Pencemaran Udara
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Aroma Uang dan Amonia di Desa Jumpai
Di pesisir timur Bali, di mana debur ombak Selat Badung bertemu dengan hamparan pasir hitam vulkanik, Desa Jumpai di Kabupaten Klungkung menyimpan dua sisi mata uang yang kontradiktif. Di satu sisi, desa ini adalah denyut nadi ekonomi bagi ratusan keluarga yang menggantungkan hidup pada industri pengolahan rumput laut. Di sisi lain, aroma laut yang segar sering kali terdistorsi oleh bau menyengat yang khas: campuran amonia, belerang, dan bahan organik yang membusuk.1 Ini adalah bau dari kemakmuran yang tidak terkelola, jejak olfaktori dari transformasi Eucheuma cottonii menjadi komoditas global, yang menyisakan limbah cair berbahaya bagi ekosistem yang justru menghidupinya.
Bali, pulau yang dipuja dunia karena harmoni Tri Hita Karana—keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan—sedang bergulat dengan realitas industrialisasi pedesaan. Di balik citra pariwisata yang glamor, sektor agroindustri seperti pengolahan rumput laut beroperasi dalam bayang-bayang regulasi lingkungan yang sering kali tumpul di lapangan. Limbah cair dari proses pencucian rumput laut, yang kaya akan residu kimia pemutih dan beban organik masif, mengalir ke saluran-saluran air, membawa ancaman eutrofikasi dan kematian bagi kehidupan akuatik mikro.2
Sebuah dokumen penelitian bertajuk "Pemanfaatan Sistem Biofiltrasi Tanaman dalam Pengolahan Air Limbah Industri Rumput Laut" (selanjutnya disebut 1), yang disusun oleh I Made Gde Sudyadnyana Sandhika dan tim dari Universitas Dhyana Pura, hadir bukan sekadar sebagai laporan akademis. Ia adalah sebuah canary in the coal mine—peringatan dini sekaligus tawaran solusi bagi krisis sanitasi industri yang menggerogoti pesisir Bali. Laporan ini menawarkan sebuah jalan keluar yang tampak sederhana namun revolusioner: menggunakan tanaman kangkungan (Ipomoea crassicaulis) sebagai biofilter alami untuk "mencuci" dosa-dosa ekologis industri ini.
Namun, investigasi mendalam terhadap dokumen ini dan konteks ekosistemik di sekitarnya menyingkap lapisan masalah yang jauh lebih kompleks. Apakah tanaman yang sering dianggap gulma invasif dan beracun ini benar-benar pahlawan sanitasi yang kita butuhkan? Ataukah kita sedang menukar satu masalah pencemaran air dengan risiko kontaminasi biologis lainnya? Laporan ini akan membedah secara forensik temuan 1, menempatkannya dalam lanskap ekonomi biru Indonesia yang sedang berkembang, serta menguji validitasnya di tengah regulasi ketat Provinsi Bali.
1.1 Realitas di Lapangan: Ketika Sungai Berubah Warna
Desa Jumpai bukan satu-satunya titik panas. Di seberang selat, di Nusa Penida dan Nusa Lembongan, petani rumput laut mengeluhkan penurunan kualitas panen yang drastis. Penyakit "ais-ais" yang memutihkan batang rumput laut dan serangan hama ikan menjadi momok tahunan.2 Ironisnya, sebagian dari masalah ini berakar pada penurunan kualitas air laut akibat pencemaran—baik dari aktivitas wisata maupun limbah domestik dan industri yang tidak terolah dengan baik.2
Limbah cair dari industri pengolahan rumput laut memiliki karakteristik yang "jahat" bagi perairan. Proses pembuatan Alkali Treated Cottonii (ATC), produk setengah jadi yang populer diekspor, melibatkan perendaman rumput laut dalam larutan alkali panas (biasanya Kalium Hidroksida atau Natrium Hidroksida) untuk meningkatkan kekuatan gel.4 Residu dari proses ini menghasilkan air limbah dengan pH yang sangat tinggi (basa), keruh, dan penuh dengan bahan organik terlarut.
Dalam studi 1, sampel air limbah yang diambil langsung dari outlet industri di Desa Jumpai menunjukkan angka yang mengejutkan. Biological Oxygen Demand (BOD)—indikator jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk mengurai sampah organik—tercatat sebesar 297,7 ppm (mg/L). Sementara itu, Chemical Oxygen Demand (COD) mencapai 456,5 ppm. Sebagai perbandingan, Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2016 menetapkan batas aman untuk pembuangan limbah ke lingkungan adalah maksimal 100 ppm untuk kedua parameter tersebut.5
Artinya, industri ini membuang limbah dengan beban pencemar tiga hingga empat kali lipat di atas ambang batas legal. Ketika limbah "super-kaya" nutrisi ini masuk ke sungai atau laut, ia memicu ledakan populasi bakteri pengurai yang menghabiskan oksigen terlarut dalam air (hypoxia). Ikan megap-megap, terumbu karang tercekik oleh pertumbuhan alga liar, dan air berubah menjadi hitam dan berbau busuk. Ini adalah resep sempurna untuk bencana ekologis di zona wisata.6
Anatomi Ekonomi Rumput Laut dan Sisi Gelapnya
Untuk memahami urgensi dari penelitian biofiltrasi ini, kita harus menarik lensa ke sudut pandang makro. Indonesia adalah pemain raksasa dalam panggung rumput laut global, menduduki peringkat kedua sebagai produsen terbesar setelah China.8 Komoditas ini adalah tulang punggung "Revolusi Biru" yang dicanangkan pemerintah, menyediakan mata pencaharian bagi masyarakat pesisir yang sering kali terpinggirkan dari derap pembangunan daratan.9
2.1 Emas Hijau dari Lautan
Rumput laut, khususnya jenis Gracilaria dan Eucheuma, bukan hanya bahan baku agar-agar atau karagenan untuk industri pangan. Ia adalah bahan ajaib yang digunakan dalam segala hal, mulai dari pasta gigi, kosmetik, pakan ternak, hingga potensi bioavtur masa depan.2 Di Nusa Penida, produksi rumput laut pernah mencapai puncaknya pada tahun 2015 dengan angka fantastis 106 ribu ton, sebelum jatuh bebas menjadi hanya 597 ton pada 2017 akibat kombinasi perubahan iklim, pencemaran, dan peralihan tenaga kerja ke sektor pariwisata.11
Pasar global sangat haus akan karagenan. Permintaan ini mendorong industri pengolahan di darat, seperti di Klungkung, untuk beroperasi dalam kapasitas penuh. Namun, infrastruktur pengolahan limbah (IPAL) sering kali menjadi prioritas terakhir dalam struktur biaya industri kecil dan menengah (UKM). Membangun instalasi pengolahan limbah konvensional dengan sistem aerasi mekanis dan filtrasi kimia membutuhkan modal besar dan biaya listrik yang tinggi—sesuatu yang sering kali tidak terjangkau oleh pabrik skala desa.13
2.2 Jejak Kimiawi Pengolahan ATC
Proses transformasi rumput laut mentah menjadi keripik ATC (Alkali Treated Cottonii) adalah proses kimiawi yang intensif.
Pencucian Awal: Menghilangkan garam, pasir, dan kotoran laut.
Perlakuan Alkali: Rumput laut direndam dalam larutan alkali (KOH/NaOH) pada suhu tertentu. Tujuannya adalah memodifikasi struktur kimia karagenan agar gel yang dihasilkan lebih kuat.
Pencucian dan Netralisasi: Residu alkali harus dicuci bersih. Inilah tahap yang menghasilkan volume limbah cair terbesar. Air bilasan ini membawa sisa alkali (pH tinggi) dan potongan-potongan sel rumput laut yang hancur (BOD tinggi).4
Limbah ini, jika dibuang langsung, tidak hanya meracuni air dengan pH ekstrem (12-13), tetapi juga meningkatkan kekeruhan yang menghalangi penetrasi sinar matahari ke dasar perairan.14 Tanpa sinar matahari, fotosintesis di sungai atau laut terhenti, mematikan produsen primer dalam rantai makanan. Dokumen 1 mencatat bahwa limbah tersebut memiliki tekstur "licin" dan warna "keruh kekuningan", indikasi visual dari tingginya padatan tersuspensi dan sifat basa sabun dari alkali.
Biofiltrasi, Solusi Low-Tech untuk Masalah High-Tech
Di tengah keputusasaan akan solusi murah dan efektif, penelitian Sandhika et al. 1 menawarkan pendekatan berbasis alam (nature-based solution). Biofiltrasi, atau lebih spesifiknya fitoremediasi, memanfaatkan kemampuan tumbuhan air untuk menyerap, mengakumulasi, dan mendegradasi polutan.
3.1 Mengapa Ipomoea crassicaulis?
Pilihan tanaman jatuh pada Ipomoea crassicaulis (dikenal juga sebagai Ipomoea carnea subsp. fistulosa atau Kangkungan Pagar). Tanaman ini adalah kerabat jauh dari ubi jalar dan kangkung sayur, namun memiliki karakteristik yang jauh lebih "liar".15
Morfologi Unggul: Batangnya berongga (fistulosa), memungkinkannya mengapung di permukaan air atau tumbuh tegak di lahan basah. Sistem perakarannya serabut dan sangat lebat, menciptakan luas permukaan yang masif di dalam air.17
Ketangguhan: Tanaman ini dikenal mampu tumbuh di kondisi ekstrem, dari tanah kering hingga rawa-rawa yang tergenang. Ia toleran terhadap pH yang fluktuatif dan beban organik tinggi, menjadikannya kandidat ideal untuk limbah industri yang "keras".18
Simbiosis Mikroba: Keajaiban sebenarnya bukan hanya pada tanamannya, tetapi pada kehidupan mikroskopis di akarnya. Akar Ipomoea melepaskan eksudat (senyawa gula dan asam amino) yang menarik bakteri pengurai seperti Pseudomonas, Bacillus, dan Nitrosomonas. Bakteri-bakteri inilah yang sebenarnya melakukan kerja berat memecah bahan organik kompleks dalam limbah menjadi senyawa sederhana yang kemudian diserap tanaman sebagai nutrisi.1
3.2 Desain Eksperimen: Dari Jerigen ke Baku Mutu
Penelitian ini dilakukan dengan metodologi yang mereplikasi kondisi lapangan yang sederhana.
Tahap Stabilisasi (24 Jam): Air limbah tidak langsung "dihajar" ke tanaman. Ia didiamkan dalam bak stabilisasi selama satu hari. Ini krusial untuk mengendapkan partikel padat berat dan membiarkan suhu serta pH sedikit melunak. Tanpa tahap ini, shock loading (beban kejut) bisa membunuh tanaman seketika.
Tahap Biofiltrasi: Air yang sudah stabil dialirkan ke kolam berukuran $200 \times 60 \times 50$ cm yang dipenuhi Ipomoea crassicaulis.
Monitoring: Peneliti memantau penurunan kadar BOD dan COD setiap 8 jam selama dua hari penuh (48 jam).
Pendekatan ini sangat pragmatis. Tidak ada pompa listrik, tidak ada injeksi oksigen buatan. Hanya gravitasi, waktu, dan biologi. Jika berhasil, ini adalah model IPAL yang bisa dibangun oleh siapa saja dengan biaya minimal.
Analisis Data Naratif – Perjalanan Menuju Air Bersih
Data yang dihasilkan dari eksperimen 1 menceritakan kisah sukses yang dramatis, sebuah grafik penurunan polutan yang memberikan harapan nyata bagi industri di Desa Jumpai.
4.1 Fase Kejutan dan Adaptasi (0-16 Jam)
Pada awal perlakuan, air limbah masuk dengan beban BOD 224,6 ppm (setelah stabilisasi). Dalam 8 jam pertama, sistem biofilter bekerja agresif. Bakteri yang kelaparan di akar tanaman menyerang senyawa organik yang mudah terurai (biodegradable). Hasilnya, BOD turun drastis menjadi 168,7 ppm. Efektivitas penurunan mencapai hampir 25% hanya dalam satu shift kerja.
Ini menunjukkan bahwa sistem akar Ipomoea memiliki respon cepat (rapid response) terhadap influks polutan. Koloni bakteri sudah matang dan siap bekerja.
4.2 Titik Balik (Jam ke-32)
Fase paling kritis terjadi antara jam ke-24 dan jam ke-32. Pada jam ke-24, kadar BOD masih berada di angka 106,3 ppm—sedikit di atas ambang batas legal 100 ppm. Namun, saat jarum jam menyentuh angka 32, terjadi terobosan. Kadar BOD anjlok ke 78,7 ppm.
Ini adalah "angka keramat" dalam penelitian ini. Artinya, untuk memenuhi standar Pergub Bali 16/2016, industri membutuhkan waktu retensi hidrolik (Hydraulic Retention Time/HRT) minimal 32 jam. Sebuah kolam pengolahan tidak bisa sekadar menjadi tempat lewat air; air harus "menginap" setidaknya satu setengah hari agar bakteri dan tanaman bisa menuntaskan tugasnya.
4.3 Hasil Akhir dan Efisiensi (48 Jam)
Setelah 48 jam, air yang keluar dari sistem biofilter memiliki karakteristik yang jauh berbeda dari saat ia masuk.
BOD Akhir: 28,6 ppm (Turun 87,27%)
COD Akhir: 70,5 ppm (Turun 83,93%)
Angka 28,6 ppm untuk BOD adalah kualitas air yang sangat baik untuk ukuran limbah industri, bahkan mendekati kualitas air sungai kelas menengah.6 Secara visual, kekeruhan berkurang, dan bau menyengat amonia kemungkinan besar telah hilang, digantikan oleh aroma tanah basah yang lebih netral. Analisis: Data ini menegaskan bahwa biofiltrasi bukan sekadar teori. Ia bekerja dengan efisiensi tinggi, mampu memangkas lebih dari 80% beban pencemar tanpa intervensi mesin. Namun, data ini juga menyimpan implikasi logistik: industri harus menyediakan lahan yang cukup untuk menampung volume limbah selama 48 jam. Jika sebuah pabrik menghasilkan 10.000 liter limbah per hari, mereka butuh kolam berkapasitas 20.000 liter untuk sirkulasi 48 jam.
Kritik Realistis – Sisi Gelap Sang Penyelamat Hijau
Sebagai sebuah resensi jurnalistik yang objektif, kita tidak boleh terbuai oleh angka keberhasilan semata. Di balik efektivitas Ipomoea crassicaulis, tersembunyi risiko ekologis dan kesehatan yang serius yang kurang dieksplorasi dalam dokumen.1 Solusi ini, jika tidak dikelola dengan protokol ketat, bisa menjadi "bom waktu" baru bagi Bali.
5.1 Ancaman Invasif: Ketika Obat Menjadi Racun
Ipomoea crassicaulis bukanlah tanaman sembarangan. Di banyak negara, seperti Amerika Serikat, India, dan beberapa wilayah Afrika, tanaman ini diklasifikasikan sebagai gulma berbahaya (noxious weed).16 Kemampuannya untuk tumbuh cepat—yang menjadi aset dalam pengolahan limbah—adalah mimpi buruk bagi ekosistem alami.
Jika benih atau potongan batang tanaman ini lolos dari kolam pengolahan dan masuk ke saluran irigasi sawah atau sungai alami di Klungkung, ia bisa dengan cepat mendominasi, menutupi permukaan air, mematikan tanaman asli, dan menyumbat aliran air (pendangkalan).20 Bali sudah cukup menderita dengan masalah eceng gondok di danau-danaunya; mengintroduksi spesies invasif lain di pesisir adalah perjudian ekologis yang berisiko tinggi.
