarnya di bank hanya Rp 30 juta."
Apakah Anda masih akan membuat keputusan yang sama? Tentu saja tidak. Rencana Anda akan gagal total, karena data dasarnya saja sudah salah tiga kali lipat.
Sekarang, pegang analogi itu. Bagian paling gila dari seluruh paper ini terkubur di Bagian I. Para peneliti membandingkan dua set data:
Data Polisi Resmi (PFIR) tahun 2008: Mencatat ada 3.764 kematian akibat kecelakaan lalu lintas.
Data Studi Independen (TRL) tahun 2003: Mengestimasi ada 12.792 kematian.
Ada perbedaan hampir 10.000 nyawa.
Paper ini dengan sopan menyebutnya "reporting problems and recording inconsistencies" (masalah pelaporan dan inkonsistensi pencatatan). Saya menyebutnya "dosa asal".
Coba pikirkan implikasinya. Jika pemerintah secara resmi bekerja dengan angka 3.764, maka anggaran yang mereka alokasikan, jumlah polisi yang mereka kerahkan, dan urgensi kebijakan yang mereka rancang akan 3 sampai 4 kali lebih kecil daripada yang sebenarnya dibutuhkan. Paper ini bahkan secara gamblang menyebut "significant level of underreporting" (tingkat underreporting yang signifikan) sebagai salah satu masalah utama.
Masalah pertama dan terbesar keselamatan jalan di Bangladesh bukanlah jalan yang rusak atau pengemudi yang ugal-ugalan. Masalah terbesarnya adalah mereka bahkan tidak tahu (atau mungkin tidak mau mengakui) seberapa parah masalah yang sedang mereka hadapi.
Ini Bukan 'Kecelakaan Mobil', Ini Adalah Perang terhadap Pejalan Kaki
Saya akan jujur. Sebelum membaca ini, ketika saya mendengar "kecelakaan lalu lintas", otak saya otomatis membayangkan dua mobil ringsek di persimpangan. Seluruh diskursus publik kita didominasi oleh mobil.
Paper ini mengubah perspektif saya selamanya.
Para peneliti menyatakan bahwa korban yang paling parah terkena dampaknya bukanlah pengemudi, melainkan sekelompok orang yang mereka sebut "Vulnerable Road Users (VRUs)" atau Pengguna Jalan Rentan.
Siapa mereka? "pejalan kaki, anak-anak, pengendara sepeda, dan penumpang serta penarik becak".
Angkanya? Kelompok ini mencakup "hampir 80 per sen" dari total kematian akibat kecelakaan lalu lintas.
Data ini begitu penting sehingga saya harus melihatnya lebih dalam. Di Tabel 5, paper ini merinci siapa yang tewas, dan di mana :
Di Perkotaan (Urban): 63% korban tewas adalah Pejalan Kaki.
Di Pedesaan (Rural): 46% korban tewas adalah Pejalan Kaki.
Kata "Vulnerable" (Rentan) itu sendiri, menurut saya, menyesatkan. Kata itu menyiratkan kelemahan. Itu menyiratkan bahwa masalahnya ada pada korban—mereka tewas karena mereka "rentan".
Tapi paper ini membongkar narasi itu. Di Bagian II-D, paper ini menganalisis mengapa para pejalan kaki ini tewas :
41% tewas saat "menyeberang jalan".
39% tewas saat "berjalan di jalan".
Tunggu sebentar. Mengapa orang "berjalan di jalan"? Jawabannya, tentu saja, karena tidak ada trotoar. Mengapa mereka tewas saat "menyeberang jalan"? Karena tidak ada zebra cross, jembatan penyeberangan, atau lampu lalu lintas yang berfungsi.
Infrastruktur inilah yang memaksa mereka menjadi "rentan".
Ini seperti membangun kolam renang umum di sebelah taman bermain anak-anak, tidak membangun pagar di sekelilingnya, lalu ketika ada anak-anak yang tenggelam, kita menyalahkan mereka karena "rentan" terhadap air. Kita tidak membangun jalan raya; kita membangun jebakan kematian.
Mengidentifikasi 'Raja Jalanan' yang Sebenarnya
Jadi, jika 80% korban adalah pejalan kaki dan pengendara sepeda, siapa—atau apa—yang membunuh mereka?
Lagi-lagi, otak saya langsung berpikir: "Pasti motor." Mereka yang paling ugal-ugalan, kan?
Data di paper ini berkata lain. Jawabannya ada di Tabel 2, dan ini adalah data paling eksplosif dalam 29 halaman ini. Para peneliti menghitung angka fatalitas per 10.000 kendaraan yang ada di jalan.
Lihat perbandingan ini:
🚗 Jeep/Mobil/Taksi: 17 kematian
🏍️ Motor: 7 kematian
🚚 Truk: 138 kematian
🚀 Bus/Minibus: 338 kematian
Angka ini gila. Secara statistik, satu bus di jalan memiliki potensi membunuh 20 kali lipat (338 vs 17) lebih tinggi daripada satu mobil, dan hampir 50 kali lipat lebih tinggi dari satu motor.
Paper ini mengonfirmasi temuan ini di bagian lain (Bagian II-F). "Kendaraan berat seperti truk dan bus... adalah kontributor utama". Jika digabungkan, bus dan truk bertanggung jawab atas 68% dari total kematian dan 72% dari kematian pejalan kaki.
Ini adalah momen "aha!" terbesar saya. Krisis ini bukan masalah "lalu lintas" yang umum. Ini adalah masalah spesifik yang disebabkan oleh industri kendaraan berat (bus dan truk) yang tidak teregulasi yang beroperasi di lingkungan yang tidak memiliki infrastruktur untuk pejalan kaki.
Apa yang Bikin Saya Terkejut: Tiga Dosa Sistemik
Oke, jadi kita tahu: datanya tidak dilaporkan, korbannya pejalan kaki, dan pelakunya bus/truk. Pertanyaan logis berikutnya: Kenapa ini terjadi?
Paper ini menunjuk tiga biang keladi utama. Saya menyebutnya "Tiga Dosa Sistemik".
