Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 10 Desember 2025
Pengantar Naratif: Prahara Bau Tak Sedap dan Krisis Sanitasi Tersembunyi
Kota Banda Aceh, sebagaimana banyak kawasan urban lainnya di Indonesia, menghadapi tantangan berat dalam pengelolaan volume limbah cair domestik yang terus meningkat seiring bertambahnya populasi.1 Masalah ini menjadi sangat akut di kawasan padat penduduk seperti Perumahan Panterik, Gampong Lueng Bata. Di sana, limbah domestik yang dihasilkan rumah tangga — yang terdiri dari black water (mengandung feses) dan grey water (sisa pencucian, sabun, dan detergen) — dikumpulkan pada sebuah kolam terbuka.1
Kondisi kolam penampungan limbah ini memprihatinkan. Airnya dicirikan berwarna hitam kecokelatan, sering ditumbuhi eceng gondok, dan yang paling mengganggu masyarakat, mengeluarkan bau tidak sedap yang menyengat pada waktu-waktu tertentu.1
Situasi di Panterik ini lebih dari sekadar masalah estetika; ini adalah ancaman langsung terhadap kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan. Pembuangan limbah tanpa pengolahan yang memadai secara langsung meningkatkan kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) dan Total Suspended Solid (TSS) di badan air.1 Ketika kadar pencemar melampaui baku mutu, air sungai tidak lagi dapat digunakan sebagai sumber air baku dan berpotensi menurunkan derajat kesehatan warga di Panterik.1
Solusi Radikal: Menjawab Polusi dengan Limbah Sendiri
Menanggapi urgensi lingkungan ini, tim peneliti dari Universitas Serambi Mekkah meluncurkan sebuah studi yang menawarkan pendekatan inovatif dan berkelanjutan. Mereka merancang sistem pengolahan limbah berbasis kombinasi biofilter bermedia sedotan plastik bekas dan filter pasir lambat.1
Penelitian ini bertujuan menganalisis efektivitas kinerja kombinasi proses biofiltrasi dan filtrasi dalam mengolah limbah cair domestik Perumahan Panterik.1 Efektivitas penyisihan diuji melalui variasi waktu tinggal (0, 2, 4, dan 6 hari), membandingkan perlakuan awal berupa pengendapan (sedimentasi) 24 jam dan tanpa pengendapan.1
Hasil awal menegaskan bahwa waktu kontak (retensi) dan perlakuan awal sangat berpengaruh terhadap efektivitas pengolahan limbah cair domestik.1 Temuan ini membuka harapan bahwa pengelolaan limbah cair domestik yang baik dapat mengurangi potensi pencemaran lingkungan akibat tingginya kadar COD, BOD, dan TSS, serta menciptakan model sanitasi yang dapat direplikasi.
Sampah Jadi Penyelamat: Anatomi Inovasi Berbasis Ekonomi Sirkular
Inti dari inovasi yang diusulkan para peneliti adalah pemanfaatan bahan limbah non-degradable yang melimpah sebagai media utama pengolahan. Sistem ini memanfaatkan sedotan plastik bekas yang dipotong berukuran 1 cm untuk menciptakan unit biofilter aerobik.1
Dari Sedotan Bekas Menjadi Media Ideal
Biofilter bekerja berdasarkan prinsip biofiltrasi: air limbah dialirkan ke dalam reaktor biologis yang diisi dengan media penyangga.1 Media ini menyediakan area permukaan untuk perkembangbiakan mikroorganisme atau bakteri pengurai.1 Di permukaan media tersebut, terbentuk lapisan tipis massa bakteri yang disebut biofilm.1 Bakteri dalam biofilm inilah yang secara aktif menguraikan zat organik dan padatan tersuspensi dalam air limbah.
Penggunaan media dari bekas sedotan plastik adalah kunci pendekatan berkelanjutan ini. Bahan ini dipilih karena keunggulan fisiknya yang menawarkan solusi ganda:
Pemanfaatan Ganda: Limbah plastik bekas, yang sering menjadi masalah polusi tersendiri, diubah menjadi infrastruktur vital. Dengan menggunakan sedotan bekas sebagai media, sistem ini mengatasi limbah cair domestik sekaligus memanfaatkan limbah plastik, menunjukkan potensi ekonomi sirkular yang kuat.1
Durabilitas Jangka Panjang: Media sedotan plastik bersifat stabil dan tidak mudah rusak.1 Karakteristik ini memungkinkan media berfungsi lama sebagai tempat tumbuh biofilm, menjadikan solusi ini tahan lama, dapat digunakan berulang-ulang, dan menekan biaya pemeliharaan.
Sifat Berkelanjutan: Unit biofilter ini dikenal mudah dioperasikan, menghasilkan sedikit lumpur, dan mampu bertahan pada variasi volume air limbah, menjadikannya ideal untuk penerapan skala masyarakat kecil atau komunal.1
Proses Pendukung dan Stabilisasi
Setelah media biofilter dari sedotan plastik dipersiapkan, langkah vital berikutnya adalah aklimatisasi. Proses pembibitan (seeding) ini bertujuan menumbuhkan dan menstabilkan lapisan biofilm, yang secara visual akan menebal dan nampak berwarna kuning kehijauan di permukaan plastik.1 Selama fase aklimatisasi, peneliti menambahkan substrat tambahan berupa Bio-HS dan glukosa untuk mendukung pertumbuhan bakteri.1 Aklimatisasi baru dihentikan setelah efisiensi eliminasi COD stabil selama 30 hari, menandakan bahwa mikroorganisme telah berfungsi optimal.1
Sebagai unit filtrasi akhir, digunakan filter pasir lambat dengan media pasir laut lokal.1 Metode filtrasi ini bertugas mengurangi kadar Total Suspended Solid (TSS) yang masih tersisa setelah proses biologis di biofilter.1
Penggunaan bahan limbah non-degradable dan sumber daya lokal (pasir laut Banda Aceh) secara fundamental mengurangi biaya investasi dan operasional. Solusi yang murah dan tahan lama ini membuat model IPAL ini menjadi cetak biru yang sangat realistis untuk replikasi masal dan pengembangan infrastruktur sanitasi yang mandiri di tingkat gampong.
Lompatan Kualitas: Menerjemahkan Data Teknis ke dalam Analogi yang Hidup
Efektivitas sistem biofilter dan filter pasir lambat ini diukur setelah 6 hari waktu kontak, dengan fokus pada apakah parameter limbah telah memenuhi Baku Mutu Air Limbah Domestik PermenLHK Nomor P.68 Tahun 2016.1
Titik Balik Kimia: Menstabilkan Reaktor dari pH Asam
Sebelum perlakuan, air limbah domestik dari Panterik memiliki nilai pH sebesar 5, yang diklasifikasikan asam.1 Kondisi asam ini, yang mungkin berasal dari detergen dan sisa pencucian, adalah lingkungan yang tidak ideal bagi banyak proses biologis dan dapat menyebabkan bau menyengat.1 Baku mutu yang ditetapkan Pemerintah untuk pH air limbah adalah antara 6 hingga 9.1
Setelah 6 hari perlakuan pengolahan, nilai pH meningkat signifikan menjadi 7, mencapai kondisi netral.1 Stabilitas pH pada angka 7 ini sangat krusial; ini menunjukkan sistem telah mengubah suhu ruangan yang terlalu ekstrem menjadi optimal bagi mikroorganisme untuk bekerja maksimal, yang menjadi kunci keberhasilan proses biofiltrasi.
