Saya Membaca Jurnal 29 Halaman tentang Jalan Raya, dan Temuan Ini Menghantui Saya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

14 November 2025, 13.52

Saya Membaca Jurnal 29 Halaman tentang Jalan Raya, dan Temuan Ini Menghantui Saya

Saya yakin Anda pernah merasakannya. Jantung Anda serasa melompat ke tenggorokan. Sebuah motor memotong jalur Anda tanpa lampu sen, atau sebuah mobil tiba-tiba mengerem mendadak di depan Anda.

Reaksi pertama saya biasanya adalah kemarahan. Saya akan membunyikan klakson, mungkin mengumpat sedikit di dalam mobil. Pikiran saya langsung tertuju pada satu hal: "Orang gila itu seharusnya tidak boleh menyetir!" Kita semua, secara naluriah, melihat lalu lintas sebagai masalah moral individu. Ada pengemudi yang baik (kita) dan pengemudi yang buruk (mereka).

Tapi bagaimana jika kemarahan kita salah sasaran? Bagaimana jika masalahnya bukan pada individu-individu yang gagal, tetapi pada sebuah sistem yang memang dirancang untuk gagal?

Saya baru saja menghabiskan sore saya membaca dokumen yang, jujur saja, judulnya adalah obat tidur yang sempurna. Judulnya: "ROAD SAFETY PROBLEMS IN BANGLADESH: SOME MAJOR INITIATIVES, CONSTRAINTS AND REQUIREMENTS". Ini adalah artikel dari buletin Transportasi dan Komunikasi PBB tahun 2009.   

Bahasa di abstraknya pun kaku luar biasa: "Dalam paper ini, sebuah upaya telah dilakukan untuk menyajikan...".   

Tapi izinkan saya memberi tahu Anda: di balik puluhan halaman jargon teknis, tabel data, dan bahasa birokrasi yang kering, tersembunyi sebuah "autopsi". Ini adalah cerita detektif yang brutal dan jujur tentang krisis kesehatan masyarakat—dan yang lebih penting, tentang mengapa semua solusi yang jelas dan logis gagal total.

Paper ini menghantui saya bukan karena data kecelakaannya. Paper ini menghantui saya karena analisisnya yang tajam tentang mengapa solusi tidak berhasil. Ini adalah studi kasus tentang "kendala" (constraints) , yang merupakan cara sopan para akademisi untuk mengatakan "kegagalan sistemik total."   

Angka-Angka yang Berteriak (Saat Kamu Mau Mendengarkan)

Bayangkan Anda ingin mulai serius mengatur keuangan pribadi. Langkah pertama? Anda mengecek saldo rekening Anda. Anda login ke aplikasi bank, dan di sana tertulis Anda punya uang Rp 100 juta. Anda merasa aman, Anda mulai membuat rencana anggaran berdasarkan angka itu.

Lalu, seorang auditor independen datang. Setelah memeriksa semua catatan, ia berkata, "Maaf, ada kesalahan pencatatan. Uang Anda yang sebenarnya di bank hanya Rp 30 juta."

Apakah Anda masih akan membuat keputusan yang sama? Tentu saja tidak. Rencana Anda akan gagal total, karena data dasarnya saja sudah salah tiga kali lipat.

Sekarang, pegang analogi itu. Bagian paling gila dari seluruh paper ini terkubur di Bagian I. Para peneliti membandingkan dua set data:   

  1. Data Polisi Resmi (PFIR) tahun 2008: Mencatat ada 3.764 kematian akibat kecelakaan lalu lintas.

  2. Data Studi Independen (TRL) tahun 2003: Mengestimasi ada 12.792 kematian.

Ada perbedaan hampir 10.000 nyawa.

Paper ini dengan sopan menyebutnya "reporting problems and recording inconsistencies" (masalah pelaporan dan inkonsistensi pencatatan). Saya menyebutnya "dosa asal".   

Coba pikirkan implikasinya. Jika pemerintah secara resmi bekerja dengan angka 3.764, maka anggaran yang mereka alokasikan, jumlah polisi yang mereka kerahkan, dan urgensi kebijakan yang mereka rancang akan 3 sampai 4 kali lebih kecil daripada yang sebenarnya dibutuhkan. Paper ini bahkan secara gamblang menyebut "significant level of underreporting" (tingkat underreporting yang signifikan)  sebagai salah satu masalah utama.   

