Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Desember 2025
1. Pendahuluan: Circular Economy Plastik dan Masalah Kesenjangan Sistemik
Bab yang ditulis oleh Nicholas Kolesch, Steve Sikra, dan Martyn Tickner berangkat dari satu pengamatan kunci: meskipun circular economy telah menjadi visi global yang hampir disepakati bersama, realisasi di lapangan masih jauh dari memadai. Plastik menjadi contoh paling jelas dari paradoks ini. Di satu sisi, plastik adalah material dengan nilai ekonomi tinggi dan potensi sirkularitas besar; di sisi lain, sebagian besar plastik justru berakhir sebagai limbah yang bocor ke lingkungan dan laut.
Penulis menempatkan persoalan plastik bukan sebagai kegagalan niat, melainkan sebagai kegagalan sistem kolektif. Tingkat daur ulang global yang rendah, kebocoran plastik ke ekosistem, dan ketergantungan berkelanjutan pada plastik perawan menunjukkan bahwa circular economy plastik belum berfungsi sebagai sistem yang utuh. Alih-alih menutup siklus material, sistem yang ada saat ini justru memperlihatkan serangkaian celah struktural—yang oleh penulis disebut sebagai circularity gaps.
Pendekatan ini penting karena menggeser fokus dari solusi tunggal ke diagnosis multi-dimensi. Circular economy plastik tidak runtuh karena satu titik lemah, melainkan karena kombinasi kegagalan di sepanjang rantai nilai: mulai dari desain produk, pengumpulan limbah, kualitas material daur ulang, hingga keselarasan antaraktor. Dengan kata lain, masalah utama bukan terletak pada kurangnya teknologi atau komitmen, tetapi pada ketidaksinambungan antarbagian sistem.
Pendahuluan bab ini juga menekankan bahwa Asia memegang peran sentral dalam krisis plastik global. Urbanisasi cepat, pertumbuhan konsumsi, dan keterbatasan infrastruktur pengelolaan limbah menjadikan kawasan ini titik kritis bagi keberhasilan atau kegagalan circular economy plastik. Dalam konteks inilah penulis mengajukan argumen bahwa menutup kesenjangan sirkularitas bukan sekadar agenda lingkungan, melainkan agenda pembangunan, investasi, dan tata kelola lintas sektor.
2. Enam Circularity Gaps: Kerangka Diagnostik untuk Ekonomi Plastik Sirkular
Kontribusi utama bab ini terletak pada perumusan enam circularity gaps yang secara sistematis menjelaskan mengapa circular economy plastik sulit diwujudkan. Kerangka ini tidak dimaksudkan sebagai daftar masalah terpisah, melainkan sebagai peta hubungan sebab-akibat dalam sistem ekonomi plastik global.
Quantity Gap menggambarkan kegagalan paling dasar: jumlah plastik bekas yang berhasil dikumpulkan jauh lebih kecil dibandingkan plastik yang diproduksi dan dikonsumsi. Tanpa sistem pengumpulan dan pemilahan yang memadai, plastik tidak pernah memasuki siklus sirkular. Dalam banyak konteks negara berkembang, gap ini berkaitan langsung dengan ketiadaan layanan dasar dan dominasi praktik pembuangan terbuka.
Quality Gap muncul ketika plastik yang dikumpulkan tidak memenuhi standar untuk digunakan kembali dalam aplikasi bernilai tinggi. Kontaminasi, pencampuran resin, dan degradasi material membuat plastik daur ulang kalah bersaing dengan plastik perawan. Penulis menekankan bahwa tanpa peningkatan kualitas, circular economy akan terjebak pada daur ulang bernilai rendah (downcycling).
Design Gap menyoroti akar masalah yang sering diabaikan: banyak produk plastik sejak awal tidak dirancang untuk sirkularitas. Fokus pada kenyamanan, diferensiasi merek, dan biaya rendah menghasilkan kemasan dan produk yang sulit didaur ulang. Dalam kerangka ini, circular economy gagal bukan di akhir siklus, tetapi sejak tahap desain.
Affordability Gap mengacu pada ketidakseimbangan ekonomi antara biaya pengelolaan limbah dan nilai material yang dihasilkan. Ketika biaya pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang lebih tinggi daripada nilai pasar plastik daur ulang, sistem sirkular menjadi tidak berkelanjutan secara finansial tanpa dukungan tambahan.
Data Gap mencerminkan lemahnya basis informasi. Tanpa data yang konsisten tentang aliran plastik, lokasi kebocoran, dan kinerja intervensi, pengambilan keputusan menjadi spekulatif. Penulis menegaskan bahwa circular economy memerlukan data sebagai infrastruktur strategis, bukan sekadar pelengkap.
Terakhir, Alignment Gap menyoroti perbedaan kepentingan, prioritas, dan persepsi antaraktor—pemerintah, sektor swasta, investor, dan masyarakat. Tanpa keselarasan tujuan dan pembagian peran yang jelas, upaya sirkular terfragmentasi dan kehilangan skala dampak.
Section ini menunjukkan bahwa circular economy plastik tidak dapat dibangun melalui satu intervensi unggulan. Menutup satu gap tanpa memperhatikan gap lain justru menciptakan bottleneck baru. Dengan demikian, kerangka enam circularity gaps berfungsi sebagai alat analisis sekaligus panduan strategis untuk memahami kompleksitas transisi menuju ekonomi plastik yang benar-benar sirkular.
3. Menutup Quantity dan Quality Gap: Dari Infrastruktur Dasar ke Nilai Material
Dalam bab ini, penulis menegaskan bahwa dua kesenjangan paling mendasar—Quantity Gap dan Quality Gap—harus ditangani secara bersamaan. Upaya meningkatkan tingkat pengumpulan tanpa memperbaiki kualitas material hanya akan memperbesar volume plastik bernilai rendah. Sebaliknya, fokus pada kualitas tanpa memperluas pengumpulan akan membatasi skala dampak. Oleh karena itu, strategi yang efektif harus memadukan investasi infrastruktur dengan perbaikan desain sistem.
Untuk menutup Quantity Gap, prioritas utama adalah memperluas dan menstabilkan sistem pengumpulan. Di banyak konteks perkotaan Asia, layanan pengumpulan formal belum menjangkau seluruh wilayah, sehingga kebocoran plastik ke lingkungan terjadi sebelum material memiliki peluang untuk masuk ke rantai daur ulang. Penulis menekankan bahwa solusi tidak selalu harus berteknologi tinggi; penguatan layanan dasar, skema insentif pengembalian, dan integrasi sektor informal dapat meningkatkan volume material yang terkumpul secara signifikan.
Namun, peningkatan kuantitas harus diiringi dengan intervensi yang menargetkan Quality Gap. Kualitas plastik daur ulang sangat dipengaruhi oleh pemilahan di sumber, konsistensi resin, dan pengendalian kontaminasi. Tanpa standar pemilahan yang jelas dan edukasi pengguna, material yang terkumpul akan sulit diproses menjadi input bernilai tinggi. Penulis menyoroti pentingnya standarisasi fraksi plastik dan penyederhanaan aliran material sebagai prasyarat untuk meningkatkan kualitas.
Pendekatan yang diusulkan menekankan nilai ekonomi sebagai pengungkit. Ketika kualitas material meningkat, nilai pasar plastik daur ulang ikut naik, sehingga menciptakan insentif bagi seluruh rantai nilai—dari pengumpul hingga produsen. Dalam kerangka ini, penutupan Quality Gap tidak hanya berdampak teknis, tetapi juga memperkuat kelayakan finansial sistem sirkular secara keseluruhan.
Section ini memperjelas bahwa Quantity dan Quality Gap membentuk hubungan umpan balik. Sistem pengumpulan yang andal meningkatkan pasokan, sementara kualitas yang lebih baik meningkatkan permintaan. Tanpa memutus lingkaran lemah ini, circular economy plastik akan terus terjebak pada daur ulang bernilai rendah dan skala terbatas.
4. Peran Desain dan Penyelarasan Aktor: Menutup Design dan Alignment Gap
Setelah membahas aspek hulu dan tengah sistem, bab ini menggeser fokus ke akar masalah yang lebih struktural: Design Gap dan Alignment Gap. Penulis menegaskan bahwa tanpa perubahan pada tahap desain dan penyelarasan antaraktor, intervensi di hilir hanya akan menghasilkan perbaikan marginal.
Design Gap mencerminkan fakta bahwa sebagian besar produk plastik tidak dirancang dengan mempertimbangkan akhir siklus hidupnya. Kompleksitas material, aditif, dan kemasan multi-lapis menciptakan hambatan besar bagi daur ulang. Penulis berargumen bahwa desain untuk sirkularitas harus menjadi norma, bukan pengecualian. Ini mencakup pengurangan variasi resin, penggunaan aditif yang kompatibel dengan daur ulang, dan transparansi informasi material.
Namun, perubahan desain tidak dapat dipaksakan pada produsen secara terisolasi. Di sinilah Alignment Gap menjadi krusial. Circular economy plastik melibatkan aktor dengan kepentingan yang berbeda—produsen mengejar efisiensi dan diferensiasi merek, pemerintah mengejar pengurangan polusi, investor mengejar kepastian pengembalian, dan masyarakat mengejar kenyamanan. Tanpa mekanisme penyelarasan, setiap aktor akan mengoptimalkan kepentingannya sendiri, sering kali dengan mengorbankan tujuan kolektif.
Penulis menekankan pentingnya kerangka kolaboratif yang jelas: pembagian peran, insentif yang konsisten, dan target bersama yang terukur. Skema seperti tanggung jawab produsen yang diperluas, komitmen sukarela industri, dan platform kolaborasi lintas sektor dipandang sebagai alat untuk menyelaraskan kepentingan tersebut. Namun, efektivitasnya bergantung pada konsistensi kebijakan dan penegakan yang kredibel.
Section ini menunjukkan bahwa Design dan Alignment Gap bersifat saling memperkuat. Tanpa desain yang sirkular, penyelarasan aktor kehilangan objek konkret. Tanpa penyelarasan, inovasi desain sulit diadopsi secara luas. Dengan demikian, menutup kedua gap ini menuntut pendekatan sistemik yang melampaui solusi teknis semata dan masuk ke ranah tata kelola serta koordinasi kolektif.
5. Affordability dan Data Gap: Ketika Circular Economy Tidak Masuk Akal Secara Ekonomi
Setelah membahas persoalan fisik dan koordinasi, bab yang ditulis Nicholas Kolesch, Steve Sikra, dan Martyn Tickner menyoroti dua kesenjangan yang sering menjadi deal breaker dalam praktik: Affordability Gap dan Data Gap. Keduanya menentukan apakah circular economy plastik dapat bertahan sebagai sistem ekonomi, bukan sekadar proyek lingkungan.
Affordability Gap muncul ketika biaya pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang plastik lebih tinggi daripada nilai ekonomi material yang dihasilkan. Dalam kondisi pasar saat ini, plastik perawan masih sering lebih murah, lebih konsisten kualitasnya, dan lebih mudah diperoleh dibandingkan plastik daur ulang. Ketimpangan ini membuat circular economy bergantung pada subsidi, dukungan kebijakan, atau komitmen sukarela yang rapuh.
Penulis menekankan bahwa masalah ini bukan semata kegagalan pasar, melainkan refleksi dari struktur harga yang tidak memasukkan biaya lingkungan. Selama dampak eksternal plastik—polusi laut, kesehatan, degradasi ekosistem—tidak tercermin dalam harga, ekonomi linear akan terus memiliki keunggulan kompetitif. Dalam konteks ini, circular economy tidak kalah secara konsep, tetapi kalah dalam kalkulasi ekonomi jangka pendek.
Sementara itu, Data Gap memperparah masalah affordability. Tanpa data yang andal mengenai volume plastik, aliran material, tingkat kebocoran, dan kinerja intervensi, pengambilan keputusan menjadi berbasis asumsi. Penulis menekankan bahwa banyak kebijakan plastik dirancang dalam kondisi ketidakpastian tinggi, sehingga sulit menilai efektivitas atau menyesuaikan strategi secara adaptif.
Data, dalam kerangka ini, diposisikan sebagai infrastruktur strategis. Tanpa sistem data yang terintegrasi, circular economy kehilangan kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan menarik investasi. Investor dan pelaku usaha membutuhkan visibilitas risiko dan peluang, sementara pemerintah membutuhkan dasar empiris untuk merancang instrumen kebijakan yang tepat sasaran.
Section ini menegaskan bahwa circular economy plastik tidak akan berkelanjutan jika terus bergantung pada niat baik. Ia harus dibuat masuk akal secara ekonomi dan informasional, dengan struktur biaya dan data yang mendukung pengambilan keputusan rasional.
6. Kesimpulan: Dari Menutup Gap ke Membangun Sistem Sirkular yang Koheren
Artikel ini menunjukkan bahwa kegagalan circular economy plastik bukan disebabkan oleh kurangnya visi global, melainkan oleh serangkaian kesenjangan sistemik yang saling terkait. Melalui kerangka enam circularity gaps—quantity, quality, design, affordability, data, dan alignment—penulis menawarkan cara pandang yang lebih realistis dan operasional terhadap tantangan transisi sirkular.
Pelajaran utama yang dapat ditarik adalah bahwa circular economy plastik tidak dapat dibangun melalui satu solusi unggulan. Menutup satu gap tanpa memperhatikan gap lain hanya akan memindahkan bottleneck ke bagian sistem yang berbeda. Dengan demikian, circular economy menuntut pendekatan terintegrasi yang menyelaraskan desain produk, infrastruktur, insentif ekonomi, data, dan koordinasi aktor.
Bab ini juga menggeser narasi circular economy dari retorika ideal menuju agenda implementasi kolektif. Circular economy plastik bukan hanya persoalan teknologi atau perilaku konsumen, tetapi persoalan tata kelola dan struktur pasar. Keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan aktor publik dan swasta untuk menyepakati tujuan bersama dan membagi peran secara jelas.