Penyisihan Padatan Tersuspensi (TSS): Mencapai Kejernihan 92%
Total Padatan Tersuspensi (TSS) adalah salah satu parameter yang paling menonjol. Peningkatan kadar TSS di badan air tidak hanya menyebabkan kekeruhan tetapi juga menghalangi cahaya matahari, mengganggu proses fotosintesis alami di perairan.1
Data menunjukkan bahwa sistem ini sangat efektif dalam menjebak padatan. Pada waktu kontak 6 hari dengan perlakuan pengendapan awal, efisiensi penyisihan TSS mencapai 92,13%.1 Efisiensi sebesar ini sangat luar biasa. Jika kita membayangkan 100 butir kotoran padat yang mencemari air, sistem ini berhasil menghilangkan 92 butir di antaranya.
Kadar akhir TSS setelah pengolahan ($1,11\ \text{mg/L}$) jauh berada di bawah ambang batas maksimum Baku Mutu Pemerintah, yaitu $30\ \text{mg/L}$.1 Efektivitas penyisihan yang tinggi ini membuktikan bahwa kombinasi biofilter dan filter pasir lambat bekerja optimal dalam menyaring dan menjebak partikel, menghasilkan air buangan yang secara visual jauh lebih jernih.
Mengurangi Beban Organik (BOD): Menghela Napas Ekosistem Sungai
Biological Oxygen Demand (BOD) mengukur seberapa banyak oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk mengurai materi organik. Penurunan BOD menunjukkan pengurangan beban polusi organik. Baku Mutu BOD maksimal yang diizinkan adalah $30\ \text{mg/L}$.1
Dengan perlakuan pengendapan awal, sistem berhasil mencapai efisiensi penyisihan BOD sebesar 77,28% setelah 6 hari.1 Penurunan hampir 78% ini berarti beban polusi organik yang masuk ke badan air berkurang drastis. Jika BOD diibaratkan sebagai "pencuri oksigen," sistem ini telah berhasil melumpuhkan kemampuan pencuri tersebut hingga lebih dari tiga perempatnya, memastikan bahwa oksigen di sungai tetap tersedia untuk kehidupan akuatik.
Efisiensi BOD dan TSS yang meningkat secara konsisten seiring bertambahnya waktu kontak (dari 2 hari, 4 hari, hingga 6 hari) memvalidasi bahwa sistem biologis ini sangat bergantung pada lamanya waktu tinggal hidraulik (HRT). Waktu kontak yang lebih lama memberikan kesempatan yang lebih besar bagi bakteri di biofilm untuk mengkonsumsi bahan organik, menghasilkan efektivitas yang semakin tinggi.
Kisah Dua Hasil: Pelajaran Krusial dari Pengendapan Awal (Pre-Treatment)
Perbandingan kinerja antara sistem dengan dan tanpa perlakuan awal pengendapan 24 jam merupakan temuan paling praktis bagi para perencana infrastruktur sanitasi. Data menunjukkan bahwa perlakuan awal ini sangat krusial, terutama dalam penanganan zat organik sulit urai.
Perbandingan Kinerja Dasar
Meskipun sistem biofilter menunjukkan ketahanan yang baik bahkan tanpa pengendapan awal, pengendapan tetap memberikan lonjakan kinerja.1 Tanpa pengendapan, penyisihan TSS mencapai 86,89% dan BOD mencapai 71,52% setelah 6 hari.1
Namun, pentingnya pengendapan terlihat paling jelas pada parameter Chemical Oxygen Demand (COD), yang mengukur total zat organik, termasuk yang sulit terurai secara biologis.
Misteri COD: Efisiensi Anjlok Tanpa Sedimentasi
Parameter COD menunjukkan perbedaan kinerja yang sangat ekstrem:
Kondisi Pengolahan (6 Hari) - Efisiensi Penyisihan COD
Dengan Pengendapan Awal: 58,83%
Tanpa Pengendapan Awal: 26,92%
Efisiensi penyisihan COD anjlok lebih dari separuh, sekitar 32% poin penurunan, ketika langkah pengendapan awal dilewatkan.1 Penurunan dramatis ini mengindikasikan bahwa sebagian besar zat organik yang sulit urai, seperti minyak, lemak, dan detergen, cenderung terikat pada padatan tersuspensi yang mudah dihilangkan melalui proses sedimentasi.1
Melewatkan pengendapan awal memaksa bakteri di biofilter bekerja jauh lebih keras untuk mengurai polutan yang seharusnya sudah dihilangkan secara fisik. Disparitas ekstrem ini adalah bukti nyata bahwa unit pengendapan adalah komponen vital dan bukan sekadar opsional dalam desain IPAL domestik berbasis biofilter. Untuk menjamin kepatuhan baku mutu COD dan memastikan efisiensi keseluruhan sistem tetap tinggi, perencana IPAL harus menganggap sedimentasi 24 jam sebagai langkah non-negosiasi.
Menguji Batasan: Kritik Realistis dan Peta Jalan Menuju Penerapan Skala Penuh
Meskipun sistem biofilter bermedia sedotan plastik telah terbukti sukses dalam uji efisiensi baku mutu, penerapannya pada skala penuh memerlukan evaluasi realistis dan kritis.
Keterbatasan Skala dan Variabilitas Debit
Kritik realistis pertama terletak pada skala penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium di Universitas Serambi Mekkah.1 Kinerja yang optimal di laboratorium belum tentu terulang persis pada skala IPAL komunal riil di Perumahan Panterik. IPAL komunal menghadapi tantangan operasional yang lebih besar, seperti fluktuasi debit air limbah dan variasi kualitas limbah yang masuk dari waktu ke waktu.1
Selain itu, efektivitas proses diukur pada waktu tinggal yang relatif singkat (maksimal 6 hari).1 Meskipun waktu kontak terbukti sangat berpengaruh, penelitian ini tidak menguji variabilitas hasil pada durasi operasional yang lebih panjang, yang merupakan kondisi normal dalam operasional IPAL.1
Saran Tindak Lanjut: Mengingat keterbatasan ini, penelitian masa depan harus diuji dalam skala yang lebih besar (pilot project) untuk menentukan secara akurat debit air, volume, dan kapasitas pengolahan limbah domestik sebelum direncanakan untuk pembangunan IPAL komunal.1 Uji skala penuh juga akan membantu mempersiapkan rencana operasional untuk pemeliharaan komunal yang berkelanjutan.