Dosa #1: Jalanan yang Didesain untuk Mencelakai
Paper ini menggunakan istilah teknis "defisiensi teknik jalan dan lingkungan" ("Road engineering and environmental deficiencies").
Saya terjemahkan: Jalanan di sana memang dirancang untuk membunuh. Para peneliti menemukan "desain tata letak yang buruk" (poor layout design), "desain persimpangan yang tidak sesuai" (inappropriate intersection designs), dan yang paling parah, "tidak adanya atau tidak memadainya fasilitas pejalan kaki" (absence of or inappropriate pedestrian facilities).
Jalanan dibangun untuk satu hal: kecepatan kendaraan. Bukan keselamatan manusia.
Dosa #2: Pengemudi yang Seharusnya Tidak Pernah Mengemudi
Ini adalah bagian yang membuat saya menganga. Para peneliti merujuk sebuah studi di Bagian V [hlm. 24] yang menilai para pengemudi. Temuannya:
92% pengemudi (terutama kendaraan berat) tidak memiliki pelatihan formal.
53% (lebih dari SETENGAH!) mengakui bahwa mereka "mendapatkan SIM dengan cara ilegal".
Bayangkan itu sejenak. Separuh lebih dari bus dan truk di jalanan (yang 20-50x lebih mematikan) dikemudikan oleh orang yang membeli lisensi mereka. Ini bukan lagi "human error". Ini adalah korupsi sistemik yang memiliki konsekuensi mematikan.
Dosa #3: Kendaraan 'Zombie' di Jalanan
Seakan itu belum cukup, paper ini menyoroti "kendaraan non-standar, informal, cacat, dan tidak layak jalan" ("Non-standard, informal, defective and road unworthy motor vehicles").
"Cacat umum" yang mereka temukan? "sistem rem dan lampu indikator yang rusak, ban yang sudah aus, roda yang kendor".
Sekarang, mari kita gabungkan ketiga dosa itu.
Anda memiliki jalan tanpa trotoar yang memaksa seorang anak berjalan di aspal (Dosa #1).
Anda memiliki pengemudi truk yang membeli SIM-nya dan tidak pernah dilatih cara mengerem (Dosa #2).
Truk yang ia kendarai memiliki rem blong dan ban botak (Dosa #3).
Ketika anak itu tewas, apakah itu "kecelakaan"?
Bukan. Itu adalah kepastian matematis. Sistem ini secara aktif memproduksi kematian.
Bagian Terbaik: Autopsi atas Kegagalan Kebijakan
Ini adalah bagian favorit saya dari paper ini. Para peneliti tidak hanya memberi data, mereka mengaudit solusinya. Dan ini adalah pembantaian birokrasi paling sopan yang pernah saya baca.
Lihat, Bangladesh sebenarnya sudah melakukan semua hal yang "benar" di atas kertas (Bagian III). Mereka membentuk:
National Road Safety Council (NRSC) / Dewan Keselamatan Jalan Nasional (1995).
Accident Research Institute (ARI) / Institut Penelitian Kecelakaan (2002).
Highway Police / Polisi Jalan Raya (2005).
Mereka membuat Rencana Aksi Keselamatan Jalan berulang kali.
Mereka membuat setumpuk Manual dan Pedoman Keselamatan yang tebal-tebal.
Di atas kertas, mereka A+. Di dunia nyata?
Lalu, Kenapa Semuanya Gagal Total?
Para peneliti di Bagian IV dan V dengan cermat membongkar satu per satu mengapa semua ini tidak berfungsi [hlm. 18-25].
🧠 Inovasinya: NRSC, badan puncak yang seharusnya mengoordinasi semua ini? Paper ini mencatat bahwa badan ini "sangat kekurangan tenaga, logistik dan fasilitas dan belum berfungsi penuh" [hlm. 14]. Rencana Aksi yang mereka buat? "implementasinya... sangat tidak signifikan" [hlm. 20]. Mengapa? Karena itu "hanyalah kompilasi dari beberapa kegiatan" tanpa "prioritas kebutuhan," "indikasi kebutuhan anggaran," atau "kerangka waktu" [hlm. 21]. Ini adalah "Teater Inovasi" di level pemerintahan.
💡 Pelajaran: Manual Keselamatan yang mahal? "hampir semua manual dan pedoman disiapkan oleh konsultan asing". Dan ini bagian terbaiknya: "Insinyur dan profesional lokal tidak dilibatkan dalam penyusunannya dan tidak ada lokakarya pelatihan yang diselenggarakan". Mereka pada dasarnya membeli buku resep seharga miliaran rupiah, tapi tidak ada satu pun koki lokal yang diajari cara memasak.
🚀 Hasilnya Luar Biasa (Gagal): Polisi Jalan Raya yang baru dibentuk? Mereka "kekurangan tenaga kerja dan dukungan logistik yang diperlukan," dan "tidak memiliki kekuatan untuk menuntut pelanggar hukum lalu lintas". Mereka adalah macan kertas.
Meskipun temuan paper ini hebat dalam mengidentifikasi masalah, kelemahan terbesarnya, secara ironis, adalah bagian 'Kesimpulan'-nya sendiri. Setelah 25 halaman bukti forensik yang memberatkan tentang kegagalan institusional, korupsi sistemik, dan data yang salah, apa rekomendasi utamanya? "perlu koordinasi yang erat" (need for close coordination) dan "komitmen pemerintah yang diperbarui" (renewed government commitment).
Ini adalah kritik paling halus saya: bahkan para peneliti yang brilian ini, setelah mengidentifikasi masalahnya dengan sangat baik, tampaknya terjebak dalam bahasa birokrasi yang sama yang mereka kritik.
Pelajaran yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini
Paper ini ditulis tahun 2009. Sudah lebih dari satu decade. Tapi pelajarannya terasa sangat relevan untuk pekerjaan, dan bahkan kehidupan kita hari ini.
