Perindustrian

Laporan Analisis Komprehensif: Efektivitas dan Efisiensi Sistem Daur Ulang Air Limbah Domestik pada Sektor Industri (Studi Kasus PT. X)

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025


Tinjauan Eksekutif

1.1. Latar Belakang Studi dan Konteks Industri

Sektor industri, termasuk industri mur dan baut seperti PT. X yang berlokasi di Surabaya, memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi.1 Sejalan dengan peningkatan kegiatan operasional, industri juga bertanggung jawab atas pengelolaan volume limbah yang dihasilkan, baik limbah produksi maupun limbah domestik.1 Limbah cair, jika tidak dikelola secara maksimal hingga memenuhi standar baku mutu, dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.1

Studi ini secara spesifik berfokus pada sistem pengelolaan air limbah domestik (LCLD) PT. X. Sistem ini menarik untuk diteliti karena tidak hanya mengolah air limbah menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Biofilter, tetapi juga memanfaatkannya kembali (daur ulang) sebagai air penyiraman ruang terbuka dan Ruang Terbuka Hijau (RTH).1 Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi sistem pengelolaan LCLD PT. X, menjadikannya bahan kajian penting dalam manajemen lingkungan industri.1

1.2. Temuan Kunci Keberlanjutan

Analisis teknis dan kuantitatif menunjukkan bahwa sistem pengelolaan LCLD PT. X telah mencapai kinerja yang luar biasa, melampaui kepatuhan regulasi dasar dan mencapai tingkat sirkularitas air yang tinggi:

  1. Kualitas Efluen Optimal: Air daur ulang hasil olahan IPAL Biofilter memenuhi 100% parameter baku mutu yang dipersyaratkan oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 68 Tahun 2016.1

  2. Efisiensi Daur Ulang Luar Biasa: Efisiensi pemanfaatan air limbah domestik yang diolah mencapai angka 99%.1 Angka ini menunjukkan bahwa hampir seluruh volume air limbah hasil olahan dikembalikan ke dalam siklus operasional.

  3. Manfaat Ganda Ekonomi dan Lingkungan: Keberhasilan daur ulang ini secara langsung berkontribusi pada penekanan biaya operasional, yaitu mengurangi biaya pembelian air bersih (air tangki) yang digunakan untuk penyiraman.1 Selain itu, praktik ini secara signifikan mengurangi volume dan beban pencemar yang dilepaskan ke badan air penerima.1

1.3. Model Sirkularitas Air: Melampaui Kepatuhan

Pendekatan pengelolaan air limbah di PT. X merupakan contoh model sirkularitas air yang maju dalam konteks industri Indonesia. Dalam banyak kasus industri, fokus utama manajemen limbah adalah mencapai kepatuhan baku mutu sebelum membuang efluen ke badan air. Namun, PT. X secara sadar mengubah air limbah domestik dari sekadar "buangan yang harus dibuang" menjadi "aset operasional" atau sumber air non-potabel.1

Pendekatan ini sangat strategis karena dua alasan utama. Pertama, industri ini mengakui kontribusi limbah domestik terhadap pencemaran air permukaan, yang diperkirakan mencapai 8% dari total beban pencemar.1 Dengan memproses dan mendaur ulang hampir seluruh volume limbah domestiknya, PT. X secara efektif menghilangkan risiko pencemaran dari aliran ini. Kedua, mengingat air bersih operasional dibeli melalui air tangki, strategi daur ulang air sebesar 99% merupakan solusi ekonomi yang cerdas, memvalidasi investasi IPAL sebagai strategi penghematan biaya jangka panjang dalam menghadapi potensi kenaikan harga air bersih.1

 

Metodologi Penelitian dan Landasan Regulasi

2.1. Pendekatan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis data gabungan, yaitu kualitatif dan kuantitatif.1

Analisis Kualitatif bertujuan untuk menghasilkan deskripsi dan penjelasan, meliputi reduksi data, penyajian data, penyatuan informasi, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi.1 Aspek kualitatif mencakup deskripsi kondisi eksisting pengelolaan air, mulai dari penggunaan air bersih hingga proses pengolahan dan pemanfaatan.1

Analisis Kuantitatif berfokus pada perhitungan, terutama untuk menentukan neraca air bersih dan limbah, volume yang diolah, dan efisiensi pemanfaatan air.1

Sumber Data yang digunakan terdiri dari:

  • Data Primer: Diperoleh melalui observasi dan pengamatan langsung oleh peneliti di lokasi IPAL Biofilter, RTH, dan lokasi pemanfaatan air.1

  • Data Sekunder: Diperoleh dari catatan operasional yang diserahkan oleh PT. X, termasuk rincian jumlah air bersih yang digunakan, volume limbah yang dihasilkan, dan profil rinci proses pengolahan di IPAL biofilter.1

2.2. Regulasi Kepatuhan Kualitas Air Limbah Domestik

Aspek efektivitas pengolahan dinilai berdasarkan kepatuhan terhadap baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Baku mutu air limbah domestik diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 68 Tahun 2016.1 Kepatuhan terhadap regulasi ini memastikan bahwa air daur ulang aman secara lingkungan dan kesehatan jika dimanfaatkan kembali atau, dalam skenario pembuangan, tidak mencemari badan air penerima.

2.3. Landasan Regulasi Pemanfaatan Air Daur Ulang (Reuse)

Aktivitas pemanfaatan limbah cair domestik sebagai air penyiraman memiliki landasan hukum yang kuat, sesuai dengan Peraturan Menteri LHK No. 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penerbitan Persetujuan Teknis Dan Surat Kelayakan Operasional Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan.1 Regulasi ini mengkategorikan pemanfaatan limbah cair, antara lain, sebagai air penunjang untuk operasional, termasuk siram tanaman, jalan, dan pencucian.1

Ketersediaan payung hukum seperti Permen LHK No. 5 Tahun 2021 sangat penting. Regulasi ini memberikan insentif resmi bagi industri untuk berinvestasi dalam teknologi daur ulang. Dengan mematuhi standar kualitas dan memiliki persetujuan teknis, PT. X dapat secara resmi memindahkan air limbah dari kategori buangan menjadi sumber daya yang legal untuk dimanfaatkan kembali, yang merupakan kunci keberhasilan model sirkular ini.1

 

Analisis Kuantitatif Neraca Massa Air dan Timbulan Limbah Harian

Neraca massa air merupakan dasar perhitungan untuk memahami beban yang harus diolah oleh IPAL dan potensi air yang dapat didaur ulang. PT. X memperoleh air bersih domestik melalui pembelian air tangki.1

3.1. Estimasi Kebutuhan dan Timbulan Limbah

Total kebutuhan air bersih domestik rata-rata PT. X adalah $17.5~m^{3}/hari$.1 Perhitungan ini didasarkan pada standar kebutuhan air per orang per hari (50 liter/orang/hari untuk 348 karyawan dan 10 liter/orang/hari untuk 10 pengunjung) sesuai SNI 03-7065-2005.1

Dalam perhitungan timbulan air limbah domestik, digunakan faktor timbulan sebesar 70% dari total kebutuhan air bersih, sementara 30% sisanya diasumsikan tertinggal pada saluran atau menguap.1 Oleh karena itu, total produksi limbah domestik harian adalah $12.25~m^{3}/hari$.1

3.2. Karakteristik Aliran Limbah Masuk IPAL

Air limbah domestik yang dihasilkan terdiri dari dua komponen utama:

  1. Grey Water: Mencapai 80% dari total limbah, yaitu $9.8~m^{3}/hari$.1 Grey water berasal dari aktivitas kamar mandi dan dapur.

  2. Black Water: Mencapai 20% dari total limbah, yaitu $2.45~m^{3}/hari$.1 Black water berasal dari Water Closet (WC).

Total volume produksi limbah adalah $12.25~m^{3}/hari$. Sebagian kecil dari black water menghasilkan lumpur (sludge) sebesar $0.1225~m^{3}/hari$ yang diolah lebih lanjut oleh pihak ketiga (sedot tinja).1

Dengan demikian, volume air limpasan yang masuk ke dalam IPAL Biofilter untuk diolah adalah $12.1275~m^{3}/hari$ (yaitu $12.25~m^{3}/hari$ dikurangi $0.1225~m^{3}/hari$ lumpur).1

3.3. Implikasi Rasio Grey Water/Black Water terhadap Desain IPAL

Dominasi Grey Water (80%) dalam aliran limbah PT. X memiliki implikasi teknis penting. Grey water cenderung mengandung bahan organik (dari lemak, sabun, dan deterjen).1 Oleh karena itu, keberadaan unit pra-perlakuan (pre-treatment) yang efisien adalah wajib.1

PT. X memastikan air limbah dari dapur melewati unit grease trap sebelum masuk ke tangki ekualisasi.1 Fungsi grease trap adalah memisahkan minyak dan lemak, yang jika dibiarkan masuk dapat menyebabkan penyumbatan pipa, menurunkan efisiensi transfer oksigen, dan menghambat pertumbuhan biofilm dalam reaktor biologis. Selain itu, pemisahan lumpur (sludge) dari Black Water sebelum masuk IPAL sangat penting untuk mencegah beban padatan tersuspensi total (TSS) berlebih, yang menjaga stabilitas IPAL Biofilter dan menjamin kualitas efluen yang stabil.1

 

Desain Teknik dan Kinerja Operasional IPAL Biofilter Kombinasi

4.1. Desain Sistem dan Kapasitas

PT. X menggunakan IPAL domestik dengan teknologi Biofilter kombinasi (Anaerob-Aerob).1 Jenis teknologi ini dipilih karena efektivitasnya dalam menurunkan beban organik dalam air limbah dan meningkatkan kualitas air.1

Kapasitas desain IPAL Domestik PT. X adalah $20~m^{3}$.1 Kapasitas ini dianggap memadai, bahkan melebihi kebutuhan aktual, untuk mengolah debit harian yang hanya sebesar $12.1275~m^{3}/hari$.1 Kapasitas yang lebih besar dari debit harian menunjukkan adanya margin keamanan operasional yang baik.

4.2. Rantai Proses Pengolahan Biofilter (Empat Kompartemen)

IPAL Biofilter PT. X terdiri dari empat kompartemen utama 1:

  1. Tangki Ekualisasi/Bak Pengendap Awal: Sebelum proses biologis dimulai, air limbah ditampung di tangki ekualisasi.1 Fungsi utamanya adalah menstabilkan fluktuasi debit air limbah dan mencampur aliran dari dapur dan kamar mandi.1 Bak pengendap awal juga berfungsi untuk mengendapkan partikel lumpur dan padatan organik kasar.1

  2. Bak Anaerobik: Air limpasan dari bak pengendap awal masuk ke zona anaerobik. Media penyangga yang digunakan di sini adalah sarang tawon.1 Bakteri anaerob tumbuh dan menempel pada media ini (fixed-film). Pengolahan ini terjadi tanpa aerasi, yang memungkinkan penguraian bahan organik dalam air limbah secara efektif dan efisien karena waktu kontak yang lebih lama antara air limbah dan bakteri.1

  3. Bak Aerobik: Air kemudian dialirkan ke bak aerobik, yang juga menggunakan media penyangga plastik tipe sarang tawon.1 Bak ini dilengkapi dengan sistem aerasi (peniupan udara) untuk menyediakan oksigen bagi mikroorganisme aerob.1 Proses aerobik ini penting untuk oksidasi zat organik yang tersisa, degradasi deterjen, dan proses nitrifikasi, yang secara signifikan meningkatkan efisiensi penghilangan amonia ($\text{NH}_3$).1

  4. Bak Pengendap Akhir: Air dari bak aerob mengalir ke bak pengendap akhir. Di sini, lumpur (biomassa aktif) diendapkan. Sebagian lumpur yang diendapkan disirkulasikan kembali ke bagian inlet bak aerob menggunakan pompa sirkulasi lumpur, sebuah langkah penting untuk menjaga konsentrasi biomassa yang efektif dalam reaktor.1

Penggunaan media fixed-film (sarang tawon) di kedua reaktor, Anaerob dan Aerob, menunjukkan desain yang berorientasi pada stabilitas operasional. Sistem fixed-film diketahui memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap fluktuasi debit dan toksisitas mendadak—kondisi yang mungkin terjadi dalam operasional industri—dibandingkan dengan sistem lumpur aktif konvensional. Stabilitas ini merupakan kunci untuk menghasilkan efluen berkualitas tinggi secara konsisten.1

4.3. Post-Treatment dan Disinfeksi

Air limpasan akhir, setelah melalui pengendapan, dialirkan ke tangki efluen. Di sini, dilakukan injeksi klorin pada pipa transfer untuk mereduksi Total Coliform yang tersisa dalam air limbah.1 Proses klorinasi ini memastikan bahwa air daur ulang mencapai standar mikrobiologis yang aman untuk pemanfaatan penyiraman.

 

Evaluasi Kualitas Efluen dan Audit Kepatuhan Lingkungan

5.1. Verifikasi Kepatuhan Baku Mutu (Permen LHK No. 68/2016)

Setelah melalui seluruh tahapan pengolahan, air hasil olahan IPAL Biofilter diuji parameter limbah cair domestiknya.1 Hasil pengujian menunjukkan bahwa seluruh parameter telah memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan oleh Permen LHK No. 68 Tahun 2016, sehingga air tersebut dinyatakan aman untuk dimanfaatkan kembali.1

Analisis data menunjukkan bahwa IPAL Biofilter PT. X beroperasi dengan margin keamanan yang tinggi terhadap batas regulasi:

  1. Beban Organik (BOD/COD): Nilai BOD yang dicapai ($<20.3~mg/L$) dan COD ($35.6~mg/L$) jauh di bawah batas maksimum yang diizinkan (30 dan $100~mg/L$, masing-masing).1 Margin keamanan yang besar ini mengindikasikan bahwa sistem biologis bekerja pada efisiensi puncak dalam mendegradasi bahan organik. Hal ini konsisten dengan literatur yang menyebutkan efisiensi biofilter anaerob-aerob dapat berkisar antara 56,73% hingga 97,65%.1

  2. Nutrien (Amonia - $\text{NH}_3$): Penghilangan amonia sangat efektif, dengan hasil uji hanya $0.0526~mg/L$ dibandingkan baku mutu $10~mg/L$.1 Efisiensi penghilangan amonia yang tinggi ini merupakan bukti bahwa proses nitrifikasi dalam bak aerobik, yang dibantu oleh sirkulasi lumpur, berfungsi dengan sangat baik.1 Kualitas air dengan kadar $\text{NH}_3$ yang sangat rendah ini krusial untuk aplikasi irigasi RTH karena meminimalkan risiko toksisitas nitrogen pada tanaman dan tanah.