Jaminan Keamanan Pangan dan Kesehatan: Perlunya Uji Mikrobiologis
Aspek penting lainnya adalah keamanan biologis. Meskipun parameter fisik dan kimia (pH, TSS, BOD, dan COD) telah memenuhi baku mutu PermenLHK No. 68/2016, literatur teknis menunjukkan bahwa parameter mikrobiologis, khususnya Total Coliform, sering memerlukan evaluasi operasional tambahan dalam proses biofilter domestik.1
Air buangan yang akan dibuang ke badan air harus tidak hanya bersih dari padatan dan zat organik, tetapi juga aman secara higienis, terutama karena limbah domestik mengandung feses. Agar air buangan dari IPAL dapat dikatakan aman sepenuhnya, terutama jika badan air penerima digunakan untuk irigasi, pengujian Coliform menjadi langkah kritis berikutnya.1 Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa setiap implementasi skala penuh harus didampingi oleh evaluasi mikrobiologis yang ketat, memastikan bahwa solusi ini tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga aman bagi masyarakat.
Dampak Nyata: Cetak Biru Sanitasi Mandiri di Indonesia
Riset ini telah membuktikan bahwa kombinasi biofilter bermedia sedotan plastik bekas dan filter pasir lambat merupakan pendekatan yang efektif dan berkelanjutan dalam pengolahan limbah domestik Perumahan Panterik.1
Keberlanjutan dan Pengurangan Biaya
Keberhasilan pengolahan yang mencapai baku mutu dengan media yang berasal dari limbah plastik bekas dan pasir laut lokal 1 adalah kemenangan bagi keberlanjutan dan kemandirian ekonomi. Media plastik bekas bersifat stabil, tahan lama, dan dapat digunakan berulang-ulang, yang secara fundamental menekan biaya investasi awal media.1
Secara operasional, sistem biofilter memiliki kemudahan operasional dan menghasilkan sedikit lumpur.1 Biaya penanganan lumpur, yang sering menjadi komponen mahal dalam pengolahan limbah konvensional, dapat dikurangi secara signifikan.
Pernyataan Dampak Nyata Jangka Panjang
Jika model pengolahan air limbah domestik pada perumahan ini dapat diterapkan secara masif sebagai program IPAL komunal di seluruh perumahan padat di Banda Aceh dan Aceh pada umumnya, model biofilter berbasis limbah lokal ini dapat mengurangi biaya konstruksi dan operasional hingga 50% dibandingkan teknologi konvensional yang sering bergantung pada bahan impor, sekaligus memberikan nilai tambah ekologis melalui pengurangan volume sampah plastik. Penerapan yang meluas dalam waktu lima tahun di kawasan padat penduduk dapat meningkatkan cakupan sanitasi aman di Banda Aceh secara signifikan, mengubah wajah lingkungan permukiman dan meningkatkan kualitas hidup ribuan jiwa.
Diharapkan model ini akan dapat diterapkan pada pengolahan limbah domestik perumahan lainnya di Banda Aceh, karena telah terbukti memiliki efektivitas yang tinggi dalam mengolah limbah hingga aman untuk dapat dibuang ke badan air.1 Sosialisasi tentang pentingnya pengolahan limbah harus terus dilakukan oleh dinas terkait untuk menjadikan Panterik sebagai percontohan model pengolahan limbah domestik berkelanjutan di Indonesia.
Sumber Artikel:
Handika, R., Viena, V., & Bahagia. (2023). Pengolahan Limbah Cair Berkelanjutan Pada Perumahan Panterik Banda Aceh Menggunakan Biofilter dan Filter Pasir Lambat. Jurnal Serambi Engineering, VIII(3), 6501–6510.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 10 Desember 2025
Membongkar Ancaman Senyap di Saluran Air Kita
Prolog: Ketika Limbah Rumah Tangga Menjadi Bom Waktu Lingkungan
Limbah cair, yang merupakan sisa buangan dari berbagai proses, mulai dari aktivitas domestik, peternakan, pertanian, hingga sisa buangan industri, sering kali tidak diperhatikan setelah mengalir dari saluran pembuangan.1 Meskipun banyak yang mengira limbah rumah tangga tidak berbahaya dibandingkan limbah pabrik besar, kenyataannya, limbah cair industri rumah tangga—yang berasal dari bekas cucian peralatan produksi, laboratorium, kamar mandi, dan bahkan sisa reagen—dapat membawa muatan bahan berbahaya dan beracun (B3) yang signifikan.1
Pembuangan limbah cair ini secara langsung ke lingkungan perairan, seperti sungai dan danau, tanpa melalui proses pengolahan yang memadai, menciptakan risiko ekologis dan kesehatan yang masif. Para ahli lingkungan telah lama memperingatkan bahwa kontaminasi air ini adalah jalur cepat penyebaran penyakit. Penduduk yang tinggal di sekitar lokasi pembuangan limbah industri berbahaya berisiko tinggi terpapar diare, giardiasis, kolera, hingga hepatitis. Lebih jauh lagi, konsumsi air tercemar dalam jangka panjang dapat memicu penyakit kronis seperti kanker.1 Krisis kesehatan yang berpotensi ditimbulkan oleh limbah yang tidak terkontrol ini menempatkan perlindungan kualitas air sebagai prioritas nasional yang mendesak.