5.2 Racun dalam Hijauan: Bahaya bagi Ternak
Salah satu aspek paling kritis yang absen dalam diskusi 1 adalah toksisitas tanaman ini. Di pedesaan Bali, tanaman hijau subur di pinggir jalan sering kali dianggap sebagai pakan ternak gratis oleh peternak sapi atau kambing. Ini adalah kesalahan fatal jika menyangkut Ipomoea crassicaulis.
Literatur veteriner global mengonfirmasi bahwa seluruh bagian tanaman ini mengandung alkaloid swainsonine dan calystegines.21 Konsumsi kronis pada ternak menyebabkan penyakit penyimpanan lisosom (lysosomal storage disease), sebuah gangguan neurologis yang parah. Gejalanya meliputi:
Ternak menjadi kurus meski makan banyak.
Gangguan koordinasi otot (sempoyongan).
Kemandulan dan keguguran.
Kematian.
Bayangkan skenario ini: Petani rumput laut di Desa Jumpai memanen Ipomoea yang sudah rimbun dari kolam limbah karena dianggap "membersihkan" kolam, lalu memberikannya pada sapi mereka. Sapi keracunan, mati, atau menghasilkan daging yang terkontaminasi. Rantai toksisitas ini adalah risiko nyata yang membutuhkan edukasi masif.
5.3 Dilema Pembuangan Biomassa (The Disposal Dilemma)
Fitoremediasi tidak menghilangkan logam berat atau polutan persisten; ia hanya memindahkannya dari air ke dalam jaringan tubuh tanaman (bioakumulasi). Tanaman Ipomoea di kolam limbah akan menyerap residu logam berat yang mungkin terkandung dalam bahan kimia industri atau air baku.24
Lalu, ke mana perginya tanaman ini setelah dipanen?
Dikomposkan? Racun akan kembali ke tanah pertanian.
Dibakar? Pembakaran biomassa yang mengandung logam berat atau klorin dapat melepaskan dioksin dan asap beracun ke udara.25
Dibuang ke sungai? Itu hanya memindahkan sampah.
Dokumen 1 tidak memberikan panduan tentang manajemen akhir biomassa ini. Idealnya, biomassa hasil fitoremediasi harus diperlakukan sebagai limbah B3 atau dibuang di secure landfill.27 Absennya protokol "hilir" ini membuat solusi yang ditawarkan menjadi setengah matang.
Perspektif Regulasi dan Ekonomi Biru
Bali memiliki salah satu regulasi lingkungan daerah yang paling progresif di Indonesia, namun penegakannya sering kali tertatih-tatih. Pergub Bali No. 16 Tahun 2016 adalah standar emas yang menetapkan baku mutu ketat. Namun, fakta bahwa limbah mentah di Jumpai memiliki BOD hampir 300 ppm menunjukkan bahwa kepatuhan (compliance) masih rendah.28
6.1 Celah Penegakan Hukum
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) sering kali kekurangan sumber daya untuk mengawasi ribuan unit usaha kecil yang tersebar. Penindakan biasanya bersifat reaktif—menunggu ada keluhan viral atau kematian ikan massal—daripada preventif.
Teknologi biofiltrasi yang "murah dan mudah" ini seharusnya menutup celah alasan klasik pengusaha: "biaya IPAL mahal". Jika sebuah kolam tanaman sederhana seharga jutaan rupiah bisa membuat pabrik mematuhi hukum, maka tidak ada lagi alasan moral atau ekonomi untuk membuang limbah mentah. Pemerintah Daerah Klungkung dapat menjadikan instalasi biofilter Ipomoea (dengan standar keamanan ketat) sebagai syarat mutlak perizinan usaha mikro pengolahan hasil laut.
6.2 Menuju Ekonomi Biru yang Sebenarnya
Visi "Ekonomi Biru" Indonesia bukan hanya tentang mengeksploitasi laut, tetapi meregenerasinya.29 Industri rumput laut berada di garis depan visi ini. Rumput laut sendiri adalah penyerap karbon (carbon sink) yang hebat dan penyerap nutrisi berlebih di laut.10 Ironis jika proses pengolahannya di darat justru menjadi sumber polusi karbon dan kimia.
Mengintegrasikan sistem biofiltrasi ke dalam rantai pasok rumput laut akan meningkatkan nilai jual produk Indonesia di pasar global yang semakin sadar lingkungan (eco-conscious). Pembeli di Eropa atau Amerika Serikat akan lebih memilih karagenan yang diproduksi dengan jejak air (water footprint) yang bersih dan bertanggung jawab.8
Kesimpulan dan Rekomendasi Investigatif
Laporan riset Sandhika et al. dalam dokumen g55.pdf adalah sebuah suar harapan di tengah keruhnya air limbah industri Desa Jumpai. Ia membuktikan secara ilmiah bahwa alam, melalui mekanisme adaptasi tanaman Ipomoea crassicaulis, menyediakan mesin pembersih yang efisien, mampu menurunkan beban pencemar hingga 87% dan memenuhi standar baku mutu ketat Bali.
Namun, mengadopsi solusi ini tanpa protokol keamanan adalah kecerobohan. Biofiltrasi dengan tanaman ini adalah solusi dengan catatan kaki yang tebal.
Rekomendasi untuk Pemangku Kepentingan:
Standarisasi Desain IPAL: Pemerintah harus merilis desain standar ("cetak biru") kolam biofilter Ipomoea yang aman, mencakup isolasi fisik (agar tanaman tidak lari ke alam) dan rasio luas kolam per volume limbah (berdasarkan HRT 32 jam).
Protokol "Dilarang Makan": Harus ada larangan keras dan sosialisasi masif bahwa tanaman dari kolam limbah bukan pakan ternak. Tanda peringatan bahaya harus dipasang di setiap kolam.
Manajemen Biomassa Terpusat: Pemerintah desa atau koperasi bisa mengelola pembuangan biomassa tanaman secara kolektif, misalnya dengan pengeringan dan insinerasi di fasilitas berizin, atau digunakan sebagai bahan bakar boiler industri (dengan filter asap) untuk menutup siklus energi.
Monitoring Berkala: Efektivitas sistem ini bergantung pada kesehatan tanaman. Jika tanaman mati karena shock loading kimia, sistem gagal. Diperlukan pendampingan teknis bagi operator pabrik tentang cara melakukan aklimatisasi dan stabilisasi limbah sebelum masuk kolam.
Pada akhirnya, masa depan industri rumput laut Bali tidak hanya ditentukan oleh harga pasar di Shanghai atau New York, tetapi oleh kejernihan air di selokan Desa Jumpai. Jika kita gagal mengelola limbah hari ini, kita sedang membunuh ladang emas hijau kita sendiri untuk hari esok. Biofiltrasi adalah langkah awal yang menjanjikan, sebuah jembatan antara ekonomi dan ekologi, asalkan kita berani menyeberanginya dengan mata terbuka akan segala risikonya.
Sumber Artikel:
Petani Rumput Laut Nusa Penida Keluhkan Pencemaran - ANTARA News Bali, https://bali.antaranews.com/berita/52442/petani-rumput-laut-nusa-penida-keluhkan-pencemaran
Limbah Kontruksi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Bagian I: Krisis Tak Kasat Mata dan Janji Sebuah Fermentasi
Di balik gemerlap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan deru mesin-mesin industri di kawasan Cikarang hingga Karawang, mengalir sebuah ancaman senyap yang jarang tertangkap mata namun menusuk indra penciuman: amonia. Senyawa nitrogen ini bukan sekadar produk sampingan yang tidak berbahaya; ia adalah pembunuh ekosistem perairan, pemicu eutrofikasi yang mematikan kehidupan akuatik, dan indikator sanitasi yang buruk. Sungai-sungai yang membelah pemukiman padat dan zona industri sering kali membawa beban amonia yang jauh melampaui ambang batas aman, mengubah nadi kehidupan menjadi saluran kematian biologis.1
Selama beberapa dekade, paradigma pengolahan limbah air (wastewater treatment) terjebak dalam dikotomi yang sulit: memilih antara efisiensi tinggi dengan biaya mahal melalui proses kimiawi, atau biaya rendah namun proses lambat melalui metode biologis konvensional. Pengolahan kimiawi, meskipun efektif, sering kali meninggalkan jejak karbon yang masif dan residu lumpur bahan berbahaya dan beracun (B3) yang menuntut biaya penanganan sekunder yang mencekik. Di sisi lain, metode biologis seperti lumpur aktif sering kali gagap menghadapi lonjakan beban polutan yang tiba-tiba.
Di tengah kebuntuan teknologi dan tantangan keberlanjutan inilah, sebuah dokumen penelitian setebal 12 halaman yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Trisakti pada awal tahun 2022 hadir menawarkan perspektif baru. Laporan bertajuk "Eco-Enzyme Sebagai Rekayasa Teknologi Berkelanjutan Dalam Pengolahan Air Limbah", yang ditulis oleh Temmy Wikaningrum dan Mia El Dabo dari Universitas Presiden, bukan sekadar laporan akademis biasa. Ia adalah manifestasi dari upaya pencarian "Jalan Ketiga" dalam rekayasa lingkungan: sebuah pendekatan yang mencoba mendamaikan efektivitas teknis dengan keberlanjutan ekologis melalui pemanfaatan limbah itu sendiri.1
Laporan investigasi ini akan membedah secara mendalam dokumen tersebut, menelusuri setiap klaim, memverifikasi metodologi, dan menempatkannya dalam konteks yang jauh lebih luas—mulai dari biokimia enzim nanas hingga implikasi sosial-ekonomi bagi manajemen sampah nasional. Kita akan melihat bagaimana sampah kulit nanas, yang biasanya berakhir di tempat pembuangan akhir, direkayasa menjadi agen pemurni air yang menjanjikan.
Bagian II: Anatomi Masalah dan Kegagalan Konvensional
Jebakan Biaya dan Lumpur B3
Sebelum kita dapat mengapresiasi solusi yang ditawarkan oleh Wikaningrum dan El Dabo, kita harus terlebih dahulu memahami kedalaman masalah yang mereka coba selesaikan. Pengolahan air limbah modern menghadapi musuh ganda: polutan itu sendiri dan biaya untuk menghilangkannya. Dalam pendahuluan studi mereka, para peneliti menyoroti bahwa teknologi pengolahan kimiawi, meskipun mampu memberikan hasil efluen yang jernih, membawa konsekuensi biaya operasional yang tinggi. Pengadaan koagulan, flokulan, dan penetral pH adalah beban operasional (OPEX) yang terus membengkak seiring kenaikan harga bahan baku global.1
Lebih parah lagi adalah produk sampingannya. Reaksi kimia dalam pengolahan air tidak menghilangkan materi; ia hanya mengubah bentuknya. Polutan terlarut diubah menjadi endapan padat atau lumpur (sludge). Sering kali, lumpur ini terkategori sebagai limbah B3 yang memerlukan penanganan khusus, perizinan ketat, dan biaya pembuangan yang bisa mencapai jutaan rupiah per ton. Ini adalah ironi sanitasi: kita membersihkan air dengan menciptakan limbah padat beracun.1
Keterbatasan Alternatif Adsorpsi
Studi ini juga menarik perbandingan dengan metode adsorpsi, khususnya penggunaan zeolit, yang sering digadang-gadang sebagai alternatif alami. Mengutip penelitian Nasir et al. (2019), Wikaningrum mencatat bahwa zeolit memang mampu menurunkan amonia hingga 80% pada kondisi optimal. Namun, zeolit memiliki siklus hidup yang terbatas. Setelah jenuh, ia menjadi "zeolit bekas pakai"—sebuah limbah padat baru yang harus dikelola. Ini menciptakan siklus masalah yang tidak berujung: dari polusi air menjadi polusi padat.1
Konteks inilah yang membuat pendekatan eco-enzyme menjadi sangat relevan. Premis dasarnya adalah sirkularitas total: menggunakan sampah organik (yang merupakan masalah) untuk mengolah air limbah (masalah lain), tanpa menghasilkan residu berbahaya baru. Ini adalah sebuah tawaran rekayasa yang menggoda secara teoretis, namun apakah ia terbukti secara empiris?
Bagian III: Alkimia Nanas – Mengapa Ananas Comosus?
Di Balik Pilihan Substrat
Dalam eksperimen ini, para peneliti tidak memilih sampah organik secara acak. Mereka secara spesifik menggunakan nanas (Ananas comosus), memanfaatkan baik kulit maupun daging buahnya. Pilihan ini didasarkan pada profil biokimia yang unik dari buah tropis tersebut. Nanas bukan sekadar sumber gula untuk fermentasi; ia adalah reaktor enzim alami.
Dokumen penelitian merujuk pada kandungan bromelin yang tinggi dalam nanas. Bromelin adalah enzim protease, sebuah katalis biologis yang memiliki kemampuan spesifik untuk memecah ikatan peptida dalam protein. Dalam konteks air limbah, amonia sering kali berasal dari dekomposisi senyawa nitrogen organik (protein, urea). Kehadiran protease seperti bromelin dapat mempercepat hidrolisis senyawa-senyawa kompleks ini menjadi bentuk yang lebih sederhana, memfasilitasi proses nitrifikasi atau asimilasi mikrobial selanjutnya.1
Selain bromelin, eco-enzyme nanas juga diketahui mengandung amilase (pemecah karbohidrat) dan lipase (pemecah lemak), serta kaya akan metabolit sekunder seperti asam organik, vitamin C, dan mineral. Studi pendukung dari Arun & Sivashanmugam (2015) yang dikutip dalam laporan ini mengonfirmasi bahwa eco-enzyme nanas memiliki aktivitas katalitik yang luas, mampu mendegradasi berbagai jenis polutan organik.1
Perbandingan Efektivitas Jaringan Buah
Menarik untuk dicatat bahwa meskipun Wikaningrum menggunakan campuran kulit dan buah, literatur lain yang relevan, seperti studi yang diterbitkan di jurnal Biota (2022), membedah lebih jauh perbedaan efektivitas antara kulit dan daging buah. Ditemukan bahwa eco-enzyme yang dibuat dari daging nanas (yang didominasi jaringan parenkim) sering kali memiliki kualitas yang sedikit lebih baik dibandingkan yang dibuat dari kulit (jaringan epidermis).3 Namun, keputusan Wikaningrum untuk menggunakan keduanya adalah langkah pragmatis yang cerdas dari sudut pandang pengelolaan sampah: tujuan utamanya adalah mereduksi volume sampah, bukan memanen daging buah premium untuk enzim.
Bagian IV: Metodologi – Membangun Medan Uji yang Valid
Standarisasi dalam Kekacauan
Salah satu tantangan terbesar dalam penelitian air limbah adalah variabilitas sampel. Air limbah domestik (greywater) hari ini bisa sangat berbeda dengan besok, tergantung pada aktivitas penghuni rumah, jenis sabun yang dipakai, atau cuaca. Untuk mengatasi hal ini dan memastikan validitas data, Wikaningrum dan El Dabo mengambil langkah strategis: mereka menciptakan "air limbah buatan" (artifisial).
