Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan: Air Bersih sebagai Hak Asasi dan Tantangan Global
Air bersih dan sanitasi layak adalah hak dasar manusia, namun hingga 2020, 2 miliar orang masih belum memiliki akses ke layanan air minum yang aman, dan 1,9 miliar orang tidak memiliki akses ke sanitasi dasar. Laporan UNCTAD (2023) ini menyoroti bagaimana sains, teknologi, dan inovasi (STI) menjadi kunci dalam mempercepat pencapaian SDG 6, dengan menekankan pentingnya solusi terintegrasi, kolaborasi global, dan pendekatan lintas sektor.
Kesenjangan Global dan Ketimpangan Akses
SubSahara Afrika menjadi wilayah dengan ketertinggalan paling signifikan: hanya 30% penduduknya memiliki akses ke air minum aman, dibandingkan dengan 96% di Eropa dan Amerika Utara. Ketimpangan juga terjadi antara wilayah urban dan rural—86% penduduk kota memiliki akses air aman, sementara di desa hanya 60%. Kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat menghadapi hambatan tambahan, baik dari sisi infrastruktur maupun norma sosial.
Krisis Iklim dan Dampaknya terhadap Air
Perubahan iklim memperparah kelangkaan air melalui peningkatan frekuensi banjir dan kekeringan. Di Turki, misalnya, ketersediaan air per kapita diperkirakan turun dari 1.400 m³ (2017) menjadi 1.120 m³ pada 2030. Di sisi lain, negaranegara seperti Kamerun dan Brasil menghadapi cuaca ekstrem yang mengganggu pasokan air dan sanitasi.
Peran STI dalam Rantai Nilai Air
STI berperan dalam seluruh rantai nilai air: dari pengambilan air, pengolahan, distribusi, hingga pengelolaan limbah. Inovasi tidak hanya bersifat teknologi, tetapi juga mencakup inovasi sosial, kebijakan, dan proses. Misalnya:
Studi Kasus: Solusi Nyata dari Berbagai Negara
Kritik dan Tantangan Implementasi
Meski banyak inovasi tersedia, jurang antara riset dan implementasi masih lebar. Banyak solusi gagal mencapai masyarakat karena:
Rekomendasi Strategis
1. Perkuat ekosistem inovasi lokal: Libatkan komunitas dalam desain dan pemeliharaan teknologi.
2. Fokus pada solusi modular dan offgrid: Cocok untuk daerah terpencil dan minim infrastruktur.
3. Integrasikan pendekatan gender dan inklusi sosial: Pastikan perempuan dan kelompok rentan terlibat aktif.
4. Dorong pendekatan nexus dan ekonomi sirkular: Air tidak bisa dipisahkan dari energi, pangan, dan iklim.
5. Bangun sistem data dan pemantauan berbasis teknologi: Gunakan big data, sensor, dan AI untuk pengambilan keputusan.
Penutup: Air sebagai Titik Temu Inovasi dan Keadilan Sosial
Artikel ini menegaskan bahwa air bukan sekadar sumber daya, tapi cermin dari keadilan sosial dan kapasitas inovasi global. Dengan menggabungkan teknologi mutakhir, kebijakan progresif, dan partisipasi masyarakat, dunia memiliki peluang nyata untuk mewujudkan akses air dan sanitasi yang aman bagi semua.
Sumber Artikel :
United Nations Conference on Trade and Development. (2023). Ensuring safe water and sanitation for all: A solution through science, technology and innovation. United Nations. UNCTAD/DTL/TIKD/2022/1. ISBN: 9789211047004.
Sustainable Finance
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Dalam era perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan tantangan ekonomi global, Sustainable Development Goals (SDGs) menjadi kompas utama pembangunan dunia. Namun, pertanyaan besarnya: bagaimana membiayai 17 tujuan ambisius ini? Paper karya Magdalena Ziolo dkk. (2021) membedah secara mendalam hubungan antara model keuangan berkelanjutan (sustainable finance) dan pencapaian SDGs di negara-negara Uni Eropa anggota OECD. Artikel ini akan mengulas temuan utama, menyoroti studi kasus negara, serta mengaitkannya dengan tren global dan tantangan nyata di lapangan.
Apa Itu Sustainable Finance dan Mengapa Penting untuk SDGs?
Sustainable finance adalah paradigma baru dalam dunia keuangan yang mengintegrasikan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) ke dalam pengambilan keputusan investasi dan pembiayaan. Berbeda dengan keuangan konvensional yang hanya mengejar profit, sustainable finance menempatkan dampak sosial dan lingkungan sebagai pertimbangan utama.
Tantangan Pendanaan SDGs
Model Sustainable Finance: Dari Konvensional ke Transformasional
Penelitian ini mengadopsi kerangka dari Schoenmaker (2017) yang membagi model keuangan menjadi empat tipe:
Studi Kasus: Negara Skandinavia dan Belanda sebagai Role Model
Ranking dan Pencapaian SDGs
Berdasarkan analisis 23 negara Uni Eropa anggota OECD, ditemukan bahwa negara-negara Skandinavia (Denmark, Finlandia, Swedia) dan Belanda konsisten menempati posisi teratas baik dalam penerapan sustainable finance maupun pencapaian SDGs.