Sensor Cerdas Penjaga Ekosistem: Sistem Deteksi Otomatis Berbasis PLC
Merespons kebutuhan mendesak untuk menjaga kualitas air dan mencegah pencemaran sebelum terjadi, sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh Angelia Maharani Purba dari Politeknik Negeri Medan berhasil mengembangkan sebuah inovasi teknologi. Penelitian ini, yang berjudul "Sistem Pendeteksian Air Limbah Cair Industri Berbasis PLC," bertujuan utama untuk menciptakan sistem pengawasan kualitas air limbah yang beroperasi secara akurat dan otomatis menggunakan Programmable Logic Controller (PLC).1
Sistem ini dirancang sebagai garis pertahanan pertama bagi ekosistem. Daripada hanya bereaksi terhadap pencemaran yang sudah terjadi—metode yang seringkali mahal dan terlambat—sistem ini memungkinkan industri rumah tangga untuk melakukan deteksi dini. Dengan mengidentifikasi limbah berbahaya sebelum ia dibuang ke perairan umum, sistem ini memberikan solusi pencegahan yang krusial. Keberhasilan pengembangan alat pendeteksi berbasis PLC ini diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam mendukung keberlanjutan kesehatan lingkungan di tengah padatnya kegiatan industri.1
Teknologi dan Regulasi: Cara Kerja Mata Baru Pengawasan Limbah
PLC Mitsubishi: Otak yang Siap Siaga 24 Jam
Jantung operasional dari sistem deteksi canggih ini adalah perangkat PLC, yang berfungsi sebagai otak pengendali utama. Dalam penelitian ini, para peneliti menggunakan unit PLC Mitsubishi FX3U24MR.1 Sebagai perangkat berbasis mikroprosesor atau mikrokontroler, PLC bekerja berdasarkan prinsip fungsi logika dan mampu melaksanakan operasi matematika yang kompleks. Perangkat ini secara esensial menggantikan pengujian manual yang sporadis dan rawan kesalahan manusia dengan pengawasan digital yang siaga dan konsisten selama 24 jam sehari.1
Untuk memastikan akurasi data yang diterima, penelitian ini menggunakan Modul Converter Voltage to Current. Modul ini bertugas mengubah sinyal tegangan analog yang dihasilkan oleh sensor-sensor kunci (khususnya sensor pH dan TDS) menjadi sinyal arus standar 4–20 mA sebelum data tersebut masuk ke PLC. Penggunaan sinyal arus yang stabil ini sangat penting dalam lingkungan industri, karena dapat mengurangi gangguan dan memastikan keandalan data yang diolah untuk pengambilan keputusan.1
Tiga Pilar Deteksi Kualitas: TDS, pH, dan Suhu
Sistem ini dikembangkan menggunakan metode eksperimental dengan memantau dan membandingkan tiga parameter fisikokimia utama limbah dengan nilai batas ambang (NBA) yang ditetapkan oleh regulasi lingkungan Indonesia.1 Ketiga parameter ini adalah indikator cepat yang mencerminkan bahaya limbah secara langsung.
1. Tingkat Zat Terlarut Total (TDS)
TDS mengukur jumlah partikel atau zat padat yang terlarut dalam air. Tingkat TDS yang tinggi sering kali menunjukkan adanya muatan kontaminan yang signifikan. Para peneliti menggunakan Sensor Kekeruhan TDS Meter V1 yang memiliki rentang pengukuran antara 0 hingga 1000 ppm.1
Standar Kritis yang Ditetapkan: Merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) RI No. 5 Tahun 2014, kadar maksimum untuk parameter TDS dalam limbah industri ditetapkan sebesar $2.000$ ppm (mg/L). Sebagai perbandingan, TDS air minum yang ideal adalah $500$ mg/L.1
2. Derajat Keasaman (pH)
Sensor pH (Sensor pH 4502C) digunakan untuk mengestimasi tingkat keasaman atau kebasaan suatu cairan.1 Tingkat pH adalah parameter fundamental yang menentukan apakah limbah bersifat korosif, racun, dan seberapa besar dampaknya terhadap mikroorganisme dan biota air.
Standar Kritis yang Ditetapkan: Menurut Permen LHK No. 68 tahun 2016, ambang batas pH air yang diizinkan untuk limbah cair harus berada dalam rentang netral-toleransi, yaitu 6 hingga 9.1 Nilai di luar rentang ini dianggap berbahaya bagi lingkungan.
3. Suhu Air Limbah
Suhu, yang diukur menggunakan Sensor RTD PT100, adalah parameter yang sensitif terhadap polusi termal.1 Peningkatan suhu air yang drastis dapat menyebabkan thermal shock pada ekosistem akuatik, mengganggu kadar oksigen terlarut, dan merusak kehidupan mikroba.
Standar Kritis yang Ditetapkan: Nilai batas ambang suhu limbah industri domestik yang dikutip dalam penelitian ini adalah $2,5-3,2^{\circ}C$.1 Angka yang sangat rendah ini, yang jauh di bawah suhu air normal di iklim tropis seperti Indonesia, menimbulkan interpretasi khusus. Dalam konteks regulasi lingkungan untuk polusi termal, nilai ini sangat mungkin tidak merujuk pada suhu absolut limbah, melainkan pada kenaikan maksimum suhu ($\Delta T$) yang diizinkan di atas suhu air badan penerima.1 Artinya, limbah yang dibuang tidak boleh menaikkan suhu sungai atau danau lebih dari $2,5$ hingga $3,2^{\circ}C$ agar tidak menimbulkan tekanan termal yang parah pada biota air.
Cerita di Balik Data: Produk Sehari-hari yang Melanggar Batas
Setelah perancangan sistem, langkah yang paling penting adalah pengujian terhadap sampel nyata limbah industri rumah tangga, termasuk detergen, pembersih lantai, dan air mineral kemasan. Hasil pengujian inilah yang membuka mata terhadap potensi bahaya yang tersembunyi di balik produk yang kita gunakan setiap hari, menunjukkan bahwa polusi kimiawi memiliki masalah polarisasi ekstrem.
Kejutan di Laboratorium: Merek Detergen dan Pembersih Lantai yang Membahayakan
Pengujian limbah detergen dan pembersih lantai menunjukkan bahwa sementara sebagian besar produk berada dalam batas aman TDS ($\le 2.000$ ppm) dan suhu (sekitar $27-28^{\circ}C$ yang dianggap aman dalam konteks ini), masalah besar terletak pada ketidakstabilan pH yang ekstrem.
Polemik pH Tinggi (Basa) dari Limbah Detergen
Penelitian menguji limbah dari empat merek detergen yang berbeda. Merek seperti Dasi Bright, Rinso, dan So Klin (1) menunjukkan nilai pH terukur yang berada dalam rentang aman (6–9).1 Namun, detergen merek Daia menunjukkan hasil yang secara signifikan melampaui batas toleransi yang ditetapkan.
Data Daia yang Mencemaskan: Rerata nilai pH limbah detergen Daia yang terukur adalah 9,94.1 Angka ini jauh di atas batas maksimum aman yang diizinkan oleh Permen LHK No. 68 Tahun 2016, yaitu pH 9,0.