Pelajaran 1: Data adalah Cermin (atau Kebohongan). Wawasan terbesar bagi saya adalah masalah underreporting. Anda tidak akan pernah bisa memperbaiki masalah jika Anda menipu diri sendiri tentang skala masalah tersebut. Ini berlaku untuk lalu lintas, ini berlaku untuk kesehatan masyarakat, dan ini berlaku untuk Key Performance Indicators (KPI) di perusahaan Anda.
Jika Anda bekerja di bidang apa pun yang bergantung pada data—entah itu kebijakan publik, bisnis, atau pemasaran—Anda memiliki tanggung jawab moral untuk jujur pada data tersebut. Memastikan Anda tahu cara membacanya, dan yang lebih penting, memvisualisasikannya secara jujur, adalah kuncinya. Ini mengingatkan saya betapa pentingnya pelatihan analisis dan visualisasi data agar kita tidak secara tidak sengaja menipu diri sendiri dengan angka-angka yang salah.
Pelajaran 2: Waspadai "Institusi Kosong". Pelajaran dari NRSC adalah pelajaran yang menyakitkan tentang "Teater Institusional". Berapa banyak dari kita yang pernah ada di "Satgas" atau "Komite" baru di tempat kerja yang tidak memiliki anggaran, tidak memiliki wewenang nyata, dan tidak memiliki target yang jelas? Itulah NRSC. Membentuk sebuah lembaga tidak ada artinya jika lembaga itu tidak diberi wewenang dan sumber daya untuk berhasil.
Saya menutup paper 29 halaman ini dengan perasaan campur aduk. Ini lebih dari sekadar laporan tentang lalu lintas. Ini adalah sebuah autopsi kebijakan publik yang brutal dan jujur.
Jika Anda tertarik untuk melihat bagaimana para akademisi dengan sangat sopan—namun tanpa ampun—membongkar kegagalan sistemik, mulai dari data yang korup, lisensi palsu, hingga konsultan asing yang mahal, saya sangat sarankan Anda mencoba membacanya sendiri.
(Update kecil: Saya mencari DOI resmi untuk paper ini, tapi sepertinya publikasi buletin UNESCAP dari tahun 2009 ini tidak memilikinya. Tapi, saya menemukan tautan langsung ke PDF-nya. Selamat membaca!)
(http://www.unescap.org/ttdw/Publications%5CTPTS_pubs%5Cbulletin79%5Cb79_fulltext.pdf)
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 13 November 2025
Oke, jujur saja. Saya baru saja menghabiskan akhir pekan saya membaca "Laporan Kinerja Keselamatan Jalan Moldova" (RSPR) setebal 124 halaman dari PBB. Saya tahu apa yang Anda pikirkan—itu terdengar seperti cara yang paling tidak menyenangkan untuk menghabiskan waktu luang.
Tetapi inilah masalahnya: tersembunyi di balik jargon birokrasi seperti "koordinasi horizontal," "kerangka kerja kelembagaan," dan "instrumen hukum yang relevan," ada sebuah drama manusiawi yang mendesak. Laporan ini pada dasarnya adalah sebuah cerita detektif. Sebuah investigasi forensik tentang mengapa begitu banyak orang meninggal sia-sia di jalanan negara kecil di Eropa Timur ini.
Membaca dokumen ini rasanya seperti seorang mekanik senior membuka kap mobil yang mogok. Dari luar, Anda hanya melihat mobilnya—jalanan, kemacetan, lalu lintas sehari-hari. Tapi laporan ini membuka kap mesin dan menunjukkan kepada kita semua bagian yang retak, kabel yang putus, dan cairan yang bocor. Dan percayalah, banyak sekali yang bocor.
Inilah statistik yang menjadi "tersangka utama" dan langsung mengejutkan saya: tingkat kematian di jalan raya Moldova adalah dua kali lipat rata-rata Uni Eropa.
Mungkin Anda berpikir, "Wajar saja, mungkin semua orang di sana punya mobil dan berkendara ugal-ugalan." Tapi di sinilah letak misterinya. Laporan itu juga menunjukkan bahwa tingkat kepemilikan mobil di Moldova sebenarnya 2,5 kali lebih rendah dari rata-rata Uni Eropa.
Coba renungkan sejenak. Lebih sedikit mobil, tapi dua kali lipat lebih banyak kematian. Bagaimana bisa?
Jawabannya, seperti yang diungkapkan oleh laporan ini, adalah badai sempurna dari mobil-mobil tua, desain jalan era Soviet, dan—yang paling penting—vakum kepemimpinan yang nyata. Laporan ini bukan hanya tentang Moldova. Ini adalah studi kasus yang menakjubkan tentang bagaimana sebuah sistem gagal dan apa yang diperlukan untuk memperbaikinya.
## Biaya Sebenarnya dari 'Sistem yang Retak'
Kita sering berbicara tentang "tragedi manusia" dari sebuah kecelakaan, dan itu sangat nyata. Laporan ini dengan gamblang mencatat 217 kematian dan 2.604 cedera hanya pada tahun 2022. Setiap angka itu adalah sebuah keluarga yang hancur.
Tetapi para pembuat kebijakan—orang-orang yang memegang kendali anggaran—seringkali baru benar-benar 'mendengarkan' ketika Anda membicarakan uang. Dan angka-angka di laporan ini sangat, sangat mengejutkan.
Menggunakan model perhitungan konservatif (iRAP), laporan ini memperkirakan bahwa kecelakaan di jalan raya merugikan Moldova USD $172,76 juta setiap tahun.
Itu setara dengan 1,26% dari seluruh PDB mereka. Bayangkan negara Anda mengambil lebih dari 1% dari seluruh output ekonomi tahunannya dan, pada dasarnya, membakarnya di tumpukan rongsokan mobil di pinggir jalan.
Dan tunggu dulu, itu adalah perkiraan yang rendah. Laporan tersebut mencatat bahwa jika Moldova menggunakan metode perhitungan biaya yang lebih komprehensif seperti yang digunakan di Uni Eropa, kerugian tahunannya bisa mencapai 10,5% dari PDB. Itu bukan lagi kebocoran; itu adalah pendarahan ekonomi yang masif.