Pada akhirnya, menutup circularity gaps berarti menerima bahwa circular economy adalah proses transisi yang kompleks, penuh kompromi, dan membutuhkan konsistensi kebijakan jangka panjang. Keberhasilan tidak diukur dari kesempurnaan sistem, melainkan dari kemampuannya mengurangi kebocoran, meningkatkan nilai material, dan secara bertahap menggeser ekonomi dari logika linear menuju logika sirkular yang koheren.
Daftar Pustaka
Kolesch, N., Sikra, S., & Tickner, M. (2022). Closing the “circularity gaps”: Practical strategies to address key challenges undermining the collective goal of a global circular economy of plastics. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.
Geyer, R., Jambeck, J. R., & Law, K. L. (2017). Production, use, and fate of all plastics ever made. Science Advances, 3(7), e1700782.
Ellen MacArthur Foundation. (2016). The new plastics economy: Rethinking the future of plastics. Cowes: EMF.
Hopewell, J., Dvorak, R., & Kosior, E. (2009). Plastics recycling: Challenges and opportunities. Philosophical Transactions of the Royal Society B, 364(1526), 2115–2126.
Worm, B., Lotze, H. K., Jubinville, I., Wilcox, C., & Jambeck, J. (2017). Plastic as a persistent marine pollutant. Annual Review of Environment and Resources, 42, 1–26.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Desember 2025
1. Pendahuluan: Circular Economy sebagai Agenda Transformasi Pembangunan
Dalam banyak literatur global, circular economy sering diposisikan sebagai agenda lanjutan negara maju—sebuah strategi untuk “memperbaiki” sistem produksi dan konsumsi yang telah mapan. Namun, pengalaman Viet Nam menunjukkan konteks yang berbeda. Bagi negara berkembang, circular economy bukan sekadar penyempurnaan teknis, melainkan alat untuk mengoreksi arah pembangunan yang sejak awal bertumpu pada eksploitasi sumber daya, tenaga kerja murah, dan pertumbuhan cepat.
Bab yang ditulis Nguyen, Lai, Pham, dan Nguyen menempatkan circular economy sebagai respons langsung terhadap paradoks pembangunan Viet Nam: keberhasilan ekonomi yang signifikan justru diiringi tekanan lingkungan yang semakin berat. Dalam tiga dekade pasca Đổi Mới, Viet Nam mencatat pertumbuhan PDB rata-rata sekitar 6,4% per tahun (2011–2020) dan peningkatan PDB per kapita lebih dari dua kali lipat. Namun, keberhasilan ini dibangun di atas konsumsi sumber daya yang intensif dan sistem pengelolaan limbah yang rapuh.
Pendahuluan bab ini menegaskan bahwa circular economy di Viet Nam tidak lahir dari idealisme global semata, tetapi dari kebutuhan domestik yang mendesak. Produksi limbah nasional mencapai sekitar 25,5 juta ton per tahun, dengan sekitar 75% masih ditimbun. Di kota-kota besar seperti Ha Noi dan Ho Chi Minh City, tempat pembuangan akhir telah melampaui kapasitas dan kualitas lingkungan—termasuk udara—mengalami degradasi serius. Dalam konteks ini, ekonomi linear tidak lagi sekadar tidak berkelanjutan, tetapi tidak lagi fungsional secara sosial.
Artikel ini berangkat dari tesis bahwa circular economy di Viet Nam harus dibaca sebagai proyek transformasi struktural yang berlapis: ekonomi, kelembagaan, dan budaya. Circular economy bukan hanya tentang daur ulang, tetapi tentang bagaimana negara berkembang menata ulang jalur pertumbuhannya agar tidak mengulang jebakan lingkungan negara industri. Dari titik inilah urgensi penyusunan road map nasional menjadi masuk akal—bukan sebagai dokumen simbolik, tetapi sebagai instrumen arah pembangunan jangka panjang
2. Motivasi Transisi: Pertumbuhan Ekonomi, Tekanan Demografis, dan Batas Lingkungan
Motivasi utama transisi ke circular economy di Viet Nam tidak dapat dilepaskan dari dinamika demografi dan struktur ekonomi. Bab ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat berjalan paralel dengan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Proyeksi penduduk hingga 2049 memperlihatkan tekanan berkelanjutan terhadap kebutuhan perumahan, transportasi, pangan, energi, dan layanan publik—semuanya berdampak langsung pada konsumsi material dan produksi limbah.
Perubahan struktur ekonomi Viet Nam juga menjadi faktor penting. Kontribusi sektor industri dan jasa meningkat signifikan, sementara sektor pertanian menurun secara relatif. Transformasi ini meningkatkan intensitas energi dan material, sekaligus memperluas jenis limbah—dari limbah domestik hingga limbah industri dan elektronik. Dalam kerangka ekonomi linear, perubahan struktural ini mempercepat degradasi lingkungan dan meningkatkan biaya sosial yang harus ditanggung negara.
Bab ini menekankan bahwa circular economy dipandang sebagai mekanisme harmonisasi antara pertumbuhan dan perlindungan lingkungan. Definisi resmi dalam Undang-Undang Perlindungan Lingkungan 2020 menegaskan circular economy sebagai model yang mencakup desain, produksi, konsumsi, dan layanan dengan tujuan mengurangi ekstraksi bahan baku, memperpanjang umur produk, dan meminimalkan dampak lingkungan. Definisi ini penting karena memperluas circular economy melampaui isu limbah, menuju arsitektur sistem ekonomi secara keseluruhan.
Motivasi lainnya bersifat strategis-global. Viet Nam berkomitmen pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan menghadapi risiko tinggi terhadap perubahan iklim. Ketergantungan pada model pertumbuhan berbasis sumber daya membuat negara ini semakin rentan terhadap fluktuasi global dan kerusakan ekologis. Circular economy kemudian diposisikan sebagai cara untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan lingkungan secara simultan.
Namun, bab ini juga secara implisit mengingatkan bahwa motivasi normatif tidak otomatis menjamin keberhasilan implementasi. Tekanan pertumbuhan, keterbatasan teknologi, dan kapasitas institusional yang belum merata menciptakan ketegangan antara ambisi circular economy dan realitas lapangan. Di sinilah urgensi road map menjadi krusial: bukan untuk menjanjikan transisi instan, tetapi untuk menentukan prioritas dan tahapan yang realistis dalam konteks negara berkembang
3. Praktik Circular Economy yang Telah Ada: Dari Model Tradisional hingga Inisiatif Lokal
Salah satu kekuatan bab ini adalah penolakannya terhadap anggapan bahwa circular economy sepenuhnya merupakan konsep “impor” bagi Viet Nam. Penulis menunjukkan bahwa berbagai praktik yang sejalan dengan prinsip circular economy telah lama hidup dalam sistem ekonomi dan sosial lokal, meskipun tidak pernah diberi label formal sebagai circular economy.
Contoh paling sering dikutip adalah model VAC (Vườn–Ao–Chuồng)—integrasi kebun, kolam, dan peternakan—yang memanfaatkan limbah satu kegiatan sebagai input bagi kegiatan lain. Limbah organik dari peternakan digunakan sebagai pupuk kebun atau pakan ikan, sementara residu tanaman kembali ke tanah. Model ini mencerminkan prinsip sirkularitas dasar: minimisasi limbah, efisiensi sumber daya, dan ketergantungan pada siklus biologis lokal. Dalam skala rumah tangga dan komunitas desa, VAC terbukti tangguh dan relatif berkelanjutan.
Selain VAC, penulis juga menyoroti eco-economic model dan berbagai desa daur ulang (recycling villages) yang tersebar di wilayah peri-urban. Desa-desa ini berkembang sebagai respons ekonomi terhadap meningkatnya limbah perkotaan, khususnya plastik, logam, dan kertas. Dalam banyak kasus, aktivitas daur ulang dilakukan secara informal, berbasis keluarga, dan berorientasi pasar. Dari perspektif ekonomi mikro, desa-desa ini menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.
Namun, bab ini tidak meromantisasi praktik-praktik tersebut. Justru sebaliknya, ia menekankan bahwa keberadaan praktik sirkular lokal belum tentu berarti transisi sistemik. Model VAC, misalnya, sulit diskalakan dalam konteks urbanisasi cepat dan transformasi struktur ekonomi. Sementara itu, desa daur ulang sering beroperasi dengan teknologi rendah, standar lingkungan yang lemah, dan paparan risiko kesehatan yang tinggi bagi pekerja.
Dengan kata lain, Viet Nam tidak kekurangan praktik sirkular, tetapi praktik tersebut terfragmentasi, berskala kecil, dan terlepas dari kerangka kebijakan nasional. Circular economy hadir sebagai mosaik aktivitas lokal, bukan sebagai sistem ekonomi yang terkoordinasi. Section ini menunjukkan bahwa tantangan utama bukan menciptakan praktik baru, melainkan mengintegrasikan praktik yang sudah ada ke dalam kerangka pembangunan yang lebih luas
.
4. Mengapa Praktik yang Ada Belum Menjadi Transisi Sistemik
Pertanyaan kunci yang kemudian diajukan penulis adalah: jika praktik-praktik circular economy telah ada, mengapa tekanan lingkungan tetap meningkat dan ekonomi linear tetap dominan? Jawaban yang ditawarkan bersifat struktural, bukan moral atau teknis semata.
Pertama, terdapat ketidaksesuaian skala. Sebagian besar praktik sirkular yang berhasil di Viet Nam beroperasi pada skala mikro atau komunitas. Sementara itu, sumber utama tekanan lingkungan berasal dari industrialisasi, urbanisasi, dan ekspansi konsumsi massal. Ketika skala masalah tumbuh jauh lebih cepat daripada skala solusi, dampak agregat dari praktik sirkular lokal menjadi marginal.
Kedua, bab ini menyoroti kesenjangan kelembagaan. Praktik informal seperti desa daur ulang berada di luar sistem regulasi formal, sehingga sulit diintegrasikan ke dalam kebijakan circular economy nasional. Ketiadaan standar lingkungan, akses pembiayaan, dan dukungan teknologi membuat praktik ini bertahan sebagai solusi sementara, bukan fondasi transformasi jangka panjang.
Ketiga, terdapat ketegangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan. Banyak kebijakan pembangunan Viet Nam masih memprioritaskan pertumbuhan industri dan investasi asing berbasis biaya rendah. Dalam kerangka ini, circular economy sering diposisikan sebagai pelengkap, bukan sebagai prinsip pengarah pembangunan. Akibatnya, kebijakan sirkular cenderung reaktif—berfokus pada pengelolaan limbah—alih-alih proaktif dalam mengubah desain produksi dan pola konsumsi.
Keempat, penulis menyinggung masalah koordinasi lintas sektor. Circular economy menuntut keterlibatan simultan berbagai kementerian, pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat. Namun, fragmentasi kewenangan dan kapasitas institusional yang tidak merata menghambat konsistensi kebijakan. Tanpa koordinasi yang kuat, inisiatif circular economy mudah terjebak sebagai proyek sektoral yang terisolasi.
Section ini memperjelas bahwa tantangan circular economy di Viet Nam bukan terletak pada kurangnya kesadaran atau praktik awal, melainkan pada ketidakmampuan mengubah praktik tersebut menjadi arsitektur sistem ekonomi. Transisi ke circular economy menuntut perubahan pada tingkat perencanaan pembangunan, regulasi industri, dan insentif pasar—bukan sekadar penguatan praktik daur ulang yang sudah ada.
5. Road Map Circular Economy Viet Nam: Tahapan, Prioritas, dan Realisme Kebijakan
Bab ini menegaskan bahwa keberhasilan circular economy di Viet Nam sangat bergantung pada road map yang bertahap dan selektif, bukan pendekatan serba-sekaligus. Penulis menolak gagasan transisi instan menuju ekonomi sirkular penuh, dan justru menekankan pentingnya penentuan prioritas sektor dan instrumen kebijakan yang realistis dalam konteks negara berkembang.
Tahap awal road map difokuskan pada penguatan kerangka hukum dan kelembagaan. Pengakuan circular economy dalam Undang-Undang Perlindungan Lingkungan 2020 menjadi fondasi penting, tetapi implementasinya menuntut peraturan turunan yang jelas, pembagian kewenangan yang tegas antara pemerintah pusat dan daerah, serta mekanisme koordinasi lintas sektor. Tanpa fondasi ini, circular economy berisiko tetap menjadi konsep normatif tanpa daya paksa kebijakan.
Tahap berikutnya menekankan prioritisasi sektor dengan dampak lingkungan tinggi dan kesiapan teknis yang relatif lebih baik, seperti pengelolaan limbah padat perkotaan, plastik, pertanian, dan industri pengolahan pangan. Penulis menunjukkan bahwa memulai dari sektor-sektor ini memungkinkan Viet Nam memperoleh quick wins—pengurangan limbah dan penciptaan nilai ekonomi—tanpa menunggu transformasi industri berat yang lebih kompleks.
Instrumen kebijakan yang diusulkan mencakup penguatan extended producer responsibility (EPR), insentif fiskal untuk desain produk sirkular, serta dukungan pembiayaan dan teknologi bagi usaha kecil dan menengah. Namun, bab ini menekankan bahwa instrumen tersebut hanya efektif jika diselaraskan dengan strategi pembangunan nasional. Circular economy tidak boleh berdiri terpisah sebagai agenda lingkungan, tetapi harus terintegrasi dalam perencanaan industri, energi, dan urbanisasi.
Section ini memperlihatkan bahwa road map circular economy Viet Nam bersifat pragmatis dan inkremental. Tujuannya bukan menciptakan ekonomi sirkular ideal dalam waktu singkat, melainkan mengarahkan lintasan pembangunan agar secara bertahap menjauh dari ketergantungan pada ekonomi linear yang boros sumber daya.
.
