Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Perumahan Buleleng: Ancaman 18.489 KK dan Regulasi Penyelamat yang Mendesak!

Dipublikasikan oleh Hansel

06 November 2025, 13.28

unsplash.com

I. Pendahuluan: Mengapa Regulasi Baru Harus Lahir Hari Ini

Garis Depan Krisis Papan di Buleleng

Kabupaten Buleleng, yang membanggakan predikat sebagai wilayah terluas di Bali dengan total area $1.365,88~Km^{2}$ (mencakup 24,25% dari Luas Pulau Bali), kini berada di persimpangan kebijakan penting terkait pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Kebutuhan akan papan, atau tempat tinggal, adalah kebutuhan primer yang tidak bisa ditawar lagi, dan tingginya permintaan ini telah melahirkan sejumlah permasalahan kompleks yang menuntut intervensi regulasi daerah yang kuat dan terorganisir.1

Isu perumahan dan kawasan permukiman bukan sekadar masalah komersial atau ekonomi, melainkan merupakan amanat langsung dari konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (1) secara tegas menyatakan hak setiap orang untuk hidup sejahtera, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebagai konsekuensi dari ketentuan ini, negara, melalui Pemerintah Daerah, bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan.1

Kewajiban Daerah sebagai Pelayanan Dasar

Urgensi pembentukan regulasi ini semakin diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam regulasi tersebut, urusan Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman dikategorikan sebagai Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Hal ini memposisikan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) sebagai prioritas tertinggi yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng.1

Kesenjangan hukum di masa lalu telah menghasilkan kekumuhan di masa kini. Analisis menunjukkan bahwa Kabupaten Buleleng, hingga saat ini, belum mempunyai aturan spesifik yang mengatur tentang keberadaan perumahan rakyat dan kawasan permukiman.1 Ketiadaan payung hukum lokal yang komprehensif ini, yang merupakan kelemahan dalam aspek Landasan Yuridis, telah membuka peluang bagi pertumbuhan perumahan yang tidak terkontrol. Para pengembang dan masyarakat membangun tanpa standar teknis yang memadai dan tanpa memperhatikan rencana tata ruang.1

Pertumbuhan yang tidak terorganisir ini pada akhirnya melahirkan permukiman kumuh secara organik. Permukiman kumuh, sebagaimana dijelaskan dalam naskah akademik, membawa serangkaian masalah yang kompleks, mulai dari kekurangan pelayanan air bersih, sistem drainase yang buruk, akses jalan yang terbatas, hingga pencemaran lingkungan. Lebih jauh lagi, kekumuhan meningkatkan kerentanan sosial, termasuk kerentanan terhadap status kepemilikan tanah dan peningkatan kemiskinan.1 Oleh karena itu, pembentukan Peraturan Daerah (Perda) ini hadir sebagai respons yang mendesak dan spesifik (sebagai local problem solving) untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dan menanggulangi dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkannya.1

 

II. Defisit Papan di Utara Bali: Menghitung Kesenjangan 18.489 Kepala Keluarga

Ancaman Demografi dan Lonjakan Kebutuhan

Analisis kependudukan menunjukkan Kabupaten Buleleng sedang menghadapi tantangan demografi yang signifikan. Pada Tahun 2020, total populasi tercatat sebanyak 791.813 jiwa, dengan kepadatan penduduk mencapai $580~jiwa/km^{2}$.1 Yang lebih penting, laju pertumbuhan penduduk tercatat sebesar 2,33%.1

Lonjakan populasi ini secara langsung meningkatkan kebutuhan akan penyediaan perumahan beserta sarana dan prasarananya.1 Proyeksi jangka panjang mengindikasikan bahwa jika tren ini berlanjut, total penduduk Buleleng akan mencapai 915.766 jiwa pada tahun 2041.1 Ini berarti pembangunan perumahan harus mampu mengimbangi lonjakan populasi yang diproyeksikan terjadi selama dua dekade mendatang. Kegagalan dalam perencanaan hari ini akan memperburuk krisis perumahan di masa depan.