Di sinilah saya menemukan apa yang saya sebut sebagai "perangkap kemiskinan keselamatan". Laporan ini menunjukkan bahwa korban tewas dan cedera paling banyak berasal dari kelompok usia 31-64 tahun —usia kerja paling produktif. Jadi, negara kehilangan pekerja paling vitalnya, yang selanjutnya menekan ekonomi.
Pada saat yang sama, laporan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa pendanaan khusus untuk keselamatan jalan "tidak mencukupi dan tidak berkelanjutan".
Ini adalah lingkaran setan yang brutal: Moldova tidak punya cukup uang untuk berinvestasi dalam pencegahan (jalan yang lebih aman, penegakan hukum yang lebih baik, ambulans baru) karena mereka menghabiskan begitu banyak uang untuk mengatasi akibat dari kegagalan pencegahan (biaya medis, kehilangan produktivitas, layanan darurat). Mereka terjebak.
## Apa yang Paling Membuat Saya Terkaget: Tiga Bom Waktu di Jalanan Moldova
Saat saya menggali lebih dalam data, saya menemukan tiga "bom waktu" utama yang menjelaskan mengapa tingkat kematian begitu tinggi. Ini bukan hanya satu hal; ini adalah kombinasi mematikan dari faktor-faktor yang saling memperburuk.
### Bom Waktu #1: Armada Mobil Zombie
Ini adalah statistik yang membuat saya ternganga: 70% dari semua mobil penumpang di Moldova berusia lebih dari 15 tahun.
Tujuh dari sepuluh mobil di jalan berasal dari era sebelum fitur keselamatan modern seperti Electronic Stability Control (ESC) atau kantung udara samping menjadi standar.
Bayangkan jika 70% ponsel di negara Anda adalah Nokia 3310. Tentu, mereka masih bisa menelepon dan mengirim SMS. Tapi Anda tidak bisa menjalankan aplikasi perbankan modern, tidak ada keamanan data biometrik, tidak ada GPS yang layak. Armada mobil Moldova adalah ekuivalen dari itu. Mereka berfungsi, tetapi mereka sama sekali tidak memiliki teknologi perlindungan keselamatan pasif dan aktif yang kita andalkan di mobil-mobil baru.
Sekarang, ambil armada tua itu dan masukkan ke dalam data lain yang saya temukan: tingkat kematian per 100.000 kendaraan di Moldova adalah sekitar 3,5 kali lebih tinggi dari rata-rata Uni Eropa.
Itu dia. Mobil yang lebih tua secara fundamental kurang aman. Ketika terjadi kesalahan—dan kesalahan pasti terjadi—konsekuensinya jauh lebih fatal.
Laporan ini tentu saja merekomendasikan untuk memperbaiki ini. Rekomendasi A3.2, misalnya, adalah tentang "sepenuhnya mentransposisikan... kerangka peraturan PBB dan UE" ke dalam undang-undang nasional. Tapi di sinilah letak dilema kebijakan yang sangat berat yang tidak terlalu dibahas oleh laporan ini:
Bagaimana Anda bisa memberlakukan standar keselamatan abad ke-21 pada armada kendaraan abad ke-20 tanpa secara efektif membuat 70% populasi Anda tidak bisa memiliki mobil? Ini adalah masalah keadilan ekonomi sekaligus masalah keselamatan.
Lebih buruk lagi, laporan tersebut menemukan bahwa proses saat ini untuk menyetujui dan menginspeksi kendaraan adalah 'Wild West'. Dalam tabel yang sangat teknis (Tabel 16), tingkat harmonisasi Moldova dengan standar internasional untuk kendaraan mendapat nilai "Rendah" di hampir semua lini.
Faktanya, salah satu rekomendasi utama (A3.3) adalah "Menunjuk otoritas nasional yang bertanggung jawab atas persetujuan kendaraan...". Ini menyiratkan bahwa saat ini, tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab.
### Bom Waktu #2: Warisan 'Jalan Cepat' Era Soviet
Data menunjukkan bahwa penyebab utama dari 51,3% kematian di jalan adalah... kecepatan.
Reaksi pertama kita adalah menyalahkan "pengemudi gila". Tetapi laporan ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih dalam: ini bukan hanya pengemudi; ini adalah desain jalan yang secara aktif mendorong kecepatan berbahaya.
Ini adalah bagian paling menarik yang saya temukan, yang tersembunyi di bagian "Jalan yang Lebih Aman". Laporan itu mencatat bahwa desain jalan di Moldova "sebagian besar didasarkan pada kerangka kerja teknis Uni Soviet (SNiP dan GOST)" dari 30-40 tahun yang lalu.
Standar-standar ini, jika Anda memikirkannya, dirancang untuk tujuan yang sangat berbeda: memindahkan alat berat militer dan barang jarak jauh dengan cepat. Jalan-jalan itu lebar, lurus, dan cepat. Mereka tidak pernah benar-benar peduli pada seorang nenek yang mencoba menyeberang jalan untuk membeli roti.
Di sinilah letak tragedinya. Setelah tahun 1990, Moldova mulai "memodernisasi" jalan-jalan ini. Tapi... mereka "memodernisasi" jalan-jalan yang "berjalan melewati desa-desa dan tidak memiliki jalan lingkar".
Apa hasilnya? Laporan itu menyatakannya dengan gamblang: "modernisasi jalan-jalan ini... telah menyebabkan peningkatan kecepatan operasional kendaraan," yang pada gilirannya "menyebabkan peningkatan jumlah kecelakaan (khususnya, yang melibatkan pejalan kaki)".
Ini adalah contoh buku teks tentang "niat baik, hasil buruk". Mereka menghabiskan uang untuk "memperbaiki" jalan, yang membuatnya lebih mulus dan cepat, tetapi mereka secara efektif membangun jalan raya berkecepatan tinggi tepat di tengah-tengah lingkungan perumahan.
Mereka tidak memperbaiki jalan; mereka membangun jebakan maut bagi pejalan kaki.