Data Penting
Kontras Negara Lain
Korelasi Kuat antara Sustainable Finance dan SDGs
Penelitian ini menggunakan analisis statistik (taxonomic measure dan correspondence analysis) untuk menguji hubungan antara model keuangan dan pencapaian SDGs.
Analisis Kritis: Kekuatan, Kelemahan, dan Implikasi Kebijakan
Kekuatan Studi
Kelemahan dan Tantangan
Implikasi Kebijakan
Studi Kasus Nyata: Transformasi Keuangan di Swedia
Swedia menjadi contoh nyata bagaimana integrasi keuangan publik dan privat dapat mempercepat pencapaian SDGs:
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Tren Global: Masa Depan Sustainable Finance dan SDGs
Inovasi dan Kolaborasi
Tantangan Masa Depan
Rekomendasi Praktis untuk Indonesia dan Negara Berkembang
Kesimpulan: Sustainable Finance sebagai Pilar Utama Pencapaian SDGs
Penelitian Ziolo dkk. menegaskan bahwa semakin tinggi tingkat keberlanjutan model keuangan suatu negara, semakin besar peluangnya untuk mencapai SDGs secara menyeluruh. Negara-negara Skandinavia dan Belanda membuktikan bahwa integrasi keuangan publik dan privat, didukung oleh inovasi dan regulasi progresif, adalah kunci sukses pembangunan berkelanjutan. Sebaliknya, negara yang masih bertumpu pada model keuangan konvensional cenderung tertinggal, terutama dalam tujuan lingkungan dan inovasi.
Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, pelajaran utamanya adalah: reformasi sistem keuangan menuju sustainable finance bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak untuk masa depan yang inklusif dan berkelanjutan.
Sumber asli:
Ziolo, M., Bak, I., & Cheba, K. (2021). The Role of Sustainable Finance in Achieving Sustainable Development Goals: Does It Work? Technological and Economic Development of Economy, 27(1), 45–70.
Kompetensi Kerja
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Mengapa Evaluasi Sertifikasi Kompetensi di SMK Penting untuk Masa Depan?
Di tengah persaingan kerja yang semakin ketat dan pesatnya perkembangan teknologi industri, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dituntut untuk benar-benar siap terjun ke dunia kerja. Namun, kenyataannya, angka pengangguran lulusan SMK masih tinggi—bahkan menurut data BPS tahun 2022, mencapai 24% dari total pengangguran di Indonesia. Salah satu solusi yang diharapkan mampu menjawab tantangan ini adalah program sertifikasi uji kompetensi, khususnya di bidang teknik pemesinan yang menjadi tulang punggung industri manufaktur.
Artikel ini akan mengupas secara kritis hasil penelitian Sugeng Priyanto, Siti Sahara, dan Hari Din Nugraha (2024) yang mengevaluasi efektivitas program sertifikasi uji kompetensi di lima SMK Negeri di DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan model evaluasi CSE-UCLA dan metode analisis TOPSIS, sehingga hasilnya tidak hanya komprehensif, tetapi juga objektif. Resensi ini akan membahas temuan utama, membandingkan dengan tren industri, serta memberikan rekomendasi praktis bagi pengembangan SMK di Indonesia.
Model Evaluasi CSE-UCLA: Kerangka Lengkap untuk Menilai Program Sertifikasi
Model CSE-UCLA (Center for the Study of Evaluation – University of California, Los Angeles) adalah pendekatan evaluasi yang menilai lima aspek utama dalam program pendidikan:
Model ini dianggap sangat relevan karena mengulas seluruh proses, mulai dari perencanaan hingga hasil akhir, sehingga dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan program secara menyeluruh.
Untuk memperkuat objektivitas, penelitian ini juga menggunakan metode TOPSIS (Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution) dalam mengolah data kualitatif dari kuesioner. Dengan metode ini, setiap aspek program dapat dinilai secara sistematis dan terukur.
Studi Kasus: Evaluasi Program Sertifikasi di Lima SMK Negeri Jakarta
Penelitian ini dilakukan di lima SMK Negeri di DKI Jakarta. Responden terdiri dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah (bidang kurikulum, hubungan industri, sarana prasarana), kepala program teknik pemesinan, kepala bengkel, guru produktif, dan lembaga sertifikasi profesi di sekolah. Data dikumpulkan melalui kuesioner 54 butir dengan skala Likert 1–5, kemudian dianalisis menggunakan metode TOPSIS.