6. Kesimpulan: Pelajaran Struktural bagi Negara Berkembang
Artikel ini menunjukkan bahwa circular economy di Viet Nam tidak dapat dipahami sebagai adopsi konsep global secara sederhana. Ia merupakan respons struktural terhadap kontradiksi pembangunan: pertumbuhan ekonomi yang cepat di satu sisi, dan tekanan lingkungan yang semakin berat di sisi lain. Dalam konteks ini, circular economy berfungsi sebagai kerangka korektif, bukan sebagai solusi teknis tunggal.
Analisis terhadap praktik yang telah ada, hambatan sistemik, dan road map kebijakan memperjelas bahwa tantangan utama circular economy di negara berkembang bukan ketiadaan ide atau praktik, melainkan masalah skala, integrasi, dan kelembagaan. Praktik sirkular lokal seperti VAC dan desa daur ulang menunjukkan potensi, tetapi tidak akan menghasilkan perubahan sistemik tanpa dukungan kebijakan yang terkoordinasi dan perubahan arah pembangunan.
Pelajaran yang dapat ditarik bagi negara berkembang lain adalah pentingnya menempatkan circular economy sebagai bagian dari strategi transformasi struktural, bukan sebagai proyek lingkungan yang terpisah. Circular economy perlu disesuaikan dengan konteks demografi, kapasitas institusional, dan struktur ekonomi nasional. Meniru model negara maju tanpa adaptasi berisiko menghasilkan kebijakan yang tidak efektif atau bahkan kontraproduktif.
Pada akhirnya, circular economy di negara berkembang seperti Viet Nam bukan soal mengejar standar sirkularitas tertinggi, melainkan soal mengubah lintasan pembangunan sebelum tekanan lingkungan menjadi tidak terkendali. Keberhasilan tidak diukur dari seberapa cepat ekonomi menjadi “sirkular”, tetapi dari sejauh mana kebijakan mampu menyeimbangkan pertumbuhan, ketahanan sosial, dan batas lingkungan dalam jangka panjang.
Daftar Pustaka
Nguyen, T. H., Lai, N. T., Pham, H. Q., & Nguyen, M. T. (2022). A road map to a circular economy in Viet Nam. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.
Asian Development Bank Institute. (2022). Transitioning to a circular economy in developing Asia. Tokyo: ADBI.
Geng, Y., Sarkis, J., & Ulgiati, S. (2016). Sustainability, well-being, and the circular economy in China and worldwide. Science, 352(6283), 209–210.
McDowall, W., Geng, Y., Huang, B., et al. (2017). Circular economy policies in China and Europe. Journal of Industrial Ecology, 21(3), 651–661.
Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.
Wiedmann, T. O., Schandl, H., Lenzen, M., et al. (2015). The material footprint of nations. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(20), 6271–6276.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Desember 2025
1. Pendahuluan: Circular Economy di Asia sebagai Masalah Skala dan Integrasi Regional
Dalam satu dekade terakhir, circular economy semakin dipromosikan sebagai kerangka kebijakan utama untuk menjawab lonjakan konsumsi sumber daya di Asia. Data menunjukkan bahwa meskipun konsumsi material per kapita di Asia dan Pasifik masih lebih rendah dibandingkan Amerika Utara dan Uni Eropa, kawasan ini menyumbang sekitar setengah dari total jejak material global akibat besarnya populasi dan percepatan industrialisasi. Fakta ini menempatkan Asia bukan hanya sebagai “pengikut” agenda circular economy global, melainkan sebagai arena penentu keberhasilan atau kegagalannya.
Bab karya Michikazu Kojima dalam laporan ADBI menempatkan circular economy Asia pada sudut pandang yang berbeda dari banyak literatur normatif. Alih-alih menanyakan bagaimana circular economy seharusnya dirancang secara ideal, bab ini memulai dengan pertanyaan struktural: dapatkah circular economy berfungsi secara efektif dalam kawasan yang sangat terintegrasi secara ekonomi tetapi terfragmentasi secara kebijakan? Pertanyaan ini penting karena sebagian besar rantai pasok industri di Asia Timur dan Asia Tenggara telah melampaui batas negara, sementara kebijakan circular economy masih didesain dan diterapkan secara nasional.
Pendekatan nasional tersebut menghasilkan paradoks. Banyak negara telah mengadopsi instrumen circular economy—seperti extended producer responsibility (EPR), eco-labeling, dan kewajiban daur ulang—namun konsumsi material absolut tetap meningkat dengan cepat. Dari 1970 hingga 2017, konsumsi material langsung di Asia Timur dan Asia Tenggara tumbuh dua kali lebih cepat dibandingkan Eropa dan Amerika Utara. Hal ini menunjukkan bahwa adopsi kebijakan circular economy tidak otomatis menghasilkan penurunan tekanan sumber daya ketika kebijakan tersebut tidak disesuaikan dengan realitas integrasi regional dan perdagangan lintas batas
Pendahuluan ini menegaskan tesis utama artikel: di Asia, circular economy bukan sekadar persoalan teknologi atau desain produk, melainkan persoalan tata kelola regional. Ketika bahan baku, produk, limbah, dan material daur ulang bergerak lintas negara, kebijakan yang terfragmentasi justru menciptakan inefisiensi, kebocoran lingkungan, dan konflik regulasi. Dengan demikian, transisi dari ekonomi linear ke ekonomi sirkular di Asia tidak dapat diselesaikan pada level nasional semata.
2. Difusi Kebijakan Circular Economy: Fragmentasi Nasional dalam Sistem Ekonomi Terintegrasi
Analisis Kojima menunjukkan bahwa Asia Timur dan Asia Tenggara sebenarnya termasuk kawasan paling aktif dalam mengadopsi kebijakan circular economy sejak awal 1990-an. Jepang, Republik Korea, dan kemudian Tiongkok menjadi pelopor melalui regulasi daur ulang, EPR, dan standar desain produk. Negara-negara Asia Tenggara menyusul secara bertahap sejak awal 2000-an, terutama melalui kebijakan pengelolaan sampah dan tanggung jawab produsen.
Namun, meskipun terlihat progresif, difusi kebijakan ini bersifat asimetris dan tidak terkoordinasi. Setiap negara mengembangkan rezim regulasi sendiri, dengan prioritas, standar teknis, dan mekanisme penegakan yang berbeda. Dalam konteks ekonomi yang semakin terintegrasi, fragmentasi ini menciptakan beberapa masalah struktural.
Pertama, banyak negara kecil dan sangat bergantung pada perdagangan—seperti Singapura, Viet Nam, atau Kamboja—memiliki tingkat ketergantungan perdagangan di atas 100% dari PDB. Artinya, sebagian besar produk yang dikonsumsi atau diproduksi di negara tersebut melibatkan rantai pasok lintas negara. Dalam kondisi ini, menciptakan circular economy “di dalam negeri” menjadi hampir mustahil karena skala industri daur ulang tidak mencukupi dan aliran material tidak sepenuhnya berada dalam kontrol nasional.
Kedua, perbedaan kebijakan nasional menciptakan distorsi perdagangan limbah dan material daur ulang. Ketika satu negara memperketat impor limbah untuk alasan lingkungan, arus limbah sering kali berpindah ke negara tetangga dengan regulasi yang lebih longgar. Fenomena ini terlihat jelas setelah pembatasan impor limbah oleh Tiongkok pada 2017, yang menyebabkan lonjakan impor limbah plastik dan kertas ke negara-negara Asia Tenggara. Alih-alih memperbaiki circularity regional, kebijakan nasional yang tidak terkoordinasi justru memindahkan beban lingkungan antarnegara.
Ketiga, standar teknis dan kualitas produk daur ulang yang berbeda antarnegara meningkatkan biaya bagi industri. Produsen dan pendaur ulang harus menyesuaikan produk dengan berbagai standar nasional, yang pada akhirnya mengurangi insentif ekonomi untuk menggunakan material daur ulang. Dalam sistem yang terfragmentasi, circular economy kehilangan daya saing terhadap penggunaan bahan baku primer yang lebih murah dan lebih seragam secara standar.
Section ini memperkuat argumen bahwa kegagalan circular economy di Asia bukan disebabkan oleh ketiadaan kebijakan, melainkan oleh ketiadaan koordinasi regional. Circular economy yang dirancang sebagai proyek nasional tidak kompatibel dengan struktur ekonomi Asia yang lintas batas. Tanpa harmonisasi kebijakan, standar, dan mekanisme perdagangan material daur ulang, circular economy berisiko menjadi serangkaian inisiatif parsial yang tidak pernah mencapai dampak sistemik.
3. Mengapa Circular Economy Membutuhkan Kerangka Regional, Bukan Sekadar Nasional
Dari paparan fragmentasi kebijakan nasional, Kojima kemudian mengajukan argumen kunci: circular economy di Asia hanya dapat berfungsi efektif jika dirancang dalam kerangka regional. Argumen ini berangkat dari realitas bahwa siklus hidup produk—mulai dari ekstraksi bahan baku, manufaktur, konsumsi, hingga pengelolaan limbah—jarang sekali berhenti pada batas negara. Dalam sistem seperti ini, kebijakan nasional yang berdiri sendiri cenderung gagal mengendalikan aliran material secara utuh.
Pertama, skala ekonomi menjadi faktor penentu. Banyak negara Asia, khususnya di Asia Tenggara, tidak memiliki pasar domestik yang cukup besar untuk mendukung industri daur ulang yang efisien dan berdaya saing. Circular economy pada tingkat nasional sering kali terjebak pada biaya tinggi, kualitas material daur ulang yang rendah, dan ketergantungan berkelanjutan pada bahan baku primer. Dalam konteks regional, agregasi permintaan dan pasokan material daur ulang membuka peluang skala ekonomi yang lebih realistis.
Kedua, pendekatan regional memungkinkan penyelarasan standar teknis dan regulasi. Tanpa standar bersama mengenai kualitas material daur ulang, keamanan produk, dan persyaratan lingkungan, perdagangan material sirkular akan terus menghadapi hambatan. Kojima menekankan bahwa harmonisasi standar bukan sekadar isu teknis, melainkan prasyarat agar material daur ulang dapat bersaing secara ekonomi dengan bahan baku primer dalam pasar regional.
Ketiga, kerangka regional diperlukan untuk mengatasi masalah perpindahan beban lingkungan (environmental leakage). Ketika negara-negara menerapkan kebijakan circular economy secara asimetris, limbah dan proses berisiko tinggi cenderung berpindah ke yurisdiksi dengan regulasi lebih lemah. Pendekatan regional memungkinkan pembagian tanggung jawab yang lebih adil serta mekanisme pengawasan bersama, sehingga circular economy tidak berubah menjadi bentuk baru ekspor masalah lingkungan.
Section ini menegaskan bahwa circular economy di Asia tidak kekurangan komitmen kebijakan, tetapi kekurangan arsitektur tata kelola yang sesuai dengan struktur ekonomi kawasan. Tanpa kerangka regional, circular economy akan terus beroperasi di bawah kapasitas potensialnya, terhambat oleh fragmentasi, skala yang tidak memadai, dan kompetisi regulasi antarnegara
.
4. Implikasi Kebijakan: Arah Strategis Circular Economy Regional di Asia
Berdasarkan analisis tersebut, Kojima menguraikan sejumlah implikasi kebijakan yang bersifat strategis. Yang paling mendasar adalah pergeseran dari paradigma “setiap negara membangun circular economy sendiri” menuju pembagian peran regional. Tidak semua negara perlu mengembangkan seluruh rantai circular economy secara lengkap. Sebaliknya, spesialisasi regional—misalnya pusat daur ulang material tertentu atau pusat desain produk—dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi redundansi.
Implikasi kedua adalah perlunya kerangka kerja bersama untuk perdagangan material sirkular. Ini mencakup definisi bersama tentang limbah dan produk daur ulang, mekanisme perizinan lintas batas yang transparan, serta sistem pelacakan material. Tanpa kerangka ini, perdagangan material sirkular akan terus berada di wilayah abu-abu antara komoditas dan limbah, menciptakan ketidakpastian hukum dan risiko lingkungan.
Implikasi ketiga menyangkut peran organisasi regional, khususnya ASEAN dan mekanisme kerja sama Asia Timur. Kojima menilai bahwa lembaga-lembaga ini memiliki posisi strategis untuk memfasilitasi dialog kebijakan, penyelarasan standar, dan pertukaran praktik terbaik. Namun, peran tersebut tidak akan efektif jika circular economy hanya diperlakukan sebagai isu lingkungan. Ia perlu diposisikan sebagai isu industri, perdagangan, dan pembangunan ekonomi regional.
Terakhir, artikel ini menekankan pentingnya pendekatan bertahap dan pragmatis. Circular economy regional tidak berarti harmonisasi penuh dalam waktu singkat. Yang dibutuhkan adalah prioritisasi sektor dan material dengan dampak terbesar—misalnya plastik, logam, dan elektronik—di mana manfaat koordinasi regional paling jelas. Pendekatan ini memungkinkan pembelajaran kebijakan tanpa menunggu konsensus total di seluruh kawasan.
Section ini memperjelas bahwa masa depan circular economy di Asia sangat ditentukan oleh kemampuannya beradaptasi dengan realitas integrasi regional. Tanpa perubahan paradigma tata kelola, circular economy akan tetap menjadi kumpulan kebijakan nasional yang terfragmentasi. Dengan kerangka regional yang tepat, ia berpotensi menjadi instrumen strategis untuk menekan tekanan sumber daya sekaligus memperkuat kerja sama ekonomi kawasan.
5. Tantangan Implementasi: Politik, Kapasitas Institusional, dan Ketimpangan Kawasan
Meskipun pendekatan circular economy regional menawarkan solusi yang lebih selaras dengan struktur ekonomi Asia, implementasinya menghadapi tantangan yang tidak kecil. Tantangan pertama bersifat politik dan kedaulatan. Banyak negara masih memandang kebijakan lingkungan dan industri sebagai ranah domestik yang sensitif, sehingga harmonisasi regional sering dipersepsikan sebagai pembatasan ruang kebijakan nasional. Dalam konteks ini, circular economy regional membutuhkan tingkat kepercayaan antarnegara yang belum sepenuhnya terbentuk.