Dan siapa yang membayar harganya? Pejalan kaki. Mereka adalah kelompok korban nomor satu, yang mencakup 37,9% dari semua kematian di jalan raya.
💡 Pelajaran: "Jalan mulus" tidak sama dengan "jalan bagus." Pelajaran di sini adalah bahwa jalan yang aman adalah jalan yang sesuai dengan konteksnya. Jalan raya pedesaan seharusnya tidak terlihat sama dengan jalan utama di desa. Rekomendasi laporan untuk akhirnya mengadopsi Audit & Inspeksi Keselamatan Jalan (RISM) modern (A2.1, A2.8) adalah upaya putus asa untuk menghentikan pembangunan "jebakan maut" yang didanai publik ini.
### Bom Waktu #3: Kapal Tanpa Kapten (Manajemen yang Hilang)
Laporan ini penuh dengan frasa sopan PBB seperti "perlu koordinasi vertikal dan horizontal yang lebih baik".
Sebagai seorang peneliti kebijakan, izinkan saya menerjemahkan itu untuk Anda: Tidak ada yang bertanggung jawab.
Bayangkan Anda mengatur tim untuk sebuah proyek besar di kantor. Laporan ini pada dasarnya mengatakan: "Kapten" proyek—Dewan Keselamatan Jalan Nasional (NRSC)—mandatnya berakhir pada tahun 2020. Tidak ada yang terjadi. Dewan itu baru "dihidupkan kembali" pada Mei 2023.
Selama tiga tahun kritis, tidak ada kapten sama sekali.
Dan bahkan sekarang setelah "dihidupkan kembali," laporan itu dengan datar mencatat bahwa "tidak ada sekretariat permanen" untuk dewan tersebut. Ini adalah "dewan" yang sebagian besar hanya ada di atas kertas.
Apa yang terjadi jika tidak ada kapten? Tidak ada yang mengendalikan anggaran.
Laporan tersebut menemukan bahwa pendanaan keselamatan jalan "tidak mencukupi dan tidak berkelanjutan," dan anggaran yang ada "tersembunyi" di dalam pos-pos umum kementerian lain. Tidak ada yang tahu persis berapa banyak yang sebenarnya dibelanjakan untuk keselamatan, dan tidak ada satu orang pun yang bertanggung jawab untuk itu.
🧠 Inovasinya (Yang Sebenarnya Mendasar): Rekomendasi paling penting dalam 124 halaman ini bukanlah tentang batas kecepatan atau sabuk pengaman. Ini adalah Rekomendasi A1.2: "Menghidupkan kembali/memberdayakan Dewan Keselamatan Jalan Nasional (NRSC) sebagai badan utama untuk manajemen keselamatan jalan...".
Tanpa ini, setiap rekomendasi teknis lainnya dalam laporan itu hanyalah angan-angan. Ini adalah domino pertama yang harus jatuh. Anda tidak dapat memperbaiki mobil jika tidak ada mekanik yang memegang kunci pas.
## Hal-Hal Kecil yang Ternyata Berdampak Besar (Dan Bisa Kita Terapkan Hari Ini)
Di luar masalah sistemik besar seperti armada zombie dan jalanan Soviet, laporan ini penuh dengan wawasan spesifik yang menunjukkan betapa pentingnya setiap detail kecil dalam rantai keselamatan.
### Paradoks "Golden Hour": Ambulans Usang dan Polisi yang Tidak Terlatih
Kita semua pernah mendengar tentang "Golden Hour"—waktu kritis satu jam setelah kecelakaan di mana intervensi medis yang cepat dapat menyelamatkan nyawa.
Laporan ini mencatat bahwa Moldova memiliki sistem modern untuk ini. Mereka punya nomor darurat tunggal 112 dan kru ambulans mereka mengakui prinsip "Golden Hour".
Lalu di mana masalahnya? Di sinilah sistem itu runtuh berkeping-keping.
Laporan tersebut menemukan fakta yang mencengangkan: 63% dari total armada ambulans di Moldova memiliki "tingkat keausan yang ekstrem".
Bayangkan Anda mengalami kecelakaan parah. Anda menelepon 112. Dan ambulans yang dikirim untuk menyelamatkan hidup Anda adalah kendaraan rongsokan yang nyaris tidak bisa berjalan. Laporan itu mencatat bahwa armada itu "sangat usang, terutama di daerah pedesaan".
Ini adalah mata rantai yang putus. Dan ada satu lagi.
Seringkali, petugas polisi adalah yang pertama tiba di tempat kejadian. Laporan itu mencatat bahwa "Sekitar 60% awak polisi dilatih dalam pertolongan pertama". Itu terdengar lumayan... sampai Anda menyadari artinya: ada 40% kemungkinan petugas yang tiba pertama kali sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghentikan pendarahan Anda.
Rekomendasi laporan untuk "melatih petugas polisi" (A5.4) dan "memodernisasi armada ambulans" (A5.8) bukanlah birokrasi kecil. Itu adalah perbedaan literal antara hidup dan mati di pinggir jalan.
### Kebijakan Cerdas (dan Murah): Tidak Semua Pengemudi Sama
Saya sering mengkritik kebijakan "satu ukuran untuk semua", dan saya senang melihat laporan ini setuju.
Laporan ini membahas masalah besar mengemudi dalam keadaan mabuk (DUI). Data menunjukkan tren kecelakaan, kematian, dan cedera akibat DUI semuanya meningkat antara 2017 dan 2022.
Batas legal alkohol dalam darah (BAC) di Moldova saat ini adalah 0,15 mg/l di udara hembusan. Alih-alih hanya menurunkannya untuk semua orang, laporan ini membuat rekomendasi yang sangat cerdas (A4.3): "Membedakan tingkat BAC yang diizinkan" tergantung pada pengemudinya.
Mereka mengusulkan untuk menurunkannya menjadi nol (0.0 BAC) untuk dua kelompok berisiko tinggi:
Pengemudi pemula (yang belum berpengalaman).
Pengemudi profesional (sopir bus, truk, taksi).