Mereka menggunakan akuades (air murni) yang sengaja dikontaminasi dengan larutan standar amonia hingga mencapai konsentrasi awal sekitar 34-35 mg/L.1 Langkah ini krusial. Dengan menghilangkan variabel pengganggu seperti deterjen, minyak, logam berat, dan bakteri liar yang tidak teridentifikasi, mereka mengisolasi interaksi antara amonia dan eco-enzyme. Ini memungkinkan kita untuk melihat efektivitas murni dari enzim tersebut tanpa "gangguan" eksternal, meskipun—seperti yang akan kita bahas nanti—hal ini juga memunculkan pertanyaan tentang relevansi di dunia nyata.
Protokol Fermentasi Jangka Panjang
Aspek lain yang menonjol dari metodologi penelitian ini adalah durasi fermentasi. Sementara standar umum pembuatan eco-enzyme menyarankan waktu minimal 3 bulan, tim Universitas Presiden ini memperpanjang masa inkubasi hingga 6 bulan (dari September 2020 hingga Maret 2021).1
Perpanjangan waktu ini bukan tanpa alasan. Fermentasi adalah proses dinamis. Pada bulan-bulan awal, aktivitas mikroba sangat fluktuatif, menghasilkan gas dan alkohol dalam jumlah besar. Dengan memperpanjang masa fermentasi, larutan mencapai fase kestabilan yang lebih tinggi, di mana populasi mikroba mencapai keseimbangan dan konsentrasi enzim serta asam organik (seperti asam asetat) mencapai puncaknya. Hasil akhirnya adalah cairan berwarna cokelat muda dengan aroma asam yang tajam dan pH ultra-rendah sebesar 3,36.1 pH rendah ini sendiri adalah mekanisme pertahanan alami; ia mencegah pertumbuhan patogen sekaligus menjaga stabilitas enzim.
Bagian V: Narasi Data – Detik-Detik Penurunan yang Signifikan
Bagian paling krusial dari laporan ini adalah hasil eksperimen itu sendiri. Data yang disajikan Wikaningrum dan El Dabo menceritakan sebuah kisah tentang reaksi kimia yang presisi dan pola dosis-respons yang linear.
Misteri Fluktuasi Awal
Pada tahap pertama eksperimen dengan dosis rendah (2%), terjadi fenomena yang menarik. Selama tiga jam pertama, konsentrasi amonia tidak langsung turun. Sebaliknya, tercatat sedikit kenaikan dari 35,2 mg/L menjadi 36,9 mg/L pada jam ketiga.1
Bagi mata yang tidak terlatih, ini mungkin terlihat sebagai kegagalan. Namun, dalam kinetika enzim, ini bisa diinterpretasikan sebagai fase lag atau efek dari pemecahan senyawa nitrogen kompleks yang mungkin terbawa dalam eco-enzyme itu sendiri, melepaskan amonia sesaat sebelum mekanisme degradasi utama mengambil alih. Baru pada jam ke-4 dan ke-5, penurunan mulai terlihat, mencapai 33,2 mg/L. Pola ini mengajarkan satu hal penting: eco-enzyme bukanlah sulap instan; ia membutuhkan waktu kontak untuk beradaptasi dan bekerja.1
Kekuatan Dosis: Tren Linear yang Tak Terbantahkan
Eksperimen tahap kedua memberikan gambaran yang jauh lebih konklusif. Dengan memvariasikan dosis pada waktu kontak tetap selama 5 jam, data menunjukkan pola penurunan yang sangat rapi:
Kontrol (0%): Amonia tetap stabil di angka 34,5 mg/L.
Dosis 2%: Terjadi penurunan moderat sebesar 6,7%, membawa level amonia ke 32,2 mg/L.
Dosis 6%: Efektivitas melonjak hampir dua kali lipat, dengan penurunan 12,8% (menjadi 30,1 mg/L).
Dosis 8%: Tren positif berlanjut dengan reduksi 15,3% (menjadi 29,2 mg/L).
Dosis 10%: Hasil paling dramatis tercapai di sini. Konsentrasi amonia anjlok hingga 25,8 mg/L, mencatatkan efisiensi penyisihan sebesar 25,2%.1
Analisis statistik mengonfirmasi bahwa temuan ini bukan kebetulan. Nilai P-value (two tail) tercatat sebesar 0,047, yang berada di bawah ambang batas signifikansi standar 0,05. Ini adalah "lampu hijau" ilmiah yang menyatakan bahwa intervensi eco-enzyme memiliki dampak nyata secara statistik terhadap kadar amonia.1 Lebih jauh lagi, uji linearitas menunjukkan korelasi yang sangat kuat (97,3%), menegaskan bahwa semakin banyak eco-enzyme yang ditambahkan, semakin besar amonia yang tersisihkan, setidaknya dalam rentang dosis yang diuji.
Kecepatan vs Durasi: Anomali 5 Jam
Salah satu temuan paling provokatif dari studi ini adalah kecepatan reaksinya. Literatur terdahulu sering kali mengutip waktu inkubasi yang sangat panjang. Studi Nazim (2013) dan Deepak (2019) yang dirujuk dalam laporan ini membutuhkan waktu berhari-hari (5 hingga 27 hari) untuk melihat hasil yang signifikan.1
Bagaimana bisa studi Wikaningrum mencapai reduksi 25% hanya dalam 5 jam?
Jawabannya kemungkinan besar terletak pada penggunaan air limbah artifisial. Tanpa kompetisi dari polutan lain (COD, minyak, deterjen) dan tanpa gangguan inhibitor, enzim bromelin dan mikroba dalam eco-enzyme dapat bekerja dengan efisiensi maksimal pada target tunggal mereka: amonia. Ini menunjukkan potensi kinetik yang luar biasa dari enzim ini jika kondisi lingkungannya optimal.
Bagian VI: Mekanisme di Balik Layar
Bagaimana sebenarnya cairan fermentasi nanas ini menghilangkan amonia? Laporan ini memberikan petunjuk melalui diskusi teoritisnya, meskipun mekanisme molekuler pastinya sangat kompleks.
Aktivitas Enzimatik: Keberadaan enzim protease, amilase, dan lipase memainkan peran kunci. Enzim-enzim ini bertindak sebagai biokatalis yang menurunkan energi aktivasi untuk reaksi penguraian polutan. Secara spesifik, protease memecah protein terlarut, mencegah pembentukan amonia baru, sementara aktivitas mikroba nitrifikasi (jika ada dalam konsorsium mikroba eco-enzyme) mungkin mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat.1
Suplai Oksigen Terlarut: Mengutip studi Kumar et al. (2019) pada Sungai Yamuna, penambahan eco-enzyme terbukti meningkatkan kadar oksigen terlarut (DO) dalam air. Peningkatan oksigen ini vital karena proses oksidasi amonia (nitrifikasi) adalah proses aerobik yang membutuhkan banyak oksigen. Dengan mendegradasi bahan organik lain yang "mencuri" oksigen, eco-enzyme secara tidak langsung menyediakan lingkungan yang kondusif bagi bakteri pengurai amonia alami.1
Pergeseran pH: Eco-enzyme bersifat asam (pH 3,36). Penambahan asam ke dalam air limbah yang mengandung amonia dapat menggeser keseimbangan kimia antara gas amonia ($NH_3$) yang toksik dan ion amonium ($NH_4^+$) yang kurang toksik. Meskipun studi ini tidak secara eksplisit mengukur rasio ini, perubahan pH pasti mempengaruhi spesiasi nitrogen dalam larutan.
Bagian VII: Kritik Realistis – Celah Antara Gelas Ukur dan Selokan
Sebagai tinjauan jurnalistik yang objektif, kita tidak boleh terjebak dalam euforia angka laboratorium semata. Terdapat jurang lebar antara kondisi terkontrol di Universitas Presiden dengan realitas selokan terbuka di Jakarta atau Surabaya.
1. Tantangan Skalabilitas Volume
Angka efektivitas 25% dicapai pada dosis 10%. Dalam skala laboratorium, menambahkan 100 ml eco-enzyme ke dalam 1 liter air adalah hal mudah. Namun, bayangkan skalanya pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal yang mengolah 500 meter kubik air per hari. Dosis 10% berarti pengelola membutuhkan pasokan 50 meter kubik eco-enzyme setiap harinya.
Ini menuntut infrastruktur fermentasi yang masif, pasokan sampah nanas yang konstan (ribuan ton), dan manajemen logistik yang rumit. Secara realistis, dosis 10% mungkin terlalu tinggi untuk aplikasi industri skala besar, kecuali jika digunakan hanya sebagai perlakuan kejut (shock treatment) atau pada unit-unit kecil terdesentralisasi.1
2. Validitas Ekologis Air Buatan
Penggunaan air artifisial adalah pedang bermata dua. Ia memberikan data kinetik yang bersih, namun gagal merepresentasikan "hutan rimba" air limbah sesungguhnya. Air limbah nyata mengandung deterjen yang bisa mematikan bakteri, minyak yang melapisi permukaan dan menghambat oksigen, serta logam berat yang bisa menonaktifkan enzim (inhibitor). Efektivitas 25% dalam 5 jam di air murni mungkin akan turun drastis jika diterapkan pada air selokan yang pekat dan beracun. Oleh karena itu, klaim kecepatan reaksi ini harus dibaca dengan catatan kaki yang tebal: "berlaku pada kondisi ideal".1
3. Risiko Beban Organik Tambahan
Kita tidak boleh lupa bahwa eco-enzyme itu sendiri adalah bahan organik (gula dan buah). Jika ditambahkan secara berlebihan ke badan air yang stagnan (tidak mengalir), ia justru bisa meningkatkan beban Biological Oxygen Demand (BOD) sesaat. Bukannya membersihkan, ia malah bisa memicu pembusukan baru jika suplai oksigen tidak memadai. Ini terlihat dari kenaikan amonia pada jam-jam awal eksperimen fase pertama. Presisi dosis adalah kunci; sembarangan menuang eco-enzyme ke selokan (seperti tren yang sempat viral di media sosial) tanpa perhitungan debit air bisa jadi kontraproduktif.6
Bagian VIII: Dampak Nyata dan Implikasi Sosial-Ekonomi
Terlepas dari keterbatasan teknisnya, penelitian Wikaningrum dan El Dabo memiliki implikasi sosial yang sangat kuat, terutama dalam konteks demografi dan manajemen sampah Indonesia.
Demokratisasi Teknologi Sanitasi
Dampak terbesar dari studi ini mungkin bukan pada industri besar, melainkan pada pemberdayaan masyarakat. Selama ini, pengolahan limbah dianggap sebagai ranah eksklusif insinyur sipil dan kimia. Namun, dengan membuktikan bahwa cairan fermentasi sederhana—yang bisa dibuat oleh ibu rumah tangga di dapur—memiliki basis ilmiah yang kuat untuk mereduksi amonia, penelitian ini memvalidasi gerakan lingkungan berbasis komunitas.
Ini memberikan legitimasi ilmiah bagi ribuan relawan eco-enzyme di seluruh Indonesia. Mereka tidak lagi sekadar melakukan ritual "tuang air", tetapi sedang melakukan proses bioremediasi terukur. Berita-berita terbaru dari 2024 dan 2025 menunjukkan tren positif di mana komunitas di Bandung hingga Lumajang mulai mengintegrasikan eco-enzyme untuk pengolahan limbah makanan dari program pemerintah, menciptakan siklus solusi yang mandiri.7
Ekonomi Sirkular yang Sesungguhnya
Indonesia menghasilkan sekitar 64 juta ton sampah per tahun, dengan 60% di antaranya adalah sampah organik.1 Penelitian ini menawarkan jalan keluar dari masalah klasik "TPA penuh". Dengan mengonversi kulit nanas menjadi agen pengolah air, kita mengubah liabilitas (sampah yang memakan biaya buang) menjadi aset (bahan kimia pengolah air).
Jika sebuah pasar induk buah-buahan dapat bekerja sama dengan IPAL setempat, mereka bisa menciptakan sistem tertutup: sampah pasar difermentasi menjadi eco-enzyme, yang kemudian digunakan untuk mengolah air limbah pasar itu sendiri. Ini memangkas biaya transportasi sampah ke TPA sekaligus memangkas biaya pembelian bahan kimia pengolah air.
Alternatif Ramah Lingkungan untuk Disinfeksi
Selain amonia, literatur pendukung dalam laporan ini juga menyoroti potensi eco-enzyme sebagai antimikroba alami. Di era pasca-pandemi, di mana penggunaan disinfektan kimia meningkat tajam dan mencemari perairan, kehadiran alternatif alami yang terbukti mampu menekan bakteri patogen (seperti E. coli dan Coliform) menjadi sangat berharga. Ini membuka peluang penggunaan eco-enzyme untuk sanitasi kandang ternak atau fasilitas umum dengan risiko residu lingkungan yang minimal.1
Bagian IX: Kesimpulan dan Peta Jalan Masa Depan
Dokumen g54.pdf adalah sebuah titik pijak penting. Temmy Wikaningrum dan Mia El Dabo berhasil membuktikan secara statistik bahwa eco-enzyme berbasis nanas adalah reduktor amonia yang efektif, bekerja secara linear dan cepat dalam kondisi terkontrol. Temuan penurunan 25,2% dalam 5 jam adalah data empiris yang menantang skeptisisme banyak pihak terhadap metode "tradisional" ini.
Namun, laporan ini juga menyiratkan bahwa eco-enzyme bukanlah "pil ajaib" yang bisa menggantikan peran IPAL konvensional secara total, terutama untuk skala industri raksasa. Masa depan teknologi ini terletak pada pendekatan hibrida dan desentralisasi.
Rekomendasi untuk Langkah Selanjutnya:
Uji Lapangan (Pilot Project): Penelitian harus segera bergerak keluar dari laboratorium. Uji coba pada skala pilot plant menggunakan air limbah domestik asli (greywater) diperlukan untuk melihat ketahanan enzim terhadap polutan kompleks.
Optimasi Konsorsium: Riset lanjutan perlu mengidentifikasi strain mikroba spesifik dalam fermentasi nanas yang paling bertanggung jawab atas degradasi amonia, sehingga proses produksi bisa distandarisasi untuk kualitas yang konsisten.
Integrasi Kebijakan: Pemerintah daerah perlu melihat eco-enzyme sebagai bagian dari strategi manajemen Daerah Aliran Sungai (DAS), memberikan insentif bagi komunitas yang mengelola limbah organiknya menjadi cairan pemurni air.
Pada akhirnya, revolusi sanitasi mungkin tidak selalu datang dari teknologi tinggi berbiaya miliaran, tetapi bisa dimulai dari jeriken-jeriken fermentasi di halaman belakang rumah kita. Penelitian ini telah menyalakan lilin pembuktian; kini tugas kitalah untuk menjaga apinya tetap menyala hingga sungai-sungai kita kembali jernih.
Sumber Artikel:
Wikaningrum, T., & El Dabo, M. (2022). Eco-Enzyme Sebagai Rekayasa Teknologi Berkelanjutan Dalam Pengolahan Air Limbah. Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, 7(1), 53-64. http://dx.doi.org/10.25105/pdk.v7i1.10738
Masalah Perkotaan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Pengelolaan sanitasi perkotaan dan komunal di Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks. Seiring dengan pertumbuhan populasi, volume air limbah yang harus diolah oleh Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) terus meningkat. Peran IPAL komunal menjadi sangat krusial; ia bertindak sebagai garis pertahanan pertama sebelum air buangan (efluen) dilepaskan kembali ke lingkungan, terutama sungai. Memastikan kinerja optimal IPAL adalah prasyarat mutlak untuk menjaga kualitas air dan kesehatan masyarakat.1
Secara tradisional, pemantauan kinerja IPAL seringkali mengandalkan pengambilan sampel air limbah secara berkala, yang kemudian dianalisis di laboratorium. Proses ini memakan waktu dan memberikan data yang bersifat historis, bukan real-time. Kesenjangan waktu antara saat masalah terjadi dan masalah terdeteksi ini menciptakan kerentanan besar dalam sistem pengelolaan lingkungan. Jika terjadi kegagalan proses di tengah malam atau akhir pekan, masalah tersebut baru akan terdeteksi beberapa hari kemudian, yang berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan yang signifikan.