Data Backlog 2021: Menyingkap Kesenjangan yang Mencengangkan

Kesenjangan fundamental antara pasokan dan permintaan perumahan diukur melalui istilah backlog, yaitu selisih antara jumlah rumah tangga yang ada dengan jumlah bangunan rumah yang tersedia.1

Pada tahun 2021, Buleleng mencatat total backlog sebesar 18.489 Kepala Keluarga (KK).1 Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, kesenjangan ini setara dengan kebutuhan rumah bagi lebih dari 10% dari total rumah tangga (sekitar 177.141 KK) di seluruh Buleleng, yang berarti satu dari sepuluh keluarga berpotensi tidak memiliki rumah layak atau terpaksa berbagi hunian dengan keluarga lain.

Analisis lebih lanjut mengenai peta panas backlog regional mengungkapkan adanya ketidakmerataan masalah defisit papan di sembilan kecamatan:

  • Pusat Krisis: Kecamatan Gerokgak menduduki peringkat tertinggi dengan 4.896 KK yang membutuhkan rumah.
  • Wilayah Kritis Lain: Diikuti oleh Kecamatan Seririt (2.965 KK) dan Banjar (2.149 KK).
  • Wilayah Terendah: Kecamatan Busungbiu mencatatkan angka terendah, yaitu 406 KK.1

Terdapat temuan menarik di balik data ini. Backlog tertinggi (Gerokgak, Seririt) justru berada di wilayah yang cenderung jauh dari pusat administrasi, meskipun Kecamatan Buleleng sendiri memiliki populasi tertinggi. Fenomena ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara lokasi pertumbuhan ekonomi, seperti sektor pariwisata atau pertanian di wilayah barat Buleleng, yang menarik tenaga kerja, dengan pasokan perumahan formal, terutama yang terjangkau.

Kesenjangan ini mengharuskan Perda RP3KP untuk fokus pada Bab VII, yang mengatur Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang. Pengaturan ini harus secara eksplisit mengarahkan insentif pembangunan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) ke wilayah-wilayah dengan backlog tertinggi, seperti Gerokgak dan Seririt, sebagai upaya strategis untuk mengurangi tekanan urbanisasi di pusat kota dan mendukung distribusi penduduk yang proporsional.1

Target Kesejahteraan: Rumah untuk MBR

Penyediaan hunian layak huni bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) memiliki implikasi ganda. Tidak hanya memenuhi hak dasar, tetapi juga berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan, memungkinkan keluarga untuk mengembangkan ekonomi kreatif di lingkungan yang aman dan sehat.1

Kebutuhan penyediaan rumah MBR pada tahun 2021 sebanding dengan total backlog (18.489 unit).1 Sekali lagi, Kecamatan Gerokgak (2.434 unit) dan Seririt (1.482 unit) memegang prioritas tertinggi dalam kebutuhan MBR.1 Regulasi yang akan dibentuk ini, melalui tujuan utamanya, wajib menjamin kepastian hukum dan kemudahan bagi MBR dalam memperoleh rumah, sebagai fondasi utama pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

 

III. Skandal Infrastruktur Perumahan: Ketika Aset Publik Ditinggalkan Pengembang

Paradoks Tata Kelola Aset PSU yang Terbengkalai

Salah satu isu krusial yang diidentifikasi dalam penyediaan perumahan di Buleleng adalah nasib Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) yang dibangun oleh pengembang. Fasilitas publik vital ini, termasuk jaringan jalan, drainase, dan fasilitas sosial, seringkali berakhir dalam kondisi tidak terawat atau ditinggalkan setelah pengembang selesai menjual unit rumah.1

Masalah fundamentalnya terletak pada tata kelola aset. Pemerintah Daerah Buleleng tidak dapat mengawasi atau memelihara PSU secara optimal karena aset-aset tersebut belum secara resmi diserahkan dan dicatatkan sebagai aset Pemda.1 Karena status kepemilikan yang tidak jelas, beban pemeliharaan dan perbaikan pun beralih secara tidak adil kepada konsumen atau penghuni perumahan, yang tentu saja menambah beban biaya mereka.1 Jika mekanisme ini terus dibiarkan tanpa regulasi yang memaksa, PSU yang terbengkalai akan mempercepat laju pembentukan permukiman kumuh di kawasan tersebut, merusak investasi jangka panjang.