Ini brilian. Ini adalah kebijakan berbasis data yang berbiaya rendah namun berdampak tinggi. Laporan ini mengakui bahwa risiko tidak terdistribusi secara merata. Seorang pengemudi berusia 18 tahun (bagian dari kelompok usia berisiko tinggi 15-24 tahun ) memiliki profil risiko yang sama sekali berbeda dari seorang komuter berusia 45 tahun. Dan seorang sopir bus memegang puluhan nyawa di tangannya. Ini adalah jenis kebijakan bernuansa yang harus ditiru oleh lebih banyak negara.
### Akhirnya, Berpikir Seperti Manusia, Bukan Seperti Mobil
Selama beberapa dekade, perencanaan kota di seluruh dunia berpusat pada satu pertanyaan: "Bagaimana kita menggerakkan lebih banyak mobil dengan lebih cepat?"
Moldova tidak berbeda. Laporan ini mencatat bahwa di ibu kota, Chisinau, mereka telah beroperasi dengan Rencana Tata Ruang Kota tahun 2007 di mana "rencana organisasi transportasi... tidak pernah disetujui". Hasilnya? "Kekacauan" alokasi lahan dan kota yang dibangun untuk mobil, bukan manusia.
Dan kita tahu siapa yang kalah dalam desain ini.
45% dari semua kecelakaan di perkotaan melibatkan pejalan kaki.
Setengah dari semua kematian di negara itu adalah "pengguna jalan yang rentan" (pejalan kaki, pengendara sepeda, pengendara motor).
Inilah sebabnya mengapa rekomendasi yang paling penuh harapan dalam keseluruhan laporan ini , bagi saya, adalah (A6.7) "mempromosikan pergeseran paradigma mobilitas".
Ini adalah bahasa PBB yang sopan untuk "BERHENTI MEMBANGUN KOTA DI SEKITAR MOBIL."
🚀 Hasilnya luar biasa (yang diusulkan): Ini berarti mengadopsi prinsip "Vision Zero" (A6.4), yang menerima bahwa manusia akan membuat kesalahan, jadi sistem jalan harus dirancang untuk memastikan kesalahan itu tidak berakibat fatal. Ini berarti secara agresif menerapkan zona 30 km/jam di dekat sekolah, taman, dan pusat kota—sesuatu yang baru-baru ini mulai mereka lakukan. Ini adalah pengakuan bahwa jalanan perkotaan adalah ruang hidup, bukan hanya saluran transportasi.
## Kesimpulan Saya: Laporan Ini Bukan Cuma untuk Moldova
Setelah menghabiskan berjam-jam dengan 124 halaman ini , jelas bagi saya bahwa masalah mendasar Moldova bukanlah "pengemudi yang buruk". Masalahnya adalah sistem yang rusak parah yang membuat perilaku buruk menjadi tak terhindarkan dan konsekuensinya menjadi mematikan.
Dan di sinilah letak kritik halus saya terhadap laporan itu sendiri.
Meskipun temuan laporan ini sangat kuat, cara analisanya disajikan... jujur saja, sangat abstrak dan birokratis. Laporan ini ditulis untuk institusi, bukan untuk manusia. Laporan ini gagal dalam tes penceritaan (storytelling). Saya harus menggali dan menyatukan titik-titik data dari halaman 63 (jalan Soviet), halaman 57 (modernisasi yang salah), dan halaman 34 (kematian pejalan kaki) untuk menemukan 'cerita' tentang bagaimana jalan raya era Soviet membunuh pejalan kaki.
Laporan itu sendiri tidak pernah menceritakan kisah itu secara eksplisit. Ini adalah kelemahan besar dari sebagian besar penulisan kebijakan: laporan ini mendiagnosis masalah dengan cemerlang tetapi gagal mengkomunikasikan urgensi manusianya.
Itulah mengapa laporan ini penting, bahkan jika Anda tidak akan pernah menginjakkan kaki di Moldova. Ini adalah cermin.
Ini memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit tentang tempat kita sendiri. Apakah sistem di komunitas Anda dirancang untuk melindungi mobil atau manusia? Siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas keselamatan di lingkungan Anda—apakah ada "kapten" yang nyata, atau hanya sekelompok komite yang "tersembunyi"? Apakah kita berinvestasi dalam pencegahan, atau kita hanya membuang-buang uang untuk menutupi biaya kegagalan yang tragis?
Laporan ini, pada intinya, adalah tentang manajemen sistem yang kompleks. Ini adalah studi kasus masterclass tentang bagaimana data, kebijakan publik, dan manajemen aset (seperti ambulans, jalan raya, dan armada kendaraan) saling bersinggungan. Memperbaikinya membutuhkan lebih dari sekadar niat baik; itu membutuhkan keterampilan manajemen proyek, analisis data, dan kepemimpinan yang nyata.
Jika Anda adalah seorang profesional yang ingin belajar bagaimana mengelola proyek-proyek rumit seperti ini, atau bagaimana menerjemahkan data kompleks menjadi strategi yang dapat ditindaklanjuti untuk memperbaiki sistem yang rusak di organisasi Anda sendiri, Anda harus melihat kursus pengembangan profesional di(https://diklatkerja.com). Mereka berspesialisasi dalam jenis keterampilan dunia nyata yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan berat dalam perbaikan sistemik.
## Baca Sendiri 'Harta Karun' Ini (Jika Anda Berani)
Kalau kamu seorang 'data nerd' seperti saya, atau jika kamu benar-benar peduli tentang bagaimana membuat dunia kita sedikit lebih aman, saya sangat merekomendasikan untuk membaca setidaknya Ringkasan Eksekutif dan bagian Kesimpulan (Bab 5) dari laporan ini.
Ini padat, ini teknis, tapi ini adalah masterclass dalam analisis sistemik. Jangan bilang saya tidak memperingatkan Anda.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 13 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Laporan International Transport Forum (ITF) tahun 2018 menyoroti road pricing—penetapan tarif penggunaan jalan berdasarkan waktu dan lokasi—sebagai instrumen efektif mengatasi kemacetan. Namun, temuan ini penting karena menegaskan bahwa kebijakan ini bukan hanya isu ekonomi atau teknis, melainkan persoalan sosial yang kompleks.