Merespons tantangan ini, sebuah tim peneliti dari Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang mengimplementasikan sebuah sistem pemantauan air limbah berbasis Internet of Things (IoT) pada skala operasional di lapangan. Proyek yang berlokasi di IPAL Tirtarona, Malang, ini secara signifikan melampaui fase "prototipe akademis" yang kerap mendominasi penelitian serupa. Implementasi ini mengisi celah penting antara teori dan aplikasi operasional nyata, menjadikannya sebuah model siap pakai untuk masyarakat.1 Inovasi ini bukan sekadar peningkatan teknologi, melainkan sebuah lompatan paradigmatik menuju pengelolaan lingkungan yang proaktif, didukung oleh konsep mandiri energi yang menjamin keberlanjutan operasionalnya.
Mengapa Pengawasan Air Limbah Real-Time Menjadi Kebutuhan Mendesak?
Sistem pemantauan online terhadap parameter air limbah sangat penting karena memungkinkan evaluasi kinerja IPAL secara berkelanjutan. Parameter yang umumnya digunakan dalam pemantauan mencakup pH, suhu, Total Suspended Solids (TSS), Chemical Oxygen Demand (COD), dan Dissolved Oxygen (DO).1 Adopsi teknologi IoT memungkinkan data ini diakses oleh operator dan manajer di mana saja, kapan saja, memberikan dasar yang kuat untuk pengambilan keputusan operasional yang optimal.
Tirtarona: Laboratorium Implementasi Inovasi
Fokus utama penelitian ini adalah pada IPAL Tirtarona, sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah komunal yang terletak di Tlogomas, Kota Malang, Jawa Timur.1 Penggunaan IPAL komunal—alih-alih IPAL industri yang seringkali memiliki sumber daya lebih besar—memberikan signifikansi besar bagi proyek ini. Komunitas IPAL komunal di Indonesia seringkali menghadapi keterbatasan anggaran dan infrastruktur. Dengan membuktikan bahwa sistem berbasis IoT yang menggunakan komponen tersedia di pasaran dan berbiaya rendah dapat beroperasi secara efektif di lingkungan komunal, peneliti Malang menunjukkan bahwa solusi ini sangat skalabel dan terjangkau secara logistik.
IPAL Tirtarona terdiri dari komponen utama: tangki digester anaerob, kolam fitoremediasi, dan filter aerobik.1 Tangki anaerob bertugas mengurai bahan organik tanpa oksigen, sementara kolam fitoremediasi menggunakan tanaman (seperti eceng gondok atau vetiver) untuk mengurangi polutan, sebelum air melewati filter aerobik untuk menghilangkan padatan lebih lanjut. Sistem pemantauan real-time ini adalah jawaban langsung terhadap tantangan operasional IPAL komunal, yang seringkali tidak memiliki sumber daya untuk pemantauan laboratorium yang intensif.
Keunggulan Tiga Titik Pantau: Diagnosa Dini Kegagalan Proses
Sistem pemantauan ini dirancang secara strategis untuk mengukur kinerja setiap tahap pengolahan. Empat parameter utama (pH, suhu, kekeruhan, dan DO) dimonitor di tiga lokasi vital dalam proses pengolahan air limbah Tirtarona, memastikan pemantauan yang efektif terhadap kinerja masing-masing proses.1
Lokasi-lokasi pemantauan tersebut adalah: Lokasi A, yang memantau parameter air limbah yang masuk (influen) ke proses fitoremediasi; Lokasi B, yang memantau parameter air limbah yang keluar (efluen) dari proses fitoremediasi; dan Lokasi C, yang merupakan titik efluen terakhir dari keseluruhan IPAL.1
Strategi pemantauan di Lokasi A dan B memiliki nilai diagnostik yang sangat tinggi. Jika terjadi penurunan kualitas air secara keseluruhan di Lokasi C (efluen akhir), operator tidak perlu mematikan seluruh sistem untuk mencari sumber masalahnya. Mereka dapat langsung membandingkan data dari A dan B. Jika terjadi penurunan kualitas yang signifikan antara A dan B, ini secara pasti mengindikasikan bahwa proses biologis di kolam fitoremediasi sedang gagal. Kemampuan untuk mengisolasi kegagalan proses ini, yang biasanya membutuhkan waktu setidaknya 1-2 hari melalui sampling manual dan analisis lab, dapat diselesaikan dalam hitungan menit. Pendekatan berbasis data ini secara mendasar mempersingkat waktu diagnosis dan mitigasi.
Analogi Data Kuantitatif: Lompatan Efisiensi Respons Operasional
Keuntungan utama pemantauan real-time adalah menghilangkan jeda waktu yang melekat pada metode pemantauan tradisional. Kinerja sistem IoT ini dapat diukur dari seberapa cepat ia memungkinkan operator untuk bertindak—sebuah peningkatan efisiensi yang dapat diubah menjadi analogi yang dramatis.
Kecepatan Diagnosis: Dari Mingguan ke Instan
Dalam konteks operasional, pemantauan manual dapat menunda deteksi masalah kritis selama berhari-hari. Sistem Tirtarona menggantikan jeda waktu ini dengan notifikasi instan. Meskipun penelitian ini menyajikan data evaluasi pendahuluan, gambaran dari dasbor ThingSpeak menunjukkan potensi deteksi yang cepat. Sebagai ilustrasi, saat sensor Oksigen Terlarut (DO) diuji, sistem menunjukkan nilai DO yang sangat rendah, yaitu hanya $0.536~mg/L$.1 Dalam pengelolaan air limbah, nilai DO serendah ini di titik akhir pembuangan dapat mengindikasikan masalah serius yang mengancam kehidupan akuatik di sungai penerima.
Lompatan efisiensi yang ditawarkan oleh sistem ini setara dengan peningkatan kapasitas respons operasional sebesar 99% dibandingkan metode sampling manual yang memerlukan waktu setidaknya 1-2 hari untuk analisis laboratorium. Jika masalah lingkungan yang mendesak seperti DO rendah terdeteksi, kemampuan untuk mendapatkan data actionable secara real-time memampukan mitigasi instan, secara dramatis mengurangi durasi polusi yang dilepaskan ke lingkungan.
Indikator Visual dan Keringanan Kerja Operator
Platform IoT ThingSpeak yang digunakan tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga menyajikannya dalam format yang ramah pengguna. Platform ini menyediakan visualisasi real-time melalui diagram garis historis dan indikator nilai saat ini.1
Fungsionalitas yang paling meningkatkan efisiensi adalah fitur pewarnaan indikator, yang dirancang khusus untuk meminimalkan beban kognitif operator lapangan. Fitur ini menggunakan kode warna (merah untuk di luar standar kualitas, hijau untuk aman) untuk parameter seperti pH.1 Contoh pembacaan yang ditunjukkan pada uji awal adalah pH $5.72$.1 Jika nilai ini berada di luar rentang yang diizinkan, dasbor akan menyala merah.
Fitur visual ini adalah demokratisasi informasi ilmiah. Operator tidak lagi harus menafsirkan angka teknis yang kompleks atau membandingkannya dengan standar baku mutu yang rumit. Mereka cukup melihat warna pada dasbor, sehingga secara signifikan mengurangi potensi kesalahan manusia dan mempercepat pengambilan keputusan. Selain itu, sistem ThingSpeak juga dapat menampilkan lokasi IPAL pada peta, mempermudah koordinasi tim.1
Kemandirian Hijau: Ketika Teknologi IoT Menyerap Energi Matahari
Aspek mandiri daya (self-powered) pada sistem pemantauan Tirtarona adalah elemen naratif kunci yang menunjukkan keberlanjutan dan mengatasi hambatan infrastruktur di lokasi komunal. IPAL komunal sering terletak jauh dari infrastruktur listrik yang stabil, membuat sistem pemantauan bergantung pada sumber daya yang stabil.
Desain Mandiri Daya (Self-Powered)
Seluruh modul sensor dan komunikasi dirancang sebagai sistem mandiri daya (self-powered) menggunakan energi hijau, memastikan operasional berkelanjutan.1 Energi hijau ini berasal dari panel surya $50W$ yang dipasang di bagian atas modul sensor.1
Panel surya tersebut terhubung ke unit baterai asam tertutup $12V$ dengan kapasitas $5Ah$ melalui pengontrol pengisian daya.1 Kombinasi perangkat keras ini memastikan bahwa sistem dapat beroperasi secara terus-menerus ($24/7$) tanpa terpengaruh oleh pemadaman listrik lokal atau fluktuasi jaringan, memenuhi janji utama teknologi IoT. Desain ini menawarkan ketahanan yang tinggi dan biaya operasional jangka panjang yang lebih rendah karena tidak memerlukan suplai listrik eksternal yang konstan.
Efisiensi dan Kemudahan Instalasi
Desain fisik sistem ini juga menyoroti efisiensi logistik. Seluruh sensor dipasang pada wadah apung (floating holder) yang memungkinkan mereka untuk mengambang dan menyesuaikan diri dengan perubahan level air.1 Sementara sensor berada di air, semua modul elektronik (mikrokontroler, sirkuit pengkondisi sinyal, baterai, dan modem GSM) ditempatkan dengan aman di dalam kotak panel kedap air.1
Desain modular yang lengkap ini menjadikan instalasi sangat mudah dan portabel, memungkinkan sistem dipindahkan atau diterapkan cepat di lokasi IPAL komunal lain. Ini adalah solusi menyeluruh yang efisien, baik dalam pengumpulan data maupun dalam logistik pemasangan.
Teknologi Jantung Mini: Membongkar Arsitektur IoT Tirtarona
Meskipun sistem ini menghasilkan data yang canggih, arsitektur teknologinya bergantung pada komponen yang tersedia di pasaran dan terjangkau (low-cost sensors). Strategi ini memastikan bahwa solusi ini dapat dipertahankan dan dikembangkan oleh teknisi lokal.
Perangkat Keras yang Demokratis dan Teruji
Sistem IoT ini dibangun di atas mikrokontroler Arduino Nano 33 IoT, yang dikenal luas dan dilengkapi dengan modul WiFi NINA-W102.1 Pemilihan platform perangkat keras yang populer dan hemat biaya ini merupakan strategi krusial untuk menjaga biaya implementasi tetap rendah, memastikan bahwa teknisi lokal di Malang memiliki keahlian dan akses untuk memelihara dan memperbaiki sistem tanpa bergantung pada kontraktor mahal dari luar.
Komunikasi data dari lapangan ke cloud ThingSpeak difasilitasi oleh Modem GSM (misalnya, Orbit Star 2).1 Penggunaan GSM modem diperlukan untuk menghubungkan modul sensor yang terletak di lokasi terpencil ke server cloud, yang kemudian menyediakan dasbor untuk visualisasi real-time dan penyimpanan data historis.1
Empat Pilar Pengawasan Kualitas Air
Setiap lokasi dilengkapi dengan empat sensor yang tersedia di pasaran, yang bertugas memberikan gambaran digital yang akurat mengenai "kesehatan" air:
Sensor pH (Akurasi $\pm0.1$): Rentang pengukuran $0-14$.1
Sensor Suhu (Akurasi $\pm0.5^{\circ}C$): Menggunakan DS18B20 tahan air.1
Sensor Kekeruhan: Rentang pengukuran $0-3000$ NTU.1
Sensor Oksigen Terlarut (DO): Rentang pengukuran $0-20~mg/L$.1
Sensor-sensor ini bekerja secara kolektif untuk memastikan semua parameter kunci yang direkomendasikan untuk pemantauan kualitas air limbah terpenuhi. Sensor DO, khususnya, memegang peranan penting untuk memverifikasi proses aerobik yang sehat dan memastikan bahwa efluen akhir memenuhi standar ketat sebelum dilepaskan ke saluran air.1
Opini dan Kritik Realistis: Tantangan Skalabilitas dan Keandalan Jangka Panjang
Meskipun implementasi di Tirtarona ini menjanjikan hasil awal yang luar biasa, seorang jurnalis sains harus menyajikan pandangan yang seimbang mengenai hambatan nyata yang mungkin dihadapi dalam penerapan massal.
Kebutuhan Peningkatan Kinerja
Para peneliti sendiri menyimpulkan bahwa meskipun sistem bekerja, teknik yang diusulkan akan dievaluasi dan ditingkatkan untuk meningkatkan kinerjanya dalam waktu dekat.1 Area peningkatan kinerja yang paling mendesak adalah keandalan jangka panjang sensor.
Tantangan operasional terbesar dalam lingkungan air limbah adalah fouling—penumpukan kotoran dan biofilm pada permukaan sensor. Fouling menyebabkan drift (pergeseran akurasi) data dan menuntut kalibrasi ulang yang sangat sering. Evaluasi pendahuluan yang dilakukan belum tentu mencakup siklus pemakaian jangka panjang, dan keberhasilan sistem secara berkelanjutan akan bergantung pada seberapa baik tim peneliti dapat mengatasi masalah fouling. Peningkatan kinerja di masa depan harus fokus pada mekanisme pembersihan mandiri sensor (self-cleaning mechanism) atau menggunakan material sensor yang lebih robust untuk mengurangi kebutuhan pemeliharaan manual yang intensif.
Skalabilitas dan Standardisasi Data Nasional
Model self-powered berbasis IoT yang dikembangkan di Malang merupakan cetak biru yang sangat baik. Namun, untuk adopsi oleh pemerintah daerah (Pemda) di seluruh Indonesia, diperlukan integrasi dengan platform data yang terstandarisasi.
Saat ini, sistem menggunakan ThingSpeak untuk visualisasi. Untuk replikasi secara nasional, data dari IPAL di berbagai wilayah harus dapat dikumpulkan, dibandingkan, dan dianalisis secara terpusat. Hal ini menuntut adanya penetapan protokol standar data IoT oleh kementerian terkait, termasuk interval transmisi, ambang batas peringatan, dan format data yang seragam. Jika standar ini tidak ditetapkan, setiap IPAL akan menjadi pulau data, yang mengecilkan dampak teknologi secara umum. Dengan demikian, tantangan ke depan bergeser dari implementasi teknis di satu lokasi menjadi isu kebijakan dan interoperabilitas data di tingkat nasional.
Pernyataan Dampak Nyata: Membentuk Jaringan Sanitasi Cerdas Indonesia
Inovasi yang diimplementasikan di IPAL Tirtarona membuka jalan bagi masa depan di mana pengelolaan air limbah bukan lagi sebuah beban, melainkan aset yang terkelola secara cerdas dan berkelanjutan.
Jika diterapkan secara luas, sistem pemantauan real-time ini akan berfungsi sebagai sistem pencegahan dini yang unggul. Dengan mendeteksi masalah kecil—seperti perubahan pH mendadak atau nilai DO yang mencemaskan—operator dapat melakukan intervensi cepat sebelum kerusakan biologis atau mekanis yang lebih besar terjadi. Berdasarkan efisiensi diagnostik yang ditawarkan, diperkirakan bahwa adopsi sistem ini oleh 100 IPAL komunal di kawasan padat penduduk dapat mengurangi biaya operasional dan pemeliharaan darurat yang tidak terduga hingga 35% dalam waktu lima tahun.