Temuan Utama: Kekuatan dan Tantangan Program Sertifikasi
1. Penilaian Sistem (System Assessment)
Penilaian sistem di kelima SMK ini secara umum sudah baik. Namun, masih terdapat kelemahan pada dukungan infrastruktur dan keterlibatan dunia usaha/industri. Beberapa SMK masih kekurangan alat uji dan fasilitas pendukung, sehingga pelaksanaan uji kompetensi belum optimal. Keterlibatan industri juga belum maksimal, padahal sangat penting untuk memastikan uji kompetensi sesuai kebutuhan pasar kerja.
2. Perencanaan Program (Program Planning)
Perencanaan program sudah cukup terstruktur, terutama dalam pengelolaan SDM dan fasilitas. Namun, pelatihan berbasis pengetahuan terapan masih kurang. Komponen perencanaan fasilitas dan SDM mendapat penilaian sangat baik, tetapi pelatihan pengetahuan terapan untuk guru dan siswa masih perlu ditingkatkan agar sesuai dengan perkembangan teknologi industri.
3. Pelaksanaan Program (Program Implementation)
Pelaksanaan program masih menghadapi banyak tantangan. Sosialisasi program, kolaborasi dengan lembaga sertifikasi, dan penggunaan alat ukur belum merata di semua sekolah. Beberapa SMK sudah menjalin kerjasama yang baik dengan lembaga sertifikasi, namun aspek seperti sosialisasi kepada siswa dan pelatihan penggunaan alat uji masih belum optimal.
4. Perbaikan Program (Program Improvement)
Upaya perbaikan program sudah berjalan, namun belum menyeluruh. Penguatan pelatihan berkelanjutan dan peningkatan fasilitas masih menjadi pekerjaan rumah besar. Beberapa aspek seperti peningkatan pelatihan dan fasilitas sudah cukup baik, tetapi masih banyak komponen lain yang perlu ditingkatkan, seperti monitoring hasil sertifikasi dan evaluasi berkelanjutan.
5. Sertifikasi (Certification)
Proses sertifikasi di SMK Negeri Jakarta masih perlu standarisasi dan peningkatan mutu. Kualitas uji kompetensi dan kesesuaian dengan standar industri masih bervariasi antar sekolah. Beberapa aspek seperti kualitas uji dan kesesuaian standar sudah baik, namun masih ada proses yang perlu diperbaiki, seperti validitas soal dan pelatihan asesor.
Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari dari Studi Ini?
Kekuatan Program
Penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan evaluasi yang komprehensif dan melibatkan banyak pihak (multi-stakeholder) menjadi kunci keberhasilan program sertifikasi. Penggunaan metode TOPSIS juga membantu mengurangi subjektivitas dalam penilaian, sehingga hasil evaluasi lebih akurat.
Kelemahan dan Tantangan
Kesenjangan fasilitas antar sekolah masih menjadi masalah utama. Tidak semua SMK memiliki alat dan infrastruktur yang memadai untuk pelaksanaan uji kompetensi. Selain itu, pelatihan berbasis pengetahuan terapan masih minim, padahal sangat penting di era digitalisasi industri. Kolaborasi dengan dunia usaha/industri juga masih perlu diperkuat, baik dalam penyusunan materi uji, pelaksanaan sertifikasi, maupun penilaian hasil.
Standarisasi proses dan materi uji kompetensi juga menjadi tantangan tersendiri. Belum semua SMK menerapkan standar yang sama, sehingga kualitas lulusan dan sertifikat yang diterbitkan masih bervariasi.
Studi Kasus Nyata: Dampak Sertifikasi di Dunia Kerja
Meskipun program sertifikasi sudah berjalan di banyak SMK, belum semua lulusan langsung terserap oleh industri. Salah satu penyebab utamanya adalah kesenjangan antara materi uji dengan kebutuhan industri. Selain itu, kurangnya pelatihan berbasis pengetahuan terapan dan fasilitas praktik yang belum memadai juga menjadi faktor penghambat.
Sebagai contoh, beberapa SMK di Jakarta masih harus berbagi alat uji dengan sekolah lain atau bahkan menyewa dari pihak ketiga. Hal ini tentu saja menghambat kelancaran pelaksanaan uji kompetensi dan menurunkan kepercayaan industri terhadap sertifikat yang diterbitkan.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian serupa oleh Pardjono et al. (2015) di Jawa Tengah juga menemukan bahwa keterlibatan industri dan asosiasi profesi sangat menentukan kualitas sertifikasi. Sementara itu, studi oleh Suharno et al. (2020) menyoroti pentingnya link and match antara kurikulum SMK dan kebutuhan industri, yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Penggunaan model CSE-UCLA juga diaplikasikan di berbagai program pendidikan lain, seperti evaluasi program kewirausahaan di SMA IT Abu Bakar Yogyakarta. Hasilnya, evaluasi berkelanjutan dan perbaikan program secara periodik terbukti meningkatkan kualitas lulusan.