Tantangan kedua berkaitan dengan kapasitas institusional yang timpang. Negara-negara maju di Asia Timur memiliki sumber daya administratif, sistem pengawasan, dan kapasitas teknologi yang jauh lebih kuat dibandingkan sebagian negara Asia Tenggara. Ketimpangan ini menciptakan risiko bahwa harmonisasi kebijakan justru membebani negara dengan kapasitas lebih rendah, atau sebaliknya mendorong race to the bottom jika standar disesuaikan ke tingkat terendah.
Tantangan ketiga adalah ketimpangan manfaat ekonomi. Tanpa desain kebijakan yang cermat, circular economy regional berpotensi mengonsentrasikan nilai tambah pada negara tertentu—misalnya negara dengan teknologi daur ulang canggih—sementara negara lain hanya menjadi pemasok limbah atau bahan baku sekunder. Risiko ini menuntut mekanisme pembagian manfaat dan dukungan teknis yang eksplisit agar circular economy tidak memperlebar kesenjangan pembangunan kawasan.
Section ini menegaskan bahwa transisi ke circular economy regional bukan hanya persoalan desain teknis, tetapi proses politik dan institusional yang kompleks. Keberhasilan bergantung pada kemampuan kawasan untuk mengelola ketegangan antara integrasi ekonomi dan kedaulatan nasional, serta antara efisiensi dan keadilan pembangunan.
6. Kesimpulan: Circular Economy sebagai Proyek Tata Kelola Regional
Artikel ini menunjukkan bahwa circular economy di Asia menghadapi batas struktural yang tidak dapat diselesaikan melalui kebijakan nasional yang terfragmentasi. Dalam kawasan dengan rantai pasok lintas batas dan ketergantungan perdagangan yang tinggi, circular economy hanya akan efektif jika diperlakukan sebagai proyek tata kelola regional, bukan sekadar kumpulan inisiatif domestik.
Analisis terhadap difusi kebijakan, fragmentasi regulasi, dan dinamika perdagangan material menunjukkan bahwa tantangan utama circular economy di Asia bukan ketiadaan instrumen, melainkan ketiadaan koordinasi. Tanpa kerangka regional yang menyelaraskan standar, membagi peran, dan mengelola aliran material lintas negara, circular economy berisiko menjadi slogan keberlanjutan yang tidak pernah mencapai dampak sistemik.
Pada saat yang sama, artikel ini menolak pandangan bahwa circular economy regional adalah solusi instan. Ia menuntut proses bertahap, penguatan institusi, dan komitmen politik jangka panjang. Keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan organisasi regional—seperti ASEAN dan forum Asia Timur—untuk menjembatani kepentingan nasional dan kepentingan kolektif kawasan.
Dengan menempatkan circular economy sebagai proyek tata kelola regional, Asia memiliki peluang untuk tidak hanya mengurangi tekanan sumber daya, tetapi juga memperkuat integrasi ekonomi yang lebih berkelanjutan. Namun, peluang ini hanya dapat direalisasikan jika circular economy dipahami secara realistis: sebagai alat yang membutuhkan koordinasi lintas batas, bukan sebagai solusi teknis yang dapat bekerja sendiri di dalam batas negara.
Daftar Pustaka
Kojima, M. (2022). Transitioning from a linear to a circular economy in developing Asia. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.
Asian Development Bank Institute. (2022). Transitioning to a circular economy in developing Asia. Tokyo: ADBI.
Geng, Y., Sarkis, J., & Ulgiati, S. (2016). Sustainability, well-being, and the circular economy in China and worldwide. Science, 352(6283), 209–210.
McDowall, W., Geng, Y., Huang, B., et al. (2017). Circular economy policies in China and Europe. Journal of Industrial Ecology, 21(3), 651–661.
Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.
Wiedmann, T. O., Schandl, H., Lenzen, M., et al. (2015). The material footprint of nations. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(20), 6271–6276.
FMEA
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 22 Desember 2025
Pendahuluan
Dalam dunia industri dan organisasi modern, kegagalan bukan lagi dianggap sebagai sekadar kesalahan teknis, melainkan sebagai indikator lemahnya sistem pengendalian mutu dan manajemen risiko. Berbagai kasus kegagalan bangunan, produk, maupun sistem—baik di sektor manufaktur, konstruksi, jasa, hingga peternakan—menunjukkan bahwa banyak kerugian sebenarnya dapat dicegah sejak tahap perencanaan.
Materi yang menjadi dasar artikel ini membahas Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) sebagai salah satu metode peningkatan kualitas (quality improvement) yang berfokus pada pencegahan kegagalan sebelum terjadi, bukan sekadar penanganan setelah masalah muncul. FMEA diperkenalkan sebagai alat sistematis yang membantu organisasi mengidentifikasi potensi kegagalan, menganalisis dampaknya, serta menentukan prioritas tindakan perbaikan.
Artikel ini menyajikan resensi analitis dari materi tersebut dengan menata ulang pembahasan, menambahkan interpretasi praktis, serta mengaitkannya dengan konteks industri dan organisasi di Indonesia.
Kegagalan sebagai Kebalikan dari Kesuksesan
Memahami Konsep Failure
Kegagalan (failure) didefinisikan sebagai ketidakmampuan suatu sistem, proses, komponen, atau produk dalam menjalankan fungsi yang diharapkan sesuai spesifikasi. Dengan kata lain, setiap pencapaian target yang tidak sesuai rencana dapat dikategorikan sebagai kegagalan.
Contoh sederhana:
Kendaraan tidak dapat berjalan → kegagalan fungsi sistem
Telepon genggam tidak dapat mengirim pesan → kegagalan produk
Bangunan roboh → kegagalan desain dan sistem
Pemahaman ini melatih organisasi untuk bersikap waspada terhadap kemungkinan kegagalan di masa depan, bukan hanya bereaksi ketika kerusakan sudah terjadi.
Mengapa FMEA Menjadi Penting
Materi menegaskan bahwa kegagalan memiliki konsekuensi besar, antara lain:
Kerugian finansial (hingga ratusan juta atau miliaran rupiah)
Kecelakaan fatal dan korban jiwa
Kegagalan produk massal
Kerusakan reputasi organisasi
Kasus-kasus kegagalan konstruksi internasional—seperti apartemen roboh, jembatan ambruk, dan gedung bermasalah akibat desain—menunjukkan bahwa banyak masalah berawal dari ketidaksempurnaan sistem, desain, atau proses yang tidak dianalisis secara komprehensif sejak awal.
FMEA hadir sebagai alat untuk mengantisipasi dan mengendalikan risiko kegagalan tersebut.
Sejarah dan Karakteristik FMEA
FMEA sebagai Alat Preventif
FMEA pertama kali dirumuskan pada tahun 1950-an, dan dikembangkan sebagai metode sistematis untuk melibatkan berbagai komponen, subsistem, dan departemen dalam mengidentifikasi potensi kesalahan.
Karakteristik utama FMEA:
Bersifat preventif
Digunakan sebelum kegagalan terjadi
Dapat diterapkan lintas bidang
Berbasis diskusi tim multidisiplin
FMEA bukan sekadar dokumen, melainkan alat analisis aktif untuk perbaikan berkelanjutan.
Jenis-Jenis FMEA
System FMEA
Berfokus pada:
kegagalan sistem secara keseluruhan,
interaksi antar subsistem,
kelemahan kebijakan dan prosedur.
Contoh: sistem rekrutmen karyawan yang berpotensi menghasilkan SDM bermasalah di kemudian hari.
Design FMEA
Digunakan pada tahap perancangan untuk:
mengantisipasi kegagalan desain,
menganalisis risiko sebelum produk dibuat,
mengevaluasi konsekuensi desain terhadap keselamatan pengguna.
Contoh: desain kursi lipat yang berpotensi patah akibat beban berlebih.
Process FMEA
Fokus pada:
tahapan proses produksi,
aktivitas kerja,
kemungkinan penyimpangan selama proses berlangsung.
Contoh: proses pemotongan kayu tanpa jig atau fixture yang menyebabkan dimensi produk tidak sesuai gambar.
Tahapan Utama dalam Penerapan FMEA
1. Menentukan Fokus Analisis
Langkah awal adalah menetapkan:
apakah analisis berfokus pada sistem,
desain,
proses,
atau produk.
Penentuan fokus ini sangat krusial agar analisis tidak melebar dan tetap relevan.
2. Mengidentifikasi Failure Mode
Failure mode adalah cara kegagalan dapat terjadi, misalnya:
produk bengkok,
sistem tidak berjalan,
proses menyimpang,
kualitas tidak tercapai.
3. Menentukan Efek Kegagalan (Effect)
Efek kegagalan menggambarkan dampak yang timbul, seperti:
kecelakaan,
penurunan kualitas,
kerugian finansial,
keterlambatan waktu.
4. Menentukan Penyebab Kegagalan (Cause)
Penyebab dapat berasal dari:
desain yang tidak tepat,
material tidak sesuai,
metode kerja keliru,
kurangnya pengawasan,
sistem yang tidak melibatkan ahli terkait.
Penilaian Risiko dalam FMEA
Severity (S) – Tingkat Keparahan
Menilai seberapa besar dampak kegagalan jika terjadi, dapat berbasis:
biaya,
waktu perbaikan,
keselamatan,
dampak terhadap pelanggan.
Occurrence (O) – Frekuensi Kejadian
Menilai seberapa sering kegagalan berpotensi terjadi, berdasarkan:
data historis,
pengalaman lapangan,
estimasi tim.
Detection (D) – Kemampuan Deteksi
Menilai sejauh mana sistem mampu mendeteksi kegagalan sebelum berdampak, misalnya:
inspeksi visual,
audit,
pengujian rutin,
sistem monitoring terdokumentasi.
Risk Priority Number (RPN)
Nilai risiko dihitung dengan rumus:
RPN = Severity × Occurrence × Detection
Semakin tinggi nilai RPN, semakin tinggi prioritas perbaikan yang harus dilakukan.
Rekomendasi Tindakan dan Evaluasi Ulang
Setiap kegagalan dengan RPN tinggi wajib:
diberikan recommended action,
ditetapkan penanggung jawab,
ditentukan target waktu penyelesaian.
Setelah tindakan dilakukan, FMEA harus dievaluasi ulang untuk melihat:
apakah nilai RPN menurun,
apakah risiko sudah terkendali.
Inilah yang menjadikan FMEA sebagai dokumen dinamis, bukan arsip statis.
FMEA dan Metode Lain
Materi juga membandingkan FMEA dengan metode lain seperti:
HIRA (fokus kecelakaan kerja),
GMP (fokus kontaminasi dan mutu pangan),
Root Cause Analysis.
FMEA dapat:
berdiri sendiri,
atau dikombinasikan dengan metode lain untuk analisis yang lebih komprehensif.
Penerapan FMEA di Berbagai Bidang
FMEA dapat diterapkan pada:
manufaktur,
konstruksi,
jasa,
peternakan,
administrasi,
sistem tender,
layanan publik.
Intinya, selama ada proses, selalu ada potensi kegagalan yang dapat dianalisis dengan FMEA.
Kesalahan Umum dalam Penerapan FMEA
Beberapa kesalahan yang sering terjadi:
FMEA hanya dijadikan dokumen formalitas
Tidak dilakukan evaluasi ulang
Tidak melibatkan tim lintas fungsi
Rekomendasi tidak diimplementasikan
Padahal, nilai FMEA terletak pada tindak lanjut dan pemantauan berkelanjutan.
Kesimpulan
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) merupakan metode strategis dalam peningkatan kualitas dan manajemen risiko. Dengan mengidentifikasi potensi kegagalan sejak dini, organisasi dapat mencegah kerugian besar, meningkatkan keselamatan, serta menjaga kualitas produk dan layanan.
Artikel ini menegaskan bahwa FMEA bukan sekadar alat analisis, melainkan budaya berpikir preventif yang harus tertanam dalam setiap sistem, desain, dan proses organisasi.
📚 Sumber Utama
Webinar Quality Improvement dengan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Materi Diklat Kerja – Quality Management & Risk Analysis
📖 Referensi Pendukung
ISO 31000: Risk Management
AIAG. FMEA Handbook
Gaspersz, V. Total Quality Management
Juran, J. M. Quality Planning and Analysis
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Desember 2025
1. Pendahuluan: Ketika Efisiensi Tak Lagi Mengejar Konsumsi
Dalam dua dekade terakhir, circular economy dipromosikan sebagai jawaban rasional atas krisis sumber daya global. Ia hadir sebagai konsep yang menjanjikan pengurangan limbah, efisiensi material, dan pemisahan antara pertumbuhan ekonomi dan tekanan lingkungan. Dalam narasi kebijakan internasional, circular economy sering diposisikan seolah-olah menjadi missing link yang akan memungkinkan dunia mempertahankan pertumbuhan ekonomi tanpa melampaui batas planet.
Namun, bab yang ditulis oleh Ole van Allen, Harald U. Sverdrup, dan Anna Hulda Olafsdottir justru membuka pendahuluan dengan nada yang berlawanan. Alih-alih bertanya bagaimana circular economy dapat diimplementasikan, mereka mengajukan pertanyaan yang jauh lebih tidak nyaman: apakah masih ada ruang bagi circular economy di tengah laju konsumsi global yang terus meningkat?
Pertanyaan ini berangkat dari fakta empiris yang sulit diabaikan. Konsumsi material global meningkat dari sekitar 43 miliar ton pada 1990 menjadi 92 miliar ton pada 2017, atau naik lebih dari 113 persen dalam kurang dari tiga dekade. Proyeksi menunjukkan bahwa tanpa perubahan kebijakan yang bersifat sistemik, konsumsi material dapat mencapai 190 miliar ton pada 2060. Angka-angka ini menggeser perdebatan circular economy dari ranah desain dan inovasi menuju ranah ketidakcukupan struktural.