Penerapan road pricing dapat mengubah pola mobilitas, memengaruhi distribusi pendapatan, dan membentuk ulang tata ruang kota. Oleh karena itu, memahami dampak sosial dan ekonomi kebijakan ini sangat penting untuk memastikan bahwa upaya pengelolaan lalu lintas tidak memperlebar kesenjangan sosial. Bagi Indonesia, kebijakan seperti Electronic Road Pricing (ERP) yang direncanakan di Jakarta memerlukan pendekatan berbasis bukti dan keadilan sosial agar efektif dan dapat diterima publik.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Penelitian ITF menunjukkan bahwa penerapan road pricing di Stockholm, London, dan Singapura memberikan hasil nyata: kemacetan turun hingga 20–30% dan kualitas udara meningkat. Pendapatan tarif jalan juga digunakan untuk memperluas layanan transportasi publik.
Hambatan utama implementasi:
Penolakan publik akibat persepsi tidak adil bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Keterbatasan infrastruktur transportasi publik sebagai alternatif perjalanan.
Kurangnya transparansi penggunaan pendapatan tarif jalan.
Peluang besar terbuka melalui integrasi kebijakan ini dengan modernisasi transportasi publik, digitalisasi pembayaran, dan edukasi publik.
Untuk memperkuat kapasitas pembuat kebijakan dalam hal ini, artikel seperti Analisis Dampak Sosial dan Ekonomi Infrastruktur Publik dapat membantu memahami kompleksitas sosial dan ekonomi dalam perencanaan transportasi.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Desain Tarif Berdasarkan Waktu dan Lokasi: Terapkan tarif dinamis pada jam sibuk dan area padat untuk mengatur permintaan, bukan sekadar mengumpulkan pendapatan.
Gunakan Pendapatan untuk Transportasi Publik: Dana hasil road pricing harus dikembalikan ke masyarakat melalui peningkatan layanan bus, MRT, dan fasilitas pejalan kaki.
Perkuat Sistem Evaluasi Sosial: Lakukan social impact assessment (SIA) untuk menilai dampak terhadap kelompok berpenghasilan rendah sebelum dan sesudah implementasi.
Edukasi Publik dan Transparansi Anggaran: Sosialisasi yang terbuka tentang tujuan, manfaat, dan penggunaan dana dapat meningkatkan dukungan masyarakat.
Kombinasikan dengan Insentif Mobilitas Berkelanjutan: Sediakan insentif bagi pengguna kendaraan listrik atau transportasi umum, agar kebijakan lebih inklusif dan pro-lingkungan.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan road pricing berisiko gagal bila hanya difokuskan pada aspek finansial dan teknologi tanpa mempertimbangkan keadilan sosial. Potensi kegagalan meliputi dampak regresif terhadap masyarakat miskin, pengelolaan dana yang tidak transparan, dan ketidaksiapan sistem transportasi umum sebagai penopang utama mobilitas.
Untuk menghindari hal ini, kebijakan harus berbasis transparansi, inklusivitas, dan perencanaan lintas sektor.
Penutup
Road pricing adalah inovasi kebijakan yang tidak hanya bertujuan mengurangi kemacetan, tetapi juga mengubah perilaku mobilitas. Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada desain sosial-ekonomi yang adil dan dukungan publik yang kuat. Bagi Indonesia, penerapan ERP harus disertai investasi besar pada transportasi umum dan perencanaan yang partisipatif dan berbasis bukti.
Sumber
International Transport Forum (OECD/ITF). (2018). The Social Impacts of Road Pricing: Summary and Conclusions (Roundtable 170). Paris: OECD Publishing.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Laporan Road Deterioration Study oleh World Bank (1988) menegaskan bahwa biaya perawatan jalan yang rendah pada awalnya dapat berujung pada biaya sosial dan ekonomi yang jauh lebih tinggi dalam jangka panjang. Jalan yang tidak dirawat menyebabkan peningkatan Vehicle Operating Cost (VOC), memperlambat arus barang, serta menurunkan daya saing industri dan pertanian.
Dengan kata lain, investasi kecil dalam pemeliharaan jalan mampu menghasilkan penghematan ekonomi besar melalui efisiensi transportasi dan pengurangan biaya logistik nasional. Bagi Indonesia, temuan ini sangat relevan. Dengan program strategis nasional, pemerintah perlu memastikan kebijakan pemeliharaan jalan menjadi prioritas utama, bukan sekadar pembangunan baru. Pelatihan seperti Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat memperkuat kapasitas aparatur dalam menilai dampak ekonomi jangka panjang dari investasi jalan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Hasil studi menunjukkan bahwa negara-negara yang mengalokasikan 10–20% dari anggaran infrastruktur untuk pemeliharaan rutin mengalami penurunan signifikan dalam biaya logistik nasional hingga 25%.
Hambatan utama:
Pendanaan tidak berkelanjutan – pemeliharaan sering kali bergantung pada proyek donor dan bukan sistem fiskal nasional.
Kurangnya data jalan – kondisi jalan tidak selalu dimonitor secara sistematis.
Kelemahan institusional – lembaga pengelola jalan sering tidak memiliki kapasitas teknis yang memadai.
Peluang muncul melalui digitalisasi sistem pemeliharaan berbasis sensor dan remote monitoring, serta kolaborasi publik-swasta. Inisiatif seperti Pengenalan Manajemen Aset dapat mendukung penerapan kebijakan berbasis data dan aset di tingkat daerah.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Bangun Sistem Nasional Pemeliharaan Jalan Berbasis Data: Gunakan teknologi GIS dan sensor kendaraan untuk pemantauan kondisi jalan secara real-time.
Alokasikan Dana Pemeliharaan secara Tetap dan Proporsional: Tentukan persentase tetap dari APBN/APBD untuk perawatan rutin agar tidak bergantung pada proyek donor.