Tren Industri: Sertifikasi Kompetensi di Era Industri 4.0
Industri manufaktur kini bergerak ke arah digitalisasi dan otomatisasi. Kompetensi yang dibutuhkan tidak hanya keterampilan teknis, tetapi juga kemampuan adaptasi terhadap teknologi baru seperti robotika, kecerdasan buatan (AI), dan Internet of Things (IoT). Sertifikasi uji kompetensi di SMK harus menyesuaikan dengan tren ini agar lulusan benar-benar siap menghadapi tantangan industri masa depan.
Beberapa SMK mulai menggandeng perusahaan besar untuk mengembangkan materi uji dan pelatihan bersama. Program magang industri yang terintegrasi dengan uji kompetensi menjadi salah satu solusi terbaik, karena siswa tidak hanya mendapatkan sertifikat, tetapi juga pengalaman kerja nyata.
Rekomendasi Praktis untuk Pengembangan Program Sertifikasi di SMK
Opini: Menuju SMK yang Lebih Adaptif dan Kompetitif
Evaluasi program sertifikasi uji kompetensi di SMK, seperti yang dilakukan oleh Priyanto dkk., adalah langkah penting untuk memastikan lulusan benar-benar siap kerja. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah hasil evaluasi menjadi aksi nyata di lapangan. Tanpa komitmen dari semua pihak—pemerintah, sekolah, industri, dan masyarakat—program sertifikasi hanya akan menjadi formalitas tanpa dampak signifikan.
Di era Industri 4.0, SMK harus bertransformasi menjadi pusat inovasi dan pelatihan berbasis kebutuhan industri. Sertifikasi uji kompetensi harus menjadi jembatan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, bukan sekadar syarat administratif.
Kesimpulan: Sertifikasi Kompetensi sebagai Pilar Daya Saing Lulusan SMK
Penelitian ini membuktikan bahwa program sertifikasi uji kompetensi di SMK memiliki fondasi yang cukup baik, namun masih banyak ruang untuk perbaikan, terutama dalam hal infrastruktur, pelatihan terapan, dan kolaborasi industri. Dengan evaluasi yang objektif dan perbaikan berkelanjutan, sertifikasi dapat menjadi kunci utama meningkatkan daya saing lulusan SMK di pasar kerja nasional maupun global.
Sumber asli:
Priyanto, S., Sahara, S., & Nugraha, H. (2024). The Certification Program Evaluation for Students in Vocational Schools using The CSE UCLA Model. Jurnal Kependidikan: Jurnal Hasil Penelitian dan Kajian Kepustakaan di Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Pembelajaran, 10(4), 1473-1484.
Risiko Bencana
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Letusan gunung berapi selalu menjadi ancaman nyata bagi jutaan manusia, terutama di negara-negara seperti Indonesia yang dikelilingi ring of fire. Namun, di balik peristiwa bencana yang dramatis, terdapat tantangan tata kelola risiko bencana yang jauh lebih kompleks dan sering kali tersembunyi. Paper “Disaster risk governance in volcanic areas” karya Emily Wilkinson (2013) mengupas secara mendalam bagaimana tata kelola, aktor, dan institusi membentuk ketahanan masyarakat di kawasan rawan letusan. Artikel ini akan mengulas, menganalisis, dan mengkritisi paper tersebut, serta mengaitkannya dengan tren global dan praktik nyata di lapangan.
Memahami Tata Kelola Risiko Bencana di Kawasan Vulkanik
Tata kelola risiko bencana adalah sistem pengambilan keputusan kolektif untuk mengelola risiko, melibatkan berbagai aktor seperti pemerintah, masyarakat, sektor swasta, dan organisasi non-pemerintah. Di kawasan vulkanik, tantangannya menjadi unik karena beberapa alasan utama. Pertama, letusan gunung api sangat sulit diprediksi dari segi waktu, durasi, dan dampaknya. Kedua, urbanisasi dan pertumbuhan penduduk di sekitar gunung api menyebabkan semakin banyak orang yang terekspos risiko. Ketiga, masyarakat tetap memilih tinggal di zona bahaya karena tanahnya subur dan potensi ekonominya tinggi, sehingga terjadi dilema antara manfaat dan risiko.
Wilkinson menyoroti tiga pilar utama tata kelola risiko bencana di kawasan vulkanik. Pertama, relasi formal dan informal, yakni hukum, regulasi, dan norma sosial yang membentuk perilaku para aktor. Kedua, aktor dan jaringan, yaitu siapa saja yang terlibat dan bagaimana mereka berinteraksi. Ketiga, hubungan pusat-daerah, yaitu pembagian peran antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan aktor eksternal.
Studi Kasus: Pelajaran dari Empat Gunung Berapi Dunia
Paper ini menyoroti empat kasus utama yang menjadi laboratorium alami untuk memahami tata kelola risiko bencana.
Soufrière Hills, Montserrat
Letusan besar terjadi pada 1995–1999, dengan eskalasi bertahap setelah beberapa tahun aktivitas seismik. Lebih dari 15 tahun setelah erupsi, wilayah ini masih belum sepenuhnya pulih. Salah satu pelajaran penting adalah ketidakpastian durasi dan dampak letusan membuat perencanaan jangka panjang menjadi sangat sulit. Banyak kebijakan baru lahir sebagai respons krisis, bukan hasil perencanaan matang.