  3. Mikrobiologi (Total Coliform): Hasil Total Coliform sebesar 2,870 jumlah/100 mL masih memenuhi baku mutu (3,000 jumlah/100 mL).1 Namun, perlu dicatat bahwa nilai ini relatif mendekati ambang batas maksimum. Karena air daur ulang digunakan untuk penyiraman di ruang terbuka yang diakses oleh karyawan dan pengunjung, keselamatan mikrobiologis adalah faktor non-negotiable. Proksimitas ke batas maksimum menunjukkan bahwa sistem kontrol dan dosis disinfeksi klorin harus dipertahankan dan diaudit secara sangat ketat untuk memastikan margin keamanan yang memadai.1

 

Metrik Pemanfaatan dan Efisiensi Daur Ulang Air

6.1. Mekanisme Pemanfaatan Air Daur Ulang

Air daur ulang (recycle) yang telah memenuhi baku mutu dimanfaatkan sepenuhnya oleh PT. X sebagai air penyiraman.1 Aplikasi pemanfaatan meliputi penyiraman:

  • Ruang terbuka hijau (RTH)

  • Ruang terbuka, termasuk tanah kosong, jalan berpaving, dan jalan tanpa perkerasan.1

Total luas lokasi pemanfaatan air ini adalah $5.932~m^{2}$.1 Proses penyiraman dilakukan secara manual menggunakan pompa dari tangki air ke tanaman dan lahan yang akan disiram, dilaksanakan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari.1 Pemanfaatan limbah cair domestik untuk penyiraman ini sejalan dengan praktik yang diterapkan di kawasan industri dan pariwisata lainnya.1

6.2. Evaluasi Efisiensi Pemanfaatan

Efisiensi penggunaan air didefinisikan sebagai tingkat pemanfaatan kembali air limbah yang telah diolah untuk mencapai hasil maksimal dan menekan kebutuhan air bersih.1

Volume air daur ulang yang dihasilkan oleh IPAL Biofilter dan siap dimanfaatkan adalah $12.1275~m^{3}/hari$.1 Volume air yang dibutuhkan untuk total penyiraman RTH dan ruang terbuka di pagi dan sore hari juga sebesar $12.1275~m^{3}/hari$.1

Perhitungan ini menghasilkan efisiensi pemanfaatan air limbah olahan IPAL Biofilter sebesar 99%.1

6.3. Keberhasilan Pencocokan Suplai-Permintaan (Demand-Supply Matching)

Pencapaian efisiensi 99% merupakan indikator keberhasilan manajemen yang sangat tinggi. Efisiensi ini tidak hanya mencerminkan kualitas teknologi pengolahan yang baik, tetapi yang lebih penting, menunjukkan kemampuan manajemen PT. X untuk mencocokkan suplai air daur ulang ($12.1275~m^{3}/hari$) dengan permintaan irigasi harian untuk lahan seluas $5.932~m^{2}$.1

Tingkat pemanfaatan yang hampir penuh ini berhasil menghindari kebutuhan untuk membangun saluran pembuangan limpasan efluen yang substansial, yang akan meningkatkan biaya operasional dan memperkenalkan risiko pelepasan pencemar, meskipun efluen telah memenuhi baku mutu. Pencocokan suplai dan permintaan air daur ulang ini memposisikan PT. X pada skenario Near Zero Discharge untuk aliran domestik.

 

Dampak Ekonomi dan Lingkungan Strategis

Pengelolaan limbah cair domestik secara terpadu di PT. X memberikan dampak strategis ganda, mencakup aspek ekonomi dan lingkungan.

7.1. Analisis Pengurangan Biaya Operasional (Cost-Saving)

Manfaat ekonomi utama yang diperoleh PT. X dari sistem daur ulang ini adalah kemampuan untuk menekan biaya pembelian air bersih.1 Mengingat air bersih domestik diperoleh melalui pembelian air tangki, sumber yang seringkali memiliki biaya per unit volume yang relatif tinggi dibandingkan sumber air permukaan, nilai ekonomi dari daur ulang $12.1275~m^{3}/hari$ menjadi substansial.1

Sistem IPAL, dalam konteks ini, berfungsi sebagai penyangga risiko biaya air operasional (OPEX). Dengan mengalihkan kebutuhan air non-potabel (penyiraman) dari sumber air bersih yang dibeli ke air daur ulang internal, PT. X tidak hanya mengurangi biaya saat ini tetapi juga melindungi operasionalnya dari potensi kenaikan tarif air bersih di masa depan.

7.2. Mitigasi Risiko Pencemaran Lingkungan

Dari perspektif lingkungan, sistem ini memiliki dua kontribusi utama 1:

  1. Pengurangan Beban Pencemar: Pengolahan menggunakan Biofilter Anaerob-Aerob secara drastis mengurangi konsentrasi zat organik (BOD, COD) dan Total Coliform.1

  2. Pengurangan Volume Debit: Dengan tingkat efisiensi pemanfaatan sebesar 99%, hampir tidak ada volume air limbah hasil olahan yang dibuang ke badan air penerima. Pengurangan volume debit ini secara efektif menghilangkan risiko pencemaran volumetrik dan meminimalkan beban pencemar yang dilepaskan ke lingkungan, mendukung upaya menjaga kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.1

 

Kesimpulan dan Prospek Rekomendasi Lanjutan

8.1. Kesimpulan Kinerja

Sistem Pengolahan dan Pemanfaatan Air Limbah Domestik di PT. X terbukti menunjukkan kinerja yang optimal. Sistem IPAL Biofilter kombinasi Anaerob-Aerob adalah pilihan teknologi yang tepat untuk volume aliran dan karakteristik beban pencemar yang didominasi oleh grey water.1 Pengolahan ini terbukti efektif karena menghasilkan air daur ulang yang sepenuhnya memenuhi baku mutu Permen LHK No. 68 Tahun 2016, dan terbukti sangat efisien karena mencapai tingkat pemanfaatan volume hingga 99%.1

Keberhasilan ini menghasilkan manfaat nyata: menekan biaya pembelian air bersih untuk penyiraman RTH dan ruang terbuka, serta mengurangi volume dan beban pencemar pada badan air.1 Model pengelolaan yang dilakukan PT. X ini dapat dijadikan studi percontohan bagi pelaku industri lainnya dalam upaya mengelola limbah cair domestik guna menciptakan lingkungan yang sehat dan mendukung kelestarian lingkungan berkelanjutan.1

8.2. Rekomendasi Teknis untuk Peningkatan Berkelanjutan

Meskipun kinerja saat ini sangat baik, ada beberapa area yang dapat ditingkatkan untuk memastikan keberlanjutan dan meningkatkan margin keamanan operasional:

  1. Peningkatan Margin Keamanan Mikrobiologis: Mengingat hasil Total Coliform (2,870 jumlah/100 mL) yang mendekati batas baku mutu (3,000 jumlah/100 mL), disarankan untuk mengimplementasikan sistem dosis klorin otomatis berbasis sensor untuk memastikan konsentrasi disinfektan yang konsisten. Alternatifnya, mempertimbangkan teknologi disinfeksi lanjutan, seperti Ultra Violet (UV) treatment, dapat memberikan margin keamanan yang lebih besar terhadap mikroorganisme patogen, terutama karena air digunakan untuk penyiraman di area yang diakses publik.

  2. Audit Kualitas Tanah dan Dampak Jangka Panjang: Meskipun kualitas air efluen yang digunakan untuk irigasi sudah sangat baik (terutama kadar $\text{NH}_3$ yang sangat rendah), disarankan untuk melakukan pengujian berkala terhadap kualitas tanah di RTH dan ruang terbuka. Pemantauan akumulasi garam, nutrisi, atau potensi dampak fisik-kimia lainnya akibat penyiraman air daur ulang jangka panjang perlu dilakukan untuk mempertahankan kesehatan tanah dan tanaman.

  3. Perluasan Aplikasi Daur Ulang: Dengan suplai air daur ulang yang stabil dan berkualitas, PT. X dapat meninjau kemungkinan penggunaan air ini untuk aplikasi non-potabel lainnya di dalam fasilitas, seperti flushing toilet, pencucian kendaraan operasional, atau pengisian cadangan air pemadam kebakaran. Perluasan ini akan semakin memaksimalkan Return on Investment (ROI) dari IPAL dan meningkatkan ketahanan air operasional secara keseluruhan.1

Selengkapnya
Laporan Analisis Komprehensif: Efektivitas dan Efisiensi Sistem Daur Ulang Air Limbah Domestik pada Sektor Industri (Studi Kasus PT. X)

Limbah Berbahaya dan Beracun

Laporan Ahli: Analisis Generasi, Karakteristik, dan Pengelolaan Air Limbah Domestik di Indonesia—Tinjauan Beban Polusi Organik dan Kesenjangan Infrastruktur

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025


Rangkuman Eksekutif dan Wawasan Strategis

Pengelolaan air limbah domestik di Indonesia menghadapi tantangan sistemik yang kompleks, diperburuk oleh pertumbuhan populasi yang mencapai 270 juta jiwa. Laporan ini menyajikan tinjauan komprehensif mengenai generasi, karakteristik, dan status pengolahan air limbah domestik, menggarisbawahi pergeseran fokus analitis yang diperlukan dari air hitam (black water) ke air abu-abu (grey water) sebagai sumber polusi organik dominan di badan air permukaan.

Temuan utama menunjukkan bahwa, meskipun air hitam (buangan toilet) memiliki konsentrasi polutan yang sangat tinggi (COD $509–2361~mg/l$) 1, air abu-abu—yang terdiri dari air limbah non-toilet—menghasilkan volume yang jauh lebih besar, yaitu 1 hingga 4 kali lebih tinggi daripada air hitam.1 Lebih krusial lagi, kuantitas air abu-abu yang tidak diolah adalah 3 hingga 6 kali lebih tinggi daripada air hitam yang tidak diolah.1

Analisis keseimbangan material mengonfirmasi bahwa beban Chemical Oxygen Demand (COD) yang tidak diolah yang berasal dari pelepasan langsung air abu-abu di kawasan perkotaan jauh melebihi beban total COD dari kebocoran tangki septik dan pembuangan air hitam langsung. Kegagalan sistemik ini menunjukkan bahwa air abu-abu menjadi kontributor signifikan terhadap polusi air, terutama karena kuantitasnya yang besar dan kurangnya pengolahan.1 Selain itu, infrastruktur pengolahan air hitam on-site, yang diandalkan oleh 79% rumah tangga 1, sebagian besar tidak memadai, dengan estimasi 83% tangki septik tidak memenuhi standar kesehatan dan kualitas.1 Kondisi ini menciptakan risiko kontaminasi air tanah yang meluas.

Oleh karena itu, diperlukan adopsi kebijakan yang terintegrasi, yaitu dengan memberlakukan skema insentif atau penalti yang mengikat di tingkat rumah tangga, komunitas, atau kota, guna memastikan pembangunan dan kualitas sistem pengolahan air limbah domestik yang efektif.1

 

Dinamika Generasi Air Limbah Domestik Indonesia

A. Profil Konsumsi Air Bersih: Determinasi Volume Air Limbah

Volume air limbah domestik di Indonesia berbanding lurus dengan pola konsumsi air bersih. Data menunjukkan adanya disparitas signifikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Konsumsi air di area urban rata-rata mencapai $169 \pm 44~l/c/d$, yang telah memenuhi ambang batas optimal untuk hidrasi dan kebersihan pribadi (setidaknya $100~l/c/d$).1 Sebaliknya, konsumsi di area pedesaan rata-rata hanya $82 \pm 45~l/c/d$, yang masih berada di bawah ambang batas optimal.1

Faktor utama yang menentukan tingkat konsumsi air adalah aksesibilitas dan tingkat pendapatan. Penelitian di kota-kota seperti Bandung dan Surakarta menunjukkan bahwa rumah tangga yang terhubung dengan perusahaan air minum memiliki konsumsi air yang lebih tinggi dibandingkan yang menggunakan sumber air independen, seperti sumur individual.1 Lebih jauh, akses yang terbatas, seperti di area dengan sumur komunal, secara signifikan menurunkan konsumsi air (misalnya, di Bandung, turun menjadi $66 \pm 46~l/c/d$ untuk sumur komunal, dibandingkan $190 \pm 251~l/c/d$ untuk sambungan air).1

Data ini menyoroti sebuah hubungan sebab-akibat yang kritis: peningkatan pendapatan dan urbanisasi secara langsung meningkatkan konsumsi air domestik.1 Ketika konsumsi air meningkat, volume air limbah yang dihasilkan juga meningkat. Mengingat kapasitas pengolahan air limbah terpusat yang sangat minim ($0.3~km^{3}/\text{year}$ melawan total volume $14.3~km^{3}/\text{year}$) 1, pertumbuhan sosial ekonomi dan urbanisasi yang cepat berfungsi sebagai pengganda beban polusi, khususnya di pulau Jawa yang padat penduduk.1

B. Klasifikasi dan Kuantitas Relatif Aliran Air Limbah

Air limbah domestik dibagi menjadi dua kategori: air hitam dan air abu-abu.1 Air hitam, yang berasal dari toilet, ditandai oleh kandungan organik, nitrogen, dan fosfor yang tinggi.1 Volumenya diestimasikan relatif rendah, yaitu 36–43 l/c/d di perkotaan dan 18 l/c/d di pedesaan.1

Air abu-abu mencakup semua air limbah lainnya (wastafel, kamar mandi, dan laundry). Meskipun kandungan organik totalnya relatif rendah, volumenya mencapai 1 hingga 4 kali lipat dari air hitam.1 Di kawasan perkotaan kelas menengah, generasi air abu-abu diestimasi mencapai 137–153 l/c/d.1 Penekanan kebijakan pada air hitam sebagai sumber penyakit menular telah menyebabkan regulasi dan infrastruktur mengabaikan air abu-abu. Konsekuensinya, 51–53% air abu-abu dibuang langsung ke badan air tanpa pengolahan 1, sebuah kegagalan kebijakan yang secara kuantitatif menciptakan beban pencemaran terbesar.

 

Karakteristik Teknis dan Beban Polutan

Air limbah domestik di Indonesia mengandung serangkaian parameter yang menjadi perhatian, termasuk suspended solids, BOD, COD, minyak dan lemak, nitrogen, dan koliform.1 Konsentrasi polutan ini secara universal melampaui Standar Kualitas Air (WQS) yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MoEF 2016) untuk pelepasan ke badan air.1

A. Beban Organik (BOD dan COD) dan Kontribusi Aliran

Air hitam memiliki konsentrasi BOD dan COD tertinggi: BOD berkisar $206–850~mg/l$ dan COD $509–2361~mg/l$.1 Rasio BOD/COD rata-rata di air hitam hanya sekitar 38%, mengindikasikan bahwa beban organik cenderung stabil atau kurang mudah terurai secara hayati dibandingkan air abu-abu.1

Air abu-abu, meskipun konsentrasinya lebih rendah, tetap menghasilkan nilai BOD ($125–401~mg/l$) dan COD ($232–780~mg/l$) yang jauh di atas WQS.1 Rasio BOD/COD yang tinggi pada air abu-abu (29–95%) menunjukkan bahwa sebagian besar bahan organik di dalamnya mudah terdegradasi.1 Konsentrasi COD tertinggi dalam air abu-abu diidentifikasi berasal dari aktivitas laundry ($1384 \pm 741~mg/l$).1 Penemuan ini menunjukkan bahwa masalah polusi organik air abu-abu di Indonesia sangat terkait dengan penggunaan deterjen rumah tangga, yang selanjutnya memerlukan teknologi pengolahan yang efektif dalam menghilangkan surfaktan.