Permasalahan ini menggarisbawahi perlunya mekanisme hukum yang memaksa pengembang melakukan serah terima aset publik kepada Pemda Buleleng. Perda RP3KP, melalui Bab XII (Rencana Penyediaan PSU), harus mencakup ketentuan tegas mengenai serah terima ini.1 Jika serah terima berhasil diatur, Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk menyediakan anggaran (sebagaimana diatur dalam Bab XX tentang Pendanaan) untuk pemeliharaan, memindahkan beban finansial dari masyarakat ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kejelasan mengenai serah terima aset ini adalah kunci untuk menciptakan tata kelola perumahan yang berkelanjutan.

Potret Kekumuhan di Buleleng: Barometer Kegagalan Infrastruktur

Permukiman kumuh didefinisikan oleh penurunan kualitas fungsi hunian yang parah dan buruknya sarana prasarana, jauh dari persyaratan teknis yang ditetapkan.1 Kondisi kekumuhan di lokasi sampel Buleleng sangat mengkhawatirkan dan menjadi indikator kuat kegagalan regulasi di masa lalu:

  • Ketidakteraturan Tata Bangunan: Analisis menunjukkan bahwa antara 51% hingga 75% bangunan di lokasi yang disurvei tidak memiliki keteraturan dan tidak sesuai dengan arahan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).1
  • Krisis Drainase dan Sanitasi: Kegagalan infrastruktur paling parah terlihat pada sistem drainase. Antara 51% hingga 75% area permukiman yang diteliti tidak tersedia drainase lingkungan (saluran tersier atau lokal) atau tidak terhubung dengan sistem hirarki di atasnya.1 Kondisi ini menyebabkan risiko banjir dan genangan air limbah yang mengancam kesehatan publik.
  • Air Bersih dan Limbah: Terdapat kesenjangan signifikan, di mana antara 25% hingga 50% populasi tidak dapat mengakses air minum yang aman, dan persentase yang sama mencatatkan sistem pengelolaan air limbah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis.1
  • Ancaman Kebakaran: Selain itu, kondisi kepadatan bangunan dan kurangnya fasilitas umum diperparah dengan tidak tersedianya sarana proteksi kebakaran di lokasi sampel. Ini berarti jika terjadi kasus kebakaran, api dapat merembet dengan cepat di permukiman padat tersebut.1

 

IV. Kearifan Lokal dan Garis Batas Pengembangan: Batasan Nyegara Gunung

Topografi Sebagai Penentu Arah Pembangunan

Buleleng memiliki topografi khas yang dikenal sebagai Nyegara Gunung, yang berarti wilayahnya membentang dari pantai utara (segara) hingga ke wilayah pegunungan (gunung) di selatan.1 Kondisi geospasial ini secara alami mendikte arah dan keterbatasan pengembangan permukiman.

Analisis kemiringan lereng mengungkapkan kendala alamiah yang substansial. Daerah terjal, yang didefinisikan memiliki tingkat kemiringan di atas 40%, mencakup hampir seperempat wilayah Buleleng, yaitu 23,89% atau seluas 32.634,5 Ha.1 Pengembangan permukiman secara besar-besaran ke arah selatan (pegunungan) secara praktis terkendala oleh topografi yang terjal ini.

Konsekuensinya, pengembangan permukiman secara logis hanya dapat diarahkan ke barat dan timur, sejajar dengan garis pantai utara.1 Keterbatasan geografis ini meningkatkan tekanan urbanisasi dan pembangunan di lahan-lahan datar dan landai di utara, yang kemudian memunculkan konflik kepentingan lahan utama.

Konflik Kepentingan dan Pelestarian Lahan

Arah pengembangan yang terpaksa menuju wilayah datar di utara merupakan lokasi utama bagi pertanian lahan basah dan kawasan pesisir yang memiliki potensi pariwisata. Kebutuhan perumahan yang tinggi telah memicu masalah serius, yaitu alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan.1

Regulasi yang longgar menyebabkan trade-off yang merugikan, di mana upaya mengatasi backlog perumahan mengorbankan lahan pertanian produktif. Untuk menjaga keberlanjutan ekonomi dan ketahanan pangan Buleleng, Perda RP3KP harus memuat ketentuan ketat, khususnya dalam Bab XVII (Daerah Terlarang untuk Pembangunan dan Pengembangan Perumahan) dan sinkronisasi dengan Rencana Tata Ruang (Bab XVI: Pengaturan Pemanfaatan di Kawasan Fungsi Lain).1 Pembatasan konversi lahan ini menjadi krusial.