Di titik ini, circular economy tidak lagi dipertanyakan sebagai konsep yang salah, melainkan sebagai konsep yang terlalu kecil untuk menghadapi skala masalah. Penulis menunjukkan bahwa sebagian besar pendekatan keberlanjutan—termasuk circular economy, decoupling, strategi 4R, dan efisiensi teknis—masih beroperasi dalam kerangka business-as-usual. Konsumsi tetap tumbuh, populasi terus meningkat, dan pertumbuhan ekonomi tetap menjadi tujuan politik utama. Dalam konfigurasi ini, setiap peningkatan efisiensi cenderung dikompensasi oleh peningkatan volume aktivitas ekonomi.
Pendahuluan bab ini secara implisit membongkar asumsi dasar yang jarang dipersoalkan: bahwa efisiensi dapat mengalahkan skala. Circular economy diasumsikan mampu “mengejar” pertumbuhan konsumsi melalui daur ulang yang lebih baik, penggunaan ulang yang lebih lama, dan inovasi teknologi. Namun, data historis menunjukkan bahwa efisiensi material dan energi tidak pernah cukup cepat untuk mengimbangi ekspansi ekonomi global. Alih-alih menurunkan tekanan ekologis, efisiensi sering kali justru mempercepat konsumsi melalui efek rebound.
Yang menarik, penulis tidak berhenti pada kritik normatif. Mereka memosisikan circular economy dalam kerangka analisis sistem. Dari perspektif sistem global, perputaran internal material dalam ekonomi sirkular tidak dapat dipisahkan dari aliran masuk sumber daya primer yang terus meningkat. Dengan kata lain, circularity di dalam sistem tidak otomatis berarti keberlanjutan di tingkat planet. Sistem bisa tampak lebih “sirkular” secara internal, tetapi tetap tidak berkelanjutan secara keseluruhan.
Pendahuluan ini dengan demikian menegaskan bahwa persoalan utama bukan terletak pada kurangnya adopsi circular economy, melainkan pada ketidaksesuaian antara tujuan keberlanjutan dan logika pertumbuhan tanpa batas. Selama pertumbuhan konsumsi dan populasi tidak menjadi bagian dari perhitungan, circular economy berisiko berfungsi sebagai penunda krisis, bukan sebagai solusi.
Dengan mengajukan pertanyaan “any room for the circular economy?”, penulis tidak menolak circular economy secara total. Sebaliknya, mereka memaksa pembaca untuk menempatkan circular economy pada skala yang tepat: sebagai alat pendukung, bukan penopang utama keberlanjutan global. Pendahuluan ini membuka jalan bagi analisis yang lebih keras pada bagian selanjutnya, di mana model sistem dan simulasi akan menunjukkan batas-batas konkret dari pendekatan sirkular dalam dunia yang terus tumbuh
2. Mengapa Decoupling dan Circular Economy Gagal pada Skala Global
Setelah mempertanyakan apakah masih ada ruang bagi circular economy dalam konteks lonjakan konsumsi material global, van Allen dan kolega membawa diskusi ke wilayah yang lebih keras: apa yang sebenarnya ditunjukkan oleh data dan model sistem tentang kemungkinan decoupling dan circularity? Pada titik ini, optimisme normatif yang sering melekat pada circular economy berhadapan langsung dengan batas empiris.
Salah satu asumsi kunci dalam diskursus circular economy adalah decoupling—gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipisahkan dari penggunaan sumber daya dan dampak lingkungan. Dalam praktik kebijakan, decoupling sering diartikan sebagai peningkatan efisiensi material dan energi yang cukup cepat untuk menurunkan tekanan ekologis meskipun PDB terus tumbuh. Namun, analisis historis yang disajikan dalam bab ini menunjukkan bahwa absolute decoupling hampir tidak pernah terjadi pada skala global.
Data penggunaan sumber daya memperlihatkan pola yang konsisten: setiap penurunan intensitas material per unit PDB hampir selalu diimbangi oleh pertumbuhan volume ekonomi secara keseluruhan. Dengan kata lain, efisiensi relatif tercapai, tetapi konsumsi absolut tetap meningkat. Bahkan di wilayah dengan kemajuan teknologi tinggi dan kebijakan lingkungan yang ketat, penurunan penggunaan material domestik sering kali diimbangi oleh eksternalisasi konsumsi melalui impor. Ketika konsumsi dihitung secara consumption-based alih-alih production-based, klaim decoupling menjadi jauh lebih rapuh.
Bab ini kemudian memperkuat argumen tersebut melalui pendekatan model sistem dinamis. Dengan memandang ekonomi global sebagai sistem yang saling terhubung—antara populasi, produksi, konsumsi, dan ketersediaan sumber daya—penulis menunjukkan bahwa circular economy beroperasi sebagai mekanisme penundaan, bukan pemutus hubungan. Daur ulang, penggunaan ulang, dan perpanjangan umur produk memang memperlambat laju ekstraksi sumber daya primer, tetapi tidak menghentikannya. Selama permintaan total terus tumbuh, aliran masuk material baru tetap diperlukan.
Model yang disajikan memperlihatkan bahwa bahkan dengan tingkat daur ulang yang sangat tinggi, kebutuhan terhadap sumber daya primer tidak pernah turun ke nol. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor struktural: degradasi material dalam proses daur ulang, kehilangan energi, pertumbuhan stok material dalam infrastruktur, serta ekspansi populasi dan konsumsi per kapita. Circular economy, dalam kerangka ini, lebih tepat dipahami sebagai strategi efisiensi temporal—ia membeli waktu, tetapi tidak mengubah arah dasar sistem.
Aspek lain yang dikritisi adalah ketergantungan circular economy pada teknologi masa depan. Banyak skenario keberlanjutan mengasumsikan peningkatan dramatis dalam efisiensi, substitusi material, dan teknologi daur ulang canggih. Namun, penulis menegaskan bahwa asumsi tersebut sering kali mengabaikan batas termodinamika dan ketersediaan material kritis. Teknologi itu sendiri membutuhkan sumber daya, energi, dan infrastruktur tambahan, yang pada gilirannya meningkatkan tekanan pada sistem.
Dalam konteks ini, circular economy berisiko menjadi bagian dari narasi technological optimism—keyakinan bahwa inovasi akan selalu datang tepat waktu untuk menyelesaikan masalah yang dihasilkan oleh pertumbuhan. Bab ini bersikap jauh lebih skeptis. Dengan merujuk pada tren jangka panjang dan batas fisik, penulis menunjukkan bahwa tidak ada bukti empiris kuat bahwa circular economy mampu menetralkan dampak pertumbuhan ekonomi global dalam skala dan kecepatan yang dibutuhkan.
Section ini memperjelas bahwa kegagalan circular economy bukan terutama kegagalan desain kebijakan atau implementasi, melainkan kegagalan skala dan asumsi. Circular economy bekerja paling baik dalam konteks terbatas—produk tertentu, sektor tertentu, atau wilayah tertentu. Ketika dinaikkan ke tingkat global tanpa membatasi pertumbuhan konsumsi, ia kehilangan daya transformasinya.
Dengan demikian, kritik yang dibangun dalam bab ini tidak menolak circular economy sebagai praktik, tetapi menolak klaim implisit bahwa circular economy dapat berdiri sendiri sebagai strategi keberlanjutan global. Tanpa pengendalian konsumsi, pertumbuhan populasi, dan ekspansi ekonomi, circular economy tetap terperangkap dalam logika yang sama dengan ekonomi linear—hanya dengan aliran yang sedikit lebih efisien
3. Batas Fisik dan Termodinamika: Mengapa 100% Circularity adalah Ilusi
Salah satu kontribusi terkuat dari bab van Allen dan kolega terletak pada penegasan bahwa kegagalan circular economy bukan semata persoalan ekonomi atau kebijakan, melainkan konsekuensi langsung dari hukum fisika. Di titik ini, diskursus circular economy dipaksa keluar dari wilayah metafora dan slogan menuju ranah yang jauh lebih tidak kompromistis: termodinamika dan keterbatasan material.
Circular economy sering digambarkan melalui citra lingkaran tertutup, seolah-olah material dapat berputar tanpa kehilangan. Namun, dalam sistem fisik nyata, tidak ada proses yang sepenuhnya reversibel. Hukum kedua termodinamika menyatakan bahwa setiap transformasi energi dan material menghasilkan entropi—kehilangan kualitas yang tidak dapat dipulihkan sepenuhnya. Dalam konteks daur ulang, ini berarti bahwa setiap siklus selalu melibatkan degradasi material, kontaminasi, dan kehilangan energi.
Penulis menegaskan bahwa bahkan pada sistem daur ulang yang sangat efisien, 100% circularity secara fisik mustahil. Material mengalami keausan, pencampuran, dan perubahan struktur yang membuatnya tidak lagi setara dengan bahan awal. Akibatnya, sistem sirkular selalu membutuhkan input sumber daya primer untuk menjaga fungsi dan kualitas. Dengan kata lain, circular economy tidak pernah benar-benar tertutup; ia selalu bergantung pada ekonomi ekstraktif di latar belakang.
Masalah ini semakin serius ketika circular economy diterapkan pada stok material jangka panjang, seperti bangunan, infrastruktur, dan mesin industri. Material dalam stok ini tidak langsung kembali ke siklus produksi, tetapi “terkunci” selama puluhan tahun. Selama periode tersebut, kebutuhan material baru terus muncul untuk memenuhi ekspansi ekonomi dan pertumbuhan populasi. Model sistem yang dibahas dalam bab ini menunjukkan bahwa pertumbuhan stok material global menjadi salah satu faktor utama yang membuat circularity penuh tidak dapat dicapai.
Selain degradasi dan stok, faktor energi memainkan peran sentral. Setiap proses daur ulang membutuhkan energi tambahan, sering kali dalam jumlah yang signifikan. Jika energi tersebut masih berasal dari sumber fosil atau sumber terbarukan yang terbatas kapasitasnya, maka circular economy justru dapat memindahkan tekanan dari satu domain lingkungan ke domain lain. Dalam konteks ini, circular economy tidak otomatis lebih berkelanjutan kecuali didukung oleh sistem energi yang juga beroperasi dalam batas ekologis yang ketat.
Bab ini juga mengkritisi kecenderungan untuk mengabaikan material kritis dan langka. Banyak teknologi yang dipromosikan sebagai pendukung circular economy—mulai dari sistem digital, baterai, hingga infrastruktur energi terbarukan—bergantung pada material yang secara geologis terbatas dan sulit didaur ulang secara sempurna. Kehilangan kecil dalam setiap siklus daur ulang material kritis dapat terakumulasi menjadi kelangkaan sistemik dalam jangka panjang.
Dengan menempatkan circular economy dalam kerangka batas fisik, penulis membongkar ilusi bahwa keberlanjutan dapat dicapai melalui optimasi proses semata. Circular economy, dalam pembacaan ini, tidak gagal karena kurang ambisius, tetapi karena ambisinya tidak selaras dengan realitas fisik planet. Upaya untuk menutup lingkaran sepenuhnya justru berisiko menunda diskusi yang lebih mendesak tentang pengurangan skala aktivitas ekonomi.
Section ini memperkuat argumen bahwa circular economy hanya masuk akal sebagai strategi pelengkap, bukan sebagai kerangka utama keberlanjutan. Selama kebijakan dan strategi industri terus mengejar pertumbuhan material dan energi, hukum termodinamika akan selalu “menang” atas desain ekonomi. Dengan demikian, pertanyaan yang lebih relevan bukan lagi bagaimana mencapai circularity sempurna, melainkan berapa tingkat circularity yang realistis dalam batas fisik yang ada
4. Populasi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Masalah Skala yang Tak Pernah Dibahas
Salah satu kekuatan analisis van Allen dan kolega adalah keberaniannya menempatkan circular economy dalam konteks dinamika makro yang jarang disentuh secara eksplisit: pertumbuhan populasi dan ekspansi ekonomi global. Dalam banyak narasi keberlanjutan, kedua faktor ini diperlakukan sebagai parameter eksternal yang tidak dapat diganggu gugat. Circular economy kemudian diposisikan sebagai solusi teknis yang harus bekerja terlepas dari kenyataan bahwa semakin banyak manusia mengonsumsi semakin banyak sumber daya.
Bab ini secara sistematis menunjukkan bahwa pendekatan semacam itu bersifat problematik. Pertumbuhan populasi global, meskipun melambat, tetap menghasilkan tekanan material yang signifikan. Setiap tambahan populasi berarti kebutuhan baru akan pangan, energi, perumahan, infrastruktur, dan layanan publik—semuanya berbasis material dan energi. Circular economy dapat memperlambat laju ekstraksi per kapita, tetapi tidak pernah mampu menetralkan peningkatan absolut yang dihasilkan oleh pertumbuhan populasi dan konsumsi.
Pertumbuhan ekonomi memperparah persoalan tersebut. Dalam model sistem yang digunakan, pertumbuhan PDB global berfungsi sebagai penguat (reinforcing loop) bagi konsumsi material. Setiap peningkatan efisiensi cenderung diikuti oleh penurunan harga relatif, peningkatan akses, dan ekspansi pasar—fenomena yang dikenal sebagai efek rebound. Akibatnya, keuntungan efisiensi yang diharapkan dari circular economy sering kali “dikonsumsi kembali” oleh pertumbuhan volume aktivitas ekonomi.
Penulis menekankan bahwa sebagian besar skenario keberlanjutan global secara implisit mengasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat terus berlangsung, sementara dampak ekologisnya dikendalikan melalui teknologi dan efisiensi. Namun, ketika skenario tersebut diuji melalui model sistem jangka panjang, hasilnya konsisten: tanpa pembatasan pertumbuhan, tekanan sumber daya terus meningkat, meskipun laju peningkatannya mungkin melambat.