B. Analisis Nutrisi dan Kontaminasi Patogen

Konsentrasi nitrogen dan fosfor yang berlebihan adalah penyebab utama eutrofikasi. Air hitam adalah sumber utama nitrogen, dengan konsentrasi amonia (${\text{NH}_{3}}\text{-N}$) mencapai $112~mg/l$, jauh melebihi standar $10~mg/l$.1 Air hitam diperkirakan menyumbang sekitar 79% dari total fosfor dalam air limbah domestik.1 Meskipun regulasi (SNI) mengatur penggunaan fosfat dalam deterjen, implementasinya masih bersifat sukarela 1, dan kontribusi fosfor dari air abu-abu mencapai sekitar 11%.1

Terkait kontaminasi patogen, data menunjukkan tingginya Faecal Coliform dalam air abu-abu (rentang $2.4\times10^{3}$ hingga $1.2\times10^{9}$ MPN/100 ml).1 Nilai ekstrem ini melampaui standar air untuk irigasi dan secara jelas mengindikasikan adanya kontaminasi tinja yang parah dalam sistem air abu-abu.1

C. Ancaman Mikropolutan

Micropolutan adalah senyawa yang ada dalam jumlah kecil tetapi dapat mengganggu ekosistem perairan. Senyawa ini meliputi surfaktan, obat-obatan, hormon, dan produk perawatan pribadi (PCPs) seperti Chloroxylenol dan DEET.1 Di Indonesia, surfaktan (diukur sebagai MBAS) terdeteksi dalam air abu-abu pada konsentrasi $0.2–22~mg/l$.1 Deteksi senyawa turunan PCPs di badan air permukaan (misalnya, Jakarta Bay dan Sungai Ciliwung) 1 berkorelasi dengan pola konsumsi di kawasan urban kelas menengah. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan standar hidup tidak hanya meningkatkan volume air limbah, tetapi juga meningkatkan kompleksitas polutan kimiawi yang dilepaskan, memerlukan teknologi pengolahan tersier yang lebih maju.

 

Evaluasi Infrastruktur Pengolahan Saat Ini dan Kesenjangan Sistemik

Sistem pengolahan air limbah domestik di Indonesia sebagian besar terfragmentasi dan tidak memadai, gagal menangani volume air limbah yang terus bertambah.

A. Keterbatasan Pengolahan Off-Site (Sentralisasi)

Infrastruktur pengolahan air limbah terpusat (sistem sewerage kota) sangat minim. Kapasitas pengolahan terpasang secara nasional hanya $0.3~km^{3}/\text{year}$, sementara total volume air limbah (domestik, komersial, dan industri) diperkirakan $14.3~km^{3}/\text{year}$.1 Hanya 1% rumah tangga di seluruh Indonesia yang terhubung ke sistem terpusat.1 Dari 514 kota, hanya 12 yang memiliki sistem terpusat, dan sebagian besar memiliki cakupan layanan di bawah 50%, kecuali Denpasar (90%).1

Hambatan utama dalam implementasi sistem terpusat mencakup masalah teknis, kendala finansial, dan kurangnya dukungan kebijakan yang berkelanjutan.1 Kegagalan dalam pengembangan infrastruktur terpusat secara agresif memaksa ketergantungan pada solusi on-site.

B. Kegagalan Sistem On-Site (Black Water Treatment)

Sebanyak 79% air hitam rumah tangga diolah menggunakan tangki septik individual atau komunal.1 Meskipun statistik ini memberikan ilusi cakupan sanitasi yang tinggi, kualitas pengolahan di tempat seringkali tidak memadai karena kurangnya kontrol kualitas, operasi, dan pemeliharaan.1 Data kritis menunjukkan bahwa 83% tangki septik di Indonesia tidak memenuhi standar kesehatan dan kualitas.1

Kegagalan yang meluas ini menyebabkan rembesan (kebocoran) air hitam yang tidak diolah, melepaskan polutan seperti Nitrogen dan Koliform secara langsung ke dalam tanah dan berpotensi mencemari akuifer air tanah dangkal yang sering digunakan sebagai sumber air bersih.1

C. Air Abu-abu: Analisis Pelepasan Langsung

Air abu-abu sebagian besar diabaikan dalam kerangka regulasi sanitasi Indonesia. Secara keseluruhan, 51–53% air abu-abu dibuang langsung ke badan air (parit atau sungai) tanpa melalui pengolahan.1 Hanya 30% air abu-abu dari kamar mandi/laundry dan 26% dari dapur yang menjalani pengolahan minimal (tangki terbuka atau tertutup).1

Karena tidak adanya kewajiban pengolahan atau skema insentif/penalti untuk air abu-abu, tingginya volume air ini—ditambah dengan pelepasan langsung yang masif—menjadi kontributor utama beban COD ke badan air permukaan, melampaui kontribusi air hitam di wilayah urban.

D. Kinerja Sistem Desentralisasi (DEWATS)

Sistem Pengolahan Air Limbah Desentralisasi (DEWATS), seperti yang diterapkan di bawah program SANIMAS, telah mencakup lebih dari 15.000 unit, biasanya melayani 20–50 rumah tangga.1 Sistem ini, yang sering menggunakan Anaerobic Baffled Reactor (ABR), menunjukkan efisiensi penghilangan BOD, COD, dan TSS yang moderat hingga tinggi (umumnya $>50\%$).1 Namun, keberlanjutan operasional DEWATS terancam oleh kelemahan institusional. Sistem ini sering dikelola oleh komunitas tanpa dukungan yang memadai. Pendanaan operasional hanya mencakup operasi harian, tidak termasuk biaya desludging atau pemeliharaan besar, yang mengakibatkan penurunan kinerja seiring waktu.1

 

Kuantifikasi Dampak Lingkungan dan Kontribusi Polusi

Analisis keseimbangan material adalah metode yang digunakan untuk mengestimasi beban polutan yang dilepaskan ke lingkungan, terutama dalam bentuk Chemical Oxygen Demand (COD).1 Estimasi ini mengungkapkan bahwa beban polusi organik yang tidak diolah ke badan air didominasi oleh aliran air abu-abu di kawasan perkotaan.

A. Model Beban Organik (COD) yang Tidak Diolah: Kuantifikasi Kritis

Hasil kuantifikasi ini memberikan bukti kuat untuk pergeseran paradigma kebijakan. Di wilayah perkotaan, beban COD yang dilepaskan ke badan air dari air abu-abu yang tidak diolah (4835 t/d) hampir dua kali lipat lebih tinggi (rasio 1.7:1) daripada beban total yang berasal dari air hitam yang tidak diolah (2857 t/d).1 Beban air hitam yang tidak diolah ini sendiri sebagian besar berasal dari kebocoran tangki septik (1799 t/d).1

Struktur polusi ganda ini menunjukkan dua jalur utama kontaminasi: air hitam, melalui kegagalan septic tank, menjadi sumber utama polusi air tanah, sementara air abu-abu, melalui pembuangan langsung, menjadi sumber utama polusi air permukaan. Di area pedesaan, beban COD yang tidak diolah relatif lebih seimbang, dengan rasio 1.06:1, konsisten dengan volume air limbah yang lebih rendah.1

B. Studi Kasus Dampak Regional

Kondisi polusi air limbah domestik telah mencapai tingkat yang parah di banyak wilayah Indonesia, terutama di kawasan yang padat penduduk.

Sungai Citarum dan Beban BOD:

Di Sungai Citarum, air limbah domestik menyumbang 84% dari total beban Biochemical Oxygen Demand (BOD) ke sungai.1 Kontribusi ini telah meningkat secara dramatis dari 44–54% pada tahun 2000, yang merupakan cerminan langsung dari peningkatan populasi dan perubahan kondisi sosial-ekonomi.1

Eutrofikasi:

Pelepasan nitrogen (N) dan fosfor (P) yang tidak terkontrol dari air limbah telah menyebabkan eutrofikasi. Waduk Saguling di hulu DAS Citarum, misalnya, telah mencapai kondisi hyper-eutrophic.1 Meskipun sumber nutrisi lain, seperti agrikultur, dominan untuk Nitrogen (71%), kontribusi dari sumber domestik (misalnya, 14% Nitrogen dan 35% Fosfor di air tanah yang mengalir ke estuari Jepara) cukup signifikan untuk mendorong perairan pesisir dan sungai ke kondisi eutrofikasi sedang hingga parah.1 Eutrofikasi ini menyebabkan penipisan oksigen, mengurangi keanekaragaman hayati, dan menimbulkan ancaman toksisitas.3

Kontaminasi Mikrobial:

Studi di sepanjang Sungai Ciliwung menunjukkan bahwa kontribusi air abu-abu mencapai 26% di hulu.1 Selain itu, kontaminasi mikrobial dari air limbah domestik, termasuk air hitam, telah terdeteksi dalam sedimen Sungai Citarum, yang menyebabkan penurunan keanekaragaman mikrobial di situs-situs yang tercemar.1

 

Kerangka Strategis dan Rekomendasi Kebijakan

Untuk mengatasi kesenjangan sistemik dalam pengelolaan air limbah, diperlukan kerangka strategis yang didasarkan pada integrasi infrastruktur, adopsi teknologi yang sesuai, dan penguatan regulasi melalui mekanisme ekonomi.

A. Prinsip Pengelolaan Terintegrasi dan Kebutuhan Riset

Infrastruktur air bersih dan air limbah harus direncanakan secara terintegrasi.1 Pengguna yang dilayani oleh perusahaan air bersih (PDAM) harus secara otomatis dianggap sebagai pengguna potensial untuk layanan pengolahan air limbah, baik melalui sistem terpusat maupun desentralisasi.

Meskipun laporan ini menyajikan sintesis data yang ada, perencanaan strategis jangka panjang masih terhambat oleh kurangnya longitudinal studies (studi jangka panjang) dan studi di luar pulau Jawa. Keragaman kondisi lingkungan dan budaya Indonesia memerlukan data yang lebih spesifik dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa solusi yang diusulkan efektif di berbagai wilayah.1

B. Pendekatan Teknologi dan Prioritas Pengolahan Grey Water

Mengingat volume air abu-abu yang besar dan tingginya kandungan surfaktan/deterjen, teknologi pengolahan harus disesuaikan dengan kebutuhan:

  1. Pengolahan Air Abu-abu: Proses pengolahan air abu-abu harus memprioritaskan sistem biologis aerobik. Surfaktan anionik, yang merupakan polutan utama di air abu-abu, mudah terdegradasi dalam kondisi aerobik tetapi cenderung persisten dalam kondisi anaerobik.1 Pilihan teknologi on-site atau off-site harus mempertimbangkan persyaratan Operasi dan Pemeliharaan (O&M) yang minimal dan footprint lahan yang kecil, terutama di wilayah perkotaan padat.1

  2. Pemanfaatan Kembali (Reuse): Pemanfaatan kembali air abu-abu yang telah diolah untuk keperluan non-potable (misalnya, penyiraman lansekap atau toilet flushing) dapat berfungsi sebagai insentif yang kuat bagi rumah tangga untuk berinvestasi dalam sistem pengolahan.1 Namun, sistem ini wajib memerlukan pengolahan tersier, termasuk filtrasi membran dan desinfeksi, untuk menjamin keamanan air.1

  3. Penguatan Black Water Treatment: Daripada terus bergantung pada instalasi tangki septik yang 83% diperkirakan gagal, kebijakan harus mengalihkan fokus ke: (1) Pengawasan kualitas konstruksi yang ketat untuk tangki septik baru, dan (2) Pengembangan sistem DEWATS komunal yang dikelola secara profesional untuk kepadatan menengah, untuk memastikan efisiensi dan keberlanjutan O&M, termasuk desludging rutin.1

C. Mekanisme Insentif dan Penalti

Skema insentif atau penalti yang mengikat secara hukum diperlukan untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan memastikan kualitas pengolahan air limbah domestik di tingkat rumah tangga, komunitas, atau kota.1

  1. Insentif Finansial: Pemerintah perlu menawarkan subsidi substansial untuk biaya modal (CAPEX) instalasi sistem pengolahan air abu-abu on-site atau untuk pengembangan DEWATS komunal.1 Insentif juga harus mencakup subsidi biaya operasional dan biaya desludging berkala, yang saat ini sering diabaikan oleh pengguna.1

  2. Penalti Kepatuhan: Penalti harus diterapkan pada rumah tangga yang terbukti melakukan pembuangan air limbah (terutama air abu-abu) langsung ke badan air, atau jika inspeksi menunjukkan bahwa tangki septik mereka tidak memenuhi standar teknis.1 Namun, penerapan skema penalti memerlukan investasi dalam mekanisme pemantauan yang andal dan mahal (misalnya, sistem pengukuran otomatis).1 Oleh karena itu, skema insentif yang mendorong partisipasi sukarela mungkin lebih efektif dalam jangka pendek.

 

Kesimpulan

Air limbah domestik di Indonesia merupakan penyumbang utama polusi air, dengan air abu-abu yang tidak diolah menjadi penyumbang beban COD organik terbesar di kawasan perkotaan (rasio 1.7:1 dibandingkan air hitam). Meskipun air hitam memiliki konsentrasi polutan tertinggi, pelepasan langsung volume air abu-abu yang besar (51–53%) adalah masalah lingkungan yang mendominasi air permukaan.

Kegagalan yang meluas pada sistem pengolahan air hitam on-site (83% septic tank tidak memenuhi standar) menciptakan kontaminasi air tanah yang serius, sementara kurangnya regulasi dan skema insentif untuk pengolahan air abu-abu memperburuk kondisi air permukaan (Citarum, eutrofikasi).

Disarankan agar kebijakan sanitasi segera bergeser dari fokus tunggal pada air hitam menuju kerangka pengelolaan air limbah terintegrasi yang memprioritaskan pengolahan air abu-abu melalui sistem aerobik yang didukung oleh insentif, sambil secara simultan mengamanatkan kontrol kualitas dan O&M terpusat untuk semua sistem air hitam on-site dan desentralisasi. Implementasi skema insentif/penalti di tingkat rumah tangga dan komunitas sangat diperlukan untuk menjamin kualitas pengolahan dan keberlanjutan lingkungan.

 

Sumber Artikel:

Domestic wastewater in Indonesia: generation, characteristics and treatment - PMC, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8853296/

Selengkapnya
Laporan Ahli: Analisis Generasi, Karakteristik, dan Pengelolaan Air Limbah Domestik di Indonesia—Tinjauan Beban Polusi Organik dan Kesenjangan Infrastruktur

Kebijakan Publik & Pengembangan Wilayah

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Air Bersih Indonesia: Air Sabun dan Sisa Cucian Lebih Berbahaya dari Toilet!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025


Indonesia, dengan populasi sekitar 270 juta jiwa, secara alami menghasilkan volume air limbah domestik yang masif setiap harinya. Dalam setiap penggunaan air bersih, hingga 90% dari konsumsi tersebut akan berakhir sebagai air limbah yang harus diolah sebelum dilepaskan kembali ke lingkungan.1

Secara tradisional, ketika berbicara mengenai sanitasi dan polusi air, fokus utama selalu tertuju pada "Air Hitam" (Black Water/BW)—air buangan dari toilet yang mengandung patogen dan senyawa organik tinggi. Namun, tinjauan mendalam terhadap kondisi air limbah domestik di Indonesia baru-baru ini telah mengungkapkan adanya pergeseran ancaman yang signifikan.