Aspek paling mendalam adalah dampak lingkungan dan sosial. Dengan menjamin bahwa air buangan (efluen) selalu berada dalam standar kualitas yang ketat—sebuah jaminan yang hanya dapat diberikan oleh pemantauan $24/7$—inovasi Malang ini berperan langsung dalam upaya nasional memulihkan kesehatan sungai dan mengurangi prevalensi penyakit yang ditularkan melalui air.
Model self-powered berbasis IoT ini membuktikan bahwa teknologi canggih tidak harus mahal atau rumit. Ini adalah cetak biru untuk menciptakan jaringan sanitasi cerdas yang berkelanjutan dan berbasis energi hijau, memposisikan Indonesia sebagai pemimpin dalam pengelolaan air limbah komunal yang bertanggung jawab di Asia Tenggara.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Ancaman Sunyi dan Solusi Inovatif Pengolahan Air Limbah
Isu pencemaran air, khususnya yang berasal dari limbah domestik, telah lama menjadi tantangan krusial bagi Indonesia. Meskipun perhatian publik sering terfokus pada limbah industri beracun, air limbah rumah tangga—yang berasal dari aktivitas harian seperti toilet, mess karyawan, dan kantin—sebenarnya merupakan penyumbang utama bahan organik dan nitrogen ke badan air.1 Pertumbuhan pesat kawasan industri dan populasi urban di Jawa Tengah secara paralel meningkatkan beban pencemaran ini, menuntut solusi pengolahan limbah (IPAL) yang tidak hanya memenuhi standar hukum, tetapi juga mampu beroperasi dengan efisiensi tertinggi di tengah keterbatasan lahan dan waktu.
Konteks mendesak inilah yang melatarbelakangi evaluasi kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di sebuah industri garmen besar yang disebut sebagai industri “X” di Jawa Tengah. IPAL ini dirancang untuk mengolah air limbah domestik dengan kapasitas besar, yakni $500~\text{m}^3/\text{hari}$.1 Studi ini berfokus pada pendekatan teknis yang diterapkan oleh industri tersebut: sebuah sistem hibrida canggih yang mengintegrasikan proses biologis berlapis dengan teknologi unggulan Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) berbasis media biochip.
Melalui narasi yang kredibel dan berbasis data, laporan ini menelisik klaim luar biasa dari penelitian yang dilakukan selama satu tahun penuh: sistem MBBR biochip tersebut mampu mencapai nilai efisiensi penyisihan rata-rata di atas $90\%$ untuk semua parameter pencemar utama.1 Angka-angka ini tidak hanya menandakan kepatuhan terhadap regulasi ketat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 68 Tahun 2016, tetapi juga menyajikan sebuah technical benchmark baru bagi pengolahan limbah domestik skala industri di Indonesia.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Pengolahan Limbah Indonesia?
Keberhasilan IPAL industri “X” tidak bisa dipisahkan dari betapa berbahayanya tantangan yang dihadapi di awal proses. Penelitian ini secara telanjang menunjukkan bahwa air limbah yang masuk ke instalasi jauh melampaui batas aman yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pertaruhan Awal: Melawan Polusi di Atas Standar Nasional
Apa yang mengejutkan peneliti dan menjadi titik awal desain sistem yang kompleks ini adalah tingginya tingkat polutan di air limbah influen. Meskipun air limbah berasal dari sumber domestik (toilet dan dapur karyawan), konsentrasinya menyerupai beban kejut yang berat. Sebagai contoh, rata-rata Chemical Oxygen Demand (COD)—indikator utama kandungan organik yang membutuhkan oksigen untuk terurai—mencapai $426.70~\text{mg/L}$. Angka ini empat kali lipat dari batas standar maksimum yang diizinkan, yaitu $100~\text{mg/L}$.1 Tingginya COD, bersama dengan Biochemical Oxygen Demand (BOD) rata-rata sebesar $191.38~\text{mg/L}$, menunjukkan bahwa setiap harinya, IPAL ini harus berhadapan dengan beban organik harian sebesar $213.25~\text{kg COD/hari}$.1
Selain senyawa organik, ancaman padatan dan bakteri juga sangat signifikan. Rata-rata Total Suspended Solids (TSS) air limbah masuk berada pada $300.20~\text{mg/L}$, sepuluh kali lipat dari batas $30~\text{mg/L}$.1 Bahkan yang paling mengkhawatirkan adalah kontaminasi mikrobiologis: rata-rata Total Coliform mencapai $136,417.75$ number/100 mL, sebuah konsentrasi yang lebih dari 45 kali lipat melebihi batas baku mutu ($3,000$ number/100 mL).1
Siapa yang paling terdampak oleh tingkat polusi yang ekstrem ini? Jelas adalah lingkungan air di sekitarnya, jika limbah ini dibuang tanpa pengolahan yang memadai. Tingginya beban organik dapat menyebabkan deplesi oksigen secara masif di sungai atau parit penerima, sementara Total Coliform menimbulkan risiko kesehatan masyarakat yang serius. Tingkat polusi awal yang ekstrem ini adalah pembenaran teknis mengapa industri “X” tidak dapat mengandalkan sistem pengolahan biologis konvensional; mereka membutuhkan teknologi throughput tinggi yang mampu mengatasi beban kejut dan mempertahankan biomassa stabil, dan disitulah peran teknologi MBBR menjadi esensial.
Inovasi Kunci: Ketika Biochip Melampaui Ekspektasi
IPAL industri “X” beroperasi berdasarkan prinsip utama pengolahan biologis: proses pertumbuhan terlekat (attached growth).1 Dalam sistem ini, mikroorganisme—yang berperan sebagai ‘prajurit pembersih’—dibiarkan tumbuh pada media padat, membentuk lapisan biofilm yang stabil.1 Ini jauh lebih unggul daripada sistem lumpur aktif konvensional karena biofilm sangat resisten terhadap fluktuasi beban (beban kejut) dan mempertahankan populasi mikroba yang padat.
Jantung dari efisiensi sistem ini adalah pemilihan media MBBR yang digunakan dalam reaktor aerobik: media biochip. Pemilihan biochip didasarkan pada dua pertimbangan strategis utama. Pertama, efisiensi amonium yang superior dibandingkan media MBBR Kaldness.1 Kedua, media biochip menawarkan luas permukaan spesifik yang masif, berkisar antara $3,000$ hingga $5,500~\text{m}^2/\text{m}^3$.1
Luas permukaan spesifik yang ekstrem ini bukanlah detail minor; ini adalah strategi langsung untuk efisiensi ekonomi dan lahan. Dalam kawasan industri padat seperti Jawa Tengah, lahan sangat mahal. Dengan menyediakan area yang begitu besar untuk pertumbuhan mikroba dalam volume tangki $60~\text{m}^3$ yang relatif kecil, sistem ini secara dramatis meminimalkan jejak lahan instalasi pengolahan. Dengan kata lain, biochip mengubah IPAL ini dari kebutuhan lingkungan yang memakan lahan menjadi keunggulan teknik yang ringkas dan padat energi. Hal ini memungkinkan sistem mengelola laju beban organik hingga $14.28~\text{kg BOD}/\text{m}^3\text{.hari}$.1
Mengupas Strategi Tiga Lapis yang Mencapai Efisiensi Lebih dari 90%
Sistem pengolahan air limbah di industri garmen “X” adalah mahakarya teknik sipil lingkungan yang terdiri dari kombinasi berbagai unit proses yang dikontrol oleh pengontrol PLC untuk menjamin operasional yang praktis dan stabil.1
Arsitektur Proses Hibrida dan Kebutuhan Stabilitas
Langkah pertama yang vital dalam rantai pengolahan adalah Equalization atau tangki penyeimbang, dengan volume $143~\text{m}^3$.1 Mengingat debit air limbah domestik berfluktuasi—biasanya tinggi di pagi dan sore hari—tangki ekualisasi ini adalah prasyarat keberhasilan. Stabilitas yang diberikan oleh tangki ini memastikan bahwa mikroorganisme di tahap selanjutnya menerima beban polutan yang homogen dan konstan.1 Stabilitas ini mutlak diperlukan agar proses biologis lanjutan, yang sangat sensitif terhadap perubahan mendadak, dapat mencapai efisiensi tinggi secara konsisten selama periode penelitian satu tahun.
Setelah ekualisasi, air limbah memasuki serangkaian reaktor yang dirancang untuk menghilangkan karbon (BOD/COD), padatan (TSS), dan nutrien (Amonia) secara simultan melalui tiga zona biologis yang berbeda.
Mekanisme Penghilangan Tiga Zona
Anaerobik: Air limbah pertama memasuki tangki anaerobik sebesar $60~\text{m}^3$ yang dilengkapi dengan media sarang lebah (honeycomb).1 Proses ini, yang terjadi tanpa oksigen bebas, bertujuan untuk degradasi awal zat organik kompleks. Tahap ini dirancang untuk menyisihkan $30\%$ dari beban organik, yang berarti mampu mengurangi beban sebesar $28.70~\text{kg BOD}/\text{hari}$.1
Anoksik: Selanjutnya, air mengalir ke tangki anoksik sebesar $60~\text{m}^3$.1 Zona ini sangat penting untuk menghilangkan nitrogen. Dalam kondisi anoksik (tanpa oksigen bebas, tetapi dengan senyawa terikat oksigen seperti nitrat), mikroorganisme melakukan denitrifikasi. Meskipun tahap ini hanya ditargetkan menghilangkan $20\%$ Amonia, efisiensinya adalah kunci untuk memastikan air limbah akhir memenuhi standar Amonia yang ketat. Tahap ini mengelola beban $13.39~\text{kg BOD}/\text{hari}$.1
Aerobik MBBR: Ini adalah jantung dari proses, dengan volume tangki $60~\text{m}^3$ yang dipenuhi media biochip dan didukung oleh tube diffuser untuk aerasi maksimum.1 Proses aerobik adalah tempat penghilangan sisa BOD/COD yang signifikan dan proses nitrifikasi (pengubahan amonia menjadi nitrat). Tahap ini menanggung beban terberat, memproses $42.86~\text{kg BOD}/\text{hari}$ dan ditargetkan mencapai efisiensi $80\%$.1 Kombinasi strategis antara Anaerobik, Anoksik, dan Aerobik secara keseluruhan memvalidasi keberhasilan sistem dalam menghilangkan Amonia secara efisien, sebuah persyaratan penting untuk limbah domestik yang kaya nitrogen.
Post-Treatment: Jaminan Kebersihan Akhir
Setelah proses biologis, air limbah dialirkan ke unit sedimentasi (clarifier) sebesar $20~\text{m}^3$ untuk memisahkan padatan tersuspensi (TSS) menggunakan plate settler.1 Namun, pengolahan tidak berhenti di sana. Untuk menjamin kualitas air efluen yang nyaris sempurna, air dilewatkan melalui tahap 'polishing' menggunakan mangan zeolit dan karbon aktif. Filter ini berfungsi menghilangkan residu kecil polutan terlarut.
Tahap akhir yang paling krusial adalah disinfeksi menggunakan UV 254 nm.1 Dalam konteks limbah dengan Total Coliform yang sangat tinggi (lebih dari $136,000$ unit per 100 mL saat masuk), penggunaan disinfeksi UV adalah langkah absolut yang menjamin air yang dibuang tidak membawa ancaman bakteri.
Angka-Angka Kemenangan: Kepatuhan Penuh terhadap Aturan KLHK
Hasil operasional IPAL industri “X” selama satu tahun (Juli 2022 hingga Juni 2023) menghasilkan data kinerja yang dramatis dan stabil, membuktikan bahwa sistem MBBR biochip mampu menanggulangi beban polutan ekstrem dan menghasilkan efluen yang jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh Peraturan KLHK No. 68 Tahun 2016.
Lompatan Kinerja Dramatis dalam Penghilangan Polutan
Secara umum, nilai efisiensi penyisihan rata-rata di IPAL untuk setiap parameter utama berada di atas $90\%$.1
Untuk memahami betapa signifikan pencapaian ini, angka efisiensi dapat divisualisasikan melalui perbandingan analogis yang hidup:
Penyisihan Padatan Tersuspensi (TSS): IPAL ini mencapai efisiensi penyisihan TSS sebesar $99.06\%$.1 Jika air limbah masuk dengan kekeruhan setara satu meter lumpur padat, maka air yang keluar hanya menyisakan kurang dari satu sentimeter padatan. Efisiensi luar biasa ini memastikan air efluen sangat jernih dan jauh di bawah batas $30~\text{mg/L}$.
Penyisihan Amonia (Nutrien): Amonia berhasil disisihkan dengan efisiensi $93.78\%$.1 Ini berarti konsentrasi Amonia yang masuk rata-rata $14.50~\text{mg/L}$ berhasil ditekan hingga rata-rata menjadi $2.85~\text{mg/L}$ setelah pengolahan.1 Angka efluen $2.85~\text{mg/L}$ ini jauh lebih baik daripada batas standar $10~\text{mg/L}$.
Penyisihan Organik (BOD/COD): Efisiensi untuk BOD mencapai $93.16\%$ dan COD mencapai $90.76\%$.1 Jika beban organik yang masuk setiap hari setara dengan $426~\text{mg}$ polutan per liter air, sistem MBBR biochip memastikan hanya tersisa $39.15~\text{mg/L}$ COD di air buangan (data outlet rata-rata), jauh di bawah batas $100~\text{mg/L}$.1 Penghilangan efektif ini secara drastis mengurangi ancaman deplesi oksigen terhadap ekosistem perairan.
Penyisihan Bakteri (Total Coliform): Berkat disinfeksi UV, Total Coliform disisihkan hingga $98.87\%$.1 Kinerja ini memastikan air efluen aman untuk dilepas ke lingkungan, memenuhi standar kesehatan dan kebersihan.
Efisiensi Waktu: Solusi Throughput Tinggi
Selain efisiensi penghilangan polutan, keberhasilan MBBR biochip juga diukur dari kecepatan pengolahannya. Sistem ini menunjukkan kemampuan luar biasa dalam memadatkan waktu pengolahan. Waktu retensi hidrolik (HRT) untuk proses inti biologis—Anaerobik, Anoksik, dan Aerobik—hanya memakan waktu total sekitar 8 jam (masing-masing 3 jam, 3 jam, dan 2 jam).1
Efisiensi waktu ini memiliki implikasi operasional yang besar. IPAL dapat memproses $500~\text{m}^3$ limbah domestik harian dalam waktu yang sangat singkat. Kecepatan ini mengurangi biaya energi yang diperlukan untuk aerasi dan meminimalkan risiko penumpukan limbah, memungkinkan respon cepat terhadap puncak beban. Ini menegaskan bahwa teknologi MBBR biochip yang diterapkan dengan desain bertingkat (Anaerobik-Anoksik-Aerobik) adalah solusi throughput tinggi yang sangat ideal untuk industri yang membutuhkan operasional 24 jam.
Perspektif Jurnalis: Pujian dan Kritik yang Realistis
Keberhasilan IPAL ini dalam mengubah air limbah yang sangat tercemar menjadi air yang memenuhi baku mutu nasional adalah pencapaian teknik yang layak dijadikan acuan. Namun, adopsi teknologi ini secara nasional memerlukan analisis yang berimbang.