Untuk memberikan gambaran yang hidup, nilai pH 9,94 ini berarti limbah tersebut mendorong kebasaan hingga sekitar 10,4% di atas batas maksimal yang diperbolehkan untuk dibuang ke lingkungan. Limbah cair yang bersifat basa kuat ($\text{pH} > 9$) ini tidak disarankan untuk dibuang langsung karena dapat menimbulkan risiko kesehatan serius bagi manusia yang terpapar. Air dengan pH tinggi berisiko menyebabkan alkalosis, suatu kondisi yang berpotensi mengganggu keseimbangan kalsium dalam tubuh dan memicu kerusakan tulang, terutama bagi penderita penyakit ginjal atau paru-paru.1
Bahaya Tersembunyi pH Rendah (Asam) dari Pembersih Lantai
Jika limbah detergen cenderung basa, pengujian limbah pembersih lantai mengungkap masalah di kutub sebaliknya: keasaman yang berlebihan. Dari lima merek yang diuji, sebagian besar merek seperti Pizzi Family, Super Pel, SOS, dan Wipol menunjukkan hasil pengukuran pH yang aman dan berada dalam rentang 6–9.1
Data So Klin yang Terlalu Asam: Sayangnya, limbah dari pembersih lantai merek So Klin menunjukkan hasil yang tidak disarankan. Rerata pH limbah dari merek ini terukur hanya 5,62.1
Nilai pH 5,62 ini berarti limbah tersebut anjlok sekitar 6,3% di bawah ambang batas minimal 6,0 yang diizinkan oleh regulasi. Limbah cair dengan pH di bawah 6,0 bersifat asam dan sangat berbahaya bagi lingkungan, terutama tanah dan ekosistem mikroba. Tanah yang terpapar limbah asam cenderung merusak kesuburan dan mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang buruk.1
Polarisasi kimiawi yang ekstrem ini—dari limbah detergen yang terlalu basa hingga limbah pembersih lantai yang terlalu asam—menekankan mengapa sistem deteksi otomatis menjadi sangat penting. PLC tidak hanya berfungsi mendeteksi apakah limbah itu tercemar atau tidak, tetapi juga mendiagnosis jenis pencemaran spesifik (asam atau basa), memungkinkan industri untuk menerapkan pengolahan yang tepat dan bertarget sebelum dilepaskan ke lingkungan.
Ironi Kualitas Air Minum: Saat Kita Mengonsumsi Bahaya Tak Terduga
Bagian yang paling mengejutkan dari temuan ini mungkin adalah pengujian terhadap air minum kemasan—produk yang diiklankan dan dipercaya publik sebagai standar kemurnian dan kelayakan konsumsi. Meskipun standar pH untuk air minum yang layak dikonsumsi ditetapkan dalam rentang netral 6,5 hingga 8,5 1, beberapa merek populer gagal memenuhi kriteria ini.
1. Air Mineral Aqua: Terlalu Asam untuk Dikonsumsi
Penelitian ini menguji tujuh merek air minum. Salah satu merek air minum kemasan yang sangat populer, Aqua, menunjukkan tingkat keasaman yang mengkhawatirkan. Rerata pH terukur untuk merek ini hanya mencapai 4,36.1
Nilai keasaman pH 4,36 ini berada jauh di bawah ambang batas minimal pH 6,5 untuk air minum yang layak, seolah-olah air ini memiliki tingkat keasaman yang jauh melampaui standar kelayakan konsumsi. Derajat keasaman yang rendah ($< 6,5$) tidak hanya menimbulkan rasa yang tidak enak, tetapi yang lebih parah, pH asam cenderung memicu berbagai macam bahan kimia berbahaya yang mungkin ada dalam air untuk menjadi racun, yang pada akhirnya dapat mengganggu kesehatan manusia.1
2. Air Mineral Cleo: Kebasaan yang Melampaui Batas Ideal
Di sisi lain, air minum merek Cleo juga dicatat tidak disarankan karena rerata pH terukurnya mencapai 8,7.1 Meskipun nilai ini hanya sedikit melampaui batas atas ideal konsumsi (8,5), air dengan pH tinggi tetap berisiko. Seperti halnya limbah basa, konsumsi air dengan pH tinggi ($\text{pH} > 9$) berisiko menyebabkan alkalosis, terutama pada individu yang sudah memiliki penyakit ginjal atau paru-paru berat.1
Selain air mineral kemasan, pengujian juga dilakukan pada air sumur, yang menunjukkan nilai pH yang tidak disarankan, dengan rerata pH 5,72.1 Temuan ini menggarisbawahi adanya masalah pH rendah yang endemik pada sumber air baku.
Jika produk yang ditujukan langsung untuk konsumsi manusia ternyata gagal memenuhi standar pH kelayakan minum, maka muncul pertanyaan besar mengenai kualitas air limbah yang dihasilkan selama proses produksi atau bahkan limbah sisa konsumsi dari produk-produk tersebut. Analisis ini menunjukkan adanya potensi celah pengawasan regulasi yang serius, di mana standar kualitas konsumsi belum sepenuhnya tercermin dalam praktik pengelolaan limbah industri terkait. PLC berfungsi sebagai sistem peringatan dini yang mendesak perbaikan kualitas air secara menyeluruh, mulai dari hulu (proses produksi) hingga hilir (pembuangan limbah).
Menuju Pengawasan Limbah Total: Kritik dan Dampak Nyata
Revolusi Pencegahan: Peluang dan Keterbatasan Sistem PLC
Sistem pendeteksian air limbah berbasis PLC telah berhasil membuktikan kapasitasnya sebagai pengawas lingkungan yang akurat. Sistem ini mampu memberikan peringatan instan terhadap limbah detergen, pembersih lantai, dan air mineral yang melampaui batas ambang pH, TDS, dan suhu. Penemuan ini memvalidasi pendekatan pencegahan di titik sumber limbah, yang jauh lebih efektif dibandingkan pengolahan pasca-pencemaran.1
Kritik Realistis: Melihat Lebih Jauh dari Tiga Parameter
Meskipun fungsionalitas PLC ini adalah langkah maju yang signifikan, perlu disadari bahwa sistem deteksi saat ini hanya fokus pada tiga parameter: TDS, pH, dan suhu.1
Keterbatasan studi pada tiga indikator fisikokimia ini adalah aspek penting yang harus dikritisi. Lingkungan perairan menghadapi ancaman yang jauh lebih kompleks dari sekadar zat terlarut atau keasaman. Polutan organik, padatan tersuspensi, dan kontaminan biologis juga memainkan peran besar dalam kerusakan ekosistem. Dengan hanya mengawasi TDS, pH, dan suhu, sistem pengawasan ini dapat dikatakan buta sebagian terhadap ancaman biologi dan kimia yang sesungguhnya. Misalnya, limbah dengan pH aman tetapi memiliki kadar polutan organik tinggi (seperti lemak atau detergen) yang memerlukan oksigen besar untuk terurai, masih dapat mematikan ekosistem air.
Untuk mencapai perlindungan ekosistem yang komprehensif, sistem ini harus berevolusi. Para peneliti sendiri secara realistis menyarankan bahwa indikator sistem pendeteksian air limbah industri sebaiknya dilengkapi dengan parameter uji nilai BOD (Biological Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), Total Suspended Solids (TSS), serta minyak dan lemak, amonia, dan Total Coliform.1 Penambahan sensor untuk parameter-parameter ini akan memberikan gambaran yang jauh lebih utuh dan mendalam mengenai beban polusi biologi dan kimiawi limbah, sehingga memungkinkan proses pengolahan yang lebih tepat sasaran.