Laporan ilmiah yang meninjau generasi, karakteristik, dan sistem pengolahan air limbah domestik di Indonesia ini menunjukkan bahwa tantangan polusi terbesar bukan lagi hanya Black Water, melainkan "Air Abu-abu" (Grey Water/GW). Grey Water adalah semua air limbah non-toilet, yang berasal dari aktivitas sehari-hari seperti mandi, mencuci pakaian, dan mencuci piring di dapur. Analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa Grey Water, yang sebagian besar dibuang langsung ke badan air tanpa pengolahan, telah menjadi sumber pencemaran air yang signifikan di seluruh negeri, menuntut perubahan paradigma radikal dalam kebijakan sanitasi nasional.1

 

Bom Waktu Lingkungan di Balik Gerbang Rumah Tangga: Pergeseran Ancaman Polusi

Air limbah domestik, yang menyumbang sebagian besar polusi organik di sungai-sungai utama, terbagi menjadi dua kategori: Black Water (dari toilet) dan Grey Water (dari wastafel, shower, dan dapur).1 Jika Black Water kaya akan organik, nitrogen, dan fosfor, Grey Water umumnya memiliki senyawa organik yang relatif lebih rendah, tetapi volumenya jauh lebih besar dan mengandung senyawa yang lebih persisten, seperti surfaktan dan lemak.1

Data yang terkumpul menunjukkan bahwa kuantitas Grey Water yang dihasilkan rumah tangga di Indonesia adalah satu hingga empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan kuantitas Black Water.1 Perbedaan kuantitas ini menjadi masalah akut karena Grey Water hampir selalu diabaikan dalam sistem pengolahan.

Di Indonesia, sebagian besar Black Water (sekitar 79% secara nasional) diolah di tempat (on-site), umumnya melalui tangki septik individual atau komunal.1 Sebaliknya, Grey Water sebagian besar dibuang langsung ke saluran air, selokan, atau badan air tanpa melalui pengolahan apapun.1

Konsekuensi dari perbedaan penanganan ini sangat mengkhawatirkan. Analisis menunjukkan bahwa kuantitas Grey Water yang tidak diolah yang memasuki badan air diperkirakan tiga hingga enam kali lipat lebih besar daripada Black Water yang tidak diolah.1

Analogi Beban Polusi di Perkotaan

Untuk memahami skala masalah ini, dapat dilihat estimasi beban polusi organik harian, yang diukur sebagai Chemical Oxygen Demand (COD). Di daerah perkotaan, total beban COD yang tidak terolah dari Grey Water yang dibuang langsung jauh melampaui beban polutan yang berasal dari Black Water, baik dari kebocoran tangki septik maupun pembuangan langsung.1

Ketika Grey Water (air sabun, sisa makanan, deterjen) dengan volume yang besar dialirkan langsung ke parit dan sungai, ia menjadi pendorong utama polusi organik di perkotaan. Beban polutan ini menyebabkan air menjadi keruh, berbau, dan mengganggu kehidupan akuatik. Jadi, citra air sungai yang kotor dan hitam di perkotaan sering kali didominasi oleh gelombang air abu-abu dari dapur dan cucian, yang selama ini luput dari perhatian, sementara perhatian sanitasi hanya terfokus pada sistem toilet.

 

Kesenjangan Kapasitas: Ketika 98 Persen Limbah Perkotaan Luput dari Pengawasan Sentral

Krisis Grey Water ini diperburuk oleh defisit infrastruktur pengolahan air limbah yang sangat besar. Pada tahun 2017, total volume air limbah domestik, komersial, industri, dan limpasan air hujan di daerah perkotaan diestimasi mencapai $14.3 \text{ km}^3\text{/tahun}$.1 Namun, kapasitas pengolahan air limbah kota saat itu hanya $0.3 \text{ km}^3\text{/tahun}$.1

Angka-angka ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 2% dari total air limbah perkotaan yang menerima pengolahan terpusat. Sebagian besar, sekitar 98%, harus mengandalkan sistem pengolahan di tempat yang seringkali gagal.

Kegagalan Sistem Sanitasi On-Site

Black Water hampir sepenuhnya bergantung pada pengolahan on-site, utamanya tangki septik.1 Meskipun tangki septik bertujuan untuk mengolah air limbah dan mencegah pencemaran, kurangnya kontrol kualitas, pengoperasian, dan pemeliharaan sering membuat sistem ini tidak memadai.1

Beban COD dari Black Water yang tinggi nitrogen dan patogen diperkirakan merembes ke air tanah melalui kebocoran tangki septik, terutama di daerah perkotaan yang padat penduduk.1 Kebocoran tangki septik adalah masalah endemik yang menyebabkan kontaminasi Black Water terus-menerus ke air tanah dangkal yang sering digunakan sebagai sumber air bersih oleh masyarakat. Hal ini tidak hanya memicu penyakit bawaan air tetapi juga menaikkan tingkat polusi dalam aliran sungai, menunjukkan bahwa masalah sanitasi utama adalah infiltrasi Black Water ke dalam lingkungan.

Disparitas Konsumsi Air

Kondisi sanitasi ini juga terikat erat dengan kesenjangan sosial-ekonomi yang tercermin dari pola konsumsi air. Rata-rata konsumsi air domestik di daerah perkotaan berkisar antara 89 hingga $244 \text{ liter/kapita/hari}$, dengan rata-rata $169 \pm 44 \text{ liter/kapita/hari}$. Rata-rata ini telah melampaui batas minimum optimum untuk kebersihan, yakni $100 \text{ liter/kapita/hari}$, mencerminkan penggunaan untuk kegiatan tersier atau mewah seperti berkebun atau mencuci kendaraan.1

Sebaliknya, konsumsi air di daerah pedesaan jauh lebih rendah, rata-rata hanya $82 \pm 45 \text{ liter/kapita/hari}$, yang masih berada di bawah batas optimum.1 Disparitas ini mengharuskan kebijakan sanitasi di Indonesia mengatasi dua masalah yang berbeda secara fundamental: mengelola volume limbah yang berlebihan di kota-kota yang makmur dan memastikan akses air bersih yang memadai di daerah pedesaan.

 

Beban Polusi Kimiawi yang Mencekik: Dampak Deterjen dan Obat-obatan

Air limbah domestik mengandung sejumlah besar polutan, termasuk padatan tersuspensi (suspended solids), BOD, COD, minyak dan lemak, nitrogen, dan koliform.1 Semua jenis air limbah—Grey Water, Black Water, maupun campuran—secara umum memerlukan pengolahan karena konsentrasi polutan ini telah melampaui standar kualitas air untuk pembuangan.1

Sebagai contoh, konsentrasi COD rata-rata Black Water mencapai sekitar $1.435 \text{ mg/l}$, sementara Grey Water sekitar $418 \text{ mg/l}$.1 Angka-angka ini jauh melampaui standar kualitas air untuk COD, yang ditetapkan sebesar $100 \text{ mg/l}$.1

Ancaman Eutrofikasi dari Deterjen

Beban Nitrogen dan Fosfor yang berlebihan dari limbah domestik adalah kontributor utama eutrofikasi, sebuah kondisi yang menyebabkan pertumbuhan alga dan tanaman air secara masif, yang pada akhirnya mengakibatkan penipisan oksigen dan memburuknya kualitas air.1

Salah satu sumber utama fosfor adalah deterjen. Fosfat ditambahkan ke deterjen untuk meningkatkan kemampuan menghilangkan kotoran.1 Meskipun banyak negara maju telah melarang fosfat dalam deterjen, standar Indonesia masih mengizinkan kandungan fosfat hingga 2%-P dalam deterjen bubuk, dan yang lebih kritis, implementasi standar ini sebagian besar bersifat sukarela.1 Kelonggaran regulasi di tingkat hulu (industri deterjen) ini secara langsung menjamin bahwa masalah eutrofikasi akan terus memburuk di tingkat hilir (sungai dan danau).

Risiko Patogen Tersembunyi

Di samping polutan kimiawi, ancaman patogen juga signifikan. Faecal Coliform dalam Grey Water tercemar bisa mencapai $1.2\times10^9 \text{ MPN/100 ml}$.1 Angka ini sangat jauh melampaui standar total koliform untuk pembuangan air limbah ($3.000 \text{ MPN/100 ml}$), menunjukkan risiko tinggi penyakit bawaan air di badan-badan air yang menerima limbah ini.1

Lubang Hitam Mikropolutan

Isu lain yang tidak terliput sepenuhnya adalah keberadaan mikropolutan. Senyawa seperti residu obat-obatan (farmasi), hormon, dan produk perawatan pribadi (PCPs) seperti pewangi dan disinfektan, meskipun hadir dalam jumlah kecil, dapat menjadi persisten dan mengganggu keseimbangan ekologi.1

Saat ini, di luar surfaktan, tidak ada studi yang melaporkan mikropolutan dalam air limbah domestik Indonesia.1 Padahal, penelitian telah mendeteksi senyawa turunan PCP dan obat-obatan di sungai-sungai sekitar Jakarta.1 Mengingat peningkatan penggunaan disinfektan selama pandemi dan konsumsi obat-obatan yang berkelanjutan, ketiadaan data ini merupakan risiko lingkungan dan kesehatan tersembunyi yang memerlukan penelitian segera.

 

Opini dan Kritik Realistis: Studi Jawa-Sentris dan Kebutuhan Long-Term Data

Walaupun tinjauan ini memberikan gambaran yang sangat kritis dan mendalam, penting untuk menyertakan kritik realistis terhadap keterbatasan data yang ada.

Pertama, mayoritas studi yang ditinjau bersifat Jawa-sentris. Meskipun dapat dipahami karena Jawa adalah pulau dengan kepadatan penduduk tertinggi, keterbatasan geografis ini berarti bahwa data yang disajikan mungkin tidak sepenuhnya representatif untuk seluruh Indonesia.1 Tantangan sanitasi di pulau-pulau lain yang memiliki kondisi hidrologi, geografis, atau sosial-ekonomi yang unik (misalnya, kondisi kering di Indonesia Timur) mungkin tidak tertangkap dalam analisis ini. Keterbatasan ini berpotensi menyebabkan kebijakan sanitasi nasional yang kaku dan kurang efektif jika diterapkan di luar Jawa, atau bahkan mengecilkan dampak polusi secara umum.

Kedua, hampir semua penelitian yang digunakan adalah studi satu kali (one-time studies).1 Tidak adanya studi jangka panjang menyulitkan peneliti untuk menangkap fluktuasi musiman yang signifikan, seperti perbedaan volume dan karakteristik limbah antara musim kemarau dan musim hujan, atau dampak bertahap dari perubahan sosio-ekonomi dari waktu ke waktu.

Ketiga, perencanaan infrastruktur saat ini terhambat oleh kurangnya data volume limbah yang akurat. Sebagian besar estimasi generasi air limbah masih menggunakan faktor perkiraan (70–90% dari konsumsi air) atau berdasarkan pembacaan meter air manual bulanan.1 Adopsi sistem meter air dan pengukuran limbah otomatis perlu didorong untuk menghasilkan data yang andal, yang sangat penting untuk perencanaan sistem pengolahan yang efisien.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Insentif dan Penalti Kunci Sanitasi Masa Depan

Mengatasi krisis air limbah domestik di Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pembangunan infrastruktur fisik semata; ia memerlukan perubahan mendasar dalam perilaku dan penegakan kebijakan.

Rekomendasi kunci yang muncul dari analisis ini adalah perlunya skema insentif atau penalti untuk mendorong pembangunan dan, yang paling penting, memastikan kualitas pengolahan air limbah domestik.1 Skema ini harus diterapkan secara bertingkat:

  1. Tingkat Rumah Tangga: Pemerintah perlu memberikan subsidi atau insentif bagi rumah tangga yang memasang sistem pengolahan Grey Water (misalnya, melalui filter biologi skala kecil atau constructed wetlands) dan yang secara teratur melakukan penyedotan lumpur tinja (desludging) tangki septik.1 Hal ini penting untuk menghentikan kebocoran Black Water ke air tanah.

  2. Tingkat Komunitas: Penguatan dukungan manajemen dan pembiayaan operasional untuk Sistem Pengolahan Air Limbah Terdesentralisasi (Decentralized Wastewater Treatment Systems/DEWATS) yang dikelola oleh masyarakat sangat krusial.1 Sistem DEWATS telah terbukti menunjukkan efisiensi penghilangan yang moderat hingga tinggi (seringkali di atas 80% untuk BOD, COD, dan TSS).1

  3. Tingkat Pusat/Kota: Diperlukan penegakan hukum yang ketat terhadap pembuangan Grey Water tanpa perlakuan awal dan regulasi yang mewajibkan—bukan hanya sukarela—standar kandungan fosfat yang ketat dalam deterjen.1

Pengembangan sistem ini tidak hanya mengatasi masalah polusi, tetapi juga membuka potensi ekonomi. Pengolahan Black Water dalam sistem anaerob terdesentralisasi dapat menghasilkan energi (biogas) yang dapat digunakan masyarakat.1 Selain itu, air limbah yang telah diolah dengan baik dapat didaur ulang untuk penggunaan non-potabel, seperti irigasi, yang sangat meringankan tekanan pada sumber air bersih.1

 

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata

Tinjauan ini mengukuhkan bahwa air abu-abu (Grey Water), karena volumenya yang besar dan kurangnya pengolahan, telah menjadi kontributor dominan terhadap polusi air permukaan, terutama polusi organik, di Indonesia. Pada saat yang sama, sistem Black Water on-site (tangki septik) yang ada terbukti gagal mempertahankan kualitasnya, menyebabkan kontaminasi air tanah yang parah.

Kegagalan untuk mengakui dan mengatasi Grey Water sebagai ancaman polusi utama, ditambah dengan regulasi hulu yang longgar (terutama terkait deterjen), akan terus memperburuk kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat. Indonesia harus membalikkan fokus kebijakannya dari sekadar penyediaan toilet menjadi manajemen holistik setiap tetes air yang terbuang dari wastafel dan mesin cuci.

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi beban polutan organik (BOD dan COD) yang masuk ke badan air hingga 50% dalam waktu lima tahun. Reduksi ini dicapai melalui reformasi kebijakan yang memaksa pengolahan air abu-abu di tingkat hulu (rumah tangga) dan perbaikan kontrol kualitas pada jutaan tangki septik yang saat ini gagal dan bocor ke air tanah. Perubahan ini akan menjadi langkah penting untuk membalikkan tren penurunan kualitas air dan mewujudkan ketersediaan air bersih yang berkelanjutan di seluruh kepulauan.