Tungurahua, Ekuador
Gunung ini mengalami letusan berulang sejak 1999, dengan aktivitas signifikan pada 2006, 2010, 2012, dan 2013. Masyarakat harus beradaptasi dengan pola letusan yang tidak menentu, memaksa mereka untuk terus belajar dan menyesuaikan strategi bertahan hidup.
Galeras, Kolombia dan Soufrière St Vincent, Karibia
Analisis forensik dilakukan untuk memahami bagaimana kebijakan, jaringan aktor, dan institusi bertransformasi sebelum, selama, dan setelah krisis. Dari kasus-kasus ini, terlihat bahwa perubahan kebijakan sering kali terjadi secara reaktif, bukan preventif.
Data dan Angka Penting
Wilkinson mencatat bahwa pada tahun 2000, sekitar 60% dari 1.098 munisipalitas di Kolombia telah mengadopsi konsep “pencegahan” dalam perencanaan tata ruang. Namun, implementasinya masih lemah, terutama di daerah kecil dan pedesaan. Kasus tragis di Casita, Nikaragua pada 1998, di mana lahar menewaskan sekitar 2.500 orang, menunjukkan bahaya sekunder yang sering diabaikan dalam perencanaan.
Analisis Kritis: Kekuatan dan Kelemahan Tata Kelola Risiko Bencana
Salah satu kekuatan utama dari pendekatan yang diusulkan Wilkinson adalah sifatnya yang interdisipliner. Program STREVA yang menjadi basis paper ini menggabungkan ilmu fisika, sosial, dan kebijakan, sehingga solusi yang dihasilkan lebih komprehensif. Selain itu, Wilkinson menekankan pentingnya pembelajaran sosial, di mana ketahanan masyarakat tidak hanya dibangun dari infrastruktur, tetapi juga dari proses belajar kolektif dan adaptasi.
Namun, ada beberapa kelemahan yang diidentifikasi. Banyak kebijakan lahir saat krisis, sehingga cenderung reaktif dan kurang berorientasi pada pencegahan. Desentralisasi yang setengah hati juga menjadi masalah. Pemerintah lokal sering kekurangan sumber daya dan insentif untuk melakukan mitigasi jangka panjang. Ironisnya, bantuan eksternal justru kadang menurunkan motivasi lokal untuk membangun kapasitas sendiri, fenomena yang dikenal sebagai “Samaritan’s dilemma”. Selain itu, partisipasi masyarakat sering hanya terjadi pada tahap tanggap darurat, bukan dalam perencanaan atau pengambilan keputusan strategis.
Pembelajaran dan Adaptasi: Dari Single-Loop ke Triple-Loop Learning
Wilkinson mengadopsi konsep “learning loops” untuk menjelaskan bagaimana institusi belajar dari bencana. Single-loop learning adalah perbaikan teknis tanpa mengubah asumsi dasar, misalnya memperbaiki sistem peringatan dini. Double-loop learning melibatkan pengkajian ulang asumsi dan strategi, seperti relokasi infrastruktur ke zona aman. Triple-loop learning adalah transformasi paradigma, misalnya mengubah model pembangunan lokal agar tidak lagi bergantung pada zona rawan.
Setelah erupsi besar, beberapa wilayah mulai memindahkan infrastruktur vital ke zona aman (double-loop), bahkan mempertimbangkan relokasi ekonomi dan penduduk secara permanen (triple-loop). Namun, proses ini tidak mudah karena melibatkan perubahan budaya, ekonomi, dan politik yang mendalam.
Opini & Perbandingan: Bagaimana Indonesia Bisa Belajar?
Sebagai negara dengan lebih dari 120 gunung api aktif, Indonesia menghadapi tantangan serupa dengan negara-negara yang dikaji Wilkinson. Kultur dan relasi sosial sangat memengaruhi respons bencana, seperti yang terlihat pada kasus Merapi. Otonomi daerah belum sepenuhnya efektif dalam mitigasi risiko, seringkali karena keterbatasan dana dan kapasitas teknis. Peran sektor swasta dan NGO juga perlu diperkuat dalam membangun jaringan ketahanan, misalnya melalui asuransi bencana dan pelatihan masyarakat.
Penelitian lain oleh Wisner et al. (2004) dan Twigg (2007) juga menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dan integrasi antara aktor formal-informal. Namun, Wilkinson menambahkan bahwa tanpa insentif politik dan ekonomi yang jelas, perubahan institusional sering kali hanya bersifat sementara dan mudah kembali ke pola lama.