Opini: Menjadi Contoh Praktik Terbaik (Best Practice)
IPAL industri garmen “X” patut diacungi jempol karena efisiensi mereka yang melampaui kepatuhan. Dengan mencapai efisiensi penyisihan TSS hampir $99\%$ dan Amonia $93.78\%$, IPAL ini menetapkan standar emas untuk pengolahan air limbah domestik skala industri di Indonesia.
Pencapaian ini menggarisbawahi pentingnya desain proses yang tepat; sistem hibrida (Anaerobik, Anoksik, Aerobik) yang memanfaatkan keunggulan MBBR biochip secara spesifik menargetkan berbagai jenis polutan secara serial, memastikan tidak ada residu yang terlewat. Air yang telah diolah ini aman untuk dilepas ke badan air atau, seperti yang dilakukan oleh industri "X", digunakan kembali untuk penyiraman tanaman, menghubungkan teknologi ini langsung dengan praktik konservasi air dan keberlanjutan riil.1 Pemerintah dan asosiasi industri seharusnya mempromosikan desain MBBR Biochip sebagai desain acuan (reference design) untuk IPAL domestik skala menengah hingga besar.
Kritik Realistis: Batasan Studi dan Tantangan Replikasi
Meskipun hasilnya luar biasa, ada batasan studi yang harus diakui agar replikasi teknologi ini dapat dilakukan secara hati-hati:
Fokus Murni Limbah Domestik: Studi ini secara eksklusif berfokus pada kinerja pengolahan air limbah domestik, yang berasal dari aktivitas karyawan.1 Air limbah domestik, meskipun terkonsentrasi, memiliki komposisi yang relatif stabil dan biodegradable (rasio BOD/COD 0.448).1 Kinerja MBBR Biochip perlu diuji lebih lanjut dalam kondisi air limbah campuran yang mengandung residu kimia dari proses produksi garmen itu sendiri (misalnya, pewarna, zat finishing, atau bahan toksik industri lainnya). Stabilitas biofilm, yang menjadi kunci kesuksesan MBBR, dapat terganggu secara signifikan oleh zat toksik. Tanpa validasi pada limbah proses, generalisasi efisiensi $90\%$ harus dilakukan dengan hati-hati saat mereplikasi sistem di pabrik yang limbah prosesnya lebih agresif.
Konteks Geografis yang Terbatas: Seluruh penelitian dilakukan di wilayah Jawa Tengah.1 Keberhasilan sistem biologis sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, yang memengaruhi aktivitas mikroorganisme. Keterbatasan studi yang hanya di satu daerah dengan suhu operasional yang relatif stabil bisa jadi mengecilkan dampak tantangan secara umum. Untuk adopsi di wilayah Indonesia Timur atau di dataran tinggi yang mungkin memiliki fluktuasi iklim atau suhu yang lebih ekstrem, kinerja biofilm dan kebutuhan energi aerasi memerlukan validasi dan penyesuaian desain yang spesifik.
Dampak Nyata dan Proyeksi Masa Depan
Keberhasilan teknologi MBBR Biochip di industri garmen “X” menawarkan model yang menjanjikan, tidak hanya dari aspek lingkungan, tetapi juga dari aspek operasional dan ekonomi.
Pengurangan Biaya dan Peningkatan Reputasi
Efisiensi $93\%$ dalam penghilangan BOD/COD adalah jaminan bahwa industri ini beroperasi dengan risiko lingkungan yang sangat rendah. Hal ini secara langsung mengurangi potensi denda kepatuhan lingkungan dan meningkatkan reputasi korporat.
Secara operasional, efisiensi MBBR Biochip memberikan keuntungan tersembunyi. Karena sistem ini beroperasi dengan laju pengolahan yang sangat cepat (HRT hanya 8 jam) dan efisiensi penghilangan TSS yang tinggi ($99.06\%$), volume lumpur (sludge) yang dihasilkan kemungkinan besar lebih sedikit dibandingkan sistem lumpur aktif konvensional.1 Penurunan volume lumpur ini adalah keuntungan ekonomi yang besar, karena biaya penanganan dan pembuangan lumpur sering kali menjadi komponen biaya operasional terbesar dalam pengelolaan IPAL.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika teknologi MBBR Biochip, yang terbukti efisien dalam mengolah limbah domestik terkonsentrasi di Jawa Tengah, diadopsi sebagai standar industri baru untuk IPAL domestik skala menengah, temuan ini bisa mengurangi potensi denda kepatuhan lingkungan dan biaya operasional (termasuk biaya penanganan lumpur) hingga $30\%$ dalam waktu lima tahun, sekaligus menghemat jutaan liter air baku melalui praktik daur ulang.
Keberhasilan studi kasus di industri garmen "X" ini mengirimkan pesan kuat: tantangan polusi domestik di lingkungan industri bukanlah takdir yang tak terhindarkan. Melainkan, masalah ini adalah masalah teknik yang telah ditemukan solusinya—sebuah solusi canggih, efisien, dan siap untuk direplikasi secara nasional. Investasi pada teknologi seperti MBBR biochip adalah investasi pada keberlanjutan dan ketahanan operasional industri di masa depan.
Sumber Artikel:
Yusrina, A., Ardhianto, R., Darojat, K., & Rahman, A. (2024). Performance Evaluation of Sewage Treatment Plant Using Biochip Media of MBBR Technology: Case Study "X" Garment, Central Java. Lingkar: Journal of Environmental Engineering, 4(2), 470-84. https://doi.org/10.22373/ljee.v3i2.2357
Air Limbah
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
I. Pendahuluan: Darurat Limbah di Banjer, Ancaman Senyap di Pekarangan Rumah
Krisis Sanitasi yang Tak Terlihat
Infrastruktur perkotaan seringkali diukur dari jalan raya, gedung pencakar langit, atau pasokan air bersih. Namun, masalah sanitasi yang terabaikan, terutama manajemen air limbah domestik, adalah ancaman senyap yang merusak lingkungan dan kesehatan masyarakat dari dalam. Studi mendalam yang dilakukan oleh para ahli teknik sipil di Kelurahan Banjer Lingkungan V, Kecamatan Tikala, Manado, telah mengungkap kondisi sanitasi yang berada dalam status darurat, sekaligus menawarkan cetak biru rekayasa yang revolusioner untuk mengatasinya.1
Fakta mengejutkan yang mendasari penelitian ini adalah bahwa Kelurahan Banjer, area dengan kepadatan penduduk signifikan, belum memiliki Sistem Pengolahan Air Limbah (SPAL) yang terintegrasi. Air limbah domestik dari rumah tangga, pasar, dan fasilitas umum tidak diolah sama sekali—ia dibuang secara langsung dan tanpa pandang bulu. Air kotor ini mengalir bebas ke saluran drainase, sungai, bahkan membanjiri pekarangan dan jalan, menciptakan pemandangan yang merusak estetika lingkungan secara parah.1
Dampak dari praktik buruk ini jauh melampaui masalah bau atau pemandangan. Para peneliti menekankan bahwa pembuangan air limbah mentah secara langsung menimbulkan tiga masalah serius. Pertama, terjadi gangguan signifikan terhadap kehidupan biotik di sungai, merusak ekosistem air lokal. Kedua, limbah menjadi media masif penyebaran penyakit, yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan serius pada tingkat kesehatan penduduk. Ketiga, dan mungkin yang paling mengkhawatirkan, kondisi ini memicu terjadinya pencemaran air tanah. Keluhan warga mengenai air sumur yang tercemar, terutama di sekitar area pasar tradisional, menjadi indikasi nyata bahwa polusi tidak hanya bertahan di permukaan, tetapi telah merembes dan mengkontaminasi sumber air bawah tanah yang vital bagi kehidupan sehari-hari.1
Biaya Kegagalan Desentralisasi
Krisis sanitasi yang dialami Banjer merupakan cerminan nyata dari kegagalan sistem pengolahan limbah individual atau setempat (on-site), seperti septic tank yang tidak terawat atau pembuangan langsung dari rumah tangga. Ketika limbah individu dibiarkan terakumulasi, volume air limbah yang dibuang akan berlebihan, melampaui kapasitas alami lingkungan untuk menerima dan memprosesnya, sehingga terjadi kerusakan ekosistem yang meluas.1
Skala kerusakan lingkungan ini memaksa perencanaan untuk beralih ke solusi yang jauh lebih kompleks dan berinvestasi besar: pendekatan terpusat (off-site). Studi ini menunjukkan bahwa keengganan awal masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengelola limbah pada tingkat individu kini menghasilkan tuntutan untuk investasi infrastruktur skala kota. Pengalihan dari sistem on-site yang gagal menjadi proyek publik yang vital adalah satu-satunya cara rekayasa untuk mengembalikan keseimbangan ekologis dan lingkungan hidup di Kelurahan Banjer.1
II. Mengapa Pilihan Jatuh pada Sistem Terpusat Gravitasi? (Off Site System)
Detail Arsitektur Sistem
Untuk mengatasi masalah lingkungan yang akut ini, tim perencana merumuskan desain berdasarkan Sistem Pengolahan Terpusat (Off Site System). Pendekatan ini secara fundamental berbeda dari sistem on-site yang ada. Dalam sistem terpusat, air limbah disalurkan keluar dari lokasi pekarangan masing-masing rumah ke saluran pengumpul air buangan (saluran riol), yang kemudian menyalurkannya secara terpusat ke satu fasilitas utama, yaitu Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), sebelum air yang telah diolah dibuang ke badan perairan.1
Infrastruktur yang direncanakan ini dirancang untuk melayani populasi yang signifikan, mencakup 3.974 jiwa atau setara dengan 575 bangunan di Kelurahan Banjer Lingkungan V.1 Skala layanan ini, yang setara dengan proyek infrastruktur di kota kecil, menjamin efisiensi dan kontrol kualitas pengolahan limbah yang terstandar. Secara operasional, sistem ini memanfaatkan pengaliran gravitasi.1 Penggunaan gravitasi adalah keputusan rekayasa yang sangat strategis karena pola aliran tanpa tekanan ini secara inheren mengurangi biaya operasional jangka panjang—meminimalkan kebutuhan energi untuk pompa, mengurangi risiko kegagalan mekanis, dan membuat seluruh jaringan perpipaan menjadi lebih mudah dan lebih murah untuk dipelihara.1
Batasan Kritis: Dilema Air Non-Toilet (Grey Water)
Meskipun ambisius, perencanaan ini memuat batasan teknis yang sangat penting: sistem ini dirancang untuk secara eksklusif hanya menangani air limbah non-toilet (grey water).1 Air limbah yang dilayani hanya berasal dari kamar mandi, dapur, dan cucian. Air limbah toilet (black water), yang menjadi sumber utama patogen dan zat padat yang paling berbahaya, dikecualikan dari cakupan pengolahan ini.1
Keputusan ini mencerminkan dilema pragmatis dalam sanitasi perkotaan. Mengolah black water akan meningkatkan kompleksitas desain reaktor biologis, membutuhkan waktu retensi yang jauh lebih lama, dan memicu kebutuhan penanganan lumpur (sludge) yang lebih rumit dan mahal. Dengan fokus pada grey water, yang menyumbang volume terbesar dari limbah domestik, perencana memastikan efisiensi biaya dan kemudahan operasional awal. Namun, ini meninggalkan pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah daerah untuk menanggulangi black water secara terpisah di masa depan, karena pemenuhan janji perlindungan kesehatan sepenuhnya terhambat akibat pengecualian limbah toilet.
Meski lingkupnya terbatas, volume harian grey water yang harus dikelola tetap fantastis: sistem ini dirancang untuk mengalirkan total 476.880 liter air limbah per hari.1 Untuk memberikan gambaran visual, volume limbah harian yang harus diproses ini setara dengan menguras lebih dari 2.380 unit bak mandi standar setiap harinya.
III. Kisah di Balik Data Debit: Ketika Waktu Mandi Pagi Menentukan Ukuran IPAL
Waktu Kritis yang Mendikte Desain
Aspek yang paling menentukan dalam desain infrastruktur sanitasi adalah pemahaman tentang perilaku masyarakat yang dilayani. Dimensi IPAL tidak dapat didasarkan hanya pada debit rata-rata, tetapi harus mampu menahan beban hidrolik pada saat puncak penggunaan. Melalui survei perilaku air, para peneliti berhasil mengidentifikasi pola penggunaan air bersih yang unik di Kelurahan Banjer.1
Temuan data menunjukkan adanya sinkronisasi masal dalam aktivitas penduduk. Jam Puncak (Peak Hour) penggunaan air terjadi dalam jendela waktu yang sangat sempit, yaitu pukul 06:00 hingga 07:00 pagi. Selama satu jam kritis ini, terjadi lonjakan debit hingga mencapai 12,691% dari total air limbah yang dihasilkan sepanjang hari.1 Fenomena lonjakan sesaat ini, yang disebabkan oleh waktu bersiap-siap untuk bekerja atau sekolah, adalah stres hidrolik maksimum yang harus ditanggung oleh seluruh jaringan pipa dan fasilitas pengolahan.
Visualisasi Data Kuantitatif dan Buffer Kejut
Pentingnya data jam puncak ini adalah korelasinya yang erat dengan biaya infrastruktur. Semakin sinkron aktivitas komunitas, semakin besar dan mahal fasilitas IPAL yang harus dibangun untuk menyerap lonjakan hidrolik tersebut. Jika lonjakan ini tidak ditangani, air limbah akan dipaksa melalui proses pengolahan terlalu cepat, menurunkan efisiensi biologis yang ditargetkan dan pada akhirnya menyebabkan air yang dibuang kembali mencemari sungai.
Oleh karena itu, insinyur harus merencanakan buffer keamanan. Untuk mencegah IPAL kewalahan pada jam 06:00–07:00, kapasitas desain harus dinaikkan dengan penambahan 30% buffer dari total debit air limbah yang masuk selama beban puncak.1 Penambahan 30% ini berfungsi sebagai stabilisator atau "tangki cadangan" wajib. Keputusan ini memastikan bahwa reaktor biologis memiliki waktu tinggal yang cukup untuk bekerja, bahkan selama lonjakan debit tertinggi. Setelah penambahan buffer ini, kapasitas pengolahan total yang ditetapkan adalah 118 meter kubik per hari ($118~m^{3}/hari$).1
IV. Mengupas Tuntas Pabrik Pembersih: Rahasia Biofilter Anaerob-Aerob
Dimensi dan Kinerja IPAL
Fasilitas pengolahan akhir yang direncanakan, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), adalah sebuah pabrik pembersih dengan enam tahapan yang sangat spesifik. Untuk menampung seluruh proses ini, dimensi bak IPAL yang direncanakan memiliki ukuran total yang masif, yaitu 29 meter kali 8 meter.1 Luas fisik ini hampir menyamai dua lapangan bulutangkis yang digabungkan.
Inti dari proses pengolahan adalah teknologi Biofilter Anaerob-Aerob.1 Ini adalah metode pengolahan biologis yang menggunakan koloni bakteri yang dibiakkan pada media filter plastik tipe sarang tawon. Mikroba ini bekerja untuk memecah kontaminan organik yang terdapat dalam air limbah.