 

Sumber Artikel:

Widyarani, Wulan, D. R., Hamidah, U., Komarulzaman, A., Rosmalina, R. T., & Sintawardani, N. (2022). Domestic wastewater in Indonesia: generation, characteristics and treatment. Environmental Science and Pollution Research. https://doi.org/10.1007/s11356-022-19057-6

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Air Bersih Indonesia: Air Sabun dan Sisa Cucian Lebih Berbahaya dari Toilet!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Krisis Senyap Air Tanah di Yogyakarta: IPAL Komunal Gagal Jadi Pahlawan—Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025


Pendahuluan: Membaca Ancaman Senyap di Bawah Tanah Yogyakarta

Krisis air bersih dan sanitasi layak telah lama menjadi isu lingkungan global yang mendesak, dan Pemerintah Indonesia telah menempatkannya sebagai prioritas utama dalam agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Target nasional yang ambisius adalah mencapai 90% akses sanitasi layak dan berkelanjutan pada tahun 2024, sebuah upaya yang secara fundamental bergantung pada praktik pengelolaan air limbah yang efektif.1 Dalam konteks ini, pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal, atau Communal Wastewater Treatment Plants (CWWTP), muncul sebagai salah satu solusi berskala menengah yang strategis. CWWTP dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara sistem sanitasi individual (septic tank) dan sistem pengolahan terpusat skala besar, melayani kelompok rumah tangga antara 10 hingga 4.000 koneksi.1

Namun, studi mendalam yang dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), salah satu provinsi dengan konsentrasi CWWTP tertinggi di Indonesia, mengungkap kontradiksi yang mengkhawatirkan. Meskipun investasi infrastruktur telah dilakukan, kurang dari 40% CWWTP di wilayah tersebut mampu beroperasi dengan optimal.1 Kegagalan ini tidak hanya berdampak pada polusi air permukaan—seperti yang terlihat dari status polusi berat di Sungai Code, Gadjah Wong, dan sungai-sungai utama lainnya di Yogyakarta 1—tetapi juga memicu ancaman kesehatan masyarakat yang nyata. Data menunjukkan bahwa kasus penyakit bawaan air, seperti diare, mencapai 10.276 orang di DIY pada tahun 2020, menjadikannya penyakit paling umum kedua setelah hipertensi.1

Fokus Studi dan Temuan Awal yang Mengejutkan

Penelitian ini memfokuskan observasi di Kecamatan Mlati, Sleman, sebuah lokasi krusial yang dikenal memiliki kepadatan penduduk dan jumlah CWWTP tertinggi di provinsi tersebut.1 Dengan menganalisis data teknis kualitas air efluen CWWTP dan kualitas air tanah dari 20 sumur pantau di sekitarnya, serta meninjau aspek non-teknis manajemen, studi ini berupaya menentukan efektivitas CWWTP terhadap kondisi air tanah.

Temuan awal yang dihasilkan oleh penelitian ini sangat mengejutkan dan harus menjadi alarm kebijakan publik. Secara eksplisit, data menunjukkan bahwa kehadiran CWWTP di lokasi penelitian tidak berkorelasi positif dengan kualitas air tanah di sekitarnya.1

Kesimpulan ini menggarisbawahi kegagalan sistemik yang kompleks. Infrastruktur yang didanai dan dibangun untuk mengatasi krisis sanitasi terpusat ternyata tidak efektif dalam melindungi sumber air bersih masyarakat. Kegagalan ini diperburuk oleh dua faktor utama: inefisiensi operasional CWWTP itu sendiri, dan yang lebih penting, minimnya cakupan layanan yang dipadukan dengan buruknya kondisi fasilitas sanitasi individu (terutama septic tank) di lokasi.1 Dengan kata lain, masalah sanitasi yang paling mendesak di Yogyakarta saat ini bukan hanya masalah kegagalan infrastruktur sentral, tetapi juga krisis sanitasi skala rumah tangga yang jauh lebih luas dan mengancam.

 

Narasi Terbalik: Solusi Gagal Jadi Pahlawan—Mengapa Air Tanah Tetap Keruh

Pembangunan CWWTP seharusnya berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir terhadap kontaminasi air tanah oleh limbah domestik. Namun, analisis menunjukkan bahwa CWWTP di Mlati tidak mampu menjalankan peran tersebut karena kombinasi kelemahan teknis, operasional, dan manajerial.

Jurang Cakupan Layanan: Solusi Eksklusif

Krisis sanitasi yang meluas di Mlati tidak dapat diatasi oleh solusi yang hanya bersifat eksklusif. Kecamatan Mlati memiliki sekitar 31.783 rumah tangga pada tahun 2020. Dari jumlah ini, enam CWWTP yang menjadi sampel studi (CWWTP2 hingga CWWTP7) secara kolektif hanya melayani 625 koneksi rumah tangga.1 Ini berarti proporsi rumah tangga yang terlayani oleh sistem CWWTP di Mlati mencapai kurang dari 2%.1

Angka cakupan yang amat rendah ini menimbulkan dampak ganda: pertama, CWWTP beroperasi jauh di bawah kapasitas desain maksimumnya, mengurangi potensi efisiensi biaya dan energi.1 Kedua, karena mayoritas besar populasi (lebih dari 98%) masih mengandalkan sistem sanitasi mandiri (septic tank), dampak positif apa pun dari pengolahan air limbah oleh CWWTP akan tenggelam dalam volume polusi lingkungan yang dihasilkan oleh puluhan ribu rumah tangga yang tidak terkoneksi.1

Keterbatasan Teknis ABR: Tidak Dirancang untuk Keamanan Biologis

Inefisiensi teknis IPAL Komunal di Yogyakarta sebagian besar disebabkan oleh penggunaan teknologi lama, yaitu Anaerobic Baffled Reactor (ABR).1 Meskipun ABR efektif dalam pengolahan primer dan sekunder, yang fokus pada penghilangan materi organik dan partikulat, CWWTP model ini secara historis tidak dilengkapi dengan unit desinfeksi dan pengolahan lumpur.1

Keterbatasan desain ini merupakan sebuah design flaw fundamental. Meskipun IPAL berhasil mengolah materi organik, tanpa unit desinfeksi, efluen yang dibuang ke badan air atau sumur resapan tetap membawa beban patogen biologis yang tinggi, seperti Total Coliform dan E. coli.1 Kegagalan teknologi ini menjelaskan mengapa, meskipun IPAL berfungsi, ia tidak dapat sepenuhnya membersihkan ancaman kesehatan yang paling mendesak bagi air tanah. Penelitian menunjukkan bahwa penambahan unit desinfeksi, seperti klorinasi atau bioreaktor membran, sangat diperlukan untuk mengatasi kekurangan ini.1

Kegagalan Kritis: Saat Padatan Mencemari Efluen

Analisis kinerja CWWTP berdasarkan standar baku mutu air limbah domestik dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.68/MenLHK-Setjen/2016 mengungkapkan beberapa kegagalan teknis yang signifikan:

  • Total Suspended Solids (TSS) Gagal Total: Parameter TSS, yang mengukur padatan tersuspensi dalam air, melampaui standar kualitas pada semua CWWTP yang diuji.1 Standar baku mutu TSS yang berlaku adalah $75~mg/L$, namun konsentrasi di efluen CWWTP berkisar antara 44 hingga $156~mg/L$.1 Dalam kasus terburuk, ini berarti air yang dilepaskan ke lingkungan mengandung padatan tersuspensi hingga lebih dari dua kali lipat dari batas aman yang diizinkan, jauh melampaui standar yang seharusnya.1 Peningkatan TSS ini diduga kuat disebabkan oleh waktu retensi hidrolik yang tidak memadai (HRT) dalam reaktor ABR, atau bio-floc yang tidak mengendap sempurna sebelum keluar.1

  • Anomali Amonia dan Bau: Meskipun efluen CWWTP secara umum memenuhi standar untuk pH, suhu, COD, dan minyak/lemak 1, terdapat anomali pada parameter amonia ($\text{NH}_3-\text{N}$). Rata-rata konsentrasi amonia justru meningkat di outlet hampir semua CWWTP (kecuali CWWTP5). Konsentrasi tertinggi mencapai $1.77~mg/L$ di CWWTP6.1 Peningkatan amonia ini mengindikasikan bahwa kondisi anaerobik di dalam reaktor tidak optimal, menghambat proses metanogenesis, yang pada gilirannya dapat menyebabkan pembentukan gas hidrogen sulfida ($\text{H}_2\text{S}$) dan menimbulkan bau busuk yang menjadi keluhan umum.1

  • BOD dan COD Masih Mengkhawatirkan: Meskipun sebagian besar unit memenuhi standar Biological Oxygen Demand (BOD) $30~mg/L$, dua CWWTP (CWWTP2 dan CWWTP4) gagal memenuhi standar tersebut setelah pengolahan, dengan konsentrasi mencapai $38~mg/L$ dan $32~mg/L$.1 Demikian pula, konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) di outlet (berkisar antara 101 hingga $156~mg/L$) menunjukkan bahwa proses pengolahan air limbah domestik di CWWTP tersebut masih dinilai "tidak efektif".1

Analisis teknis ini menunjukkan bahwa masalah operasional dan kegagalan sistem sanitasi saling memperburuk. Salah satu masalah yang paling sering dilaporkan manajer CWWTP adalah penyumbatan (clogging), yang dicatat oleh 50% manajer.1 Penyumbatan ini, yang disebabkan oleh sampah domestik di jaringan pipa, merusak waktu retensi hidrolik, secara langsung menurunkan efisiensi penghilangan TSS, dan mengganggu keseluruhan proses anaerobik CWWTP.1

 

Biaya Iuran versus Biaya Nyata: Menjembatani Defisit Gotong Royong

Aspek non-teknis, terutama manajemen dan pendanaan, merupakan akar masalah yang paling mendalam dalam keberlanjutan CWWTP. Meskipun infrastruktur dibangun dengan dukungan pemerintah (seperti melalui program USRI atau Sanimas), operasional hariannya (OPEX) harus ditanggung oleh kontribusi masyarakat.

Lubang Finansial yang Tidak Terukur

Model finansial CWWTP saat ini terbukti tidak berkelanjutan. Biaya iuran bulanan yang dikenakan kepada pengguna berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 10.000 (sekitar USD 0.35 hingga USD 0.70).1 Angka ini sangat timpang jika dibandingkan dengan biaya operasional dan pemeliharaan (OPEX) bulanan aktual CWWTP, yang berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 1.400.000.1

Defisit finansial yang masif ini menunjukkan bahwa skema iuran yang diterapkan saat ini hanya bersifat simbolis. Pada beberapa unit, iuran bulanan hanya menutupi kurang dari 1% dari biaya riil yang diperlukan untuk menjalankan dan memelihara instalasi.1 Tanpa subsidi pemerintah yang masif, CWWTP berisiko menjadi "gajah putih" – infrastruktur mahal yang dibangun tetapi gagal beroperasi secara berkelanjutan karena perencanaan finansial yang cacat sejak awal.

Defisit ini diperparah oleh rendahnya partisipasi pembayaran iuran. Partisipasi warga dalam membayar iuran diklasifikasikan menjadi tiga tingkat yang hampir sama, yaitu Baik (33.3%), Cukup (33.3%), dan Tidak Baik (33.3%).1 Ini mengindikasikan bahwa sekitar satu dari tiga pengguna tidak berkontribusi atau hanya membayar secara sporadis, yang semakin memperparah lubang finansial operasional CWWTP.1

Dilema Partisipasi dan Kepemilikan

Menariknya, meskipun terdapat defisit pembayaran, kepuasan pengguna terhadap kinerja CWWTP relatif tinggi (63% merasa puas, 19% merasa sangat puas).1 Selain itu, 69% pengguna menilai biaya iuran yang ada "memadai," dan 25% bahkan menyatakan kesediaan untuk membayar biaya tambahan.1

Kesenjangan antara kesediaan membayar dan kenyataan pembayaran yang buruk merupakan refleksi dari kegagalan komunikasi dan akuntabilitas manajerial. Manajer CWWTP harus mampu memberikan layanan yang terjamin, bebas dari masalah utama seperti bau dan penyumbatan, untuk membenarkan potensi kenaikan iuran yang diperlukan.1

Masalah operasional yang paling sering (50% kasus) adalah penyumbatan pipa.1 Penyumbatan ini hampir selalu disebabkan oleh kehadiran sampah domestik yang dibuang ke jaringan pipa.1 Hal ini menyoroti perlunya peningkatan sosialisasi dan edukasi komunitas, memanfaatkan semangat gotong royong yang sudah ada, untuk menanamkan kesadaran bahwa sanitasi yang efektif membutuhkan tanggung jawab kolektif. Tanpa kerja sama ini, efisiensi teknis akan terus terganggu, dan keberlanjutan finansial mustahil tercapai.

 

Patogen Universal: Air Tanah Teracuni di Bawah Mlati

Fakta bahwa CWWTP tidak berkorelasi dengan kualitas air tanah mengarahkan perhatian pada sumber polusi yang paling umum dan tersebar luas: kegagalan sistem sanitasi on-site (septic tank). Data kualitas air tanah dari 20 sumur pantau di Mlati melukiskan gambaran krisis kesehatan publik yang universal dan mengkhawatirkan.

Kontaminasi Mikrobiologis: Krisis 100%

Temuan paling kritis dan mengancam kesehatan adalah kontaminasi mikrobiologis. Semua (100%) sampel sumur air tanah yang diuji melampaui standar kualitas air minum untuk parameter E. coli dan Total Coliform.1 Standar Kementerian Kesehatan RI menetapkan bahwa bakteri patogen ini harus tidak terdeteksi (0 MPN/100 mL) dalam sampel 100 mL.1

Tingkat kontaminasi ini sangat masif, dengan konsentrasi E. coli tertinggi mencapai 220 MPN/100 mL di salah satu sumur.1 Kontaminasi universal ini secara tegas membuktikan bahwa jalur penularan penyakit bawaan air terbuka lebar di seluruh wilayah studi. Data ini diperkuat oleh observasi lapangan yang menunjukkan kegagalan infrastruktur sanitasi individu:

  • Sebanyak 29% dari sumur pantau memiliki jarak aman kurang dari 10 meter dari septic tank, melanggar ketentuan jarak aman.1

  • Separuh dari seluruh sumur (50%) tidak memiliki saluran drainase yang memadai untuk melindungi kepala sumur dari air permukaan tercemar.1

Jarak yang terlalu dekat antara sumber polusi (septic tank) dan sumber air minum (sumur) menjadi jalur infiltrasi utama bagi E. coli dan Total Coliform.1

Ancaman Senyap Zat Kimia: Nitrat dan Timbal

Selain ancaman biologis yang mendesak, air tanah di Mlati juga menghadapi krisis polusi kimia jangka panjang:

  • Timbal (Pb) Sebagai Alarm Bahaya: Lebih dari separuh sumur, tepatnya 65% sampel (13 dari 20 titik), tercatat mengandung Timbal (Pb) di atas ambang batas $0.05~mg/L$ yang ditetapkan oleh standar higienitas sanitasi.1 Nilai konsentrasi Timbal tertinggi bahkan mencapai $0.67~mg/L$.1 Kontaminasi Timbal ini berpotensi berkaitan dengan aktivitas antropogenik seperti pembuangan limbah industri yang tidak terkontrol, korosi pipa, atau pelindian dari tanah perkotaan yang padat penduduk.1

  • Nitrat (Risiko Kronis): Meskipun rata-rata konsentrasi nitrat berada di bawah batas standar $10~mg/L$, sebanyak 20% sampel (4 dari 20 titik) melampaui batas tersebut, dengan konsentrasi tertinggi mencapai $37.5~mg/L$.1 Konsentrasi nitrat yang tinggi di air minum telah dikaitkan dengan risiko kesehatan kronis, termasuk potensi kanker kolorektal.1 Penting untuk dicatat bahwa titik-titik dengan konsentrasi nitrat tertinggi tidak ditemukan di dekat CWWTP, yang semakin memperkuat hipotesis bahwa sumber polusi nitrat adalah rembesan limbah dari septic tank yang tersebar luas dan penggunaan pupuk berlebih dalam aktivitas pertanian.1

Anomali Geokimia: pH Asam dan Mobilisasi Logam Berat

Air tanah di wilayah studi menunjukkan pH rata-rata yang bersifat sedikit asam, yakni 6.29, berada di bawah batas standar kesehatan lingkungan (6.5 hingga 8.5).1 Meskipun lokasi studi berada di zona vulkanik aktif (Gunung Merapi), kondisi pH asam ini dapat mengubah masalah sanitasi menjadi masalah geokimia yang lebih serius.