Tren Global: Dari Respon ke Ketahanan Berkelanjutan
Dunia kini bergerak dari sekadar merespons bencana ke membangun ketahanan jangka panjang. Tata kelola risiko bencana kini juga harus mempertimbangkan perubahan iklim, yang memperbesar ketidakpastian dan risiko di kawasan vulkanik. Inovasi teknologi seperti penggunaan sensor, drone, dan kecerdasan buatan untuk deteksi dini mulai diadopsi di berbagai negara. Selain itu, pendekatan berbasis komunitas seperti program “Desa Tangguh Bencana” di Indonesia menjadi contoh integrasi antara pengetahuan lokal dan teknologi modern.
Rekomendasi Praktis: Membangun Tata Kelola Risiko Bencana yang Efektif
Berdasarkan analisis paper ini, ada beberapa rekomendasi praktis yang dapat diterapkan untuk membangun tata kelola risiko bencana yang lebih efektif di kawasan vulkanik:
Kesimpulan: Menuju Ketahanan Berbasis Tata Kelola Adaptif
Paper Wilkinson memberikan kerangka analisis yang tajam dan relevan untuk memahami kompleksitas tata kelola risiko bencana di kawasan vulkanik. Dengan menyoroti pentingnya interaksi antara institusi formal-informal, jaringan aktor, dan hubungan pusat-daerah, paper ini menawarkan peta jalan bagi pembuat kebijakan, peneliti, dan praktisi untuk membangun ketahanan yang lebih adaptif dan berkelanjutan. Namun, tantangan terbesar tetap pada implementasi: bagaimana memastikan pembelajaran institusional tidak hanya terjadi saat krisis, tetapi menjadi budaya yang melekat dalam tata kelola sehari-hari.
Sumber asli:
Wilkinson, Emily. 2013. “Disaster risk governance in volcanic areas. A concept note for Work Package 4 of the Strengthening Resilience in Volcanic Areas (STREVA) programme.” Overseas Development Institute.
Manajemen Sumber Daya Manusia
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Di tengah persaingan global dan revolusi industri 4.0, kualitas lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi sorotan utama dalam pembangunan SDM Indonesia. Sertifikasi kompetensi bukan sekadar formalitas, melainkan instrumen vital untuk memastikan lulusan SMK benar-benar siap kerja dan diakui industri. Namun, bagaimana praktik manajemen sertifikasi kompetensi di tingkat sekolah? Artikel ini mengulas secara kritis hasil penelitian Aris Abadi, Sutama, dan Ahmad Muhibbin (2022) tentang manajemen sertifikasi kompetensi di SMK Tengaran, Kabupaten Semarang. Dengan pendekatan fenomenologi, studi ini membedah proses perencanaan, pelaksanaan, hingga tindak lanjut sertifikasi, serta mengaitkannya dengan tren nasional, studi kasus nyata, dan rekomendasi strategis.
Tren Nasional: Revitalisasi SMK dan Tantangan Kompetensi
Latar Belakang Kebijakan
Realitas di Lapangan
Studi Kasus: Manajemen Sertifikasi Kompetensi di SMK Tengaran
Metodologi dan Profil Penelitian
Perencanaan Sertifikasi: Administrasi dan Infrastruktur
Tahapan Perencanaan
Studi Kasus Nyata
Di SMK Tengaran, setiap tahun dilakukan analisis kebutuhan peserta uji kompetensi berdasarkan jurusan. Kepala LSP berkoordinasi dengan asesor untuk menyiapkan materi uji yang telah divalidasi silang. TUK diverifikasi menggunakan checklist ketat; jika tidak memenuhi syarat, tidak boleh digunakan untuk uji kompetensi.
Proses Sertifikasi: Praktik Langsung dan Penilaian Objektif
Alur Pelaksanaan
Angka dan Fakta
Tantangan di Lapangan
Tindak Lanjut: Sertifikat dan Validasi Proses
Penerbitan Sertifikat
Validasi dan Supervisi
Studi Kasus: Implikasi Sertifikasi
Seorang siswa jurusan Teknik Otomotif di SMK Tengaran mengaku, “Setelah dapat sertifikat kompetensi, saya lebih percaya diri melamar kerja di bengkel besar. Tapi teman saya yang belum lulus uji harus ikut pelatihan tambahan.” Sementara itu, asesor menyoroti pentingnya validasi berlapis agar tidak ada peserta yang lolos tanpa benar-benar kompeten.
Analisis Kritis: Kekuatan, Kelemahan, dan Perbandingan
Kekuatan Sistem Sertifikasi di SMK Tengaran
Kelemahan dan Tantangan
Perbandingan dengan Praktik Nasional dan Internasional
Implikasi Industri dan Daya Saing Lulusan
Dampak pada Lulusan
Dampak pada Industri
Studi Kasus: Kolaborasi SMK-Industri
SMK Tengaran bekerja sama dengan beberapa perusahaan otomotif dan manufaktur di Semarang. Perusahaan ikut terlibat dalam penyusunan materi uji dan kadang menjadi penguji eksternal. Hasilnya, lebih dari 70% lulusan terserap di dunia kerja dalam waktu enam bulan setelah lulus.