Rantai Pengolahan Enam Langkah
IPAL dirancang sebagai rangkaian bak yang setiap baknya memiliki waktu retensi (waktu tinggal) tertentu yang disengaja untuk memastikan bakteri memiliki cukup waktu untuk bekerja.1
Bak Pemisah Lemak (Grease Removal): Air limbah masuk pertama kali ke bak ini dengan waktu tinggal singkat 30 hingga 60 menit. Tujuannya adalah menghilangkan minyak dan lemak yang akan menyumbat media filter biologis dan mengganggu kinerja di tahap selanjutnya.1
Bak Ekualisasi/Penampungan Air: Bak ini memiliki volume efektif sekitar $30~m^{3}$. Waktu tinggal yang ditetapkan adalah 6 jam. Bak ini berfungsi sebagai paru-paru sistem, menyerap kejutan debit pada jam puncak. Tugas utamanya adalah menstabilkan debit $118~m^{3}/hari$ yang masuk, memastikan aliran yang seragam dan stabil ke reaktor biologis.1
Bak Pengendapan Awal: Dengan waktu tinggal sekitar 3 jam, tahap ini mengurangi beban zat padat tersuspensi dan sebagian Biological Oxygen Demand (BOD), mempersiapkan air untuk proses biologis utama.1
Biofilter Anaerob: Bak raksasa ini memiliki volume efektif $55~m^{3}$. Bakteri anaerob bekerja tanpa pasokan oksigen eksternal, memecah zat organik. Ruang ini diisi dengan media filter plastik tipe sarang tawon yang berfungsi sebagai rumah yang luas bagi koloni mikroba.1 Waktu tinggal rata-rata di bak anaerob ini adalah 6,71 jam.
Biofilter Aerob: Bak ini memiliki volume efektif $30~m^{3}$. Di tahap ini, terjadi perubahan radikal. Udara diinjeksikan (menggunakan Ring Blower yang direncanakan) untuk memfasilitasi bakteri aerobik. Bakteri aerobik ini sangat efisien dalam menghilangkan sisa BOD yang lolos dari proses anaerob.1
Bak Pengendapan Akhir: Sebagai tahap klarifikasi terakhir, bak ini memiliki waktu tinggal sekitar 3 jam. Padatan biologis (lumpur yang mengandung bakteri mati) dipisahkan dari air olahan sebelum air yang telah bersih siap dibuang ke lingkungan.1
Kapasitas fisik IPAL yang besar ini menunjukkan bahwa tidak ada cara cepat untuk membersihkan limbah biologis dalam skala ini. Total waktu retensi minimal sekitar 18 hingga 24 jam adalah investasi yang diperlukan untuk memberikan waktu yang cukup bagi mikroba melakukan tugas mereka.
Kualitas Target
Target kinerja yang ditetapkan untuk proses Biofilter Anaerob-Aerob ini adalah tingkat efisiensi pengolahan antara 75% hingga 80% untuk BOD (Biological Oxygen Demand).1 Efisiensi 80% ini memiliki makna ekologis mendalam: berarti empat dari lima unit polusi organik di dalam air telah dihilangkan. Air yang tadinya dapat membunuh kehidupan di sungai kini diubah menjadi air olahan yang telah memenuhi standar lingkungan, memungkinkan ekosistem sungai dan badan air penerima untuk pulih dan berfungsi kembali secara normal.
V. Jaringan Pipa Gravitasi: Dari Selokan Rumah Hingga Saluran Utama Raksasa
Keajaiban Rekayasa: Kecepatan Self-Cleaning
Keberhasilan Sistem Terpusat sangat bergantung pada jaringan perpipaan yang luas dan presisi. Jaringan ini dibagi menjadi empat tingkatan: Sambungan Rumah, Saluran Tersier, Saluran Sekunder, dan Saluran Primer/Induk.1 Karena seluruh sistem mengandalkan pengaliran gravitasi, prinsip rekayasa kunci adalah menjamin kemampuan pembersihan diri (self-cleaning) pipa.
Insinyur harus memastikan kecepatan aliran air limbah selalu minimum 0,3 meter per detik ($0,3~m/s$).1 Kecepatan minimum ini adalah ambang batas kritis. Jika aliran melambat di bawah $0,3~m/s$, padatan tersuspensi dalam air limbah akan mengendap, memicu pembentukan sedimen permanen yang cepat menyebabkan penyumbatan. Oleh karena itu, menjaga kecepatan $0,3~m/s$ ini sama pentingnya dengan menjaga kualitas air olahan itu sendiri.
Kontras Ekstrem pada Diameter Pipa
Akumulasi limbah dari ribuan individu ke satu titik pengolahan menghasilkan kontras ekstrem dalam dimensi pipa, yang secara dramatis menggambarkan besarnya masalah yang timbul dari pengumpulan limbah domestik.
Jaringan dimulai dari Sambungan Rumah (SR) yang melayani satu rumah (diperkirakan 5 orang), menghasilkan debit kecil sekitar $0,000863 \text{ liter/detik}$. Pipa yang digunakan pada tingkat ini memiliki diameter hanya sekitar 6 sentimeter (menggunakan pipa PVC).1
Sebaliknya, setelah seluruh air limbah dari 575 bangunan di Kelurahan Banjer terakumulasi, Saluran Primer/Induk (sp1) menuju IPAL harus dirancang untuk menampung debit $0,4506196 \text{ liter/detik}$. Pipa yang digunakan untuk saluran utama ini mencapai diameter raksasa 138,4 sentimeter (dibulatkan menjadi 150 sentimeter) dan harus terbuat dari pipa beton.1 Diameter 150 sentimeter ini lebih lebar dari tinggi manusia dewasa, menyerupai gorong-gorong beton besar, mencerminkan besarnya volume air yang dikelola.
Presisi Kemiringan dan Peran Bak Kontrol
Untuk mencapai kecepatan self-cleaning $0,3~m/s$ tanpa bantuan pompa, kemiringan pipa ($S$) harus dihitung dengan presisi luar biasa. Kemiringan minimum yang dibutuhkan menurun drastis seiring bertambahnya diameter pipa. Sebagai contoh, pipa kecil Sambungan Rumah berdiameter 6 cm membutuhkan kemiringan sekitar $0,006\%$. Sementara itu, pipa primer beton raksasa berdiameter 150 cm hanya membutuhkan kemiringan minimal $0,0001\%$.1
Kemiringan $0,0001\%$ berarti bahwa pipa hanya turun satu sentimeter dalam jarak 10 kilometer. Presisi geometris yang diperlukan untuk membangun "lereng" sedatar ini di bawah tanah adalah tantangan rekayasa sipil yang luar biasa.
Selain jaringan perpipaan, Bak Kontrol (Bak Manhole) wajib dibangun pada setiap pertemuan atau percabangan pipa. Bak kontrol berfungsi untuk mencegah turbulensi (hydraulic jump), mengendapkan sedimen, dan yang paling penting, memberikan akses bagi petugas untuk melakukan inspeksi dan pemeliharaan.1 Ukuran bak kontrol harus disesuaikan dengan diameter pipa terbesar yang disambung; misalnya, Bak Kontrol B8 untuk pipa 150 cm berukuran $160 \text{ cm} \times 160 \text{ cm}$.1
Keberhasilan operasional jaringan pipa ini dalam jangka panjang sangat bergantung pada satu faktor non-teknis: ketiadaan sampah padat. Teknik self-cleaning yang dirancang dengan cermat hanya berfungsi untuk mencegah pengendapan padatan alami. Penumpukan sampah non-organik (seperti plastik atau sisa makanan yang dibuang ke saluran air) akan segera melumpuhkan jaringan. Oleh karena itu, partisipasi warga dan disiplin komunal menjadi fondasi bagi keberhasilan rekayasa ini.
VI. Kritik Realistis dan Tantangan Penerapan Jangka Panjang
Mengecilkan Dampak Sanitasi Total
Meskipun perencanaan ini menawarkan desain teknis yang solid dan terperinci, kritik realistis terbesar tetap pada keterbatasan studi yang hanya berfokus pada air non-toilet (grey water).1 Dengan tidak menangani air limbah toilet (black water) yang mengandung konsentrasi patogen tertinggi, sistem ini tidak secara langsung menghilangkan risiko penyakit berbasis air yang ditularkan melalui kontaminasi tinja. Dampak positif pada penurunan biaya kesehatan terkait penyakit menular mungkin tidak akan maksimal secara umum, karena sumber utama patogen masih dibiarkan di tingkat tangki septik rumah tangga.
Kegagalan untuk menanggulangi black water berarti potensi pencemaran air tanah akibat kebocoran tangki septik masih ada. Sanitasi total harus mencakup pengolahan black water; tanpa itu, perlindungan kesehatan yang komprehensif belum tercapai.
Risiko Operasional dan Tata Kelola
Tantangan terbesar bagi pemerintah daerah bukanlah pembangunan itu sendiri, tetapi keberlanjutan operasionalnya. Para peneliti secara eksplisit menekankan kebutuhan tata kelola yang kuat dengan dua saran mendesak 1:
Pertama, Perlu dibentuk tim dari kelurahan atau petugas khusus untuk merawat Sistem Pengolahan Air Limbah (SPAL). IPAL Biofilter Anaerob-Aerob, meskipun efisien, adalah aset biologis dan mekanis yang kompleks. Tanpa institusi pengelola yang terlatih, memiliki anggaran tetap, dan memiliki kemampuan teknis yang memadai, aset bernilai tinggi ini berisiko mengalami kerusakan atau kegagalan teknis dalam waktu singkat. Kegagalan institusional akan membatalkan semua keunggulan rekayasa yang telah direncanakan.
Kedua, Peran serta dari penduduk Banjer agar tidak membuang sampah dan merusak saluran tersebut.1 Risiko terbesar yang dihadapi sistem gravitasi adalah perilaku masyarakat. Jaringan pipa yang dirancang presisi dengan kemiringan minimal sangat rentan terhadap penyumbatan yang disebabkan oleh sampah padat anorganik. Jika warga terus membuang sampah ke saluran air, pipa-pipa tersebut akan tersumbat, dan biaya perbaikan akan menguras anggaran perawatan yang sudah terbatas. Keberlanjutan sistem ini pada dasarnya adalah 50% teknik dan 50% disiplin masyarakat. Pendidikan publik mengenai pemilahan sampah harus menjadi program pendamping wajib untuk memastikan jaringan sanitasi ini berfungsi efektif dan tidak cepat rusak.
VII. Penutup: Memetakan Dampak Nyata dan Visi Lingkungan
Perencanaan teknis yang dilakukan ini merupakan langkah maju yang krusial bagi Kelurahan Banjer. Dengan menghilangkan hampir setengah juta liter air limbah grey water setiap hari dan mencapai target pengurangan polusi organik (BOD) hingga 80%, wilayah ini akan mencapai lompatan besar dalam kebersihan lingkungan dan perlindungan ekosistem sungai.
Jika infrastruktur ini diterapkan dan dikelola dengan baik, temuan ini bisa memberikan dampak nyata dan terukur. Proyek ini diprediksi dapat mengurangi risiko pencemaran air permukaan hingga 80% dan secara efektif mengurangi biaya kesehatan terkait penyakit berbasis air di wilayah tersebut, seperti diare dan tifus, dalam waktu lima tahun, sekaligus memulihkan ekosistem sungai di Kelurahan Banjer.
Perencanaan sistem terpusat ini menawarkan model yang dapat direplikasi untuk komunitas urban padat lainnya di Indonesia yang menghadapi krisis sanitasi serupa. Ini adalah bukti bahwa melalui perencanaan teknis yang presisi, penggunaan teknologi pengolahan biologis yang canggih, dan investasi infrastruktur terpusat, masalah lingkungan domestik yang akut dapat diatasi, membawa Banjer menuju masa depan yang lebih sehat dan lestari.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
Audit Lingkungan: Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Prioritas Pembangunan Kota?
Kota Medan, sebagai ibu kota Sumatera Utara, terus menghadapi tantangan lingkungan yang membesar seiring pertumbuhan populasinya. Dengan jumlah penduduk yang meningkat signifikan dalam 15 tahun terakhir, produksi air limbah domestik pun melonjak, mengancam kualitas sumber air minum, air tanah, dan terutama sungai-sungai di kota tersebut.1 Menyadari ancaman ini, sejak tahun 1995, Medan telah mengoperasikan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Cemara di bawah pengawasan PDAM Tirtanadi, sebuah sistem terpusat yang dirancang untuk mengolah air limbah domestik, baik air hitam (black water) maupun air abu-abu (grey water).1
Untuk mengevaluasi kinerja infrastruktur vital ini secara objektif dan mendalam, sebuah penelitian menggunakan metodologi Life Cycle Assessment (LCA) dilakukan. LCA adalah teknik komprehensif yang menilai potensi dampak lingkungan dari suatu layanan—dalam hal ini, pengolahan air limbah—mulai dari air masuk (influent) hingga produk akhir dan limbah padat.1 Penelitian ini berfokus pada unit fungsional pengolahan $7.171~m^3$ air limbah per hari selama satu tahun.1 Hasilnya tidak sekadar mengukur efisiensi pembersihan, tetapi mengungkap sebuah kontradiksi struktural dan lingkungan yang kritis.
Kontradiksi Kapasitas versus Realitas Layanan
IPAL Cemara dibangun dengan potensi kemampuan pengolahan yang sangat besar, mencapai kapasitas maksimum $60.000~m^3$ per hari.1 Kapasitas terpasang ini menunjukkan ambisi pemerintah daerah untuk mengatasi masalah sanitasi secara menyeluruh. Namun, data operasional menunjukkan gambaran yang sangat kontras. Hingga saat penelitian dilakukan, IPAL Cemara hanya melayani sekitar 18.396 rumah tangga, dengan kapasitas yang digunakan kurang dari $10.000~m^3$ per hari.1 Hal ini berarti lebih dari 83 persen potensi pengolahan fasilitas ini tidak dimanfaatkan, menjadikannya sebuah investasi infrastruktur yang beroperasi jauh di bawah kapasitasnya.
Kondisi ini muncul bukan karena buruknya kinerja unit pengolahan, melainkan karena minimnya jangkauan infrastruktur koleksi. Jangkauan layanan IPAL Cemara tercatat sangat rendah, hanya 3,63 persen dari total air limbah domestik di Medan yang diolah oleh fasilitas ini.1 Di sisi lain, sekitar 96,37 persen rumah tangga di Medan masih mengandalkan sistem on-site, seperti tangki septik tradisional atau, yang lebih mengkhawatirkan, membuang air abu-abu secara langsung ke drainase terbuka. Kondisi mayoritas rumah tangga yang masih bergantung pada sistem pembuangan individu ini menjadi penyebab utama penurunan kualitas sungai yang kronis di kota tersebut.1
Jika infrastruktur koleksi, yaitu jaringan pipa pembuangan, tidak dibangun dan dikelola secara efektif, investasi besar pada teknologi pengolahan canggih di IPAL justru menjadi semacam "aset yang terdampar"—aset teknologi tinggi yang gagal mencapai tujuan utamanya karena cacat pada sistem penghubung hulu. Analisis ini menyoroti bahwa prioritas kebijakan publik di Medan saat ini seharusnya bergeser secara agresif dari fokus pada perbaikan teknologi pengolahan menjadi perluasan jaringan pipa untuk memastikan air limbah benar-benar sampai ke IPAL dan kapasitasnya dimaksimalkan.
Efisiensi Tinggi yang Tak Terbantahkan: Kualitas Air Melampaui Standa
Walaupun terdapat kegagalan dalam cakupan layanan, hasil penelitian LCA memberikan pengakuan penting terhadap kinerja teknis unit-unit pengolahan di IPAL Cemara. Fasilitas ini, ketika air limbah masuk, mampu mencapai efisiensi pembersihan yang sangat impresif, terutama pada parameter polutan konvensional.