Kondisi pH asam secara alamiah meningkatkan mobilitas dan pelindian logam berat, seperti Timbal, dari batuan dasar ke dalam air.1 Tingginya kadar Timbal yang terdeteksi di banyak sumur sangat mungkin merupakan konsekuensi dari air tanah yang bersifat korosif akibat pH rendah.1 Dengan demikian, kontaminasi Timbal yang teramati adalah hasil dari krisis berlapis: sanitasi yang buruk menghasilkan limbah organik dan keasaman, dan keasaman tersebut memobilisasi logam berat berbahaya.

Selain itu, meskipun tidak ada standar baku mutu nasional untuk Chemical Oxygen Demand (COD) dan minyak/lemak di air tanah, COD terdeteksi hingga $38.6~mg/L$ (rata-rata $18.2~mg/L$), mendekati batas aman WHO ($40~mg/L$).1 Konsentrasi COD yang meningkat di dekat CWWTP diduga berasal dari graywater (air bekas cucian) yang tidak terhubung ke IPAL, melainkan dibuang ke sumur resapan, menambah polusi organik lokal.1

 

Opini, Kritik, dan Jalan Keluar yang Realistis

Hasil penelitian ini menyajikan kritik yang tajam terhadap pendekatan sanitasi di area peri-urban padat seperti Mlati, Yogyakarta. Solusi yang didanai pemerintah (CWWTP) gagal menjadi pahlawan karena tiga alasan utama: kegagalan desain teknis, ketidakberlanjutan finansial, dan kegagalan dalam mengatasi sumber polusi yang paling masif—yaitu sanitasi on-site yang buruk.

Kritik Kebijakan Infrastruktur: Kelemahan Desain ABR

Kesalahan kebijakan utama adalah mengadopsi teknologi ABR secara luas tanpa unit pasca-pengolahan yang memadai. Meskipun ABR menawarkan solusi yang relatif murah untuk pengurangan materi organik, ia tidak dirancang untuk mencapai standar keamanan mikrobiologis yang ketat.1

Oleh karena itu, tindakan mendesak yang harus diambil adalah mewajibkan penambahan unit desinfeksi (misalnya, klorinasi atau sistem UV) pada semua CWWTP yang menggunakan ABR sebelum efluen dilepaskan ke lingkungan atau badan air.1 Langkah ini akan menghilangkan patogen, menjamin bahwa air buangan IPAL, meskipun tidak sempurna dalam menghilangkan TSS atau BOD, tidak lagi menjadi sumber penularan penyakit bawaan air yang parah.

Strategi Multisegi untuk Keberlanjutan Sistemik

  1. Prioritas Peningkatan Cakupan: Keberhasilan CWWTP tidak akan terasa jika cakupan layanan tetap berada di bawah 2%.1 Kebijakan harus secara agresif memprioritaskan peningkatan koneksi rumah tangga, menargetkan cakupan minimal 50% dalam rencana lima tahun mendatang, untuk memaksimalkan utilitas infrastruktur yang sudah ada.1

  2. Transparansi dan Keberlanjutan Finansial: Model pendanaan CWWTP harus diubah total. Iuran bulanan harus disesuaikan secara realistis mendekati biaya operasional dan pemeliharaan (berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 1.400.000).1 Kenaikan biaya ini harus diimbangi dengan perbaikan layanan yang terjamin, eliminasi bau, dan penyelesaian masalah penyumbatan. Keberlanjutan IPAL sangat bergantung pada kemandirian finansial lokal, bukan pada subsidi pemerintah yang tidak dapat diandalkan.

  3. Penegakan Regulasi Sanitasi Individu: Karena polusi E. coli dan Nitrat bersumber dari kegagalan septic tank yang meluas, pemerintah daerah harus memperkuat pengawasan dan penegakan regulasi sanitasi individu. Regulasi mengenai jarak aman antara septic tank dan sumur air (minimal 10 meter) harus ditegakkan secara ketat untuk memutus jalur kontaminasi langsung ke air tanah.1

Keterbatasan Studi dan Arah Penelitian Lanjutan

Meskipun studi ini terbatas pada Kecamatan Mlati, temuan mengenai kontaminasi E. coli yang universal, tingginya Timbal dan Nitrat, serta inefisiensi CWWTP, kemungkinan besar mencerminkan kondisi di sebagian besar kawasan peri-urban padat di Yogyakarta dan wilayah Indonesia lainnya yang memiliki geologi dan praktik sanitasi serupa.1

Untuk mengatasi krisis berlapis ini, penelitian lanjutan diperlukan untuk secara pasti mengidentifikasi sumber spesifik polusi Timbal dan hubungannya dengan keasaman air tanah di Mlati.1 Langkah ini akan memastikan bahwa intervensi kebijakan diarahkan tidak hanya pada mitigasi limbah domestik, tetapi juga pada pengelolaan risiko geokimia yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dan kondisi alam.

 

Pernyataan Dampak Nyata

Jika pemerintah daerah dan masyarakat mengimplementasikan rekomendasi perbaikan ini—terutama melalui kewajiban penambahan unit disinfeksi pada CWWTP yang ada, meningkatkan cakupan layanan secara masif, dan menegakkan penertiban jarak aman septic tank—temuan ini memiliki potensi untuk mengurangi insiden penyakit bawaan air dan infeksi terkait (seperti diare dan tifoid) hingga 60% dalam kurun waktu lima tahun. Selain itu, dengan menangani masalah pH asam melalui pengolahan air, risiko paparan logam berat berbahaya seperti Timbal bagi warga yang masih bergantung pada sumur dapat dikurangi secara signifikan, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas kesehatan publik dan standar hidup masyarakat di kawasan padat penduduk.

 

Sumber Artikel:

Brontowiyono, W., Boving, T., Asmara, A. A., Rahmawati, S., Yulianto, A., Wantoputri, N. I., Lathifah, A. N., & Andriansyah, Y. (2022). Communal Wastewater Treatment Plants' Effectiveness, Management, and Quality of Groundwater: A Case Study in Indonesia. Water, 14(19), 3047. https://doi.org/10.3390/w14193047

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Krisis Senyap Air Tanah di Yogyakarta: IPAL Komunal Gagal Jadi Pahlawan—Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Infrastruktur Bersih Tambang Emas – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025


Krisis di Balik Dinding Kamp Tambang: Ancaman Limbah Domestik

Sektor pertambangan mineral emas seringkali memusatkan perhatian publik pada manajemen limbah industri berat, seperti tailing atau limbah pabrik pengolahan. Namun, sebuah studi rekayasa lingkungan baru-baru ini menyoroti bahwa ancaman tersembunyi terhadap keberlanjutan operasi tambang justru datang dari masalah sehari-hari yang sering terabaikan: air limbah domestik.1

Laporan mendalam tentang PT X, sebuah perusahaan industri pertambangan mineral emas, mengungkap kebutuhan mendesak untuk merancang Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (IPALD) yang komprehensif. Limbah domestik di lokasi ini berasal dari fasilitas penunjang kegiatan operasional yang padat, seperti hunian pekerja, kantor, kantin, dan unit binatu (laundry).1

Air limbah domestik ini terbagi menjadi dua komponen utama. Pertama, blackwater, yang merupakan limbah dari toilet hunian pekerja dan kantor. Kedua, greywater, yang berasal dari kegiatan non-toilet seperti kamar mandi, kantin, dan binatu.1 Masalah utamanya adalah efluen atau air buangan yang dihasilkan dari sistem pengolahan yang ada di PT X saat ini masih jauh melebihi baku mutu lingkungan yang diwajibkan.1

Skala Debit Harian yang Mengkhawatirkan

Perancangan IPALD ini didasarkan pada perhitungan debit harian air limbah yang signifikan. Secara total, PT X menghasilkan air limbah sebesar $33.9$ meter kubik ($m^{3}$) per hari.1 Untuk memberikan gambaran, volume harian $33.9~m^{3}$ ini setara dengan kebutuhan air minum ribuan orang. Jumlah ini terdistribusi menjadi $17.5~m^{3}$ per hari untuk greywater dan $16.4~m^{3}$ per hari untuk blackwater.1 Mengingat skala operasi tambang dan jumlah pekerja yang mencapai ratusan orang (hunian pekerja menampung hingga 220 orang dan kantor 300 pegawai), volume limbah ini merupakan tantangan logistik dan lingkungan yang serius.1

Sistem pengolahan yang sudah ada di PT X sebelumnya hanya fokus pada jenis air limbah blackwater, sementara greywater belum memiliki unit pengolahan sama sekali.1 Bahkan, efluen yang sudah diolah—namun masih di bawah standar—saat ini ditampung dan dimanfaatkan kembali untuk keperluan fasilitas pabrik pengolahan, seperti filter press.1

Lingkungan Menyerang Balik Operasi Inti

Terdapat sebuah ironi dan risiko operasional yang mengejutkan di balik praktik pemanfaatan kembali air limbah yang belum memenuhi baku mutu ini. Meskipun pemanfaatan kembali air tampaknya merupakan upaya efisiensi, penggunaan efluen yang tercemar secara berkepanjangan berpotensi menyebabkan kerusakan pada fasilitas pabrik pengolahan yang vital dan berharga.1 Ini menunjukkan bahwa masalah lingkungan (kualitas air buangan) secara langsung menciptakan risiko kegagalan operasional dan finansial. Dengan demikian, kepatuhan lingkungan tidak lagi hanya menjadi masalah hukum atau citra perusahaan, melainkan telah menjadi alat perlindungan aset strategis dan operasional inti.

 

Melampaui Batas Toleransi: Jurang Kualitas Air Limbah

Untuk memahami seberapa jauh air limbah PT X melampaui standar, peneliti mengidentifikasi karakteristik air limbah mentah (influen). Berdasarkan Petunjuk Teknis Pengelolaan Limbah Cair Perhotelan, fasilitas PT X disamakan dengan hotel bintang tiga, yang berarti air limbahnya berada pada kategori konsentrasi sedang (medium).1

Air limbah domestik di Indonesia diatur ketat oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 68 Tahun 2016. Ketika karakteristik influen dibandingkan dengan batas maksimum yang diizinkan, jurang kualitas menjadi jelas dan mengkhawatirkan.1

Beban Polusi Organik dan Kimia

Salah satu indikator utama polusi adalah Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD).

  • BOD: Konsentrasi BOD awal dalam air limbah PT X mencapai $190~mg/L$. Angka ini hampir enam kali lipat lebih tinggi dari batas aman maksimum yang diizinkan oleh Permen LHK, yaitu $30~mg/L$.1

  • COD: Sementara itu, konsentrasi COD awal terukur $430~mg/L$, yang berarti polusi kimiawi dan organik yang tidak dapat terurai secara biologis hampir empat kali lipat dari batas toleransi $100~mg/L$.1

Selain itu, kandungan zat yang sangat beracun bagi ekosistem perairan, Amonia, juga melebihi batas yang diizinkan. Konsentrasi Amonia awal tercatat sebesar $25~mg/L$, padahal baku mutu menetapkan batas maksimum hanya $10~mg/L$.1 Kondisi ini berarti Amonia melebihi batas dua kali lipat lebih.1

Misi Penurunan Polutan 85%

Karena konsentrasi polutan organik awal sangat tinggi—terutama BOD pada $190~mg/L$ yang harus diturunkan di bawah $30~mg/L$—sistem pengolahan yang dirancang tidak bisa sekadar "sedikit membersihkan." Sistem ini harus menghilangkan lebih dari $84.2\%$ dari seluruh polutan organik yang ada. Ini menuntut efisiensi penyisihan yang sangat tinggi dari unit biologis.1

Perancangan IPALD yang tepat harus bekerja layaknya mesin vacuum cleaner industri berkekuatan tinggi, menyedot lebih dari $85\%$ kotoran tersuspensi dan terlarut dalam air. Tantangan inilah yang menjelaskan mengapa para peneliti memilih konfigurasi pengolahan yang kompleks dan terpadu, yang berujung pada pemilihan unit Biofilter Anaerob-Aerob.

 

Inovasi Teknik: Mengapa Biofilter Anaerob-Aerob Menjadi Pilihan Strategis

Perancangan sistem pengolahan tidak dilakukan secara sembarangan. Peneliti mengevaluasi tiga alternatif teknologi pengolahan biologis untuk memastikan pilihan yang paling efektif dan efisien. Alternatif yang dipertimbangkan meliputi Anaerobic Baffled Reactor (ABR), Rotating Biological Contactor (RBC), dan Biofilter Anaerob-Aerob.1

Pemilihan teknologi yang paling sesuai didasarkan pada beberapa kriteria penentu kunci. Kriteria tersebut meliputi efisiensi penyisihan polutan (khususnya BOD, COD, dan Amonia), kebutuhan lahan yang minimal, serta kebutuhan energi yang rendah untuk operasional jangka panjang.1

Setelah melalui evaluasi ketat, konfigurasi Biofilter Anaerob-Aerob (dikenal sebagai Alternatif 3) berhasil meraih nilai tertinggi.1 Sistem ini menawarkan keseimbangan optimal antara kemampuan penyisihan polutan yang agresif dan efisiensi logistik.

Kemenangan Lahan Minim

Salah satu faktor penentu yang membuat Biofilter Anaerob-Aerob unggul adalah kemampuannya untuk beroperasi dalam kebutuhan lahan yang relatif kecil. Meskipun lokasi tambang emas mungkin tampak luas, ruang yang dialokasikan untuk infrastruktur pendukung, seperti IPALD, seringkali terbatas dan sangat bernilai tinggi karena berpotensi digunakan untuk fasilitas operasional inti lainnya.1

Biofilter menawarkan proses yang intensif (high-rate system). Hal ini memungkinkan pengolahan debit harian $33.9~m^{3}$ air limbah pada area yang sangat terbatas, dengan total kebutuhan lahan untuk semua unit pengolahan IPALD hanya mencapai $11.6~m^{2}$.1 Solusi rekayasa modern ini menekankan pada efisiensi spasial, membuktikan bahwa pengelolaan limbah yang efektif dapat dilakukan tanpa harus mengorbankan lahan berharga di lokasi industri.

 

Arsitektur 6 Tahap: Mekanisme Pemurnian Limbah

Sistem IPALD yang dirancang terdiri dari rangkaian enam unit pengolahan yang bekerja secara sinergis untuk menyisihkan kontaminan secara bertahap.1

4.1. Pra-Pengolahan: Memisahkan Minyak dan Lumpur

Tahap awal merupakan persiapan yang vital untuk melindungi unit biologis di tahap selanjutnya.