Masalah pertama dan terbesar keselamatan jalan di Bangladesh bukanlah jalan yang rusak atau pengemudi yang ugal-ugalan. Masalah terbesarnya adalah mereka bahkan tidak tahu (atau mungkin tidak mau mengakui) seberapa parah masalah yang sedang mereka hadapi.

Ini Bukan 'Kecelakaan Mobil', Ini Adalah Perang terhadap Pejalan Kaki

Saya akan jujur. Sebelum membaca ini, ketika saya mendengar "kecelakaan lalu lintas", otak saya otomatis membayangkan dua mobil ringsek di persimpangan. Seluruh diskursus publik kita didominasi oleh mobil.

Paper ini mengubah perspektif saya selamanya.

Para peneliti  menyatakan bahwa korban yang paling parah terkena dampaknya bukanlah pengemudi, melainkan sekelompok orang yang mereka sebut "Vulnerable Road Users (VRUs)" atau Pengguna Jalan Rentan.   

Siapa mereka? "pejalan kaki, anak-anak, pengendara sepeda, dan penumpang serta penarik becak".   

Angkanya? Kelompok ini mencakup "hampir 80 per sen" dari total kematian akibat kecelakaan lalu lintas.   

Data ini begitu penting sehingga saya harus melihatnya lebih dalam. Di Tabel 5, paper ini merinci siapa yang tewas, dan di mana :   

  • Di Perkotaan (Urban): 63% korban tewas adalah Pejalan Kaki.

  • Di Pedesaan (Rural): 46% korban tewas adalah Pejalan Kaki.

Kata "Vulnerable" (Rentan) itu sendiri, menurut saya, menyesatkan. Kata itu menyiratkan kelemahan. Itu menyiratkan bahwa masalahnya ada pada korban—mereka tewas karena mereka "rentan".

Tapi paper ini  membongkar narasi itu. Di Bagian II-D, paper ini menganalisis mengapa para pejalan kaki ini tewas :   

  • 41% tewas saat "menyeberang jalan".

  • 39% tewas saat "berjalan di jalan".

Tunggu sebentar. Mengapa orang "berjalan di jalan"? Jawabannya, tentu saja, karena tidak ada trotoar. Mengapa mereka tewas saat "menyeberang jalan"? Karena tidak ada zebra cross, jembatan penyeberangan, atau lampu lalu lintas yang berfungsi.

Infrastruktur inilah yang memaksa mereka menjadi "rentan".

Ini seperti membangun kolam renang umum di sebelah taman bermain anak-anak, tidak membangun pagar di sekelilingnya, lalu ketika ada anak-anak yang tenggelam, kita menyalahkan mereka karena "rentan" terhadap air. Kita tidak membangun jalan raya; kita membangun jebakan kematian.

Mengidentifikasi 'Raja Jalanan' yang Sebenarnya

Jadi, jika 80% korban adalah pejalan kaki dan pengendara sepeda, siapa—atau apa—yang membunuh mereka?

Lagi-lagi, otak saya langsung berpikir: "Pasti motor." Mereka yang paling ugal-ugalan, kan?

Data di paper ini  berkata lain. Jawabannya ada di Tabel 2, dan ini adalah data paling eksplosif dalam 29 halaman ini. Para peneliti menghitung angka fatalitas per 10.000 kendaraan yang ada di jalan.   

Lihat perbandingan ini:

  • 🚗 Jeep/Mobil/Taksi: 17 kematian

  • 🏍️ Motor: 7 kematian

  • 🚚 Truk: 138 kematian

  • 🚀 Bus/Minibus: 338 kematian

Angka ini gila. Secara statistik, satu bus di jalan memiliki potensi membunuh 20 kali lipat (338 vs 17) lebih tinggi daripada satu mobil, dan hampir 50 kali lipat lebih tinggi dari satu motor.

Paper ini mengonfirmasi temuan ini di bagian lain (Bagian II-F). "Kendaraan berat seperti truk dan bus... adalah kontributor utama". Jika digabungkan, bus dan truk bertanggung jawab atas 68% dari total kematian dan 72% dari kematian pejalan kaki.   

Ini adalah momen "aha!" terbesar saya. Krisis ini bukan masalah "lalu lintas" yang umum. Ini adalah masalah spesifik yang disebabkan oleh industri kendaraan berat (bus dan truk) yang tidak teregulasi yang beroperasi di lingkungan yang tidak memiliki infrastruktur untuk pejalan kaki.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Tiga Dosa Sistemik

Oke, jadi kita tahu: datanya tidak dilaporkan, korbannya pejalan kaki, dan pelakunya bus/truk. Pertanyaan logis berikutnya: Kenapa ini terjadi?