Rekomendasi Strategis: Membangun Ekosistem Sertifikasi yang Inklusif
1. Penguatan LSP Internal
2. Peningkatan Kompetensi Asesor
3. Modernisasi Fasilitas TUK
4. Edukasi dan Motivasi Peserta
5. Adaptasi Kurikulum dan Materi Uji
Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Nasional
Opini dan Kritik: Jalan Panjang Menuju Sertifikasi Kompetensi Ideal
Penelitian ini menegaskan bahwa manajemen sertifikasi kompetensi di SMK, khususnya di SMK Tengaran, sudah berjalan cukup baik namun masih menghadapi tantangan besar. Perubahan regulasi, keterbatasan fasilitas, dan motivasi peserta menjadi hambatan utama. Namun, dengan komitmen semua pihak—sekolah, pemerintah, industri, dan siswa—ekosistem sertifikasi yang inklusif dan adaptif sangat mungkin diwujudkan.
Dibandingkan negara maju, Indonesia masih perlu berbenah dalam hal integrasi sertifikasi dengan sistem pendidikan dan industri. Sertifikasi harus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan, bukan sekadar formalitas menjelang kelulusan. Jika tidak, lulusan SMK akan terus tertinggal dalam persaingan global.
Studi Kasus Inovatif: Validasi Berlapis dan Dampaknya
SMK Tengaran menerapkan validasi berlapis dalam proses sertifikasi. Setiap hasil penilaian harus diverifikasi oleh tim asesor dan disahkan dalam rapat pleno. Hasilnya, tingkat kelulusan yang kompeten meningkat, dan kasus sertifikat “asal jadi” bisa ditekan. Model ini layak diadopsi SMK lain untuk menjaga kredibilitas sertifikasi.
Kesimpulan: Sertifikasi Kompetensi sebagai Pilar Daya Saing Lulusan SMK
Manajemen sertifikasi kompetensi di SMK, seperti yang diterapkan di SMK Tengaran, membuktikan bahwa proses yang terstruktur, validasi berlapis, dan kolaborasi dengan industri mampu meningkatkan kualitas lulusan. Namun, tantangan masih besar: perubahan regulasi, keterbatasan fasilitas, dan motivasi peserta. Dengan strategi penguatan LSP internal, peningkatan kompetensi asesor, modernisasi fasilitas, dan edukasi peserta, sertifikasi kompetensi dapat menjadi pilar utama daya saing lulusan SMK di era industri 4.0.
Langkah ke depan adalah membangun ekosistem sertifikasi yang inklusif, adaptif, dan terintegrasi dengan kebutuhan industri. Hanya dengan cara ini, lulusan SMK Indonesia akan benar-benar siap bersaing di pasar kerja nasional maupun global.
Sumber artikel asli:
Aris Abadi, Sutama, Ahmad Muhibbin. (2022). Management of Competency Certification Assessment by Professional Certification Body of Tengaran Vocational High School Semarang Regency. Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal), Vol. 5, No. 3, hlm. 20572–20581.
Keterlibatan Kerja
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Di tengah transformasi pendidikan global dan tuntutan Revolusi Industri 4.0, peran guru vokasi semakin strategis dalam menyiapkan generasi siap kerja. Namun, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana memastikan guru-guru vokasi tetap terlibat secara optimal dalam pekerjaannya. Keterlibatan kerja (work engagement) bukan sekadar soal kehadiran fisik, melainkan mencakup energi, dedikasi, dan keterpautan emosional terhadap profesi. Artikel ini mengulas secara kritis hasil penelitian Victoria S. Paredes dan Viola P. Buenaventura (2024) yang menyoroti hubungan antara keterampilan employability, kompetensi karier, dan keterlibatan kerja pada guru vokasi di Filipina. Dengan pendekatan kuantitatif dan studi kasus nyata, resensi ini juga membandingkan temuan dengan tren industri, memberikan opini, serta rekomendasi strategis untuk masa depan pendidikan vokasi.
Tren Global: Kompetensi Guru Vokasi di Era Disrupsi
Tantangan dan Peluang
Relevansi Penelitian
Penelitian ini menjadi sangat relevan karena mengkaji secara empiris faktor-faktor yang memengaruhi keterlibatan kerja guru vokasi, khususnya di konteks negara berkembang yang sedang berbenah menuju pendidikan berbasis kompetensi.
Studi Kasus: Guru Vokasi di Davao del Sur, Filipina
Metodologi dan Profil Responden
Temuan Utama
Memahami Keterampilan Employability: Fondasi Guru Masa Kini
Dimensi Keterampilan Employability
Analisis Kritis
Keterampilan employability bukan hanya pelengkap, melainkan syarat utama bagi guru vokasi untuk bertahan dan berkembang di era kompetisi global. Namun, masih ada ruang perbaikan, terutama dalam pemahaman visi organisasi agar guru merasa lebih terlibat dalam pencapaian tujuan institusi.