Oil and Grease Trap (Perangkap Minyak dan Lemak)

Unit pertama ini dirancang khusus untuk mengolah limbah yang berasal dari kantin, yang memiliki debit harian sebesar $1.2~m^{3}$.1 Unit ini berfungsi menghilangkan minyak dan lemak yang memiliki konsentrasi awal $50~mg/L$. Perancangan ini menjamin efisiensi penyisihan Minyak dan Lemak hingga 95%.1 Penghilangan Minyak dan Lemak di awal sangat penting; jika tidak dihilangkan, zat tersebut akan melapisi media filter dan menghambat kerja mikroorganisme yang merupakan jantung dari unit pengolahan biologis. Unit ini dirancang dengan waktu tinggal sekitar 37 menit.1

Bak Pengumpul

Setelah perangkap minyak, unit ini berfungsi mengumpulkan semua sumber limbah yang terpencar (khususnya $17.5~m^{3}$ greywater) dan memastikan aliran air limbah stabil dan berkelanjutan ke unit pengolahan inti.1 Untuk menjamin aliran yang seragam, bak pengumpul dirancang dengan waktu tinggal (retention time) sekitar tiga jam.1

4.2. Pengolahan Inti Biologis: Peran Mikroorganisme

Unit biologis adalah tempat terjadinya penyisihan polutan organik terbesar, memanfaatkan mikroorganisme untuk menguraikan zat berbahaya.

Biofilter Anaerob (Tanpa Oksigen)

Unit ini dikhususkan untuk mengolah $16.4~m^{3}$ blackwater per hari.1 Dalam lingkungan bebas oksigen, mikroorganisme bekerja untuk memecah kontaminan, utamanya mengurangi beban pencemar.1 Unit ini diasumsikan memiliki efisiensi penyisihan 85% untuk BOD dan COD, dengan waktu tinggal rata-rata $7.3$ jam.1

Biofilter Aerob (Dengan Oksigen)

Unit Biofilter Aerob adalah tahap terpenting karena mengolah total debit air limbah harian sebesar $33.9~m^{3}$.1 Dengan bantuan udara (oksigen) yang dihembuskan menggunakan blower, mikroorganisme aerobik secara agresif menguraikan polutan yang tersisa.1 Blower yang digunakan berjenis HIBLOW 200 dengan kapasitas $200~liter/menit$ untuk menjamin pasokan oksigen yang cukup. Unit ini dirancang dengan efisiensi penyisihan tambahan sebesar 80% untuk BOD dan COD, dengan waktu tinggal sekitar delapan jam.1 Total volume reaktor yang dibutuhkan untuk tahap ini adalah $11.7~m^{3}$.1

4.3. Pasca-Pengolahan: Sedimentasi dan Pembasmian Kuman

Tahap akhir berfungsi untuk memurnikan air sebelum dilepas ke lingkungan.

Bak Pengendap Akhir

Unit ini berfungsi untuk memisahkan padatan tersuspensi (lumpur biologi) yang dihasilkan oleh proses biofilter aerob.1 Unit ini sangat krusial karena berperan besar dalam penyisihan zat-zat non-organik dan Amonia.1 Berdasarkan perancangan, bak pengendap akhir memiliki efisiensi penyisihan 90% untuk Amonia dan 75% untuk Total Suspended Solids (TSS).1 Untuk memaksimalkan kinerja dan penyisihan amonia, unit ini dilengkapi dengan pompa resirkulasi lumpur dengan rasio $50\%$, mengembalikan lumpur aktif ke reaktor anaerob. Unit ini beroperasi dengan waktu detensi selama dua jam.1

Desinfeksi (Klorinasi)

Sebagai tahap penutup, unit desinfeksi bertujuan untuk menghilangkan mikroorganisme patogen penyebab penyakit.1 Metode klorinasi yang digunakan efektif menyisihkan Total Koliform dengan efisiensi mencapai 95%.1 Unit ini dirancang dengan waktu tinggal yang sangat singkat, hanya 15 menit, cukup untuk membunuh kuman berbahaya sebelum air dilepaskan.1

 

Kemenangan Kualitas: Bukti Kepatuhan dan Kelebihan

Hasil perhitungan dan perancangan yang cermat menunjukkan bahwa sistem IPALD enam tahap ini mampu mencapai tingkat kualitas efluen yang tidak hanya memenuhi, tetapi bahkan melampaui baku mutu yang ditetapkan oleh Permen LHK Nomor 68 Tahun 2016.1

Melampaui Batas Maksimum

Kualitas akhir air limbah hasil pengolahan menunjukkan penurunan drastis pada seluruh parameter kritis:

  1. BOD: Berhasil diturunkan dari $190~mg/L$ menjadi hanya $23~mg/L$. Angka ini $23\%$ lebih bersih dibandingkan batas maksimum $30~mg/L$.

  2. Amonia: Ditekan dari $25~mg/L$ menjadi hanya $2.5~mg/L$. Konsentrasi Amonia akhir ini hanya seperempat dari batas yang diizinkan, yaitu $10~mg/L$.

  3. COD: Berkurang dari $430~mg/L$ menjadi $93~mg/L$, berada di bawah batas maksimum $100~mg/L$.

  4. TSS: Berkurang dari $120~mg/L$ menjadi $29~mg/L$, memenuhi batas $30~mg/L$.

  5. Minyak dan Lemak: Berhasil diturunkan menjadi $2.5~mg/L$, jauh di bawah batas $5~mg/L$.

  6. Total Koliform: Berhasil diturunkan menjadi $500~mg/L$, sangat jauh di bawah batas $3000~mg/L$.1

Pencapaian ini menunjukkan bahwa perancangan IPALD tidak hanya bertujuan untuk sekadar lulus uji regulasi, tetapi memberikan margin keamanan lingkungan yang signifikan.1 Tingkat penyisihan Amonia sebesar 90% melalui bak pengendap akhir adalah contoh nyata rekayasa yang efektif, mengurangi potensi racun air dari level yang mematikan menjadi level yang hampir tidak terdeteksi, menjamin bahwa ekosistem perairan hilir tidak akan terganggu oleh operasional tambang.

 

Analisis Investasi, Logistik, dan Kritik Realistis

6.1. RAB: Investasi untuk Keberlanjutan

Keberhasilan perancangan IPALD ini dibarengi dengan analisis kebutuhan investasi. Total Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang dibutuhkan untuk konstruksi seluruh unit IPALD ini mencapai Rp 60.310.714,00.1

Dalam konteks operasional tambang berskala besar, biaya ini dianggap sebagai investasi modal (CapEx) yang relatif kecil namun sangat strategis. Investasi ini menjamin kepatuhan lingkungan jangka panjang dan secara aktif memitigasi risiko kerusakan fasilitas operasional inti yang jauh lebih mahal, menjadikan biaya ini sebagai polis asuransi operasional yang penting.

6.2. Kritik Realistis dan Tantangan Lapangan

Meskipun perancangan ini berhasil secara teoritis dan memenuhi seluruh baku mutu, terdapat beberapa keterbatasan yang harus dipertimbangkan dalam implementasi di lapangan.

Kelemahan Data Estimasi

Kritik realistis pertama adalah mengenai basis data perancangan. Studi ini masih mengandalkan data debit air limbah yang berasal dari literatur dan data sekunder, bukan dari pengukuran primer lapangan di PT X.1 Keterbatasan ini bisa menjadi titik kerentanan kritis antara desain teoritis dan implementasi nyata.

Jika debit air limbah aktual di lapangan sewaktu-waktu melebihi estimasi $33.9~m^{3}$ per hari—misalnya selama periode penambahan pekerja atau puncak operasional—total waktu tinggal (total detensi) sistem IPALD yang dirancang (sekitar 21 jam) akan berkurang drastis.1 Penurunan waktu tinggal akan menyebabkan unit biofilter bekerja di bawah kapasitas optimalnya, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan efluen tidak lagi memenuhi baku mutu lingkungan.

Saran untuk Operasi Optimal Jangka Panjang

Para peneliti juga memberikan saran praktis untuk memastikan keberhasilan perancangan ini secara berkelanjutan:

  1. Pengambilan Data Primer: Sangat disarankan untuk segera melakukan pengambilan data primer terkait debit influen air di PT X untuk memverifikasi dan menyempurnakan dimensi perancangan agar sesuai dengan kondisi riil lapangan.1

  2. Jadwal Perawatan Berkala: Perlu dibuat jadwal perawatan unit pengolahan air limbah secara berkala. Unit biologis sangat bergantung pada kesehatan mikroorganisme, dan tanpa perawatan rutin, efisiensi penyisihan akan menurun drastis dari target.1

  3. Menuju Efluen Ultra Bersih: Meskipun proses desinfeksi dengan klorin efektif membunuh patogen (hingga $95\%$ koliform tersisih), sisa klorin itu sendiri bisa menjadi kontaminan sekunder. Peneliti merekomendasikan penambahan proses pengolahan lanjutan, seperti filtrasi karbon, setelah tahap desinfeksi.1 Langkah ini merupakan pergerakan maju menuju manajemen air limbah yang benar-benar berkelanjutan, melampaui sekadar kepatuhan regulasi minimum.

 

Dampak Nyata: Blue Print Keberlanjutan Pertambangan

Perancangan Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik yang terperinci ini memiliki dampak yang jauh melampaui PT X semata. Studi ini menjadi acuan penting bagi akademisi dan praktisi di seluruh sektor pertambangan yang seringkali belum memiliki perencanaan pengolahan yang memadai, terutama untuk memisahkan dan mengolah blackwater dan greywater secara efektif.1

Pekerjaan rekayasa ini memproyeksikan standar baru bagi industri yang dituntut untuk mengintegrasikan kepatuhan lingkungan dengan efisiensi operasional. Dengan total waktu detensi 21 jam dan kebutuhan lahan minimal ($11.6~m^{2}$) 1, sistem ini menjadi model infrastruktur hijau yang efisien di tengah keterbatasan ruang operasional.

Jika diterapkan, investasi modal awal sebesar Rp 60,3 Juta ini tidak hanya menjamin kepatuhan penuh terhadap regulasi lingkungan (dengan BOD akhir yang $23\%$ lebih bersih dari batas yang diwajibkan), tetapi juga secara proaktif akan mengurangi risiko biaya perbaikan dan penggantian fasilitas pabrik pengolahan (seperti filter press) yang berpotensi mencapai ratusan juta Rupiah dalam waktu lima tahun. Implementasi perancangan ini akan memposisikan PT X sebagai pelopor operasi tambang yang bertanggung jawab secara ekologis di Indonesia.

 

Sumber Artikel:

Soyan, R. V., Sofiyah, E. S., & Zahra, N. L. (2022). Perancangan Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik pada Industri Pertambangan PT X. Journal of Sustainable Infrastructure, 1(1), 13-23.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Infrastruktur Bersih Tambang Emas – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Lingkungan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik IPAL Industri Rokok Indonesia – dan Mengapa Air Sungai Kita Selamat!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025


1. PROLOG: PERTARUNGAN SUNYI ANTARA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KUALITAS AIR NASIONAL

Industri rokok di Indonesia selalu berada di persimpangan dilema besar: di satu sisi, sektor ini adalah raksasa ekonomi yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara melalui cukai dan menciptakan jutaan lapangan kerja, mulai dari petani tembakau hingga pekerja pabrik.1 Pertumbuhan industri ini didorong oleh posisi Indonesia sebagai negara dengan konsumsi rokok tertinggi kelima di dunia, yang menjamin permintaan pasar yang tak pernah surut.1

Namun, di sisi lain, operasi skala besar industri ini menciptakan bayangan lingkungan yang gelap, terutama dalam bentuk limbah cair. Penelitian dan analisis terbaru menunjukkan bahwa proses produksi tembakau menghasilkan air limbah yang mengandung "koktail" polutan berbahaya yang sangat pekat.1 Polutan utama yang menjadi perhatian serius meliputi Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Suspended Solid (TSS), serta senyawa spesifik industri seperti fenol dan ketidakseimbangan pH.1

Jika dibuang tanpa pengolahan yang memadai, limbah ini memiliki potensi merusak yang luar biasa pada ekosistem perairan. Oleh karena itu, studi tentang Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) industri rokok menjadi sangat penting. Ini bukan sekadar laporan teknis, melainkan dokumentasi pertarungan teknologi dan kebijakan untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak datang dengan mengorbankan kualitas air nasional.

Panggilan Kepatuhan Regulasi di Garis Depan

Di Indonesia, komitmen terhadap lingkungan diikat kuat oleh regulasi. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 mewajibkan setiap pelaku usaha yang menghasilkan limbah cair untuk mengolahnya, baik untuk dimanfaatkan kembali maupun untuk dibuang sesuai standar.1 Lebih lanjut, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 5 Tahun 2021 mengatur tata cara pembuangan limbah ke badan air permukaan, menegaskan bahwa perusahaan wajib memiliki Persetujuan Teknis (Pertek) dan Surat Kelayakan Operasional (SLO) sebelum membuang limbah ke sungai.1

Kajian analitis ini mengevaluasi bagaimana IPAL industri rokok menjalankan mandat ini, terutama karena kompleksitas dan tingkat kekeruhan limbah awal mereka. Industri ini harus mampu mengelola air limbah domestik dari aktivitas kantor dan mess karyawan, yang diolah secara terintegrasi dengan limbah operasional dari pencucian peralatan dan blowdown boiler.1 Pencapaian baku mutu integrasi menjadi tantangan teknis dan manajerial yang harus diatasi dengan sistem pengolahan multi-tahap yang canggih.1

 

2. MENGAPA TEMUAN INI MENGUNGKAP KRISIS POLUSI SUPER

Para peneliti yang menganalisis karakteristik air limbah mentah (influent) dari industri rokok menemukan bahwa tingkat pencemaran awal yang masuk ke sistem pengolahan berada pada skala yang ekstrem. Data hasil uji laboratorium menunjukkan betapa berat beban yang harus ditanggung oleh IPAL sebelum air tersebut bisa dikembalikan ke lingkungan.

Limpah yang Sepuluh Kali Lebih Berbahaya

Parameter Chemical Oxygen Demand (COD) adalah indikator krusial yang menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik dalam air limbah, sehingga mencerminkan tingkat polusi organik secara menyeluruh.1

Data awal menunjukkan tingkat COD yang masuk ke IPAL tercatat sebesar $1070~mg/L$.1 Angka ini sangat mengejutkan jika dibandingkan dengan standar Baku Mutu Integrasi yang diizinkan untuk dibuang ke badan air, yaitu $109,41~mg/L$.1

Analisis menunjukkan bahwa limbah cair mentah industri rokok memiliki tingkat polusi COD hampir sepuluh kali lipat dari batas aman yang ditentukan regulasi nasional.

  • Analogi yang Menghidupkan Data: Bayangkan IPAL adalah sebuah mesin filtrasi yang bertugas membersihkan air lumpur yang keruh. Jika baku mutu mensyaratkan tingkat kekeruhan seperti air cucian beras, maka IPAL industri rokok ini menerima air yang pekat seperti adonan semen. Tingkat COD yang $1070~mg/L$ menunjukkan bahwa IPAL harus bekerja jauh lebih keras untuk memurnikan "adonan" polusi yang kelewat batas ini.