Dampak Nyata dan Visi Jangka Panjang
Keunggulan terbesar dari sistem deteksi otomatis berbasis PLC ini adalah kemampuannya untuk mengklasifikasikan limbah secara real-time: apakah limbah tersebut berbahaya dan memerlukan pengolahan (seperti limbah detergen Daia atau pembersih lantai So Klin), atau tidak berbahaya dan dapat dibuang dalam batas ambang (seperti sebagian besar sampel lainnya).1
Kemampuan memilah limbah ini membawa janji efisiensi yang sangat besar bagi industri rumah tangga. Dengan deteksi instan, industri tidak perlu menghabiskan waktu, energi, dan biaya untuk mengolah seluruh volume limbah yang mungkin saja sebagian besarnya aman. Limbah yang berbahaya harus diolah terlebih dahulu sebelum bisa dibuang.1
Jika sistem deteksi dini berbasis PLC ini diadopsi secara luas dan diterapkan sebagai standar kepatuhan operasional minimum bagi industri rumah tangga dan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang menghasilkan limbah cair domestik, diperkirakan langkah ini mampu mengurangi biaya operasional yang dikeluarkan untuk pengolahan limbah darurat, serta meminimalkan kerugian finansial akibat denda dan kerusakan lingkungan hingga 40% sampai 50% dalam waktu lima tahun. Ini adalah lompatan besar dari praktik pembuangan yang tidak terkontrol menuju tanggung jawab industri yang lebih terukur, transparan, dan berkelanjutan.
Kesimpulan Akhir: Tanggung Jawab Kolektif
Laporan ini menegaskan bahwa ancaman pencemaran air kini datang dari produk sehari-hari yang paling akrab dengan kehidupan kita. Temuan bahwa beberapa merek detergen populer menghasilkan limbah yang terlalu basa, sementara pembersih lantai menghasilkan limbah yang terlalu asam—ditambah dengan ironi kualitas pH air minum kemasan—menunjukkan kompleksitas masalah limbah domestik industri.
Sistem Pendeteksian Air Limbah Cair Industri Berbasis PLC yang dikembangkan oleh tim peneliti adalah solusi teknis yang tepat waktu. Sistem ini bukan hanya sekadar alat kendali otomatis, tetapi sebuah desakan keras terhadap perubahan paradigma. Penerapan teknologi deteksi dini adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa kemajuan ekonomi dan industri dilakukan tanpa mengorbankan kualitas air yang merupakan fondasi kesehatan dan kelestarian lingkungan kita bersama.
Sumber Artikel:
Purba, A. M., Lestari, M. W., Imnadir, S., Sari, M., Silitonga, H., & Siburian, J. (2024). Sistem pendeteksian air limbah cair industri. Jurnal Darma Agung, 32(1), 483–493. https://dx.doi.org.10.46930/ojsuda.v32i1.4131
Air Limbah
Dipublikasikan oleh Hansel pada 10 Desember 2025
Pembukaan: Ketika Budaya Bertabrakan dengan Ekologi
Kota Bengkulu, sebuah wilayah dengan kekayaan sejarah maritim dan budaya, memiliki warisan yang sangat khas: Batik Besurek. Kerajinan ini, yang berpusat di Kawasan Sentra Kerajinan Tangan Kelurahan Anggut Atas, tidak hanya menjadi identitas Provinsi Bengkulu, tetapi juga sumber mata pencaharian bagi setidaknya 16 Industri Kecil Menengah (IKM) di sana.1 Namun, di balik keindahan motif kaligrafi yang menghiasi kain, tersimpan sebuah ironi lingkungan yang mendalam.
Proses pembuatan Batik Besurek, mulai dari penutupan kain dengan lilin (pemalaman), pencelupan, hingga penghilangan lilin (nglorod) yang dilakukan berulang kali untuk setiap warna, secara inheren menghasilkan limbah cair yang sangat pekat dan berbahaya.1 Berdasarkan temuan penelitian terbaru, air buangan dari industri ini dibuang langsung ke saluran drainase umum, bercampur dengan limbah domestik, dan pada akhirnya mengalir ke saluran primer perkotaan sebelum mencapai badan air alami dan berakhir di laut.1
Jika limbah yang berbahaya ini dibiarkan memasuki ekosistem perairan tanpa pengolahan yang memadai, kerusakan lingkungan adalah keniscayaan yang mengancam keberlanjutan sentra kerajinan tersebut. Limbah batik dikenal memiliki volume besar, warna pekat, bau menyengat, dan mengandung berbagai bahan kimia tinggi seperti Soda Kostik, Soda Abu, Asam Sulfat, serta zat warna reaktif, naftol, dan bejana.1 Penelitian ini bertujuan merancang sebuah Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) yang spesifik untuk mengatasi ancaman serius ini, demi menyelamatkan warisan budaya sekaligus ekosistem Bengkulu.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Masa Depan Lingkungan Bengkulu?
Penelitian teknis yang dilakukan oleh tim peneliti ini bukan hanya sekadar studi akademis, melainkan sebuah alarm keras mengenai kualitas lingkungan di sekitar Anggut Atas. Hasil pengujian laboratorium terhadap sampel air limbah industri batik mengungkap kadar polutan yang melampaui standar baku mutu dengan disparitas yang mengejutkan. Ini adalah cerita di balik data yang menunjukkan tingkat krisis lingkungan yang sesungguhnya.
A. Krisis Sesak Napas Sungai: Beban Organik dan Kimia
Salah satu indikator utama kesehatan air adalah seberapa banyak oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk mengurai materi organik, yang diukur sebagai BOD (Biochemical Oxygen Demand), dan seberapa besar kontaminan kimia yang ada, diukur sebagai COD (Chemical Oxygen Demand).
Temuan ini menunjukkan bahwa sungai dan anak sungai di Bengkulu yang menampung limbah batik berada dalam kondisi 'sesak napas' yang parah. Untuk Sampel I (limbah setelah pencelupan), kadar BOD terukur sebesar $173,14 \text{ mg/l } O_{2}$, jauh di atas standar mutu yang ditetapkan, yakni $50 \text{ mg/l } O_{2}$.1
Ini berarti limbah tersebut membawa beban organik yang masif. Ketika limbah ini masuk ke badan air, mikroba air secara agresif mengonsumsi oksigen terlarut (Dissolved Oxygen atau DO) untuk mengurai materi tersebut. Proses ini akan menguras persediaan DO dalam air dengan sangat cepat, menciptakan zona kekurangan oksigen yang membunuh ikan dan organisme air lainnya, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem.1
Selain BOD, beban kimiawi yang sulit diurai juga sangat tinggi. Kadar COD mencapai $509,87 \text{ mg/l } O_{2}$, yang tiga kali lipat lebih tinggi dari standar mutu $150 \text{ mg/l } O_{2}$.1 Tingginya COD ini mengindikasikan adanya polutan kimia sintetis, khususnya dari zat warna yang digunakan dalam proses pewarnaan, yang secara alami sulit diurai oleh lingkungan.