Masalah skala ini semakin jelas ketika circular economy diterapkan pada sektor-sektor kunci seperti konstruksi, transportasi, dan energi. Sektor-sektor ini tidak hanya bersifat material-intensif, tetapi juga sangat terkait dengan pertumbuhan populasi dan urbanisasi. Daur ulang material konstruksi atau peningkatan efisiensi kendaraan tidak mampu mengimbangi lonjakan permintaan infrastruktur dan mobilitas. Circular economy di sektor-sektor ini berfungsi sebagai pengurang tekanan relatif, bukan sebagai solusi absolut.
Bab ini juga menyoroti ketegangan politik yang muncul ketika persoalan skala dibahas secara terbuka. Mengakui bahwa pertumbuhan konsumsi dan populasi memiliki batas berarti mempertanyakan paradigma pembangunan yang telah mendominasi kebijakan global selama beberapa dekade. Circular economy sering dipromosikan justru karena ia tidak menantang paradigma tersebut secara langsung. Dengan menawarkan perbaikan teknis, circular economy memungkinkan pembuat kebijakan menghindari diskusi tentang pembatasan konsumsi dan redistribusi kesejahteraan.
Section ini menegaskan bahwa kegagalan circular economy pada skala global bukan akibat kurangnya ambisi, tetapi akibat ketidaksesuaian antara tujuan keberlanjutan dan realitas pertumbuhan. Selama pertumbuhan populasi dan ekonomi diperlakukan sebagai konstanta, circular economy akan selalu bekerja di bawah bayang-bayang peningkatan skala yang tidak dapat dikalahkan oleh efisiensi semata.
Dengan demikian, analisis ini menggeser fokus diskusi dari pertanyaan “bagaimana meningkatkan circularity” menjadi “pada skala aktivitas ekonomi seperti apa circularity menjadi bermakna?”. Pertanyaan ini membuka ruang bagi perdebatan yang lebih jujur tentang masa depan keberlanjutan—perdebatan yang selama ini sering dihindari demi menjaga optimisme kebijakan
5. Circular Economy sebagai Alat Pendukung, Bukan Strategi Utama
Setelah menelusuri batas-batas empiris, fisik, dan sistemik circular economy, van Allen dan kolega sampai pada kesimpulan yang tegas namun tidak nihilistik: circular economy tetap memiliki peran, tetapi peran tersebut bersifat terbatas. Ia tidak dapat—dan tidak seharusnya—diposisikan sebagai strategi utama untuk mencapai keberlanjutan global. Sebaliknya, circular economy perlu dipahami sebagai alat pendukung dalam kerangka kebijakan yang lebih luas dan lebih jujur terhadap batas planet.
Dalam kerangka ini, circular economy berfungsi untuk memperlambat laju degradasi, bukan untuk menghentikannya sepenuhnya. Daur ulang, penggunaan ulang, dan efisiensi material dapat memperpanjang umur sumber daya, mengurangi tekanan ekstraksi jangka pendek, dan memberikan ruang waktu bagi transisi sistemik lainnya. Namun, manfaat tersebut hanya bermakna jika dikombinasikan dengan kebijakan yang secara eksplisit mengendalikan skala aktivitas ekonomi dan konsumsi.
Penulis menekankan bahwa kesalahan utama dalam diskursus circular economy bukan terletak pada praktiknya, melainkan pada ekspektasi yang dibebankan kepadanya. Circular economy sering diperlakukan sebagai solusi “tanpa rasa sakit”—sebuah pendekatan yang memungkinkan pertumbuhan berlanjut tanpa perlu menghadapi pilihan sulit. Dalam konfigurasi seperti ini, circular economy justru berisiko memperkuat status quo dengan memberikan legitimasi keberlanjutan semu.
Sebagai alat pendukung, circular economy perlu ditempatkan di bawah strategi yang lebih fundamental, seperti pengendalian konsumsi material absolut, pembatasan eksploitasi sumber daya primer, dan restrukturisasi sistem produksi dan distribusi. Tanpa kerangka ini, peningkatan circularity hanya akan menghasilkan perbaikan marginal yang mudah terserap oleh pertumbuhan.
Bab ini juga menekankan pentingnya prioritisasi sektor. Circular economy paling efektif ketika diterapkan pada sektor dengan potensi pengurangan dampak yang tinggi dan keterbatasan substitusi yang rendah. Sebaliknya, memaksakan circularity pada semua sektor secara seragam berisiko menciptakan kebijakan yang tidak efisien dan bahkan kontraproduktif. Pendekatan yang lebih selektif memungkinkan alokasi sumber daya kebijakan dan teknologi yang lebih rasional.
Reposisi circular economy ini juga memiliki implikasi normatif. Dengan mengakui keterbatasannya, circular economy berhenti menjadi janji universal dan mulai berfungsi sebagai instrumen teknis yang jujur. Kejujuran ini penting untuk membangun kebijakan keberlanjutan yang kredibel, karena menghindari kekecewaan publik yang muncul ketika target ambisius tidak tercapai.
Section ini menegaskan bahwa circular economy tidak gagal karena tidak cukup diterapkan, tetapi karena diposisikan secara keliru. Dengan menempatkannya sebagai alat pendukung dalam strategi yang secara eksplisit membahas pertumbuhan, konsumsi, dan batas fisik, circular economy tetap dapat memberikan kontribusi nyata—bukan sebagai penyelamat tunggal, tetapi sebagai bagian dari upaya kolektif yang lebih luas dan lebih realistis
6. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan: Circular Economy setelah Ilusi Skala
Artikel ini menempatkan circular economy pada posisi yang lebih jujur dan proporsional dalam diskursus keberlanjutan global. Berdasarkan analisis data historis, model sistem, batas termodinamika, serta dinamika populasi dan pertumbuhan ekonomi, menjadi jelas bahwa circular economy tidak mampu berdiri sendiri sebagai strategi utama keberlanjutan. Kegagalannya bukan terletak pada kurangnya inovasi atau implementasi, melainkan pada ketidaksesuaian antara klaimnya dan skala masalah yang dihadapi.
Circular economy terbukti efektif dalam konteks terbatas: sektor tertentu, wilayah tertentu, dan horizon waktu tertentu. Ia mampu memperlambat laju ekstraksi sumber daya, mengurangi limbah relatif, dan meningkatkan efisiensi penggunaan material. Namun, ketika dinaikkan ke tingkat global tanpa pembatasan konsumsi dan pertumbuhan, circular economy kehilangan daya transformasinya. Efisiensi tidak pernah cukup cepat untuk mengejar ekspansi sistem ekonomi dunia.
Temuan utama dari bab van Allen dan kolega menggeser fokus perdebatan dari “bagaimana meningkatkan circularity” menuju pertanyaan yang lebih mendasar: pada skala aktivitas ekonomi seperti apa circular economy masih bermakna? Pertanyaan ini memaksa pembuat kebijakan untuk keluar dari zona nyaman narasi teknokratis dan menghadapi realitas bahwa keberlanjutan tidak dapat dicapai tanpa keputusan politik yang sulit.
Implikasi kebijakan dari analisis ini cukup tegas. Pertama, circular economy perlu ditempatkan sebagai instrumen pendukung, bukan sebagai tujuan akhir. Target circularity harus disertai dengan target absolut pengurangan penggunaan sumber daya primer dan energi. Tanpa target absolut, peningkatan efisiensi hanya akan memperpanjang usia sistem yang tidak berkelanjutan.
Kedua, kebijakan keberlanjutan perlu secara eksplisit memasukkan pengendalian skala—baik melalui pembatasan konsumsi material, pengelolaan pertumbuhan sektor intensif sumber daya, maupun redefinisi kesejahteraan yang tidak bergantung pada ekspansi material. Circular economy dapat berperan dalam kerangka ini, tetapi tidak dapat menggantikannya.
Ketiga, diperlukan kejujuran naratif dalam komunikasi kebijakan. Circular economy tidak seharusnya dipresentasikan sebagai solusi yang memungkinkan dunia “terus tumbuh seperti biasa”. Sebaliknya, ia perlu dikomunikasikan sebagai alat untuk mengelola transisi, yang bekerja efektif hanya jika dikombinasikan dengan perubahan struktural yang lebih dalam.
Dengan reposisi ini, circular economy tidak kehilangan relevansinya—justru sebaliknya. Ia dibebaskan dari beban janji yang tidak realistis dan dapat berfungsi secara lebih efektif sebagai bagian dari strategi keberlanjutan yang berlapis. Keberlanjutan global, dalam kerangka ini, bukan hasil dari satu konsep unggulan, melainkan dari kombinasi kebijakan yang berani mengakui batas fisik planet.
Pada akhirnya, pertanyaan “apakah masih ada ruang bagi circular economy?” tidak dijawab dengan ya atau tidak secara sederhana. Jawabannya bersyarat: ada ruang, tetapi ruang tersebut semakin sempit jika pertumbuhan konsumsi dan populasi terus dibiarkan tanpa kendali. Circular economy dapat membeli waktu, tetapi hanya perubahan skala yang dapat menentukan arah masa depan sistem global
Daftar Pustaka
van Allen, O., Sverdrup, H. U., & Olafsdottir, A. H. (2022). Global resource use and the future: Any room for the circular economy? Dalam The Impossibilities of the Circular Economy. London: Routledge.
Bringezu, S., Schütz, H., Steger, S., & Baudisch, J. (2004). International comparison of resource use and its relation to economic growth. Ecological Economics, 51(1–2), 97–124.
Haberl, H., Fischer-Kowalski, M., Krausmann, F., Martinez-Alier, J., & Winiwarter, V. (2011). A socio-metabolic transition towards sustainability? Population and Environment, 32(1), 1–20.
Jackson, T. (2017). Prosperity without growth: Foundations for the economy of tomorrow. London: Routledge.
Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., & Behrens, W. W. (1972). The limits to growth. New York: Universe Books.
Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.
Wiedmann, T. O., Schandl, H., Lenzen, M., et al. (2015). The material footprint of nations. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(20), 6271–6276.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Desember 2025
1. Pendahuluan: Ketika Limbah Tak Bisa Dijinakkan
Circular economy kerap dipromosikan sebagai jalan tengah yang rasional antara tuntutan keberlanjutan ekologis dan kebutuhan ekonomi modern. Ia tidak meminta penghentian pertumbuhan, tidak menantang fondasi kapitalisme secara langsung, dan tidak menuntut perubahan radikal dalam cara hidup manusia kontemporer. Sebaliknya, circular economy menjanjikan keberlanjutan melalui manajemen yang lebih cerdas: limbah dijadikan sumber daya, siklus ditutup, efisiensi ditingkatkan. Namun justru karena itulah circular economy jarang dipertanyakan secara mendasar. Ia terasa masuk akal, moderat, dan dapat diterima oleh hampir semua pihak.
Bab yang ditulis Lisa Doeland mengganggu rasa nyaman tersebut. Alih-alih merayakan circular economy sebagai solusi, Doeland memposisikannya sebagai gejala ideologis—sebuah upaya sistematis untuk mengelola krisis ekologis tanpa benar-benar mengakui batas ekologis itu sendiri. Kritik ini tidak diarahkan pada kegagalan teknis, melainkan pada fantasi konseptual yang menopang circular economy: keyakinan bahwa sistem ekonomi dapat terus berjalan seperti biasa selama kita cukup pandai “menutup lingkaran”.
Dalam pembacaan ini, circular economy tidak melampaui ekonomi linear, tetapi justru memperhalusnya. Jika ekonomi linear dikritik karena logika take–make–waste, circular economy mempertahankan struktur dasar yang sama sambil berupaya menghilangkan bagian yang paling mengganggu secara simbolik: limbah. Limbah tidak lagi diperlakukan sebagai sisa yang mengganggu, melainkan sebagai potensi yang belum dimanfaatkan. Dengan demikian, circular economy tidak hanya mengelola material, tetapi juga menjinakkan ketidaknyamanan ekologis yang ditimbulkan oleh konsumsi dan pertumbuhan tanpa henti.
Masalahnya, sebagaimana ditunjukkan Doeland, limbah bukan sekadar persoalan teknis atau ekonomi. Limbah adalah tanda dari sesuatu yang tidak dapat sepenuhnya diintegrasikan ke dalam logika pertukaran dan perhitungan. Ia mengingatkan bahwa tidak semua hal dapat dikalkulasi, didaur ulang, atau dikembalikan ke dalam sistem tanpa sisa. Ketika circular economy berambisi menghapus limbah—melalui fantasi zero waste atau recycling without remainder—yang dihapus bukan hanya material, tetapi juga kesadaran akan batas.
Di titik ini, kritik Doeland bergeser dari kebijakan lingkungan ke ranah filsafat. Ia memperlihatkan bahwa circular economy bekerja dalam kerangka ideologi hijau yang lebih luas, di mana alam dipahami sebagai sistem harmonis yang dapat diseimbangkan kembali melalui intervensi manusia yang tepat. Ketidakseimbangan ekologis dipandang sebagai kesalahan pengelolaan, bukan sebagai konsekuensi inheren dari sistem ekonomi itu sendiri. Dengan cara ini, circular economy berfungsi sebagai mekanisme penyangkalan: krisis ekologis diakui, tetapi maknanya dinegasikan.
Pendahuluan ini dengan demikian menempatkan circular economy bukan sebagai solusi yang gagal, melainkan sebagai solusi yang terlalu aman. Ia tidak menuntut perubahan dalam cara kita memahami hubungan antara ekonomi dan ekologi, tetapi justru memperkuat pemisahan keduanya. Ekonomi tetap diposisikan sebagai pusat pengorganisasian kehidupan sosial, sementara ekologi direduksi menjadi faktor eksternal yang perlu dikelola agar tidak mengganggu stabilitas sistem.