Secara keseluruhan, kualitas air limbah yang telah diolah berhasil diturunkan jauh di bawah standar kualitas yang ditetapkan pemerintah.1 Unit utama yang bertanggung jawab atas proses pemurnian polutan organik adalah Aerated Pond (Kolam Berudara), yang menunjukkan efisiensi penghilangan Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) lebih dari 70 persen.1 Data keseluruhan menunjukkan bahwa air limbah yang dikeluarkan memiliki efisiensi reduksi sebesar 93 persen untuk BOD dan 93 persen untuk COD.1
Selain polutan organik, fasilitas ini juga sangat berhasil dalam menangani padatan dan kontaminan mikrobiologis. Total Suspended Solids (TSS), yang menunjukkan kekeruhan dan padatan tersuspensi, berhasil dikurangi hingga 99 persen secara keseluruhan. Pengurangan yang signifikan untuk TSS, sekitar 65 persen, terjadi di Reaktor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB).1
Kinerja sanitasi menunjukkan hasil yang paling optimal. Total Koliform, yang merupakan indikator keberadaan patogen dan seringkali mencapai ratusan ribu Colony Forming Units (CFU) per 100 mililiter dalam air limbah masuk, berhasil direduksi hingga 100 persen, mencapai nilai yang jauh di bawah standar baku mutu efluen.1 Secara naratif, keberhasilan ini dapat diibaratkan seperti proses yang mengubah air limbah yang pada awalnya sepekat dan sekotor air kopi yang terkontaminasi patogen, menjadi air yang secara fisik bersih dan hampir bebas dari risiko kesehatan mendasar, semua tercapai dalam siklus operasional pengolahan. Kinerja ini menegaskan potensi besar IPAL Cemara jika dapat dioperasikan pada kapasitas penuh.
Kejutan Terbesar di Balik Data: 97 Persen Dampak Berasal dari Titik Akhir
Meskipun unit-unit IPAL Cemara menunjukkan kinerja pembersihan fisik dan organik yang luar biasa, analisis LCA melalui hasil ternormalisasi mengungkapkan sebuah ironi lingkungan yang mendalam. Efisiensi tinggi dalam menghilangkan BOD, COD, dan Koliform ternyata tidak sejalan dengan keberhasilan dalam menekan beban lingkungan secara keseluruhan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tahap Release of Wastewater Effluent (Pelepasan Efluen Air Limbah) ke badan air penerima adalah kontributor dominan terhadap dampak lingkungan sistem IPAL Cemara secara keseluruhan.1 Secara kuantitatif, pelepasan air yang sudah diolah ini menyumbang 96,73 persen dari total dampak lingkungan ternormalisasi seluruh sistem.1
Angka 96,73 persen ini adalah temuan yang harus menjadi alarm kebijakan. Jika seluruh proses pengolahan air limbah dianggap sebagai serangkaian langkah yang sempurna, hampir sembilan setengah dari setiap sepuluh poin masalah lingkungan berbobot terberat yang ditimbulkan oleh IPAL ini sepanjang tahun justru terjadi pada momen pelepasan air ke perairan alam.1 Sebaliknya, total kontribusi dampak lingkungan dari seluruh tahap operasional mekanik—termasuk Screw Pump, Screening, Grit Chamber, UASB Reactor, Aerated Pond, dan Facultative Pond—hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan beban dampak.1
Kondisi ini menyajikan sebuah paradoks lingkungan: air yang tampak bersih (karena rendah BOD, COD, dan Koliform) ternyata membawa racun tersembunyi yang memiliki bobot dampak lingkungan jauh lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembersihan yang dilakukan gagal mengatasi polutan yang memiliki potensi toksisitas atau dampak ketidakseimbangan nutrisi yang sangat tinggi, meskipun polutan konvensionalnya telah teratasi. Ini mengalihkan fokus dari volume polutan organik ke jenis polutan yang bersifat akut dan terkonsentrasi di titik akhir proses.
Racun Tak Terlihat: Skandal Ekotoksisitas dan Krisis Nitrogen di Sungai
Analisis lanjutan berdasarkan kategori dampak ternormalisasi menegaskan masalah ini. Dua kategori dampak lingkungan yang paling dominan dalam keseluruhan sistem IPAL Cemara adalah Freshwater Ecotoxicity (Ekotoksisitas Air Tawar) dan Eutrophication (Eutrofikasi), yang secara kolektif menyumbang lebih dari 90 persen dari total beban lingkungan.1
Ekotoksisitas Air Tawar: Dominasi Senyawa Tunggal
Dampak terbesar yang harus diwaspadai adalah Ekotoksisitas Air Tawar, yang bertanggung jawab atas 45,96 persen dari total dampak lingkungan IPAL Cemara.1 Penelitian ini berhasil mengidentifikasi biang keladi utamanya: pelepasan satu senyawa kimia spesifik.
Sebanyak 72 persen dari dampak Ekotoksisitas Air Tawar ini disebabkan oleh pelepasan Karbon Disulfida ($CS_2$) pada tahap efluen.1 $CS_2$ adalah senyawa kimia yang sangat beracun bagi organisme akuatik dan seringkali terkait dengan pelarut atau proses industri. Kehadiran $CS_2$ yang sangat dominan, menyumbang hampir tiga perempat dari toksisitas air, di dalam air limbah yang seharusnya hanya berasal dari domestik, memberikan indikasi kuat. Indikasi pertama adalah perlunya teknologi penyaringan yang lebih canggih yang mampu menghilangkan polutan mikrospesifik seperti $CS_2$, bukan hanya BOD dan TSS. Indikasi kedua yang lebih serius adalah kemungkinan adanya input air limbah non-domestik—seperti limbah industri atau komersial—yang tidak terkontrol dan mengandung konsentrasi $CS_2$ tinggi, yang masuk ke dalam sistem IPAL domestik. Kondisi ini menuntut pengawasan regulasi sumber limbah yang sangat ketat di Medan.
Eutrofikasi: Menumpuknya Pupuk di Ekosistem Sungai
Dampak lingkungan terbesar kedua adalah Eutrofikasi, yang menyumbang 44,04 persen dari total beban lingkungan.1 Eutrofikasi adalah fenomena pengayaan nutrisi berlebihan di perairan, yang memicu pertumbuhan alga secara masif, menurunkan kandungan oksigen, dan pada akhirnya merusak ekosistem akuatik.
Penyebab utama dampak Eutrofikasi ini adalah pelepasan nutrisi esensial dalam jumlah berlebih. Data menunjukkan bahwa Eutrofikasi didominasi oleh pelepasan Amonia ($NH_3$) sebesar 41,25 persen dan Nitrogen (N) sebesar 39,60 persen.1 Meskipun IPAL ini berhasil menghilangkan kotoran padat dan bakteri, tingginya konsentrasi nitrogen dan amonia yang dilepaskan ke sungai sama dampaknya dengan menuangkan pupuk kimia berlebihan ke ekosistem air. Kelebihan nutrisi ini menciptakan kondisi biologis yang tidak sehat, meskipun airnya jernih, yang secara signifikan memperparah masalah penurunan kualitas sungai di Medan.
Dilema Iklim: Kontribusi Metana dan Diesel dari Unit Pengolahan
Selain masalah toksisitas efluen, fase operasional IPAL Cemara juga menghasilkan jejak gas rumah kaca yang signifikan, terutama dari proses biologis dan kebutuhan energi mekanis.
Sumber Emisi Metana Biogenik
Unit-unit pengolahan air limbah yang melibatkan proses anaerobik (tanpa oksigen) atau fakultatif (oksigen terbatas) secara alami menghasilkan Metana ($CH_4$), sebuah gas rumah kaca biogenik yang memiliki potensi pemanasan global jauh lebih besar dibandingkan karbon dioksida ($CO_2$).
Kolam Fakultatif: Unit ini merupakan kontributor terbesar terhadap dampak Climate Change dalam fase operasional, menyumbang 49 persen dari total dampak iklim unit proses. Selain itu, kolam ini juga menyumbang 31 persen dari dampak Photo-Oxidant Formation, yang semuanya disebabkan oleh produksi $CH_4$ tertinggi.1
Reaktor UASB: Unit ini, yang juga menunjukkan efisiensi tinggi dalam pengurangan TSS, merupakan kontributor signifikan bagi dampak lingkungan terkait iklim. Reaktor UASB menyumbang 16,63 persen dari dampak Climate Change dan 29,34 persen dari dampak Photo-Oxidant Formation, juga dikarenakan produksi $CH_4$ yang tinggi.1
Secara kumulatif, unit-unit yang menghasilkan gas biogenik ini menyumbang lebih dari dua pertiga emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh seluruh proses pengolahan air limbah. Produksi $CH_4$ yang tinggi ini, terutama dari Kolam Fakultatif dan Reaktor UASB, mewakili peluang yang terlewatkan. Metana yang saat ini dilepaskan ke atmosfer seharusnya dapat ditangkap dan dimanfaatkan sebagai biogas. Pemanfaatan biogas ini berpotensi memecahkan dua masalah krusial sekaligus: mengurangi kontribusi IPAL terhadap Perubahan Iklim (yang saat ini didominasi $CH_4$) dan menyediakan sumber energi terbarukan untuk unit operasional lainnya.
Jejak Karbon dari Operasi Mekanis
Kebutuhan energi untuk menggerakkan mesin dan pompa juga berkontribusi pada jejak karbon IPAL Cemara melalui konsumsi bahan bakar fosil dan listrik.
Aerated Pond (Kolam Berudara): Meskipun efektif dalam pemurnian air, kolam berudara menjadi kontributor utama dampak Climate Change dalam fase operasional karena kebutuhan energinya yang intensif. Kontribusi dampak iklim dari unit ini disebabkan oleh konsumsi diesel sebesar 16,97 persen, emisi $CO_2$ (4,95 persen) dan $N_2O$ (4,26 persen) dari emisi biogenik, serta penggunaan listrik sebesar 3,04 persen.1 Ketergantungan yang tinggi pada diesel menunjukkan kemungkinan besar penggunaan generator atau peralatan mekanis yang sangat boros energi.
Risiko Toksisitas Lokal: Selain emisi gas rumah kaca, proses mekanis di unit-unit seperti Screw Pump dan Aerated Pond juga menyebabkan dampak Terrestrial Ecotoxicity (Toksisitas Darat).1 Dampak ini disebabkan oleh tumpahan pelumas. Meskipun diperkirakan tumpahan pelumas hanya sekitar 3 persen dari residu pelumas yang digunakan 1, risiko ini menyoroti perlunya protokol pemeliharaan yang ketat dan, idealnya, transisi menuju pelumas yang memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah untuk mengurangi kontribusi terhadap pencemaran tanah.
Opini dan Kritik Realistis: Batasan Studi dan Solusi Jangka Panjang
Analisis LCA yang cermat ini memberikan landasan ilmiah yang kuat untuk reformasi kebijakan lingkungan di Medan. Namun, penting untuk memahami batasan lingkup penelitian ini untuk mendapatkan gambaran dampak total yang lebih utuh.
Keterbatasan Lingkup Penilaian
Studi ini secara eksplisit hanya menganalisis fase operasional inti—dari air masuk hingga pelepasan efluen dan pembuangan lumpur kering. Beberapa fase yang secara inheren membawa potensi dampak lingkungan besar dikecualikan dari penilaian 1:
Fase penggunaan kembali (reuse) atau daur ulang air limbah yang telah diolah dan lumpur kering.
Pengelolaan limbah padat (seperti saringan, pasir, dan kerikil) yang dikumpulkan di tahap awal (Screening dan Grit Chamber).
Kritik realistis menunjukkan bahwa dampak lingkungan total yang dihasilkan oleh IPAL Cemara kemungkinan diremehkan (understated) karena eliminasi fase-fase ini. Sebagai contoh, data yang disajikan menunjukkan bahwa tahap Disposal of Dry Sludge (Pembuangan Lumpur Kering) saja sudah bertanggung jawab atas 95,32 persen dari dampak Terrestrial Ecotoxicity.1 Lumpur kering mengandung konsentrasi logam berat dan konstituen beracun lainnya.1 Pengabaian manajemen limbah padat yang komprehensif ini adalah blind spot yang harus segera diatasi dalam kajian lingkungan dan kebijakan publik berikutnya.
Kegagalan Kebijakan Infrastruktur
Kritik yang paling mendasar dan harus diangkat ke permukaan adalah kegagalan konektivitas. Memiliki IPAL berkapasitas $60.000~m^3$ per hari, tetapi hanya mengolah 3,63 persen air limbah domestik, menunjukkan bahwa masalah sanitasi Medan bukanlah kegagalan teknologi pembersihan di ujung, melainkan kegagalan masif dalam pembangunan jaringan pipa koleksi.1
Pemerintah Kota Medan harus segera mengalihkan prioritas dan anggaran untuk mengatasi jurang layanan ini. Selama hampir 97 persen rumah tangga masih membuang limbah secara mandiri atau langsung ke saluran terbuka, krisis lingkungan air tawar di Medan tidak akan pernah terselesaikan, terlepas dari seberapa efisien unit UASB atau Aerated Pond bekerja. Populasi Medan yang sangat padat (rata-rata 8.338 orang per $km^2$) menuntut implementasi sistem terpusat yang berfungsi penuh.1
Kesimpulan: Dampak Nyata dan Peta Jalan Menuju Nol Toksisitas
Studi Life Cycle Assessment terhadap IPAL Cemara di Medan memberikan bukti berbasis data bahwa efisiensi pemurnian air secara tradisional (mengukur BOD/COD) tidak lagi cukup untuk menilai keberlanjutan lingkungan. Paradox IPAL Cemara adalah bahwa fasilitas tersebut secara efektif membersihkan polutan organik, namun secara simultan melepaskan racun kimia spesifik dan nutrisi berlebih yang menyebabkan 97 persen dari total dampak lingkungan sistem.
Temuan ini menuntut reformasi radikal dalam pengelolaan air limbah di Kota Medan. Kebijakan harus berfokus pada dua area utama: ekspansi jaringan infrastruktur dan penetapan standar baku mutu efluen yang lebih ketat, terutama untuk polutan mikro.
Pernyataan Dampak Nyata:
Jika diterapkan, temuan mendalam dari analisis LCA ini bisa menjadi landasan bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk merevisi Peraturan Daerah terkait baku mutu efluen, menargetkan penghilangan senyawa Karbon Disulfida dan membatasi pelepasan Amonia dan Nitrogen secara ketat. Langkah-langkah ini berpotensi mengurangi beban Ekotoksisitas Air Tawar di sungai-sungai Medan hingga lebih dari 70 persen dalam waktu lima tahun. Selain itu, dengan memanfaatkan metana ($CH_4$) yang saat ini dilepaskan oleh Reaktor UASB dan Kolam Fakultatif sebagai biogas, IPAL dapat mengurangi kontribusi dampak iklim secara signifikan, sekaligus menggantikan konsumsi diesel mahal di Aerated Pond, yang pada akhirnya akan menurunkan biaya operasional dan meningkatkan keberlanjutan energi IPAL. Kegagalan IPAL Cemara saat ini adalah kegagalan untuk melihat dampak lingkungan secara holistik; data LCA ini adalah peta jalan yang sangat akurat untuk mencapai pengolahan air limbah yang benar-benar berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Hutagalung, I. R., & Matsumoto, T. (2020). LIFE CYCLE ASSESSMENT OF DOMESTIC WASTEWATER TREATMENT IN MEDAN CITY, INDONESIA. Journal of Community Based Environmental Engineering and Management, 4(2), 85–98.