Paper ini  menunjuk tiga biang keladi utama. Saya menyebutnya "Tiga Dosa Sistemik".   

Dosa #1: Jalanan yang Didesain untuk Mencelakai

Paper ini menggunakan istilah teknis "defisiensi teknik jalan dan lingkungan" ("Road engineering and environmental deficiencies").   

Saya terjemahkan: Jalanan di sana memang dirancang untuk membunuh. Para peneliti menemukan "desain tata letak yang buruk" (poor layout design), "desain persimpangan yang tidak sesuai" (inappropriate intersection designs), dan yang paling parah, "tidak adanya atau tidak memadainya fasilitas pejalan kaki" (absence of or inappropriate pedestrian facilities).   

Jalanan dibangun untuk satu hal: kecepatan kendaraan. Bukan keselamatan manusia.

Dosa #2: Pengemudi yang Seharusnya Tidak Pernah Mengemudi

Ini adalah bagian yang membuat saya menganga. Para peneliti  merujuk sebuah studi di Bagian V [hlm. 24] yang menilai para pengemudi. Temuannya:   

  • 92% pengemudi (terutama kendaraan berat) tidak memiliki pelatihan formal.

  • 53% (lebih dari SETENGAH!) mengakui bahwa mereka "mendapatkan SIM dengan cara ilegal".

Bayangkan itu sejenak. Separuh lebih dari bus dan truk di jalanan (yang 20-50x lebih mematikan) dikemudikan oleh orang yang membeli lisensi mereka. Ini bukan lagi "human error". Ini adalah korupsi sistemik yang memiliki konsekuensi mematikan.

Dosa #3: Kendaraan 'Zombie' di Jalanan

Seakan itu belum cukup, paper ini menyoroti "kendaraan non-standar, informal, cacat, dan tidak layak jalan" ("Non-standard, informal, defective and road unworthy motor vehicles").   

"Cacat umum" yang mereka temukan? "sistem rem dan lampu indikator yang rusak, ban yang sudah aus, roda yang kendor".   

Sekarang, mari kita gabungkan ketiga dosa itu.

  1. Anda memiliki jalan tanpa trotoar yang memaksa seorang anak berjalan di aspal (Dosa #1).

  2. Anda memiliki pengemudi truk yang membeli SIM-nya dan tidak pernah dilatih cara mengerem (Dosa #2).

  3. Truk yang ia kendarai memiliki rem blong dan ban botak (Dosa #3).

Ketika anak itu tewas, apakah itu "kecelakaan"?

Bukan. Itu adalah kepastian matematis. Sistem ini secara aktif memproduksi kematian.

Bagian Terbaik: Autopsi atas Kegagalan Kebijakan

Ini adalah bagian favorit saya dari paper ini. Para peneliti tidak hanya memberi data, mereka mengaudit solusinya. Dan ini adalah pembantaian birokrasi paling sopan yang pernah saya baca.   

Lihat, Bangladesh sebenarnya sudah melakukan semua hal yang "benar" di atas kertas (Bagian III). Mereka membentuk:   

  1. National Road Safety Council (NRSC) / Dewan Keselamatan Jalan Nasional (1995).

  2. Accident Research Institute (ARI) / Institut Penelitian Kecelakaan (2002).

  3. Highway Police / Polisi Jalan Raya (2005).

  4. Mereka membuat Rencana Aksi Keselamatan Jalan berulang kali.

  5. Mereka membuat setumpuk Manual dan Pedoman Keselamatan yang tebal-tebal.

Di atas kertas, mereka A+. Di dunia nyata?

Lalu, Kenapa Semuanya Gagal Total?

Para peneliti  di Bagian IV dan V dengan cermat membongkar satu per satu mengapa semua ini tidak berfungsi [hlm. 18-25].   

  • 🧠 Inovasinya: NRSC, badan puncak yang seharusnya mengoordinasi semua ini? Paper ini  mencatat bahwa badan ini "sangat kekurangan tenaga, logistik dan fasilitas dan belum berfungsi penuh" [hlm. 14]. Rencana Aksi yang mereka buat? "implementasinya... sangat tidak signifikan" [hlm. 20]. Mengapa? Karena itu "hanyalah kompilasi dari beberapa kegiatan" tanpa "prioritas kebutuhan," "indikasi kebutuhan anggaran," atau "kerangka waktu" [hlm. 21]. Ini adalah "Teater Inovasi" di level pemerintahan.   