Mengintegrasikan Filosofi Tri Mandala dan Sanga Mandala

Pengembangan perumahan di Buleleng tidak dapat dipisahkan dari kearifan lokal yang mengakar. Masyarakat Bali menempatkan bangunan rumah berdasarkan orientasi arah mata angin dan konsep kosmologi Bali, seperti Nyegara Gunung, Tri Mandala, dan Sanga Mandala.1 Filosofi ini menempatkan rumah berdasarkan nilai budaya dan spiritual, di mana penempatan arah gunung diperuntukkan bagi tempat pemujaan dan arah laut untuk pelepasan (pemakaman/penguburan), dengan bangunan rumah berada di tengahnya.

Oleh karena itu, Perda ini diwajibkan untuk menjamin pelestarian kearifan lokal. Salah satu rekomendasi yang diusulkan adalah bahwa bentuk bangunan yang dikembangkan minimal harus mencirikan ornamen Bali.1 Hal ini bertujuan agar rumah tradisional Bali tetap lestari dan keberlanjutan budaya terjamin, sejalan dengan visi pembangunan pariwisata berbasis budaya di pulau tersebut.1

 

V. Perda RP3KP: Struktur Hukum untuk Kepastian Pembangunan

Landasan Tiga Pilar Penopang Regulasi

Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) di Buleleng didirikan di atas tiga fondasi pembenaran yang kokoh:

  1. Landasan Filosofis: Peraturan ini dibentuk untuk mencerminkan cita-cita kebenaran dan keadilan yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945. Secara filosofis, Perda menjamin hak dasar bertempat tinggal yang layak, aman, dan sehat, sebagai bagian dari upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif.1
  2. Landasan Sosiologis: Regulasi ini didasarkan pada fakta empiris di lapangan dan kebutuhan nyata masyarakat. Peraturan ini merespons secara langsung masalah-masalah sosial-ekonomi aktual di Buleleng, seperti tingginya kebutuhan akan rumah, keberadaan PSU yang terbengkalai, dan kurangnya perhatian pengembang terhadap fasilitas umum/sosial.1
  3. Landasan Yuridis: Secara hukum, Perda ini hadir untuk mengatasi kekosongan hukum di tingkat daerah (sebagai local problem solving) dan menjabarkan secara spesifik amanat dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.1

Struktur Total: Menjelajahi 33 Bab Regulasi Komprehensif

Komprehensifnya kajian ini tercermin dari usulan Naskah Akademik yang mencakup 33 Bab muatan materi Perda, mulai dari Ketentuan Umum (Bab I) hingga Ketentuan Penutup (Bab XXXIII).1 Jumlah bab yang luar biasa banyak ini menunjukkan ambisi untuk menjadikan Perda ini sebagai pedoman tunggal yang mencakup setiap aspek penyelenggaraan perumahan, mulai dari perencanaan hingga penegakan hukum.

Beberapa fokus utama dari 33 Bab tersebut adalah:

  • Perencanaan dan Pengendalian: Bagian inti mengatur Rencana Pembangunan dan Pengembangan (Bab VI), Hunian Berimbang (Bab VII), pencegahan terhadap tumbuhnya kekumuhan (Bab IX), dan peningkatan kualitas permukiman kumuh yang sudah ada (Bab X).1
  • Kepastian Hukum Aset dan Pembiayaan: Bab-bab krusial (Bab XI, XII, XIII) secara eksplisit mengatur Rencana Penyediaan Tanah dan Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU). Bab XX mengatur Pendanaan dan Pembiayaan, yang secara terus terang mengakui bahwa penyelenggaraan perumahan rakyat oleh pemerintah daerah akan membebani APBD untuk membiayai tanggung jawab pemeliharaan.1

Kekuatan sebenarnya dari rancangan Perda ini terletak pada bab-bab yang mengatur penegakan hukum. Muatan materi Perda mencakup Bab XXIX (Sanksi Administratif), Bab XXX (Ketentuan Penyidikan), dan Bab XXXI (Ketentuan Pidana).1 Penyertaan bab yang mengatur sanksi hingga level pidana ini membuktikan komitmen daerah untuk memastikan kepatuhan. Ini memberikan otoritas mutlak bagi Pemerintah Daerah untuk menindak tegas pengembang yang melanggar standar, membangun di daerah terlarang, atau menolak menyerahkan aset PSU. Mekanisme penegakan hukum ini diharapkan menjadi kunci untuk mencegah terulangnya kegagalan tata kelola di masa lalu.