Dengan mengajukan gagasan bahwa circular economy seharusnya “menuntut yang mustahil”, Doeland tidak mendorong utopianisme kosong. Sebaliknya, ia mengajak pembaca untuk membalik cara berpikir yang dominan: yang mustahil bukanlah target ideal yang jauh, melainkan realitas ekologis yang selama ini disangkal. Limbah, dalam pengertian ini, bukan kegagalan sistem yang harus dihapus, tetapi tanda yang menuntut perhatian—bahkan gangguan yang perlu dipertahankan agar ekonomi tidak sepenuhnya melupakan ekologi.
Pendahuluan ini membuka ruang bagi pertanyaan yang lebih tidak nyaman namun krusial: apakah circular economy benar-benar berani menghadapi realitas ekologis, atau justru dibangun untuk menghindarinya secara sistematis? Pertanyaan inilah yang akan menjadi benang merah analisis pada bagian-bagian selanjutnya
2. Ideologi Hijau dan Penyangkalan Batas: Circular Economy sebagai Narasi Penghiburan
Untuk memahami kritik Doeland secara utuh, circular economy perlu ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, yakni sejarah panjang upaya ekonomi modern menghindari pengakuan atas batas. Sejak laporan The Limits to Growth pada awal 1970-an, argumen tentang keterbatasan ekologis planet telah berulang kali diajukan. Namun, alih-alih memicu perubahan mendasar dalam cara ekonomi diorganisasikan, peringatan tersebut justru melahirkan serangkaian konsep yang menjanjikan kesinambungan tanpa pengorbanan: pembangunan berkelanjutan, efisiensi ekologis, green growth, decoupling, hingga circular economy.
Dalam pembacaan Doeland, circular economy menempati posisi istimewa dalam deretan konsep tersebut. Ia tampil sebagai solusi yang tampak radikal, tetapi sesungguhnya sangat kompatibel dengan logika pertumbuhan. Dengan mengedepankan penutupan siklus material, circular economy menyiratkan bahwa masalah ekologis dapat diselesaikan tanpa menyentuh asumsi dasar ekonomi modern. Pertumbuhan tidak perlu dipertanyakan; yang perlu diperbaiki hanyalah cara kita mengelola sisa-sisanya.
Di sinilah circular economy berfungsi sebagai bagian dari ideologi hijau. Ideologi, dalam pengertian ini, bukan sekadar kumpulan gagasan keliru, melainkan kerangka makna yang memungkinkan sistem sosial tetap berjalan meskipun berhadapan dengan kontradiksi nyata. Circular economy mengakui krisis ekologis, tetapi sekaligus menetralkannya dengan narasi bahwa krisis tersebut dapat dikelola, dioptimalkan, dan akhirnya dinormalisasi. Dengan demikian, ketegangan antara ekonomi dan ekologi tidak diselesaikan, melainkan disamarkan.
Kunci dari ideologi hijau ini terletak pada konsepsi alam yang diidealkan. Alam dipahami sebagai sistem yang pada dasarnya seimbang, harmonis, dan dapat dipulihkan jika gangguan manusia dikoreksi secara tepat. Dalam kerangka ini, ketidakseimbangan ekologis dilihat sebagai deviasi sementara, bukan sebagai ekspresi batas struktural. Circular economy mengadopsi pandangan ini ketika ia membayangkan siklus alam sebagai sesuatu yang dapat ditiru secara teknis melalui daur ulang dan penutupan loop.
Doeland menunjukkan bahwa pandangan tersebut bermasalah karena mengabaikan apa yang ia sebut sebagai Real of nature. Realitas ekologis bukanlah sistem yang sepenuhnya dapat dimodelkan, dihitung, dan dikendalikan. Ia mencakup unsur ketidakpastian, residu, dan gangguan yang tidak dapat diserap ke dalam perhitungan ekonomi. Ketika circular economy berambisi meniadakan limbah, ia bukan hanya menargetkan efisiensi material, tetapi juga berupaya menghapus tanda-tanda dari Real itu sendiri.
Fantasi decoupling menjadi contoh paling jelas. Gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipisahkan dari dampak ekologis mengandaikan bahwa batas alam bersifat relatif dan dapat dinegosiasikan melalui inovasi teknologi. Namun, sebagaimana dikritik dalam bab ini, fantasi tersebut tidak menghadapi kenyataan bahwa setiap aktivitas ekonomi tetap berakar pada materialitas, energi, dan ekosistem yang terbatas. Circular economy, dalam konteks ini, tidak membatalkan fantasi decoupling, melainkan memperhalusnya dengan bahasa siklus dan efisiensi.
Dengan cara yang sama, konsep zero waste berfungsi sebagai janji simbolik yang kuat tetapi problematik. Limbah dibingkai sebagai kegagalan sementara yang akan hilang seiring dengan penyempurnaan sistem. Yang luput dari perhatian adalah fakta bahwa limbah bukan anomali, melainkan konsekuensi inheren dari aktivitas produksi dan konsumsi. Dengan menolak mengakui hal ini, circular economy mengubah limbah dari peringatan ekologis menjadi objek manajemen semata.
Section ini memperjelas bahwa kritik Doeland tidak ditujukan pada praktik daur ulang atau efisiensi per se, melainkan pada kerangka makna yang membuat praktik tersebut tampak cukup. Circular economy, ketika dipahami sebagai ideologi hijau, berfungsi untuk menenangkan kecemasan ekologis tanpa mengganggu struktur ekonomi yang menghasilkan kecemasan tersebut. Ia menawarkan perbaikan tanpa transformasi, pengelolaan tanpa pengakuan batas.
Dengan demikian, circular economy tidak gagal karena tidak cukup efektif, tetapi karena terlalu efektif dalam menjaga ilusi bahwa batas ekologis dapat ditunda. Di sinilah panggilan Doeland untuk “menuntut yang mustahil” memperoleh maknanya: bukan sebagai ajakan untuk mengejar utopia, melainkan sebagai desakan untuk berhenti menutupi realitas ekologis yang terus menuntut pengakuan
3. Limbah sebagai Gangguan: Mengapa “Menutup Lingkaran” Selalu Menyisakan Sisa
Dalam diskursus circular economy, limbah hampir selalu diposisikan sebagai masalah yang dapat—dan harus—diselesaikan. Ia dianggap sebagai kesalahan desain, kegagalan manajemen, atau ketidaksempurnaan sistem yang suatu hari dapat dieliminasi. Gagasan zero waste lahir dari asumsi ini: jika seluruh aliran material dapat dirancang ulang, maka limbah pada akhirnya akan lenyap. Bagi Doeland, justru di sinilah letak masalah paling mendasar circular economy.
Limbah, dalam pembacaan ini, bukan sekadar residu material, melainkan gangguan simbolik. Ia menandai batas dari apa yang dapat dihitung, dipertukarkan, dan dimasukkan kembali ke dalam logika ekonomi. Ketika limbah didefinisikan ulang sebagai “sumber daya yang belum dimanfaatkan”, circular economy melakukan lebih dari sekadar inovasi konseptual; ia berupaya menetralisasi gangguan tersebut. Limbah kehilangan statusnya sebagai tanda batas dan berubah menjadi objek optimasi.
Doeland menunjukkan bahwa transformasi limbah menjadi sumber daya bukanlah proses netral. Ia mengandaikan bahwa segala sesuatu dapat direduksi menjadi nilai guna ekonomi. Dalam kerangka ini, tidak ada lagi ruang bagi yang tak terpakai, tak bernilai, atau tak terintegrasikan. Namun justru di situlah limbah memperoleh maknanya: ia mengingatkan bahwa tidak semua hasil aktivitas manusia dapat diserap kembali tanpa sisa. Upaya untuk meniadakan limbah sepenuhnya berarti menolak keberadaan residu—baik material maupun ekologis.
Kritik ini menjadi semakin tajam ketika dikaitkan dengan metafora “lingkaran”. Circular economy memanfaatkan citra siklus alam untuk melegitimasi proyek penutupan loop. Alam dipahami sebagai sistem sirkular yang seimbang, sehingga ekonomi dianggap dapat menirunya melalui desain yang tepat. Doeland menolak analogi ini. Siklus alam tidak pernah benar-benar tertutup; ia selalu melibatkan kehilangan, gangguan, dan transformasi yang tidak sepenuhnya dapat diprediksi atau dikendalikan. Dengan kata lain, alam bukan mesin sirkular yang efisien, melainkan sistem yang terus menghasilkan sisa.
Fantasi recycling without remainder—daur ulang tanpa residu—menjadi contoh paling jelas dari penyangkalan ini. Dalam fantasi tersebut, setiap limbah memiliki tempat dan fungsi baru, sehingga tidak ada yang benar-benar tersisa. Namun, seperti ditunjukkan Doeland, daur ulang selalu melibatkan degradasi material, konsumsi energi tambahan, dan produksi residu baru. Sisa tersebut kemudian dipindahkan, disembunyikan, atau dinormalisasi, tetapi tidak pernah benar-benar dihapus.
Di sinilah circular economy memperlihatkan dimensi ideologisnya. Dengan menjanjikan penutupan total, ia menciptakan ilusi kontrol atas materialitas dunia. Limbah diperlakukan seolah-olah dapat sepenuhnya “dikembalikan ke rumahnya”, padahal justru limbah menandai bahwa rumah tersebut—oikos—selalu retak. Upaya untuk menutup lingkaran bukanlah pengakuan atas kompleksitas ekologis, melainkan usaha untuk menghapus jejak gangguan yang ditimbulkan oleh ekonomi itu sendiri.
Doeland mendorong pembacaan alternatif: alih-alih memandang limbah sebagai musuh yang harus dieliminasi, limbah perlu dipahami sebagai pengingat yang tidak nyaman. Ia menuntut perhatian, membongkar ilusi efisiensi total, dan memaksa refleksi atas skala serta intensitas konsumsi. Dalam pengertian ini, keberadaan limbah bukan kegagalan circular economy, melainkan tanda bahwa ekonomi telah melampaui kapasitas ekologisnya.
Section ini menegaskan bahwa problem circular economy bukan terletak pada kurangnya teknologi atau inovasi, melainkan pada ambisi untuk menghapus sisa. Selama circular economy tetap berpegang pada fantasi penutupan total, ia akan terus menghindari pertanyaan yang lebih mendasar: berapa banyak yang sebenarnya bisa kita konsumsi tanpa menghasilkan gangguan yang tak terkelola? Pertanyaan inilah yang sengaja dihindari oleh narasi zero waste, tetapi justru menjadi inti kritik Doeland terhadap circular economy.
4. Menuntut yang Mustahil: Derrida, Haunting, dan Ekonomi yang Tak Pernah Tuntas
Seruan Doeland agar circular economy “menuntut yang mustahil” mudah disalahpahami sebagai ajakan utopis. Namun, dalam kerangka filsafat Jacques Derrida—yang menjadi rujukan utama bab ini—the impossible justru bukan cita-cita ideal yang jauh, melainkan sesuatu yang paling nyata dan paling mendesak. Yang mustahil, dalam pengertian Derrida, bukanlah apa yang tidak mungkin terjadi, tetapi apa yang tidak dapat sepenuhnya dihadirkan, dikuasai, atau ditutup oleh sistem makna yang ada.
Circular economy, sebagaimana dikritik Doeland, bekerja sebaliknya. Ia berusaha menjadikan segala sesuatu hadir sepenuhnya: limbah harus menjadi sumber daya, siklus harus tertutup, dan ekonomi harus kembali seimbang. Ambisi ini berakar pada apa yang oleh Derrida disebut sebagai metafisika kehadiran—hasrat untuk membuat dunia sepenuhnya transparan, terkelola, dan bebas dari sisa. Dalam konteks ekonomi sirkular, metafisika ini tampil dalam bentuk keyakinan bahwa dengan desain dan manajemen yang tepat, tidak ada lagi yang tersisa di luar sistem.
Konsep haunting menjadi alat kritik utama terhadap ambisi tersebut. Derrida menunjukkan bahwa setiap sistem yang mengklaim koherensi dan kelengkapan selalu dihantui oleh apa yang dikecualikannya. Tidak ada rumah yang sepenuhnya “rapi”; selalu ada ruang tersembunyi, retakan, dan bayangan. Doeland menggunakan metafora rumah—oikos—untuk menggambarkan hubungan antara ekonomi dan ekologi. Ekonomi berusaha mengatur rumah, sementara ekologi hadir sebagai sesuatu yang mengganggu keteraturan itu. Upaya untuk menyingkirkan gangguan justru membuatnya kembali dengan cara yang lebih mengancam.
Dalam kerangka ini, limbah dipahami sebagai spektre. Ia tidak pernah sepenuhnya pergi, meskipun berulang kali “dikelola”. Limbah dapat dipindahkan, diubah statusnya, atau disamarkan sebagai sumber daya, tetapi ia tetap menghantui sistem yang berusaha meniadakannya. Setiap klaim zero waste justru memperkuat kehadiran spektral limbah, karena menuntut penghapusan sesuatu yang secara struktural tidak dapat dihapus.
Derrida juga mengaitkan the impossible dengan gagasan gift—pemberian yang sejati hanya ada jika tidak masuk dalam logika pertukaran. Pemberian yang dibalas, dicatat, atau dihitung bukan lagi pemberian, melainkan transaksi. Doeland memanfaatkan analogi ini untuk membaca circular economy: selama limbah sepenuhnya dimasukkan kembali ke dalam siklus pertukaran ekonomi, ia kehilangan fungsinya sebagai gangguan. Limbah yang “diresourcifikasi” berhenti menjadi pengingat batas dan berubah menjadi elemen yang mengukuhkan ekonomi itu sendiri.
Dengan demikian, the impossible bukan sesuatu yang harus dieliminasi, melainkan sesuatu yang harus diberi ruang. Menuntut yang mustahil berarti menolak fantasi penutupan total dan menerima bahwa selalu ada sesuatu yang tidak dapat diserap oleh sistem ekonomi. Dalam konteks ekologi, yang mustahil itu adalah kenyataan bahwa alam tidak sepenuhnya dapat diprediksi, dikalkulasi, atau dipulihkan sesuai kehendak manusia.