  • 💡 Pelajaran: Manual Keselamatan yang mahal? "hampir semua manual dan pedoman disiapkan oleh konsultan asing". Dan ini bagian terbaiknya: "Insinyur dan profesional lokal tidak dilibatkan dalam penyusunannya dan tidak ada lokakarya pelatihan yang diselenggarakan". Mereka pada dasarnya membeli buku resep seharga miliaran rupiah, tapi tidak ada satu pun koki lokal yang diajari cara memasak.   

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa (Gagal): Polisi Jalan Raya yang baru dibentuk? Mereka "kekurangan tenaga kerja dan dukungan logistik yang diperlukan," dan "tidak memiliki kekuatan untuk menuntut pelanggar hukum lalu lintas". Mereka adalah macan kertas.   

Meskipun temuan paper ini hebat dalam mengidentifikasi masalah, kelemahan terbesarnya, secara ironis, adalah bagian 'Kesimpulan'-nya sendiri. Setelah 25 halaman bukti forensik yang memberatkan tentang kegagalan institusional, korupsi sistemik, dan data yang salah, apa rekomendasi utamanya? "perlu koordinasi yang erat" (need for close coordination) dan "komitmen pemerintah yang diperbarui" (renewed government commitment).   

Ini adalah kritik paling halus saya: bahkan para peneliti yang brilian ini, setelah mengidentifikasi masalahnya dengan sangat baik, tampaknya terjebak dalam bahasa birokrasi yang sama yang mereka kritik.

Pelajaran yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini

Paper ini  ditulis tahun 2009. Sudah lebih dari satu decade. Tapi pelajarannya terasa sangat relevan untuk pekerjaan, dan bahkan kehidupan kita hari ini.   

Pelajaran 1: Data adalah Cermin (atau Kebohongan). Wawasan terbesar bagi saya adalah masalah underreporting. Anda tidak akan pernah bisa memperbaiki masalah jika Anda menipu diri sendiri tentang skala masalah tersebut. Ini berlaku untuk lalu lintas, ini berlaku untuk kesehatan masyarakat, dan ini berlaku untuk Key Performance Indicators (KPI) di perusahaan Anda.   

Jika Anda bekerja di bidang apa pun yang bergantung pada data—entah itu kebijakan publik, bisnis, atau pemasaran—Anda memiliki tanggung jawab moral untuk jujur pada data tersebut. Memastikan Anda tahu cara membacanya, dan yang lebih penting, memvisualisasikannya secara jujur, adalah kuncinya. Ini mengingatkan saya betapa pentingnya pelatihan analisis dan visualisasi data agar kita tidak secara tidak sengaja menipu diri sendiri dengan angka-angka yang salah.   

Pelajaran 2: Waspadai "Institusi Kosong". Pelajaran dari NRSC  adalah pelajaran yang menyakitkan tentang "Teater Institusional". Berapa banyak dari kita yang pernah ada di "Satgas" atau "Komite" baru di tempat kerja yang tidak memiliki anggaran, tidak memiliki wewenang nyata, dan tidak memiliki target yang jelas? Itulah NRSC. Membentuk sebuah lembaga tidak ada artinya jika lembaga itu tidak diberi wewenang dan sumber daya untuk berhasil.   

Saya menutup paper 29 halaman ini  dengan perasaan campur aduk. Ini lebih dari sekadar laporan tentang lalu lintas. Ini adalah sebuah autopsi kebijakan publik yang brutal dan jujur.   

Jika Anda tertarik untuk melihat bagaimana para akademisi dengan sangat sopan—namun tanpa ampun—membongkar kegagalan sistemik, mulai dari data yang korup, lisensi palsu, hingga konsultan asing yang mahal, saya sangat sarankan Anda mencoba membacanya sendiri.

(Update kecil: Saya mencari DOI resmi untuk paper ini, tapi sepertinya publikasi buletin UNESCAP dari tahun 2009 ini tidak memilikinya. Tapi, saya menemukan tautan langsung ke PDF-nya. Selamat membaca!)

(http://www.unescap.org/ttdw/Publications%5CTPTS_pubs%5Cbulletin79%5Cb79_fulltext.pdf)