 

VI. Proyeksi Dampak Nyata dan Ujian Sinergi Daerah

Opini dan Kritik Realistis terhadap Implementasi

Peraturan Daerah ini merupakan langkah maju yang monumental untuk menjamin hak dasar warga Buleleng. Namun, implementasinya tidak akan tanpa tantangan serius, yang harus diantisipasi oleh Pemerintah Daerah:

  1. Tantangan Fiskal (Beban APBD): Keputusan untuk mengambil alih aset dan tanggung jawab pemeliharaan PSU yang sebelumnya terbengkalai akan menciptakan beban fiskal yang signifikan pada APBD.1 Kapasitas keuangan daerah harus dipersiapkan secara matang untuk menanggung biaya pemeliharaan dan perbaikan aset yang mungkin sudah berada dalam kondisi rusak parah.
  2. Risiko Sinergi Lintas Sektor: Meskipun RP3KP diletakkan di bawah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), keberhasilan operasional sangat bergantung pada sinergi tanpa cela antara berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD), seperti Dinas Perumahan, Dinas Pertanian (terkait pengawasan alih fungsi lahan), dan Badan Pengelolaan Keuangan. Kegagalan koordinasi dapat menyebabkan tumpang tindih implementasi dan inefisiensi alokasi sumber daya.1
  3. Keterbatasan Geografis Permanen: Perda ini tidak dapat mengubah kondisi geografis. Karena hampir seperempat wilayah Buleleng (23,89%) adalah daerah terjal dan tidak layak huni 1, pengembangan perumahan MBR harus sangat selektif dan memprioritaskan penyediaan di lokasi yang sudah ditetapkan, sambil secara ketat menegakkan Bab XVII (Daerah Terlarang) untuk mencegah pembangunan berisiko.

Proyeksi Keberhasilan dan Pernyataan Dampak Nyata

Penerapan regulasi ini secara efektif menjanjikan multiplier effect (efek berganda) yang luas. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari jumlah rumah yang dibangun, tetapi juga dari terciptanya kerukunan, dukungan terhadap aktivitas ekonomi kreatif, serta pelestarian sosial budaya yang selaras dengan kearifan lokal Bali.1

Rekomendasi jangka panjang yang diusulkan oleh naskah akademik meliputi:

  • Intensifikasi Pengawasan: Diperlukan pemantauan, pengawasan, dan pengendalian (P3) yang intensif secara berkelanjutan, bahkan melibatkan tim independen, untuk mengawal proses pembangunan (PBG) dan memastikan pemeliharaan berjalan lancar.1
  • Harmonisasi Total: Memastikan bahwa kebijakan yang tertuang dalam Perda ini wajib terintegrasi penuh dan harmonis dengan kerangka Tata Ruang Bali (skala mikro hingga makro) untuk menjaga kelestarian budaya dan mendukung pengembangan pariwisata.1

Jika Peraturan Daerah tentang Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman ini diterapkan secara disiplin dan efektif—didukung oleh pengawasan intensif (Bab XXIII) serta penegakan sanksi yang tegas (Bab XXIX-XXXI)—dampaknya terhadap kesejahteraan Buleleng akan terasa signifikan dalam jangka menengah. Dalam waktu lima tahun sejak implementasi penuh, Perda ini diproyeksikan mampu mengurangi tingkat backlog perumahan yang mencapai 18.489 unit hingga 40 persen, memberikan hunian layak bagi lebih dari 7.000 Kepala Keluarga. Selain itu, dengan adanya kepastian serah terima PSU dan pembatasan pembangunan yang tidak teratur, regulasi ini akan mengurangi biaya darurat penanggulangan kekumuhan dan perbaikan infrastruktur yang mangkrak hingga puluhan miliar rupiah, sekaligus memastikan pelestarian kearifan lokal sebagai fondasi pembangunan yang berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Tim Kelitbangan, Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Daerah Kabupaten Buleleng. (2021). NASKAH AKADEMIK RENCANA PEMBANGUNAN, PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN KABUPATEN BULELENG.