Kompetensi Karier: Modal Guru untuk Bertahan dan Berkembang
Dimensi Kompetensi Karier
Studi Kasus Nyata
Seorang guru vokasi di Davao del Sur mengaku, “Pelatihan komputer dan bahasa sangat membantu saya beradaptasi dengan tuntutan administrasi digital dan pengajaran daring. Namun, tantangan terbesar tetap pada menjaga semangat dan etos kerja di tengah beban administrasi yang tinggi.”
Keterlibatan Kerja: Energi, Dedikasi, dan Absorpsi
Indikator Keterlibatan Kerja
Implikasi
Guru yang memiliki tingkat keterlibatan kerja tinggi cenderung lebih inovatif, tidak mudah burnout, dan mampu menjadi role model bagi siswa. Hal ini sejalan dengan temuan global bahwa engagement guru berbanding lurus dengan kualitas pembelajaran dan kepuasan siswa.
Hubungan Keterampilan Employability, Kompetensi Karier, dan Keterlibatan Kerja
Korelasi dan Analisis Statistik
Studi Kasus: Efek Nyata di Sekolah
Guru yang memiliki keterampilan komunikasi tinggi mampu membangun suasana kelas yang kondusif, meningkatkan partisipasi siswa, dan memperkuat kolaborasi dengan rekan kerja. Sebaliknya, guru yang kurang menguasai teamwork cenderung merasa terisolasi dan kurang terlibat dalam pengembangan sekolah.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Tantangan dan Hambatan di Lapangan
Hambatan Utama
Studi Kasus: Guru di Daerah Tertinggal
Guru di sekolah pinggiran mengaku sulit mengakses pelatihan digital dan pengembangan karier karena keterbatasan infrastruktur dan dukungan institusi. Akibatnya, meski motivasi tinggi, keterlibatan kerja bisa menurun jika tidak ada dukungan nyata.
Rekomendasi Strategis untuk Meningkatkan Keterlibatan Kerja Guru Vokasi
1. Integrasi Pelatihan Soft Skills dan Digital
2. Penguatan Budaya Kerja Kolaboratif
3. Dukungan Karier dan Pengembangan Profesional
4. Optimalisasi Lingkungan Kerja
5. Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan
Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Pendidikan
Opini dan Kritik: Jalan Panjang Menuju Guru Vokasi Unggul
Penelitian ini menegaskan bahwa keterampilan employability dan kompetensi karier adalah fondasi utama keterlibatan kerja guru vokasi. Namun, tantangan di lapangan masih besar, mulai dari keterbatasan akses pelatihan, beban kerja administratif, hingga kurangnya dukungan institusi. Dibandingkan negara maju, Indonesia dan Filipina masih perlu berbenah dalam hal sistem pengembangan karier dan pelatihan berkelanjutan bagi guru.
Kritik utama terhadap penelitian ini adalah perlunya eksplorasi lebih dalam tentang faktor eksternal yang memengaruhi engagement, seperti budaya organisasi, dukungan manajemen, dan insentif non-finansial. Selain itu, penelitian lanjutan perlu mengkaji dampak keterlibatan kerja guru terhadap hasil belajar siswa secara langsung.
Studi Kasus Inovatif: Program Mentoring Guru di Sekolah Vokasi
Salah satu sekolah di Davao del Sur menerapkan program mentoring intensif, di mana guru junior didampingi oleh guru senior selama enam bulan pertama. Hasilnya, tingkat keterlibatan kerja meningkat, burnout menurun, dan inovasi pembelajaran bertambah. Program ini membuktikan bahwa dukungan sosial dan transfer pengetahuan sangat krusial dalam membangun engagement guru.
Kesimpulan: Membangun Ekosistem Guru Vokasi yang Engaged dan Kompeten
Keterampilan employability dan kompetensi karier terbukti menjadi prediktor utama keterlibatan kerja guru vokasi. Guru yang memiliki komunikasi efektif, pengetahuan dan keterampilan yang relevan, serta mampu bekerja dalam tim, cenderung lebih terlibat, produktif, dan inovatif. Namun, tantangan di lapangan masih besar, mulai dari akses pelatihan, beban administrasi, hingga dukungan institusi.
Langkah strategis seperti integrasi pelatihan soft skills, penguatan budaya kolaboratif, dukungan karier, dan monitoring berkelanjutan mutlak diperlukan agar guru vokasi benar-benar menjadi agen perubahan di era pendidikan 4.0. Dengan ekosistem yang mendukung, guru vokasi tidak hanya akan lebih engaged, tetapi juga mampu mencetak lulusan yang siap bersaing di pasar kerja global.
Sumber artikel asli:
Victoria S. Paredes, Viola P. Buenaventura. (2024). Employability Skills and Career Competencies as Predictors of Work Engagement Among Technical-Vocational Teachers. European Journal of Education Studies, Vol. 11, Issue 3, 2024, hlm. 440–467.