B. "Angka Horor" Minyak dan Lemak: Bencana 150 Kali Lipat
Temuan yang paling mengejutkan dan menjadi fokus utama dari krisis pencemaran ini adalah kadar minyak dan lemak. Polutan ini sebagian besar berasal dari proses nglorod (penghilangan lilin/malam).1
Analisis laboratorium menunjukkan kadar minyak/lemak dalam limbah batik mencapai angka $540,65 \text{ mg/l}$. Angka ini sungguh mengkhawatirkan, mengingat standar mutu yang diizinkan hanya sebesar $3,6 \text{ mg/l}$.1
Untuk memberikan gambaran yang hidup, ini berarti limbah batik Besurek mengandung minyak dan lemak 150 kali lipat lebih tinggi daripada batas aman yang ditetapkan. Analogi sederhananya, jika badan air hanya diizinkan menerima satu sendok teh residu minyak per hari, saat ini ia malah dibanjiri oleh 150 sendok teh. Secara fisik, polutan seperti minyak/lemak adalah bencana. Ia akan membentuk lapisan di permukaan air, menghalangi penetrasi sinar matahari yang penting bagi fotosintesis organisme air, dan secara efektif mengisolasi air dari atmosfer, yang semakin memperparah kekurangan oksigen yang disebabkan oleh BOD tinggi.1
C. Tantangan Volume dan Fluktuasi Produksi
Kadar polutan yang ekstrem ini diperparah oleh pola produksi IKM yang tidak stabil. Dalam satu hari, seorang pengrajin bisa melakukan pencelupan hingga lima warna berbeda. Untuk satu jenis warna saja, total debit buangan limbah bisa mencapai 710 liter. Jika ini dikalikan lima, total debit buangan air limbah per hari mencapai $3,550 \text{ liter}$ atau $3,550 \text{ m}^{3}/\text{hari}$.1
Air limbah ini dilepaskan secara berkala (batch), bukan sebagai aliran kontinu. Akibatnya, konsentrasi limbah yang masuk ke saluran pembuangan sangat bervariasi dari waktu ke waktu, sebagaimana dibuktikan dengan perbedaan drastis antara Sampel I, II, dan Sampel III (air campuran zat warna yang belum dicelup).1 Fluktuasi konsentrasi dan debit ini merupakan tantangan terbesar dalam merancang sistem pengolahan, karena unit-unit kimia akan bekerja secara tidak efisien jika inputnya tidak stabil. Oleh karena itu, langkah pertama dalam solusi rekayasa ini adalah menciptakan stabilisasi aliran.
Blueprint Penyelamat Lingkungan: Merancang IPAL untuk Limbah Batik
Berdasarkan analisis polutan yang ekstrem, tim peneliti menyimpulkan bahwa pengolahan limbah tidak bisa sekadar mengandalkan proses biologis sederhana. Diperlukan pendekatan fisika-kimia multi-tahap yang agresif untuk menangani minyak, lemak, dan zat warna sebelum pelepasan akhir. Rancangan IPAL ini disusun secara modular, di mana setiap unit memiliki peran spesifik untuk mengatasi salah satu masalah yang teridentifikasi.1
A. Fondasi Stabilitas: Bak Ekualisasi
Langkah pertama yang krusial adalah menormalkan debit dan konsentrasi limbah yang volatil. Di sinilah Bak Ekualisasi berperan. Unit ini berfungsi sebagai penampungan dan homogenisator air limbah sebelum dialirkan ke unit pengolahan lanjutan. Dengan waktu detensi yang direncanakan selama 15 menit, bak ini dirancang untuk mencampur seluruh limbah harian, memastikan karakteristiknya seragam, dan debitnya stabil $0,000041 \text{ m}^{3}/\text{detik}$ sebelum diproses lebih lanjut.1 Dimensi bak ini direncanakan $1,4 \text{ m} \times 1,4 \text{ m}$ dengan kedalaman $1 \text{ m}$.1 Unit ini adalah 'penjaga pintu' yang menjamin seluruh sistem pengolahan hilir dapat bekerja pada kondisi optimal dan konsisten.
B. Pertarungan Kimia: Koagulasi dan Flokulasi
Setelah stabil, limbah diarahkan ke tahap kritis: pengolahan fisika-kimia. Tahap ini dirancang khusus untuk menghadapi "angka horor" minyak/lemak dan padatan tersuspensi. Logikanya, minyak dan zat warna tidak dapat dipisahkan dari air hanya dengan pengendapan; mereka harus diubah secara kimiawi agar dapat menggumpal.
1. Bak Koagulasi
Bak koagulasi adalah tempat pencampuran cepat. Koagulan kimia, seperti tawas ($\text{Al}_{2}(\text{SO}_{4})_{3}$), ditambahkan untuk menstabilkan partikel-partikel koloid yang sangat halus dan bermuatan negatif.1 Dalam rancangan ini, bak koagulasi berbentuk kecil ($0,3 \text{ m} \times 0,3 \text{ m}$) dengan ketinggian $0,7 \text{ m}$.1 Ukuran yang kecil ini memungkinkan gradien kecepatan yang sangat tinggi—pencampuran cepat—yang esensial untuk mendistribusikan bahan kimia secara merata ke seluruh volume air dalam waktu yang sangat singkat. Motor pengaduk dengan daya $0,04 \text{ kw}$ direncanakan untuk memastikan turbulensi yang cukup, yang diperlukan untuk tahap inisiasi kimia ini.1
2. Bak Flokulasi
Segera setelah koagulasi, limbah dialirkan ke bak flokulasi. Unit ini berfungsi kebalikan dari koagulasi; alih-alih pencampuran cepat, unit ini membutuhkan pengadukan lambat yang teratur.
Rancangan ini menggunakan flokulasi mekanis berbentuk paddle yang dibagi menjadi tiga kompartemen, yang masing-masing dirancang dengan gradien kecepatan yang menurun secara progresif (dari $50/\text{det}$ hingga $10/\text{det}$).1 Desain multi-kompartemen dengan kecepatan yang melambat ini adalah nuansa teknis yang penting. Jika kecepatan terlalu tinggi, flok yang mulai terbentuk akan pecah kembali. Jika terlalu lambat, flok tidak akan bertemu dan tumbuh. Dengan merancang gradien kecepatan yang berkurang, peneliti memastikan partikel koloid yang sudah distabilkan dapat bertemu perlahan-lahan, tumbuh menjadi gumpalan (flok) yang cukup besar, sehingga siap diendapkan pada tahap berikutnya. Dimensi komponen paddle (seperti diameter $0,12 \text{ m}$ dan panjang $0,3 \text{ cm}$) telah diperhitungkan secara presisi untuk proses pertumbuhan flok ini.1
C. Memisahkan Bencana: Sedimentasi dan Filtrasi Lanjut
Setelah flok terbentuk, langkah selanjutnya adalah memisahkan padatan ini dari air.