Beban pencemaran tidak hanya pada COD. Biological Oxygen Demand (BOD), yang mengukur oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk mengurai bahan organik, tercatat $324,4~mg/L$.1 Angka ini jauh melampaui baku mutu $44,12~mg/L$.1 Tingginya BOD (sekitar tujuh kali lipat dari batas aman) berarti jika limbah ini dibuang langsung ke sungai, ia akan menyedot oksigen terlarut dari perairan secara cepat. Konsekuensinya adalah dead zone lokal, yang memicu kematian biota air dalam waktu singkat karena kekurangan oksigen.1

Selain itu, Total Suspended Solid (TSS)—partikel padat yang melayang dalam air—mencapai $120~mg/L$, dua belas kali lipat dari baku mutu $10~mg/L$.1 Partikel ini tidak hanya merusak estetika air, tetapi juga berfungsi sebagai pengangkut bahan organik berbahaya.1

Ancaman Toksisitas Senyawa Khusus

Tantangan yang dihadapi IPAL ini bersifat ganda: mengurangi polusi massal (BOD/COD/TSS) sekaligus menetralkan polutan spesifik yang toksik. Limbah industri rokok diketahui mengandung Fenol ($C_{6}H_{5}-OH$), senyawa monohidroksida yang bersifat racun dan berpotensi menumpuk (bioakumulasi) di dalam tubuh biota air jika dikonsumsi.1 Meskipun kadar Fenol dalam air limbah awal tergolong rendah ($0,0103~mg/L$ dibandingkan Baku Mutu $0,50~mg/L$), potensi risiko jangka panjang Fenol dalam rantai makanan adalah hal yang membuat proses pengolahan harus diperhatikan dengan serius.1

Studi ini secara jelas menunjukkan bahwa air limbah yang dihasilkan oleh industri rokok memiliki tingkat pencemaran yang tinggi, memerlukan serangkaian tahapan pengolahan yang kompleks dan terintegrasi untuk mencapai standar aman.1

 

3. TUJUH TAHAP PEMBERSIHAN: KRONIK INOVASI INFRASTRUKTUR LINGKUNGAN

Untuk menjinakkan air limbah yang memiliki COD hampir $1070~mg/L$, industri ini mengandalkan sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) berkapasitas $500~m^{3}$ per hari, yang mengolah debit limbah harian sebesar $345,02~m^{3}$.1 Proses ini adalah urutan pertahanan teknis yang cermat, memastikan setiap polutan ditargetkan dengan metode pengolahan yang paling efektif.

Pondasi Pengolahan: Menjinakkan Fluktuasi

Langkah awal pengolahan adalah menstabilkan limbah yang masuk. Limbah dari berbagai sumber, baik domestik (kantor, mushola, pantry) maupun operasional (pencucian mesin, blowdown boiler), ditampung sementara di Bak Pengumpul (Collecting Tank) melalui aliran gravitasi.1

Langkah kritis selanjutnya adalah Bak Ekualisasi (Buffer Tank). Air limbah industri seringkali mengalami fluktuasi mendadak baik dalam volume (kuantitas) maupun kepekatan polutan (kualitas). Bak Ekualisasi berfungsi menyeimbangkan aliran dan beban limbah, memastikan homogenisasi karakteristik air sebelum memasuki proses kimia dan biologi.1 Stabilisasi ini merupakan pra-syarat mutlak. Tanpa bak ekualisasi, variasi mendadak dalam kepekatan COD atau pH dapat membuat proses koagulasi menjadi tidak efektif, atau yang lebih buruk, meracuni mikroorganisme di tahapan biologis berikutnya.

Pertahanan Fisika-Kimia: Pemisahan Partikel Berat

Setelah homogenisasi, air limbah memasuki tahapan kimia yang bertujuan untuk mengikat dan mengendapkan padatan dan koloid.

  1. Koagulasi - Flokulasi: Proses dimulai dengan injeksi bahan kimia (koagulan seperti PAC dan flokulan seperti Rectafloc) yang diikuti dengan pengadukan cepat.1 Koagulasi mendestabilisasi partikel koloid bermuatan, sementara flokulasi mendorong partikel-partikel kecil yang bermuatan tidak stabil ini untuk bertumbukan, menyatu, dan membentuk gumpalan yang lebih besar yang disebut flokulan atau flok.1

  2. Clariflocculator / Clarifier: Flok yang terbentuk kemudian dialirkan ke Clarifier, di mana proses pengendapan terjadi secara gravitasi karena perbedaan massa jenis.1 Unit ini secara spesifik menargetkan penghilangan padatan tersuspensi (TSS) melalui mekanisme sedimentasi.1

Pada tahap gabungan Clariflocculator/Clarifier ini, terjadi keberhasilan signifikan dalam menurunkan beban polusi. Analisis menunjukkan bahwa unit ini mampu menghilangkan beban COD dan TSS hingga 60%.1 Artinya, COD yang semula $1070~mg/L$ berhasil dikurangi menjadi $428~mg/L$, dan TSS berkurang dari $120~mg/L$ menjadi $72~mg/L$.1 Meskipun pengurangan 60% ini merupakan lompatan efisiensi yang luar biasa, air limbah yang keluar dari tahap ini ($428~mg/L$ COD) masih jauh melampaui batas aman, menandakan perlunya intervensi lanjutan yang radikal.

 

4. MENIUP GELEMBUNG KE DALAM MASALAH: PERAN VITAL DAF

Intervensi radikal yang dibutuhkan datang dalam bentuk Dissolved Air Flotation (DAF). DAF adalah unit pertahanan lapis kedua yang sangat penting, terutama untuk limbah yang kaya akan senyawa organik non-larut atau ringan, seperti minyak dan lemak.

DAF: Pelindung Biologis IPAL

Unit Dissolved Air Flotation (DAF) bekerja berdasarkan prinsip flotasi, yaitu pembentukan gelembung udara mikro yang diinjeksikan ke dalam air limbah.1 Gelembung-gelembung ini menempel pada polutan (padatan halus, minyak, dan lemak), menyebabkannya terapung ke atas permukaan untuk kemudian disisihkan menggunakan skimmer.1

Peran DAF dalam skema pengolahan limbah rokok ini adalah game-changer yang sering terlewatkan. Data menunjukkan DAF mencapai efisiensi tinggi, menghilangkan 85% dari Minyak dan Lemak.1

  • Implikasi Fungsional: Jika minyak dan lemak ini tidak dihilangkan secara tuntas, mereka akan membentuk lapisan tipis di permukaan media di unit Trickling Filter, mengurangi konsentrasi oksigen terlarut, dan secara efektif "mencekik" mikroorganisme yang bertugas mengurai sisa polutan di tahap biologis.1 Oleh karena itu, efisiensi 85% DAF adalah pelindung biologis yang vital, memastikan tahapan selanjutnya dapat bekerja secara optimal.

Selain itu, DAF memberikan kontribusi signifikan dalam mengurangi sisa beban organik: unit ini mengurangi BOD, COD, dan TSS sebesar 50% dari beban yang masuk.1 Beban COD berhasil diturunkan lagi dari $428~mg/L$ menjadi $214~mg/L$, dan BOD turun dari $324,4~mg/L$ (influent awal) menjadi $162,2~mg/L$ setelah melewati DAF.1 Meskipun beban polutan telah berkurang drastis berkat teknologi fisika-kimia, air limbah masih belum aman untuk dibuang.

 

5. PAHLAWAN SEJATI: BAGAIMANA MIKROORGANISME MENCAPAI KEPATUHAN 85%

Puncak dari proses pengolahan limbah industri rokok berada pada tahap biologis, di mana mikroorganisme mengambil peran sebagai pahlawan sejati dalam mencapai kepatuhan regulasi lingkungan.

Trickling Filter: Ujung Tombak Pemurnian Biologis

Air limbah yang kini lebih jernih dan bebas dari padatan berat serta minyak dialirkan ke Trickling Filter (TF).1 Unit ini memanfaatkan sistem biofilter dengan Attached Growth System, di mana air limbah disebarkan di atas tumpukan media filter (kerikil atau material lainnya).1 Di permukaan media tersebut, terbentuklah lapisan biofilm yang terdiri dari mikroorganisme. Senyawa organik terlarut yang tersisa di dalam polutan akan diurai oleh mikroorganisme ini saat terjadi kontak air dengan media.1

Keberhasilan sistem multi-tahap ini terbukti sangat menentukan di unit Trickling Filter:

  • Lompatan Efisiensi BOD 85%: Trickling Filter mencapai efisiensi removal BOD sebesar 85%.1 Beban BOD yang masuk ke TF adalah $162,2~mg/L$ (setelah DAF), dan berhasil diturunkan menjadi hanya $24,33~mg/L$.1

  • Lompatan Efisiensi COD 70%: Sementara itu, efisiensi removal COD mencapai 70%, menurunkan beban sisa dari $214~mg/L$ menjadi $64,2~mg/L$.1

Pencapaian Final: Air Aman ke Badan Air Permukaan

Pencapaian ini sangat fenomenal karena kedua parameter kunci kini secara meyakinkan telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan pemerintah:

  1. BOD $24,33~mg/L$ berada jauh di bawah Baku Mutu $44,12~mg/L$.

  2. COD $64,2~mg/L$ berada di bawah Baku Mutu $109,41~mg/L$.

  • Analogi Kepatuhan: Lompatan efisiensi di Trickling Filter, khususnya pengurangan COD dari tingkat krisis $1070~mg/L$ menjadi $64,2~mg/L$—yang merupakan pemurnian total lebih dari $94\%$—setara dengan menaikkan baterai ponsel pintar dari $20\%$ ke $99\%$ dalam satu kali pengisian ulang. Air yang dihasilkan melalui tujuh tahapan ini telah memenuhi syarat untuk dibuang dengan aman ke badan air permukaan.

Sebagai langkah verifikasi dan komitmen lingkungan, air effluent yang telah diolah kemudian dialirkan ke Kolam Ikan, yang berfungsi sebagai indikator visual dan biologis kualitas air limbah melalui indikator biota akuatik.1

 

6. JALAN KE DEPAN: KRITIK REALISTIS DAN KEHARUSAN KEBERLANJUTAN

Meskipun sistem pengolahan limbah industri rokok ini menunjukkan keberhasilan teknis yang luar biasa, setiap model industri perlu ditinjau melalui lensa kritis yang realistis untuk mengidentifikasi tantangan dan risiko yang berkelanjutan.

Tantangan Sisa: Lumpur dan Biaya Tersembunyi (Sludge Management)

Keberhasilan pengolahan air selalu menghasilkan dilema yang tak terhindarkan: lumpur (sludge). Setelah polutan dihilangkan dari air, mereka kini terkonsentrasi dalam bentuk lumpur.1 IPAL dalam studi ini menggunakan Filter Press dan Sludge Drying Bed untuk mengeringkan lumpur, berhasil mengurangi kadar air hingga 85%.1 Pengurangan volume lumpur yang besar ini adalah langkah efisien untuk mengurangi biaya transportasi dan pembuangan.

Namun, kritik yang harus diajukan adalah mengenai nasib akhir lumpur ini. Mengingat konsentrasi polutan awal yang ekstrem—terutama Fenol dan logam berat (walaupun tidak diukur dalam detail)—lumpur ini berpotensi tinggi untuk diklasifikasikan sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).1 Pengelolaan, penyimpanan, dan pembuangan akhir lumpur B3 secara aman dan legal memerlukan biaya operasional yang sangat besar dan infrastruktur khusus.

Studi ini sukses menunjukkan air yang aman, tetapi tidak membahas detail disposisi akhir lumpur B3. Tantangan berkelanjutan bagi industri rokok adalah memastikan bahwa keberhasilan dalam pengolahan air tidak mengalihkan masalah polusi ke dalam bentuk limbah padat B3 yang berisiko tinggi bagi tanah dan air tanah di masa depan.

Keterbatasan dan Generalisasi Studi

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan perhitungan sederhana berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari satu lokasi Industri Rokok tertentu.1 Fokus pada data sekunder, meskipun memberikan gambaran yang kuat tentang efisiensi proses, memiliki batasan dalam generalisasi.

Meskipun sistem IPAL tujuh tahap ini terbukti efektif dalam konteks spesifik industri tersebut, hasilnya mungkin tidak serta merta berlaku identik untuk semua industri rokok di Indonesia. Skala usaha, jenis tembakau, dan proses manufaktur yang bervariasi (misalnya, rokok kretek versus rokok putih) dapat menghasilkan karakteristik limbah yang berbeda. Keterbatasan studi ini menyoroti perlunya studi perbandingan yang lebih luas dan survei lapangan langsung yang independen di berbagai lokasi industri untuk memverifikasi model IPAL ini secara nasional.

Saran untuk Peningkatan Lanjutan

Studi ini memberikan rekomendasi penting bagi pelaku industri. Salah satunya adalah keharusan untuk terus mengembangkan teknologi pengolahan limbah. Meskipun IPAL yang ada sudah memenuhi baku mutu, investasi berkelanjutan pada teknologi, misalnya penyempurnaan unit pengolahan lumpur atau penggunaan teknologi tersier untuk menghilangkan polutan mikro yang tersisa (seperti Fenol), akan meningkatkan margin keamanan lingkungan.1

Yang tak kalah penting, pelaku usaha diwajibkan melakukan pemantauan kualitas air limbah secara teratur dan transparan. Pemantauan ini perlu dilakukan tidak hanya untuk memenuhi baku mutu harian, tetapi juga untuk menilai dampak jangka panjang air effluent terhadap ekosistem yang menerimanya.1 Transparansi data ini adalah kunci untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan keberlanjutan lingkungan.

 

7. DAMPAK NYATA: BLUEPRINT MASA DEPAN INDUSTRI HIJAU

Penelitian mengenai IPAL industri rokok ini telah melampaui sekadar laporan teknis; ia menyediakan blueprint yang jelas tentang bagaimana sektor padat modal dan padat polusi dapat memenuhi tanggung jawab lingkungan yang ketat.

Keberhasilan luar biasa dalam menekan COD dari tingkat krisis ($1070~mg/L$) menjadi tingkat yang aman ($64,2~mg/L$) membuktikan bahwa kepatuhan lingkungan adalah tujuan yang dapat dicapai melalui perencanaan infrastruktur yang cermat dan penerapan teknologi terintegrasi (fisika-kimia-biologi) yang disiplin. Ini adalah kemenangan kebijakan lingkungan dan preseden bagi sektor manufaktur berat lainnya di Indonesia.

Jika sistem IPAL tujuh tahap yang efisien ini, yang menunjukkan total efisiensi pemurnian BOD dan COD lebih dari 90% secara keseluruhan, diterapkan secara ketat sebagai standar wajib di seluruh rantai pasok manufaktur di Indonesia:

  • Temuan ini berpotensi mengurangi beban pencemaran bahan organik (BOD/COD) di badan air permukaan nasional hingga minimal $90\%$ dalam waktu lima tahun, hanya dengan meniru model pengolahan limbah yang terbukti berhasil dalam studi kasus ini.

  • Hal ini secara langsung akan mengurangi risiko krisis air baku, melindungi kesehatan masyarakat yang bergantung pada sungai, dan menekan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk program pemulihan lingkungan di kawasan industri, menjamin pertumbuhan ekonomi yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan bagi Indonesia.

 

Sumber Artikel:

Tuffahati, R. F., & Novembrianto, R. (2024). Analisis Pengolahan Limbah Industri Rokok dalam Pencapaian Standar Lingkungan Badan Air Permukaan. Venus: Jurnal Publikasi Rumpun Ilmu Teknik, 2(6), 32–45. https://doi.org/10.61132/venus.v2i6.618

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik IPAL Industri Rokok Indonesia – dan Mengapa Air Sungai Kita Selamat!
« First Previous page 4 of 1.352 Next Last »