Doeland membalik logika dominan circular economy: masalahnya bukan bahwa circular economy menuntut yang mustahil, tetapi bahwa ia gagal menuntutnya. Dengan berupaya menjadikan segalanya mungkin—melalui efisiensi, teknologi, dan desain—circular economy justru menyangkal realitas ekologis yang paling mendesak. Yang mustahil, dalam pengertian Derrida, adalah titik di mana sistem harus berhenti berpura-pura utuh dan mulai mengakui keterbatasannya sendiri.
Section ini memperdalam kritik bahwa circular economy bukan sekadar proyek teknis atau kebijakan, melainkan proyek ontologis: ia mengklaim mampu menata dunia tanpa sisa. Dengan menghidupkan kembali konsep haunting dan the impossible, Doeland menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak lahir dari penutupan lingkaran, tetapi dari kesediaan untuk hidup bersama gangguan yang tidak dapat disingkirkan. Limbah, dalam pengertian ini, bukan musuh yang harus dikalahkan, melainkan pengingat yang harus terus didengarkan
5. Lacan dan the Real: Krisis Ekologis sebagai Yang Terjadi Justru Karena Tak Bisa Dikelola
Jika Derrida membantu Doeland membongkar fantasi penutupan sistem melalui konsep haunting dan the impossible, maka Jacques Lacan memberikan perangkat konseptual untuk memahami mengapa krisis ekologis terus “muncul” meskipun telah dikelola, diukur, dan diantisipasi. Kunci analisis ini terletak pada konsep Lacanian tentang the Real—sesuatu yang tidak dapat disimbolkan secara utuh, tidak dapat dipahami sepenuhnya, dan selalu mengganggu tatanan yang telah dibangun.
Dalam kerangka Lacan, manusia hidup dalam apa yang disebut sebagai reality, yaitu dunia yang telah dimediasi oleh bahasa, simbol, dan makna. Realitas ini memungkinkan kita berfungsi secara sosial dan ekonomi, tetapi sekaligus menyembunyikan sesuatu yang tidak dapat dimasukkan ke dalam sistem simbolik tersebut. The Real adalah apa yang lolos dari simbolisasi—apa yang “tidak bekerja” dalam tatanan yang tampak bekerja dengan baik.
Doeland membaca circular economy sebagai proyek yang sepenuhnya beroperasi di tingkat reality. Ia membangun narasi yang konsisten, optimistik, dan rasional tentang bagaimana ekonomi dan ekologi dapat diselaraskan. Limbah diberi makna baru, krisis diubah menjadi peluang, dan batas alam diterjemahkan ke dalam indikator yang dapat dikelola. Namun, justru karena itu circular economy terus diganggu oleh apa yang tidak dapat ia tangkap: the Real of nature.
Krisis ekologis—banjir ekstrem, kebakaran hutan, kekeringan, polusi yang tak terkendali—tidak muncul sebagai kegagalan kebijakan semata, tetapi sebagai peristiwa yang tidak cocok dengan narasi keberlanjutan. Ia hadir pada waktu yang “salah”, di tempat yang “tidak seharusnya”, dan dalam skala yang melampaui perhitungan. Dalam istilah Lacan, krisis ini bukan penyimpangan dari realitas, melainkan momen ketika the Real menerobos realitas yang dibangun secara ideologis.
Doeland menekankan bahwa circular economy berupaya “menjahit” celah antara realitas dan Real melalui fantasi. Fantasi, dalam pengertian Lacanian, bukan kebohongan sederhana, melainkan kerangka yang membuat dunia terasa koheren dan dapat ditoleransi. Fantasi zero waste, decoupling, dan carbon neutrality memungkinkan masyarakat modern terus beroperasi seolah-olah batas ekologis dapat dinegosiasikan. Fantasi ini tidak menghapus Real, tetapi menundanya—sampai Real itu kembali dalam bentuk krisis yang lebih intens.
Dalam konteks ini, limbah kembali memainkan peran sentral. Limbah bukan sekadar residu material, tetapi penanda dari Real yang tak terserap. Ia menunjukkan bahwa selalu ada sesuatu yang tidak dapat dikelola, tidak dapat dihitung, dan tidak dapat diintegrasikan ke dalam logika efisiensi. Setiap upaya untuk sepenuhnya “menormalisasi” limbah—dengan menjadikannya sumber daya—adalah upaya untuk menutup celah yang justru menjadi tempat munculnya Real.
Doeland mengingatkan bahwa the Real tidak menunggu kesiapan manusia. Ia tidak hadir ketika sistem sudah siap menghadapinya, tetapi justru ketika sistem merasa paling yakin telah menguasai situasi. Inilah mengapa krisis ekologis sering datang sebagai kejutan, meskipun telah diprediksi secara ilmiah. Prediksi, model, dan skenario tetap beroperasi di ranah simbolik; Real selalu melampaui apa yang dapat dimodelkan.
Menuntut yang mustahil, dalam pembacaan Lacanian ini, berarti berhenti mencoba mengasimilasi Real sepenuhnya ke dalam realitas ekonomi. Ia menuntut pengakuan bahwa ada dimensi ekologis yang tidak dapat dijinakkan oleh kebijakan, teknologi, atau pasar. Pengakuan ini bukan panggilan untuk pasrah, tetapi untuk merombak ekspektasi: keberlanjutan bukanlah kondisi stabil yang dapat dicapai dan dipertahankan, melainkan proses rapuh yang selalu berada di bawah ancaman gangguan.
Section ini menegaskan bahwa krisis ekologis bukan bukti kegagalan circular economy untuk bekerja lebih baik, tetapi bukti bahwa circular economy beroperasi pada tingkat realitas yang terlalu sempit. Selama proyek keberlanjutan terus berupaya meniadakan yang mustahil—alih-alih memberinya ruang—krisis akan terus “terjadi” sebagai interupsi yang tak terhindarkan. Di sinilah Doeland mengajak pembaca untuk menerima satu gagasan yang paling sulit: bahwa keberlanjutan tidak mungkin tanpa pengakuan terhadap apa yang tidak dapat dikelola.
6. Implikasi Praktis: Apa Arti “Menuntut yang Mustahil” bagi Kebijakan dan Praktik Circular Economy
Setelah membongkar fondasi ideologis circular economy melalui lensa Derrida dan Lacan, muncul pertanyaan yang tak terelakkan: apa arti kritik ini bagi praktik nyata? Jika circular economy dipahami sebagai proyek yang secara struktural berupaya meniadakan sisa, bagaimana kebijakan, industri, dan masyarakat seharusnya bertindak tanpa terjebak dalam fatalisme atau utopianisme kosong?
Menuntut yang mustahil, dalam pengertian Doeland, bukanlah instruksi teknis, melainkan pergeseran orientasi normatif. Ia menuntut agar circular economy berhenti menjanjikan penutupan total dan mulai mengakui batas sebagai bagian dari desain. Dalam konteks kebijakan, ini berarti bahwa target-target seperti zero waste atau full circularity perlu dipahami sebagai horizon kritis, bukan tujuan operasional yang diasumsikan dapat dicapai sepenuhnya. Ketika target tersebut diperlakukan sebagai janji, kegagalan menjadi tak terhindarkan dan kepercayaan publik tergerus.
Bagi perancang kebijakan, implikasi pertama adalah perlunya kejujuran epistemik. Kebijakan circular economy seharusnya secara eksplisit mengakui bahwa tidak semua aliran material dapat ditutup dan bahwa setiap intervensi membawa konsekuensi baru. Pengakuan ini bukan tanda kelemahan, melainkan syarat untuk perumusan kebijakan yang adaptif. Alih-alih menyembunyikan residu melalui indikator agregat, kebijakan dapat memfokuskan perhatian pada di mana dan mengapa sisa muncul, serta siapa yang menanggung dampaknya.
Dalam konteks industri, menuntut yang mustahil berarti menggeser fokus dari optimasi berkelanjutan menuju pembatasan yang disadari. Banyak strategi circular economy korporat menekankan efisiensi dan inovasi tanpa mempertanyakan volume produksi atau model konsumsi. Kritik Doeland menunjukkan bahwa tanpa refleksi terhadap skala, circular economy berisiko menjadi alat legitimasi pertumbuhan berkelanjutan secara retoris. Praktik industri yang lebih konsisten dengan pengakuan batas akan berani mempertanyakan lini produk, intensitas material, dan bahkan kebutuhan pasar itu sendiri.
Bagi praktik daur ulang dan pengelolaan limbah, implikasinya bersifat lebih konkret. Limbah tidak lagi diperlakukan semata-mata sebagai bahan baku alternatif, tetapi sebagai indikator tekanan sistemik. Di mana limbah meningkat, di situlah sistem produksi dan konsumsi perlu dievaluasi ulang. Pendekatan ini menempatkan pengelolaan limbah bukan di ujung rantai, tetapi sebagai bagian dari refleksi hulu yang terus-menerus.
Lebih luas lagi, menuntut yang mustahil mengharuskan perubahan cara berkomunikasi tentang keberlanjutan. Narasi yang menjanjikan harmoni total antara ekonomi dan ekologi cenderung menciptakan ekspektasi palsu. Sebaliknya, narasi yang mengakui konflik, ketegangan, dan keterbatasan dapat membangun ketahanan sosial terhadap kekecewaan dan krisis. Masyarakat yang disiapkan untuk hidup dengan ketidakpastian ekologis lebih mungkin merespons krisis secara kolektif daripada mencari solusi teknis instan.
Section ini menegaskan bahwa kritik filosofis terhadap circular economy tidak berujung pada penolakan praktik, melainkan pada pendewasaan praktik. Circular economy yang menuntut yang mustahil tidak lagi menjanjikan dunia tanpa sisa, tetapi menawarkan kerangka untuk hidup dengan sisa secara bertanggung jawab. Dalam kerangka ini, keberlanjutan bukan kondisi ideal yang dapat dicapai dan dikunci, melainkan proses reflektif yang terus diganggu—dan justru karena itu tetap relevan
7. Kesimpulan: Circular Economy setelah Ilusi Penutupan
Artikel ini menunjukkan bahwa circular economy tidak bermasalah karena gagal cukup efisien atau kurang inovatif, melainkan karena terlalu percaya pada kemungkinan penutupan. Dengan menjanjikan penghapusan limbah, penutupan siklus, dan kesinambungan pertumbuhan, circular economy membangun narasi yang menenangkan, tetapi sekaligus menyingkirkan aspek paling mendesak dari krisis ekologis: keberadaan batas yang tidak dapat dinegosiasikan sepenuhnya.
Melalui pembacaan kritis Lisa Doeland, circular economy muncul bukan sebagai solusi radikal, melainkan sebagai proyek ideologis yang menunda konfrontasi dengan realitas ekologis. Limbah diredefinisi sebagai sumber daya, krisis diperlakukan sebagai tantangan manajerial, dan alam direduksi menjadi sistem yang dapat ditiru secara teknis. Dalam proses ini, yang hilang bukan hanya sisa material, tetapi kesadaran bahwa ekonomi modern selalu menghasilkan gangguan yang tidak dapat sepenuhnya diserap kembali.
Dengan memanfaatkan pemikiran Derrida tentang the impossible dan Lacan tentang the Real, artikel ini menegaskan bahwa keberlanjutan tidak dapat dicapai melalui penyangkalan terhadap apa yang tidak dapat dikelola. Justru sebaliknya, keberlanjutan menuntut pengakuan terhadap gangguan, residu, dan ketidakpastian sebagai bagian inheren dari hubungan manusia dengan alam. Limbah, dalam pengertian ini, bukan kegagalan yang harus dihapus, tetapi tanda yang terus menginterupsi fantasi penguasaan total.
Menuntut yang mustahil, sebagaimana diajukan Doeland, bukan ajakan untuk mengejar utopia ekologis, melainkan undangan untuk berhenti menyederhanakan krisis. Ia menggeser fokus dari solusi akhir menuju sikap reflektif yang sadar batas. Circular economy yang dewasa bukanlah ekonomi tanpa sisa, tetapi ekonomi yang bersedia hidup dengan sisa tanpa menutupinya dengan narasi harmoni palsu.
Implikasi dari pembacaan ini bersifat menantang sekaligus membebaskan. Ia membebaskan circular economy dari beban janji yang tidak realistis, tetapi juga menantangnya untuk bersikap lebih jujur terhadap konsekuensi dari aktivitas ekonomi itu sendiri. Keberlanjutan, dalam kerangka ini, bukan proyek teknokratis yang dapat diselesaikan, melainkan tanggung jawab etis yang tidak pernah tuntas.
Dengan demikian, circular economy hanya dapat menjadi relevan jika ia berhenti menjanjikan dunia yang sepenuhnya tertutup dan mulai mengakui bahwa krisis ekologis bukan anomali yang bisa dihilangkan, melainkan kondisi yang harus terus dihadapi. Bukan dengan optimisme tanpa sisa, tetapi dengan kesediaan untuk mendengar gangguan yang tidak dapat dijinakkan.
Daftar Pustaka
Doeland, L. (2022). The circular economy should finally demand the impossible. Dalam The Impossibilities of the Circular Economy. London: Routledge.
Derrida, J. (1994). Specters of Marx: The state of the debt, the work of mourning and the new international. New York: Routledge.
Derrida, J. (1992). Given time: I. Counterfeit money. Chicago: University of Chicago Press.
Lacan, J. (1977). Écrits: A selection. London: Tavistock.
Lacan, J. (1988). The seminar of Jacques Lacan, Book XI: The four fundamental concepts of psychoanalysis. New York: W. W. Norton.
Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., & Behrens, W. W. (1972). The limits to growth. New York: Universe Books.
Stahel, W. R. (2019). The circular economy: A user’s guide. London: Routledge.
Webster, K. (2017). The circular economy: A wealth of flows. Isle of Wight: Ellen MacArthur Foundation.