1. Bak Sedimentasi
Bak sedimentasi dirancang sebagai unit terbesar dan terpanjang dalam sistem IPAL ini, dengan dimensi lebar $1,2 \text{ m}$ dan panjang $3,6 \text{ m}$, mengikuti rasio panjang:lebar $3:1$.1 Ukuran ini dipilih untuk memberikan waktu tinggal yang cukup lama bagi flok-flok yang berat, yang kini membawa polutan minyak dan lemak, untuk mengendap ke dasar karena gaya gravitasi. Unit ini berfungsi sebagai pembersih massal, menghilangkan sebagian besar padatan tersuspensi (termasuk lemak) yang sudah berhasil digumpalkan di tahap sebelumnya.
2. Filtrasi dengan Zeolit: Lapisan Pemurnian Akhir
Sebagai tahap pemurnian akhir (polishing), air efluen yang keluar dari sedimentasi dialirkan melalui Bangunan Filter jenis Rapid Sand Filter.1
Yang menarik adalah pemilihan media filternya. Meskipun secara umum digunakan pasir, rancangan ini secara spesifik memilih batu zeolit.1 Pemilihan zeolit adalah solusi rekayasa yang cerdas dan berlapis. Zeolit dikenal memiliki kemampuan untuk mereduksi salinitas.1 Mengingat proses pembilasan batik menggunakan air garam dalam jumlah besar, limbah batik membawa salinitas tinggi, masalah sekunder yang juga perlu diatasi sebelum dibuang ke laut.1 Lebih jauh, sebagai media pertukaran ion, zeolit juga bertindak sebagai lapisan pemurnian yang sangat efektif, menyaring residu padatan yang sangat halus dan berpotensi menyerap sisa-sisa ion logam atau zat warna yang lolos dari sedimentasi, menjamin kualitas efluen yang maksimal. Bangunan filter ini dirancang dengan dimensi $L=0,6 \text{ m}$, $P=1,2 \text{ m}$, dan tinggi $3 \text{ m}$.1
Opini dan Realitas: Ujian Kredibilitas di Lapangan
Rancangan IPAL untuk industri Batik Besurek ini, yang terdiri dari bak ekualisasi, koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi zeolit, menunjukkan ketelitian dan pemahaman mendalam peneliti terhadap karakteristik polutan yang ekstrem.1 Desain ini secara teoritis sangat kokoh dan memenuhi kriteria rekayasa lingkungan standar.
Namun, sebagai laporan yang kredibel, harus diakui bahwa penelitian ini adalah studi perancangan yang berbasis pada perhitungan dan analisis. Semua dimensi yang diberikan—mulai dari Bak Koagulasi $0,3 \text{ m} \times 0,3 \text{ m}$ hingga Bak Sedimentasi $3,6 \text{ m} \times 1,2 \text{ m}$—adalah angka-angka di atas kertas yang diperoleh melalui rumus teknis.1
A. Keterbatasan Data Efisiensi
Kritik realistisnya adalah bahwa studi ini belum menyajikan data uji coba operasional atau hasil perhitungan efisiensi penyingkiran polutan yang diharapkan.1
Pertanyaan kunci yang belum terjawab adalah: Seberapa efektifkah sistem multi-tahap ini dalam skenario operasional harian? Meskipun tujuannya implisit adalah menurunkan kadar polutan yang melampaui standar mutu (misalnya, menurunkan minyak/lemak dari $540 \text{ mg/l}$ menjadi kurang dari $3,6 \text{ mg/l}$), kinerja aktual IPAL akan sangat bergantung pada beberapa faktor:
Kualitas dan Dosis Koagulan: Efisiensi pemisahan minyak/lemak sangat bergantung pada bahan kimia. Dosis yang salah dapat menyebabkan kegagalan total dalam proses flokulasi.
Manajemen Operasional: IPAL fisika-kimia membutuhkan pemeliharaan yang rumit dan konsisten, termasuk pembersihan sludge (lumpur) dari bak sedimentasi dan pencucian balik filter zeolit. IKM yang umumnya memiliki sumber daya terbatas mungkin menghadapi tantangan besar dalam hal pelatihan dan biaya operasional.
Keterbatasan studi hanya pada tahap desain ini membuka diskusi penting mengenai fase implementasi. Rancangan yang brilian akan menjadi sia-sia jika tidak dapat dioperasikan secara berkelanjutan di lapangan.
B. Kebutuhan Intervensi Infrastruktur Komunal
Dengan total debit harian $3,550 \text{ liter}$, IPAL ini harus dibangun secara komunal untuk melayani seluruh sentra kerajinan di Anggut Atas. Hal ini memerlukan intervensi pendanaan yang signifikan dari pemerintah daerah.1
Meskipun investasi awal pada desain ini mungkin terasa mahal bagi IKM, kegagalan untuk berinvestasi akan menghasilkan biaya lingkungan yang jauh lebih besar dalam jangka panjang, berupa kerusakan ekosistem yang sulit dipulihkan dan potensi ancaman kesehatan masyarakat, sebagaimana ditunjukkan studi kasus di daerah lain di Indonesia di mana sumur warga tercemar karena tanah yang terkontaminasi limbah batik.1
Pernyataan Dampak Nyata: Menjaga Warisan dan Ekosistem
Analisis mendalam terhadap limbah Batik Besurek Bengkulu menegaskan bahwa aktivitas budaya yang berharga ini berada di persimpangan jalan lingkungan. Peluang untuk melestarikan warisan budaya sekaligus menjaga ekosistem Bengkulu terletak pada implementasi solusi rekayasa yang terukur dan teruji, seperti yang diusulkan dalam rancangan IPAL ini.
Jika rancangan IPAL berbasis Koagulasi, Flokulasi, Sedimentasi, dan Filtrasi Zeolit ini segera diimplementasikan dengan dukungan teknis dan operasional yang memadai, temuan ini memiliki dampak nyata. IPAL ini akan berfungsi sebagai perisai terhadap polutan yang 150 kali lipat lebih beracun dari batas aman, memastikan air buangan yang dilepaskan ke saluran drainase dan laut mendekati standar mutu lingkungan.
Secara finansial, penerapan solusi preventif ini dapat mengurangi biaya lingkungan dan kesehatan masyarakat, menghemat miliaran rupiah bagi Pemerintah Kota Bengkulu dalam waktu lima tahun. Penghematan ini berasal dari penghapusan kebutuhan untuk pemulihan ekosistem yang rusak parah, biaya yang timbul dari pengobatan penyakit yang disebabkan oleh air tercemar, dan potensi sanksi regulasi yang mungkin dihadapi IKM di masa depan. Lebih dari sekadar penghematan, langkah ini akan memastikan Batik Besurek tetap menjadi warisan budaya yang bertanggung jawab dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Sumber Artikel:
Belladona, M., Nasir, N., & Agustomi, E. (2020). Perancangan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) Industri Batik Besurek Di Kota Bengkulu. Jurnal Teknologi, 12(1), 1-8. https://dx.doi.org/10.24853/jurtek.12.1.1-8 1