Kembangkan Kapasitas SDM Teknis dan Evaluator Jalan: Melalui pelatihan keahlian di bidang manajemen aset dan infrastruktur.
Integrasikan Kebijakan Jalan dengan Strategi Ekonomi Wilayah: Pastikan pembangunan dan pemeliharaan jalan mendukung distribusi logistik nasional.
Dorong Kolaborasi Publik–Swasta (PPP): Terutama dalam perawatan jalan tol dan jalan arteri strategis untuk menjaga efisiensi jangka panjang.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan jalan sering gagal karena berfokus pada pembangunan baru tanpa memperhitungkan biaya pemeliharaan jangka panjang. Risiko lainnya:
Fokus politis jangka pendek yang mengabaikan aspek teknis pemeliharaan.
Kurangnya akuntabilitas kontraktor, yang mengurangi kualitas pekerjaan.
Tidak adanya indikator kinerja berbasis dampak sosial dan ekonomi.
Tanpa sistem evaluasi yang transparan dan berbasis bukti, kebijakan infrastruktur mudah terjebak pada pemborosan fiskal dan degradasi aset publik.
Penutup
Road Deterioration Study membuktikan bahwa pemeliharaan infrastruktur adalah investasi, bukan biaya. Negara yang menyeimbangkan pembangunan baru dan perawatan lama akan menuai pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Bagi Indonesia, prioritas ke depan adalah menjaga kualitas dan efisiensi jalan sebagai fondasi ekonomi nasional. Dukungan pelatihan dan riset kebijakan dapat memperkuat arah pembangunan infrastruktur yang produktif, berkeadilan, dan berbasis bukti.
Sumber
World Bank. (1988). Road Deterioration in Developing Countries: Causes and Remedies (Road Deterioration Study, Vol. 1). Washington, D.C.: World Bank.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 10 November 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian ini menyoroti pentingnya kualitas dalam proyek konstruksi jalan sebagai faktor utama dalam efisiensi anggaran publik dan keberlanjutan infrastruktur. Studi di Swedia menunjukkan bahwa rendahnya kualitas dalam tahap desain, pelaksanaan, dan pengawasan berkontribusi terhadap pemborosan anggaran, keterlambatan proyek, serta rendahnya umur layanan jalan.
Dalam konteks kebijakan publik, temuan ini menekankan perlunya sistem quality assurance yang kuat dan mekanisme audit independen. Swedia, melalui kebijakan Total Quality Management (TQM) dan sistem evaluasi kontraktor berbasis kinerja, berhasil menekan tingkat kegagalan proyek.
Bagi Indonesia, studi ini menjadi relevan mengingat persoalan klasik seperti jalan cepat rusak dan lemahnya pengawasan mutu. Pelatihan seperti Kursus Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat menjadi sarana peningkatan kompetensi aparatur dan kontraktor dalam memastikan pembangunan jalan yang efisien, transparan, dan berkelanjutan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Temuan lapangan di Swedia menunjukkan beberapa dampak positif dari kebijakan peningkatan kualitas konstruksi jalan:
Penurunan biaya pemeliharaan jangka panjang hingga 30% melalui perbaikan mutu material dan kontrol desain.
Peningkatan kepuasan pengguna jalan akibat stabilitas struktur.
Terbangunnya kepercayaan antara pemerintah dan kontraktor melalui sistem evaluasi berbasis kinerja.
Hambatan yang ditemukan:
Resistensi dari kontraktor kecil terhadap standar mutu baru karena peningkatan biaya awal.
Kurangnya tenaga ahli di bidang manajemen mutu dan audit proyek.
Proses birokrasi yang panjang dalam penyesuaian regulasi kontrak publik.
Peluang besar muncul melalui penerapan digital project management systems dan Building Information Modeling (BIM) yang mampu meningkatkan transparansi dan efisiensi pelaksanaan proyek di Indonesia.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Bangun Sistem Evaluasi Kinerja Kontraktor Nasional: Terapkan model seperti Swedish Transport Administration’s Contractor Assessment untuk menilai mutu pekerjaan dan kepatuhan.
Tingkatkan Kapasitas Aparatur dalam Quality Management: Adakan pelatihan berkala untuk memperkuat kompetensi teknis dan administratif.
Gunakan Teknologi Digital untuk Monitoring Proyek: Terapkan sistem digital monitoring berbasis sensor dan BIM guna meminimalkan penyimpangan proyek.
Dorong Kolaborasi Publik-Swasta dalam Inovasi Material: Libatkan universitas dan industri untuk mengembangkan bahan konstruksi yang lebih tahan lama.
Perkuat Regulasi Audit Independen dan Transparansi Proyek: Pastikan lembaga pengawas memiliki independensi penuh dalam menilai kualitas dan biaya proyek.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan peningkatan kualitas konstruksi berisiko gagal jika hanya berfokus pada aspek teknis tanpa memperhatikan tata kelola kelembagaan. Risiko utamanya meliputi:
Ketergantungan pada kontraktor besar, yang menyingkirkan pelaku usaha kecil.
Ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menerapkan sistem quality assurance.
Kurangnya transparansi publik yang dapat memunculkan potensi moral hazard.
Untuk mencegah hal ini, kebijakan mutu perlu diiringi dengan reformasi kelembagaan, pelibatan masyarakat dalam pengawasan proyek, dan sistem penghargaan bagi kontraktor yang berintegritas.
Penutup
Kualitas proyek jalan adalah indikator keberhasilan kebijakan infrastruktur nasional. Pengalaman Swedia menunjukkan bahwa peningkatan mutu konstruksi bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga manajemen, akuntabilitas, dan inovasi.
Dengan penerapan sistem evaluasi berbasis kinerja, pelatihan kompetensi teknis, serta integrasi teknologi dalam pengawasan proyek, Indonesia dapat menciptakan sistem pembangunan jalan yang efisien, tahan lama, dan berdaya saing tinggi.
Sumber
Swedish Transport Administration (2022). Quality of Road Construction Projects in Sweden: Analysis and Policy Lessons.